tag:blogger.com,1999:blog-7365174535577332019.post1466376719047929339..comments2024-02-08T00:18:07.929-08:00Comments on RAJAWALI GARUDA PANCASILA: PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUMQitri Centerhttp://www.blogger.com/profile/05608370041804935918noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-7365174535577332019.post-5162014313899497322014-12-07T08:36:12.485-08:002014-12-07T08:36:12.485-08:00NAMA : BUMI AYU.
NIM : A1011131032 (REGULER A).
MA...NAMA : BUMI AYU.<br />NIM : A1011131032 (REGULER A).<br />MATAKULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN.<br />TOPIK : PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA, SERTA PROBLEMA YANG TIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM.<br />Menurut Saya, berdasarkan pembahasan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Namun, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia.<br />Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.<br />Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan tetap eksis. Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya sebagai berikut:<br />a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.<br />b. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan member bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan KUHPidana baru untuk negara kita.<br />c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum / tidak ditetapkan oleh undang-undang.<br /><br />Hukum adat merupakan hukum kepribadian Indonesia karena hukum adat sangat mencerminkan ciri-ciri, watak, sikap hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka sangat tepat adanya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402 dengan menetapkan hukum adat sebagai azas-azas pembinaan hukum nasional.<br />Kesimpulannya peranan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional Indonesia cukup besar. Hal ini dikarenakan hukum adat merupakan kebudayaan nasional Indonesia yang mencerminkan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Pancasila yang digali dari hukum adat kemudian menjadi Dasar Negara, falsafah bangsa serta norma dasar. Hukum adat menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur, hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional yang dibentuk.Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/01253826981437719773noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7365174535577332019.post-84604738256865065942014-11-28T03:08:13.266-08:002014-11-28T03:08:13.266-08:00NAMA: APRIANUS
NIM :A01111040 ( REG.A )
ANGK... NAMA: APRIANUS<br /> NIM :A01111040 ( REG.A )<br /> ANGKATAN: 2011<br /> MATA KULIAH: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN<br />Menurut Soepomo, Hukum Adat itu dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan provinsi, dll), hukum yang timbul karena putusan- putusan hakim hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa semua istilah "adat" atau hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh pasal 3 ayat 2 UUD Sementara. Syarat kebiasaan untuk menjadi hukum kebiasaan atau, Hukum Adat ada dua, yaitu: <br />1. Kebiasaan tersebut mesti dilaksanakan terus menerus oleh masyarakat tersebut (syarat materiil).<br /> 2. Apa yang dilaksanakan terus menerus itu dengan kesadaran bahwa itu dirasakan sebagai kewajiban (tuntutan/hukum atau dengan kata lain: de opium uris necessifat), yang berlangsung terus menerus itu dirasakan sebagai kewajiban hukum (syarat psikologis). Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H dalam bukunya Bab-bab Tentang Hukum Adat dituliskan sistem hukum adat antara lain Bahasa hukum, Pepatah adat, dan Penyelidikan Hukum Adat. Berikut akan dijelaskan mengenai hal tersebut. <br /><br />Bahasa hukum <br /> Merupakan kata-kata yang dipakai terus-menerus untuk menyebut dengan konsekuen suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang mempunyai isi yang tertentu. Pembinaan bahasa hukum di Indonesia memerlukan perhatian lebih, khususnya bagi hukum adat. Istilah hukum adat yang digunakan di Indonesia sangatlah berbeda dengan istilah hukum barat, meskipun Belanda telah lama menjajah Negara Indonesia. <br />penyelidikan hukum adat <br /> di daerah, supaya diperhatikan mengenai cara atau metodenya. Adapun cara atau metode penyelidikan tersebut adalah mendekati para pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, orang-orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya.<br />Problematika Penegakan Hukum di Indonesia<br />Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. <br />Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. <br />Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance. <br />Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. <br />Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/03122262025878318670noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7365174535577332019.post-2257168519060840582014-11-03T01:14:08.343-08:002014-11-03T01:14:08.343-08:00Nama : Rudiansyah
Nim : A1O11131O26 ( Reg.A)
Mata...Nama : Rudiansyah<br />Nim : A1O11131O26 ( Reg.A) <br />Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan <br />Topik Pembahasan : PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM<br /><br />Pendapat Pribadi : Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di tanah yang sekarang kita kenal dengan Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945.<br />Dalam masa pergolakan menuju republik, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang meninggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para founding father. Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius.<br />1. Korban Pembangunan<br />Perundang-undangan dan kebijakan pemerintah republik terutama UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) meletakkan masyarakat adat dengan hak ulayatnya dalam rumusan aturan yang ambigu. Antara mengakui dan mencurigai. Kemudian dalam era Pembangunanisme Orde Baru, disamping ambiguitas yang dipertahankan, masyarakat adat dideskreditkan dengan sebutan sebagai masyarakat terasing, masyarakat primitif, atau masyarakat terbelakang. Akhirnya lewat UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat adat yang memiliki pola pemerintahan khas diseragamkan menjadi desa. Inilah pukulan telak terhadap keberadaan masyarakat adat.<br />Motif perundang-undangan pada masa itu adalah merubah tatanan masyarakat adat yang tradisional menjadi masyarakat berbudaya modern.\<br />2. Amandemen bersyarat<br />Pengaturan masyarakat adat di dalam hukum negara mulai dari level UUD sampai peraturan di bawahnya masih bersifat ambigu karena tidak jelas dan tidak tegas. Dikatakan tidak jelas karena tidak terinci bagaimana hak dan posisi masyarakat adat dalam kerangka kebijakan negara secara lebih luas dalam ikhtiar kesejahteraan sosial secara bersama. Dikatakan tidak tegas karena belum ada pengaturan yang dapat ditegakkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan yang selama ini dialami masyarakat adat seperti “perampasan” ulayat dan ancaman kriminalisasi dari hukum negara, terutama perundang-undangan yang berkaitan dengan sumberdaya alam.<br />3. Kebingunan Pemerintanh <br />4. Ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat adat dalam hukum negara dari dahulu sampai hari ini masih kabur. Pertama: Pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat adat dengan totalitas sosialnya ke dalam suatu perundang-undangan yang bersifat tertulis, publik dan general secara akomodatif. Hal ini dikarenakan kemajemukan masyarakat Indonesia yang terkategorisasi dalam berbagai pengelompokan secara horizontal berdasarkan suku, agama, ras, bahasa dan lainnya yang tersebar pada berbagai pulau.<br />5. Kemungkinan kedua, Pemerintah enggan atau tidak mau membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakat adat. Hal ini merupakan warisan dari “pembangunanisme” Orde Baru yang meletakkan masyarakat adat sebagai faktor yang dapat menghambat investasi. Kekaburan pengaturan masyarakat adat pada kenyataannya menguntungkan penguasa politik dan pengusaha swasta besar karena dapat memanipulasi hukum yang terlanjur melemahkan masyarakat adat<br />Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/05171582070737440865noreply@blogger.com