KONSTRUKSI
HUKUM
EKS
TANAH WARIS KERABAT KESULTANAN DAN TANAH
BEKAS SWAPRAJA PEMERINTAHAN KERAJAAN/KESULTANAN DI KALIMANTAN BARAT
BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997
Oleh:
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH MHum
Web: Rajawali
Garuda Pancasila
Email:
fachturahmannur@gmail.com
HP 081310651414
A.
Memilah
Kedudukan Status Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) Setelah Terbentuk
Provinsi Kalimantan Barat. 1 Januari 1957
Jika kita membaca secara
cermat, konsideran menimbang dari Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang
Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 24 September 1960 yang dikeluarkan oleh
Presiden RI Soekarno, menyatakan, “bahwa sejak terbentuknya Negara
Kesatuan,berhubung dengan telah diselenggarakannya pembentukan sementara dari daerah-daerah otonom Kabupaten dan yang
setingkat dengan Kabupaten di beberapa wilayah di Kalimantan menurut Keputusan
Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14, demikian pula berhubung dengan
desakan-desakan dari masyarakat, sekarang perlu segera dibentuk Propinsi
Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”
Secara historis Provinsi Kalimantan Barat, sebagai bagian provinsi di
Kalimantan dibentuk dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus
1950 Nomor 186/OPB/92/14 dan desakan desakan dari masyarakat agar segera
dibentuk Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom),
namun ada yang norma yang menegaskan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1953 pada pasal
1 menyatakan:
Pasal 1 ayat (1): Daerah Propinsi
Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah RIS No. 21 tahun 1950, dan
yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai
daerah otonom "Propinsi Kalimantan", yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948,
yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut "Propinsi".
Jika kita menyitir Peraturan Pemerintah RIS No 21 Tahun 1950 Tentang
Pembentukan Provinsi yang ditetapkan Pada
Tanggal 16 Agustus 1950, dalam konsideran mengingat ada hal yang menarik dari
sisi sejarah hukum dan hukum tata negara, yaitu:
“Mengingat:
a. Piagam-persetujuan Pemerintah
Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950
dan Pernyataan bersama tanggal 19/20
Juli 1950, dalam hal mana Pemerintah Republik Indonesia Serikat bertindak
juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan
Pemerintah Negara Sumatera Timur; b. Ketetapan
dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950”
Berdasarkan konsideran
mengingat itu dapat ditelusuri jejak sejarah hukum pembentukan provinsi
Kalimantan Barat,bahwa ternyata didasarkan pada tiga hal:
1. Piagam-persetujuan
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19
Mei 1950
2. Pernyataan bersama
tanggal 19/20 Juli 1950
3. Ketetapan dalam
sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950”
Menarik untuk mencermati subtansi Pasal 1 PP No 21 tahun 1950 yang
menyatakan: “Daerah Republik Indonesia
Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas
daerah-daerah propinsi di bawah ini: 1. Jawa - Barat 2. Jawa - Tengah 3.
Jawa - Timur 4. Sumatera - Utara 5. Sumatera - Tengah 6. Sumatera - Selatan 7. Kalimantan 8. Sulawesi 9. Maluku
Jadi berdasarkan pasal 1 PP No
21 Tahun 1950 di atas subtansinya umum tidak menyebut provinsi Kalimantan
Barat, tetapi Kalimantan secara umum, padahal fakta sejarah/de fakto dan secara de jure Kalimantan
Barat pada masa itu masih berbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB),
sejak tahun 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri dibawah Konstitusi
RIS, 1949 dan yang lebih menarik dari sisi hukum tata negara, bahwa PP No 21
Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang
menyatakan:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pernyataan
normatif pasal 3 tersebut diatas, secara tidak langsung secara diam-diam DIKB
sebagai Satuan Negara yang berdiri sendiri dan berdaulat diberlakukan secara berlaku
surut dengan PP No 21 Tahun 1950 pada tanggal 17 Agustus 1945, ini bertentangan
dengan Konstitusi RIS 1949, karena berdasarkan Undang-Undang 1949 No. 11
(11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Presiden
Republik Indonesia dalam konsideran menimbang
: menyatakan, bahwa pada tanggal 29 Oktober 1949 dalam persidangan di kota
Scheveningen, yang dilangsungkan oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi
Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst
voor Federaal Overleg); Kedua Delegasi itu telah membubuhkan tanda-tangan
parap pada Piagam Persetujuan, menyetujui naskah Konstitusi Republik Indonesia
Serikat yang dilampirkan pada Piagam itu.
Pasal 1
Undang-Undang 1949 No. 11 (11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat. Menyatakan: “Mengesahkan dan menerima baik Konstitusi Republik
Indonesia Serikat, yang padanya termaktub mukadimmah, Pasal 197 bersama-sama
Lampiran pokok-pokok penyelenggaraan Pemerintahan menurut pasal 51 Konstitusi
itu.
Pasal 2.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan. Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 14 Desember 1949. Presiden RI Soekarno, dan Perdana Menteri
RI Mohammad Hatta.
Pasal
51 ayat (1) Konstitusi RIS, 1949:
“Penjelenggaraan-pemerintahan tentang
pokok-pokok jang terdaftar dalam lampiran Konstitusi ini dibebankan semata-mata
kepada Republik Indonesia Serikat.
“Pasal 51 ayat (2) Konstitusi RIS, 1949
Konstitusi RIS 1949 Daftar lampiran
penjelenggaraan-pemerintahan jang tersebut dalam ajat (1) diubah, baik atas
permintaan daerah-bagian bersama-sama ataupun atas inisiatip Pemerintah federal
sesudah mendapat persesuaian dengan daerah-daerah-bagian bersama-sama, menurut
atjara jang ditetapkan dengan undang-undang
federal”
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949
Konstitusi ini mulai berlaku pada saat
pemulihan kedaulatan.
Naskahnya diumumkan pada hari itu dengan keluhuran
menurut tjara jang akan ditentukan oleh Pemerintah.
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949
(2) Djikalau dan
sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat (1), sudah dilakukan
tindakan-tindakan untuk membentuk alat-alat -perlengkapan Republik Indonesia
Serikat dan untuk menjiapkan penerimaan
kedaulatan, sekaliannja atas dasar ketentuan-ketentuan Konstitusi ini, maka
ketentuan-ketentuan itu berlaku surut
sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
Berdasarkan norma konstitusional Pasal 197 Konstitusi RIS 1949 secara
yuridis konstitusional:
Pertama,
Konstitusi RIS berlaku sejak pemulihan kedaulatan, berarti 27 Desember 1949
Kedua, Pemberlakuan Surut ketentuan Peraturan
Pemerintah RIS dalam hal ini PP No 21 Tahun 1950 diatas, berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan
dilakukan.
Pertanyaannya kapan tindakan penyerahan kedaulatan RI ditanda tangani,
yaitu sejak 27 Desember 1949 di KMB. Berarti secara logika hukum tata negara,
pernyataan Pasal 1 PP No 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: yang
salah satunya pada angka 7 yaitu Kalimantan. Jelas bertentangan dengan Pasal 2
huruf b Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan Satuan Kenegaran yang berdiri
sendiri diluar Republik Indonesia, pasal 2 huruf a Konstitusi RIS 1949 ( Negara
Republik Indonesia 17 Agustus 1945), yaitu DIKB.
Demikian juga
norma hukum tata negara dalam PP No 21 Tahun 1950 ini berlaku surut,
sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Norma ini jelas menyimpang
dari maksud Pasal 197 Konstitusi RIS itu sendiri. Kemudian berkaitan dengan
Pasal 197 bersama-sama Lampiran pokok-pokok penyelenggaraan Pemerintahan menurut pasal 51 Konstitusi itu, maka
dapat dilihat lampiran Pasal 51 mengatur tentang subtansi apa, apakah termasuk
amanah pembentukan provinsi di Kalimantan.
Lampiran.
Pokok-Pokok Penjelenggaraan-Pemerintahan jang dibebankan kepada Republik
Indonesia Serikat menurut Pasal 51 Konstitusi.
a. Pengaturan kewarganegaraan dan kependudukan Republik
Indonesia Serikat;
b. Imigrasi dan emigrasi, dengan pengertian, bahwa
undang-undang federal akan memuat, bahwa tentang banjaknja imigrasi jang
diizinkan terhadap suatu daerah-bagian harus ada persesuaian dengan daerah
bersangkutan;
c. Pengaturan umum urusan kolonisasi dan transmigrasi,
ketjuali djika kolonisasi dan transmigrasi itu terjadi didalam daerah suatu
daerah-bagian dan dengan pengertian, bahwa dalam hal transmigrasi dari suatu
daerah-bagian kedaerah-bagian lain, tentu harus ada persesuaian antara
daerah-bagian bersangkutan tentang banjaknja transmigrasi jang akan dilakukan;
d. Hak memberi ampun (grasi), amnesti dan abolisi;
e. Pengaturan hak pengarang, milik industri, dan hak pembiak
(kwekersrecht);
f. Pengaturan asas-asas-pokok hukum sipil antarnegara dan
hukum antargolongan;
g. Pengaturan hukum sipil dan hukum dagang, sekadar hal itu
masuk bilangan untuk diatur dari pusat, baik karena kepentingan sosial umum
atau karena alasan-lasan ekonomi, maupun karena artinja jang chusus untuk
bagian-bagian penduduk jang penting jang sebagai demikian tidak masuk kewargaan
sesuatu daerah-bagian;
h. Pengaturan asas-asas-pokok hukum-pidana;
i.
Pengaturan asas-asas-pokok hukum atjara
perdata–termasuk dalamnja hukum bukti–dan hukum atjara pidana;
j.
Pengaturan susunan kehakiman federal;
k. Pugas dan kekuasaan pendaftaran tanah;
l.
Pengembalian perhubungan-hukum ekonomi;
m. Ganti-rugi kerugian perang;
n. Mengatur dan mendjalankan tugas polisi bersangkutan dengan
pokok-pokok penjelenggaraanpemerintahan federal; Pendidikan pegawai atasan
polisi; Mengadakan persediaan2 untuk memadjukan ketjakapan teknik dan daja-guna
kepolisian Republik Indonesia Serikat; Mengadakan tindakan2 untuk memadjukan
kerdjasama jang tepat, dimana perlu, dalam pekerdjaan pelbagai
alat-perlengkapan polisi;
o. Hal mata-uang, hal uang dan hal bank, dan djuga
pengaturan devisen;
p. Pengaturan padjak perseroan;
q. Pengaturan padjak kekajaan;
r.
Pengaturan padjak pendapatan untuk hal-hal
istimewa jang ditentukan undang-undang federal;
s. Pengaturan impor dari dan ekspor keluar negeri, termasuk
bea-masuk dan bea-keluar dan djuga penentuan daerah-bea;
t.
Pengaturan bea meterai;
u. Pengaturan tjukai, sekadar penting bagi Republik
Indonesia Serikat seluruhnja;
v. Monopoli-monopoli pemerintah;
w. Hubungan-hubungan luar negeri, hak-hak dan
kewadjiban-kewadjiban terhadap pemerintah-pemerintah luar-negeri, dan djuga
pada umumnja segala pokok jang mempunjai hubungan rapat dengan perhubungan
dengan luar-negeri, (sedang dalam perhubungan itu Republik Indonesia Serikat
harus seluruhnja bertindak);
x. Pertahanan negeri, termasuk hal mengatur hukum pidana dan
hukum patuh-taat ketentaraan, madi dan zahiri, dan susunan kehakiman jang
bersangkutan dengan itu, dan djuga mengatur dan mengumumkan keadaan perang dan
keadaan darurat perang;
y. Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting
bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
z. Pemeliharaan monumen dan perlindungan alam jang penting
bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
Berdasarkan
subtansi lampiran tersebut diatas tidak
ada satupun point pembentukan Provinsi di Kalimantan, tetapi point-point
yang berkaitan dengan urusan yang menjadi urusan negara-negara bagian RIS atau
berkaitan dengan pokok-pokok penjelenggaraan-pemerintahan jang dibebankan
kepada Republik Indonesia Serikat.
Kemudian
perhatikan secara tegas Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 menyatakan:
“Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia,
jaitu daerah bersama:
a. Negara Republik
Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti
tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara
Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara
Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa
status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera
Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
b. Satuan-satuan
kenegaraan jang tegak sendiri; Djawa
Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan
Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara;
dan Kalimantan Timur; a. dan b. jalah daerah bagian jang dengan kemerdekaan
menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia
Serikat, berdasarkan jang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi c. daerah
Indonesia selebihnja jang bukan daerah-daerah bagian”.
Berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 huruf b Kalimantan Barat
(Daerah istimewa) adalah Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri diluar dari persetujuan Renville tanggal 17 Djanuari
tahun 1948 atau diluar Negara Republik Indonesia pada Pasal 2 huruf a. Fakta
historis yuridis konstitusional ini yang sering tidak dipahami para peneliti
sejarah hukum di Indonesia dan Kalimantan Barat.
Dengan demikian pembentukan Provinsi Kalimantan Barat setelah DIKB
diabaikan secara konstitusional adalah berhubung dengan perkembangan politik
ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, seperti dijelaskan dalam
Penjelasan umum Undang-Undang Darurat Tahun 1953.
Undang-Undang
Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (resmi) Daerah
Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan kota Dalam Lingkungan
Provinsi Kalimantan yang menyatakan:
PENJELASAN UMUM
1. Berhubung
dengan perkembangan ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan
seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat tahun 1953
tentang pembentukan daerah otonom tersebut, maka sekarang mendesak waktunya
untuk segera mengatur Pemerintahan daerah-daerah Kabupaten, Swapraja-Swapraja
dan Kota-kota Banjarmasin dan Pontianak
di Kalimantan dalam bentuk yang resmi, menurut
dasar-dasar yang diletakkan dalam Undang-undang
No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia. Dan karena keadaan-keadaan yang mendesak itu, maka dianggap perlu menetapkan
peraturan pembentukan Kabupaten-kabupaten otonom, Daerah-daerah Istimewa yang
setingkat dengan Kabupaten dan Kota-kota Besar dalam lingkungan Propinsi Kalimantan itu dalam suatu
Undang- undang Darurat.
Hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti sejarah hukum DIKB adalah
pada point 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 yang
menyatakan:
3. Sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bekas Daerah Istimewa Kalimantan
Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu,
dengan keputusan Menteri Dalam Negeri
tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi
pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak. Oleh karena Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah
Republik Indonesia (Yogyakarta), maka
dengan sendirinya Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut
hukum berlaku untuk Kalimantan Barat. Walaupun demikian menurut pasal 4 sub
II A Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah
Republik Indonesia, perlu diusahakan
dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya
perundang-undangan Republik Indonesia dilakukan juga di Kalimantan Barat.
Berhubung kini masih belum dapat ditentukan Undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan Daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun
pula Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonom yang berlaku
uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang
No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat, maka
salah satunya jalan yang baik yang dapat
ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948
sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam
tersebut di atas.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 1953 tersebut ada hal yang menarik secara hukum tata negara, yaitu:
1.
“bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang
wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan
keputusan Menteri Dalam Negeri
tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi
pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak
2.
Kalimantan
Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang No. 22
tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat
3.
Perlu
diusahakan dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan,
supaya perundang-undangan Republik Indonesia (NKRI- penulis) dilakukan juga di Kalimantan Barat.
4.
Undang-Undang
No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat.
5.
Salah
satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan
Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat,
berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Berdasarkan lima
point itu, berkaitan dengan point 1 jika dihubungkan dengan penjelasan pasal 1
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953, menyatakan:
Pasal
1
Pembagian
wilayah Propinsi Kalimantan dalam
Kabupaten, Daerah Istimewa tingkat Kabupaten dan Kota Besar adalah berdasarkan atas ketetapan dalam Keputusan
- keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo.
tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem.
20/6/10.
Adalah ironis, bahwa Keputusan - keputusan Menteri Dalam Negeri
tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47
dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10, bisa membagi wilayah DIKB sebagai
satuan kenegaraan yang berdiri sendiri berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi
RIS 1949 dengan memaksakan UU No 22 Tahun 1948 sebagai pedoman, sedang Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tidak
sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat dan inilah cara
inkonstitusional menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman
bagi, Kalimantan Barat.
UU No 22 Tahun 1948 Tentang Pokok –Pokok Pemerintahan
Daerah Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli
1948 adalah produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta, yang pada
tanggal 27 Desember 1949 bergabung ke RI dan setara atau sejajar dengan DIKB
1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (pasal 2 huruf b Konstitusi
RIS, 1949)
Pertanyaan sejak Kapan Provinsi Kalimantan
Barat terbentuk secara hukum Tata Negara ?
Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari
1957. Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur. Pada awal kemerdekaan, wilayah Kalimantan Barat merupakan
bagian dari Provinsi Kalimantan. Apa dasar hukum pembentukannya ?, yaitu
diterbitkannya UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dalam
konsideran menimbangnya menyatakan:
“Menimbang:
a.
bahwa, mengingat perkembangan
ketatanegaraan serta hasrat rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk
membagi daerah otonom Propinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam
undang-undang ini dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sebagai daerah otonom Propinsi pula;
b.
bahwa, berhubung dengan pertimbangan ad a materi yang diatur dalam
Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 8)
tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan perlu diganti dengan undang-undang dimaksud di bawah ini.
Dasar
hukumnya adalah:
1.
Pasal-pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-undang Dasar sementara; 1950
2.
Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia.
Kemudian dengan Persetujuan DPR RI
I.
Mencabut Undang-undang Darurat No. 2 tahun
1953 tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan (Lembaran-Negara
tahun 1953 No. 8).
II.
Menetapkan: Undang-undang Tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan-Barat, KalimantanSelatan Dan
Kalimantan-Timur.
Jika kita baca secara cermat pada BAB I
KETENTUAN UMUM :
Pasal 1
UU Nomor 25 Tahun 1956 Daerah
otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat No. 2
tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 No. 8) dibubarkan dan wilayahnya
dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan
batasbatas sebagai berikut: 1. Propinsi
Kalimantan-Barat, yang wilayahnya meliputi daerah- daerah otonom Kabupaten
Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas-Hulu dan Kota Besar.
Jadi ironis sekali secara hukum
tata negara,bahwa UU Nomor 25 Tahun 1956 dengan berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 1948 yang merupakan produk negara RI 17
Agustus 1945 Yogyakarta, yang tidak berlaku di Kalimantan Barat dan status
hukum sebagai pedoman yang menurut NKRI adalah salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh
dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman
bagi Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Kemudian secara subtansi Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam
Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 No. 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk
sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, dan dengan mengabaikan keberadaan DIKB sebagai satuan kenegaraan yang
berdiri sendiri (Pasal 2 hurub b Kontitusi RIS 1949) yang secara de fakto dan
de jure diluar Negara Republik Indonesia (Pasal 2 huruf a) Konstitusi RIS 1949
atau diluar Perjanjian Renville. Inilah
politik hukum mengalahkan supremasi Konstitusional Keberadaan DIKB 1947 yang
sejajar dengan NKRI 17 Agustus 1945 berdasarkan Akte Penyerahan Kedaulatan dan
Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 di KMB.
Pasal 2 (1) UU Nomor 25 Tahun
1956 Pemerintah daerah otonom: 1. Propinsi Kalimantan -Barat berkedudukan
di Pontianak, 2. Propinsi
Kalimantan-Selatan di Banjarmasin dan 3. Propinsi Kalimantan-Timur di
Samarinda.
Pasal 3 (1) UU
Nomor 25 Tahun 1956 Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan
Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota.
Kemudian yang menarik adalah
ketentuan Bab II Urusan Rumah Tangga dan Kewajiban-Kewajiban Provinsi dalam Bagian
I Urusan Tata-Usaha Daerah pada: Pasal 4
Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun
1956 Guna
melancarkan jalannya pekerjaan maka Propinsi
menjalankan atau mengusahakan supaya dijalankan semua petunjuk-petunjuk teknis
yang diberikan oleh Menteri yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat (4) Dewan Pemerintah Daerah Propinsi
mengusahakan agar Menteri yang
bersangkutan masing-masing mengetahui jalannya hal-hal yang dilaksanakan oleh
Propinsi, dengan mengirimkan laporan berkala kepada Menteri yang bersangkutan
tentang hal-hal yang termasuk urusan rumah-tangga dan kewajiban Propinsi.
Pasal 4 ayat (5) UU
Nomor 25 Tahun 1956 Dewan
Pemerintah Daerah Propinsi mengusahakan supaya kepala atau pemimpin urusan Propinsi masing-masing memenuhi panggilan
dari Menteri yang bersangkutan untuk mengadakan pembicaraan bersama tentang
urusan-urusan teknis yang termasuk pekerjaan kepala atau pemimpin urusan
Propinsi itu masing-masing.
B.
Status Hukum Eks Tanah bekas Swapraja Pemerintahan
Kerajaan di Kalimantan Barat, khususnya Eks Tanah Bekas Swapraja Pemerintahan
Kerajaan Pontianak.
Berdasarkan perjalanan
sejarah hukum keberadaan provinsi Kalimantan Barat, tentu membawa akibat hukum
bagi aset DIKB salah satunya adalah tanah bekas pemerintahan swapraja dan
tanah-tanah waris kerabat kesultanan/kerajaaan di Kalimantan Barat serta juga
tanah-tanah masyarakat hukum adat di desa-desa diwilayah kekuasaan temenggungan
binua. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan urusan agraria atau pertanahan
diwilayah bekas DIKB ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
dapat dilihat pada bagian II. UU
Nomor 25 Tahun 1956 yang menyatakan:
II.Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain
sebagainya
Pasal
85 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1956 Tanah,
bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah,
yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan
rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
ini, diserahkan kepada Propinsi dalam
hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan
guna kepentingannya, terkecuali tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian
Pertahanan.
Berdasarkan pasal 85 ayat (1) UU
Nomor 25 Tahun 1956, tanah, khususnya tanah bekas swapraja yang ada di wilayah
kalimantan barat diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik,
terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh
Kementerian Pertahanan.
Pasal 85 ayat (4) UU Nomor 25 Tahun
1956 Untuk penyelenggaraan urusan atau kewajiban
termaksud dalam undang-undang ini,
Kementerian yang bersangkutan menyerahkan
kepada Propinsi uang sejumlah yang ditetapkan dalam ketetapan Menteri yang
bersangkutan, sekedar perbelanjaan urusan atau kewajiban yang dimaksud itu
sebelum diselenggarakannya oleh Propinsi, termasuk dalam anggaran belanja
Kementerian yang bersangkutan.
Pertanyaannya adalah apakah
termasuk tanah bekas swapraja yang hak atas tanahnya atau surat hak milik
dikeluarkan Pemerintahan Kerajaan Pontianak ? dan apakah termasuk tanah-tanah milik ahli waris kerabat Kesultanan
Pontianak yang belum memiliki surat hak milik dari Pemerintahan Kerajaan
Pontianak ?
Untuk
menjawab pertanyaan itu perlu dipahami, bahwa status tanah bekas swapraja,
berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959
Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan
Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9)
Sebagai Undang–Undang pada bagian III yang bernomenklatur Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 1959 menyatakan:
(1) Tanah, bangunan, gedung dan
barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh
Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali
tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian
Pertahanan.
Berdasarkan Pasal 47 UU
Nomor 27 Tahun 1959 diatas, maka
tanah bekas swapraja atau milik
Pemerintahan Kerajaan di Kalimantan tidak
dikuasai oleh Kementerian Pertanahan, termasuklah tanah-tanah bekas
swapraja di swapraja di kabupaten/Kota di Kalimantan Barat oleh karena itu permasalahannya
penguasaan tanah bekas swapraja didaerah dibawah kekuasaan siapa ? dikembalikan
kepada Undang-Undang yang mengatur wilayah hukum daerah swapraja tersebut.
Secara yuridis
normatif yang menarik adalah klasul “menurut
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan
kepada Daerah untuk dipergunakan,
diurus dan dipelihara dengan hak-pakai” Jadi tanah bekas swapraja
Pemerintahan Kerajaaan Pontianak status hukumnya adalah hak pakai oleh daerah
(Pemerintah Daerah).
Pertanyaannya apa
yang dimaksud dengan hak pakai dalam hukum Agaria ?
Berdasarkan Pasal 41 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), definisi atas Hak Pakai adalah
hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan undang-undang ini.
Bagian
VI Hak Pakai Pasal 41 ayat (2) UUPA
menyatakan:
Hak
pakai dapat diberikan:
a.
selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b.
dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun.
Pasal 41 ayat (3):
Pemberian
hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42:
Yang dapat
mempunyai hak pakai ialah:
a. warga-negara Indonesia;
b.
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d.
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43 UUPA:
a. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara maka hak pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
b. Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada
pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Jika kita membaca penjelasan Pasal 43 UUPA:
“Pasal 41 Hak pakai adalah suatu
"kumpulan pengertian" dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum
pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan
berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan
dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan
dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak
tersebut dalam hukum agraria yang
baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan
Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat
berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan- badan
hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang
terbatas.”
Berdasarkan pengertian hak pakai
dalam UUPA dalam kaitannya dengan tanah bekas diwilayah daerah swapraja, ketika
menggunakan UU yang berkaitan dengan wilayah hukum dimana tanah tersebut
berada, sejak berlakunya UU Nomor 27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II
di Kalimantan, berdasarkan Pasal 47 ayat (2) status hak tanahnya adalah hak
pakai, yaitu hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain.
Pertanyaannya adalah apakah tanah bekas swapraja tersebut dikuasai langsung oleh
negara berdasarkan UUPA terhapus haknya ? jika terhapus menjadi tanah dengan
status hukum apa ?
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diatur dalam bagian kedua
pada Diktum IV UUPA menyatakan bahwa: A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas
bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada
waktu mulai berlakunya Undang-undang ini
(24 September 1960) hapus dan
beralih kepada Negara. B.Hal-hal lain yang bersangkutan dengan
ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Jadi berdasarkan bagian kedua pada diktum IV UUPA, bahwa hak-hak dari
swapraja dan bekas swapraja sejak berlakunya UUPA dihapus dan beralih kepada negara dan pengaturan lebih lanjut hak-hak
dari swapraja dan bekas swapraja diatur dengan peraturan pemerintah.
Beralih kepada negara, pertanyaan yang perlu
diajukan adalah tanah bekas swapraja
beralih kepada negara sebagai tanah apa, apakah tanah negara atau tanah adat ?,
karena pada diktum IV huruf memberikan amanah , bahwa hal-hal lain yang
bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pertanyaan Peraturan Pemerintah yang
mana saat ini yang mengatur atau melaksanakan diktum IV UUPA tersebut ?
Jika menelusuri jejak regulasi dibidang tanah-tanah yang dikuasai oleh
negara, maka akan didapatkan peraturan perundang-undangan, yaitu PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah
negara, pada Pasal 1 huruf a. tanah
negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara.
Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II
di Kalimantan yang menyatakan:
“Tanah, bangunan, gedung dan
barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh
Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara
dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya
yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan”
Berdasarkan penelusurannya status hukumnya, dapat
direkonstruksi terhadap konstruksi hukum Agarianya sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan UU
Nomor 25 Tahun 1956 yang menyatakan:
II.Tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 ayat (1) Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya
milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk
menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk
dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan
lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas
Pemerintahan Kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di
eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik untuk
dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya.
Kedua, Berdasarkan UU Nomor
27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran
Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang
pada bagian III yang
bernomenklatur Tanah, bangunan,
gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak
bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk
menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib
diserahkan kepada Daerah untuk
dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah,
bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian
Pertahanan
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan
Kerajaan-Kerajaan//kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah
Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja menurut ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini (UU Nomor 27 Tahun 1959), oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai. Jadi
status hukum tanah yang dikuasai oleh negara adalah berstatus hak pakai, sebagaimana pengertian UUPA pasal 41 yang
menyatakan, bahwa hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
undang-undang ini.(UU No 5 Tahun 1960)
Jadi dapat disimpulkan, bahwa
ketika tanah bekas swapraja terhapus oleh UUPA berdasarkan bagian kedua DIKTUM
IV yang menyatakan “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan
air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada
waktu mulai berlakunya Undang-undang ini
(24 September 1960) hapus dan
beralih kepada Negara”, ternyata fakta
yuridisnya sejak disahkan UU Nomor 25 Tahun 1956, yaitu pada Tanggal 29 Nopember 1956, menurut
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, pasal 85 ayat (2), diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik
atau diserahkan untuk dipakai atau
diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, kemudian dengan diberlakukannya UU Nomor 27 Tahun 1959 Tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan
Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9)
berdasarkan pasal 47 ayat (2) yang menyatakan : “menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini (UU Nomor 27
Tahun 1959), oleh yang berwajib
diserahkan kepada Daerah untuk
dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai sejak Disahkan di Jakarta pada tanggal 26
Juni 1959 oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia (Sartono) dan diundangkan tanggal 4 Juli 1959, maka status
hukum tanah bekas swapraja di bekas Pemerintahan
Kerajaan-Kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah
Pemerintahan Kerajaan Pontianak, status hukumnya adalah hak pakai. Setelah
berlakunya UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1950) berdasarkan bagian
kedua DIKTUM IV yang menyatakan “Hak-hak
dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
swapraja atau bekas swapraja
yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini (24
September 1960) hapus dan beralih kepada
Negara”.
Permasalahannya adalah pernyataan hapus dan beralih kepada Negara, menimbulkan pertanyaaan secara hukum agraria, status
hukum tanah bekas swapraja berubah menjadi status hukum apa ? apakah menjadi
status tanah negara ? karena Dalam UUPA (UU No. 5/1960) yang dibentuk
berdasarkan UUD 1945 setelah 5 Juli 1959 secara yuridis normatif tidak
ditemukan sama sekali istilah tanah
negara. Hanya, menurut Pasal 2. UUPA :
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud
dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Jadi berdasarkan konstruksi hukum UUPA hanya memberikan kewenangan mengatur, tidak
menetapkan, karena penetapan tanah negara yang dikuasai oleh negara akan
diberikan beban hak milik diatas tanah negara tersebut adalah diatur lebih
lanjut dengan penetapan Pemerintah berdasarkan
bagian kedua diktum IV huruf, yaitu denagan Peraturan Pemerintah sebagaimana
dinyatakan pada huruf B. Yang
menyatakan “Hal-hal lain yang
bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”
Menjadi pertanyaan pula sebagaimana pertanyaan di
atas, bagaimana status hukumnya terhadap tanah bekas swapraja yang telah
dihapus tersebut atau yang dialihkan kepada negara ?
Jika berlaku mundur berdasarkan istilah dialihkan kepada negara dan
dikuasai oleh negara, maka berdasarkan PP Nomor
8 Tahun 1953 (( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362) Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, pada
Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah
tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Jadi status hukum tanah bekas
swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan
Kerajaan Pontianak adalah menjadi tanah negara.
Pertanyaan hukum administrasi negaranya adalah dalam penguasaan siapa
tanah bekas swapraja yang berstatus hukum sebagai tanah negara itu ?
Berdasarkan Menurut Pasal 2 PP Nomor 8 Tahun 1953, menyatakan: “Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan
undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah
ini, telah diserahkan kepada sesuatu
Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah
Negara ada dalam penguasaan Menteri
Dalam Negeri.
Jadi tanah negara bekas swapraja kewenangan
penguasaannya ada dalam penguasaan Menteri Dalam Negeri. Hal ini artinya tidak
dalam penguasaan Menteri Agraria atau Menteri Pertanahan atau saat ini adalah
BPN, sampai dengan adanya pelimpahan kewenangan secara hukum administrasi
negara, khususmnya hukum administrasi pertanahan.
Kemudian hak apa yang dimiliki oleh menteri dalam negeri terhadap tanah
negara bekas swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks
Pemerintahan Kerajaan Pontianak ?
Menurut Pasal 3, ayat (1) PP Nomor
8 Tahun 1953 menyatakan; “Di dalam hal penguasaan tersebut
dalam Pasal 2 ada pada Menteri Dalam Negeri, maka ia (menteri dalam negeri)
berhak:
a.
menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4;
Menurut Pasal 4, Penguasaan sebagai
dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 sub a diserahkan kepada:
1. sesuatu Kementrian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementrian
atau Jawatan itu, sesuatu Daerah
Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya, satu dan lain
dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri
b.
mengawasi agar supaya tanah Negara tersebut
dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut
ketentuan tersebut dalam Pasal 8.
Jika kita
mencermati subtansi Pasal 8: “Setelah
mendengar pihak yang bersangkutan, Menteri Dalam Negeri berhak mencabut
penguasaan atas tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 di
dalam hal:
a. penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak
tepat lagi;
b.
luas tanah yang
diserahkan penguasaannya itu ternyata sangat
melebihi keperluannya,
c. tanah itu tidak
dipelihara atau tidak dipergunakan sebagai mestinya.
Menurut Pasal 3 ayat (2) PP
Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan: “Di
dalam hal penguasaan atas tanah Negara pada waktu mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah ini telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah
Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap
penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8.
Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 8 Tahun
1953 menyatakan:
“Pengawasan Menteri Dalam Negeri bukan
sekali-kali bersifat mencampuri urusan intern penyelenggaraan teknis tugas
sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra. Pada asasnya Kementrian,
Jawatan/Daerah Swatantra bebas di dalam
melaksanakan dan menyelenggarakan penguasaan tanah-tanah Negara yang telah
diserahkan kepada mereka itu, demikian juga untuk memberi peruntukan pada
tanah-tanah itu hingga sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Pengawasan
Menteri Dalam Negeri terutama bermaksud, menjamin ketertiban administrasi dan menjaga
jangan sampai ada tanah-tanah Negara yang tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya (tinggal terlantar karena tidak atau belum dibutuhkan oleh
Kementrian/Jawatan/Daerah Swatantra yang bersangkutan)
Berdasarkan Pasal 8 dan penjelasan Pasal 3 PP
Nomor 8 Tahun 1953, dapat direkontruksi status hukumnya, bahwa walaupun status
hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di
eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak adalah menjadi tanah negara atau menurut
UUPA dihapus haknya berdasarkan bagian
kedua Diktum IV huruf a UUPA, dan diserahkan penguasaan kepada Menteri Dalam Negeri dan apabila telah
diserahkan kepada sesuatu Kementrian,
Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam
Negeri pun berhak mengadakan pengawasan
terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8
PP Nomor 8 Tahun 1953 dan pengawasan
dimaksud adalah menjamin ketertiban administrasi dan menjaga jangan sampai ada
tanah-tanah Negara yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (tinggal
terlantar karena tidak atau belum dibutuhkan oleh Kementrian/Jawatan/Daerah
Swatantra yang bersangkutan)(lihat penjelasan pasal 8)
Bagaimana tindak lanjut ketika status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah
menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara, dalam hal ini diserahkan
pengusaannya kepada Menteri Dalam Negeri ?
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Kementrian,
Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum
dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepadanya
itu menurut peruntukannya, dapat
memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah itu dalam waktu yang
pendek.
Pasal 9
ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Perizinan untuk memakai tersebut dalam ayat 1 dari
pasal ini bersifat sementara dan setiap waktu harus dapat dicabut kembali.
Pasal 9
ayat (3) PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang perizinan tersebut dalam ayat 2 di atas,
Menteri Dalam Negeri perlu diberi tahu.
Jadi
berdasarkan Pasal 9 PP Nomor 8 Tahun 1953 jelas secara yuridis, dapat
dikonstruksi secara hukum administrasi negara, yaitu:
Pertama, bahwa walaupun status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara dan
diserahkan kepada Kementrian, Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara
yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk
memakai tanah-tanah itu dalam waktu yang pendek. (Pasal 9 ayat (1) PP Nomor
8 Tahun 1953)
Kedua, bahwa status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara
Perizinan untuk memakai tersebut dalam
ayat 1 (Kementrian, Jawatan dan Daerah Swatantra) dari pasal ini (Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953) adalah bersifat sementara dan setiap
waktu harus dapat dicabut kembali.
Ketiga, bahwa status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara,
ketika perizinan tersebut diberikan kepada para pihak, maka Menteri Dalam Negeri perlu diberi tahu.
Namun perlu diperhatikan subtansi Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 yang
menyatakan, bahwa “Ketentuan-ketentuan termaktub dalam Pasal 3 ayat 2, dan
Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan Pemerintah ini, tidak berlaku bagi tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang. Kemudian
bagaimana jika status hak bekas tanah
swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan
Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh
negara dibeli atau yang dibebaskan dari hak-hak rakyat oleh sesuatu Kementrian,
Jawatan atau Daerah Swatantra untuk penyelenggaraan/pelaksanaan kepentingannya
?
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953 Tanah
yang dibeli atau yang dibebaskan dari hak-hak rakyat oleh sesuatu Kementrian, Jawatan
atau Daerah Swatantra untuk penyelenggaraan/pelaksanaan kepentingannya, menjadi
tanah Negara pada saat terjadinya pembelian/pembebasan tersebut, dengan
pengertian, bahwa penguasaan atas tanah itu, oleh Menteri Dalam Negeri akan
diserahkan kepada Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra yang bersangkutan, setelah diterimanya pemberitaan tentang
pembelian/ pembebasan dan peruntukan tanah tersebut.
Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 1953 menegaskan, bahwa “Menteri
Dalam Negeri memberikan ketentuan-ketentuan umum tentang cara pembelian/ pembebasan hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 yang
menyatakan, bahwa “Ketentuan-ketentuan
termaktub dalam Pasal 3 ayat 2, dan Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan
Pemerintah ini, tidak berlaku bagi
tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang”.
Bagaimana status hukumnya terhadap status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara?
Jika kita baca secara cermat penjelasan Pasal 10 PP Nomor
8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Sebagaimana diterangkan di dalam Penjelasan
Umum No. 7 tanah-tanah Negara yang
penguasaannya diserahkan dengan Undang-undang, peruntukan dan penggunaannya
sekarang ini sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan”, maka Penjelasan
Umum Nomor 7 PP Nomor 8 Tahun 1953
menyatakan, bahwa “Penyerahan penguasaan
atas tanah-tanah Negara hingga kini ada yang dilakukan dengan Undang-undang,
ada yang dengan Peraturan Pemerintah.
Penyerahan yang diselenggarakan dengan
Undang-undang peruntukannya sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan,
akan tetapi justru penguasaan yang diserahkan
dengan Peraturan Pemerintah itu kini keadaannya kacau dan perlu diatur kembali.
Oleh karena dahulu peraturan-peraturan yang dipakai sebagai dasar penyerahan
penguasaan itu diletakkan di dalam Peraturan Pemerintah (Staatsblad 191 1 No.
110), maka peraturan-peraturan baru yang khusus mengatur penguasaan tanah-tanah
Negara berbentuk Peraturan Pemerintah
juga. Di dalam mempertimbangkan Peraturan Pemerintah itu yang menjadi titik
berat ialah melenyapkan keragu-raguan
perihal hak-hak penguasaan atas berbagai tanah Negara, untuk melancarkan dan
menjamin pelaksanaan penguasaan tanah-tanah itu secara yang benar-benar
mendatangkan faedah pertama-tama meletakkan pengawasan atas tanah-tanah Negara
itu di dalam satu tangan, agar
selanjutnya tanah-tanah yang tidak tegas status penguasaannya dapat mudah
diatur kembali. Oleh karena Kementrian Dalam Negeri yang diserahi segala
sesuatu mengenai urusan tanah, lagi pula hingga sekarang dianggap mempunyai
tugas sebagai penguasa atas penggunaan
tanah-tanah Negara itu diletakkan di tangan Menteri Dalam Negeri.
Patut
juga dipetakan secara hukum ketika status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara berada
dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra, yang saat ini menjadi daerah otonom
Kabupaten/Kota dan menjadi Provinsi, bagaimana tata kelolanya administrasi
negara pertanahannya?
Berdasarkan PP No 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara
dimaksudkan Presiden Republik Indonesia sebenarnya semangat hukumnya adalah
berkehendak mengatur kembali penguasaan tanah-tanah Negara sebagai termaktub
dalam surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33
(Staatsblad 1911 Nomor 110), hal ini mengingat: Pasal 98 Undang-undang Dasar
Sementara Republik Indonesia dan juga
mendengar: Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke-71 pada tanggal 13
Januari 1953. MEMUTUSKAN: Dengan menyampingkan ketentuan-ketentuan tersebut
dalam surat keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33
(Staatsblad 1911 Nomor 110), sebagai yang telah diubah dan ditambah, yang
terakhir dengan surat keputusannya tertanggal 22 Agustus 1940 Nomor 30
(Staatsblad 1940 Nomor 430) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Kemudian dengan tidak tegas, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1953 pada prolog penjelasan pasal perpasal menyatakan, bahwa Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Staatsblad
1911 No. 110 tidak dicabut seluruhnya,
karena sebagaimana telah diterangkan di atas, ketentuan-ketentuan itu tidak hanya
mengenai penguasaan tanah-tanah Negara saja, melainkan juga benda-benda tak
bergerak lain-lainnya. Maka berhubung
dengan itu hanyalah apa yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah ini saja yang dinyatakan tidak berlaku.
Pertanyaannya adalah bagaimana status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah
menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara berada dalam penguasaan
pemerintah daerah swatantra, yang saat ini menjadi daerah otonom Kabupaten/Kota
dan menjadi Provinsi, bagaimana tata kelolanya administrasi negara
pertanahannya? Sebagaimana pertanyaan sebelumnya.
Berdasarkan PP No 8 Tahun 1953 pada BAB III
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN KHUSUS MENGENAI DAERAH SWATANTRA, diatur pada Pasal
12 yang menyatakan, bahwa “Kepada Daerah
Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara dengan tujuan untuk
kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan-ketentuan
Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya Pasal 13 Tiap-tiap tahun,
selambat-lambatnya pada akhir triwulan pertama, Daerah Swatantra yang bersangkutan menyampaikan laporan lengkap tentang
keadaan dan penggunaan tanah tersebut dalam Pasal 12 kepada Menteri Dalam
Negeri.
Berdasarkan
Pasal 12 PP Nomor 8 Tahun 1953 dan berdasarkan penjelasan pasal tersebut
menyatakan, bahwa “Ketentuan ini bermaksud memberi kemungkinan bagi
Daerah-daerah Swatantra untuk berusaha memperbaiki
perumahan rakyat. Dalam zaman sebelum perang dunia II beberapa
Stadsgemeenten menyelenggarakan "perusahaan tanah", yang bermaksud,
selain menambah pemasukan keuangan daerah, juga mengusahakan perumahan penduduknya. Daerah-daerah tersebut diberi
tanah oleh Pemerintah Pusat dengan harga rendah untuk kemudian dijual atau
disewakan kepada penduduk dengan perjanjian, bahwa di atas tanah itu akan didirikan rumah, sesuai dengan
rencana pembangunan kota yang bersangkutan. Atau daerah Swatantra itu sendiri yang membuat perumahannya untuk
selanjutnya dijual atau disewakan. Usaha sebagai tersebut di atas itu, yang
pada umumnya kini belum diselenggarakan lagi, perlu dilanjutkan. Untuk itu sudah selayaknyalah, bahwa Kementrian Dalam Negeri sebagai instansi
atasan dari daerah-daerah Swatantra, diserahi pimpinannya. Namun
penyerahkan pengusaan tersebut berdasarkan Pasal 13 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan,
bahwa “Daerah Swatantra yang bersangkutan
menyampaikan laporan lengkap tentang keadaan dan penggunaan tanah tersebut dalam Pasal 12 kepada Menteri Dalam Negeri”.
Berdasarkan paparan di atas menjadi jelaslah, bahwa status hak bekas
tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks
Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau
dikuasai oleh negara berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun
yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, hak atas tanah
tersebut secara yuridis selama dikuasai oleh negara, ternyata status haknya
berubah-berubah, oleh karena itu jika kita menggunakan pendekatan hukum tata
negara dengan pendekatan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, dapat
disimpulkan, bahwa status hukum terhadap status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara, adalah saat ini adalah HAK
PAKAI, karena Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Sebagaimana
diterangkan di dalam Penjelasan Umum No. 7 tanah-tanah
Negara yang penguasaannya diserahkan dengan Undang-undang, peruntukan dan
penggunaannya sekarang ini sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan.
Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa Ketentuan-ketentuan termaktub
dalam Pasal 3 ayat 2, dan Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan Pemerintah
ini, tidak berlaku bagi tanah-tanah
Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang.
Pertanyaannya adalah apakah ada tanah-tanah Negara yang penguasaannya
telah diserahkan dengan undang-undang. Jika kita menggunakan pendekatan
historis yuridis dalam hukum tata negara, maka sesuai analisis konstruksi hukum
sebelumnya, yaitu :
Pertama, berdasarkan UU
Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. yang menyatakan:
II.Tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 ayat (1) Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya
milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk
menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk
dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan
lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahana,
Konstruksi
hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan
Kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah
Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik untuk dipakai atau
diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya.
Kedua, Berdasarkan UU Nomor
27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran
Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang
pada bagian III yang
bernomenklatur Tanah, bangunan,
gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak
bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk
menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib
diserahkan kepada Daerah untuk
dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan HAK PAKAI, kecuali tanah,
bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian
Pertahanan
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas
Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan//kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di
eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja menurut
ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang ini (UU Nomor 27
Tahun 1959), oleh yang berwajib
diserahkan kepada Daerah untuk
dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai.
Berdasarkan ketentuan UU
Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan UU Nomor
27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran
Negara Tahun 1953 No 9) yang secara hukum tata negara saat ini dijadikan
landasan hukum pada konsideran mengingat Peraturan Daerah Provinsi Kalmantan
Barat, yaitu pada angka 1:Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonomi Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 1106); Pada Pasal Pasal 85 ayat (1) menyatakan klasul Tanah, ....dst menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini,
diserahkan kepada Propinsi dalam hak
milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna
kepentingannya, terkecuali tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian
Pertahanan.
Kemudian berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II
di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang pada bagian
III yang bernomenklatur Tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya. Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
“Tanah, bangunan, gedung dan
barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh
Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara
dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya
yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan”
Berdasarkan klasul tersebut Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 1956 dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 1959, maka dapat disimpulkan, bahwa status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik
yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan
penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, jika digunakan landasan hukum
agraria (UUPA UU no 5 tahun 1960 status hukum tanah yang dikuasai oleh negara
berdasarkan diktum IV adalah berstatus
hak pakai, dan hak pakai berdasarkan
pengertian UUPA pasal 41 yang
menyatakan, bahwa hak pakai adalah hak
untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan undang-undang ini.(UU No 5 Tahun 1960)
C.Prosedur Untuk Mendaftarkan Tanah Eks Bekas Swapraja
Masa Pemerintahan Kerajaan di Kalimatan Barat, khususnya Tanah bekas Kesultanan
Pontianak.
Pertanyaannya adalah siapa pejabat yang berwenang yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi
tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan
pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri
Dalam Negeri yang saat ini menjadi tanah negara dengan status hukum hak pakai?
Subyek hukum yang dapat memiliki tanah bekas swapraja
atau tanah Pemerintah Kerajaan menurut UUPA (pasal 21 ayat (2) adalah badan
hukum yang diatur oleh PP No 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum
yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah meliputi:
a) Badan hukum sosial,
b) Badan hukum keagamaan,
c) Koperasi
pertanian, dan
d) Bank pemerintah.
Bagaimana dengan Kesultanan apakah termasuk subyek hukum ? Kesultanan adalah bukan subyek hukum atau
subyek hak atas tanah hak milik menurut UUPA. Lebih lanjut, aturan pelaksanaan
Diktum IV UUPA antara lain adalah:
Terdapat dua ketentuan penting yang
berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti rugi
ditetapkan 19 September 1961 (Pejabat Presiden RI –J.Leimena), dalam konsideran
menimbang:bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform
perlu diadakan peraturan tentang pembagian tanah serta soal-soal yang
bersangkutan dengan itu.dan Memperhatikan: hasil-hasil kesimpulan Seminar
Landreform di Pusat dan di Daerah-daerah.yaitu:
1. Tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/ bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (Pasal 1 huruf c).
2. Berdasarkan Pasal 4. ayat 1:
Tanah Swapraja dan
bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A
Undang-undang Pokok Agraria beralih
kepada Negara, diberi peruntukan,
sebagian untuk kepentingan Pemerintah,
sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan ini.
Pasal 4 ayat 2. Tanah untuk kepentingan Pemerintah,
sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, ditetapkan menurut
keperluannya oleh Menteri Agraria.
Pasal 4 ayat 3. Tanah yang diperuntukkan bagi mereka yang
langsung dirugikan, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, letak dan
luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria,
setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Berkaitan dengan pelaksanaan 4 ayat
2 PP No. 224 Tahun 1961 secara historis yuridis dapat ditelusuri penetapan pengaturan
dalam peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah
Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1.
Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang
pembagian tugas wewenang agraria; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku
surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut
Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan
dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60
2. Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK.
XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP
No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;
3. Surat
Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka,
tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini
merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian
hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri
Agraria No. Sk. 112/ ka/61;
4. Keputusan
Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/
Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya
dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;Dengan berlakunya Peraturan ini
maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/
1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri
Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/
Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.
5. PMDN
NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN
MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata
kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/
Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri
Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman
Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut
kembali.
6.
PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang
pemberian Hak atas tanah;
7.
Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan
wewenang pemberian hak atas tanah Negara;
Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:
Didalam Pasal 2, disebutkan:
1)
dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas
tanah secara individual dan secara
kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah
BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten/kota madya
2)
pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam
peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan
diberikan dengan sesuatu hak atas tanah
adalah tanah Negara;
3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam
pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan
dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara
yang sebagian kewenangan menguasai dari Negara tidak dilimpahkan kepada
instansi atau badan lain dengan hak
pengelolaan.
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut: Hak milik (pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
1)
pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya
tidak lebih 2 ha
2)
pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
3)
pemberian hak milik atas tanah dalam rangka
pelaksanaan program:
a. transmigrasi;
b. redistribusi;
c. Konsolidasi;
d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam
rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic
Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya
memberi keputusan mengenai:
a.
pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya
tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;
b.
semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan;
Hak Pakai (Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
Hak Pakai (Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
a.
pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya
tidak lebih dari 2 ha;
b.
pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak
pengelolaan;
Didalam pasal 6 perubahan hak,
kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas
tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain; Kewenangan Kantor
Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2.
pemberian hak
milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2,
kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor
pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;
Pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah
BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah
yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.
Pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN
Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2
kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal
5;
Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
a.
pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang
telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang
terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b.
pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang
kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten
/ kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap pasal 13,
Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang
diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:
(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III
(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
Berdasarkan ketentuan di atas,
maka tanah swapraja/bekas swapraja dibagi dengan konsep Land Reform kepada para
penggarap salah satunya diatur PEMBERIAN HAK MILIK DAN SYARAT-SYARATNYA
Pasal 14 ayat 1 PP No 224 Tahun 1961. Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik secara definitip menurut
ketentuan prioritet tersebut pada Pasal 8 ayat 1, maka para petani yang
mengerjakan tanah-tanah yang disebut dalam pasal 1 huruf a, b dan c (bekas
swapraja), diberi izin untuk mengerjakan tanah yang bersangkutan untuk paling lama
dua tahun, dengan kewajiban membayar sewa kepada Pemerintah sebesar 1/3
(sepertiga) dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Kemudian
dikenal dengan tanah garapan yang kemudian apabila penggarap selama ini tetap
penguasaan fisik tanah dan digarap selama 20 Tahun atau lebih berturut berhak
untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah tersebut (Pasal 24 ayat (2) PP
No 24 Tahun 1997), dengan surat
pernyataan pemohon dan biasanya didalam surat pernyataan itu ada klasul hukum: “bahwa apabila kemudian hari ternyata diatas tanah tersebut sudah pernah
diterbitkan sertifikat atas tanah baik atas nama diri sendiri maupun atas nama
orang lain, maka saya bersedia mencabut dan membatalkan Surat Pernyataan ini” Tetapi
apabila yang dimaksudkan adalah pembuktian hak baru, maka harus tunduk dengan
prosedur Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi pendaftaran untuk pertama kali menurut
kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 atau PP No 24
Tahun 1997
Untuk memberikan kewenangan yang
jelas, maka berdasarkan BAGIAN XI UU No 25 Tahun 1956 Ketentuan Lain-lain
Pasal 80
Hal-hal lain yang dalam ketentuan-ketentuan
undang-undang ini belum dapat dinyatakan sebagai tugas-tugas termasuk
urusan rumah-tangga dan kewajiban Propinsi-propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan atau Kalimantan-Timur, seperti
yang mengenai misalnya: 1. urusan
agraria, 2. urusan perburuhan, 3. urusan penerangan dan seterusnya. pun
pula yang mengenai urusan-urusan tersebut dalam Bagian-bagian II sampai dengan
IX, Bab II Undang-undang ini, dan perubahan- perubahan ketentuan-ketentuan
dalam Bagian-bagian tersebut tadi, dapat
ditambahkan atau diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jadi delegasi legislation pengaturan kepada Peraturan Pemerintah.
Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja
dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, sedangkan
tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat
Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya masih
menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai kepala keluarga kerajaan.
Pada Bagian II. Tanah,
bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal
85 (1) UU No 25 Tahun 1956 :Tanah,
bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah,
yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan
rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
ini, diserahkan kepada Propinsi dalam
hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan
guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain
sebagainya, yang dikuasai oleh
Kementerian Pertahanan.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960
secara tataran undang-undang terhadap status hukum bekas swapraja yang sudah
dihapus dan dikuasai oleh negara, maka kemudian Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah sesuai amanah Pasal 19, Pasal 26 dan Pasal 52
Undang-undang pokok Agraria;, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 yang berlaku sejak 23
Maret 1961.
Pertanyaanaya adalah bagaimana jika status
hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di
eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau
dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah
swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri,
jika digunakan landasan hukum agraria (UUPA UU no 5 tahun 1960 status
hukum tanah yang dikuasai oleh negara berdasarkan diktum IV adalah berstatus hak pakai kemudian akan dialihkan
menjadi hak milik kembali sesuai peraturan perundang-undangan hukum agraria
yang berlaku ?
Berdasarkan Bagian II Pendaftaran
Tanah Pasal 19 UUPA menyatakan:
Pasal 19 ayat (1);
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19 ayat (1): Pendaftaran tersebut dalam ayat (1)
pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 19 ayat (3): Pendaftaran tanah diselenggarakan
dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
Pasal 19 ayat (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pertanyaaannya Peraturan Pemerintah
sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) UUPA apakah bisa digunakan untuk
mendaftarkan status hak bekas tanah
swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan
Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh
negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun
yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi
hak pakai oleh negara ?
Berdasarkan hukum administrasi
negara secara logika hukum, bahwa pendaftaran tanah berdasarkan prosedur PP
Nomor 10 Tahun 1961 mulai berlaku sejak 23 Maret 1961 dan perpanjangan waktu
yang kemudian berakhir pada tanggal 24 September 1980 sesuai pasal 1 Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dengan kata lain status hukum tanah bekas swapraja
terhapus kemudian berubah statusnya sebagai tanah negara.
Dalam konsideran Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 bagian menimbang huruf a. bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah
yang ditimbulkan karena berakhirnya jangka waktu
hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat pada selambat-lambatnya tanggal 24
September 1980, sebagaimana pada diktum IV yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
karena tanah bekas swaparaja dikatagorikan sebagai hak-hak tanah barat sebagai
produk Pemerintah Kerajaan atau menurut wewenang Agrarische Ambtenaar, maka dipandang perlu untuk digariskan
pokok-pokok kebijaksanaan yang mengarah kepada usaha untuk menunjang kegiatan
pembangunan pada umumnya dan pembangunan di bidang ekonomi khususnya.
Kemudian ditegaskan lagi pada Pasal 1
ayat (1) Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi
hak Barat, jangka waktunya akan berakhir
selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah dikuasai langsung oleh Negara.
Namun
perlu diperhatikan saat ini PP 10 Tahun 1961 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku dan dalam konsideran Peraturan Pemerintah pengganti PP No 10 Tahun
1961, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 menyatakan :
“Menimbang:
a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang
berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan;
b.
bahwa
pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam
memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak
dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan
nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan, bahwa: “Dengan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, semua peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 yang telah ada masih tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 64
ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1997 menyatakan, bahwa “Hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan
pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 65
PP Nomor 27 Tahun 1997 Dengan berlakunya
Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2171) dinyatakan tidak
berlaku.
Pertanyaaannya,
apakah PP No 27 Tahun 1997 membuka peluang untuk pendaftaran pertama kembali
terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi
tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan
pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri
Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
Berdasarkan
Pasal 1 angka 9 PP No 27 Tahun 1997 menyatakan, bahwa “Pendaftaran tanah untuk
pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
atau Peraturan Pemerintah ini.
Berdasarkan
klasul yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan
Pemerintah ini (PP No 27 Tahun 1997),
maka secara hukum administrasi
negara tetap membuka peluang terbuka
untuk pendaftaran pertama kembali terhadap status hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara
baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang
diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak
pakai oleh negara.
Jika kita baca
secara cermat penjelasan umum PP No 27 Tahun 1993 yang menyatakan, bahwa:
1.
“Sehubungan dengan
itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah
dalam rangka menjamin kepastian hukum dimaksud di atas. Pendaftaran tanah
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang
sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
2. Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari
35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan.
3. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi
syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar.
4. Dalam pada itu melalui pewarisan, pemisahan dan
pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk
didaftar selama Pembangunan Jangka Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat
menjadi sekitar 75 juta.
5. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah, di samping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah
keadaan obyektif tanah tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan
tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh
alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya.
6. Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya
dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran
dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.
7. Sehubungan dengan itu maka dalam rangka meningkatkan
dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian
hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada
ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada
banyak peraturan perundang-undangan.
8.
Dalam Peraturan
Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini,
tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya
sudah ditetapkan dalam Undangundang Pokok Agraria (UUPA), yaitu bahwa
pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem
publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena
akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c,
Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
9. Pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua
cara, yaitu pertama-tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau
kelurahan atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan
secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan
pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal.
10. Penyempurnaan yang diadakan meliputi penegasan berbagai
hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama, antara lain pengertian
pendaftaran tanah itu sendiri, asas-asas dan tujuan penyelenggaraannya, yang di
samping untuk memberi kepastian hukum sebagaimana disebut di atas juga
dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai
data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.
11. Prosedur
pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta
disederhanakan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan
pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak
dapat diabaikan.
12. Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah
yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah tidak benar.
Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar
untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak
boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian
yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan
tanah tetapi juga dalam penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan
penyimpanan data tersebut.
13. Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti
cara penentuan titik melalui Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi
pengolahan, penyajian dan penyimpanan data, pelaksanaan pengukuran dan pemetaan
dapat dipakai di dalam pendaftaran tanah. Untuk mempercepat pengukuran dan
pemetaan bidang tanah yang harus didaftar penggunaan teknologi modern, seperti Global Positioning System (GPS) dan
komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data perlu dimungkinkan yang
pengaturannya diserahkan kepada Menteri.
14. Di samping pendaftaran tanah secara sistematik
pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena
dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara
individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan
makin meningkat kegiatannya.
15. Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan karena
melalui cara ini akan mempercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah
yang akan didaftar dari pada melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi
karena prakarsanya datang dari Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi
dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang
meliputi jangka waktu yang agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang
berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar.
16. Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan
informasi yang lengkap mengenai bidangbidang tanah dipertegas dengan
dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah ini pembukuan bidang-bidang tanah
yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih
disengketakan, walaupun untuk tanah yang demikian belum dikeluarkan sertifikat
sebagai tanda bukti haknya.
17. Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang
hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai
sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat
pembuktian yang kuat oleh UUPA.Untuk itu
diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik
dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data
yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari hari maupun dalam sengketa di
Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam
surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah ini), dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah
besertifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun
sejak dikeluarkannya sertifikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada
Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain
tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh
orang lain atau badan hukum yang mendapat persetujuannya (Pasal 32 ayat (2)
Peraturan Pemerintah ini).
18. Dengan demikian maka makna dari pernyataan, bahwa sertifikat
merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang
diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguh pun sistem publikasi yang digunakan adalah
sistem negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian
perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai
serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan
menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang
bersangkutan atas namanya.
19. Sengketa-sengketa dalam menyelenggarakan pendaftaran
tanah tetap pertama-tama diusahakan untuk diselesaikan melalui musyawarah
antara pihak yang bersangkutan. Baru setelah usaha penyelesaian secara damai
tidak membawa hasil, dipersilakan yang
bersangkutan menyelesaikannya melalui Pengadilan.
20. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan salah satu
sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok
tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat
pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini.
21. Tidak adanya sanksi bagi pihak yang berkepentingan untuk
mendaftarkan perbuatan hukum yang telah dilakukan dan dibuktikan dengan akta
PPAT, diatasi dengan diadakannya ketentuan, bahwa PPAT dalam waktu tertentu diwajibkan menyampaikan akta tanah yang
dibuatnya beserta dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftarannya. Ketentuan ini diperlukan mengingat dalam
praktek tidak selalu berkas yang bersangkutan sampai kepada Kantor Pertanahan.
22. Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah, bahwa
Peraturan Pemerintah yang baru mengenai pendaftaran tanah ini disamping tetap
melaksanakan pokok-pokok yang digariskan oleh UUPA, memuat penyempurnaan dan
penegasan yang diharapkan akan mampu untuk menjadi landasan hukum dan
operasional bagi pelaksanaan pendaftaran
tanah yang lebih cepat.
Pertanyaannya adalah bahwa berdasarkan semangat yuridis sosiologis dari
penjelasan PP No 27 tahun 1997 tersebut diatas, bagaimana prosedur hukum untuk
mengurus terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah
menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam
penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya
kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
Pertanyaan di atas lebih spesifik lagi bagaimana prosedur peralihan hak
pakai terhadap tanah negara yang berasal dari hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik
yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan
penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh
negara ?
Jawaban atas pertanyaaan ini menjadi penting, karena saat ini penguasaan
hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di
eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak berada pada ahli waris kerabat Kesultanan-kesultanan di Kalimantan Barat,
khususnya eks ahli waris Kesultanan Pontianak.
Hak
Pakai pada prinsipnya adalah hak atas tanah yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(“UUPA”). Selain Hak Pakai, ada juga misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha
(“HGU”) dan Hak Guna Bangunan (“HGB”).
Berdasarkan Pasal
41 ayat (1) UUPA, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain. Hak Pakai ini timbul berdasarkan
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah.
Sementara
berdasarkan Pasal 42 UUPA, Hak Pakai hanya bisa diberikan kepada
Warga Negara Indonesia (WNI), orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Subyek yang
berhak mendapatkan Hak Pakai ini lalu ditambah lagi berdasarkan Pasal
39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai (“PP No. 40/1996”).
Yaitu departemen (saat ini digunakan nomenklatur ‘kementerian’); lembaga
departemen non pemerintah, danpemerintah daerah; badan-badan
keagamaan dan sosial; serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional.
Adapun yang bisa menjadi obyek Hak Pakai
berdasarkan Pasal 41 PP No. 40/1996 adalah: Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan
Tanah Milik
1. Mengenai
perpanjangan jangka waktu Hak Pakai
Ada dua jenis perpanjangan jangka waktu Hak Pakai,
yaitu:
a.
Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan:
jangka waktunya maksimal adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20
tahun. (Pasal 45 PP No. 40/1996).
b.
Hak Pakai atas Tanah Milik perorangan: jangka waktunya
maksimal adalah 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang (Pasal 49 PP
No. 40/1996).
Walaupun tak dapat diperpanjang, Hak Pakai
atas tanah milik perorangan dapat diperbaharui berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang Hak Milik atas tanah tersebut. (Pasal 49 ayat (2) PP
No. 40/1996).
2. Bisakah
Hak Pakai atas tanah dan bangunan di atasnya diperjualbelikan?
Bisa tidaknya diperjualbelikan sangat tergantung pada
status obyek tanah. Untuk Hak Pakai di atas Tanah Negara dan Tanah Hak
Pengelolaan, jual beli Hak Pakai bisa dilakukan sesuai Pasal 54
ayat(1) jo. ayat (3) No. 40/1996. Sedangkan untuk tanah yang
statusnya milik perseorangan, jual beli Hak Pakai hanya mungkin dilakukan bila
sudah diatur terlebih dulu dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang
Hak Milik dan pemegang Hak Pakai (lihat Pasal 54 ayat (2) PP
No. 40/1996). Jika tidak ada pengaturan tersebut, maka pemegang Hak
Pakai tidak bisa menjual Hak Pakainya kepada pihak ketiga. Jual beli Hak Pakai dilakukan dengan Akta
PPAT dan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 54 ayat (4) dan (5) PP
No. 40/1996).
3. Bisakah
status Hak Pakai dinaikkan menjadi Hak Milik? Kalau bisa, apa saja
persyaratannya?
Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas
Tanah untuk Rumah Tinggal (“Kepmen No. 6/1998”), Hak Milik dapat
diberikan atas tanah Hak Pakai yang dijadikan rumah tinggal kepunyaan perseorangan
WNI yang luasnya 600 m2 atau kurang atas permohonan dari
yang bersangkutan (pemegang hak pakai tersebut).
Sesuai Pasal 1 ayat (2) Kepmen No. 6/1998,
untuk pemberian Hak Milik tersebut, si penerima hak harus membayar uang
pemasukan kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun persyaratan lain
yang harus dipenuhi untuk meningkatkan status Hak Pakai menjadi Hak Milik
adalah dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat disertai dengan lampiran sebagai berikut:
a. sertifikat tanah yang bersangkutan;
b. bukti
penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:
1) fotocopy Izin Mendirikan
Bangunan yang mencantumkan bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah
tinggal, atau
2) surat keterangan
dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk
rumah tinggal, apabila izin Mendirikan Bangunan tersebut belum dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang;
c. fotocopy
SPPT PBB yang terakhir (khusus untuk tanah yang luasnya 200 m2 atau
lebih);
d. bukti
identitas pemohon;
e. pernyataan
dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon pendaftarannya itu
yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak
lebih dari 5 (lima) bidang tanah seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5000
(lima ribu) m2.
Namun
ada aspek hukum lain selain hukum pertanahan yang harus diperhatikan dalam
menjawab poin pertanyaan diatas. Yaitu mengenai aspek hukum waris. Ini penting
karena berkaitan dengan Hak Pakai yang saat ini dalam penguasaan kementerian
dalam negeri dan pemerintah swatantra (Kab/Kota/Provinsi) dengan status tanah
negara diwariskan oleh ahli waris eks
kesultanan Pontianak.
Sesuai Pasal 24 ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan “PP 24/1997”),
penguasaan fisik selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dapat diajukan
permohonan pendaftaran tanahnya.
Untuk mendapatkan/memperjelas
status tanah, maka dapat diajukan permohonan pendaftaran
tanah pada kantor Pertanahan setempat dengan sistem pendaftaran tanah
secara sporadik sesuai dengan Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997.
Jadi, terhadap hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di
Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah
menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam
penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya
kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara. Ketika
tanah tersebut statusnya adalah warisan, maka pendaftarannya secara bersama-sama
ataupun memberikan kuasa kepada salah satu ahli waris, dapat mengajukan
permohonan pendaftaran tanah secara mandiri/sporadik ke Kantor BPN setempat
dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Untuk penjelasannya bisa
di lihat di Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik,
termasuk persyaratan pembuktian mengenai adanya hak tersebut.
Dalam
hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997,
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun
atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan
pendahulu-pendahulunya, dengan syarat (Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997):
a. Penguasaan
tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan
sebagaimana yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh orang yang dapat
dipercaya;
b. Penguasaan
tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 26 PP 24/1997 (60 hari) tidak dipermasalahkan oleh masyarakat
hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.
Jika masa pengumuman berjalan mulus, maka
Kepala BPN setempat akan mengesahkan berita acara yang memuat data fisik dan
data yuridis atas tanah, jika ternyata masih ada kekurangan data fisik ataupun
data yuridis, atau masih ada keberatan yang belum terselesaikan, maka
pengesahan berita acara dilakukan dengan catatan mengenai apa-apa yang masih kurang.
Berita acara menjadi dasar untuk pembukuan hak atas tanah, pengakuan hak atas
tanah ataupun pemberian hak atas tanah (Pasal 28 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) PP 24/1997).
Berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan, bahwa pada tataran dibuat sesuai Prosedur pendaftaran terhadap
tanah-tanah bekas hak Barat termasuk didalam hak bekas tanah swapraja di
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan
Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik
yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan
penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh
negara, maka berdasarkan Bagian
II Pendaftaran Pemindahan Hak, Pemberian
Hak Baru, Penggadaian Hak, Pemberian Hak Tanggungan Dan Perwarisan
A.
Kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan pendaftaran.
Pasal
19 PP No 10 Tahun 1961 Setiap perjanjian
yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan,
harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : penjabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan
oleh Menteri Agraria
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 BAB IV
PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI
Pembuktian
Hak Baru
Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Untuk keperluan pendaftaran hak:
a.
hak
atas tanah baru dibuktikan dengan :
1.
penetapan
pemberian hak dari Pejabat yang
berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku
apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak
pengelolaan;
2.
asli
akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada
penerima. hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
b.
hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh
Pejabat yang berwenang;
c.
tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
d.
hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;
e.
pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Paragraf
2 Pembuktian Hak Lama
Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
Untuk
keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan
alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis,
keterangan saksi dan atau pernyataan
yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik,
dianggap cukup untuk mendaftar hak,
pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri
dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian
beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada
waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat,
berupa:
Huruf
c surat tanda bukti hak milik yang
diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
Huruf
f. akta pemindahan hak yang dibuat di
bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala
Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini (maknanya adalah ketika masa berlakunya PP
No 10 Tahun 1961) ; atau
Huruf
g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau
Pasal 24 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap
alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan
syarat :
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik
dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta
diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak
lainnya.
Pasal
25 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997
(1) Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti
sebagaimana dimaksud Pasal 24 dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan
oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh
Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.
(2) Hasil penelitian alat-alat bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh
Menteri.
Peraturan KBPN
No 3 Tahun 1997
Pasal
60 ayat (1) Alat bukti tertulis mengenai
kepemilikan tanah berupa alat bukti untuk pendaftaran hak baru dan pendaftaran
hak-hak lama sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pasal
60 ayat (2) Alat bukti tertulis yang digunakan untuk pendaftaran hak-hak lama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dinyatakan lengkap apabila dapat ditunjukkan kepada Panitia
Ajudikasi dokumen-dokumen sebagai berikut: antara lain
Huruf
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang ber-sangkutan,
atau
Huruf
g. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian
oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang
dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak
yang dialihkan.
Huruf
h akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum
dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
Berdasarkan pasal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Kepala BPN No 3
tahun 1997
Untuk tanah-tanah
hak-hak lama seperti bekas tanah swapraja, apabila digunakan untuk Pendaftaran
untuk Pertama kali (PP No 10 Tahun 1961) –pasal 1 angka 9 yang belum didaftar berdasarkan PP No 10 Tahun 196, maka
prosedurnya adalah :
1. Tanda bukti hak yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang ber-sangkutan
2. Jika sudah ada pemindahan hak atas tanah harus
dibuat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997.
3. Akta Pemindahan hak atas tanah harus dibuat oleh
PPAT yang tanahnya belum dibukukan.
Apabila dilihat dari fakta yuridis, bahwa ternyata tanah
bekas swapraja belum pernah terdaftar dan dikonversi berdasarkan PP No 10 Tahun
1961, maka sejak 24 September 1980 telah
terhapus menjadi tanah negara, jika sebelumnya sudah ada pemindahan hak harus
dibuat sebelum PP No 24 Tahun 1997 dan apabila belum dibukukan pada buku tanah
harus dibuat oleh PPAT.
Jadi yang dimaksud pasal 23 dan 24 PP Nomor 24 Tahun 1997
adalah hak-hak lama yang sudah terdaftar pertama kali berdasarkan PP No 10
Tahun 1961, karena yang dimaksudkan Pendaftaran Pertama kali dalam PP Nomor 24
tahun 1997 adalah Pendaftaran untuk Pertama Kali adalah kegiatan pendaftaran
tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang BELUM didaftar berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan
Pemerintah ini. (Pasal 1 angka 9 PP No 24 Tahun 1997), dan apabila kemudian ada
pengembalian batas, maka yang dimaksudkan adakah pemeliharaan data pendaftaran
tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data
yuridis dalam peta pendataranm daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku
tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang kemudian, (Pasal 1 angka
12 PP No 24 tahun 1997).
D.Sebuah
Pemikiran Staretgis Untuk Memecahkan “Masalah Pertanahan Terhadap Tanah Bekas
Swapraja Eks Kesultanan Di Kal-Bar”.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945,
pemerintahan swapraja dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas
daerah swapraja itu kemudian menjadi daerah yang diperintah langsung oleh
negara Republik Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa,
misalnya menjadi Karesidenan. Bagaimana dengan Kalimantan Barat yang pernah
menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
DIKB dalam Tataran Sejarah Hukum Ketatanegaraan
RI, maka demi kejujuran sejarah dan sikap serta kesadaran
sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai berdirinya
Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat dan patut disadari bersama oleh anak
bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau
kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali.
Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde
memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk
mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena
kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of
mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai
bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan
masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa
lampau.
Sebagaimana
pernah dikutip oleh proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang
sejarahwan Inggris dalam bukunya “The Expansion Of England “History ought
surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt
be wise after the event we study history that we may be wise before the event”,
maknanya ialah “bahwa semua kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung
pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu
peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis dan terang Kita tidak boleh akan
tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama, tetapi justru untuk bijaksana lebih
dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.
Berikut
ini dipaparkan fakta obyektif terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran
ketataranegasran Republik Indonesia, bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan
bagaimana kedudukan wilayah Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang
seluruh Kalimantan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang,
yaitu Berneo Meinseibu Cokan 1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
Khusus
Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan kedaulatan Para
Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi Khatulistiwa yang kode areanya
0561 yang makna filosofisnya menurut para Ulama atau para wali Allah “bersihkan
dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid”, dan semangat
itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat
tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja,
yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja
Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana,
Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja
Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga
Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Keputusan
Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan
suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB
dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat
dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah
Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran
Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan
Pemerintahan Sendiri berserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat.
Berdasarkan
rangkaian ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah
Istimewa Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagai
ditulis para sejarahwan, mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat
menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut
perjanjian Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk
negara di luar RI bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran
Serawak Kucing Malaysyia Timur, tetapi Sultan Hamid II tidak mau, itulah
semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang tak pernah terungkap dalam tataran
sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih Sultan Hamid II di KMB 1949 dan
Perancang Lambang Negara RI, 1950.
Berdasarkan
KMB Sultan Hamid II sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik
Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik
Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II
tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda, apakah secara hukum
internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945
yang diwakili Mohammad Hatta, Jasa
Sultan Hamid II sebagai “strategis politis diplomatik” bagaimana secara tidak
langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara Yuridis Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif
secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB.
Mengapa,
sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949
pada Pasal 1 dan penjalasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan
negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam
perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi Dayak
Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara
yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang
berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta
dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB
yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Berneo Barat atau
Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
Jadi
secara Hukum Tata Negara DIKB tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada
demo di Kota Pontianak kepada Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil
demo itu DIKB menjadi bubar adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis
ketatanegaraan, karena dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah
satunya almarhum Ibrahim Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad
pendidikan dan belum memahami mengapa Para Raja atau Sultan di Berneo Barat
sepakat mendirikan DIKB yang didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan
sebagai Raja Kesultanan Pontianak 1945-1976 dan sebagai Gubernur DIKB jika saat
sekarang, karena berbagai kesultanan di Kalimantan Barat masih eksis dan
berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat, dan patut disadari Para
Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat ini baru kita
merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan,bahwa Daerah Kami bekas
Swapraja atau Neo Swapraja sebagai factor histories yang nota bene adalah bekas
wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh
sejarahwan.
Alasan
yang digunakan para pendemo Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak
adalah, karena Sultan Hamid II beristeri Belanda keponakan Wihelmena, dan
dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda, pertanyaannya
untuk sejarahwan secara hukum tata negara, apakah secara yuridis DIKB yang
didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di Kalimantan Barat berdasarkan Putusan
Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang
dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja dan kemudian diakui secara
konstitusional pada Pasal 2 huruf b Kontitusi RIS 1949 adalah sisa peninggalan
pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh sejarahwan
tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran Pemerintahan
berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang DIKB.
Secara
obyektif desakan demo kepada Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena
perbedaan visi antara kaum muda dimotori kepentingan politis yang tak mengerti
pandangan Para Raja atau Sultan saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II
terhadap maksud didirikan DIKB, coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan
Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan
Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh
sejarahwan, tulislah sejarah secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika
akan mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah
fakta sejartah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif.
Apakah
DIKB “pernah bubar” secara Hukum Tata Negara? Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu, maka
berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, masing-masing
nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun penjabat Kepala
Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili
oleh seorang Pejabat yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembubaran oleh
Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara
konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 2 huruf b
Konstitusi RIS 1949.
Selanjutnya
untuk menampung ini Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950
No B. Z 17/2/47 ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan
tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang
berkedudukan di Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status
hukum belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan
Kontitusi RIS pasal 54.
Pada
Tahun 1950 keluarlah Peraturan Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950
yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan
Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative. Dengan
demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative
merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang
berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan
Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang
terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No
127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4
April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950
dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950
menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945
Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat
Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali
Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama
Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur,
yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen
Koordinator.
Pertanyaan
untuk sejarahwan, apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan
Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil
demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar
dan fakta hal inilah yang dikonstruksi kembali oleh sejarahwan Kal-Bar dengan
pendekatan sejarah hukum agar lebih obyektif dan ilmiah .
Perjalanan
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang
berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi
DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan
Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 hapus, karena pergantian Undang Undang Dasar/Konstitusi,
sedangkan hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUDS 1950, tetapi Residen tinggal di
pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan, artinya
para Pejabat dimasa DIKB berubah statusnya sebagai pegawai atau Pejabat
Pemerintah Negara Kesatuan.
Dengan
demikian DIKB yang pernah dirikan berdasarkan Putusan Gabungan
Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi
dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi hapus secara konstitusional,
sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota
federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan
Negara Kesatuan dibawah UUDS 1950.
Pada
tahun 1951, keluarlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8
September 1951 No Pem 20/6/10 yang menyatakan, bahwa yang mencakup segala
ketentuan pembagian secara administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB,
yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Berneo” dan menjadi
Daerah Kalimantan Barat dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative,
yakni 1 Kabupaten Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten
Sintang, 5 Kabupaten Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota
Administratif Pontianak.
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian
Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang
berkedudukan di Pontianak yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan
yang berkedudukan di Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen
Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas
sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan
“Residen Koordinator” dan hal ini tidak pernah diangkat sebagai fakta sejarah
hukum DIKB.
Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Pada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953
yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan pedoman
UU No 22 Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa
Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang
kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri.
Pada
Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi
Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam
Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat.
Kemudian
untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953 Pemerintah RI mengeluarkan UU Nomor
27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26 Juni 1959 dan patut diketahui,
bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat No 2 Tahun
1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini
memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga Provinsi Otonom.
Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956
ditetapkan UU tersebut yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian
secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari
1957, secara Yuridis Formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi,
oleh karena sangat tepat apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat
tepat pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di
Banjarnmasin diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah
Kalimantan Barat yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra
Kabupaten Sambas, Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun
1953 demikian yang dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh
SENDAM XII/Tanjungpura.
Mengacu
pada paparan sejarah hukum ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya
Provinsi Kalimantan Barat, maka secara fakta hukum tata negara DIKB tidak
pernah dibubarkan sampai dengan berlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus
1950 bahkan sampai dengan 1 Januari 1957,
tetapi terhapus, karena pergantian Konstitusi.
Pertanyaannya
bagaimana dengan nasib tanah-tanah eks kesultanan-kesultanan di Kalimantan
Barat, khususnya eks Kesultanan
Pontianak. Tanah-tanah yang semula
dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik,
menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah dalam daerah
pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang
bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya
masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala
swapraja, Sunan, Sultan atau
Raja sebagai kepala keluarga kerajaan.
Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi tersebut, pada
hakikatnya adalah merupakan tanah milik pribadi seperti tanah-tanah hak milik
di daerah lain. Pada waktu Sunan, Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut
diwarisi oleh ahli warisnya
Eks Kesultanan Pontianak, adalah daerah-daerah
bekas swapraja, masing-masing mempunyai wilayah tanah dan hutan, yang merupakan
wilayah tanah dan hutan swapraja, dimana semuanya hapus sejak berlakunya
Undang-Udang Pokok Agraria.
Dalam
pandangan Pemerintah, ternyata disamping daerah-daerah bekas swapraja tersebut
diatas, masih ada daerah-daerah yang merupakan daerah swapraja dengan segala
hak dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah swapraja,
yaitu; (Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB)
Dengan
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan dengan berdasarkan kepada
Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, yang berbunyi : “A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya
Undang-undang ini (24 September 1960) hapus dan beralih kepada Negara. B.Hal-hal
lain yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan
bagian kedua Diktum IV UUPA, maka tanah-tanah yang dikuasai oleh eks
Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimatan Barat, karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/
bekas swapraja, yang dilakukan melalui Panitia Landreform masing-masing Kota di
Provinsi Kalimantan Barat.
Sejak
adanya keputusan itu, para ahli waris ke sultanan mengajukan keberatan dan
menuntut agar seluruh tanah-tanah itu dikembalikan kepada eks Kesultanan-Kesultanan
di Kalimatan Barat dengan pertimbangan
bahwa, secara Historis Yuridis Konstitusional DIKB tidak pernah dibubarkan,
tetapi diambil alih oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat ( Negara Republik
Indonesia 17 Agustus 1945), karena DIKB
adalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS
1949), namun tanah-tanah dihapus sebagaimana yang dimaksud dalam Diktum Keempat
huruf A UUPA, karena eks Kesultanan –Kesultanan di Kal-Bar bergabung dalam DIKB
dan tidak bergabung lagi dengan negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
berdasarkan hasil KMB 27 Desember 1949. Faktas Historis yuridis ini akan menimbulkan
“konflik pertanahan yang panjang” di Kalimantan Barat
Pengertian
Swapraja.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Swapraja berasal dari kata “Swa” yang
berarti; “sendiri” dan “Praja” yang
berarti; “kota-negeri”, Swapraja, berarti daerah yang berpemerintahan sendiri. Dengan
demikian, daerah Swapraja berati daerah yang memiliki Pemerintahan sendiri.
Sebutan
swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam penjelasan
Pasal 18 disebut; Zelfbesturende
Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing
dalam Bab II dan Bab IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik Indonesia
Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65, bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui.
Mengatur
kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah
bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengatur daerah itu dilakukan
dengan kontrak, yang diadakan antara daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah
swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara 1950
yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Swapraja, dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja
diatur dengan Undang-Undang.
UUPA
dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas swapraja,
namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus merupakan
pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada
adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai
pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan
Landreform. Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (sebagaimana juga dengan
undang-undang lainnya), tidak memberikan
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan swapraja dan bekas swapraja;
Indonesia
pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang
diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda (Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan daerah-daerah yang pemerintahannya
diserahkan kepada Zelfbestuurders,
yaitu apa yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja.
Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah suatu
wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang
kepala wilayahnya (dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain),
berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan
pemerintahan sendiri (dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut;
Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan
perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka
ragam.
Kerajaan-kerajaan
itu disebut Landschap atau Zelfbestuur, sedangkan Rajanya disebut
Zelfbestuurder. Lansdchap itu merupakan bagian dari daerah Kerajaan Hindia
Belanda, serta semua Zelfbestuurder harus mengakui Raja Belanda sebagai
kekuasaan pemerintah tertinggi yang sah.
Tanah-tanah,
termasuk hutan dalam wilayah Swapraja, merupakan tanah-tanah Swapraja, yang kewenangan
penguasaan dan pemberian haknya kepada pihak lain, ada pada Pemerintah Swapraja
yang bersangkutan. Ada tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata oleh
Kepala Swapraja secara pribadi atau dalam kedudukannya sebagai Kepala Keluarga
Kerajaan, misalnya adalah;
tanah untuk istana, tempat peristirahatan dan keperluan pribadi lainnya. Sisanya adalah tanah-tanah, termasuk hutan yang
dikuasai dengan hak yang bersifat Publik oleh pemerintah swapraja. Tanah-tanah
inilah yang oleh pemerintah swapraja diberikan kepada pihak lain dengan hak-hak
yang dikenal di swapraja yang bersangkutan.
Pada tanggal 24 September 1961, berdasarkan Keputusan
Menteri Agraria, dimulailah penguasaan tanah-tanah yang dikuasai dengan
melebihi batas luas maksimum oleh negara. Pelaksanaannya dilakukan dengan
berangsur-angsur, setelah ditetapkan bagian atau bagian-bagian mana yang tetap
menjadi tanah hak pemilik dan mana yang akan dikuasai oleh Pemerintah.
Jadi
berdasarkan bagian kedua pada diktum IV Huruf A UUPA, bahwa hak-hak dari
swapraja dan bekas swapraja sejak berlakunya UUPA dihapus dan beralih kepada negara dan pengaturan lebih lanjut hak hak
dari swapraja dan bekas swapraja diatur dengan peraturan pemerintah.
Subyek
hukum yang dapat memiliki tanah bekas swapraja atau tanah Pemerintah Kerajaan menurut
UUPA (pasal 21 ayat (2) adalah badan hukum yang diatur oleh PP No 38 tahun 1963
tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah
meliputi:
a) Badan hukum sosial,
b) Badan hukum keagamaan,
c) Koperasi pertanian, dan
d) Bank pemerintah.
Bagaimana
dengan Kesultanan apakah termasuk subyek hukum ? Kesultanan adalah dianggap oleh negara bukan
subyek hukum atau subyek hak atas tanah hak milik menurut UUPA. Lebih lanjut,
aturan pelaksanaan Diktum IV UUPA antara lain adalah:
Terdapat
dua ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja
yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian ganti rugi ditetapkan 19 September 1961 (Pejabat Presiden RI
–J.Leimena), dalam konsideran menimbang:bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform
perlu diadakan peraturan tentang pembagian tanah serta soal-soal yang
bersangkutan dengan itu.dan Memperhatikan: hasil-hasil kesimpulan Seminar
Landreform di Pusat dan di Daerah-daerah.yaitu:
1. Tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/ bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (Pasal 1 huruf c).
2. Berdasarkan
Pasal 4. ayat 1:
Tanah
Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A Undang-undang
Pokok Agraria beralih kepada Negara,
diberi peruntukan, sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk
mereka yang langsung dirugikan karena
dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 4 ayat 2. Tanah untuk kepentingan
Pemerintah, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, ditetapkan menurut
keperluannya oleh Menteri Agraria.
Pasal 4 ayat 3. Tanah yang diperuntukkan
bagi mereka yang langsung dirugikan, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1
pasal ini, letak dan luasnya ditetapkan
oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka tanah swapraja/ bekas
swapraja dibagi dengan konsep Land Reform kepada para penggarap salah satunya
diatur PEMBERIAN HAK MILIK DAN SYARAT-SYARATNYA
Pasal 14 ayat 1 PP No 224 Tahun 1961. Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik secara definitip menurut
ketentuan prioritet tersebut pada Pasal 8 ayat 1, maka para petani yang
mengerjakan tanah-tanah yang disebut dalam pasal 1 huruf a, b dan c (bekas
swapraja), diberi izin untuk mengerjakan tanah yang bersangkutan untuk paling lama
dua tahun, dengan kewajiban membayar sewa kepada Pemerintah sebesar 1/3
(sepertiga) dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Kemudian
dikenal dengan tanah garapan yang kemudian apabila penggarap selama ini tetap
penguasaan fisik tanah dan digarap selama 20 Tahun atau lebih berturut berhak
untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah tersebut (Pasal 24 ayat (2) PP
No 24 Tahun 1997), dengan surat
pernyataan pemohon dan biasanya didalam surat pernyataan itu ada klasul hukum: “bahwa apabila kemudian hari ternyata diatas tanah tersebut sudah pernah
diterbitkan sertifiikat atas tanah baik atas nama diri sendiri mau[un atas nama
orang lain, maka saya bersedia mencabut dan membatalkan Surat Pernyataan ini” Tetapi
apabila yang dimaksudkan adalah pembuktian hak baru, maka harus tunduk dengan
prosedur Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi pendaftaran untuk pertama kali menurut
kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 atau PP No 24
Tahun 1997.
Menurut
Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah
untuk selanjutnya dibagikan kepada para petani yang membutuhkan itu, tidak
disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian ini merupakan perwujudan dari
pada azas yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional kita, yang mengakui adanya
hak milik perorangan atas tanah.
Peraturan
pemerintah No. 224 tahun 1961 mencantumkan ketentuan-ketentuan mengenai ganti
kerugian kepada bekas pemilik tanah sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA.
Pada
pasal 7 UUPA menyatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
Pasal 17 UUPA menyatakan: “
Pasal 17
(1)
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7
maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas
maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2)
Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu
yang singkat.
(3)
Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat
(2) pasal ini diambil oleh Pemerintah
dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah.
(4)
Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan,
dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pemberian ganti kerugian kepada para bekas pemilik tanah
yang diambil oleh Pemerintah, baik karena melebihi luas maksimum ataupun karena
absentee, merupakan ciri pokok landreform Indonesia, demikian dikatakan oleh
Prof. Boedi Harsono.
Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ketentuan ini diambil oleh Pemerintah untuk dibagi-bagikan
kepada yang berhak atau di pergunakan oleh Pemerintah sendiri, diberikan ganti
kerugian, yang besarnya ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.
Jadi redistribusi tanah yang menjadi objek Landreform
adalah, pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh
Pemerintah, karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum,
absentee, tanah swapraja/bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi
syarat untuk menerima distribusi tanah
tersebut.
Pasal 18 UUPA Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Pada sisi lain, pelaksanaan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 telah dilaksanakan tidak sesuai dengan
ketentuan yang disyaratkan oleh ketentuan itu sendiri. Menurut Peraturan
Pemerintah tersebut, terhadap tanah swapraja dan bekas swapraja yang beralih
kepada negara, diberi peruntukan; sebagian untuk kepentingan Pemerintah,
sebagian untuk kepentingan mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya
hak swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini.
Lebih lanjut ditentukan, bahwa; tanah yang diperuntukan
bagi mereka yang langsung dirugikan, letak dan luasnya ditetapkan oleh Menteri
Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Patut perlu diketahui, bahwa penguasaan tanah bekas
swapraja berubah status hukumnya menjadi tanah negara sebenarnya sudah
dilakukan secara sistimatis oleh negara RI 17 Agustus, yaitu sejak tahun 1953, dan
faktanya tanah-tanah bekas swapraja sebagai hak-hak atas lama itu, kenyataanya
oleh para ahli waris tidak pernah didaftarkan untuk pertama kali atau tidak
pernah dikonversi setelah terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1961.
Jadi sejak kapan berkembang Istilah dan pengertian tanah negara ? secara historis yuridis
pertama kali diatur dalam PP Nomor 8
Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai
penuh oleh Negara.
Menurut Pasal 2, Kecuali jika penguasaan atas
tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, telah
diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka
penguasaan atas tanah Negara ada dalam penguasaan Menteri Dalam Negeri.
Menurut Pasal 3, ayat (1) Di dalam hal penguasaan
tersebut dalam Pasal 2 ada pada Menteri Dalam Negeri, maka ia berhak:
a.
menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4;
b.
mengawasi agar supaya tanah Negara tersebut
dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut
ketentuan tersebut dalam Pasal 8.
Menurut Pasal 3 ayat (2) Di
dalam hal penguasaan atas tanah Negara pada waktu mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah ini telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah
Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam Negeri pun
berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak
menurut ketentuan dalam Pasal 8.
Menurut
Pasal 4, Penguasaan sebagai dimaksud dalam
Pasal 3 ayat 1 sub a diserahkan kepada:
1. sesuatu Kementrian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementrian
atau Jawatan itu,
2. sesuatu Daerah
Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya, satu dan lain
dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.
Dengan
latar belakang seperti itu, serta dengan mengacu kepada pendapat Prof. Boedi
Harsono, SH, mengenai syarat suatu daerah untuk dapat disebut sebagai daerah
swparaja/bekas swapraja, juga Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 dan
kemudian membandingkannya dengan pelaksanaan re-distribusi terhadap tanah-tanah
itu, adalah wajar bila terjadi penolakan keras oleh pihak eks. Kesultanan-
kesultanan di Indonesia atas tindakan yang dilakukan Pemerintah Republik
Indonesia terhadap tanah milik ahli waris
Kesultanan.
Jadi
pelaksanaan ketentuan Diktum ke IV huruf A UUPA dan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, mengenai tanah-tanah swapraja/bekas swapraja
di wilayah Eks Kesultanan-kesultanan Di Kalimantan Barat, khususnya terhadap
tanah-tanah eks Kesultanan Pontianak, telah menimbulkan “konflik pertanahan” yang
berkepanjangan, kerena tidak adanya kejelasan mengenai status tanah tersebut,
apalagi keberadaan tanah diluar kota Pontianak, seperti wilayah hukum daerah
otonom Kabupaten Kubu Raya.
Hingga
saat ini belum juga bisa diambil suatu kesimpulan yang tegas, apakah DIKB
bubar atau dibubarin atau diambil alih oleh NKRI (Negara 17
Agustus 1945) Secara historis, politis maupun yuridis, Kesultanan Pontianak,
sebagai bagian yang bergabung dalam DKIB dan sebagai daerah Swapraja atau bekas
Swapraja sebenarnya tidak pernah dikuasai oleh Hindia Belanda, karena sepanjang
sejarah berdirinya kekuasaan Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan Barat,
khususnya Kesultan Pontianak merupakan suatu daerah yang merdeka dalam arti
yang sesungguhnya, karena tidak pernah disentuh oleh kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda.
Mengingat
konflik pertanahan ini telah berlangsung sangat lama, dan hingga kini tidak
juga tercapai kesepakatan mengenai status tanah tersebut, maka perlu dibentuk
suatu Team Peneliti Penyelesaian Kasus Tanah Eks Kesultanan-Kesultanan di
Kalimantan Barat, khususnya eks Kesultanan Pontianak. Team peneliti tersebut
hendaknya, terdiri dari unsur-unsur Akademisi (Perguruan Tinggi) yang paham
hukum agaria, Pemerintah Kota Pontianak dan Pemerintah Kab dimana tanah
kesultanan Pontianak berada/Pusat, serta lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau
Yayasan–yayasan dan avokad/pengacara/ dan notaris yang peduli dengan
tanah-tanah bekas swapraja sehingga hasilnya akan benar-benar objektif dan
adil.
Adalah
tidak mungkin untuk mengembalikan tanah-tanah eks Kesultanan-Kesultanan di
Kalimantan Barat, mengingat keadaan dan kondisi tanah itu yang saat ini telah
dihuni dan dimiliki oleh demikian banyak pihak yang notabene juga kesulitan
untuk mengurus hak milik atas tanah tersebut, karena riwayat tanah adalah tanah
bekas swapraja dan milik ahli waris Kesultanan Pontianak, oleh karena itu untuk
kepastian hukum dan perlindungan hukum semua pihak secara adil, perlu ada
tindakan hukum oleh BPN untuk melaksanakan tertib hukum pertanahan dan tertib
administrasi pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Adalah
tidak adil “negara mengambil alih tanpa ganti rugi dan kepastian hukum atas
tanah tersebut”. Apabila telah didapat
ketegasan mengenai status tanah itu oleh Team Peneliti,maka terhadap
pihak eks Kesultanan-Kesultanan di Kalimanatan Barat, khususnya eks ahli waris
Kesultanan Pontianak, harus diberikan kompensasi sebagai ganti rugi yang telah
dialaminya. Atau apabila kesimpulan Team Peneliti berbeda dengan kesimpulan
ini, maka setidak-tidaknya, pihak eks Kesultanan-Kesultanan di
Kalimantan-Barat, khususnya eks kesultanan Pontianak tetap harus mendapatkan apa yang menjadi
haknya, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961.
Disamping
itu sampai dengan adanya ketegasan mengenai status tanah tersebut, sebaiknya
tidak dilakukan tindakan apapun juga terhadap tanah itu, khususnya yang bersifat
pemindah-tanganan ,kepemilikan ataupun pendaftarannya.
Penyelesaian
yang diusulkan ini dilakukan semata-mata untuk mencari kebenaran dan memberikan
rasa keadilan terhadap semua pihak, disamping itu juga agar ada predikat Kalimantan Barat “dirampok oleh NKRI”, dan tidak terciderai
dengan “konflik pertanahan” yang tak kunjung berakhir antara Pemerintah dengan
rakyatnya. Dengan adanya kejelasan mengenai status tanah-tanah itu, akan
meningkatkan pula minat investor untuk melakukan investasi di Kalimantan Barat yang
selama ini mungkin terhambat karena hal tersebut. Inilah salah satu sebab
banyaknya terbit sertifikat “ganda” atau sertifikat tanah produk BPN
melayang-melayang mencari tanah dan bermasalah ketika pengembalian batas atau
rekonstruksi balik batas tanah setelah terjadi peralihan hak.
Hasil
pemetaan Yayasan Sultan Hamid II saat ini bermunculan surat-surat dengan kop
Pemerintahan Kerajaan Pontianak, karena Arsip Pemerintah Belanda setelah
seratus tahun membuka dokumen-dokumen lama untuk bisa diakses oleh publik, oleh
karena sebelum masalah ini menjadi “bumerang” bagi para pihak dan Pemerintah
Daerah/Kab serta BPN di Kalimantan Barat, perlu diadakan Simposium atau Seminar
Nasional/Daerah atau Team Riset yang komprehensif untuk mencari penyelesaian
masalah pertanahan di daerah Kalimantan Barat.