KETIDAKADILAN DALAM BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN NILAI SILA KELIMA PANCASILA DAN PASAL 33 UUD 1945
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id
Ada satu bahan renungan, bahwa konon, Phoenix, seekor burung dalam mitos akan menemui ajalnya dengan terbakar habis. Dari sisa- sisa abu jasadnya, Phoenix kemudian bangkit kembali dan akan hidup sampai seribu tahun. Siklus tersebut terjadi berulang- ulang sehingga Phoenix dianggap sebagai burung abadi[1]. Rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia, pada bagian dadanya terdapat perisai yang memuat lima lambang filosofi hidup berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Sebagai filosofi hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila seharusnya juga menjadi nilai- nilai yang menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang- undangan Republik Indonesia.
Coba kita baca secara cermat alahkah ideal cita hukum Indoensia pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih lanjut Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan menyatakan: Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.
Ketentuan di atas seharusnya menjadi dasar ketika merumuskan materi muatan peraturan perundang-undangan, bahkan salah satu asas materi muatan peraturan perundang-undanganpun menyaratkan adanya ASAS KEADILAN dan berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004 makna asas dimaksud: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Mari kita analisis materi muatan peraturan perundang-undangan apakah sudah menjabarkan esensi ketentuan di atas khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfatan sumber daya alam di bumi Indonesia, apakah sudah terinfeksi virus neo liberal.
Peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam ternyata banyak yang bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila terutama nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Esensi dari peraturan perundang- undangan tersebut umumnya adalah mencari pemasukan sebanyak- banyaknya melalui pemanfaatan sumber daya alam dengan mempermudah ijin, memberikan kebebasan bagi siapa pun untuk bersaing memperebutkan ijin atas pencarian, pengambilan dan pengelolaan dan memberikan kemudahan dan keringanan bagi pemegang ijin. Di sisi lain, masyarakat setempat tidak diberikan dukungan yang cukup untuk menjadi pihak yang terutama dalam menikmati sumber daya alam yang berada di daerah tempat tingggalnya. Hal tersebut merupakan pengkhianatan (atau lebih ekstrim lagi: pembunuhan) terhadap Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak dibiarkan hidup dalam esensi peraturan perundang- undangan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Pancasila “dibunuh” oleh para pembentuk undang- undang, “jasadnya dibakar habis” dan diganti dengan filosofi Neo- liberalisme[2]. Sementara segelintir orang menikmati upah perselingkuhan dengan Neo- liberalisme, lebih dari puluhan juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan menanti Pancasila bangkit kembali dari sisa- sisa abu jasadnya, mengalahkan Neo-liberalisme dan mengantarkan rakyat Indonesia kedalam kesejahteraan. Jika tidak demikian maka penyelenggara negaranya "bingung", Rakyatnya 'bingung", Yang penting bisa tertawa tetapi sesungguhnya sedang mentertawakan dirinya sendiri, yaitu bangsa Indoensia.
Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Kehutanan
Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan hutan di Indonesia. Dalam Pasal 29 tercantum bahwa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Sepintas lalu rumusan Pasal 29 tersebut tampak memberikan kesempatan yang sama kepada perorangan dan koperasi untuk dapat memperoleh izin pemanfaatan hutan tetapi rumusan tersebut menyimpan filosofi kebebasan bersaing. Bagaimana perorangan atau koperasi jika bersaing langsung dengan badan usaha milik swasta?. Kemungkinan besar perseorangan atau koperasi akan kalah bersaing dengan badan usaha milik swasta. Selain itu, seharusnya dalam undang- undang kehutanan dicantumkan ketentuan yang memberikan jatah untuk perorangan dan koperasi dengan persentase tertentu dari kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Dengan demikian pemanfaatan hutan dan hasil hutan tidak didominasi oleh badan usaha milik swasta dan memberikan jaminan kepastian ketersediaan akses pemanfaatan hutan bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, bahkan unit usaha kelas menengah.
Selain mengenai kebebasan bersaing dalam mendapatkan izin dan tidak adanya jatah khusus bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, hak masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan juga dibatasi dengan ketentuan Pasal 67 dimana masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa untuk melakukan usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan, masyarakat adat harus mendapatkan izin (sebagaimana usaha perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta dan badan usaha milik pemerintah). Hal tersebut tentunya menghambat masyarakat adat untuk mencapai kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam di lingkungan tempat tinggalnya. Sebaiknya masyarakat adat diberikan prioritas untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan dalam ‘area jatah 33-50 %’ dalam alinea diatas serta diberikan kemudahan dalam hal izin.
Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Minyak dan Gas
Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas bumi di Indonesia. Dalam Pasal 9 ayat (2) tercantum bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1), kegiatan Usaha hulu mencakup ekplorasi dan eksploitasi. Pertanyaan nya: apakah Bentuk Usaha Tetap itu?. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) c Undang- Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Bentuk Usaha Tetap adalah: bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu badan usaha asing cukup dengan mengirimkan perwakilan sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai ‘Bentuk Usaha Tetap’ tanpa perlu mendirikan badan usaha berdasarkan hukum Indonesia sudah dapat melaksanakan kegitan pencarian dan penambangan minyak dan gas bumi! Apa- apaan ini?. Bukankah ini sama dengan mempermudah badan usaha asing untuk memanfaatkan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Indonesia?. Hal tersebut membuat badan usaha Indonesia akan menghadapi persaingan lebih berat. Mengapa pembentuk undang- undang tidak memberikan proteksi dan prioritas bagi badan usaha milik warga negara Indonesia?.
Dalam Pasal 22 ayat (2) dicantumkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengapa hanya 25 %? seharusnya tidak boleh kurang dari 50 %, bukankah minyak dan gas bumi tersebut milik Indonesia?. Kemudian dalam Pasal 28 ayat (2) dicantumkan bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Bukankah ini merupakan asas kebebasan bernegosiasi atau kebebasan dalam menyusun kontrak?. Mengapa rumusan pasal tersebut begitu mengambang dan tidak tegas?. Mengapa tidak dirumuskan bahwa standar harga Bahan Bakar Minyak Bumi tidak boleh lebih rendah dari standar harga OPEC (Organization of the Petroleum Exporter Counry)/ Organisasi negara- negara pengekspor minyak. Untuk penentuan harga gas bumi memang belum ada standar baku tetapi dapat dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh negara- negara angggota GECF (Gas Exporting Country Forum)/ Forum negara- negara pengekspor gas.
Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Pertambangan
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara merupakan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pemanfaatan mineral dan batu bara di Indonesia. Dalam Pasal 22 f dicantumkan bahwa salah satu kriteria bagi suatu lokasi untuk ditetapkan sebagai wilayah pertmbangan rakyat (WPR) adalah merupakan wilayah atau tempat kegitan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang- kurangnya lima belas tahun. Jika demikian maka lokasi tersebut kemungkinan besar sudah tidak produktif lagi. Selain itu jangka waktu Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi untuk pertambangan dalam Pasal 47 juga terlalu lama. IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam, batu bara dan mineral bukan logam jenis tertentu adalah paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing sepuluh tahun, sehingga total keseluruhan dapat mencapai empat puluh tahun. Sedangkan untuk IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam adalah paling lama sepuluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing lima tahun, sehinggga total keseluruhan dapat mencapai dua puluh tahun. Dengan periode selama itu maka kemungkinan besar ketika IUP berakhir maka pertambangan sudah tidak produktif lagi selain itu keuntungan hanya akan dinikmati segelintir pihak saja dan kurang mendukung pemerataan.
Pada Pasal 51 dicantumkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dengan cara lelang. Dengan mekanisme lelang memang pemerintah akan mendapatkan penawaran tertinggi tetapi hal tersebut membuat daya saing koperasi dan perseorangan lebih lemah dari pada badan usaha yang umumnya bermodal besar. Seharusnya pembentuk undang- undang memberikan jatah untuk koperasi dan perseorangan dengan persentase tertentu dari luas wilayah ijin usaha pertambangan yang ditetapkan setiap tahunnya. Akan sangat baik jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Mekanisme lelang dapat dipertahankan tetapi koperasi dan perseorangan tidak berhadapan langsung dengan badan usaha dalam suatu lelang. Akan lebih adil jika badan usaha bersaing dengan badan usaha, dan koperasi atau perseorangan dengan koperasi atau perseorangan lainnya.
Kesamaan Masalah Pada Undang- Undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sebagai undang- undang yang mengatur pemanfaatan tiga sumber daya alam andalan Indonesia kesemuanya sarat dengan asas Neo- Liberalisme: kebebasan bersaing, kebebasan bernegosiasi dalam kontrak. Selain sarat dengan asas Neo- Liberalisme, ketiga undang- undang tersebut tidak memiliki suatu ‘jaring pengaman’ atau jaminan pelindungan yang memadai bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Bahkan terdapat indikasi bahwa ketiga undang- undang tersebut mempermudah masuknya badan usaha asing dan memberikan keuntungan yang terlaluu besar pada badan- badan usaha asing tersebut.
Dimanakah Asas Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial?
Dominannya asas Liberalisme dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara membuat saya berpikir: dimanakah nilai- nilai Pancasila khususnya ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang seharusnya menjadi dasar pembentukan ketiga undang- undang tersebut? Dimanakah nilai kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945?.
Bukankah Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan?, lalu dimanakah asas kekeluargaan tersebut dalam ketiga undang- undang tadi?.
Bukankah, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat?, lalu mengapa mekanisme penetapan harga cenderung merugikan pemerintah?, mengapa kewajiban pemegang izin usaha eksplorasi dan eksploitasi begitu ringan?, apakah ini norma hukum yang berbasihkan pada visi dan misi para pendiri negara ini atau norma hukum pesanan bangsa lain, apakah ini bukan penjajahan jenis baru bagi bangsa Indonesia ? silahkan para penstudi hukum menganalisisnya, karena seharusnya hukum itu memberikan kebahagian bagi bangsa Indonesia, tetapi mengapa menjadi bomerang bagi bangsa Indonesia.
Kerinduan Akan Nilai- Nilai Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat: Sebuah Penantian
Akhirnya sampai dengan saat ini, rakyat Indonesia sedang merindukan nilai- nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat untuk menjadi landasan pembentukan peraturan perundang- undangan. Rakyat Indonesia masih menanti- nanti kebangkitan kembali Pancasila sebagai landasan hukum Indonesia. Penantian yang entah sampai kapan akan tergenapi.
[1] Thomas Bulfinch, 1913, Bulfinch’s Mythology: the Age of Fable or Stories of Gods and Heroes, Thomas Y. Crowell Company, New York, hlm.287-288.
[2] Istilah Neo- liberalisme digunakan untuk menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pasar dengan penekanan pada efisiensi, selera konsumen, pemikiran transaksional, dan otonomi individu. Dengan otonomi individu/ kebebasan menentukan pilihan maka negara dan korporasi lepas dari tanggung jawab atas risiko yang terkandung dalam pilihan yang dibuat oleh individu tersebut. Lihat: Aihwa Ong, 2006, Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty, Duke University Press, Durham, hlm.1.
7 komentar:
Nama:Andy harisandi
Nim :A11108047
Saya sangat setuju dengan pendapat bapak.
Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sepertinya hanya diperuntukkan untuk mereka pengusaha besar dan mempunyai modal yang banyak pula. sepertinya ini hanya untuk memperkaya segelintir orang atau kelompok tertentu.
namun bagaimana dengan ASAS KEADILAN itu sendiri yang seharusnya menjadi dasar ketika merumuskan materi muatan peraturan perundang-undangan. dan dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004 makna asas dimaksud: Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
kenapa hal ini bisa terjadi?? dan kenapa pula dibiarkan terus berlarut-larut?? bagaimana tanggapan wakil rakyat yang ada disana?? apa mereka tidak tahu atau tidak mau tau??
begitu banyak problema dinegeri ini, dan mereka para wakil rakyat hanya mempermasalahkan gedung baru mereka..
bagaimana nasib rakyat kecil yang merindukan kesejahteraan , seperti yang dijanjikan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945??
padahal negeri dan bangsa ini kaya akan budaya dan hasil alamnya, namun bagaimana dengan pembangunannya?? kenapa kita bisa kalah jauh dengan negara tetangga kita malaysia??
jika ini terus berlarut, mau dibawa kemana negara dan bangsa ini. padahal pemimpin telah beberapa kali berganti, tetapi sepertinya cita-cita pada alinea keempat pada UUD 1945 itu hanya isapan jempol belaka.
negara dan bangsa ini seperti: "ayam mati dilumbung padi."
kepada mereka yang memegang kekuasaan cobalah turun kejalan lihat-lihat situasi apa yang sedang terjadi, be4rikanlah rasa keadilan.
jangan menunggu rakyat turun berdemo dijalan baru tahu apa yang terjadi.
tidak adakah dinegeri ini seorang pemimpin yang bisa memberikan rasa keadilan kepada rakyat kecil...
nama: kunti rosita
nim : A01110202
Sepertinya indonesia memang sudah terkena virus neo liberal. Sebab Indonesia sudah melanggar asas keadilan yang tercantum dalam pasal 6 ayat 1 undang-undang 10 tahun 2004.
Mengenai UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Izin mengenai usaha seharusnya tidak boleh diberikan kesempatan yang sama antara Badan Usaha Milik Negara dan Badan usaha Milik Swasta. karena ini akan merugikan negara kita. Apalagi presentase keuntungan yang kecil.
selanjutnya UU Nomor 24 Tahun 2001, Diizinkannya Badan Usaha Asing melaksanakan usaha di Indonesia akan menyaingi Badan Usaha milik Negara.
Dan masih banyak peraturan yang tidak adil didalam peraturan perundang undangan yang bukan mensejahterakan rakyat tetapi malah menyengsarakan rakyat.
bahkan bumi, air, dan kekayaan alam yang seharusnyamemakmurkan rakyat, tetapi tetap tidak dapat memakmurkan rakyat.
NAMA : AHMAD WIDODO
NIM : A11108030
Memang sangat menyedihkan hati, ketika kita melihat ketidakadilan yang terjadi dan sangat bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan di negri ini, dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal tidak sesuai lagi dengan Pembukaan UUD 1945, pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial.
Kepedulian terhadap “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta perundang-undangan masih dapat dijadikan media pencerah bangsa.
Ketika bicara tenteng keadilan di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak ketimpangan dan ketidakadilan muncul dalam panggung pengadilan.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan para koruptor dan para penjajah ekonomi di negeri ini begitu mudah mendapatkan keadilan, bahkan seolah nyaris tidak tersentuh hukum. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran. Itukah yang di sebut nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia......???
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hampir setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangsa kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia Indonesia, keteraturan nilai- nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang kita harapkan tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang mustahil dilakukan (mission impossible).
NAMA :Erik Mahendra Pratama
NIM :A11107369
Pemerintah didalam segala hal hendaknya cepat didalam menangani masalah ini, apalagi menyangkut masalah sebuah peraturan yang dimana tidak adanya azas keadilan.
UU yang dibuat jangan memihak
kenapa hal ini dibiarkan berlarut-larut seakan adanya unsur kesengajaan, untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok.
kekayaan alam dinegeri sangatlah banyak dan beraneka ragam, apabila dikelola secara baik dan pengawasan yang ekstra tentunya akan berdampak baik bagi masyarakat dan pembangunan dinegara ini.
tapi sayang semua yang diimpikan bangsa dan negara ini seperti tertuang dipembukaan UUD45 hanya angan-angan belaka. terlebih lagi pada kondisi dilapangan banyak praktek penyimpangan guna memperkaya diri sendiri dan mendapatkan kekuasan bagi seseorang maupun sekelompok orang.
negara dan bangsa ini sudah sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negara lain.
UU yang masih belum memenuhi azas haruslah cepat diperbaiki dan dikeluarkan yang baru, sehingga negara tidak mengalami kerugian yang lebih besar dan terciptanya keadilan. sehingga usaha menengah dan bawah dapat bersaing dengan usaha yang besar, dan masing-masing usaha tersebut haknya terlindungi.
Posting Komentar