MEMETAKAN MASALAH KEUANGAN DESA
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Selama ini keuangan Desa ditopang
dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli Desa (pungutan, hasil kekayaan
Desa, gotong-royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah.
Namun, secara empirik, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan
Desa.
Pertama, besaran anggaran
Desa sangat terbatas. PADes sangat minim, antara lain karena Desa tidak
mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber
keuangan Desa. Karena terbatas, anggaran Desa tidak mampu memenuhi kebutuhan
kesejahteraan perangkat Desa, pelayanan publik, pembangunan Desa apalagi
kesejahteraan masyarakat Desa. Anggaran Desa sangat tidak mencukupi untuk
mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dengan
kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan pemerintah supraDesa dengan
pemerintah Desa.
Kedua, ada kesenjangan antara
tanggung-jawab dan responsivitas dengan partisipasi masyarakat dalam anggaran
Desa. Partisipasi masyarakat dalam anggaran pembangunan Desa sangat besar, sementara
tanggungjawab dan responsivitas sangat kecil. Sebagian besar anggaran
pembangunan Desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh
gotong-royong atau swadaya masyarakat.
Sementara besaran dana dari
pemerintah sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan
(mobilisasi) dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga
masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami
kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan
dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.
Ketiga,
skema pemberian dana pemerintah kepada Desa kurang mendorong pemberdayaan. Dulu
ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes) selama 30 tahun yang dibagi secara
merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999), yang sudah
ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga Desa tidak bisa secara leluasa dan
berdaya menggunakan anggaran.
Lagipula alokasi dana yang sama-merata
kepada seluruh Desa hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak mencerminkan
aspek keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi Desa) dan keadilan.
Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan
memperoleh alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes,
skema seperti itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan
pemerintah atas Desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan
kemandirian Desa.
Selain Bandes yang sudah melegenda,
masih ada banyak skema bantuan proyek masuk Desa, mulai dari IDT, P3DT, KUT,
PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Proyek-proyek (yang silih berganti) yang
bersifat bagi-bagi uang selalu menimbulkan masalah, sehingga dana menjadi
sia-sia. Selain itu, skema bantuan proyek selalu mempunyai birokrasi dan
mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks perencanaan lokal (Desa dan
daerah) dan kebutuhan lokal.
Pemerintah daerah (kabupaten/kota)
juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah
(Desa). Baik APBN maupun APBD umumnya kurang perhatian pada Desa. Sebesar 60% -
70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja
rutin).
Sisanya, sebesar 30% hingga 40%
anggaran daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi
kasarnya sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk
belanja langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan
tersebut, jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa pfalon: 20% plafon
politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan,
kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya);
dan 10% untuk plafon spasial Desa melalui ADD.
Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana
fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari
komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap
Desa dan orang miskin di Desa sangat lemah.
Keterbatasan keuangan Desa tersebut
menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari
kalangan pemerintah Desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan
“sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang Desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang
positif.
Pada masa Undang-undang lama maupun
UU No. 22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk
mendukung keuangan Desa, meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan
hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa Desa tidak mempunyai hak atas uang
negara.
Meski UU 22/1999 belum memberikan
amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada Desa secara jelas, tetapi
sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan
kebijakan alokasi dana Desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah yang lebih
besar daripada bantuan keuangan sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman yang baik dari
banyak daerah ini diadopsi dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004
memperbaiki kelemahan yang terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah
konsep “bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk
memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah
kabupaten/kota.
Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD)
tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan bahwa salah
satu sumber keuangan Desa adalah “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10%
(sepuluh per seratus), setelah dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya
untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana Desa”. Klausul regulasi inilah yang dijadikan
sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD tersebut tentu merupakan amanat
peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua
kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin
banyak kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD. ADD tentu
memberikan suntikan darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan
masyarakat Desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu (integrasi)
dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal
dari utang seperti PPK.
Pengalaman, tujuan dan manfaat ADD di
berbagai daerah sejak 2001 memang sangat beragam. Lebih banyak banyak kabupaten
yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan istilah
perimbangan keuangan atau alokasi dana Desa (ADD), dengan cara mereplikasi
formula perimbangan keuangan. Sampai tahun 2004, akhir baru sekitar 40
kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi dana Desa dengan merujuk
pada UU No. 25/1999, yang kemudian disusul oleh kabupaten-kabupaten lain sejak
keluar PP No. 72/2005.
Inovasi baru ini memang tidak lepas
dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif
populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis
dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil
maupun asosiasi Desa. Sejak 2005/2006-2012, tidak ada alasan bagi pemerintah
daerah untuk membuat kebijakan ADD karena sudah memperoleh amanat, namun masih
banyak kebupatan yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga
belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.
Tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari
banyak masalah. Salah satu masalah yang muncul adalah keterpisahan antara
perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan perencanaan Desa. Ketika ide ADD
mulai digulirkan umumnya birokrasi kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis
yang mengendalikan kebijakan dan anggaran pembangunan sektoral, melakukan
resistensi yang keras, bukan karena visi jangka panjang, tetapi karena mereka
merasakan bakal kehilangan sebagian kapling.
Keenganan secara psikologis
dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut ketika ADD dilancarkan. Dengan
berlindung pada ADD, atau karena Desa telah memiliki dana tersendiri,
dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif pada kebutuhan Desa. Di
sisi lain, masalah juga muncul di Desa, terutama masalah lemahnya akuntabilitas
pemerintah Desa dalam mengelola ADD.
Karena itu beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD
atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir)
terhadap akuntabilitas keuangan Desa, sehingga memaksa mereka membuat
rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak
sesuai dengan prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block grant.
Meskipun banyak masalah dan distorsi
yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga
yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa.
Pertama, pengalaman ADD telah
mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah
supraDesa ke Desa.
Kedua, ADD telah mendorong
efisiensi penyelenggaraan layanan publik, kesesuaian program dengan kebutuhan
lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
Ketiga, ADD sangat relevan dengan
salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih
dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten
menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan Desa lebih bermakna dan
dinamis. Secara kelembagaan ADD telah
membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola
perencanaan Desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan perencanaan
pembangunan kepada masyarakat Desa, dan sebaliknya, masyarakat Desa mempunyai
akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan.
Keempat, ADD menjadi arena baru
bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi.
Namun dana ADD tentu tidak sebanding
dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Desa, sehingga
berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air laut”. Dana
sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas dangat tidak cukup untuk mengatasi
masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak serta-merta
menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Pemeriksaan PERATURAN
MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PENGAWASAN ATAS
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA hal yang berkaitan dengan Keuangan
Desa
yang diperiksa adalah sebagai berikut:
a. Periksa apakah ada Peraturan
Daerah yang mengatur tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa.
b. Jika ada, periksa apakah
Peraturan Daerah tersebut telah didukung dengan Peraturan Bupati tentang
penetapan Alokasi Dana Desa.
c. Periksa apakah penetapan
Alokasi Dana Desa telah mempertimbangkan faktor pemerataan, keadilan, serta
potensi desa.
d. Periksa apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa telah memuat sumber‑sumber
pendapatan desa, yaitu :
1) Pendapatan asli desa;
2) Bagi hasil pajak daerah dan
retribusftertentu;
3) Bagian dari dana perimbangan
keuangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi
yang diterima oleh Kabupaten;
4) Bantuan Keuangan dari
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten;
5) Hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak
mengikat.
e. Periksa apakah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa telah melalui pembahasan dan disetujui bersama oleh
Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
f. Periksa apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa telah ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Desa.
g. Periksa apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa telah didukung
dengan rencana kegiatan desa.
h. Periksa apakah bantuan Keuangan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten telah disalurkan
melalui Kas Desa.
i. Periksa apakah Desa telah
menerima alokasi dana perimbangan desa dari bagi hasil pajak daerah, retribusi
tertentu, bagian dari dana perimbangan
keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi sesuai periode yang ditetapkan.
j. Periksa apakah realisasi
penerimaan dana desa tersebut telah sesuai dengan perhitungan sebagaimana
mestinya.
k. Periksa apakah penggunaan
Alokasi Dana Perimbangan Desa telah mengacu pada komposisi:
- Minimal 60% digunakan untuk
pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana desa;
- Maksimal 30% digunakan
untuk pembiyaan operasional aparatur desa dan Badan Permusyawaratan Desa;
- Maksimal 10% digunakan
untuk bantuan kepada lembaga kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang diakui Pemerintah Desa.
l. Periksa apakah ada sumber
pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa diambil oleh
pemerintah atau pemerintah provinsi.
m. Periksa apakah ada sumber
pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi namun masih
ada pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.
n. Periksa apakah sudah semua
jenis pengeluaran sesuai dengan Rencana kegiatan Desa yangtertuang dalam
dokumen anggaran belanja desa.
o. Periksa apakah telah dilakukan
evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kegiatan desa.
p. Periksa apakah Kepala Desa
telah membuat dan menyampaikan laporan penggunaan dana alokasi desa secara
berkala kepada Bupati/Walikota.
q. Badan Usaha Milik Desa.
- Periksa apakah pemerintah
desa membentuk Badan Usaha Milik Desa dan apakah telah ditetapkan dengan
peraturan desa.
- Periksa apakah tata cara
pembentukan dan pengelolaannya telah disesuaikan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
- Periksa apakah kontribusi
(bagi hasil usaha) yang diterima desa telah sesuai dengan perjanjian dan cek
apakah telah disetorkan ke rekening desa
1 komentar:
NAMA: RADINUS
NIM: A1011131216
KELAS; C REGULER A
MATA KULIAH: ILMU NEGARA
SEMESTER: 1 ANGKATAN 2013
Inpres Bandes tahun 1999 menurut saya memang kurang efektif dalam hal pelaksanaannya. salah satu yang menjadi kendalanya adalah aliran dana untuk seluruh desa yang berjumlah sama. sehingga dalam hal ini tidak terdapat perbedaan antara desa yang kaya dengan desa yang miskin seperti yang dijelaskan diatas.
Asumsi saya mengenai hal ini adalah semakin memperparahnya kesenjangan antara desa yang kaya dengan desa yang miskin.
logikanya, desa yang kaya bisa meminimalisir bahkan sudah mampu mengendalikan disetiap kekurangan yang ada didesa tersebut karena dari segi anggaran desa itu sendiri bisa menutupi sebagian atau bahkan seluruh keperluan desa, sehingga dalam penggunaan anggarannya lebih efektif dan efisien.
sedangkan desa yang miskin masih belum bisa mengendalikan keperluan desanya karena dari segi anggaran yang dimiliki oleh desa tersebut belum cukup bahkan bantuan dana dari pemerintahanpun tidak bisa mencukupi. sehingga dalam hal ini desa yang miskin memiliki keterbatasan pengelolaan desa karena keterbatasan anggaran.
dengan kata lain, desa yang kaya akan semakin kaya dan desa yang miskin akan semakin miskin.
solusi yang dapat saya kemukakan mengenai hal ini adalah perlu adanya pendataan tentang pembagian anggaran kepada seluruh desa dengan mengajukan beberapa kriteria yang bisa menggolongkan antara desa yang kaya dan desa yang miskin (misalnya dari segi kelengkapan infrastruktur pembangunan, sarana dan pra sarana desa). ketika dalam pembagian anggarannya, desa yang diketahi kaya akan mendapatkan sedikit jumlah nominal daripada yang didapatr dari desa yang miskin.
dalam hal pendataannya, tentu harus ada lembaga-lembaga yang diberi mandat khusus untuk menjalankannya dan melaporkannya kepada pemerintahan pusat. dalam hal ini tentub sangat tida praktis namun inilah solusi yang bisa saya ajukan.
Posting Komentar