MEMAHAMI
FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM
Oleh:
Turiman Fachturahman Nur
A.Definisi Filsafat
Salah satu kesulitan ketika kita memberikan pengertian dalam khazanah intelektual adalah memberikan pengertian filsafat, disebabkan berbagai arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda diantara para pakar dalam memberikan identifikasi . Hal ini merupakan sebuah kewajaran, sebab kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para pemikir) memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. Paradigma tersebut akan menjadi acuan bagi pemikir untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.
Ditilik dari arti bahasa, maka kata
falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari
bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία
philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan
berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan sophia (=
“kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi
juga dikenal di Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan
oleh semua kalangan.
Paparan lain ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
Paparan lain ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
Seseorang
yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa
dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa
dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis , mendeteksi problem secara
radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses kerja ilmiah.
Filsafat merupakan induk semua cabang ilmu
. Dalam (ilmu) filsafat dijelaskan asumsi- asumsi dasar bagi eksistensi setiap
cabang ilmu, yaitu ontology, epistimologi , dan aksiologi ilmu.
Filsafat
itu sendiri berasal dari kata Yunani “Filosofie” (Lili Rasjidi,1985:5)”Filosofi”
terdiri dari dua kata , yaitu .
“filo”yang artinya cinta atau ingin dan “sofie”yang artinya kebijaksanaan. Dengan demikian “Filosofie”dapat diartikan cinta atau menginginkan suatu
kebijaksanaan hidup . Sedangkan arti filsafat ialah kebijaksanaan hidup
berkaitan dengan pikiran – pikiran rasional , kisah –kisah walaupun
bijaksana kalau tidak rasional , maka
bukan filsafat.[1]
Jadi dapat dikatakan pula bahwa filsafat berarti karya manusia tentang
hakekat sesuatu . Karya artinya menggunakan rasio / pikiran dan dilakukan
secara metodis –sistematis . Karya manusia tentang hakekat sesuatu ialah hasil
pikiran manusia tentang hakekat sesuatu . Sesuatu itu ialah alam semesta dan
atau segala isinya (termasuk manusia). Hkekat sesuatu ialah tempat sesuatu
dialam semesta atau hubungan antara sesuatu dengan isinya alam semesta (yang
lain), termasuk tempat manusia dan segala perilakunya. Ini berarti obyek
filsafat itu sangat luas , bersifat universal , yang mencakup segala gejala –
gejala atau fenomena yang ditemui manusia dimuka bumi ini.
Salah satu gejala tersebut ialah gejala hukum (hidup dan penghidupan hukum).
Hukum tersebut merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hukum tidak
akan ada bila tidak ada manusia . Oleh karena itu , bila orang berfilsafat
tentang hukum maka harus berfilsafat tentang manusia terlebih dahulu . Salah
satu aspek dari manusia yang berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya .
Melalui filsafat perilaku atau etika inilah , orang berfilsafat tentang hukum.
Dengan demikian filsafat manusia ialah pohonnya , salah satu cabangnya ialah
filsafat etika ,dan salah satu cabang dari filsafat etika ialah filsafat hukum
, yang sekaligus sebagai ranting pohon filsafat manusia.[2]
Filsafat manusia sering juga disebut “genus” filsafat , filsafat etika merupakan “species-nya” , dan filsafat
hukum sebagai “sub-species-nya”. Filsafat hukum mempelajari sebagian perilaku
manusia yang akibatnya diatur oleh hukum. Dengan demikian hukum merupakan salah
satu obyek filsafat , yaitu filsafat hukum , yang filsafat hukum itu sendiri
merupakan ranting atau “sub-species “ filsafat manusia , atau cabang filsafat
etika.
Pada sisi
yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering menggunakan kalimat
padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah.
Hikmah digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna kearifan,
kebijaksanaan. sehingga dalam berbagai literature kitab-kitab klasik dikatakan
bahwa orang yang ahli kearifan disebut Hukama’. Seringkali pula ketika
dikaji dalam berbagai literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-ungkapan
dalam sebuah tema dengan konsep yang dalam bahasa arabnya misalnya
kalimat ‘wa qala min ba’di al hukama….”
Perkataan
filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy yang juga berarti
filsafat yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata
ini adalah kata philos dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan sophos
artinya bijaksana atau arif (wise). Menurut pengertiannya yang semula
dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan
pengertian sophia ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan
saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis yang bertumpu pangkal pada
konsep-konsep aktivitas –aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah dalam kajian
ilmu.
Secara lughowi (semantic) filsafat
berarti cinta kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan
tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah
realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika,
etika, estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam
hakekatnya memang merupakan problem falsafi yang kaya dengan banyak
konsep dan pengertian.
B.Filsafat sebagai Keilmuan
Apakah
filsafat sebagai ilmu, sebenarnya filsafat seringkali disebut oleh sejumlah
pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu
yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat dan lebih memadai.
Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus
pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana
“pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai
sebuah fenomena kemanusiaan.
Masing-masing
cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya,
berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan
ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru
dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai
suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari
ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan
patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing
bidang.
Dalam
kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah mengantarkan
dalam berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern
sekarang ini telah melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan
berbagai variasinya. Proses perkembangan dari berbagai fase kehidupan
primitip–klasik dan kuno menuju manusia
modern telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada
masing-masing zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan umat
manusia dari mitologi oriented pada satu arah menuju pola pikir ilmiah
ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris dalam berbagai
segmentasi kehidupan.
Corak
dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas mitos dan
kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun setelah
adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM),
Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), Heraklitos (535-475 SM),
Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran
filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses demitologisasi menuju gerakan logosentrisme.
Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus besar gerakan rasionalisme ,
empirisme dan positivisme yang dipelopori oleh para pakar dan pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan
kehidupan manusia pada tataran era
modernitas yang berbasis pada pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan
ilmiah atau ilmu merupakan “a higher
level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan
objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam
penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan
Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”.
C.Dari Mitos ke Logos
Secara
historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir)
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat,
dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
Dalam
tradisi sejarah filsafat mengenal 3
(tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi:
- Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini)
- Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini)
- Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
Dari
ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah
basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan
orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah
Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain
pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan
orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina,
lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan,
moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di
dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan
pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani
Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk
(arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan
Anaximander (sekitar 610 -540 SM)
berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 –
525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama
penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515
– 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta
rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan
Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap
(tidak berubah).
Lain
lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri
dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah
“ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya
sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk
menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal
(radix) secara terus-menerus.
Yang
hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu
(arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte
(mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah
rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari
segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi
unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika
(konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi
masih bersifat spekulatif dalam arti masih
belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi)
melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi
prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat
secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah
pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan
sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian
pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen
secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman
keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates
sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari
hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak
dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama
ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal
(isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau
bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena
itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri.
Filsafat
Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia
“ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat
diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari
Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi
(metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak
setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi
Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang
dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu
sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
“ide” tidak dapat dilepaskan atau
dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan
bentuk.
Dengan
demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk
memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak
bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan
C.Memahami Filsafat Hukum
Pembahasan filsafat hukum tidak bisa lepas (berkaitan erat)dari hidup dan
penghidupan hukum. Hidup dan penghidupan hukum mengandung aspek teoritis
(teoritik)dan aspek praktis (praktek). Hal ini disebabkan karena hukum ini
bersifat mendua , yaitu hidup di dunia normatif dan empiric. Hukumhidup tumbuh
dan berkembang dimasyarakat , dengan kata lain “Hukum ada , tumbuh dan
berkembang jika ada masyarakat “.dengan demikian hidup dan penghidupan hukum
sebagai salah satu gejala masyarakat /fenomena masyarakat tidak dapat hidup,
tumbuh dan berkembang sendiri jika tidak ada masyarakat . Sebagai
konsekuensinya , para anggota masyarakat harus/ wajib tunduk dan taat
(mematuhi)pada hukum yang telah disepakatinya dalam masyarakat itu,hal ini
kemudian dikuatkan dengan adnya sanksi .
Bahkan dalam masyarakat muncul keyakinan bahwa setiapa anggota
masyarakat (orang)harus mematuhi hukum , baik yang tertulis maupun tidak tertulis
.
Fenomena hidup dan penghidupan hukum tersebut., menimbulkan beraneka ragam pertanyaan antara lain :
1.
Apakah Keadilan, Kepastian Hukum dan Mengapa anggota masyarakat harus harus /wajib menaati hukum?
2.
Apa dasar dan arti
keharusan / kewajiban itu?
3.
Mengapa sebagian
anggota masyarakat berwenang memaksakan kepatuhan itu(kalau perlu dengan
kekuasaan)?
4.
Bagaimana proses
pembentukan hukum ?
5.
Siapa yang berwenang
membuat hukum dan mengapa ia berwenang untuk itu?
6.
Sejauh mana wewenang
itu dapat digunakan ?
7.
Apa arti wewenang itu?
8.
Apa artinya bahwa
Hukum itu sudah berlaku ?Apa dasar berlakunya hukum ?
9.
Apa hubungan hukum dan
kekuatan ?
10.
Apakah semua hukum
harus dipatuhi ? Apakah tata hukum identik dengan hukum?
11.
Apa kriterianya bahwa suatu
aturan itu disebut hukum?
12.
Apakah hukum harus
berpijak pada aturan non hukum ?
13.
Sejauh mana kaidah non
hukum perlu mendapat dukungan kaedah hukum ?
14.
Sejauh mana kaedah
hukum dapat mengesampingkan kaedah non hukum ?
15.
Dapatkah semua kaedah
non hukum diterapkan dan ditegakkan sebagai kaedah hukum?
Pertanyaan – pertanyaan yang beraneka ragam dan bersifat fundamental
tersebut tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum (positif), tetapi memerlukan refleksi filsafat . Hal ini disebabkan bahwa
pertanyaan – pertanyaan tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap kehidupan
manusia . Misalnya:Apakah hukuman mati masih perlu dipertahankan ? Apakah
“Euthanasia” , bunuh diri , judi, pelacuran , perlu dilarang dengan hukuman
pidana ? Sejauhmana transplantasi organ tubuh manusia dan perubahan kelamin
perlu diatur dengan kaedah hukuman ?[3]
Disamping itu saat ini sedang marak masalah hak asasi, keterbukaan ,
kebebasan demokrasi, keadilan dan sebagainya .Pertanyaan –pertanyaan yang tidak mudah dijawab tersebut dimuka selalu
dihadapkan pada filsafat hukum. Seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi secara sangat cepat dan dinamis
oleh masyarakat manusia , maka hidup dan penghidupan hukum mau tidak mau harus
mengikuti arus tersebut. Dalam hal ini,apakah filsafat hukum yang bersumber
dari perenungan manusia masih berguna atau relevan pada saat maraknya masalah –
masalah kongret yang memerlukan penyelesaian teknis dan prakmatis saat ini
?untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah
hal yang mudah., oleh karena itu perlu dipahami tentang pengertian filsafat dan
filsafat hukum, ruang lingkup filsafat hukum,dan manfaat filsafat hukum .
D.Pengertian
Filsafat Hukum
Pengertian
filsafat hukum itu sendiri teryata banyak sekali dan bervariasi , yang antara
lain disampaikan oleh para pakar ilmu hukum ,separti berikut ini:
1.
APELDOORN
Menurut Apeldoorn , filsafat hukum ialah
pengetahuan yang berusaha menjawab apakah hukum itu ?ia menghendaki agar kita
berpikir masak-masak, menanggapi dan bertanya-tanya tentang “hukum”[4]. Dalam
edisi baru yang ditulis DHM Meuwissen , hal tersebut telah direvisi secara
total. Misalnya , dikatakan bahwa filsafat hukum memang berusaha mencari hakekat hukum, walau sebenarnya hanya
melihat hukum sebagai bagian dari kenyataan . Apa hal itu tak bisa dijawab oleh
ilmu hukum ?Dapat tapi tak akan mendapat jawaban yang menangkan sebab
ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka dan melihat “hukum” yang
dapat dilihat dengan panca indera, tidak melihat dunia hukum yang tidak dapat
dilihat dengan panca indera (tersembunyi), hanya melihat hukum sepanjang telah
menjadi perbuatan manusia . Dimana ilmu
hukum berakhir , disanalah filsafat hukum memulai . Ia menjawab pertanyaan –
pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu hukum.
2.
WILLIAM
ZEVENBERGEN
Menurut William Zevenbergen, Filsafat hukum
ialah cabang ilmu hukum yang menyelidiki ukuran –ukuran apa yang dapat
dipergunakan untuk menilai isi hukum agar dapat memenuhi hukum yang baik. Ia juga mengatakan, filsafat hukum ialah filsafat yang diterapkan dalam
hukum.[5]
3.
J. H.
BELLEFROID
Menurut J.H.P. Bellefroid, filsafat hukum
ialah filsafat dalam bidang hukum , bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam
mempelajari ilmu hukum.[6]
4. JAN GIJSSEL dan MARK
VAN HOECKE
Dalam bukunya yang
ditulis bersama Mark van Hoecke , yang berjudul “Wat is Rechtstheorie”.
Antwerpen ini membagi ilmu hukum kedalam tiga jenjang ilmu hukum (DRIE TRAPPEN
VAN RECHTSWETENSCHAP), yaitu :
a. Rechtskennis(Pengetahuan
Hukum );
b. Rechtswetenschap(Ilmu
Hukum);
c. Rechtsfilosofie(Filsafat
Hukum).
Filsafat Hukum
merupakan peringkat teratas dalam ilmu hukum , yang cakupannya sangat luas ,
meliputi:
1) De Rechsontologie (Ontologi Hukum ), yang mempersoalkan ajaran atau sifat
dan hakekat hukum.
2) De
Rechtsaxiologie (Aksiologi Hukum ), yang mempersoalkan nilai –nilai dasar dalam
hukum .
3) De
Rechsidiologie (Ideologi Hukum ), yang mempersoalkan ajaran berbagai ide yang
dikenal dan mendasari hukum .
4) De
Rechtsepistimologie(Epistimologi Hukum) yang mempersoalkan / membicarakan sifat
pengetahuan dalam hukum, untuk mengetahui kenyataan hukum.
5) De
Rechtsteleologie (Teleologi Hukum ), yang mempersoalkan tentang maksud dan
tujuan hukum .
6) De
Wetenschapsleer van hetrecht (meta teori ilmu Hukum ), membahas macam –macam
ilmu dalam filsafat hukum. Ini disebut pula Filsafat Ilmu Hukum.
7) De Rechtslogika(Logika Hukum ), mempelajari dasar – dasar pemikiran hukum
dan argumentasi yuridis dalam bagan yang logis . mempelajari pula struktur dari
suatu system hukum.[7]
5. GUSTAV RADBRUCH
Menurut
Gustav Radbruch , Filsafat Hukum ialah cabang filsafat yang mempelajari hukum
yang benar.[8]
6. LANGEMEYER
7. L. BENDER. O.P
Filsafat Hukum
ialah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat yaitu tentang filsafat
moral /etika[10]
8. E. UTRECHT
Menurut E. Utrecht
, filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan seperti :
Apakah hukum itu sebenarnya ?(Persoalan adanya tujuan hukum ). Apakah sebabnya
kita mentaati hukum ?(persoalan berlakunya hukum ). Apakh keadilan yang menjadi
ukuran untuk baik buruknya hukum itu ?(persoalan keadilan hukum). Inilah
pertanyaan –pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum . Tetapi
bagi benyak orang jawaban ilmu hukum tidak memuaskan .
Ilmu hukum sebagai
suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja . Sedangkan
Filsafat Hukum hendak melihat hukum sebagai kaedah dalam arti “etisch waarde
oordeel” (penilaian etis). Filsafat hukum berusaha membuat dunia “etis”yang
menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera dari hukum
positif(de onzichtbare ethische wereld achter het(pasitieve)recht). Kadang- kadang juga membuat gambaran tentang hukum yang etis dapat
dipertanggungjawabkan dan yang seharusnya berlaku . Filsafat Hukum menjadi
suatu ilmu normative seperti halnya dengan (ilmu)politik hukum .Filsafat Hukum
berusaha mencari suatu rechtsideal yang dapat menjadi “dasar umum”dan
“etis(Etisch)” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti
“Grundnorm” yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang
menganut aliran –aliran seperti Neo – Kantianisme atau “Pancasila”kita).
Filsafat pada umumnya mencari “etische waarde” dan “ideale levenshouding “yang
dapat menjadi dasar tetap petunjuk kita.[11]
9. KUSUMADI PUDJOSEWOJO
Menurut
Kusumadi , Filsafat Hukum ialah bagian ilmu filsafat yang mempelajari apakah
tujuan hukum itu ?Apakah aturan hukum sudah memenuhi syarat keadilan ?Apakah
keadilan itu?Bagaimana hubungan hukum dan keadilan.[12]
10.PURNADI PURBACARAKA
DAN SOEKANTO
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto , Filsafat Hukum ialah
perenungan dan perumusan nilai-nilai ;kecuali itu juga mencakup upaya
penyerasian antara ketertiban dengan
ketentereman , antara kebendaan
dan keakhlakan , dan antara kelanggengan / konservatisme dengan pembaharuan.[13]
11. SATIJIPTO RAHARDJO
Menurut Sacipto
Rahardjo , Filsafat Hukum ialah ilmu yang persoalkan pertanyaan –pertanyaan
yang bersifat dasar tentang hukum. Misalnya :Apa hakekat hukum ?Apa dasar
mengikatnya hukum?.
12. SOEDJONO
DIRDJOSISWORO
Menurut
Soedjono D, Filsafat Hukum ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan –
pertanyaan mendasar dari hukum . Atau ilmu pengetahuan tentang hakekat hukum.
Dari pengertian
–pengertian tersebut dimuka, dapatlah disimpulkan bahwa Filsafat Hukum ialah cabang filsafat etika/moral
yang obyek pembahasannya meliputi hakekat hukum, inti hukum , dasar yang
sedalam –dalamnya, serta mempelajari atau menyelidiki lebih lanjut hal-hal yang
tidak dijawab oleh ilmu hukum.
E. Kritik terhadap
Positivisme Hukum
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti
bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain
oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia
itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat
istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah
sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu
memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan
kaidah-kaidah sosial lainnya.[14]
Teaching order finding disorder, mempelajari
keteraturan (hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah
istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di negeri ini memang kacau.
Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi,
kesewenang-wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang biasa dalam penegakan
hukum di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari alur
tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan
perundang-undangan.[15]
Paradigma positivisme hukum memang menjadi
pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat
dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan paradigma
pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa
kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon
dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran
metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah
norma yang konkrit dan nyata.[16]
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian hukum
memiliki peranan yang sangat urgen. Didalam aliran positivisme kepastian hukum merupakan tujuan utama,
sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus
antara kepastian hukum dan keadilan telah lama mengemuka, dengan aliran
positivime tersebut hukum seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan yang
ada ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap
hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan kepastian
hukum. Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu
pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang
menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Menurut paham positivisme, setiap norma
hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif,
serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga
masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai
asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius
yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang
sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang
hukum.[17]
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran
positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan
tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib
mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba
menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.[18]
Soetandyo memaparkan lebih lanjut bahwa
apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas
dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun
kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah
kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati dalam
realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji “prilaku” benda-benda anorganik.
Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifipkan sebagai norma
dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau
dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan
struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.[19]
Terkait dengan kondisi di Indonesia maka
persoalannya tidak bisa terlepas dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum,
sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap
hukum di antara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas
penegakan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara
pandang yang tidak sama tentang apa
yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.[20] Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-undang. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah
yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.[20] Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-undang. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah
1.
Bagaimana filosopi pemikiran positivisme hukum?
2.
Bagaimana kritik terhadap aliran positivisme hukum?
F.Filosofi Positivisme Hukum
Positivisme hukum
adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat
hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan.
Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara
idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan seperti
itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon
Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat
yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada
positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret .
masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar
regulasi yang dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.[21]
Menurut E.
Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut:
a.
Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas
konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang
sedang berlaku saat ini.
b.
Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum
hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya
dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam sebuah negara.[22]
Menurut Lili
Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:
a.
suatu tata hukum negara berlaku bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga
karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena
dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dalam
instansi yang berwenang.
b.
Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk
fromalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
c.
Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan
ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.[23]
Seorang pengikut Positivisme, Hart
mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1. hukum adalah
perintah
2. Analisis terhadap
konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian
kritis.
3. keputusan-keputusan
dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu,
tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4. Penghukuman secara
moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional,
pembuktian atau pengujian
5. Hukum sebagaimana
diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan, yang diinginkan[24].
Salah seorang pengikut positivisme Hukum
john Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical
Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan
yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah
sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung,
yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam
suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang
bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak
adil.[25]
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal
keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya
hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum
modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah
dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.[26]
Austin juga menegaskan bahwa hukum
dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik
atau buruk, tetapi lebih disarkan kepada kekuasaan dari kekuatan penguasa.
Austin membagi hukum kedalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan,
dan hukum yang dibuat oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh manusia
tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya dan hukum tidak
sebenarnya.[27]
Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum
yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh
individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum
yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya ialah bukan hukum yang
merupakan hukum yang secara lansung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan
yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan ataupun badan-badan tertentu.[28]
Menurut Thomas Aquino, hukum positif dinamakan Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet) adalah hukum yang ada
dan berlaku. Menurutnya, Undang-undang
tersebut tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Undang-undang
tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu
peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan
berasal dari satu “kekuasaan” yang sebagai penguasa tertinggi harus memelihara
kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang perlu untuk umat
manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan sukarela dengan
jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.
G.
Kritik Terhadap Positivisme Hukum.
Hukum pada saat berhadapan dengan
alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus dapat berlaku secara tidak
stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan
agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan
begitu pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan
menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang
terjadi di masyarakat. [29]
Salah
satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang
sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan
tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan
multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.[30] Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian
yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan
nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum
merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan
martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang
terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang
menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan
nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab,
seperti sila kedua Pancasila.[31]
Aliran Positivisme hukum ini sangat
ditentang oleh aliran Sosiological
Yurisprudence, Sosiological
Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain
dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan
hukum, tidak terletak pada pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula
terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang
berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang
berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi
hanya merupakan pelengkap.
Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut
Eugen Ehrlich, sumber hukum yang terpenting bukanlah kehendak penguasa, tetapi
kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny,
tetapi ia menggunakan istilah yang lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut
tokoh ilmu hukum realisme F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan
pengertian-pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam
istilah-istilah adalah putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara
lainnya dan sebagai bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian
hukum dalam istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan
realisme dalam ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena
gerakan idealisme membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya
akibat hukum secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis
sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck,
mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends Of Law).
Indonesia
sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang
berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang
ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini
telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme
dalam dunia hukum.
Dengan
adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan
hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat
berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living
law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga
perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai
hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan
putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah
masyarakat.
Perkembangan
masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk mengimbangi
perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat.
Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua
permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam aliran
positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk
melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab
tantangan-tantangan zaman.
Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu
sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat
terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri
dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari
norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni
menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur
hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku
budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun
budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara
sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses
pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu.
Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan
dari legal substance dan legal structure.
Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat
luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam
berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang
belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat
penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa
aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.
Dalam paradigma postivistik sistem
hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan
sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut
senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan
demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan
positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata
pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan
deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan
hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik,
aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya
masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi
tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.
Aliran positivisme banyak menuai kritik
dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum adalah kepastian hukum.
Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam masyarakat karena yang
dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum
dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup
dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan
keadilan ditengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthon
F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
E. Utrecht.1966. Pengantar dalam
Hukum Indonesia . Jakarta : Ichtiar.
Gijssels, jan & Mark van Hoecke.1982. Wat is Rechtstheorie? Antwerpen : Kluwer
Rechtswetenchappen.
JHP.
Bellefroid. 1925. Inleiding tot de
Rechtswetenschap in Nederlands. Nijmegen Utrecht: Dekker & Van Vegt.
Koento
Wibisono Siswomihardjo. 1994.
Pengembangan Filsafat Hukum Nasional
Suatu Gagasan bagi Dunia Perguruan Tinggi . Makalah dalam Seminar Hukum Nasional yang Diadakan BPHN tanggal 25-29 Juli
1994 di Jakarta . Jakarta : BPHN.
Kusumadi
Pudjosewojo . 1961. Pedoman Pelajaran
Tata Hukum Indonesia . Jakarta :Penerbit
Universitas.
Mr. Kompor, Aliran Positivisme,
Perkembangan dan Kritik-Kritiknya,
dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com
yang diakses pada tanggal 11 Mei 2013
L.Bender O.P.1984. Het
Recht: Rechtsphilosophische Verhandelingen . Bussum : Paul Brand.
Lili Rasjidi . 1985. Dasar
–dasar Filsafat Hukum . Bandung : Alumni.
.
1993. Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Lili Rasjidi dan B .
Arief Sidharta Ed.1994. Filsafat Hukum
mazhab dan Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya.
L.J. Van Apeldoorn .
1951. Inleiding tot de Studie van het Nederlands Recht . Zwolle. WEJ Tjeenk
Willink.
Muhammad
Siddiq Tgk. Armia,2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,
Jakarta, Pradnya Paramita.
Purnadi
Purbacaraka.1978. Perihal Kaedah Hukum . Bandung: Alumni.
. 1979. Sendi-
sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum . Bandung: Alumni.
. 1980. Renungan tentang Filsafat Hukum . Jakarta :Rajawali.
Roscoe Pound. 1972. Pengantar
Filsafat Hukum , terjemahan Muhammad Radjab . Jakarta : Bhatara.
Satjipto Rahardjo .
1991. Ilmu Hukum . Bandung : Pradnya Paramita.
Soedjono Dirjosisworo.
1994. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Radjawali .
Soerjono Soekanto dan
R. Otje Salman Ed. 1987. Displin Hukum
dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal ). Jakarta : Rajawali Pers.
Soetikno . 1976. Filsafat
Hukum I-II. Jakarta : Pradnya Paramita.
Theo Huijbers.1991. Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius
.
.1993. Filsafat Hukum dan Lintasan Sejarah . Yogyakarta :
Kanisius .
Saifur Rohman, Menembus
Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Faisal,2010, Menerobos
Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta
Sabian Usman, Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
W. Freidman .1970. Legal
Theory . London . Steven & Son.
W. Zevenbergen
.1925. Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap.
Gravenhage:
GebrBelifante.
[3] Lili Rasjidi dan Arif Sidharta,
1994, Filsafat Hukum mazhab dan Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya hal 15
[4]
Apeldoorn
,1951, Inleiding
tot de Studie van het Nederlands Recht . Zwolle. WEJ Tjeenk
Willink, hal 331-332
[5]W.Zevenbergen, 1925, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap. Gravenhage:
GebrBelifante, hal
33
[6]JHP. Bellefroid.
1925. Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands. Nijmegen Utrecht: Dekker
& Van Vegt., hal 17
[8] Gustav
Radbruch 1942,B dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat
Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung :
Remaja Rosdakarya hal 1
[12] Kusumadi Pudjosewojo,
1961, Pedoman
Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta :Penerbit
Universitas,
hal 10-13
[13] Purnadi Purbacaraka
& Soerjono Soekanto, 1978, Perihal Kaedah
Hukum . Bandung: Alumni, hal 10-11).
[14] Mochtar
Kusumaatmadja, 2009, Fungsi
dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm. 2
[15]Wongbanyumas, Menuju
Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif, Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com yang diakses pada tanggal 10 Mei 2013
[16] Ibid
[17] Soetandyo Wignjosobroto,2002, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, hlm. 96
[18]
Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya, dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang
diakses pada tanggal 10 Mei 2013
[19]
Ibid
[20]
Ibid
[21] Anthon F. Susanto,2010,
Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, Hal.71
[22]
Ibid, Hal. 71
[23]
Ibid, Hal. 73
[24]
Satjipto Raharjo II,1985, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, hlm. 111
[25]
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,hlm. 6
[26]
Ibid
[28]
Ibid, hlm. 149-150
[30]
Op Cit, Sabian Usman, 219
[31]
Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
16 komentar:
menurut tulisan bapak diatas saya sependapat dengan bapak bahwa Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). terima kasih.
Nama : Jofi Andraki
Nim : A1012131124
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Semester 1 / Kelas C ( REG B )
Universitas Tanjungpura, tu,barat, Indonesia
saya setuju dengan tulis bapak di atas
bahwa Dr. M. Irfan Islamy bahwa : Kalau kepentingan publik adalah sentral, maka menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak, yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi dirinya .
menurut teori Max Weber dalam karyanya “The theory of Economic and Social Organization” pada dasarnya adalah sebagai sebuah organisasi yang disusun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang tertib, teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja atau prosedur kerja yang jelas .
Nama EDI JUNAIDI
NIM A 1012131127
Semester 1 Kelas C Reg B
Mata Kuliah Ilmu Negara
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
saya sangat setuju dengan bapak yang mengatakan pada awal tulisan diatas bahwa salah satu kesulitan ketika memberikan pengertian tentang khazanah intelektual karena disebabkan berbagai sudut pandang dan focus yang berbeda-beda dan juga bapak mengatakan bahwa hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia.
Dua hal tersebut memang menjadi kendala besar dalam menayampaikan pemahaman/pemikiran tersebut karena manusia didunia ini memiliki akal kemudian memiliki agama dan juga manusia didunia ini memiliki negara sehingga dalam tiga faktor tersebut apabila menurut manusia tersebut ada pemahamannya yang tidak sejalan maka akan membuat manusia tersebut sulit untuk menerima suatu pemahaman/pemikiran yang disampaikan.
Nama : ANDI BARIZILA
NIM : A1012131132
Kelas : C ( Reg B)
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Saya sangat setuju dan sepaham dengan tulisan bapak yang mengatakan "Hukum tersebut merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia . Oleh karena itu , bila orang berfilsafat tentang hukum maka harus berfilsafat tentang manusia terlebih dahulu . Salah satu aspek dari manusia yang berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya . Melalui filsafat perilaku atau etika inilah , orang berfilsafat tentang hukum".
Karena setiap manusia adalah subyek hukum sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Sebagai subyek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya. Mereka digolongkan sebagai orang yang "tidak cakap" atau "kurang cakap" untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka harus diwakili oleh orang lain.
Nama : ANDI BARIZILA
NIM : A1012131132
Kelas : C ( Reg B)
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Saya sangat setuju dan sepaham dengan tulisan bapak yang mengatakan "Hukum tersebut merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia . Oleh karena itu , bila orang berfilsafat tentang hukum maka harus berfilsafat tentang manusia terlebih dahulu . Salah satu aspek dari manusia yang berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya . Melalui filsafat perilaku atau etika inilah , orang berfilsafat tentang hukum".
Karena setiap manusia adalah subyek hukum sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Sebagai subyek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya. Mereka digolongkan sebagai orang yang "tidak cakap" atau "kurang cakap" untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka harus diwakili oleh orang lain.
Nama : NARDO AFISON
Nim : A1011131205
Kelas : C
Mata Kuliah : ILMU NEGARA
Reguler : A
saya sangat setuju dengan pendapat bapak mengenai,
FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM,
karena definisi tersebut menjelskan tentang diantara para pakar dalam memberikan identifikasi . Hal ini merupakan sebuah kewajaran, sebab kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para pemikir) memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan.
sedangkan arti filsafat ialah kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran – pikiran rasional , kisah –kisah walaupun bijaksana kalau tidak rasional , maka bukan filsafat.
sedangkan kritik terhadap positivesme hukum ialah, Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan.
Nama : Muhammad Zuhri
Nim : A1011131177
Kelas : C
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Reguler : A
saya sependapat dengan kritik bapak mengenai positivisme hukum yang menyebutkan bahwa
"Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum."
hal diatas berarti aliran positivisme hukum adahal hukum yang bersifat kaku dan menkesampingkan suatu keadilan, namun bukan berarti aliran ini adalah hukum yang buruk, seperti contoh hukum progresif, meskipun bersifat elastis dan memegang teguh keadilan rakyat, tetapi undang" dalam aliran progresif tidak selalu jelas, ia tidak menyediakan pasal-pasal yang segera langsung bisa dipakai untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi.
jadi menurut saya belum ada hukum yang benar di dunia ini.
Nama : Hizki Alfredo
Nim : A01112010
kelas : E
MaKul : Hukum Administrasi negara
Semester : 3
Menurut saya sendiri Filsafat Hukum itu jawaban dari berbagai pertayaan pertayaan yang mencakup segala isi dan teori teori yang mencakup Hukum itu secara keseluruhan,dan Filsafat Hukum itu tersusun secara sistematis agar setiap pertayaan mengenai Hukum tersebut,terjawab dengan adanya filsafat Hukum itu sendiri.
dan filsafat hukum itu filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum
Nama : Wachied Setiyo Putra
NIM : A11109229
Kelas : C
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Reguler : B
Saya sangat sependapat dengan peryataan bapak, bahwa Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.
Dan menurut pribadi saya, sebagai orang hukum dan lahir di masyarakat, hukum beserta Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture), harus mengutamakan keadilan dan nilai kebenaran dalam masyarakat. bukan hanya sekedar alat bagi suatu kelompok ataupun penguasa. cakupan hukum yang luas, harus memberi keadilan bagi setiap anggota masyarakat dan menegakkan kebenaran di masyarakat, serta memberi perlindungan terhadap hak anggota masyarakat.
Dan untuk pembahasan tentang: “Filsafat dan Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”...
filsafat dalam praktik ilmu telah membuktikan bahwa filsafat merupakan landasan dari berbagai ilmu. karena atas dasar ide dan pengembangan ide itu sendiri, muncul konsep-konsep baru yang menjadi cabang-cabang baru ilmu pengetahuan yang luas.
Dalam hal ini, saya sependapat dengan Plato, bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri.
karena tanpa ide, takkan muncul konsep-konsep baru yang memunculkan ilmu-ilmu baru, yang merupakan pengembangan dari diri manusia itu sendiri. sehingga, manusia bisa membuktikan bahwa manusia itu bisa berkembang, menciptakan ilmu-ilmu baru yang dapat memahami dan membantu kehidupan manusia.
Dan untuk filsafat hukum, saya sependapat dengan Apeldoorn, bahwa filsafat hukum ialah pengetahuan yang berusaha menjawab apakah hukum itu.
Karena cakupan ilmu hukum itu sangat luas, bahkan menurut saya tak terbatas selama manusia itu masih ada dan selama manusia masih berinteraksi satu sama lain. dan hukum juga sangat dalam, bukan sekedar yang dimunculkan ke permukaan oleh para pembuat, penyelenggara, dan penegak hukum. Hukum itu sangat dalam (dalam arti maksud dari hukum itu sendiri), sehingga muncul filsafat hukum, yang menguak isi di dalam hukum yang sangat dalam itu, yang tak tampak oleh orang yang hanya sekedar melihat hukum secara permukaan.
15 Januari 2014.
Nama : Eggy Ramadha Anggraeni
NIM : A1011131167
Kelas : C
Makul : Ilmu Negara
Reguler : A
saya sependapat dengan tulisan bapak tentang FILSAFAT SEBAGAI KEILMUAN
Di situ tertera bahwa filsafat adalah induk dari segala pengetahuan karena filsafat mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan
jadi dengan berdasarkan penjelasan di atas maka saya menyimpulkan bahwa pernyataan Apeldoorn adalah pernyataan yang paling mendekati tentang filsafat hukum , karena dalam bukunya ia menyatakan bahwa filsafat hokum adalah pengetahuan yang berusaha menjawab apakah hukum itu, karena makna hukum itu sangat luas menjadikan ilmu hukum itu bersifat tak terbatas sehingga muncul filsafat hukum sendiri
Nama: Alder
NIM: A1012131130
Tugas: Ilmu Negara
Kelas: C (Reg B) semester 1 fak. hukum
saya sependapat dengan Aspek hukum Pelayanan publik yang berkualitas dan pantas, telah menjadi tuntutan masyarakat seiring dengan berkembangnya kesadaran masyarakat yang lebih demokratis. Peran pemerintah sebagai governor-governed, dan regulator-regulated harus memberikan peluang kepada warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam semangat daerah membangun.
Nama :Hartino
Nim :A1012131114
Kelas :C
Mata Kuliah :ilmu Negara
Semester :1 Regular B
Di dalam mengartikan sebuah filsafat menyebabkan bermunculan nya para ahli atau para pakar untuk masing-masing mengeluarkan pendapat nya,karena setiap pendapat para ahli berbeda beda .Hal ini adalah hal hal yang wajar, karena kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka para pemikir memiliki perbedaan dalam proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. menemukan makna tersebut menjadi acuan bagi para ahli untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya tersebut.
Nama : Yopie Reynaldio
Nim : A1012131141
Kelas : C
Mata Kuliah : ilmu negara
Semester 1
Saya setuju tulisan bapak :
Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.
nama : Agnes rosalina simangunsong
nim : A01112326
kelas/reguler : E / A
semester : 3
mata kuliah : hukum administrasi negara
komentar: saya sangat setuju dengan FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM,yang bapak utarakan di atas,dengan adanya positivisme hukum,penerapan filsafat hukum di masyrakat menjadi semakin baik dan filsafat hukum juga mencakup tentang perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat menjadi lebih baik.dan saya sangat setuju dengan pendapat bapak bahwa filsafat hukum itu harus bersumber dari kebiasaan masyrakat,karena filsafat hukum tidak akan ada tanpa ada nya masyrakat.
terimakasih.
Nama : Vanny R Sianturi
Nim : A01112206
Kelas / Reguler : E / A
Semester : 3
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Saya setuju dengan tulisan bapak diatas yang berjudul " MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM "
: dalam artikel ini dijelaskan mengenai pembahasan filsafat hukum yang tidak bisa lepas dari hidup dan penghidupan hukum. Hidup dan penghidupan hukum mengandung aspek teoritis (teoritik) dan aspek praktis (praktek). Hukum hidup tumbuh dan berkembang dimasyarakat. Sebagai konsekuensinya , para anggota masyarakat harus/ wajib tunduk dan taat (mematuhi)pada hukum yang telah disepakatinya dalam masyarakat itu,hal ini kemudian dikuatkan dengan adanya sanksi . Bahkan dalam masyarakat muncul keyakinan bahwa setiapa anggota masyarakat (orang)harus mematuhi hukum , baik yang tertulis maupun tidak tertulis . Sehingga dengan adanya hukum yang mengikat, maka setiap manusia hendaknya berprilaku positif.
Nama :Siti Akbari Fitrianty
NIM :A1011171006
Makul :PP (Pendidikan Pancasila)
Angkatan :2017 (Ruang V)
Menurut saya, saya setuju dengan bapak bahwa positivisme hukum tidak cocok untuk diterapkan, bahkan hal ini ditentang oleh pelopor "Sosiological Yurisprudence" yaitu Eugen Ehrlich karena menurutnya sumber hukum yang terpenting bukanlah penguasa tetapi kebiasaan. Mengenai kondisi di Indonesia terkait persoalan itu tidak bisa terlepas dari sejarah dan perkembangan hukum, sehingga terdapat perbedaan cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud dengan hukum dan apa yang menjadi sumber hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Dan perkembangan masyarakt sangat pesat sehingga hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan bisa mejadi pedoman dan solusi terhadap semua permasalahan yang terjadi. Sedangkan di dalam aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit, sehingga untuk melakukan pembaharuan hukum selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Maka dari itu hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan tantangan zaman.
Posting Komentar