Sejarah Hukum Pendaftaran Tanah dan Pembuktian Sertifikat Bekas Tanah Swapraja Yang
Digugat Pada PTUN
Oleh Turiman
Fachturahman Nur
A.
Kilas
Balik Sejarah Hukum Pendaftaran Tanah
Sejarah pendaftaran tanah di
Indonesia sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh C.G van Huls yang kemudian
dikutip oleh Irawan Soerojo, C.G van Huls membaginya menjadi 3 (tiga) periode,
yaitu (C.G Van Huls, 2003):
1. Periode kacau balau, yaitu sebelum tahun 1837
2. Periode ahli ukur pemerintah, yaitu antara tahun 1837 hingga tahun
1837
3. Periode jawatan pendaftaran tanah, yaitu sesudah 1875
4. Periode Setelah
Indonesia Merdeka.
Gambaran yang lebih jelas mengenai
periode-periode ini akan diuraikan di bawah ini :
1. Periode
Kacau Balau (De Chaotische Periode) yaitu sebelum tanggal 1837
VOC (Vernigde
Oost Indische Compagnie) yang didirikan pada tahun 1602 di samping
menerima hak dari pemerintah Belanda untuk berdagang di Nederslands-Indie, juga
menerima hak untuk menjalankan kekuasaan yang berdaulat atas daerah-daerah yang
dikuasainya dengan kekuatan senjata. Adanya hak menjalankan kekuasaan tersebut
membuat VOC menganggap dirinya sebagai pemilik dari tanah-tanah yang terletak
daerah-daerah kekuasaannya.
Pada
tanggal 18 Agustus 1620, VOC mengeluarkan suatu plakat atau maklumat yang
merupakan peletakan dasar pertama bagi pelaksanaan kadaster dan penyelenggaraan
pendaftaran hak di Hindia Belanda. Pada tanggal 23 Juli 1680, VOC mengeluarkan
plakat yang mengatur mengenai susunan dan tugas Dewan Heemraden,yaitu
suatu lembaga pemerintah yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta.
Pasal 16 plakat tersebut menetapkan bahwa Dewan Heemraden harus
dengan segera membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam
wilayah kerjanya yang pada setiap petanya dicatat luas dari tiap-tiap tanah
serta nama pemiliknya.[1]
Dari
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 tersebut, ada 3 hal yang perlu
dicatat sehubungan dengan perkembangan kadaster, yaitu: [2]
a.
Penyelenggarakan kadaster oleh Dewan
Heemraden harus dilakukan berdasarkan peta-peta tanah sehingga hal ini
berarti Dewan Heemraden harus menyelenggarakan suatu kadaster
dalam arti yang modern.
b.
Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk tujuan
pemungutan pajak tanah dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai
batas-batas tanah.
c.
Dewan Heemraden di
samping menyelenggarakan kadaster bertugas pula untuk menyelenggarakan
perkara-perkara yang berkaitan dengan batas-batas tanah serta pemeliharaan
jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran-saluran air, tanggul-tanggul dan
bendungan-bendungan.
2. Periode
Ahli Ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements landmeter),yaitu
antara tahun 1837 hingga tahun 1837
Pada
periode ini, Gubenur Jenderal dalam keputusannya tanggal 18 Januari 1837 No. 3
menginstruksikan kepada para ahli ukur di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk
menyelenggarakan suatu kadaster secara terperinci sesuai dengan pokok-pokok
penyelenggaraan suatu kadaster dalam arti yang modern. Ahli ukur tanah
pemerintah bertugas untuk: [3][3]
a.
Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah
ada atau peta-peta tanah yang dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelum
berlakunya instruksi tersebut dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang
tanah yang belum diukur dan di peta.
b.
Menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri
dari:
1.
Daftar tanah, yaitu daftar di mana tiap-tiap bidang tanah
di daftar menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang tanah yang
diperlukan.
2.
Daftar dari semua peta seperti peta kasar dan
peta-peta lain.
3.
Daftar dari hasil pengukuran dan
penaksiran-penaksiran.
c.Memberikan Landmeterskennis.
3. Periode
Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralen Dienst), yaitu
sesudah 1875
Sesuai
dengan usul Motke dan J.B Hiddink tersebut, segera dimulai pengukuran dan
pemetaan dari Jakarta (Afdeling Batavia dat Landerman Batavia) yang
oleh residen Jakarta diinstruksikan dengan surat keputusan tertanggal 12
Agustus 1874. Surat keputusan ini selanjutnya diubah dengan Staatsblad 1875 No.
183 yang berlaku untuk seluruh Indonesia. Dalam Staatsblad 1875 No. 183 diatur
secara rinci mengenai penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pada Pasal
Staatsblad 1875 No. 183 tersebut dinyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang
harus diukur dan di peta adalah:[4]
a.
Bidang tanah yang dipunyai oleh orang atau badan hukum
dengan sesuatu hak.
b.
Bagian-bagian dari bidan tanah hak jika bagian-bagian
dari bidang tanah itu terpisah oleh batas alam atau jika bagian-bagian tanah
itu mempunyai tanaman yang berbeda-beda.
c.
Memelihara Kadaster.
d.
Mengeluarkan surat-surat keterangan (Landmeterskennis) dan
surat-surat ukur, memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan
orang-orang melihat peta-peta kadaster dan daftar-daftar serta memberi
keterangan lisan isi dari peta-peta dan daftar-daftar itu.
4. Priode Pendaftaran Tanah setelah Indonesia Merdeka
Tanggal 24 September 1960
merupakan tonggak bersejarah dalam hukum tanah Nasional kita, hal ini
disebabkan pada tanggal tersebut lahirlah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 yang selanjutnya biasa kita kenal dengan sebutan UUPA. Lahirnya UUPA
ini merupakan pengejawantahan dari pasal 33 UUD 1945 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA.
Sebelum berlakunya UUPA, hanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat,
misalnya Hak Eigendom, Hak Opstal, dan Hak Erfpacht yang dilakukan pendaftaran
tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, dan kepada
pemegang haknya diberikan suatu tanda bukti berupa akta yang dibuat oleh
Pejabat Balik Nama (Overschrijvings
Ambtenaar).
Pendaftaran tanah untuk tanah-tanah sebagaimana disebutkan diatas ini
dikenal dengan Recht Kadaster.
Sebenarnya di masa yang lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan
pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti
juga bersifat yuridis. Pendaftaran ini didasarkan pada hukum adat setempat, ada
yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, dan ada pula
yang didasarkan pada peraturan yang bersifat Nasional, misalnya saja :
1.
Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi
(Landrente),sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administrasi
sesuai dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat
menganggap surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang
terkena pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di
tangannya.
2.
Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh Pengurus Subak di Bali
berdasarkan hukum adat setempat.
3.
Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan
peraturan Gemeente Medan.
4.
Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.
5. Pendaftaran tanah bekas swapraja
diluar Jawa, misalnya Kalimantan.
Berdasarkan hal-hal tersebut
diatas, tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah yasan, tanah
gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan Pendaftaran Tanah
tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi tujuannya
untuk menentukan siapa individu yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pembayaran pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti
berupa pipil, girik, atau petuk. Pendaftaran yang semacam ini dikenal dengan
nama Fiscal Kadaster.
Ketentuan pendaftaran tanah di
Indonesia diatur dalam UUPA (undang-undang Pokok Agraria) pasal 19 yang
menerangkan bahwa:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dilakukan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran Tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran, penetapan, dan
pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran Tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud ayat (1) di atas, dengan ketentuan rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pada Pasal 19 ayat 1 tersebut
diperintahkan untuk dibuatkan aturan pelaksananya, oleh pemerintah telah
diterbitkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah antara
lain:
1. Peraturan Pemerintah No.
10 tahun 1961
Sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, dikenal kantor Kadaster sebagai
Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Barat.
Didalam pasal 19 ayat 1 UUPA telah ditegaskan lebih lanjut oleh Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1961 sebagai berikut :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang
terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah didaftar.
3. Untuk menyelenggarakan tertib
administrasi pertanahan.
2. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997
Kemudian, Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1961 diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang
lebih memperkaya pasal 19 UUPA, yaitu :
1. Bahwa diterbitkan sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya
diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
2. Di zaman informasi ini maka Kantor
Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap
informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk pemerintah
sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat
sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait
tanah. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberian
informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah / bangunan yang ada.
3. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang
wajar.
Untuk selanjutnya Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif tanggal 8 Oktober 1997. Kedua peraturan ini adalah bentuk pelaksanaan dari
pendaftaran tanah dalam rangka rechtskadaster
yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada proses akhir
pendaftaran tersebut berupa Buku Tanah
dan Sertifikat Tanah yang
terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.
Sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat
pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat (1) huruf c,
pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2), dan pasal 38 ayat (2) UUPA. Sertifikat
hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang
mutlak.
Pendaftaran
tanah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran
tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas
tanah. Begitu pentingnya persoalan pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA
memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia. Apa yang di maksud dengan pendaftaran tanah, kemudian
bagaimana sejarah pendaftaran tanah mulai dari periode kacau balau hingga
periode pendaftaran tanah. Bagaimana pula dengan pokok-pokok pendaftaran tanah,
apa pula asasnya, apa tujuannya, objeknya dan lain-lain akan dipaparkan dalam
kajian ini.
Pendaftaran
tanah (terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997) adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan
dan teratur meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk data peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran
tanah berasal dari kata Cadastre (bahasa Belanda). Kadaster
adalah suatu istilah teknis suatu record (rekaman) yang
menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak)
terhadap suatu bidang tanah.
Sebagaimana
ditegaskan di atas, bahwa pendaftaran tanah merupakan persoalan yang sangat
penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses
lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 19 UUPA:[4]
1.
Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang di atur dengan Peraturan pemerintahan.
2.
Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a.
Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah
b.
Pendaftaran atas hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut
c.
Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat
3.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengikat
keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4.
Dalam Peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.
B. Popok-Pokok
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah
1. Asas-Asas
Pendaftaran Tanah
Pasal
2 PP No. 24 Tahun 1997 pendaftaran tanah berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.[5]
2. Tujuan
Diselenggarakan Pendaftaran Tanah [6]
a.
Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan
hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.
Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
3. Objek
Pendaftaran Tanah [7]
Objek pendaftaran tanah menurut pasal 9
meliputi:
a.
Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
b.
Tanah hak pengelolaan
c.
Tanah wakaf
d.
Hak milik atas satuan rumah susun
e.
Hak tanggungan
f.
Tanah negara
4. Sistem
Pendaftaran yang Digunakan [8]
Sistem
pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak atau (Registration of
titles), sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah
menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan
adanya buku tanah sebagai dokumen yang membuat data yuridis dan fisik yang
dihimpun dan disajikan serta ditertibkannya sertifikat sebagai surat tanda
bukti hak yang di daftar.
5. Sistem
Publikasi yang Digunakan [9]
Sistem
publikasi yang digunakan tetap seperti pendaftaran tanah menurut PP 10/1961.
Yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
seperti dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32
ayat 2 dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Bukan sistem publikasi negatif yang murni.
Sistem publikasi negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.
Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA
tersebut, bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.
6. Penyelenggaraan
dan Pelaksana Pendaftaran Tanah
a.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah
Sesuai ketentuan pasal 19 UUPA
pendaftaran tanah diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini badan
pertahanan nasional. [10]
b.
Pelaksana pendaftaran tanah
Pelaksana pendaftaran tanah
dilakukan oleh kepala kantor pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan
tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain. Yaitu kegiatan-kegiatan yang
pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja kepala kantor
pertahanan.[11]
c.
Pejabat pembuat akta tanah (PPAT)
Dalam pasal 1 angka 24 disebutkan
PPAT sebagai penjabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan hak milik
atas satuan rumah susun dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak
tanggungan. Pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang
berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan
tertentu.[12]
d. Hakekat jabatan pejabat
pembuat akta tanah, yaitu:[13]
1)
PPAT adalah pejabat umum yang diberi tugas dan
wewenang khusus memberikan pelayan kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang
membuktikan, bahwa telah dilakukan dihadapannya perbuatan hukum pemindahan hak
atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun atau pemberian hak tanggungan
atas tanah.
2)
Akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya
dialah yang berhak membuatnya.
3)
PPAT adalah pejabat tata usaha negara, karena tugasnya
dibidang penyelenggaraan pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan bidang
eksekutif atau tata usaha negara.
4)
Akta PPAT bukan surat keputusan pejabat tata usaha
negara, karena akta adalah relaas, yaitu suatu laporan tertulis dari pembuat
akta berupa pernyataan mengenai telah dilakukannya oleh pihak-pihak tertentu
suatu perbuatan hukum dihadapannya pada sewaktu-waktu yang disebut dalam akta
yang bersangkutan.
5)
Yang merupakan keputusan PPAT sebagai pejabat tata
usaha negara adalah keputusan menolak atau mengabulkan permohonan pihak-pihak
yang datang kepadanya untuk dibuatkan akta mengenai perbuatan hukum yang mereka
akan lakukan dihadapannya
e. Panitia ajudikasi
Dalam pasal ditetapkan, bahwa dalam melaksanakan
pendaftaran secara sistematik kepala kantor pertanahan dibantu oleh panitia
ajudikasi, yang dibentuk oleh menteri negara agraria atau kepala BPN atau
pejabat yang ditunjuk.
Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan
penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa
objek pendaftaran tanah keperluan pendaftarannya (pasal 1angka 8)[14]
C.Urgensi
Pendaftaran Tanah Berdasarkan Hukum Agraria
Pokok-pokok
pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 menekankan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada seluruh rakyat Indonesia, merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat yang
dikuasai oleh Negara dan ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat Indonesia. Bertitik tolak dari pasal tersebut di atas, maka jelaslah
bahwa negara dianggap bukan sebagai pemilik tanah dalam suatu wilayah negara,
tetapi kewenangan negara untuk menguasai tanah tersebut semata-mata kepentingan
masyarakat banyak.
Upaya
pemerintah untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya kepastian hukum
atas kepemilikan tanah bagi seseorang adalah dengan dilakukannya suatu
pendaftaran hak atas tanah yang tertuang dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok
Agraria. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana
maksud Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut membuka sejarah baru dalam hukum
agraria. Sebab, untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga yang
secara khusus mengatur tentang pelaksanaan pendaftaran tanah (Parlindungan,
1990:1). Namun lebih kurang 36 tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 ternyata upaya pemerintah dalam memberikan jaminan
kepastian hukum atas tanah belum optimal, sehingga pemerintah merasa perlu
untuk menyempurnakan dan menggantikan dengan suatu peraturan baru sehingga eksistensi
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah direvisi atau dilakukan
pengkajian ulang dari persoalan yang sangat mendasar.
Dalam peraturan pemerintah tersebut
ditentukan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah
negatif tetapi mengandung unsur positif. Pendaftaran tanah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 ini menggunakan 2 sistem yaitu:
1. Sistem
sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan yang dilakukan atas
prakarsa pemerintah.
2. Sistem sporadik yaitu
pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang hak yang
bersangkutan baik secara individual maupun massal.
Daya pembuktian sertifikat tidak bisa dilepaskan dari kewenangan Pejabat Tata usaha Negara, yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan yang telah menempatkan tanda tanganya pada sertifikat yang tentunya dapat dipercaya oleh orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut.
Daya pembuktian sertifikat tidak bisa dilepaskan dari kewenangan Pejabat Tata usaha Negara, yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan yang telah menempatkan tanda tanganya pada sertifikat yang tentunya dapat dipercaya oleh orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut.
Di dalam daya pembuktian terdapat daya
pembuktian formal dan daya pembuktian materil. Daya pembuktian materil, isi
keterangan berlaku sebagai kebenaran buat siapapun dan orang yang namanya
tercantum dalam sertifikat untuk kemanfaatannya, untuk keperluan siapa
keterangan itu diberikan. Sedangkan daya pembuktian formil Kepala Kepala Badan
Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan menerangkan apa yang berada di atas tanda
tangannya dan orang yang tercantum dalam sertifikat benar-benar pemiliknya.
Kekuatan
pembuktian sertifikat tidak lepas dari alas hak untuk penerbitan sertifikat
tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, salah satu alas hak yang diperkenankan selain akta autentik adalah surat
di bawah tangan. Diperkenankannya surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam
penerbitan sertifikat saat ini banyak dilakukan untuk pendaftaran tanah pertama
kali (bagi tanah-tanah yang belum terdaftar).
Dalam
kenyataan yang ada, tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini
menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak
yang mengaku sebagai pemilik atas tanah yang telah didaftarkan tersebut. Bahkan
tidak jarang terjadi dalam proyek yang dilakukan oleh kantor pertanahan, 1
(satu) bidang tanah dikuasai oleh dua orang yang berbeda dengan alas hak yang
berbeda tetapi ditandatangani oleh Kepala Kelurahan/Kepala Desa yang sama
sehingga proses penerbitan menjadi terhambat. Dari uraian di atas terlihat
bahwa surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat
khususnya sertifikat hak milik tidak lepas dari berbagai masalah .
Pendaftaran
tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik
tanah. Terbitnya sertifikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah
akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah maka sertifikat tanah berfungsi sebagai pembuktian
yang kuat. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat di dalam
surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Salah satu masalah yang berkaitan erat dengan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah masalah pembuktian. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) pendaftaran hak yaitu :
a. Hak atas tanah baru. Pembuktian hak atas tanah baru dilakukan dengan :
Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan;
Salah satu masalah yang berkaitan erat dengan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah masalah pembuktian. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) pendaftaran hak yaitu :
a. Hak atas tanah baru. Pembuktian hak atas tanah baru dilakukan dengan :
Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan;
- Asli akta PPAT yang memuat
pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang
bersangkutan untuk hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
- Hak pengelolaan dibuktikan
dengan penetapan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang;
- Tanah wakaf yang dibuktikan
dengan akta ikrar wakaf;
- Hak milik atas satuan rumah
susun yang dibuktikan dengan akta pemisahan;
- Pemberian Hak Tanggungan
dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan.
b. Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu :
Untuk keperluan pendaftaran tanah, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat bukti menganai adanya hak tersebut berupa alat bukti tertulis, keterangan sanksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan pihak lain yang membebaninya.
Dalam hal tidak atau tidak lagi
tersedia secara lengkap alat pembuktian maka pembuktian dapat dilakukan
berdasarkan pentaanya penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 tahun
atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
Mengacu pada Pasal 60 PP No. 24
Tahun 1997 terdapat beberapa alat bukti tertulis yang dapat digunakan bagi
pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan
pendaftaran tanah adalah grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti hak milik
yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, sertifikat
hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959,
surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum
atau sejak berlakunya UUPA, petuk Pajak Bumi sebelum berlakunya PP No, 10 Tahun
1961, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi kesaksian
oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 24
Tahun 1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan hak yang
dibuat oleh PPAT, akta ikrar wakaf, risalah lelah yang dibuat oleh Pejabat
Lelang, surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah yang diambil pemerintah,
surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan.
Berdasarkan beberapa alat bukti lama yang dapat
digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan PP
No. 24 Tahun 1997 penulis melihat ada 2 (dua) alat bukti yang perlu mendapatkan
perhatian, yaitu :
1. Alat Bukti Kesaksian
Pembuktian dengan saksi dalam hukum pertanahan dipergunakan sebagai bukti
kepemilikan sebidang tanah berupa bukti tertulis yang dimaksud di atas tidak
lengkap atau tidak ada, maka pembuktian hak dapat dilakukan dengan pernyataan
yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi dari lingkungan msyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan
keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan
ke atas maupun ke samping.
Tujuan pendaftaran tanah pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan
kepastian hukum yang bermuara pada perlindungan hukum pemegang hak atas tanah.
Dengan demikian, sertifikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi
subjek hukum atas tanah sehingga sangat naif sekali jika PP No. 24 Tahun 1997
mensyaratkan alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan tanah karena
menurut penulis alat bukti saksi memiliki bobot yang sangat ringan dan rentan
terhadap risiko kekeliruan. Jika sebuah peristiwa telah terjadi dalam waktu
yang lama maka tidak jarang terjadi bahwa apa yang terjadi tidak dapat diingat
secara keseluruhan.
Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Pada umumnya pada waktu penangkapan kejadian, pihak saksi tidak mengarahkan tindakannya untuk menjadi saksi di kemudian hari sehingga pengamatannya pada saat kejadian dapat saja tidak teliti. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta aklhirnya menuturkannya sebagai kesaksian merupakan proses yang dapat mengaburkan kebenaran di kemudian hari.
Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Pada umumnya pada waktu penangkapan kejadian, pihak saksi tidak mengarahkan tindakannya untuk menjadi saksi di kemudian hari sehingga pengamatannya pada saat kejadian dapat saja tidak teliti. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta aklhirnya menuturkannya sebagai kesaksian merupakan proses yang dapat mengaburkan kebenaran di kemudian hari.
2. Alat Bukti Di Bawah Tangan
Dalam teori hukum dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta di
bawah tangan. Akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 1868 BW dan Pasal
285 Rbg. Akta otentik berdasarkan pasal-pasal dalam bebrapa peraturan ini
memiliki kekuatan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan
orang-orangyang mendapat hak darinya.
Alat bukti di bawah tangan tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam S 1867
No. 29 untuk Jawa dan Madura dan Pasal 286 sampai Pasal 305 Rbg. Akta di bawah
tangan diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 telah ditentukan syarat sahnya
perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sah yang dimaksud maka dapat ditafsirkan
bahwa suatu akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah tetap sah
sepanjang para pihak telah sepakat dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
Fungsi akta ada 2 yaitu fungsi formal yang menentukan lengkapnya (bukan
untuk sahnya) dan fungsi akta sebagai alat bukti di kemudian hari.
Kekuatan pembuktian antara akta otentik dengan akta di bawah tangan
memiliki perbedaan. Dilihat dari kekuatan pembuktian lahir di mana sebuah akta
autentik ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka beban pembuktian
diserahkan kepada yang mempersoalkan keuatentikannya. Sedangkan untuk akta di
bawah tangan maka secara lahir akta tersebut sangat berkait dengan tanda
tangan. Jika tanda tangan diakui maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Kekuatan yang dimiliki oleh tanda tangan bukan
kekuatan pembuktian lahir yang kuat karena terdapat kemungkinan untuk
disangkal.
Kekuatan pembuktian formal pada akta otentik memiliki kepastian hukum
karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar
dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta di bawah tangan maka pengakuan dari
pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.
Sehubungan dengan keabsahan surat di bawah tangan maka peneliti meninjau dari dua hal :
Sehubungan dengan keabsahan surat di bawah tangan maka peneliti meninjau dari dua hal :
1) Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang
menegaskan bahwa transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang
merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum sehingga para pihak tidak
perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang dimaksud antara lain
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18
Desember 1971, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972
tertanggal 14 Maret 1973, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393
K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.
2) Secara khusus dalam aturan-aturn tentang pendaftaran tanah
Dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
Dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
a. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah adalah :
1.
Akta Jual Beli
2.
Akta Tukar Menukar
3.
Akta Hibah
4.
Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan
5.
Akta Pembagian Hak Bersama
6.
Akta Pemberian Hak Tanggungan
7.
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
8.
Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Selain
itu, akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PPAT juga membuat surat kuasa
membebankan hak tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang
dipergunakan dalam pembuatan akta pemberian hak tanggungan.
Ketentuan
di atas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997. Dari aturan dalam Peraturan Menteri Negara tersebut dapat dilihat
adanya keharusan untuk melakukan segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan
tanmah harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Ketentuan
ini bersifat mengikat dan mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu transaksi
dengan objek berupa tanah apabila dilaksanakan di bawah tangan, terancam batal,
sebab bertentangan dengan peraturan yang mengharuskan setiap transaksi dibuat
oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam
hukum, berlaku asas aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah.
Jika berdasarkan asas ini maka izin untuk menggunakan akta di bawah tangan
untuk digunakan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat dapat dibenarkan.
Namun, dissinkronisasi antara PP No. 24 Tahun 1997 dengan Keputusan Menteri
Negara Agraria berimplikasi pada ketidakpastian bagi masyarakat.
Multiinterpretasi dapat terjadi dengan adanya perbedaan antara keduanya.
Dis-sinkronisasi
antara kedua peraturan tersebut berimplikasi pula pada kinerja Badan Pertanahan
dalam upaya mewujudkan tertib pertanahan di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam
melakukan interpretasi dapat menimbulkan keraguan pada kewibawaan Badan
Pertanahan sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan pengaturan atas
tanah yang ada. Hal ini merupakan satu penyimpangan terhadap upaya mewujudkan
tujuan hukum sekaligus merupakan pemicu kerusakan sistem hukum yang ada
Terwujudnya
kepatian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor kekurangan dalam
substansi aturan pertanahan, dissinkonisasi peraturan yang ada. Secara
normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan
perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya.
Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten
dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.
Tujuan
hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan.
Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena
masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila
suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda serta tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan yang ada,
baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan
mejadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun
terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.
Salah
satu pihak yang sangat berperan dalam pembuatan akta otentik adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat umum di mana
dalam pelaksanaan tugasnya berkewajiban untuk mendaftarkan segala akta yang
dibuatnya pada kantor pertanahan sejak penandatanganan. Pejabat Pembuat Akta
Tanah sangat membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk mencapai tertib
pertanahan.
Data
fisik dan data yuridis yang dilaporkan
secara bulanan oleh PPAT mendukung upaya pemerintah untuk mneyediakan informasi
kepada masyarakat. Hal inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan
dihadapan PPAT dengan akta di bawah tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat
bukti di bawah tangan sangat rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta
autentik, pihak BPN dapat lebih menjamin kebenaran data fisik dan yuridis yang
dinyatakan di dalamnya.
Menurut
pendapat penulis, berbicara tentang keabsahan surat di bawah tangan sangat
berkaitan dengan masalah kekuatan hukum dari surat di bawah tangan. Berdasarkan
doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak memiliki
kekuatan hukum. Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat dijadikan
sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda tangan
dan kesaksian dalam surat tersebut.
Keberadaan
surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tetap
diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum.
Untuk
dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik dan
dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di bawah tangan tersebut harus
memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP
No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia
secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak
dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari
pendahulu-pendahulunya dengan syarat:
- Penguasaan tersebut dilakukan
dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang
berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat
dipercaya.
- Penguasaan tersebut baik
sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat
hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.
- Keterangan dari
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya,
karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang
sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dan tidak mempunyau hubungan keluarga dengan yang
bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun
horizontal.
- Kesaksian dari Kepala
Kelurajan/Kepala Desa.Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang
dibuatkan oleh pemohon pendaftaran tanah antara lain berisi :
a.
Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan
digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai
tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk
hubungan perdata lainnya.
b.
Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.
c.
Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat
pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena
memberikan keterangan palsu.
Jadi,
jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi untuk
dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan
Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan
tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki
kekuatan pembuktian.
Dalam
kenyataan yang ditemukan oleh peneliti, meskipun persyaratan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak
persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan
sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik. Beberapa persoalan yang pada
Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut :
1.
Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak
Kantor Lurah atau kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di
lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang
belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah
pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa hanya sekedar
menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan
untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang sama yaitu
2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini
menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.
2.
Masih sehubungan dengan proses pembuatan surat tanah
di Kantor Kelurahan atau Desa, pada saat sebuah surat tanah menjadi perkara di
Pengadilan, Kepala Kelurahan atau kepala Desa yang menandatangani sering
menggunakan dalih bahwa merka tidak mengetahui riwayat tanah tersebut karena
mereka adalah kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang baru menjabat selama 3
(tiga) bulan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jaminan kepastian hukum atas
tanah dengan alas hak di bawah tangan tersebut tidak ada, karena Pejabat yang
menandatanganinya beserta para aparatnya yang turut bersaksi dalam surat
ternyata tidak mengetahui riwayat tanah yang mereka persaksikan.
3.
Kondisi selanjutnya yang terjadi di kantor Keluruhan
atau kantor Desa adalah tidak ada buku tanah desa yang menjadi catatan atau
pengadministrasian terhadap setiap peralihan tanah yang terjadi shingga sangat
wajar, jika kepala desa atau kepala kelurahan yang baru tidak mengetahui
riwayat tanah yang sebenarnya.
4.
Kondisi fatal yang terjadi pula sehubungan dengan
pembuatan surat tanah oleh pihak Kantor Kelurahan atau Kantor desa adalah
seringnya muncul 2 (dua) surat tanah yang berbeda untuk tanah yang sama namun
ditandatangani oleh Kepala Desa yang sama.
Dari uraian di atas
dihubungkan dengan keberadaan surat di bawah tangan sebagai salah satu
pembuktian hak lama maka alas hak dalam penerbitan sertifikat pada pendafataran
tanah berupa surat di bawah tangan dapat menimbulkan ketidakpastian bagi
pemegang hak. Munculnya beragam interpretasi tentang keabsahan sebuah surat di
bawah tangan yang menyebabkan lahirnya Putusan Hakim yang berbeda-beda
merupakan salah satu bukti bahwa peralihan dengan menggunakan surat di bawah
tangan yang dijadikan sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah tidak memberikan
jaminan kepastian hukum bagi para pemilik tanah.
Kondisi-kondisi di atas tentu saja akan sangat
menyulitkan masyarakat ketika suatu saat ada pihak lain yang mengklaim tanah
yang mereka miliki. Keadaan lain yang terjadi adalah beberapa anggota
masyarakat ternyata telah kehilangan tanah mereka tanpa mereka ketahui dan pada
saat mereka mengajukan upaya penyelesaian, ternyata mereka tidak memiliki daya
apa-apa karena surat tanah yang mereka miliki harus gugur karena pihak lain
memiliki bukti berupa akta autentik.
Mencermati uraian-uraian di atas sehubungan dengan
penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar penerbitan sertfikat hak milik,
penulis berpendapat bahwa surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum
namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik
sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran dan diketahui
oleh minimal 2 (dua) orang saksi bersama Kepala Kelurahan atau Kepala Desa
sebagai pihak yang dianggap mengetahui riwayat tanah pada Kelurahan atau desa
tempat mereka menjabat. Namun demikian, surat di bawah tangan ini tidak bisa
memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat karena dalam
kenyataannya di Pengadilan, para hakim memiliki interpretasi yang berbeda
mengenai keabsahan surat di bawah tangan.
Untuk mengantisipasi munculnya masalah dalam
penggunaan surat di bawa tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam
proses pembuatan surat tanah di bawah tangan, seluruh pihak yang terkait
seharusnya mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar
tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupuyn pemilik
tanah yang sebenarnya (jika ternyata sertifikat diterbitkan kepada pihak yang
tidak berhak).
D. Konversi
hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Daerah
swapraja adalah daerah raja-raja semasa pemerintahan kolonial Belanda. Terdapat
beberapa jenis hak swapraja atas tanah:
1. Hak
hanggaduh, adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Di Daerah Istimewa
Yogyakarta, semua tanah adalah kepunyaan raja. sedangkan rakyat hanya menggaduh
saja. Hak hanggaduh dapat dikonversi menjadi hak pakai.
2. Hak
grant, adalah hak atas tanah atas pemberian hak raja kepada bangsa asing. Hak
grant juga disebut geran datuk, geran sultan atau geran raja. Hak grant terdiri
dari tiga macam, yaitu:
a.
Grant sultan, adalah hak milik untuk mengusahakan
tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak ini dapat
dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai
dengan subyek hak dan peruntukannya.
b.
Grant controleur, diberikan oleh sultan kepada bukan
kaula swapraja. Hak ini dikonversi menjadi hak pakai.
c.
Grant deli maatschappy, diberikan oleh sultan kepada
deli maatschappy yang berwenang untuk memberikan bagian-bagian tanah kepada
pihak lain. Terhadap konversi hak grant deli maatschappy, tidak terdapat
ketentuan yang mengaturnya. Namun menurut Boediharsono, hak ini dapat
dikonversi menjadi hak pakai karena sifatnya sama dengan hak grant controleur.
3. Hak
konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar. Hak konsesi untuk perusahaan
kebun besar adalah hak-hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan
oleh kepala swapraja. Sedangkan hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah
hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan
sebagai perkebunan yang luasnya 25 Ha atau lebih. Hak-hak ini dapat dikonversi
menjadi hak guna usaha.
Bagaimana status tanah bekas swapraja, berdasarkan UU
Nomor 27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomr 3 Tahun 1953
pada bagian III yang bernomenklatur
Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya. Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
(2) Tanah, bangunan, gedung dan
barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh
Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan
kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh
Kementerian Pertahanan.
Berdasarkan Pasal 47 diatas, maka tanah tidak dikuasai oleh Kementerian Pertanahan,
termasuklah tanah-tanah bekas swapraja di kalimantan (Barat), oleh karena itu
penguasaan tanah di daerah bekas swapraja dibawah kekuasaan siapa ?
UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diterbitkan. Diktum IV UUPA menyatakan bahwa:
Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas
swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
Subyek
hukum yang dapat memiliki tanah menurut UUPA adalah individu dan badan hukum yang diatur oleh PP No 38 tahun 1963
tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah
meliputi:
a) Badan hukum sosial,
b) Badan hukum keagamaan,
c) Koperasi pertanian, dan
d) Bank pemerintah.
Bagaimana dengan Kesultanan ? artinya, kasultanan sebagai badan hukum
swapraja bukan subyek hak atas tanah menurut UUPA. Lebih lanjut, aturan
pelaksanaan Diktum IV UUPA antara lain adalah:
1. PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
Dan Pemberian Ganti Kerugian.
Dengan berlaku sepenuhnya UUPA beserta aturan-aturan
pelaksanaannya di Propinsi di Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), pengurusan
agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi (medewebind) beralih menjadi
wewenang dekonsentrasi.
PP 224 Tahun 1961 tidak diakui keberadaan atau kekuatan
hukumnya sebagai aturan pelaksanaan dari UUPA Diktum IV terkait hapusnya tanah
swapraja, akibatnya terjadi dualisme
hukum pertanahan di wilayah DIKB.
Hal ini tidak terjadi di daerah bekas swapraja/swapraja
yang masih ada selain DIKB, di mana UUPA bisa berlaku sepenuhnya tanpa dualisme
hukum. Penulis berpendapat ini persoalan political will daripada persoalan legal problems of law enforcement.
Terdapat dua ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/ bekas
Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961, yaitu:
a. Bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah
Swapraja/ bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (Pasal 1 c).
b. Bahwa tanah Swapraja/bekas Swapraja tersebut diberi
peruntukan: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang
langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu, dan sebagian untuk rakyat yang membutuhkan (Pasal
4) Artinya, keturunan penguasa swapraja masih diberi kesempatan untuk memiliki
hak milik secara pribadi dengan cara
mengajukan permohonan kepada negara.
Sejak
kapan perorangan dapat mengajukan permohoan kepada negara tanah bekas swapraja?
Penulis berpendapat, Hak dan Kewenangan adalah dua hal yang sama sekali
berbeda.
Negara
mempunyai Hak Menguasai menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pada saat yang sama
negara mempunyai Kewenangan untuk mengatur hak-hak dari subyek hak yang diatur
UUPA, misalnya: memberikan dan melepaskan hak milik, hak guna dan hak pakai.
Ketidakmampuan
membedakan Hak dan Kewenangan sama halnya dengan tidak dapat membedakan Hak dan
Kewajiban, hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum menjadi inheren di dalam DIKB
terhadap tanah bekas swapraja. Namun menurut hukum suatu Hak Milik Swapraja
yang telah melekat pada seseorang sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut maka Hak Milik Swapraja langsung dapat dikonversi menjadi Hak Milik menurut UUPA.
Pertanyaannya bagaimana
mengkonversinya ?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu dipahami yang dimaksud wilayah/daerah swapraja adalah
wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri. Istilah ini dipakai sebagai
peranan bagi istilah pada masa kolonial Belanda, zelfbestuur (jamak zelfbesturen).
Sistem
administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia-Belanda dikenal
rumit dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda. Daerah
swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan
mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan,
dan keadipatian.
Status
swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak
mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh Daerah
swapraja Daerah Istimewa Kalimatan Barat (DIKB) sebagai satuan kenegeraan yang
berdiri sendiri, sejak tahun `1947.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja oleh pemerintahan
antara Hindia-Belanda melalui
berbagai Lembaran
Negara (Staatsblad). Pada masa Republik
Indonesia Serikat, daerah-daerah swapraja menjadi bagian dari
"negara" /negara bagian atau satuan kenegaraan yang berdiri sendiri.
Reorganisasi
pemerintahan daerah semenjak berlakunya UU Nomor 1 tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah secara
efektif menghapus status swapraja
dan membentuk "daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri",
yang juga disebut Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa (Pasal
1), seperti swaparaja Kalimantan Barat.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
tahun 1945, pemerintahan swapraja dibanyak daerah menjadi hapus.
Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian menjadi daerah yang
diperintah langsung oleh negara Republik Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah
administrasi biasa, misalnya menjadi Karesidenan.
Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh
pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi
tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara,
seperti tanah-tanah dalam daerah pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah
yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas
kepala swapraja, yang umumnya masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala
swapraja, Sunan, Sultan atau Raja
sebagai kepala keluarga kerajaan. Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi
tersebut, pada hakikatnya adalah merupakan tanah milik pribadi seperti
tanah-tanah hak milik di daerah lain. Pada waktu Sunan, Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut diwarisi oleh ahli warisnya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa” yang
berarti; “sendiri” dan “Praja” yang
berarti; “kota-negeri”, Swapraja, berarti daerah yang
berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati
daerah yang memiliki Pemerintahan sendiri.
Sebutan
swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam penjelasan
Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen. Baru di dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara
1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab IV.
Di
dalam Bab II bagian III Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berjudul
daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65, bahwa; daerah-daerah
Swapraja yang sudah ada, diakui. Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja
masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan
pengertian bahwa mengatur daerah itu dilakukan dengan kontrak, yang diadakan
antara daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.
Dalam
Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah
swapraja diatur dengan Undang-Undang.
Ketika UUPA (UU No 5 Tahun 1960)
terbit, maka dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan
bekas swapraja, namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara
khusus merupakan pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat
ketentuan mengenai pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka
pelaksanaan Landreform.
Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja
adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia
Belanda, yang kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ), berdasarkan
perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan
sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur ) di
wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta
adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, pelaksanaan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 telah dilaksanakan tidak
sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh ketentuan itu sendiri. Menurut
Peraturan Pemerintah tersebut, terhadap tanah swapraja dan bekas swapraja yang
beralih kepada negara, diberi peruntukan; sebagian untuk kepentingan Pemerintah,
sebagian untuk kepentingan mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya
hak swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini.
Lebih lanjut ditentukan, bahwa;
tanah yang diperuntukan bagi mereka yang langsung dirugikan, letak dan luasnya
ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah
mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Jadi pelaksanaan ketentuan Diktum ke IV huruf A UUPA dan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, mengenai tanah-tanah swapraja/bekas swapraja
di wilayah Eks Kesultanan Pontianak, khususnya terhadap tanah-tanah eks Kesultanan
Pontianak, telah menimbulkan “konflik pertanahan” yang
berkepanjangan, kerena tidak adanya kejelasan mengenai status tanah tersebut.
Secara historis, politis maupun
yuridis, DIKB tidak pernah menjadi daerah Swapraja atau bekas Swapraja dibawah
kekuasaan Belanda, karena sepanjang sejarah berdirinya kekuasaan Kesultanan
Pontianak yang mana Sultannya menjadi Kepala DIKB, merupakan suatu daerah yang merdeka
dalam arti yang sesungguhnya, karena tidak pernah disentuh oleh kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda sejak 1947 dan sebagai satuan kenegaraan yang berdiri
sendiri dalam Konstitusi RIS 1949 (pasal 1)
Kemudian berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka
Pemberian Hak Baru atas tanah asal koversi Barat Presiden Republik Indonesia dalam konsideran Menimbang huruf a. bahwa dalam rangka
menyelesaikan masalah yang ditimbulkan karena berakhirnya jangka waktu hak-hak
atas tanah asal konversi Hak Barat pada selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980, sebagai yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
dipandang perlu untuk digariskan pokok-pokok kebijaksanaan yang mengarah kepada
usaha untuk menunjang kegiatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan di
bidang ekonomi khususnya. Jadi secara kebijakan tanah bekas swapraja
dikatagorikan sebagai hak pakai asal konversi hak barat, hal ini ditegaskan
pada Pasal 1 (1) Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat,
jangka waktunya akan berakhir
selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung.
Berdasarkan itu bagaimana status
hukumnya tanah bekas swapraja ? artinya status hukum berakhir ketika tidak
didaftarkan sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960, kemudian Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah sesuai amanah Pasal 19, Pasal 26 dan Pasal 52
Undang-undang pokok Agraria;,
yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang berlaku
sejak 23 Maret 1961, Jadi secara logika hukum bahwa pendaftaran tanah
berdasarkan prosedur PP Nomor 10 Tahun 1961 berakhir pada tanggal 24
September 1980 sesuai pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979
dengan kata lain status hukum tanah bekas swapraja terhapus kemudian berubah
statusnya sebagai tanah negara.
Bagaimana Prosedur Pendaftaran Tanah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ? Pasal 1 Pendaftaran
diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran
Tanah menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan dimulai pada tanggal yang ditetapkan
oleh menteri Agraria masing-masing daerah.
Pasal 2 (1) Pendaftaran tanah diselenggarakan desa
demi desa atau daerah daerah yang setingkat dengan itu.(selanjutnya dalam
Peraturan Pemerintah ini disebut dengan desa).
Pasal 1 ayat (1) “Daerah-daerah yang ditunjuk menurut pasal 2 ayat (2) semua
bidang tanah diukur desa demi desa. Ayat (2)
Sebelum sebidang tanah diukur,
terlebih dahulu diadakan a.penyelidikan riwayat tanah itu; dan
b.penetapan batas-batas.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 ada dua prosedur terhadap pendaftaran hak, peralihan dan
penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah
(BAB III), yaitu pada bagian I Pembukuan hak-hak atas tanah. a Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya
telah diselenggarakan secara lengkap mulai pasal 12 sd 14, dan b. Di Desa-desa yang pendaftaran tanahnya
belum diselenggarakan secara lengkap.
Mulai pasal 15 sd Pasal 18.
Terhadap prosedur b yang dimulai dari pasal 15 sampai dengan pasal 18 adalah dimaksudkan belaku di desa-desa yang
pendaftaran tanahnya belum
diselenggarakan secara lengkap, maka hak-hak atas tanah yang telah diuraikan
dalam suatu surat hak atas tanah yang dibuat “Overschrijvings-Ordonantie” (s
1834 Nomor 27), Peraturan Agraria Nomor 9 Tahun 1959 dan Peraturan-peraturan
pendaftaran yang berlaku di daerah
Istimewa Yogyakarta,Keresidenan Surakarta dan Sumtera Timur dan telah pula
diuraikan dalam surat ukur (lama) yang menurut Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
masih memenuhi syarat-syarat teknis dibukukan dalam buku tanah.
Berdasarkan pasal 18 PP No 10 Tahun 1961 adalah prosedur pendaftaran
hak, peralihan dan penghapusan serta pencatatan beban-beban atas hak dalam
daftar buku tanah yang berlaku di daerah Istimewa Yogyakarta, Keresidenan Surakarta dan Sumtera
Timur atau kalimantan, sehingga apabila ada pendaftaran hak baru sudah melalui
prosedur administrasi pertanahan melalui
konversi tanah bekas swapraja yang sudah lewat dari tanggal 24 september 1980,
maka akibat hukumnya adalah cacat hukum
secara prosedur kecuali bekas tanah adat yang tidak ada daulawarsanya dan memang prosedur huruf b dimaksudkan untuk
penegasan konversi bekas hak- hak Indonesia atas tanah yang dikenal tanah hak adat sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri No Sk 26/DDA/1970 Tentang Penegasan Konversi
Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas tanah. Dan Peraturan ini sudah dicabut
dengan Permenag/KNPN No 3 Tahun 1997, (pasal 196 huruf e) sebagai
pelaksanaan Peraturan Pemerintan Nomor
24 Tahun 1997.
Bagaimana hak-hak atas
tanah yang didaftar serta hal hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan
pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 apakah
tetap sah? Bahwa kegiatan hasil
pendaftaran menurut Peraturan Pemerintah ini (Pasal 64 ayat (2) PP Nomor 24
Tahun 1997) jo Pasal 194 PNA/KBPN No 3
Tahun 1997 tetap sah, oleh karena itu termasuk keputusan pejabat tata usaha
negara yang bersifat deklaratoir.
Uraian
berikut dibawah ini diawali dengan pertanyaan hukum apakah ada korelasinya
antara karakter hukum sertipikat hak dengan status hukum tanah dan akibat
hukumnya. Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan
dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah ( badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara ) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat
pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah.
Bila
mana sertipikat dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti
hak atas tanah, berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang
sertipikat tanah menunjukan mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah atas
suatu bidang tanah tertentu[1]. Ketika suatu sertifikat dikonsepkan
sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka sertifikat bukan
merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas
tanah.
Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24 tahun
1997, menunjukan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu
yang dapat dijadikan alas hak ( title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang
atau badan hukum dapat menuntut kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah
yang dipegang atau dimiliki.
Secara
hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna
dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan
sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah.
Pertama,
instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai “hak
baru” atas tanah harus dibuktikan dengan “Penetapan pemerintah” yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah
Negara atau tanah hak pengelolaan. Wujud konkret dari penetapan pemerintah ini
adalah Surat Keputusan Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK
HGB, dst); dan atau
Kedua, akta
otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ) menurut ketentuan hukum
termasuk alat bukti kepemilikan hak baru, dimana akte otentik tersebut memuat pemberian
hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan
apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik. ( pasal
23 PP No. 24 tahun 1997)
Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang
disebut sebagai hak atas tanah yang “lama” ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui
keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas
tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti kepemilikan
tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria ( PMNA)/
Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3 tahun 1997.
Didalam pasal 24 PP
No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, beserta
penjelasan pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan
akte eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan
peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan
peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik
dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang
tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah
memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil,
ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, akta
pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala
Adat/desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini
dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT
yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, surat
keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala kantor PBB dengan
disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis
dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam pasal II, VI, dan VII
ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya
merupakan representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang
dipunyai oleh warga Negara Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak
kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki
diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu
gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan
bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum
harus mendapatkan perlindungan oleh negara.[15]
Hak milik ( property rights ) merupakan suatu
hak yang mempunyai hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya
dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan
pemiliknya menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang
dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse “ property
is basic to the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can
do without it”.[16]
Hak milik atas tanah melekat pada
pemiliknya selama mereka tidak melepaskan haknya ( peralihan hak).[4] Demikian juga bila dicermati
ajaran John Locke mengenai hak milik ini yang mengatakan
bahwa: Ownership of property is a natural right and that the purpose of
Government is to protect and preserve natural property right.[17]
Hak
milik merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan keharusan bagi
negara untuk melindungi, memelihara dan menjaga hak kepemilikan warga
negaranya. Ajaran maupun teori hak kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam
Konstitusi yang merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan
hukum, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi dari
jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan dengan tanah
( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan kedalam UUPA. [18]
Berkaitan dengan hal
tersebut diatas,sebagai konsekuensi yuridisnya maka diatur bahwa terhadap tanah
hak yang berasal dari hak lama ( adat ) oleh hukum dilakukan perubahan hukum
berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat
karena hukum dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas
tanah yang diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model
sertipikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat “ Deklaratif”
( declaratoir). Disamping model pengakuan Negara terhadap hak atas
tanah rakyat, Negara mengakomodir adanya hak atas tanah yang muncul yang
berasal dari status tanah-tanah diluar tanah hak yang dikuasai rakyat ( tanah
Negara ). Hak atas tanah ini terbit berdasarkan pada tindakan pemerintah yang
berupa “penetapan” atau “ keputusan” hak memunculkan model sertifikat yang
berkarakter yuridis yang bersifat “Konstitutif”( Konstitutief). [19]
Dalam ajaran hukum
bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan atau keputusan yang bersifat
deklaratif yakni suatu ketetapan atau keputusan yang menetapkan mengikatnya
suatu hubungan hukum yang sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht menyebutkan
bahwa suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang hanya
menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk golongan
ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende beschikking),
sedang yang disebut sebagai ketetapan Konstitutif adalah ketetapan membuat
hukum baru ( rechtscheppend).[20]
Menurut P. de
Haan cs, “ Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat”
halaman 30, yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat
pengelompokan Beschikking, khusus yang disebut sebagai keputusan deklaratur
maupun konstitutif (Rechtsvastellend en rechtsscheppend ) diuraikan
bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif hubungan hukum pada dasarnya
sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas tanah eks hukum adat.
Relevansi praktis
dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti. Keputusan tata usaha Negara
deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Adanya hubungan hukum masih mungkin
dapat dibuktikan dengan alat bukti lain.
Pada keputusan Tata
Usaha Negara konstitutif, adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat
mutlak lahirnya hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai
pegawai negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara
deklaratif, dalam keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat bukti
mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum tanpa adanya keputusan tata
usaha Negara yang sifatnya konstitutif. [21]
Ajaran hukum tersebut
selaras dengan konsep hukum tanah yang pada prinsipnya yang diatur dalam UUPA
bahwa hak kepemilikan atas tanah tercipta atau lahir dapat berasal dari:
1.
Berdasarkan pada konsep pengakuan adanya keberadaan
hak kepemilikan yang telah ada sebelum UUPA yang dalam hal ini masuk dalam
kelompok tanah hak barat yang disebut sebagai tanah yang pernah “ terdaftar”
dan kelompok yang belum pernah terdaftar yakni seperti tanah hak masyarakat
(adat) yang diakui tanah milik adat dan;
2.
Hak kepemilikan atas tanah yang lahir atau diperoleh
berdasarkan ketentuan hukum ( undang-undang) yang berupa Penetapan Pemerintah.[22]
Kedua kelompok ini
mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda terhadap pengaturan hukum ketata
usahaan pendaftaran dan alat bukti hak atas tanah, serta akibat hukum yang
ditimbulkan bila terjadi sengketa hak kepemilikan atas tanahnya.
Pertama,
Hak kepemilikan atas tanah yang lahir karena Penetapan Pemerintah ( istilah
lain dari keputusan pemberian hak ) sesuai dengan ajaran ilmu hukum dan
sebagaimana diatur dalam ketentuan UUPA maupun peraturan pelaksanaannya
dilahirkan berdasarkan pada suatu tindakan atau perbuatan hukum dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara berupa keputusan pemberian hak milik.
Dalam konteks ini
hubungan hukum antara subyek dan obyek secara yuridis belum ada. Hubungan yang
terjadi antara subyek dan obyek hanya sekedar hubungan penguasaan secara fisik
( possession ).
Secara hukum baru ada
setelah adanya Keputusan Penetapan Hak Kepemilikan atas tanah dan selanjutnya
berdasarkan keputusan atau ketetapan hak inilah yang menjadi dasar alas hak
pendaftaran hak dan terbitnya sertifikat hak kepemilikan atas tanah yang
berkarakter yuridis yang bersifat Konstitutif.
Ciri khas dari model
ketetapan atau keputusan pemberian atas tanah dan yang melahirkan sertifikat
yang bersifat konstitutif berasal dari obyek tanah yang berstatus tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau “tanah Negara”.[23]
Pengaturan lebih
lanjut terhadap keputusan pemberian hak atas tanah yang berstatus tanah negara
ini dapat terbaca dalam beberapa peraturan perundangan antara lain: Keppres No.
32 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak Barat, Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN) No. 5 tahun
1973, Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah,
yo. PMDN No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Pemberian Hak Atas Tanah.
Peraturan ini dicabut
oleh PMNA /KBPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yo. PMNA/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah Negara.
Keseluruhan bentuk
atau macam sebutan tanah-tanah negara merupakan obyek dari keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat Konstitutif, dimana untuk mendapatkan hak atas tanah
tersebut diperlukan suatu permohonan kepada negara dan apabila persyaratan
dianggap telah memenuhi dan permohonan dikabulkan maka Badan atau Pejabat Tata
usaha negara yang berwenang untuk itu melakukan tindakan hukum berupa
menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah kepada pemohon.
Dengan adanya
Keputusan tersebut muncul hubungan hukum antara obyek ( tanah negara ) dengan
subyek yaitu seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan hak atas
tanah negara tersebut dan sejak saat dikeluarkan keputusan tersebut maka terbit
Hak kepemilikan Atas Tanah yang bersangkutan.
Dengan catatan bahwa yang
bersangkutan memenuhi segala persayaratan yang ditentukan didalam keputusan
tersebut. Apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka hak tersebut
menjadi “ batal “ dengan sendirinya dan tanahnya kembali
dikuasai oleh negara atau menjadi tanah negara kembali. Dengan perkataan lain
bahwa Karakter khas yang muncul dari tanah – tanah yang berstatus tanah negara
yang oleh negara yang diberikan sesuatu hak atas tanah adalah:
(1)
sebelum terbit sertifikat hak atas tanah yang
dipergunakan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah, akan didahului dengan
adanya tindakan hukum dari pemerintah
yang dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan atau Pejabat Tata
usaha Negara yang diwujudkan dalam Keputusan berbentuk “ Surat
Keputusan” ( SK) pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum
yang mengajukan permohonan haknya;
(2)
didalam ketetapan yang berupa suatu keputusan
pemberian hak tersebut selalu ada persyaratan-persyaratan baik berupa
persyaratan umum maupun khusus maupun kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
oleh yang bersangkutan, dengan akibat hukum “ batal” dengan
sendirinya apabila persyaratan dan atau kewajiban tidak dipenuhi oleh mereka
yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan.
Kedua,
hak kepemilikan atas tanah yang telah ada baik hak barat maupun hak adat (
terdaftar maupun yang belum terdaftar) diakui keberadaannya yang oleh UUPA
diubah kedalam bentuk baru ( konversi ) jenis-jenis hak ciptaan UUPA.
Pengakuan negara dan
perubahan kepada hak baru dengan persyaratan yang ditentukan oleh
undang-undang. Pada prinsipnya pengakuan negara terhadap keberadaan hak
kepemilikan atas tanah yang ada dituangkan kedalam bentuk penegasan, dan Sesuai
dengan ajaran hukum penegasan semacam ini disebut sebagai suatu keputusan yang
dalam wujud konkretnya berupa keputusan penegasan (deklaratif).
Dalam model keputusan
deklaratif ini syarat adanya keputusan Tata Usaha Negara bukan merupakan
syarat mutlak adanya hubungan hukum antara subyek dan obyeknya pada dasarnya
telah ada. Hubungan hukum antara subyek dan obyeknya dapat dibuktikan dengan
alat bukti keperdataan tertulis yang lain ( PP No. 24 tahun 1997 yo. PMNA/ KBPN
No. 3 Tahun 1997).
Ketentuan hukum
sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi UUPA, PMA No. 2 tahun 1960 tentang
Pelaksana beberapa ketentuan Undang Undang Pokok Agraria Yo. PMA No. 5 tahun
1960 dan PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran
Hak-Hak Indonesia, merupakan bentuk adanya pengakuan oleh negara terhadap
hak-hak rakyat baik hak kepemilikan yang diatur menurut hukum perdata barat (
BW) maupun hak-hak tanah adat.
Namun demikian ada
karakter hukum yang khas dari ketentuan penegasan konversi hak kepemilikan atas
tanah dalam UUPA. Hukum mengatur adanya prinsip-prinsip “Nasionalitas” yang
wajib hukumnya harus dipenuhi bagi pemegang hak atas tanah agar dapat
memperoleh pengakuan dan penegasan hak atas tanahnya. Maksudnya adalah
pengakuan penegasan terhadap hubungan hukum hak kepemilikan atas tanah antara
pemegang hak dengan obyeknya diakui oleh negara syaratnya adalah Warga negara
Indonesia.
Konsekuensi hukum
bilamana syarat tersebut tidak dipenuhi maka hubungan hukum hak kepemilikan
atas tanah diubah (diturunkan) kepada hak jenis lain dan dalam jangka waktu
tertentu dicabut oleh negara, sehingga berdasarkan ketentuan hukum ( UUPA)
status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (
tanah negara).
Untuk hak atas tanah
yang berasal dari bekas hak barat ( pasal I ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA):
Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi
hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang
tersebut dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yakni harus Warganegara Indonesia sejak
24 september 1960.
Berdasarkan ketentuan
pembuktian kewarganegaraan diberikan waktu 6 (enam ) bulan (pasal 2 PMA No. 2
tahun 1960). Pemegang hak eigendom yang dapat membuktikan kewarga negaraannya
maka oleh KKPT ( Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ) saat ini Kepala Kantor
Pertanahan, eigendomnya dikonversi menjadi hak milik dan tanda bukti kepemilikan
hak tersebut dicatat baik pada asli akta maupun didalam salinan aktanya,
demikian disebutkan dalam pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960.[24]
Pencatatan konversi
oleh KKPT ini dilaksanakan dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata “
Berdasarkan pasal dan ayat ketentuan konversi Undang-Undang Pokok Agraria
dikonversi menjadi: Hak ( isi: milik, guna bangunan, Guna usaha atau pakai)
dengan jangka waktu” ( pasal 18 PMA No. 2 tahun 1960). Akibat hukumnya apabila
pemegang hak tidak melaporkan status hukum kewarganegaraannya dalam waktu 6
bulan atau tidak dapat membuktikan kepemilikannya maka menurut hukum hak
eigendomnya berubah menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.[25]
Dan setelah 20 tahun
jika tidak diperbaharui haknya hapus menjadi tanah negara berdasarkan Keppres
No. 32 tahun 1979 yo. PMDN No. 3 tahun 1979. Untuk pengakuan negara terhadap
tanah-tanah Adat diatur dalam pasal II dan pasal VII Ketentuan konversi UUPA.
Dalam pasal II Ketentuan Konversi berisi hak – hak atas tanah-tanah adat yang
memberikan wewenang yang mirip dengan hak milik pasal 21 UUPA dikonversi
menjadi hak milik, bilamana memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam pasal 20
ayat 1 UUPA yaitu: hak Agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, demikian juga tanah pekulen, sanggan, gogolan yang
sifatnya tetap dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi
menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai
yang tersebut dalam pasal 21 UUPA. Mengingat adanya perbedaan karakter tersebut
maka sebagai konsekuensi hukumnya akan berbeda pula pada saat terjadi
pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanahnya yang menjadi alas atau dasar
penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut.
Didalam ilmu hukum bahwa suatu
“keputusan” dikatakan sah menurut hukum ( rechsmatig ) apabila
keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum.
Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum ( rechtskrach ) untuk
dilaksanakan. sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi
persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi
“ tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “ batal” ( nietig ).
Menurut Van
der Pot, ada 4 syarat yang harus di penuhi agar ketetapam administrasi
sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat
menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan
tidak sah: 1. bevoedgheid ( kewenangan ) organ administrasi
yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (
tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak ); 3. vorm dan procedure yakni
keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah diketapkan dan dibuat menurut tata
cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar.[26]
Philipus M. Hadjon mengutarakan
wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum
untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah.
Pertama,
aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan
tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
itu;
kedua,
aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan
sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan
pemerintah;
ketiga, aspek
substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “ Error
in re”. [27]
selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah
Belanda “ rechtmatigheid” ( van bestuur). Rechtmatigheid =
legalitas = legality.
Ruang lingkup
keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (
wewenang dan substansi ) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar
legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar
asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan
tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha
negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.[28]
Sebaliknya
Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak memenuhi elemen atau syarat dapat
dikatakan bahwa keputusan mengandung kekurangan juridis dalam pembuatannya,
sehingga keputusan tersebut merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E.
Utrecht, mengatakan:suatu ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu
merupakan ketetapan atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang
mengandung kekurangan tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya
tergantung pada hal apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan
bestaansvoorwaarde atau tidak untuk adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde=
syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu ada; kalau syarat tidak dipenuhi maka
sesuatu itu (dianggap) tidak ada.[29]
Stelinga,
mengatakan bahwa suatu ketetapan yang mengandung kekurangan masih dapat
diterima sah oleh karena sah tidaknya sesuatu ketetapan yang mengandung
kekurangan tergantung pada beratnya kekurangan itu.[30]
Menurut Soehino,
bahwa yang disebut sebagai ketetapan yang tidak sah bila mengandung kekurangan
syarat yang seharusnya dipenuhi dalam pembuatan ketetapan administrasi
tersebut. [31] Dengan
adanya kekurangan syarat yang seharusnya dipenuhi dapat berakibat hukum
batalnya ketetapan tersebut. Disamping batal atau dapat dibatalkan ketetapan
tersebut dimungkinkan bahwa ketetapan tersebut dicabut oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang menerbitkan. Masih berkaitan dengan ketetapan yang
mempunyai kekurangan yuridis, van der Wel, berpendapat agak berbeda
sebagaimana yang dikutip oleh Bachsan Mustafa dalam bukunya:
Suatu ketetapan yang
menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat
dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan yang lainnya kita
harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “ esensial”
atau kekurangan yang “ bukan esensial”, kekurangan yang bukan yang esensial
tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial
harus dilihat beratnya kekurangan.
Apabila kekurangan
itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang bersangkutan sebetulnya
tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat dianggap
batal sama sekali.
Apabila kekurangan
itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap batal
terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggugat berlakunya ketetapan
itu ( misalnya dalam bandingan).[32]
E.Utrecht berkomentar
bahwa dia dapat menerima pembagian kekurangan ketetapan kedalam kekurangan yang
esensial ( inti) dan yang bukan yang esensial. Namun kandungan kekurangan tersebut
harus dilihat secara kasuistis yang penting bahwa keputusan Administrasi negara
adalah pemanfaatan / kegunaannya ( doelmatigheid) lebih penting
dari pada sesuai tidaknya dengan hukum positif ( rechtsmatigheid). [33]
Untuk mengetahui
suatu keputusan itu mempunyai kekurangan yang masuk dalam ranah kekurangan yang
esensial atau yang bukan esensial, sehingga ketetapan tersebut menjadi sah atau
tidak sah.
Apabila mengikuti
teorinya van der Pot, maka ada 4 syarat yakni: dibuat oleh Badan
atau pejabat yang berwenang, tidak boleh adanya kekurangan yuridis, berhubungan
dengan bentuk ( vorm) dan prosedur, serta isi dan tujuan harus
sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Atau sebagaimana disampaikan
oleh Philipus M. Hadjon ada 3 aspek yang penting yakni: Wewenang, Prosedur dan substansi untuk
dapat dikatakan sahnya ketetapan atau keputusan.
Didalam Hukum
Administrasi bahwa ketetapan tidak sah akan berakibat batal
ketetapan tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis pembatalan suatu ketetapan
tidak sah yaitu:
pertama,
ketetapan yang batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege);
kedua,
ketetapan yang batal ( nietig, juga: batal absolut, absoluut
nietig);
ketiga,
ketetapan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar).[34]
Keputusan yang
“ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan
adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum
dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan pengadilan atau Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan
tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak dikeluarkan.
Bagi hukum dianggap
tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan
suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian
atau seluruhnya. [35] Namun
Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatat kaki bukunya, bahwa hal ini jarang
sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata “ satu dua hal”. [36] yang
maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat secara umum bahwa batal
karena hukum suatu ketetapan tidak secara otomatis artinya diperlukan suatu
tindakan pembatalan dari Pengadilan maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.
Selanjutnya suatu
ketetapan yang “Batal” ( nietig) merupakan suatu tindakan
atau perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu perbuatan dianggap
tidak pernah ada [37] yang disebut juga sebagai
“ Absoluut nietig”.[38]
Selanjutnya
pengertian “ dapat dibatalkan” ( vernietigbaar)
merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang
dalam pengertian dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan itu mengandung
kekurangan. Perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu
pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (
pembatalan diadakan karena pembuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan ).
Bagi hukum, perbuatan
tersebut ada sampai waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal
undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah
pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan – bila mungkin – diusahakan supaya
akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.[39]
Dengan kata lain
bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat dibatalkan ( vernietigbaar)
yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah pembatalan oleh hakim
atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut.
Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah
sampai dikeluarkan keputusan pembatalan ( ex-nunc) kecuali
undang-undang menentukan lain.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan hukum adalah sebab atau
alasan pembatalan atau batalnya suatu ketetapan atau keputusan yang diterbitkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam
ajaran hukum bahwa suatu keputusan ( beschikking ) dikatakan
sah apabila memenuhi beberapa syarat, seperti yang diajukan van der Pot ada
4 syarat fundamental:
1.
Bevoedgheid (
kewenangan) organ Administrasi negara yang membuat keputusan;
2.
Geen juridische gebreken in de
wilsvorming ( tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan
kehendak );
3.
Vorm dan procedure yakni
keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut
tatacara yang telah ditetapkan;
4.
Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar.[40]
Philipus M. Hadjon mengutarakan
bahwa wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum tersebut merupakan
landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut
sah menurut hukum.
Pertama,
aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan
tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
itu;
kedua,
aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan
sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan
pemerintah;
ketiga,
aspek substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada
“ Error in re”.[41]
Hal ini selaras dengan hukum Acara
yang di atur didalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang selanjutnya diubah ( sebagian ) oleh UU No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986, menetapkan
bahwa Seseorang atau Badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Adapun
dasar alasan gugatan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) nya, isinya
menyatakan bahwa alasan gugatan yang digunakan adalah Keputusan Tata Usaha
Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara
lain adanya kesalahan bersifat kewenangan, prosedur dan substansi ( penjelasan
pasal), penyalahgunaan wewenang ( de tournament de pouvoir) dan
larangan berbuat sewenang-wenang.
Adapun
rumusan lengkapnya pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut:
(3) seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan atau rehabilitasi;
(4) alasan – alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah digunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut;
c.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan atau tidak keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak keputusan tersebut.
Dengan
demikian bahwa dalam hukum acara pasal 53 ayat (2) UU. No. 5 Tahun 1986,
merupakan dasar dari alasan untuk menggugat ( Beroepsgronden)
seseorang atau badan hukum perdata dan sekaligus pengujian oleh hakim
pengadilan terhadap keputusan Tata usaha Negara ( KTUN) sebagai berikut:
Pertama,
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya bilama dicermati dalam penjelasan
otentik dari pasal ini memberikan penjelasan tentang pengertian “ bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” yaitu:
1.
Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural
atau formal;
2.
Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substansi;
3.
Bahwa keputusan Tata usaha Negara dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha yang tidak berwenang dan apabila tidak berwenang
dikaitkan dengan kompetensi Jabatan maka dimungkinkan ada tiga macam bentuk
tidak berwenang ( onbevoegdheid) yaitu: onbevoegdheid
ratione materiae ( menyangkut kompetensi absolute), onbevoegdheid
ratione loci ( kompetensi relative) dan onbevoegdheid ratione
temporis ( tidak berwenang dari segi waktu).
Kedua,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut yang dikenal dengan sebutan “
penyalahgunaan wewenang” ( de tournament de pouvoir).
Menurut Philipus
M. Hadjon, alasan yang dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam
prakteknya sulit di buktikan karenanya jarang digunakan. Oleh karena itu dalam
gugatan sering menggunakan dasar seperti tersebut dalam butir 3.[42]
Ketiga,
dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar pembatalan sering disebutkan
“ larangan berbuat sewenang-wenang” ( willekeur) merupakan konsep
yang sulit diukur. Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
Larangan
berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang operasional – terukur
menjadi sulit / tidak terukur. Kalau kita bandingkan dengan ketentuan Wet AROB
di Belanda, nampaknya disatu pihak ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan
huruf d tidak terdapat dalam pasal 53 ayat 2.[43]
Pasal
53 UU No. 5 Tahun 1986 ini diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, terutama dalam ayat
(2) b dan c, yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan tindakan
larangan berbuat sewenang – wenang, bagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 9
Tahun 2004, berbunyi:
(1) Orang atau badan
hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis pada pengadilan yang berwenang
yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan
atau rehabilitasi;
(2) Alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sesuai
dengan ajaran hukum dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) UU
No. 5 tahun 1986 yo. UU No. 9 tahun 2004, maka bilamana suatu keputusan Tata
Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat wewenang, prosedur dan substansi, keputusan Tata Usaha Negara tersebut
yang ditemukan oleh Peradilan dalam pertimbangan hukumnya, menjadi dasar untuk
putusan pengadilan menyatakan tidak sah atau batal
keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Selaras dengan konsep hukum/ ajaran hukum dan ketentuan
pertanahan Keputusan Tata Usaha Negara merupakan sumber hukum dan alat bukti
dari lahirnya sertifikat hak atas tanah yang berkarakter yang bersifat
Konstitutif, dengan demikian maka bilamana terjadi persengketaan berkaitan
dengan kepemilikan hak atas tanah, maka masuk dalam kompetensi absolut dari
pengadilan tata usaha negara yang mana alat bukti keputusan Tata Usaha Negara
tersebut terbitnya yang berkaitan dengan adanya cacat dalam aspek wewenang, prosedur dan substansi yang menjadi titik
tolak dalam beracara dan tuntutan pembatalannya.
Berbeda dengan sertifikat hak
atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat deklaratif, sesuai dengan
sumber dasar hak kepemilikan atas tanah yang exsistensinya diakui oleh negara
sehingga dalam proses persengketaan hukumnya berada diwilayah Peradilan umum,
dimana bukti perolehan kepemilikan keperdataan dan obyek gugatannya yang
ditimbulkan berkaitan dengan keabsahan dari aspek kesepakatan, kecakapan, obyek
dan kausa tertentu yang menjadi dasar gugatan dan proses pembuktian di
peradilan umum tersebut.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka yang
akan menjadi isu sentral yang hendak dikaji dalam kajian ini adalah pembatalan
sertifikat oleh Peradilan dan akibat hukum terhadap sertifikat hak atas tanah,
yang dilatar belakangi adanya ketidak pastian hukum dan kepastian hak
disebabkan karena masih banyaknya sengketa tanah dimana sertifikat hak atas
tanah oleh pengadilan diputus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan.
Salah
satu kelemahan dari disebabkan hukum tanah nasional yang dibangun berdasarkan
pada konsepsi pengakuan hak Negara terhadap hak yang ada dan sistem pendaftaran
tanah yang mengenal adanya alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang lain
selain sertifikat hak atas tanah.
Konsep
pengakuan negara dan sistem pendaftaran tanah berakibat pada karakteristik khas
dari sertifikat yang mana konstruksi hukum dari sertifikat hak atas tanah yang
terbit dikenal adanya sertifikat dengan karakter yuridis yang bersifat Konstitutif
maupun terdapat sertifikat yang bersifat deklaratif.
Konstruksi
hukum dari karakteristik sertifikat hak atas tanah tersebut membawa konsekuensi
hukum terhadap bentuk sengketanya, badan Peradilan yang menangani perkaranya
dan akibat hukum yang berbeda pula satu dengan yang lain bilamana terjadi
eksekusi pelaksanaan hukum terhadap putusan pengadilan baik terhadap hak
kepemilikan atas tanahnya maupun terhadap status hukum obyek tanahnya.
[1]
Supriadi, Hukum
Agraria, (tp: ttp, tthp), h. 152-153
[5]
Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008),
h. 471
[11]
Ibid
h 482
[12]
Ibid
h 482
[15] Lihat L.B.
Curzon, LandLaw, Seventh edition, Pearson Education Ltd,
Great Britain, 1999, h. 8-9. dikatakan Property is the highest right a
man have to any thing; a right over a determinate thing, either a tract of land
or chattel; an exclusive right to control an economic good; an aggregate of
rights guaranteed and protected by the government; everything which is the
subject of ownership; a social institution whereby people regulate the
acquisitionand use of the resources of our environment according to a system of
roles; a concept that refers to the rights, obligations, priveileges and
restrictions that govern the relations of men with respect to things of value.
[16]
Lihat, Jesse
Dukemenier, Property, Gilbert Law Summaries, 1991-1992,
h. i
[17]
John Locke “ second
treatise on Government”, 1689, dikutip oleh Rock Deborah, Property
Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited Aldine
Place, London, 2001, h. 3.
[18]
Pengaturan
hak kepemilikan atas tanah termasuk kedalam Hukum administrasi adalah merupakan
seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk
undang-undang, peraturan, perintah dan keputusan-keputusan ( body of law
created by administrative agencies in the form of rules, regulations, orders,
and decisions to carry out regulatory powers and duties of such
agencies). Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,
Sixth Edition, St. Paull, Minn, West Publishing Co, 1993, h. 29.
[19]
Istilah
“beschikking”“ ada yang menterjemahkan sebagai “keputusan” atau
“ketetapan”demikian juga dengan sebutan “ Tata Usaha Negara” ada yang
mempergunakan “ Administrasi Negara”. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5
tahun 1986 ; menurut Kuncoro Purbopranoto, istilah “ Beschikking” (
Belanda ) atau “ Acte administrative” ( Perancis), atau “ verwaltungsakt”
( Jerman). diintrudusir oleh van der Pot dan van
Vollenhoven. Kuncoro Purbopratoto, Beberapa Catatan tentang hukum
peradilan Administrasi negara dan hukum pemerintah, Alumni, Bandung, 1978,
h. 45; Namun istilah Beschikking menurut Utrecht dan Sjachran
Basah, lebih tepat diterjemahkan sebagai “ Ketetapan”. sebagaimana yang
dikatakan: Berbagai pengertian ketetapan yang dilontarkan oleh para ahli dan
setelah membandingkan serta mengkajinya, maka penulis berpendirian bahwa
ketetapan adalah keputusan tertulis administrasi Negara, yang mempunyai akibat
hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan ( dalam arti kata sempit).Sjachran
Basah, Existensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, h. 13.
[21]
lihat Philipus
M. Hadjon, et.al, h. 143-146
[22] Istilah “Penetapan
Pemerintah “yang dipakai dalam pasal 23 PP No. 24 tahun 1997. penetapan
Pemerintah adalah keputusan Tata Usaha Negara, dalam istilah lain adalah
keputusan pemberian hak ( surat keputusan ) yang dikeluarkan oleh Badan Tata
Usaha Negara dalam hal ini BPN ( Badan Pertanahan Nasional)
[23]
Penyebutan
tanah Negara sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara sebelum berlakunya UUPA
sudah diintrudusir Di dalam PP No. 8 tahun 1953, tentang Penguasaan Tanah-tanah
Negara, didalam pasal 1 huruf a, disebutkan bahwa “ tanah Negara, ialah tanah
yang dikuasai penuh oleh negara” pengertian ini sebetulnya secara filosofi
mengacu pada konsep “ domein verklaring”. Dalam penjelasan umum
UUPA tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Didalam
konsep historis, tanah negara berarti sebagai tanah miliknya Negara atau Raja.
Dalam konsep ini semua tanah yang ada merupakan hak milik ( domein ) dari Raja
jadi tidak ada yang namanya hak milik rakyat, dimana rakyat diposisikan sebagai
penyewa atau penggarap. Dalam konsep pemerintahan Hindia Belanda asas Domein
verklaring yang dinyatakan di dalam pasal 1 “ Agrarisch besluit” dikenal adanya
dua macam status tanah yaitu: pertama, tanah milik ( domein) Negara, yang
sepenuhnya dikuasai oleh negara ( Vrijlandsdomein) dan tanah negara yang
diatasnya ada penguasaan rakyat misalnya tanah-tanah adat ( on
vrijlandsdomein).dan; kedua, tanah hak milik ( eigendom ), dimana diatas tanah
tersebut sudah ada atau dilekati dengan sesuatu hak. Setelah lahir UUPA dikenal
adanya beberapa jenis klasifikasi yang disebut tanah negara antara lain:
1.
tanah negara bebas yaitu merupakan tanah yang mana
diatastanah tersebut belum ada hak atas tanah yang melekat yang pada masa
pemerintahan Hindia Belanda disebut “ Vrij lands Domein”, (tanah-tanah “
Timbul” “ Aanslibbing” ) termasuk seperti tanah yang berasal dari endapan
Lumpur di tepi pantai atau sungai.
2.
tanah negara bekas hak barat atau yang lazim dalam
praktek pertanahan disebut “ tanah ex barat”. Yang masuk dalam kategori ini
adalah tanah bekas hak yang dihapuskan oleh peraturan perundangan seperti “
Tanah – tanah Partikulir” dengan UU No. 1 tahun 1958, tanah Erfpacht pertanian
kecil oleh ketentuan konversi UUPA. Tanah bekas hak barat yang terkena
ketentuan Keppres No. 32 tahun 1979, Termasuk didalam kategori ini adalah
tanah-tanah hak yang bersifat sementara ( berjangka waktu) telah berakhir
jangka waktunya dan tidak diperpanjang atau diperbaharui kembali.
3.
Tanah negara bekas tanah hak. yang dilepaskan oleh
pemegang haknya kepada negara secara sukarela karena maksud tertentu. Seperti
tanah hak yang dibebaskan oleh negara untuk tujuan kepentingan umum.
[24]
Pasal
3 PMA No. 2 tahun 1960: Hak-hak eigendom yang pemiliknya terbukti
berkewarganegaraan Indonesia tunggal dicatat oleh K.K.P.T., baik pada asli
maupun pada grosse aktanya sebagai telah dikonversi menjadi hak milik.
[25] pasal 4 PMA No. 2
tahun 1960 sebagai berikut: Hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan
tersebut pada pasal 2 lampau pemiliknya tidak dating pada K.K.P.T. atau yang
pemiliknya tidak dapat membuktikan, bahwa ia kewarganegaraan Indonesia tunggal,
oleh K.K.P.T. dicatat pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi
hak-guna-bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun.
[26]
Sebagaimana
dikutip Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar
tentang Tindak Pemerintahan, Copy - Percetakan & stensil Djumali,
Surabaya, 1985, h. 8-9;
[27]
Lihat Philipus
M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi
Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005, h. 83
[28]
Philipus M. Hadjon, dalam
makalah: Tolok Ukur Keabsahan Tindak Pemerintahan dan Keputusan Tata
Usaha Negara, makalah yang disampaikan pada penyelenggaraan – House
legal Training Hukum Administrasi dan PTUN, tanggal 19-29 Juli 2004, h. 1;
lihat pula sebagaimana dikutip oleh Soehino, Asas-asas
Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Bandung, h. 102-119.
[35]
E. Utrecht,
Ibid, h. 111
[36]
Ibid,
h. 11
[37]
Dalam
bukunya, Utrecht memberikan contoh A. mengadakan perjanjian
dengan B. perjanjian itu diadakan pada tanggal 1 Pebruari 1954. pada tanggal 1
april 1954 oleh hakim diadakan pembatalan ( vernietiging) perjanjian itu,
karena mengandung beberapa kekurangan “essentieel” ( perjanjian itu tidak memuat
beberapa essentialia) ( pasal 1320 KUH Perdata). Perjanjian itu bagi hukum
dianggap tidak pernah ada, jadi, akibat perjanjian itu dengan sendirinya bagi
hukum dianggap tidak pernah ada. Segala sesuatu yang karena perjanjian itu
diadakan antara 1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954 harus dihapuskan, atau
dengan kata lain: status hukum kedua belah pihak pada tangal 1 april harus
dikembalikan pada status hukum mereka sebelum tanggal 1 pebruari 1954,
seakan-akan perjanjian itu tidak pernah diadakan. Jadi, seluruh akibat
perjanjian itu dihapuskan. Oleh sebab itu “ batal” dapat juga disebut “ batal
mutlak” ( absoluut nietig). Utrecht, loc. Cit.
[38]
Lihat Utrecht,
loc.cit
[39]
E. Utrecht, Ibid, h. 111. catatan: Ex
tunc, secara harfiah berarti sejak waktu ( dulu) itu, dalam konteks ini ex
tunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada; sedang Ex
nunc, secara harfiah berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini, ex
nunc berarti perbuatan dan akibat dianggap ada sampai saat pembatalannya.
[40]
Lihat
dalam Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 8.
[41]
Lihat Philipus
M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. cit, , h. 83
[42]
Lihat Philipus
M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op. cit, , h. 83
2 komentar:
Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
“Zapplerepair Apple dan Smarphone specialist
telp: 087788855868
website: http://indonesia.zapplerepair.com/
Amankah membeli tanah swapraja di kalimantan barat?
Posting Komentar