Oleh Turiman Fachturahman Nur
Prolog
Bangsa ini sudah kehilangan “jatidiri” dan baru tergamang ketika saat ini timbulnya berbagai ideologi yang mengarah radikalisme dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian yang luhur sebagai bangsa yang memiliki ideologi terbuka Pancasila, oleh karena itu ada suatu hal yang unik dan menggelitik pemikiran kita bersama, sekaligus bisa kita jadikan sebagai bahan renungan bersama ketika kita menyimak pidato Presiden AS Barrack Obama di hadapan petinggi negeri, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan intelektual terdidik di kampus Universitas Indonesia Depok, (10/11/2010). Obama menyatakan kekagumannya terhadap Pancasila yang dianggapnya telah mampu menyatukan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Obama memberikan analogi semboyan yang dimiliki oleh negara masing-masing. E pluribus unum – beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman, menurutnya kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah semboyan tersebut. Obama juga menyerukan agar semboyan ‘Bhinekka Tunggal Ika’ dan falsafah Pancasila benar-benar dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Amerika mendukung penuh pembangunan Indonesia dalam hubungan kerjasama di berbagai bidang.
Paparan Barrac Obama di UI setidaknya menyentak alam bawah sadar kita bahwasanya nilai-nilai filosofis Pancasila mendapat respect dan apresiasi yang mendalam dari seorang tokoh besar dunia, sementara kita sebagai anak bangsa cenderung semakin meminggirkan Pancasila sebagai bahan perbincangan ringan maupun diskusi serius guna menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Kita perlu kembali merenungkan hal ini secara lebih jernih, karena dengan mempelajari Pancasila lebih dalam akan menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Jika Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia.
Namun hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, saat ini untuk mereaktualisasikan Pancasila, kiranya akan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik; masih relevankah? bahkan sikap apatis cenderung sinis akan muncul di sini. Memang harus diakui bahwa membicarakan Pancasila, di era pasca reformasi, menjadi sesuatu hal yang langka, dan mungkin sedikit aneh.
Pancasila, seolah-olah tenggelam bersamaan dengan gegap gempita era reformasi yang diikuti euphoria demokratisasi, Pancasila sangat kental aroma Orde Barunya (Suharto) sedangkan pembicaraan mengenai Suharto dan rezim Orde Barunya adalah sebuah perbincangan yang kurang popular di era reformasi, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditinggalkannya. Terabaikannya Pancasila juga dapat dilihat dari dicabutnya Tap MPR nomor 2/1978 tentang P4 dan dibubarkannya BP7, yang berarti secara formal tidak ada lagi lembaga yang mengkaji dan mengembangkan Pancasila.
Selain itu UU nomor 20/2003 tentang pendidikan nasional tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Sehingga ke depan generasi muda kita akan kehilangan makna Pancasila, sebagai jati diri bangsa yang digali dari bumi sendiri. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam implementasinya antara harapan dan kenyataan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau pedoman dasar bagi system pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers kita telah bersepakat secara politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara.
Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.
Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (baca kembali naskah pidato Ir. Soekarno pada pengukuhan gelar guru besar oleh UGM).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut), sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945.
Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu (dirumuskan kembali oleh Jimly Asshidqy: 2003 ) mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di didalam dimensi lainnya, karena didalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).
Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.
Saat ini di bidang hukum terjadi perkembangan yang ironis serta kontra produktif, di satu sisi produk materi hukum, upaya pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, serta rasa keadilan yang ibarat jauh panggang daripada api.
Kita masih menyaksikan bahwa mata hukum begitu terasah dan tajam ketika berlaku bagi orang kecil, namun hukum terasa sangat tumpul dan terkesan tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelanggar hukum dari kalangan yang memiliki uang dan kuasa di negeri ini.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena pada saat ini, kecenderungan masyarakat untuk memercayai produk hukum, perilaku aparatur Negara, maupun hasil-hasil proses peradilan formal (yang notabene bersumber dari Pancasila) terasa jauh dari rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat.
Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di sinilah kita bisa menempatkan kembali Pancasila sebagai symbol pemersatu bangsa, semangat Bhinneka Tunggal Ika perlu kita jewantahkan tidak hanya sebatas semboyan, namun teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam tinjauan terminologis, ideology is Manner or content of thinking characteristic of an individual or class (cara hidup/ tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukan sifat-sifat tertentu dari seorang individu atau suatu kelas). Ideologi adalah ideas characteristic of a school of thinkers a class of society, a plotitical party or the like (watak/ ciri-ciri hasil pemikiran dari pemikiran suatu kelas di dalam masyarakat atau partai politik atau pun lainnya). Ideologi ternyata memiliki beberapa sifat, yaitu dia harus merupakan pemikiran mendasar dan rasional. Kedua, dari pemikiran mendasar ini dia harus bisa memancarkan sistem untuk mengatur kehidupan. Ketiga, selain kedua hal tadi, dia juga harus memiliki metode praktis bagaimana ideologi tersebut bisa diterapkan, dijaga eksistesinya dan disebarkan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana dan dilihat dari perspektif ke-Indonesiaan, ideologi bisa diartikan; keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam suatu masyarakat meliputi berbagai aspek (ipoleksosbudhankam), sebagai pedoman dasar dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam arti luas, ideologi diartikan sebagai keseluruhan gagasan, cita-cita, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi sebagai pedoman. Sementara dalam arti sempit, ideology diartikan sebagai ggagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang hendak menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena Negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut).
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di tengah.
Oleh karena ideologi Pancasila bersumber pada manusia Indonesia, maka ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka. Ideologi yang dapat beradaptasi terhadap proses kehidupan baru dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain tetapi konsisten mempertahankan identitas dalam ikatan persatuan Indonesia.
Sejarah Pancasila
Sebenarnya nilai-nilai luhur Pancasila sudah digali sebelum kelahirannya tersebut, tepatnya dalam pemikiran Soekarno di pengasingan pada tahun 1926, bahkan konon jauh sebelum itu, Mpu Prapanca dalam “Negara Kertagama”nya istilah Pancasila itu dimunculkan, sedangkan Mpu Tantular dalam Sutasomanya memunculkan istilah “Bhineka Tunggal Ika,” bahkan dalam pewayangan mengimplikasikan nilai-nilai Pancasila secara tradisional, seperti prinsip “pandawa lima”(?). Pancasila menurut Soekarno adalah berdasarkan budaya bangsa secara “turun- temurun,” “sebagai perasaan-perasaan rakyat yang selama ini terpendam diam-diam dalam hati rakyat”; “Pancasila adalah gambaran pribadi rakyat,” rakyatlah yang menciptakan Pancasila.
Dalam sejarah Indonesia, Pancasila lahir sebagai sebuah ideologi murni. Sebagai sebuah ideologi murni, maka Pancasila cenderung banyak “bersarang‟ dalam dunia idea (istilah Plato) atau pemikiran teoritik. Memang seorang filsuf mengajarkan kebaikan, ajaran filsafat tersebut sebagai pengetahuan atau kumpulan ilmu pengetahuan, tanpa harus membuktikannya sebagai ilmu yang membutuhkan data empirik. Peserta didik di jaman Orde Baru dan masyarakat pada umumnya, sangat kenal dengan istilah “Hari Lahir Pancasila”. Pernyataan serupa ini, pada dasarnya merupakan sebuah reaksi ideologis dalam mendudukkan Pancasila sebagai ideologi murni.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, para founding fathers kita sepakat mendasarkan diri pada ideology Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.
Namun dalam perjalannnya ternyata hal ini tidaklah berjalan mulus. Sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme. Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri. Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun rezim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara.
Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
Pada dekade berikutnya, muncul gejala memosisikan Pancasila sebagai ideologi politik. Memosisikan Pancasila sebagai ideologi politik ini berbeda makna dan imbasnya dengan memposisikan Pancasila sebagai mitos. Pancasila sebagai ideologi politik, muncul dalam bentuk polarisasi struktur dan sosial politik kemasyarakatan.
Contoh nyata dan berdampak nyata dalam menerapkan Pancasila sebagai ideologi politik, yaitu terjadi di era Orde Baru. Pancasila dijadikan sebagai pemisahan kelompok kepentingan. Pada saat itu, penguasa Orde Baru dimaknai sebagai pro Pancasila, dan penentang “penguasa” disebut sebagai kelompok anti-Pancasila. Dengan demikian, polarisasi masyarakat dapat dibelah menjadi dua kelompok, yaitu pendukung Pancasila dan “anti‟ Pancasila. Dalam bahasa orde baru, mereka bertekad memPancasilakan seluruh masyarakat, maka dikembangkan penataran P-4, dan pendidikan Pancasila pada berbagai strata di masyarakat. Orde Baru bertekad untuk mewujudkan dan melaksanakan kembali pancasila secara murni dan konsekuen. Pancasila harus dihayati, dilaksanakan dalam rumusan yang sederhana dan jelas, agar dimengerti, diamalkan mewujud nyata dalam kehidupan dan tingkah laku.
Politik Hukum Nasional
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di didalam dimensi lainnya, karena didalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).
Telah kita sepakati bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pijakan fundamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.
Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.
Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Untuk itulah kita diharapkan dapat menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya satu model narasi akademik yang memperkuat dan memperkokoh ontologi kePancasilaan. Jika Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia.
Negara Hukum Yang berdemokrasi
Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu konsep ‘rechtsstaat’ freedom under the rule of law. Karena itu liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum. Dalam konteks keindonesiaan, kita semua mahfum, bahwa hal tersebut juga berpengaruh secara signifikan dalam bangunan kenegaraan Indonesia. cita Negara Hukum juga telah ditetapkan bangsa ini dalam kehidupan bernegaranya dalam rangka mewujudkan cita-citanya sebagaimana tertuang dalam mukaddimah konstitusi UUD 1945.
Menurut Jimly Assidqhy (2004: 1) Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicitakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo (Lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 48) sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”.
Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa. Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law.
Dalam perjalanan kenegaraan kita, permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata dan masih terus mengganggu kenyamanan kita bernegara hukum, antara lain: Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan mengenai bentuk negara yaitu republik. Di samping itu secara eksplisit diumumkan pula bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Jadi secara formal Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Akan tetapi, bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku hukum agar benar-benar menjadi negara hukum substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum; sebagian ingin berkiblat ke Barat, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli.
Busyro Muqoddas, dkk (1992: vi) menyatakan Pembangunan hukum nasional yang kita laksanakan bukan hanya sekedar dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan politik guna membayar hutang sejarah yang belum dilunasi terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan. Tetapi juga dimaksudkan untuk menjawab tuntutan social agar hukum dapat memainkan peranan penting sebagai alat rekayasa social dalam proses pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sampai di sini kita tentunya patut merasa prihatin dengan kondisi bangunan hukum di negeri ini. Kita melihat masih cukup banyak hukum warisan colonial yang masih berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat kita, yang tentunya kurang sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang tumbuh bersama masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki pijakan fondamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu butir-butir pancasila sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi tersebut di atas, yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat kedaulatan rakyat semestinya dijadikan prinsip dasar dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks kekinian, semangat tersebut dapat diterjemahkan sebagai pengembangan system politik yang demokratis dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia (HAM).
Pertanyaan kemudian yang perlu kita jadikan bahan renungan bersama adalah: Apakah perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini telah sejalan dengan butir-butir Pancasila sebagaimana amanat Mukaddimah Konstitusi? Oleh karena itu perlu mereakualisasikan Negara hukum yang berbasis demokrasi.
Konsep Dasar Demokrasi
Ranah hukum adalah salah satu dari sekian banyak objek kajian ilmu sosial. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa studi tentang hukum adalah wilayah studi humaniora yang mempelajari manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya kita menyaksikan, bahwa ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, seperti pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hal-hal lainya. Salah satu aspek yang memiliki korelasi dan nilai persinggungan yang cukup signnifikan dengan ranah hukum adalah wilayah politik. Setidaknya ini bisa kita cermati dari berbagai studi tentang politik hukum. Dalam perspektif ke-Indonesiaan kajian ini setidaknya telah dipelopori oleh Moh. Mahfud MD.
Hal ini juga akan semakin menjadi jelas bagi kita, tatkala menyimak lebih lanjut pendapat guru besar bidang ketata-negaraan ini yang menyatakan bahwa, politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
Dalam perspektif penyelenggaraan Negara modern, telah disepakati semacam konsensus yang menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik adalah Negara yang bentuk pemerintahannya demokrasi. Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahannya. Bahkan para elite di Negara-negara yang tergolong totaliter dan otoriter pun tidak segan-segan mengklaim bahwa pemerintahannya tergolong demokratis karena Negara diimpikan terkonstruksi untuk rakyat. (Miriam Budiharjo, 1972: 51)
Istilah demokrasi kali pertama diperkenalkan oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau pemerintahan di mana kekuasaan tertentu ada pada tangan rakyat. Demokrasi dalam istilah Abraham Lincoln yaitu Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia, walaupun sebagian kalangan menilai bahwa sistem ini banyak sekali memiliki sisi lemah di sana-sini. Namun sebagai suatu konsep, demokrasi bukanlah konsep yang statis, tetapi secara historis berevolusi. Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” dan “kratos” yang berarti “pemerintahan oleh rakyat”. Tetapi, di kalangan ilmuwan politik, tidak terdapat consensus tentang makna demokrasi itu. Sebagaimana dicatat oleh David Collier dan Steven Levitsky (1997), terdapat 550 sub-type demokrasi dari 150 studi mengenai demokrasi yang ada. Hal ini sebagaimana juga telah ditunjukkan dari hasil penelitian UNESCO pada awal tahun 1950-an yang dikumpulkan lebih dari 100 orang sarjana baik dari negara barat maupun negara timur. Demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
Pergeseran Nilai Demokrasi
Dari sisi teoritis, ada dua tataran berpikir mengenai demokrasi. Pertama, demokrasi sebagai suatu idea atau konsep, dan kedua demokrasi sebagai praksis gerakan. Sebagai suatu idea atau konsep, telah kita dapati suatu daftar yang teramat panjang mengenai arti, makna dan sikap atau perilaku yang bisa digolongkan demokratis, namun tetap dalam kerangka dasar bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, kebebasan berbicara, berkumpul, berserikat dan kebebasan untuk memilih dan dipilih.
Salah satu aspek kajian penting yang selalu menarik untuk didiskusikan dalam sistem demokrasi adalah tentang tata cara pengambilan keputusan. Dalam alam demokrasi dilakukan dengan musyawarah, mufakat atau dengan suara terbanyak. Dalam musyawarah setiap anggota harus memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara lisan ataupun tertulis. Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah darah hidup setiap demokrasi (Ravitch, 1989: 9).
Selanjutnya dikatakan oleh Ravitch warga suatu demokrasi hidup dengan keyakinan bahwa melalui pertukaran gagasan dan pendapat yang terbuka, kebenaran pada akhirnya akan menang atas kepalsuan, nilai-nilai orang lain akan lebih dipahami, bidang-bidang mufakat akan dirinci lebih jelas dan jalan kearah kemajuan terbuka. Inilah sebagian yang hendak dicapai dalam pembelajaran di sekolah yaitu ditemukannya kebenaran terutama kebenaran ilmiah, nilai-nilai yang dianut oleh orang lain dapat dipahami, serta terjalinnya saling menghormati dan kerjasama.
Setelah musyawarah dilaksanakan, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mufakat suara bulat (musyawarah mufakat) atau dengan pemungutan suara terbanyak (votting). Prinsip utama dalam pengambilan keputusan ini adalah bahwa keputusan harus ditentukan oleh mayoritas anggota tanpa mengabaikan kepentingan minoritas (Ravitch, 1989: 6). Setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah atau voting harus didukung oleh kelompok yang semula tidak setuju atau yang kalah dalam voting. Dalam budaya politik masyarakat Indonesia baik pada tataran pemerintahan terendah maupun pada pemerintahan tertinggi (pusat), prinsip demokrasi yang selalu dipakai adalah musyawarah untuk mufakat dalam kekeluargaan (Sihombing, 1984:12).
Namun jika kita cermati lebih teliti, ada beberapa produk hukum kita berupa undang-undang yang mengabaikan nilai-nilai dasar ini, misalnya penafsiran kata “demokratis” yang tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat [4] tentang pemilihan kepala daerah yang mengundang perdebatan di kalangan politisi maupun pakar hukum tata Negara.
Adalah pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen ke-dua yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah. Di sini terjadi polemik yang cukup pelik mengenai bagaimana memosisikan pemilihan kepala daerah (pilkada) vis a vis pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden. Hal ini karena ketentuan UUD 1945 sendiri hanya mengatur bahwa kepala daerah dipilih secara “demokratis” (lihat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Dalam hal ini UUD 1945 tidak menyebut secara tegas bagaimana mekanisme “demokratisasi” kepala daerah.
Mekanisme konstitusional itu tentu akan berbenturan serta mengundang perdebatan panjang ketika kita sandingkan dengan mekanisme pemilihan lainnya seperti seperti pemilihan presiden dan wakil presiden (Pasal 6A), dan pemilu legislatif (Pasal 2 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1)) yang mana pasal-pasal tersebut mengatur mekanisme pemilihan itu melalui Pemilu.
Ada suatu pergeseran nilai yang cukup signifikan ketika kita coba memahami kata “demokratis” ini dan kemudian kita sandingkan dengan penafsiran legislator kita yang menerjemahkannya dengan bentuk mekanisme Pemilukada langsung yang kemudian diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penerjemahan ini menurut beberpa pakar terkesan membabi buta dan tergesa-gesa, karena di samping menempatkan pemilukada dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, juga telah mengabaikan asas-asas musyawarah mufakat.
Kita kemudian juga melihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen. Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia. Jadi, cita-cita Prof. Mahfud untuk “Membangun Politik Hukum (untuk) Menegakkan Konstitusi” nampaknya masih harus diperjuangkan bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi juga oleh segenap bangsa Indonesia.
Telaah Kritis Bangunan Hukum Indonesia;
Secara kodrati, manusia adalah mahkluq sosial yang secara alamiah pula membutuhkan kehadiran pribadi-pribadi lain dalam menjalankan aktifitas serta menjaga eksistensinya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia membutuhkan manusia lain dalam usahanya mencapai tujuan pribadinya. Atas dasar itulah manusia selalu ingin hidup bermasyarakat atau berkelompok, hal inilah yang juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia menurut kodratnya tidak dapat melepaskan diri dari manusia lainnya.
Dalam mengatur dan mengurus kebutuhan bersama, agar kehidupan berlangsung secara tertib dan damai seperti inilah, maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati. Semacam hal tersebut di ataslah peradaban manusia dimulai, di mana manusia harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. la harus memegangi nilai-nilai aturan yang berlaku mengatur hidup manusia. Nilai-nilai aturan yang mengikat manusia inilah yang kemudian kita kenal sebagai hukum.
Pada mulanya, dalam berbagai literature awal yang memperbincangkan keberadaan hukum (di masa yunani kuno) kita temukan bahwasanya telah terjadi perdebatan yang cukup seru tentang hukum antara kaum filsuf Ionia dengan kaum Sophies. Namun perdebatan mereka tidaklah menemukan perbedaan bahwasanya hukum itu berasal dari suatu kekuatan tak kasat mata, transedental, dan bernuansa religiusitas serta sangat dekat dengan alam semesta (makro kosmos).
Dalam perkembangannya, sebagai bagian dari ilmu social yang bersifat dinamis, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental (lex eterna; hukum Tuhan/ kodrati), hukum para nabi dengan risalah kitab suci yang dibawanya (lex devina), atau berasal dari hukum alam (lex natura) semata, tetapi telah bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum konsep lex humana, yang cenderung bersifat legalistic normatif. Hal ini juga bisa kita temukan pada bangunan hukum Indonesia saat ini.
Filsafat modern yang dikenal dan sangat memengaruhi paradigma berpikir Barat adalah Positivisme Logis. Paham ini tidak mengakui metafisika. Mereka hanya mengakui persepsi panca indera sebagai satu-satunya yang “ada”. Kalangan ilmuan Barat mengakui bahwa dengan adanya filsafat Positivisme Logis, Barat sukses mencapai hasil yang gemilang dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Kuatnya Paham Positivisme Hukum menggeliat para studi hukum di Indonesia
Di awal abad ke 19 berkembang “positivism”. Aliran ini mejalar kesemua cabang ilmu social termasuk ilmu hukum. Kaum positivis menganggap bahwa yang sebenarnya dinamakan hukum hanyalah norma norma yang telah ditetapkan oleh negara. Pada waktu itu, sebagai akibat dari kemajuan-kemajuan dalam bidang industri perdagangan, transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berhadapan dengan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat massif dan melahirkan suatu orde baru tatanan hukum yang tidak ada bandingannya, bukan hanya sampai waktu itu, tetapi juga sampai sekarang. Lahirlah perundang-undangan baru, bidang hukum baru, system dan pengorganisasian baru yang berpuncak pada kodifikasi.
Sehubungan dengan itu, kita menyaksikan bagaimana ilmu hukum disibukkan oleh penggunaan metode baru yang mempertajam pengkajian terhadap hukum peraturan perundangan. Perkembangan yang demikian mendorong ilmu hukum dan metode hukum untuk memusat dan berkonsentrasi kepada misi menjaga atau mempertahankan tatanan hukum perundangan baru yang tengah menanjak itu. Metode-metode menjadi sangat normative, positivistik, dan legalistic.
Hal lain yang turut menyuburkan paham ini adalah tuntutan konsep Negara modern yang mewajibkan adanya ketertiban hukum dalam bernegara. Jean Jasque Rousseau (1712-1778) mendalilkan bahwa Negara hasil suatu perjanjian bermasyarakat yang disebut staat, state (status hukum atau status bernegara) maka analisis dalam persoalan kenegaraan berkisar pada hukum yaitu membentuk hukum (legislatif), melayani dan melaksanakan hukum (eksekutif), dan penegakan hukum (yudikatif). Ide ini juga menemukan landasan teoritisnya pada teori pembagian kekuasaannya Montesquieu yang mengintroduksir ide Trias Politica di bidang ketatanegaraan.
Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan postivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional system-sistem yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori bahwa pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. Prinsip-prinsip positivisme yuridis adalah:
a. Hukum adalah sama dengan undang-undang; hal ini didasarkan pemikiran bahwa hukum muncul berkaitan dengan Negara, sehingga hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
b. b. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral; hukum adalah ciptaan para ahli hukum belaka.
c. c. Hukum adalah suatu closed logical system.
d. Untuk menafsirkan hukum tidak perlu bimbingan norma sosial, politik dan moral melainkan cukup disimpulkan dari undang-undang. Tokohnya adalah: R. von Jhering dan John Austin (analytical jurisprudence), atau Hans Kelsen yang terkenal dengan ajaran
Teori Hukum Murninya.
Dalam perspektif ke-Indonesiaan, penjajahan oleh barat selama lebih dari 300 tahun adalah pihak yang paling gampang dituding sebagai kambing hitam yang menyisakan wajah hukum Indonesia seperti saat ini. Dalam tata hukum hindia belanda, peminggiran hukum adat Indonesia misalnya bisa kita temukan pada pasal 15 “Algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie” (Peraturan Umum mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia) yang mengatakan, “… adat kebisaaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan itu”. Ini sekaligus secara legal formil menafikkan hukum adat Indonesia yang notabene dipengaruhi oleh kearifan budaya local yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap ajaran para nabi, serta kehidupan yang senantiasa bersahabat dengan alam. Menurut Satjipto Rahardjo (2010: x), suatu perilaku hukum baru mesti dibangun dan dikembangkan untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan, akan tetapi tampaknya tidak mudah merubah perilaku bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka ke arah yang sempurna.
Bagaimana Seharusnya Hukum di Negara Ini Bekerja
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. (Zudan Arif Fakrulloh: 2005)
Dalam bangunan hukum Indonesia saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan produk hukum warisan kolonial yang bersifat Positivistik dan legalistic. Ini tentunya perlu menjadi kajian serius bagi kita untuk menghadirkan produk hukum yang sesuai dengan nafas hidup dan falsafah bangsa serta mengakomodir kebutuhan hukum bangsa ini. Ini menjadi penting kita lakukan karena telah kita sepakati bahwa hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme dianggap memberikan sumbangsih pada kemerosotan pada bangsa ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek etika, moral dan keadilan sosial.
Hukum adalah sarana untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. Dalam bahasa bijak orang tua kita, hukum haruslah mencerminkan keadaan tata tenterem karta raharja. Tata-tenterem dapat dikatakan menghukumkan apa yang dianggap baik oleh masyarakat kita; karta-raharja, mengindikasikan suatu perencanaan, perekayasaan, atau perakitan masyarakat yang kita cita-citakan. Sudah seharusnya bangsa yang besar ini menemukan bentuk hukumnya sendiri. Hal ini bisa kita lakukan dengan menggali dari dalam dasar hukum kita, suatu konsep hukum dengan perspektif intregalistik Indonesia yaitu Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Hukum dasar kita menegaskan bahwa pembinaan hukum kita haruslah bersemangat kekeluargaan (gotong royong), dan bukanlah bersifat individualistic. Hukum tidak boleh hanya mengedepankan aspek kepastian hukum yang legalistic formiil belaka, namun juga harus mengakomodir aspek keadilan dan kemanfaatan hukum dengan memerhatikan nilai-nilai etika dan moral yang tumbuh dalam masyarakat. Etika berasal dari bahasa yunani ethos, sedangkan moral berasal dari bahasa latin mores. Keduanya memiliki pengertian the customs or way of life.
Hukum seyogyanya menjadi petunjuk hidup, dengan bahasa yang sederhana kita katakan bahwa keberadaan hukum adalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai kesejahteraanya. Hukum tidak dipahami sebagai suatu institusi yang esoteric dan otonom, melainkan sebagai bagian dari proses social yang lebih besar, sehingga dengan tegas Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa: “law as a great Anthropological Document ”, artinya pemahaman yang memahami hukum sebagai sekumpulan aturan-aturan guna kepentingan profesi sebagaimana pemahaman kaum positivistic harus dirubah dengan penahaman bahwa hukum adalah dokumen antropologis.
Sekarang mari kita lihat rumusan etika moral Pancasila oleh Notonagoro (1975), yang sekaligus akan menperjelas benang merahnya dengan pembahasan awal kita tentang hukum sejak jaman yunani kuno hingga mazhab posivisitic.
· Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa.
· Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kemanusiaan, peri keadilan dan peri keadaban.
· Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kesatuan dan peri kebangsaan.
· Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kebijaksnaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
· Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahan Bacaan:
Dahlan Thaib, dkk. 2005. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. cet. Kelima. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jimly Assidqhy. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Konstitusi Press. Jakarta.
Mohammad Busyro Muqoddas, dkk (ed). 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional. UII Press, Yogyakarta.
Satjipto rahardjo. 2006.
Abdul Ghofur Ansori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Anthon F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum, Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan. Genta Publishing, Yogyakarta.
Bernard L Tanya. 2010. Teori Hukum, Startegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Juniarso Ridwan & Achmad Sodik. 2010. Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad ke-20. Penerbit Nuansa, Bandung.
Khuzaifah Dimyati. 2010. Teorisasi Hukum, Studi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Genta Publishing, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum; Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Genta Publishing, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar