PERDEBATAN PAHAM NEGARA INTEGRALISTIK DALAM TATARAN SEJARAH HUKUM
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Di Akhir kekuasaan rezim Orde Baru, pernah muncul polemik dan perdebatan di kalangan akademisi seputar konsep atau pandangan negara Integralistik. Polemik itu berupa implikasi dari konsep negara integralistik Soepomo terhadap sistem demokrasi di masa Orde Baru. Kerangka berpikir yang berkembang secara dominan berpendapat bahwa penafsiran tentang konsep negara integralistik tanpa disadari telah melahirkan rezim otoritarian yang dibungkus secara apik oleh Orde Baru dalam Demokrasi Pancasilanya.
Perdebatan itu memunculkan aneka versi pandangan terhadap sosok dan pemikiran filosofis Soepomo ini. Ada yang menilainya secara negatif dengan mengatakan bahwa konsep negara integralistik itu merupakan benih subur bagi berkembangnya kekuasaan yang otoriter dari para penguasa selama kurun waktu yang panjang itu. Akan tetapi, ada juga yang membela Soepomo. Mereka menyatakan bahwa konsep negara integralistik itu sesuai dengan jati diri Indonesia tanpa memaksudkan akan lahirnya sistem kekuasaan yang otoriter.
Paparan ini dimaksudkan untuk turut menganalisa secara kritis-filosofis isi pidato Soepomo itu. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah pemahaman yang holistik dan logis menyangkut peran Soepomo dalam perumusan dasar negara Indonesia Merdeka dan implikasinya bagi penafsiran dan perkembangan demokrasi Indonesia dewasa ini.
A. Konsep Negara Integralistik Soepomo
Pemikiran Soepomo tentang konsep negara integralistik atau paham negara kekeluargaan menurut banyak pihak sangat berpengaruh dalam perumusan UUD 1945. Tanggal 31 Mei 1945, di Gedung Chuo Sangi In di jalan Pejambon 6 Jakarta, Soepomo berpidato di hadapan sidang umum BPUPKI. Soepomo dalam pidato yang cukup panjang itu menguraikan tiga teori yang bisa dipilih sebagai dasar dan prinsip negara yang akan dibentuk.
Pertama, ia menyebut teori perseorangan atau teori individualistik. Teori ini diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Herbert Spencer dan Laski. Menurut teori ini, negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat demi menjamin hak-hak individu di dalam masyarakat. Kedua, Soepomo “menawarkan” teori pertentangan kelas atau teori golongan sebagaimana diajarkan oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Dalam teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan yang kuat untuk menindas golongan yang lemah. Ketiga, Soepomo mengajukan teori yang ia sebut sebagai teori atau konsep negara integralistik yang didasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller dan Hegel.[1] Apa itu negera integralistik? Menurut Soepomo, integralistik berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu. Bukan pula untuk kepentingan golongan tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhya sebagai satu kesatuan yang integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala golongan, segala bagian, semua individu berhubungan erat satu sama lain. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran ketimuran.[2] Lagi menurutnya, pemikiran ini juga didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri.
Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya bersifat persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin. Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong- royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Hakekat republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan yang modern.[3]
B. Polemik Seputar Konsep Negara Inegralistik
Konsep negara integralistik Soepomo dalam sidang BPUPKI tidak serta-merta disambut positif oleh semua peserta. Dan bukan hanya para hadirin yang hadir pada waktu itu, tetapi juga oleh para ahli dan akademisi yang hidup sesudahnya. Di bawah ini penulis akan menguraikan sedikit seputar polemik dan perbedaan pendapat yang terjadi.
1. Polemik dalam Sidang BPUPKI
Ketika hendak mengakhiri uraiannya tentang ketiga ide untuk dasar negara Indonesia, Soepomo bertanya kepada para peserta sidang: “Sekarang tuan-tuan akan Membangun Negara Indonesia atas aliran pikiran mana?”[4] Tentu saja itu hanyalah satu pertanyaan retoris semata, karena ia sudah menyiapkan jawaban dalam uraiannya selanjutnya. Soepomo mencoba meyakinkan para hadirin bahwa negara yang merupakan kesatuan masyarakat organis, yang tersusun secara integral, di mana negara bertujuan menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan, adalah konsep yang hendaknya menjadi pilihan bersama.[5]
Adalah Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin yang menurut banyak ahli menjadi penentang serius dari konsep negara yang diajukan oleh Soepomo ini. Mereka berdua menuntut agar hak warga negara dijamin oleh Konstitusi. Hatta dan Yamin mengungkapkan kekhawatirannya akan konsep Soepomo, karena menurut mereka ide itu memberi celah bagi munculnya negara kekuasaan.[6] Argumentasi Hatta dan Yamin ini akhirnya melahirkan “kompromi”[7] yang hasilnya bisa kita simak dari pasal 28 UUD 1945. Isinya menjamin kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Kendati kadarnya masih minimal, kompromi itu menjadi pengakuan paling tua dari konstitusi Indonesia atas hak-hak warga negara.[8]
2. Polemik Akademis Sampai Akhir Kekuasaan Orde Baru[9]
Konsep negara integralistik mendapat kritikan tajam dari beberapa pakar hukum tata negara. Para pengkritik tersebut di antaranya adalah J. H. A. Logemann, Ismail Suny, Yusril Ihza Mahendra dan Marsilam Simanjuntak. Kritik-kritik mereka terutama berkisar pada pidato Soepomo di sidang BPUPKI. Para akademisi ini mengungkapkan bahwa konsep negara integralistik memang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada negara, khususnya kepala negara dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.
Pendapat J.H.A. Logemann
Logemann adalah pakar hukum pertama yang mengkritik pandangan integralistik Soepomo. Logemann menyatakan bahwa konsep negara integralistik itu pada hakekatnya tidak lain daripada konsep negara organik.[10] Logemann meragukan kemungkinan keberhasilan dari struktur desa yang agraris itu jika dipindahtangankan (overgeplant) ke dalam struktur negara modern. Menurutnya, pidato Soepomo tidak memperhatikan faktor perubahan sosial akibat perkembangan struktur ekonomi dari agraris ke industri di negara-negara modern. Ia menganggap bahwa struktur desa Indonesia akan tetap langgeng karena struktur itu merupakan struktur asli masyarakat Indonesia. Menurut Logemann ini merupakan suatu pandangan yang utopis.
Kritik Logemann yang paling penting adalah ketika ia melihat bahwa dalam pidato Soepomo tidak disinggung tentang kedaulatan rakyat. Logemann menyatakan bahwa rupanya dalam konstruksi ini, kehendak rakyat tidak memerlukan jaminan khusus maupun organ khusus. Dengan demikian, menurut Logemann sudah jelas bahwa pemimpin negara yang bertugas memelihara keselarasan (de harmonie) memperoleh kedudukan yang paling kuat. Dengan begitu maka sikap otorianisme dan totalitarianisme akan berkembang.
Pendapat Ismail Suny
Kritik berikutnya dilancarkan oleh Ismail Suny. Ia mengambil sikap tidak sepakat dengan anggapan bahwa UUD 1945 menganut pandangan integralistik Soepomo karena beberapa alasan. Pertama, dengan berlandaskan pada pendapat Logemann, Suny menyatakan bahwa meski pengaruh integralistik Soepomo dalam UUD 1945 tidak dapat dipungkiri, namun orang tidak boleh mengatakan bahwa UUD 1945 terlalu didominasi oleh Soepomo. Kedua, Ismail Suny menyatakan bahwa kedaulatan rakyat yang oleh Soepomo dikatakan terjelma dalam diri pribadi Presiden dan bukan dalam DPR dalam hal pembentukan undang-undang, telah luput karena pendapat seorang anggota Panitia Kecil. Pendapat itu menyatakan bahwa bahwa tanpa adanya persetujuan yang diharuskan antara presiden dan parlemen tentang suatu undang-undang, kedaulatan rakyat tidak cukup terjamin. Ketiga, Ismail Suny mengatakan bahwa dengan masuknya asas kedaulatan rakyat ke dalam UUD 1945 dan terdapatnya pasal-pasal mengenai hak-hak asasi manusia, maka pandangan integralistik Soepomo itu telah ditolak.[11]
Pendapat Marsilam Simanjuntak
Kritik Marsillam Simanjuntak terhadap konsep Soepomo dimulai dengan mengungkapkan kemungkinan alasan munculnya paham integralistik di masa Orde Baru. Ia beranggapan bahwa paham integralistik di masa Orde Baru menjadi alat legitimasi untuk menjelaskan sistem politik pemerintahnya yang tidak menganut kebebasan. Itu dipakai pula untuk meredam tuntutan hak asasi manusia. Konsep ini sekaligus memberi dasar dan peran pemerintah yang luas dalam rangka stabilisasi politik pada periode setelah Soekarno.
Dengan meninjau pandangan Hegel dan membandingkannya dengan pidato Soepomo, Marsilam sangat yakin akan adanya unsur Hegelian dalam pandangan integralistik yang dikemukakan Soepomo. Walaupun yang dikatakan Soepomo tidak banyak dan belum bisa diraba di mana terjalinnya prinsip-prinsip negara menurut Hegel, namun ia sudah melihat semacam countour Hegelian yang mulai nampak samar-samar. Ini tampak dalam sebagian implikasinya, seperti antara lain dari kata-kata Soepomo, “persatuan masyarakat organis,” “penghidupan bangsa seluruhnya,” “kepentingan seluruhnya, bukan kepentingan perseorangan.” Dengan kesimpulan tersebut, Marsilam menguraikan unsur-unsur Hegel yang terdapat dalam staatsidee Soepomo. Misalnya di bidang bentuk negara, Soepomo tidak berkeberatan Negara Indonesia dipimpin oleh raja dengan hak turun-temurun sekalipun. Di bidang kedaulatan rakyat Soepomo tidak menjelaskan letak kedaulatan rakyat dalam konsep staatsidee-nya. Dan di bidang hak-hak warga negara Soepomo juga secara tidak langsung “menentang” jaminan hak-hak dasar warga Negara dalam UUD.
Marsilam Simanjuntak berkesimpulan bahwa konsep pandangan integralistik Soepomo memang mengandung ajaran Hegel. Dalam perkembangannya, konsep negara integralistik itu secara nyata tidak tahan uji terhadap asas-asas demokrasi, terutama asas kedaulatan rakyat yang kemudian masuk ke dalam UUD 1945. Dalam proses penyusunan UUD 1945, secara praktis usul Soepomo tersebut telah ditampik dan boleh dikatakan gugur.[12]
Pendapat Yusril Ihza Mahendra
Kritiknya diawali dengan mengetengahkan pendapat bahwa acuan yang lebih tepat untuk memahami pemikiran Soepomo adalah pidatonya tanggal 16 Juli 1945, bukan pidatonya tanggal 31 Mei 1945. Dalam pidato terakhirnya ini, Soepomo menunjukkan suatu kompromi yang sangat longgar dengan cara menampung berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh dalam sidang-sidang BPUPKI sebelumnya.
Menurut Mahendra, uraian awal Soepomo dalam pidato tanggal 16 Juli 1945 memang masih mengandung jiwa pidatonya yang tertanggal 31 Mei 1945, walau ia tidak lagi menggunakan istilah “integralistik.” Akan tetapi, dalam uraian-uraian berikutnya, Soepomo sudah bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap aspirasi dan pendapat dari golongan lain. Menurut Mahendra, Soepomo telah bersifat akomodatif dengan ide kedaulatan rakyat yang tidak disinggungnya dalam pidato tanggal 31 Mei 1945. Soepomo mengatakan, “Oleh karena itu, sistem negara yang nanti akan terbentuk dalam undang-undang dasar haruslah berdasarkan kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.”[13]
Selanjutnya dinyatakan oleh Mahendra bahwa Soepomo yang membayangkan desa sebagai sesuatu yang ideal merupakan suatu reduksi yang abstrak. Idealisasi desa itu cenderung mengabaikan aneka kelemahan yang mungkin dimiliki oleh kepala desa. Ia juga mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang justru cenderung eksploitatif terhadap desa melalui kepala desa. Selain itu, juga mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan-kekuatan oposisi terhadap kepala desa yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu.[14]
C. Konsep Integralistik; Totalitarianisme ataukah Retorika Semata
Terhadap aneka kritik dari para pakar di atas, di sini penulis hendak memberikan beberapa analisa dan komentar sebagai berikut:
a. Berhadapan dengan polemik ideologis seperti ini, kita perlu membuat suatu pandangan dan analisa filosofis-kritis yang lebih jernih. Pemikiran atau konsep negara integralisik Soepomo harus diletakkan dalam konteks ruang dan waktu pada saat pemikiran itu dikemukakan oleh Soepomo, yakni di depan Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Pada periode awal sebelum kemerdekaan, sikap anti penjajah (Belanda, Inggris, Amerika dan aneka sekutu lainnya) sangat kuat. Akibatnya, hampir semua konsep dan ideologi yang berasal dari negara-negara itu ditolak. Oleh karena itu, tidak mengherankan bagi kita apabila Soepomo menggunakan arus pemikiran filosofis Hegel, Spinoza, Adam Muller dan lain-lain yang nota bene berasal dari Jerman. Kita tahu dengan sangat baik bahwa pada waktu itu Jerman di Eropa bersama dengan Jepang di Asia merupakan musuh bagi Sekutu seperti halnya kita (Indonesia) yang memusuhi Belanda. Jadi, menurut hemat penulis, apa yang dikemukakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI adalah bagian dari suatu retorika ideologis yang luar biasa.
b. Selain menampilkan retorika, Soepomo telah mampu menarik simpul-simpul analisis ilmiah-filosofis atas tata hidup bersama masyarakat Indonesia seluruhnya. Apa yang ia sebut sebagai integralistik, persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos, persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya, prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, adalah inti sari dari semangat asali bangsa ini. Jika ia menyebut para filosof terkenal dalam teori negara integralistik yang digagasnya, itu bukan berarti bahwa ia begitu dipengaruhi oleh mereka. Akan tetapi, menurut penulis justru ia hendak menyatakan bahwa gagasannya punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kritis dan filosofis. Soepomo adalah seorang akademisi yang mengerti dengan pasti jati diri bangsa yang hendak dibangun.
c. Konsep negara integralistik Soepomo menurut penulis memang multitafsir. Artinya, orang bisa saja mengatakan bahwa di dalamnya terkandung benih-benih otoritarianisme dan totalitarianisme yang memungkinkan pemimpin negara berkuasa secara inkonstitusional. Akan tetapi, jelas Soepomo tidak menghendaki hal itu terjadi. Oleh sebab itu, ia dengan lapang dada mengakomodir dan bersikap kompromistis (seperti yang dikemukakan beberapa pakar) terhadap usulan agar diakuinya hak-hak dasar rakyat dalam UUD 1945. Hanya saja dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan ide yang mengatakan bahwa dengan masuknya ide kedaulatan rakyat berarti ide Soepomo telah gugur atau ditolak. Proses kompromi adalah indikasi nyata dari kebulatan tekad, kesatuan pendapat dan kedewasaan pribadi serta ideologi para pendiri negara untuk mendirikan dan membentuk Indonesia yang merdeka. Dengan demikian, maka tidak ada lagi Soepomo, Soekarno, Hatta, Yamin dan sebagainya. Yang ada hanyalah Indonesia merdeka.
D. Penutup: Implikasi Bagi Demokrasi Indonesia Dewasa Ini
Sejarah bukan saja berkisah tentang peristiwa, tetapi juga mengulas persepsi dan pandangan masyarakat seputar peristiwa itu.[15] Menurut hemat penulis, pernyataan itu tepat untuk menggambarkan sejarah konsep negara integralistik Soepomo di atas. Mengapa? Karena dari sejarah kita tahu bahwa konsep Soepomo tidak serta-merta muncul begitu saja. Demikian untuk selanjutnya. Konsep integralistik Soepomo ini melahirkan aneka persepsi dan pandangan yang berbeda dari setiap ahli tata negara sekalipun.
Konsep negara integralistik yang menurut beberapa pakar bersifat totaliter dan otoritarian mengalami kendala untuk dapat diterapkan dalam sistem demokrasi dan sistem pemerintahan di masa pasca Orde Baru. Disadari atau tidak, selama Orde Baru, paham integralistik Soepomo telah dipelintir oleh penguasa dalam praktik-praktik pemerintahannya. Kekuasaan kepala negara yang bertindak sebagai ‘bapak keluarga’ terlalu berlebihan. Maka yang terjadi adalah sentralisasi kekuasaan, tidak transparan dan lebih suka menghindar dari tanggung jawab publik. Dengan begitu, maka konsep Soepomo tidak berjalan sesuai dengan yang ia harapkan. Kepala negara yang harusnya menjadi pemimpin sejati, kepala keluarga, kepala desa yang memperhatikan aspirasi rakyatnya, selama Orde Baru malah bertindak sebaliknya. Kontrol yang lemah dari supra struktur politik yang ada dan mandulnya seluruh bentuk pengawasan dari infra struktur politik semakin menyimpangkan jalan penyelenggaraan negara ke arah yang jauh dari apa yang dibayangkan Soepomo. Intinya, Demokrasi Desa Indonesia sebagaimana diharapkan oleh Soepomo dalam konsep negara integralistiknya dipakai secara keliru oleh rezim yang berkuasa.
Sumber Bacaan
David Bourchier, Pancasila Versi Orde Baru Dan Asal Muasal Negara Organis, Yogyakarta: Aditya Media, 2007
Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur, dan Riwatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994
Risalah Sidang BPUPKI, 28 Mei-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995
William H. Frederick dan Soeri Soeroto (penyunting), Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005
http://jurnalrepublik.blogspot.com/2007/05/integralisme-soepomo.html
http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian9/bab_2.html
[1] Risalah Sidang BPUPKI, 28 Mei-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal. 33
[2] Ibid., hal. 35
[3] Ibid., hal. 34
[4] Ibid., hal.33
[5] Ibid., hal. 213
[6] Ibid., hal. 264-277
[7] Soepomo menunjukkan suatu kompromi dengan cara menampung berbagai pikiran yang dilontarkan oleh para tokoh dalam sidang BPUPKI sebelumnya. Hasilnya bisa disimak dalam pidato Soepomo pada tanggal 16 Juli 1945 yang mengakomodir konsep atau ide kedaulatan rakyat dan berdasar pada permusyawaratan perwakilan.
[8] Bdk.,Taufik Rahzen, Integralisme Soepomo, dalam
http://jurnalrepublik.blogspot.com/2007/05/integralisme-soepomo.html
[9] Kritik terhadap Cita Negara Integralistik, dalam
http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian9/bab_2.html
[10] David Bourchier, Pancasila Versi Orde Baru Dan Asal Muasal Negara Organis, Yogyakarta: Aditya Media, 2007, hal. 149.
[11] Kritik Cita Negara Integralistik, Loc.Cit.
[12] Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur, dan Riwatnya dalam Persiapan UUD 1945, 1994, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 93
[13] Risalah, Op.Cit., hal. 360
[14] Kritik Cita Negara Integralistik, Loc.Cit.
[15] William H. Frederick dan Soeri Soeroto (penyunting), Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005, hal. xii
0 komentar:
Posting Komentar