Minggu, 08 Mei 2011

Problematika Masyarakat Hukum Adat Dalam Perspektif Konstitusional

Problematika Masyarakat Hukum Adat Dalam Perspektif Konstitusional

Oleh Turiman Fachturahman Nur

Pertanyaan yang perlu diajukan pada premis pertama adalah apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat ? Jika mengacu hasil Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Juni 2005, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau the indgenoeus people adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun waktu sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.[1]

Kemudian bandingan dengan definisi Masyarakat Adat berdasarkan Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tanggal 17 Maret 1999. Masyarakat Adat adalah Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”

Berdasarkan definisi diatas menurut penulis ada dua kreteria, yaitu kreteria obyektif dan subyektif, yaitu a. Kreteria obyektif; 1) merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banyak bersifat homogen. 2) mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah maupun rohaniah, dengan suatu wilayah leluhur (homeland) tertentu atau wilayah adat atau sekurang-kurangnya dengan sebagian wilayah tersebut. 3) adanya suatu indentitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial dan hukum yang bersifat tradisonal, yang secara sungguh-sungguh diupayakan mereka untuk melestarikannya. 4) tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada. Sedangkan kreteria subyektif: 1) Identifikasi diri (self identification) sebagai suatu komunitas antropologis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk secara aktif memelihara identitas diri mereka itu. 2) dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologis tersebut sebagai suatu komunitas yang terpisah.

Dengan demikian dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat adalah berdiri sendiri, tetapi dari sisi kultural masyarakat hukum adat yang bersangkutan merupakan bagian dari komunitas antropologis yang lebih besar, yang disebut etnik atau suku bangsa, sebagai komunitas antropologis yang lebih besar, etnis atau suku bangsa selain terdiri masyarakat hukum adat yang masih berdiam ditanah leluhurnya juga mencakupm warga masyarakat hukum adat perantau, yang walaupun tidak berdiam ditanah leluhurnya mereka tetapi merasa mempunyai dan memelihara ikatan historis, kultural, sosial, dan psikologis dengan masyarakat hukum adatnya tersebut, artinya ada komunikasi sosial yang berlanjut baik bersifat formal maupun informal.

Pertanyaannya berikutnya pada premis kedua adalah bagaimana pengakuan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, dapat dilacak sebagai berikut :[2]

1. Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Pada Pasal 18B ayat (2) berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” Selanjutnya pada pasal 28 I ayat (3) dikatakan, ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

2. Tap MPR N0. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasal 4 huruf j berbunyi: ”Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”

3. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil : Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum (UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PPK).

4.UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (lihat juga Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan)

5. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya (UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (OTSUS) Papua.

Jika dikaitkan dengan klasula konstitusional "sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam prinsip negara kesatuan Repubik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang" (Pasal 18 B ayat (2), secara hermenuetika hukum bisa menimbulkan multitafsir, karena sejak tahun 1979 para pemerhati hukum dalam berbagai lokakarya maupun seminar nasional yang ditindak lanjuti dengan berbagai penelitian dan pada puncaknya pada lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Kertas Posisi Hak Masyarakat Hukum Adat, Januari 2005, Dalam Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat sedunia, 9 Agustus 2006, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Negara, Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Ketua Subkom Perlindungan Kelompok Khusus Komnas HAM, dan TMII, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakar Hukum Adat, 2006 yang dihadiri oleh seluruh pemuka masyarakat adat se Indonesia dan pemerhati masyarakat hukum adat sedunia, menyatakan:

"Pada dasarnya disepakati, bahwa kesalahan konseptual yang fatal secara historis sebagaimana yang terdapat pada UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa yang telah mengeliminasi masyarakat hukum adat diluar pulau Jawa akibat sentralistik, dan kesalahan konseptual itu masih bisa diketemukan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 pada Pasal 3 yang berbunyi "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat –masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya, masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rumusan ini merupakan kesalahan konseptual yang fatal kemudian diikuti oleh pasal-pasal sejenis dalam undang-undang lain tentang sumber daya alam, Secara khusus kesalahan konseptual yang bersifat fatal tersebut terdapat dalam; a. Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang berbunyi "Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat" b. Pasal 26 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang berbunyi: "Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan...." dan lebih fatal lagi, bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat baru dapat dilaksanakan bila keberadaan mereka dilegalkan. Dalam Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan pasal 203 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara implisit disebutkan keberadaan masyarakat hukum adat diakui selama telah ditetapkan oleh PERDA. Apabila tidak ditetapkan Perda, maka masyarakat hukum adat berstatus secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara hukum. Dan lebih kesalahan konseptual yang fatal juga semua kesalahan didalam peraturan perundang-undangan di atas diadopsi oleh Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ketika dijadikan rumusan normative amandemen UUD 1945, oleh karena itu kesalahan konseptual yang fatal dalam kontitusi ini perlu dipertimbangkan untuk diamandemen kembali .[3]

Pertanyaannya dimana letak "Carut Marutnya", jika menggunakan analisis hermeneutika hukum, bahwa klasula hukum pasal 33 ayat 3 UUD 1945: "Bumi dan air dan kekayan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan "dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat" telah disalahtafsirkan sebagai pelaksanaan kedaulatan negara[4], bukan kedaulatan rakyat, dan selanjutnya kedaulatan negara itu dijabarkan dengan peraturan perundang-undangan organik secara horisontal sebagaimana dipaparkan dalam hasil lokakarya di atas, patut diingat, bahwa menurut UU No 10 Tahun 2004 yang dimaksud Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI Tahun No 53), artinya peraturan perundang-undanngan bisa terbit dengan dua sumber yang dibentuk oleh lembaga negara dan oleh pejabat yang berwenang dan keduanya produk hukum negara itu mengikat secara umum.

Ini artinya Pejabat negara yang berwenang–pun bisa memanfaatkan kewenangannya untuk mengabaikan masyarakat hukum adat atas hak-haknya, apalagi yang berkaitan dengan sumber daya Hutan dan "Carut marut" Peraturan Perundangan itu sendiri dalam struktur hirarki yang tidak konsisten sebagaimana Pasal 7 Ayat (4) UU No 10 Tahun 2004 : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui KEBERADAAN dan MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG DIPERINTAHKAN PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain (dalam ketentuan Pasal 7) antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, MENTERI, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UNDANG-UNDANG atau Pemerintah atas perintah UNDANG-UNDANG, Dewan, Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat.

Berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 dan penjelasannya UU No 10 Tahun 2004, maka keberadaan Peraturan Menteri diakui tetapi KEBERADAAN dan MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG DIPERINTAHKAN PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.

Dengan demikian "carut marut" tidak hanya dihirarki norma peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten tetapi telah merambah ke masalah regulasi pertanahan dan masalah SDA Hutan baik secara vertikal maupun horisontal, bahkan hak pertambangan diwilayah hukum "dikunci" dengan klasula "berdasarkan peraturan perundang yang berlaku" dan hal ini ditambah lagi pengakuan yang mendua terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat juga konsep pemahaman yang berbeda antara hukum negara dengan pemahaman masyarakat hukum adat, apa yang dimaksud masyarakat hukum adat, berikut ini dipersandingkan pemahaman Pemerintah dan Pemahaman Masyarakat terhadap konsep Masyarakat Hukum Adat.

Perbedaan pemaknaan antara hukum negara dan masyarakat hukum adat tentang konsep masyarakat hukum adat membawa implikasi hukum, yaitu "ketidak konsistenan regulasi" tersebut ternyata tidak hanya secara sinkronisasi horisontal tetapi juga secara sinkronisasi vertikal, hal ini dapat dilihat antara TAP MPR dengan UUD 1945 dan undang-undang organiknya sebelum amandemen UUD 1945 yang kedua, tahun 2000.

Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28I ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman. Jadi UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dengan klasula" " sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang" sedangkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman". Pengakuan yang mendua ini memang sudah pasti menimbulkan ketidakpastian terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.

Ketidakpastian itu kemudian dikaburkan lagi dalam UU No 41 Tahun 1999 bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara (Pasal 4, ayat 1). Penguasaan hutan oleh negara berarti bahwa pemerintah diberikan wewenang untuk, antara lain, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan (Pasal 4, ayat (2)b). Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999: "Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional" (Pasal 4 ayat 3), tetapi Pasal 1 ayat (6) dalam undang-undang yang sama menyatakan 'Hutan adat adalah Hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat"

Lebih lanjut secara sistimatis dihegemoni oleh hukum negara dalam Pasal 26 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang berbunyi : "Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan.....",

Kemudian bagaimana pengakuan masyarakat hukum adat dalam bidang pertanahan terhadap tanah adat (Hak ulayat), Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 menyatakan : "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Klasula Pasal 1 dan 2 UU No 5 tahun 1960 "sepanjang menurut kenyataannya masih ada" dan pernyataan " tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi" adalah merupakan konseptual yang fatal, karena bertentangan dengan Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman dan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4, diamanatkan pengakuan atas hak ulayat sebagai berikut: “Pasal 4 : Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: huruf j: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.”

Lebih dari itu kesalahan konseptual yang fatal ini atau "carut marut" hukum negara ini juga pada tahun 2000 diadopsi oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang"

Bagaimana mungkin diatur dalam Undang-Undang jika kesalahan konseptual yang ada dalam dalam satu Undang-Undang (Pasal 3 jo Pasal 1 dan 2 UU No 5 Tahun 1960) yang secara nota bene sudah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi (Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 dan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4) kemudian diikuti oleh pasal-pasal sejenis dalam Undang-Undang Lain UU No 41 Tahun 1999 (pasal 1 ayat 6), UU NO 11 Tahun 1967 (Pasal 26), UU No 24 Tahun 2003 (Padal 51 ayat (1), UU No 32 Tahun 2004 (pasal 2003 ayat (3) dan juga diikuti oleh Peraturan Pemerintah, yaitu : Pada Pasal 27 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi disebutkan bahwa : Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Masyarakat hukum adat memang berada pada posisi lemah, dengan demikian sangatlah diperlukan upaya atau perjuangan yang bersifat sinergis dan bersama dengan lembaga lain yang tidak berafiliasi dengan pemerintah.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4, diamanatkan pengakuan atas hak ulayat sebagai berikut: “Pasal 4 : Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: huruf j: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.” Dengan dasar TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, seyogyanya disusun suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mampu menjadi lex generalis dan platform dari seluruh peraturan perundangan sektoral. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang baru itu perlu diatur dan ditegaskan kembali beberapa hal sebagai berikut: Penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat.Mengedepankan falsafah bahwa penggunaan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Berorientasi pada pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.

Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat hukum adat, termasuk didalamnya untuk menentukan batas-batas wilayah adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat hukum adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak luar lainnya (top-down), tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan (self-identification dan self-claiming) secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah.

Mengapa demikian ? karena kebijakan negara yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama konflik adalah hasil dari proses politik yang berlangsung dalam berbagai arena, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan demikian, tidak mungkin ada kebijakan negara yang adil bagi masyarakat hukum adat kalau masyarakat hukum adat sendiri tidak secara aktif terlibat dalam proses-proses politik yang menentukan kebijakan negara tersebut. Keterlibatan masyarakat hukum adat ini juga hanya bisa terjadi kalau mereka sendiri mengorganisir dirinya sebagai kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.

Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat hukum adat yang berdaulat harus diimbangi jaringan saling-ketergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif (participatory democracy).



[1] Komnas HAM, Kertas Posisi Hak Masyarakat Hukum Adat, Januari 2005, Dalam Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat sedunia, 9 Agustus 2006, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Negara, Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Ketua Subkom Perlpindungan Kelompok Khusus Komnas HAM, dan TMII, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakar Hukum Adat, 2006, hlm 9

[2] Hasil Pemetaan Penulis dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

[3] Kesimpulan Lokarkarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat , Jakarta, 14-15 Juni 2005, pada butir 9.

[4] Yang dimaksud Paham Kedaulatan Negara, bahwa menurut paham kedaulatan negara, bahwa kekuasaan yang terdapat di dalam negara merupakan resultan dari kodrat alam. Oleh inspirator paham ini – antara lain, George Jellineck dan Paul Laband – dikemukakan bahwa kekuasaan penguasa adalah yang tertinggi. Setiap perintah dari penguasa negara yang dimanisfestasikan dalam hukum haruslah ditaati oleh masyarakat, lihat Turiman," Mewujudkan Hukum Administrasi Negara Yang Selaras Dengan Spektrum Sistem Kenegaraan Indonesia (Pancasila) Dalam Era Globalisasi., makalah Seminar Fakultas Hukum, 21 Juli 2010.hlm 11.

»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 07 Mei 2011

PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG DARI PERSPEKTIF ILMU PERUNDANG-UNDANGAN


PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG DARI PERSPEKTIF ILMU PERUNDANG-UNDANGAN 

Oleh Turiman Fachturahman Nur

          “Undang-undang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan teks yang sudah final”.[1] Pernyataan Anthon Freddy Susanto tersebut bukan saja berlaku bagi hakim, tetapi juga bagi penegak hukum lainnya dan bagi penyelenggara pemerintahan. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib dilakukan (obligattere), yang dilarang dilakukan (prohibere) dan yang boleh dilakukan (permittere).
Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang-undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Karena itulah undang-undang bagi penyelenggara pemerintahan bukan teks yang sudah selesai, tetapi masih perlu diatur lebih lanjut dengan delegated legislations, sebagai secondary legislations.[2] Oleh karena undang-undang merupakan salah satu unsur dari sistem hukum, maka sifat dasar sistem hukum juga menjadi sifat dasar undang-undang. Sudikno Mertokusumo mengemukakan:
“Hukum pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem tertutup”.[3]
Lebih lanjut dikemukakan “pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan-peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu maka peraturan-peraturan itu selalu berubah”. Dalam pandangan Dworkin seperti dikutip Anthon Freddy Susanto dikemukakan “bilamana hukum merupakan konsepp interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi”.[4] Sementara itu, Paul Scholten mengemukakan interpretasi sistematis “sudah ada terletak di dalam hukum itu sendiri”.[5] Alasannya aturan-aturan itu secara logikal berada dalam saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan…”
Kemudian Anthon Freddy Susanto mengemukakan: “…tetapi sistem norma itu sendiri tetap terbuka untuk ditafsirkan. Ketika norma dibuat, akan berbeda dengan norma yang telah disahkan dan norma yang telah disahkan akan berbeda pula dengan norma setelah ditafsirkan. Keinginan untuk kembali kepada makna formal dari norma biasanya merupakan gangguan serius terhadap bagaimana norma itu ditangkap oleh di penerima norma”.[6]
Pada bagian lain Anthon menambahkan: “untuk itu penafsiran menjadi keharusan, “penafsiran” akan menjadi kunci kreativitas”. Penafsiran tidak sekedar memberi arti pada kata atau bahasa, juga tidak semata-mata mengungkapkan realitas yang nampak melalui panca indera. Penafsiran hakekatnya adalah puncak kreativitas, yaitu upaya pencairan kebenaran yang dapat dilakukan melalui tingkatan kecerdasan manusia. Melalui penafsiran kebenaran mengalir bersama pengetahuan untuk mencapai sumbernya”.[7]
Dalam ilmu hukum dikenal bermacam-macam metode interpretasi atau penafsiran yaitu: metode penafsiran gramatikal, otentik, teleologis (sosiologis), sistematis (logis), historis (subjektif), komparatif, futuristis (antisipatif), restriktif dan ekstensif. Metode interpretasi/penafsiran tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan berdasarkan 2 pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua.[8]
Dalam praktek para subjek hukum yang berkepentingan cenderung menggunakan metode penafsiran yang paling menguntungkan kepentingannya. Bahkan ada kecenderungan dari beberapa kalangan untuk menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang, karena undang-undang dijadikan instrumen melegitimasi kebijakan penguasa, bukan ditempatkan sebagai dasar untuk mengatur dan mempertanggungjawabkan kebijakan penguasa.
Peran Penyelenggara Pemerintahan dalam menjaga Konsistensi Penafsiran Undang-Undang
Sehubungan dengan itu sangatlah relevan untuk mempertanyakan peran penyelenggara pemerintahan dalam menjaga konsistensi penafsiran undnag-undang. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, tidak dibedakan antara “pejabat pemerintah” yang menjalankan tugas politik negara dan pejabat pemerintah sebagai pejabat admnistrasi negara (yang menjalankan tugas teknis fungsional atau operasional menjalankan kehendak pemerintah dan melayani masyarakat umum).[9]
Lebih lanjut Prajudi mengemukakan:”Pemerintah menjalankan pemerintahan melalui pengambilan keputusan pemerintah (regeringsbesluit) yang bersifat strategi, policy, atau ketentuan-ketentuan umum (algemene bepalingen) dan melalui tindakan-tindakan pemerintahan (regerings maat regelen) yang bersifat menegakkan ketertiban umum, hukum, wibawa negara dan kekuasaan negara”.
Sedangkan administrasi negara (administrasi) menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking) yang bersifat individual, kausal, faktual, teknis penyelenggaran dan tindakan-tindakan administratif yang bersifat organisasional, menajerial informasional, tata usaha atau operasional”.[10]
Pemerintah dalam penyelenggaran pemerintahan mengambil keputusan pelaksanaan atau eksekutif (politieke daad), artinya penegakan undang-undang dan wibawa negara. Keputusan administratif merupakan keputusan penyelenggaraan atau realisasi (materiele daad). Penyelenggara pemerintahan menurut UUD Negara RI tahun 1945 adalah Presiden, dibantu satu orang Wakil Presiden dan Menteri-Menteri Negara yang masing-masing membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Untuk tingkat pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota kepala pemerintah masing-masing adalah gubernur, bupati, walikota.
Menurut Prajudi, setiap pejabat Pemerintah secara otomatis merangkap sebagai administrator, oleh karena Pemerintah adalah Kepala Administrasi Negara, kecuali dalam hal organisasi pemerintahan daerah dan desa.[11] Penyelenggara pemerintahan memainkan peranan sentral dalam melakukan penafsiran undang-undang, agar undang-undang dapat dijalankan sebagaimana mestinya dan untuk menjalankan tugas-tugas administrasi. Penyelenggara pemerintahan harus mengerti maksud pembentuk undang-undang, menangkap motif atau niatan (intens) pembentuk undang-undang atau menemukan kembali maksud dan tujuan yang aktual juga historis dari pembentuk undnag-undang serta menghasilkan makna baru yang progresif.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, atau sebagai penyelenggara pemeriantahan dengan para pembantunya di tingkat pusat, terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. Oleh karena itu adalah logis apabila ia dituntut untuk memahami maksud dan makna yang terkandung dalam undang-undang. Subjektivitas penyelenggara negara dan kepentingan politiknya tidak boleh mengintervensi penafsiran undang-undang. Untuk menangkap maksud atau makna undang-undang terlebih dahulu haruslah dibaca teks undang-undang tersebut dan dianalisa agar gagasan pokoknya dapat dipahami dengan jelas. Selain itu undang-undang harus pula dibaca secara kontekstual dengan memperhatikan realitas sosial yang dihadapi dan harapan-harapan masyarakat tentang masa depan yang dicita-citakan.
Bila “seorang hakim dituntut berpikir transenden, kritis dan progresif”[12] dalam menafsirkan undang-undang seperti dikemukakan oleh Anthon Freddy Susanto, maka hal yang sama juga dituntut pada penyelenggara pemerintahan. Berpikir transenden berarti optimalisasi nurani dalam melakukan penafsiran. Kritis adalah penggunaan nalar namun tidak bersifat “take for granted”. Progresif adalah upaya untuk terus-menerus menemukan makna-makna baru dan tidak terbelenggu pada makna absolut. Penafsiran yang dilakukan dengan metodologi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan akan menjadi kunci kreativitas untuk menjadikan undang-undang sebagai the living law, hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sebab undang-undang yang dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis harus selalu dapat dimaknai secara dinamis, karena bahasa sendiri pada dasarnya mencerminkan perkembangan budaya.
Realitas Yang Dihadapi
Undang-undang sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga politik dalam banyak hal dipengaruhi oleh arus pemikiran dominan dalam lembaga politik yang bersangkutan pada kurun waktu tertentu. Rumusan undang-undang yang umum dan abstrak sering merupakan rumusan kompromi yang spektrum maknanya sangat luas sehingga rentan terhadap penafsiran yang berbeda oleh subyek hukum yang berkepentingan.
Meskipun kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan[13] menjadi asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun dalam kenyataannya tidak sedikit undang-undang yang samar-samar tujuannya, dan rumusannya ambigu. Hal tersebut membuka peluang terjadinya multi tafsir yang menyulitkan pelaksanaannya.
Latar belakang rumusan pasal-pasal dalam undang-undang sangat sulit untuk ditelusuri dalam dokumen pembahasannya, karena proses pembahasan yag dilakukan dalam forum-forum lobby atau forum rapat pada tingkatan tertentu yang bersifat tertutup tidak terdokumentasikan. Selain itu proses pembahasan undang-undang secara keseluruhan belum didokumentasikan dengan baik dan tidak mudah diakses. Dengan demikian penafsiran historis sering-sering mengalami jalan buntu.
Sedangkan penafsiran gramatikal dan otentik dalam banyak hal tidak dapat membantu memahami undang-undang sebagaimana dikehendaki pembentuk undang-undang. Penafsiran dengan menelaah rumusan pasal dari sudut tata bahasa tidak banyak membantu, karena pembentuk undang-undang menggunakan kaedah-kaedah bahasa yang dirasakan cocok untuk kepentingan politik pada saat itu, tanpa mempertimbangkan apakah dengan demikian pihak-pihak yang terkait dengan undang-undang tersebut memahami bahasa hukum yang digunakan sama dengan kehendak pembentuk undang-undang apalagi jarak waktu antara pembentukan dan pelaksanaannya cukup lama. Penafsiran otentik juga tidak selalu bisa diandalkan, karena penjelasan pasal tertentu dalam undang-undang bukannya memperjelas makna pasal yang bersangkutan, tetapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Dalam pihak penjelasan pasal yang memerlukan penjelasan justru membisu tentang soal-soal yang mesti dijelaskan dengan mencantumkan kata “cukup jelas”.
Delegasi pengaturan lebih lanjut pasal tertentu dalam undang-undang sering–sering ditafsirkan secara ekstensif yaitu dengan memperluas cakupan soal-soal yang perlu diatur lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena undang-undang tidak menetapkan batasan yang jelas soal–soal yang didelegasikan pengaturannya.
Metode penafsiran sistematis (logis) yang mengaitkan suatu pasal dengan pasal lain dari satu undang-undang atau antara satu undang-undang dengan yang lainnya, dihadapkan pada egoisme sektoral. Masing-masing pihak yang berkepentingan berpegang pada pasal atau undang-undang yang menguntungkan kepentingannya. Kendala serupa juga dijumpai dalam penggunaan metode penafsiran yang menggunakan purposive approach. Selain itu tidak jarang penyelenggara pemerintahan dihinggapi penyakit malas untuk mengembangkan kreativitas, untuk menggali secara mendalam tujuan-tujuan kemasyarakatan yang menjadi pertimbangan pembentukan undang-undang atau harapan-harapan dan cita-cita hukum masyarakat atau untuk melakukan perbandingan dengan sistem hukum lain. Akibatnya penafsiran undang-undang dilakukan secara dangkal. Anthon Freddy Susanto mengemukakan interprosesi dangkal merupakan salah satu sebab hukum Indonesia ambruk oleh mitos ......”[14]
Kendala lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam penafsiran undang-undang dikalangan penyelenggara pemerintahan ialah tidak adanya otoritas yang berwenang untuk menentukan penafsiran mana yang mewakili pandangan resmi penyelenggara pemerintahan. Akibatnya perbedaan penafsiran mengenai makna satu ketentuan undang-undang antar instansi menjadi berlarut-larut atau penyelesaiannya dilakukan secara kompromis, bukan dengan penalaran hukum yang sahih.

Kaitannya dengan Proses Sinkronisasi dan Harmonisasi
Berbagai kendala tersebut diatas jelas mempengaruhi proses sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Departemen Hukum dan HAM. Lebih-lebih lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Menteri Hukum dan HAM hanya diberi tugas mengkoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang.[15]
Dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sering menjadi “juru damai” untuk menyamakan penafsiran undang-undang oleh instansi pemerintahan. Departemen Hukum dan HAM kadang-kadang dengan berat hati meminta agar instansi yang berbeda penafsiran untuk “duduk bersama empat mata” guna menyelesaikan perbedaan diantara mereka, agar kontroversi tidak semakin melebar bila dikemukakan dalam forum yang lebih luas.
Perbedaan penafsiran diantara instansi pemerintah terutama yang berkaitan dengan soal kewenangan, dan soal-soal persyaratan teknis maupun administratif, yang memerlukan pengaturan lebih lanjut merupakan masalah-masalah yang penyelesaiannya memakan waktu dan tenaga. Proses sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan bisa memakan waktu yang lama.
    Sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, R Perppu, RPP dan R Perpres memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan pertimbangan dari Menteri Hukum dan HAM dan menteri/pimpinan lembaga terkait dengan cara sebagai berikut:
  1. Menteri Hukum dan HAM menyelesaikan perbedaan tersebut dengan Menteri/pimpinan Lembaga terkait yang bersangkutan. (Pasal 16)
  2. Apabila upaya penyelesaian sebagaimana tersebut diatas tidak memberikan hasil, Menteri Hukum dan HAM melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut kepada Presiden untuk memperoleh keputusan.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa Presiden yang memegang kekuasaan Pemerintahan, memberikan keputusan akhir untuk menyelesaikan perbedaan pertimbangan dari Menteri/pimpinan Lembaga terkait terhadap suatu permasalahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktek perbedaan penafsiran atau perbedaan pendapat mengenai suatu masalah hukum yang terkait dengan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terjadi diantara pejabat-pejabat yang ditugasi mewakili suatu departemen. Masing-masing pejabat dalam mempertahankan pendiriannya selalu berlindung dengan kalimat “akan kami laporkan kepada pimpinan”, atau “belum ada petunjuk lebih lanjut dari pimpinan kami”.
Tidak jelas benar tentang kebenaran pernyataan klise tersebut. Apakah betul pendapat yang disampaikan oleh wakil dari Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang menghadiri rapat panitia antar departemen atau rapat harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan pendapat resmi instansi yang diwakili atau pendapat tersebut pendapat sekelompok orang atau pendapat pribadi yang bersangkutan? Karena tidak jarang pendapat tersebut dikemukakan secara spontan dalam rapat yang bersangkutan. Apakah wakil instansi yang bersangkutan benar-benar melaporkan permasalahan yang timbul dan meminta pimpinannya memberi solusi penyelesaian dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat yang berkembang dan aspek yuridisnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut sulit didapat, karena proses komunikasi antar wakil-wakil instansi yang bersangkutan dengan pimpinannya terjadi secara tertutup, tidak terbuka untuk pihak lain.
Penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan metedologi penafsiran yang tepat akan sangat membantu penyamaan persepsi diantara para penyelenggara pemerintahan dalam melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal tersebut akan membantu kelancaran proses sinkronisasi dan harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan.

Saran Perbaikan
Setelah membahas berbagai permasalahan seperti diuraikan diatas, dapat disampaikan saran untuk memperbaiki mekanisme dan prosedur dalam proses perancangan dan pembahasan RUU untuk menjaga konsistensi penafsiran undang-undang sebagai berikut :
  1. Penyelenggara pemerintahan agar menggunakan metodologi penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan doktrin.
  2. Penafsiran subjektif yang didasarkan kepada kepentingan sektoral harus dihindarkan, penyelenggara pemerintahan dituntut berfikir transenden, kritis dan progresif dalam memahami undang-undang sebagai salah satu unsur yang membentuk sistem hukum nasional.
  3. Perlu ada institusi yang melaksanakan fungsi sebagai ”clearing house” yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan perbedaan penafsiran terhadap undang-undang yang terjadi dikalangan penyelenggara pemerintahan.
  4. Dalam proses sinkronisasi dan harmonisasi penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, wakil-wakil dari instansi pemerintah/lembaga pemerintah non departemen, agar ditunjuk pejabat yang berkompeten mengambil keputusan, mengenai masalah yang dibahas dan membawa pandangan resmi instansi yang diwakili.
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu disempurnakan untuk lebih memperjelas asas-asas kewenangan lembaga yang terkait, proses dan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.
  6. Bahasa Peraturan Perundang-undangan harus taat asas mengikuti kaedah-kaedah tata bahasa Indonesia yang baik, jelas dan benar untuk itu perlu dibangkitkan lagi penyusunan pedoman bahasa hukum Indonesia sebagai suatu corak penggunaan bahasa Indonesia yang khusus untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum.
  7. Dokumen penyusunan dan pembahasan peraturan perundang-undangan perlu disusun dengan sistematis dan disimpan oleh instansi yang membentuk serta mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan terutama untuk keperluan penafsiran historis.
DAFTAR BACAAN
  1. ......, Undang-undang Dasar Negara R.I Tahun 1945
  2. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, beserta Peraturan Pelaksanaannya.
  3. Anton Freddy Sutanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005
  4. Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, Jakarta, 2006
  5. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.
  6. Mahadi/Sabaruddin Ahmad, Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, BPHN, Bandung, 1979
  7. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Alih Bahasa B. Arief Shidharta, Bandung 2003.
  8. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta 1995.
  9. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,1996
[1] Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Bandung 2005, halaman 152
[2] Periksa Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta 2006, halaman 13
[3] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta, 1996, halaman 23
[4] Anthon Freddy Susanto, Op Cit, halaman 149
[5] Paul Scholten Struktur Ilmu Hukum, Bandung 2003, halaman 31
[6] Anthon Freddy Susanto, Loc Cit, halaman 91
[7] Idem, halaman 98
[8] Periksa, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama dengan dengan Coastal Resources Manajement Project/Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta 2005, halaman 66-68
[9] Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta 1995, halaman 27
[10] Prajudi Admosudiro, Loc Cit, halaman 48-49
[11] Prajudi Atmosudirjo, Loc Cit, halaman 15
[12] Anthon Freddy Susanto, Op Cit, halaman 152
[13] Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 5 huruf a dan f
[14] Anthon Freddy Susanto, Op Cit halaman 120
[15] Periksa Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 18 ayat (2)
»»  Baca Selengkapnya...