Problematika Masyarakat Hukum Adat Dalam Perspektif Konstitusional
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Pertanyaan yang perlu diajukan pada premis pertama adalah apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat ? Jika mengacu hasil Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Juni 2005, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau the indgenoeus people adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun waktu sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.[1]
Kemudian bandingan dengan definisi Masyarakat Adat berdasarkan Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tanggal 17 Maret 1999. Masyarakat Adat adalah Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”
Berdasarkan definisi diatas menurut penulis ada dua kreteria, yaitu kreteria obyektif dan subyektif, yaitu a. Kreteria obyektif; 1) merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banyak bersifat homogen. 2) mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah maupun rohaniah, dengan suatu wilayah leluhur (homeland) tertentu atau wilayah adat atau sekurang-kurangnya dengan sebagian wilayah tersebut. 3) adanya suatu indentitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial dan hukum yang bersifat tradisonal, yang secara sungguh-sungguh diupayakan mereka untuk melestarikannya. 4) tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada. Sedangkan kreteria subyektif: 1) Identifikasi diri (self identification) sebagai suatu komunitas antropologis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk secara aktif memelihara identitas diri mereka itu. 2) dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologis tersebut sebagai suatu komunitas yang terpisah.
Dengan demikian dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat adalah berdiri sendiri, tetapi dari sisi kultural masyarakat hukum adat yang bersangkutan merupakan bagian dari komunitas antropologis yang lebih besar, yang disebut etnik atau suku bangsa, sebagai komunitas antropologis yang lebih besar, etnis atau suku bangsa selain terdiri masyarakat hukum adat yang masih berdiam ditanah leluhurnya juga mencakupm warga masyarakat hukum adat perantau, yang walaupun tidak berdiam ditanah leluhurnya mereka tetapi merasa mempunyai dan memelihara ikatan historis, kultural, sosial, dan psikologis dengan masyarakat hukum adatnya tersebut, artinya ada komunikasi sosial yang berlanjut baik bersifat formal maupun informal.
Pertanyaannya berikutnya pada premis kedua adalah bagaimana pengakuan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, dapat dilacak sebagai berikut :[2]
1. Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Pada Pasal 18B ayat (2) berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” Selanjutnya pada pasal 28 I ayat (3) dikatakan, ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”
2. Tap MPR N0. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasal 4 huruf j berbunyi: ”Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”
3. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil : Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum (UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PPK).
4.UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (lihat juga Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan)
5. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya (UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (OTSUS) Papua.
Jika dikaitkan dengan klasula konstitusional "sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam prinsip negara kesatuan Repubik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang" (Pasal 18 B ayat (2), secara hermenuetika hukum bisa menimbulkan multitafsir, karena sejak tahun 1979 para pemerhati hukum dalam berbagai lokakarya maupun seminar nasional yang ditindak lanjuti dengan berbagai penelitian dan pada puncaknya pada lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Kertas Posisi Hak Masyarakat Hukum Adat, Januari 2005, Dalam Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat sedunia, 9 Agustus 2006, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Negara, Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Ketua Subkom Perlindungan Kelompok Khusus Komnas HAM, dan TMII, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakar Hukum Adat, 2006 yang dihadiri oleh seluruh pemuka masyarakat adat se Indonesia dan pemerhati masyarakat hukum adat sedunia, menyatakan:
"Pada dasarnya disepakati, bahwa kesalahan konseptual yang fatal secara historis sebagaimana yang terdapat pada UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa yang telah mengeliminasi masyarakat hukum adat diluar pulau Jawa akibat sentralistik, dan kesalahan konseptual itu masih bisa diketemukan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 pada Pasal 3 yang berbunyi "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat –masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya, masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rumusan ini merupakan kesalahan konseptual yang fatal kemudian diikuti oleh pasal-pasal sejenis dalam undang-undang lain tentang sumber daya alam, Secara khusus kesalahan konseptual yang bersifat fatal tersebut terdapat dalam; a. Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang berbunyi "Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat" b. Pasal 26 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang berbunyi: "Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan...." dan lebih fatal lagi, bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat baru dapat dilaksanakan bila keberadaan mereka dilegalkan. Dalam Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan pasal 203 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara implisit disebutkan keberadaan masyarakat hukum adat diakui selama telah ditetapkan oleh PERDA. Apabila tidak ditetapkan Perda, maka masyarakat hukum adat berstatus secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara hukum. Dan lebih kesalahan konseptual yang fatal juga semua kesalahan didalam peraturan perundang-undangan di atas diadopsi oleh Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ketika dijadikan rumusan normative amandemen UUD 1945, oleh karena itu kesalahan konseptual yang fatal dalam kontitusi ini perlu dipertimbangkan untuk diamandemen kembali .[3]
Pertanyaannya dimana letak "Carut Marutnya", jika menggunakan analisis hermeneutika hukum, bahwa klasula hukum pasal 33 ayat 3 UUD 1945: "Bumi dan air dan kekayan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan "dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat" telah disalahtafsirkan sebagai pelaksanaan kedaulatan negara[4], bukan kedaulatan rakyat, dan selanjutnya kedaulatan negara itu dijabarkan dengan peraturan perundang-undangan organik secara horisontal sebagaimana dipaparkan dalam hasil lokakarya di atas, patut diingat, bahwa menurut UU No 10 Tahun 2004 yang dimaksud Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI Tahun No 53), artinya peraturan perundang-undanngan bisa terbit dengan dua sumber yang dibentuk oleh lembaga negara dan oleh pejabat yang berwenang dan keduanya produk hukum negara itu mengikat secara umum.
Ini artinya Pejabat negara yang berwenang–pun bisa memanfaatkan kewenangannya untuk mengabaikan masyarakat hukum adat atas hak-haknya, apalagi yang berkaitan dengan sumber daya Hutan dan "Carut marut" Peraturan Perundangan itu sendiri dalam struktur hirarki yang tidak konsisten sebagaimana Pasal 7 Ayat (4) UU No 10 Tahun 2004 : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui KEBERADAAN dan MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG DIPERINTAHKAN PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain (dalam ketentuan Pasal 7) antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, MENTERI, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UNDANG-UNDANG atau Pemerintah atas perintah UNDANG-UNDANG, Dewan, Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 dan penjelasannya UU No 10 Tahun 2004, maka keberadaan Peraturan Menteri diakui tetapi KEBERADAAN dan MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG DIPERINTAHKAN PERATURAN PERUNDANG -UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.
Dengan demikian "carut marut" tidak hanya dihirarki norma peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten tetapi telah merambah ke masalah regulasi pertanahan dan masalah SDA Hutan baik secara vertikal maupun horisontal, bahkan hak pertambangan diwilayah hukum "dikunci" dengan klasula "berdasarkan peraturan perundang yang berlaku" dan hal ini ditambah lagi pengakuan yang mendua terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat juga konsep pemahaman yang berbeda antara hukum negara dengan pemahaman masyarakat hukum adat, apa yang dimaksud masyarakat hukum adat, berikut ini dipersandingkan pemahaman Pemerintah dan Pemahaman Masyarakat terhadap konsep Masyarakat Hukum Adat.
Perbedaan pemaknaan antara hukum negara dan masyarakat hukum adat tentang konsep masyarakat hukum adat membawa implikasi hukum, yaitu "ketidak konsistenan regulasi" tersebut ternyata tidak hanya secara sinkronisasi horisontal tetapi juga secara sinkronisasi vertikal, hal ini dapat dilihat antara TAP MPR dengan UUD 1945 dan undang-undang organiknya sebelum amandemen UUD 1945 yang kedua, tahun 2000.
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada Pasal 28I ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman. Jadi UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dengan klasula" " sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang" sedangkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman". Pengakuan yang mendua ini memang sudah pasti menimbulkan ketidakpastian terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.
Ketidakpastian itu kemudian dikaburkan lagi dalam UU No 41 Tahun 1999 bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara (Pasal 4, ayat 1). Penguasaan hutan oleh negara berarti bahwa pemerintah diberikan wewenang untuk, antara lain, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan (Pasal 4, ayat (2)b). Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999: "Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional" (Pasal 4 ayat 3), tetapi Pasal 1 ayat (6) dalam undang-undang yang sama menyatakan 'Hutan adat adalah Hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat"
Lebih lanjut secara sistimatis dihegemoni oleh hukum negara dalam Pasal 26 Undang-Undang No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang berbunyi : "Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan.....",
Kemudian bagaimana pengakuan masyarakat hukum adat dalam bidang pertanahan terhadap tanah adat (Hak ulayat), Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 menyatakan : "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Klasula Pasal 1 dan 2 UU No 5 tahun 1960 "sepanjang menurut kenyataannya masih ada" dan pernyataan " tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi" adalah merupakan konseptual yang fatal, karena bertentangan dengan Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atau tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman dan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4, diamanatkan pengakuan atas hak ulayat sebagai berikut: “Pasal 4 : Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: huruf j: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.”
Lebih dari itu kesalahan konseptual yang fatal ini atau "carut marut" hukum negara ini juga pada tahun 2000 diadopsi oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang"
Bagaimana mungkin diatur dalam Undang-Undang jika kesalahan konseptual yang ada dalam dalam satu Undang-Undang (Pasal 3 jo Pasal 1 dan 2 UU No 5 Tahun 1960) yang secara nota bene sudah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi (Ketetapan MPR. No. XVII/MPR/1998 dan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4) kemudian diikuti oleh pasal-pasal sejenis dalam Undang-Undang Lain UU No 41 Tahun 1999 (pasal 1 ayat 6), UU NO 11 Tahun 1967 (Pasal 26), UU No 24 Tahun 2003 (Padal 51 ayat (1), UU No 32 Tahun 2004 (pasal 2003 ayat (3) dan juga diikuti oleh Peraturan Pemerintah, yaitu : Pada Pasal 27 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi disebutkan bahwa : Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
Masyarakat hukum adat memang berada pada posisi lemah, dengan demikian sangatlah diperlukan upaya atau perjuangan yang bersifat sinergis dan bersama dengan lembaga lain yang tidak berafiliasi dengan pemerintah.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Khusus pada Pasal 4, diamanatkan pengakuan atas hak ulayat sebagai berikut: “Pasal 4 : Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: huruf j: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.” Dengan dasar TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, seyogyanya disusun suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mampu menjadi lex generalis dan platform dari seluruh peraturan perundangan sektoral. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang tentang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang baru itu perlu diatur dan ditegaskan kembali beberapa hal sebagai berikut: Penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat.Mengedepankan falsafah bahwa penggunaan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Berorientasi pada pencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarian lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.
Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat hukum adat, termasuk didalamnya untuk menentukan batas-batas wilayah adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat hukum adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak luar lainnya (top-down), tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan (self-identification dan self-claiming) secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah.
Mengapa demikian ? karena kebijakan negara yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama konflik adalah hasil dari proses politik yang berlangsung dalam berbagai arena, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan demikian, tidak mungkin ada kebijakan negara yang adil bagi masyarakat hukum adat kalau masyarakat hukum adat sendiri tidak secara aktif terlibat dalam proses-proses politik yang menentukan kebijakan negara tersebut. Keterlibatan masyarakat hukum adat ini juga hanya bisa terjadi kalau mereka sendiri mengorganisir dirinya sebagai kekuatan politik yang pantas diperhitungkan.
Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat hukum adat yang berdaulat harus diimbangi jaringan saling-ketergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif (participatory democracy).
[1] Komnas HAM, Kertas Posisi Hak Masyarakat Hukum Adat, Januari 2005, Dalam Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat sedunia, 9 Agustus 2006, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Negara, Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Ketua Subkom Perlpindungan Kelompok Khusus Komnas HAM, dan TMII, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakar Hukum Adat, 2006, hlm 9
[2] Hasil Pemetaan Penulis dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
[3] Kesimpulan Lokarkarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat , Jakarta, 14-15 Juni 2005, pada butir 9.
[4] Yang dimaksud Paham Kedaulatan Negara, bahwa menurut paham kedaulatan negara, bahwa kekuasaan yang terdapat di dalam negara merupakan resultan dari kodrat alam. Oleh inspirator paham ini – antara lain, George Jellineck dan Paul Laband – dikemukakan bahwa kekuasaan penguasa adalah yang tertinggi. Setiap perintah dari penguasa negara yang dimanisfestasikan dalam hukum haruslah ditaati oleh masyarakat, lihat Turiman," Mewujudkan Hukum Administrasi Negara Yang Selaras Dengan Spektrum Sistem Kenegaraan Indonesia (Pancasila) Dalam Era Globalisasi., makalah Seminar Fakultas Hukum, 21 Juli 2010.hlm 11.
0 komentar:
Posting Komentar