Minggu, 27 Maret 2011

NEGARA HUKUM DAN PEMAHAMAN PELANGGARAN HAM BERAT

NEGARA HUKUM DAN PEMAHAMAN PELANGGARAN HAM BERAT

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

A. Unsur Negara Hukum

Salah satu pemahaman unsur Negara hukum adalah ada pengakuan HAM tetapi apakah yang dimaksud dengan Negara hukum dan pelanggarabn HAM secara normative, perlu ada pemahaman doktrinal, secara hukum tata negara dan para pestudi hukum ketika membahas tentang Negara hukum selalu mengacu pada Konvesi Montivideo, 1933 sebagai acuan awal.

Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara, menyebutkan bahwa syarat utama berdirinya suatu negara yang merdeka dan berdaulat adalah :[1]

a). adanya wilayah negara dengan batas-batas yang jelas;

b). adanya penduduk sebagai pendukung jalannya roda pemerintahan;

c). adanya pemerintahan yang sah;

d). adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan berbagai

subyek Hukum Internasional (selanjutnya disingkat HI).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi Montevideo tersebut, patut untuk dikemukakan bahwa ketiga syarat utama dalam point a s/d point c telah mendapatkan pengakuan sejak abad ke-19 di Eropa,[2] sedangkan point d dikenal sebagai syarat tambahan.[3] Konvensi Montevideo 1933 tidak menentukan apakah pemenuhan persyaratan tersebut bersifat kumulatif ataukah alternatif. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pemenuhan syarat tersebut semestinya bersifat komulatif, karena sangat mustahil akan berdiri suatu negara jika hanya mempunyai pemerintahan akan tetapi tanpa mempunyai penduduk maupun wilayah yang jelas. Konvensi Montevideo juga tidak mensyaratkan adanya pengakuan internasional dari negara-negara lain atas eksistensi suatu negara baru sebagai salah satu subyek HI. Dalam hal ini subyek HI dimaksudkan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut HI, yang antara lain terdiri dari Negara, Individu, Tahta Suci Vatikan Roma, Palang Merah Internasional, dan Pemberontak. Praktik internasional terkait dengan pemberian pengakuan terhadap negara baru,

umumnya berpedoman pada kriteria :[4]

a). keyakinan adanya stabilitas di negara tersebut;

b). dukungan umum dari rakyat negara yang bersangkutan;

c). kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.

Terbebasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat NKRI) dari belenggu penjajahan kolonialisme, secara de facto maupun de yure telah memenuhi persyaratan kualifikasi berdirinya suatu negara yang merdeka dan berdaulat menurut ketentuan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933. The founding fathers telah menetapkkan bahwa NKRI adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat) setelah amandemen UD Ri 1945 dinyatakan secara tegas pada Pasal 1 ayat (2) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pernyataan demikian, membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat dijadikan sebagai kerangka/landasan/dasar pijakan dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan (hukum) dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jadi secara teoritis nnegaea hokum harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut :

a). adanya pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b). peradilan yang bebas, tidak memihak dan dipengaruhi kekuasaan lainnya;

c). menjunjung tinggi asas legalitas.

B. Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM)

Purwodarminto menyebutkan bahwa hak adalah sesuatu yang benar dan berhubungan dengan milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena ditentukan oleh undang-undang, kekuasaan yang benar atas sesuatu untuk menuntut sesuatu.[5] Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap umat manusia yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, serta menjamin harkat dan martabat sesuai kodratnya.[6]6 Oleh karena itu hak tersebut merupakan sesuatu yang harus diperoleh yang tentunya juga disertai dengan pelaksanaan suatu kewajiban.

Antara hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya, dalam artian ketika seseorang menuntut haknya maka juga harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya sehingga terjadi suatu keseimbangan dalam menjalankan suatu kehidupan yang harmonis.

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal, sehingga harus dihormati dan dilindungi dalam suatu peraturan perundangan. Di samping HAM, diperlukan adanya Kewajiban Dasar Manusia (selanjutnya disingkat KDM)[7] sebagai penyeimbang dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Eksistensi HAM tidak terlepas dari pengakuan terhadap adanya Hukum Alam yang menjadi cikal bakal kelahirannya. Marcus G Singer menyebutkan bahwa Hukum Alam merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem keadilan dan berlaku untuk seluruh umat manusia.[8] Hukum Alam merupakan produk rasio manusia demi terciptanya suatu keadilan abadi. Salah satu muatan Hukum Alam adalah hak-hak pemberian dari alam, karena dalam Hukum Alam tersebut ada sistem keadilan yang berlaku secara universal.[9]

Dengan demikian, masalah keadilan yang merupakan inti dari Hukum Alam menjadi pendorong bagi upaya penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan secara universal.

Istilah HAM untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Eleanor Roosevelt selaku ketua Komisi HAM PBB, ketika merumuskan UDHR.[10] Menurut Jean Pictet, dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara umum yaitu :[11]

1. Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap

individu mempunyai hak untuk dihormati jiwanya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-atribut yang tidak dapat dipisahkan dari personalitasnya;

2. Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, suku, agama, bangsa, status social, dan lain sebagainya;

3. Principle of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya;

4. Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kebebasan individual;

5. Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan.

Tujuan utama pengaturan HAM adalah untuk mempertahankan umat manusia, baik secara perorangan maupun kolektif dari kehilangan kehidupan, kebebasannya dan dari perlakuan kejam tanpa batas rasa kemanusiaan serta penindasan dari suatu negaranya.[12] Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi menjaga integritas keberadaannya yang tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun, meliputi hak untuk hidup, hak untuk melangsungkan keturunan, hak pengembangan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak keamanan dan hak kesejahteraan.[13] John Materson dari Komisi HAM PBB, menyatakan HAM adalah sebagai hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpanya manusia manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[14]Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa HAM bukanlah suatu konsep yang seratus persen netral, dimana banyak sekali terjadi titik singgung dengan hal-hal yang universal.[15]

Derajat manusia yang luhur itu (human dignity) berasal dari Tuhan yang menciptakannya74 oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya tanpa dasar atau alasan yuridis yang kuat dan sah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu sebagai manusia dalam dirinya sejak lahir telah melekat HAM yang tak dapat dihilangkan begitu saja tanpa dasar alasan hukum yang sah.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat kemanusiaannya. Pengertian HAM dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM tersebut juga sama[16] dengan pengertian HAM dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian HAM di Indonesia telah ditetapkan sebagai pengertian yang baku atau standar yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan

perundangan yang berlaku.

Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap Kewajiban Asasi Manusia (KAM) dan Tanggung Jawab Asasi Manusia (TAM) dalam suatu kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian bilamana ketiga unsur asasi yang terdiri dari HAM, KAM dan TAM tersebut tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan. Dengan demikian maka secara umum dapat dikemukakan bahwa hakikat HAM adalah :[17]

a. HAM berasal atau bersumbar dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan atau dimiliki seluruh umat manusia tanpa membedakan berdasarkan strata sosial apa pun juga. HAM merupakan suatu hak yang secara kodrati melekat pada setiap individu sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa pada umat manusia yang berlaku secara universal;

b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa. Pengimplementasian HAM berkembang seirama dengan perkembangan pikir, budaya, cita-cita manusia dan iptek.

c. HAM tidak dapat dilanggar, dalam artian tidak seorangpun termasuk Negara mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak asasi orang lain. Keberadaan HAM tetap melekat pada setiap orang sepanjang hidupnya tanpa dapat diambil atau dicabut, kecuali ada pelanggaran atas aturan hukum yang berlaku lewat keputusan peradilan yang senantiasa menjunjung tinggi terhadap

perlindungan HAM.

d. Keberadaan negara, antara lain untuk menghormati dan mempertahankan HAM sesuai dengan kesepakatan bersama demi pengembangan martabat kemanusiaan. Kesadaran memiliki dan melaksanakan hak asasi harus dikaitkan pula dengan kewajiban asasi dan tanggungjawab asasi.

Di era globalisasi ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan HAM telah menjadi top issue di berbagai forum internasional, baik yang diselenggarakan oleh negara-negara maju maupun oleh negara yang sedang berkembang.[18] Secara umum perlindungan hukum terhadap pelanggaran HAM yang terjadi dimasa damai biasanya menyangkut kepentingan-kepentingan negara dan para individu

yang telah diatur antara lain dalam UDHR 1948, International Covenant on Civil and Political Rights 1966, maupun International Covenant on Economic Social and Cultural Rights 1966. Ditinjau dari sudut perkembangannya, HAM yang berlaku pada masa damai sebenarnya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu HAM generasi I, HAM generasi II, dan HAM generasi III. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pelanggaran HAM di masa sengketa bersenjata cenderung bersumber pada Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Den Haag 1907, Protokol Tambahan I[19] dan II[20] Tahun 1977, serta beberapa instrument internasional lainnya yang berkaitan dengan HAM.

C. Pelanggaran HAM

Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Pelanggaran HAM adalah : “Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan

hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”

Berdasarkan pengertian pelanggaran HAM dalam Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut, maka untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM bila :

a. adanya unsur perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok termasuk aparat negara;

b. perbuatan tersebut dilakukan baik dengan cara disengaja maupun tidak disengaja ataupun karena kelalaian yang secara melawan hukum;

c. perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39 tahun 2000 tentang HAM;

d. korban pelanggaran HAM, baik perseorangan maupun kelompok orang tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pengertian pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Pasal 104

ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang pada dasarnya menyatakan : “Pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination).[21]

Pengertian pelanggaran HAM berat dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ternyata berbeda dengan pengertian dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 1 butir 2 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Selanjutnya pada Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 juga telah menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam penjelasan Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 juga telah dijelaskan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 maupun ketentuan Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 beserta penjelasannya, tidak memberikan suatu pengertian dari pelanggaran HAM berat yang didalamnya memuat unsur-unsur tindak pidana. Penjelasan Pasal 104 ayat (1) hanya menyebutkan secara limitatif jenis-jenis perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu terdiri dari pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 7 UU

No. 26 tahun 2000 beserta penjelasannya, juga tidak memberikan suatu pengertian yang jelas dengan apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat, kecuali hanya penyebutan kualifikasi perbuatan yang digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang tidak lain adalah sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court.

Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act ofcommision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil[22] pelanggaran HAM berat merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana lain yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya.

D. Ruang Lingkup Pelanggaran HAM Berat

Ruang lingkup pelanggaran HAM berat mencakup pula pelanggaran terhadap ketentuan HHI. Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan tidak hanya terjadi dalam masa sengketa bersenjata saja akan tetapi dapat pula terjadi di masa damai. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada yang hendak menyepadankan[23] istilah pelanggaran HAM berat dengan istilah

pelanggaran berat HHI. Pelanggaran berat terhadap HHI tersebut antara lain bersumber pada Konvensi Jenewa[24], Protokol Tambahan maupun Konvensi Den Haag.[25]Dalam Konvensi Jenewa, hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 sebagai suatu ketentuanbersamaan pengaturannya (Common Articles) yang berupa :

a. Pembunuhan disengaja; penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; menyebabkan dengan sengaja penderitaan berlebihan atas badan/kesehatan (Konvensi Jenewa I, II, III, dan IV).

b. Pengrusakan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dilakukan dengan cara sewenang-wenang (Konvensi Jenewa I, II, dan III).

c. Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh; merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar sesuai dengan apa yang ditentukan dalam konvensi tersebut (Konvensi Jenewa III dan IV).

d. Deportasi dan pemidanaan yang tidak sah; penahanan yang tidak sah (Konvensi Jenewa IV).

Pelanggaran berat terhadap HHI dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 yang mengatur mengenai “Konflik Bersenjata Internasional” antara lain meliputi perbuatan sebagai berikut :

a. Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas, baik fisik maupun mental;

b. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau atas kesehatan berupa : serangan terhadap masyarakat sipil; serangan membabi buta yang merugikan masyarakat atau objek sipil; serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya; penyalahgunaan tanda perlindungan; dan lain sebagainya;

c. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut : pemindahan sebagian masyarakat sipil oleh pihak yang menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki; keterlambatan dalam repatriasi tawanan perang atau orang sipil; tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan perbedaan ras; serangan terhadap monumen sejarah, benda budaya, dan tempat ibadah; tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan wajar.

Sedangkan dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 yang mengatur mengenai “Konflik Bersenjata Non Internasional” tidak mencantumkan kriterian pelanggaran HAM berat. Namun demikian dalam ketentuan Pasal 85 ayat (2) nyan telah menegaskan bahwa pelanggaran terhadap jaminan-jaminan dasarmkemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Protokol Tambahan II Tahun 1977 maupun dalam Pasal 75 Protokol Tambahan I tahun 1977 dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu :

a. Orang yang ditangkap dan ditahan harus diberitahukan mengenai alas an penangkapan dan penahanan. Setelah alasan tersebut tidak ada lagi, maka orang yang bersangkutan harus segera dibebaskan;

b. Hukuman hanya dapat dijatuhkan dan dilaksanakan apabila diputuskan terlebih dahulu oleh pengadilan yang sah dan dapat memberikan jaminan mengenai kebebasannya;

c. Dalam proses pengadilan, antara lain jaminan berikut ini mutlak untuk dihormati :

1). tersangka harus diberitahu mengenai tuduhannya dalam bahasa yang dipahaminya, agar ia dapat mempersiapkan pembelaannya;

2). tanggung jawab pidana hanya dapat ditetapkan perorangan;

3). pelanggaran hanya dapat ditentukan dan hukuman hanya dapat dijatuhkan berdasarkan hukum pidana yang berlaku pada waktu pelanggaran tersebut dilakukan;

4). setiap tersangka dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti.

Dalam Statuta ICTY 1993, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, antara lain grave breaches of the Geneva Conventions of 1949 yang terdiri dari : pembunuhan dengan sengaja; penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi; dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau luka serius pada tubuh atau kesehatan; perusakan ekstensif terhadap kepemilikan, tidak disahkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan melanggar hukum; memaksa tahanan perang atau orang-orang sipil untuk melayani pasukan tempur musuh; dengan sengaja merampas hak dari tahanan perang atau hak orang sipil untuk diadili

secara adil; deportasi penduduk sipil yang melanggar hukum; memanfaatkan penduduk sipil sebagai jaminan atau sandera; serta crimes against humanity yang terdiri dari : murder; extermination; enslavement; deportation; imprisonment; torture; rape; persecutions on political, racial and religius grounds; other inhuman acts. Sedangkan jenis pelanggaran HAM berat dalam Statuta ICTR antara lain crimes against humanity yang terdiri dari : murder; extermination; enslavement; deportation; imprisonment; torture; rape; persecutions on political, racial and religious grounds; other inhuman acts; serta violation of article 3 common to the Geneva Conventions and Additional of Protocol II. Pelanggaran HAM berat dalam Statuta Roma 1998[26]90 terdiri dari : kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, serta kejahatan agresi. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil adopsi Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa pelanggran HAM berat 91 meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Dengan demikian UU No. 26 tahun 2000 memiliki kesamaan dengan Statuta ICTR 1994 yang hanya mengklasifikasikan genocide dan crimes against humanity sebagai pelanggaran HAM berat. (Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara UNTAN Pontianak, Kal-Bar)

daftar kutipan:


[1] S. Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan Dalam Teori Dan Praktek, CV. Abardin, Bandung, 1987, halaman 10. Lihat pula dalam Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1990, halaman 68, serta Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, BP Undip, Semarang, 1994, halaman 20.

[2] Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Oxford University Press, 1990, Halaman 78.

[3] Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, halaman 106.

[4] Myres S. Mc Dongal, W. Michael Reisman, International Law In Contemporary Perspective, Mineola, New York, The Foundation Press, Inc, 1981, halaman 318. Lihat pula dalam Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2005, halaman 62.

[5] Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1995, halaman 98

[6] James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, halaman 24.

[7] Kewajiban Dasar Manusia (KDM) menurut Pasal 1 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana

dan tegaknya HAM

[8] Peter Davier, Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, halaman 21.

[9] A. Masyhur Effendi, Dimensi Dan Dinamika HAM Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, halaman 38.

[10] Kartini Sekartadji, Perkembangan HAM dalam Perspektif Global, Semarang, BP Undip, 1999,

halaman 1.

[11] Jean Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, 1966, halaman 10

[12] Sadruddin Aga Khan, Komisi Independen Internasional mengenai Masalah-Masalah Kemanusiaan, Leppenas, Jakarta, 1983, halaman 13-17

[13] Sri Soemantri Martosoewignjo, Refleksi HAM di Indonesia, Makalah Penataran Hukum Humaniter dan Hukum HAM, UGM-ICRC, Yogyakarta, 1998, halaman 12

[14] Budi Santoso, Wawasan HAM dalam Negara Hukum, Makalah Seminar HAM, FH UNS, Surakarta, 2001, halaman 3

[15] Satjpto Rahardjo, Pembahasan Sosiologis Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar Nasional HAM diselenggarakan Fakultas Hukum UNDIP, 1993, halaman 5.

[16] Lihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan ketentuan Pasal I ayat (1) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Lihat juga persepsi Gunawan Setiardja, dalam Hak Asasi Manusia berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta, Kanisius, 1993, halaman 37.

[17] Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Insist Press, Yogyakarta, 2003, halaman 32.

[18] Yasin Tasrif, Perlindungan HAM di Masa Damai dan di Masa Sengketa Bersenjata, Pidato Ilmiah, Dies Natalis FH Undip, Semarang, 1997, halaman 3

[19] Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang dalam sengketa bersenjata yang bersifat internasional.

[20] Protokol Tambahan II tahun 1977 mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang dalam sengketa bersenjata yang bersifat non internasional.

[21] Pengertian secara sistematis berarti benar-benar terorganisir atau terencana dan mengikuti suatu pola regular yang berdasarkan suatu kebijakan pejabat publik atau perorangan, dan kebijakan tersebut tidak diharuskan merupakan bagian dari kebijakan negara. Pengertian tersebut dikemukakan Paul Dalton dalam makalah yang berjudul “Konsep Serangan Yang Meluas atau Sistematis Terhadap Penduduk Sipil”, dalam seminar Advanced training for Indonesian Human

Rights Courts : Judging International Criminal Under Law 26 /2000” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI-Danish Institute for Human Rights, Medan tanggal 24-26 April 2005, halaman 4.

[22] Jerry Fowler, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, ELSAM, Jakarta , 2001, halaman VIII.

[23] Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 November 2004, halaman 1.

[24] Konvensi Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang, baik itu Konvensi Jenewa tahun 1929 yang telah diperbaharui dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Konvensi ini juga telah dilengkapi dengan Protokol tambahan I dan II tahun 1977. Uraian selengkapnya silakan baca buku Mochtar Kusumaatmadja yang berjudul Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Binacipta, Bandung, 1985

[25] Konvensi Den Haag ini berfungsi sebagai “conduct of war” yang antara lain meliputi pengaturan mengenai cara, metode dan sarana berperang, objek dan sasaran penyerangan dan lain sebagainya. Uraian selengkapnya dapat dibaca dalam buku GPH. Haryomataram yang berjudul Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984.

[26] Lihat dalam ketentuan Pasal 7 UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

»»  Baca Selengkapnya...