Jumat, 22 Juli 2011

Sultan Hamid II dan Gagasan Politiknya

Sultan Hamid II dan Gagasan Politiknya

direferensi Oleh Qitri Center: Turiman FN, SH.MHum
dari Tulisan Prof Dr Syarif Al Kadrie

Sultan Hamid II
"Federalis bukanlah berarti tidak Nasionalis... Federalis bukan penghianat bangsa..." (Sultan Hamid II)
Pola politik nasional khususnya regional yang bersinggungan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi mengenai persepsi hubungan antara pewaris terakhir tahta Kesultanan Qadriah in dengan Pemerintah R.I. awal Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan dengan Pemerintah Belanda. Karena keprihatinannya terhadap kondisi Kalbar Syarif Hamid Al-Qadrie  kembali ke Pontianak, dan ponakannya, Syarif Thaha Al-Qadrie, menyerahkan kekuasaan kepadanya untuk menjadi Sultan Pontianak VIII dengan sebutan Sultan Hamid II. Ia berketetapan hati melanjutkan obsesi leluhurnya untuk membangun Kalbar umumnya dan Pontianak khususnya. Namun, bahwa kehadirannya sebagai pewaris tahta Kesultanan Qadriah dan sekaligus kepala Swapraja Daerah Kalbar, seperti disinyalir oleh beberapa kalangan di Jawa (Iskandar, 1991:65); Rahman, 2000: 173-175), dianggap didukung oleh Van Mook yang “memanfaatkannya” untuk memecah belah Indonesia,  lalu “berkomplot” dengan Belanda untuk “menghancurkan” Republik Indonesia,  adalah kurang tepat dan pemutarbalikan fakta sejarah.

Obsesinya yang sebenarnya, menurut Persaja (1955:163-164), adalah bahwa kedatangan dan dilantiknya Hamid Muhammad Al-Qadrie sebagai sultan Pontianak merupakan kehendak rakyat, dan setelah langsung berhubungan dengan rakyat, ia, sebagai kepala swapraja, menjadi lebih memahami bahwa cita-cita kemerdekaan telah meresap di hati sanubari rakyatnya. “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa (dan menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya rakyat di daerah ini = tambahan penulis),” lanjut Prasaja (1955:164), “ia memiliki pemikiran politik tentang daerah ini sebagai Daerah Istimewa dari satu bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan, dan pemikiran seperti ini timbul ketika ia menyadari bahwa ‘bentuk federalisme’ yang sebelumnya dianggapnya paling baik bagi negeri ini, ternyata tidak tepat dan masih ada alternatif lain yaitu otonomi khusus.

Pemikiran politik Sultan Hamid II  bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui pemerintahan daerah sendiri yang otonom nyata, kuat dan sepenuhnya, bukan “kepala dilepas ekor dipegang.” Jauh sebelumnya, federalisme memang merupakan wacana pemikiran politik yang pernah diperjuangkannya. Ide politik  seperti ini bertujuan menciptakan sistem yang lebih mengandung keadilan dan lebih mampu memakmurkan rakyatnya, bukan mengobrak-abrik SDA dan meninggalkan daerah menderita! Bangsa ini akan menjadi bangsa besar dan bermartabat, jika dimulai dengan obsesi dan gagasan besar bagi rakyat. Sekarang, ide besarnya itu baru dapat difahami bahwa keterpurukan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari Pusat dan dari Jawa, dan kekecewaan daerah, seperti Aceh, Papua, Riau dan sebagainya, antara lain disebabkan justru bangsa ini terlalu “takut” dengan sistem pemerintahan  yang mampu menekan keserakahan dan memanusiakan rakyatnya. Padahal, berbagai sistem dan segala peraturan yang mengikat tidak lain merupakan social construction, bukansocial facts (Najib Azca, 1998), yang keberadaan dan keberlakuannya lebih lanjut ditentukan apakah mereka memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi banyak fihak – daerah-daerah dan sebagian terbesar rakyat di situ – bukan hanya satu daerah atau beberapa kelompok orang.

Kesenjangan pemikiran dan Wawasan

Kekeliruan Sultan Hamid II boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide politiknya, walaupun masih dalam wacana, ternyata baru bisa digulirkan -- itupun masih belum aman -- di negeri Pancasilais ini, setelah era reformasi, tahun 1998 (setelah 52 tahun). Wacana ini digulirkannya ketika bangsa Indonesia baru saja selesai  diperbudak bangsa lain selama lebih kurang 350 tahun, dan bahkan setelah “hantu-hantu” penjajahan seperti Van Mook, Van der Zwaal, bergentayangan menciptakan negara-negara bagian, dan pengkhianat-pengkhianat Indonesia, termasuk di Kalbar, begitu tega mengorbankan saudara mereka demi sedikit uang dan materi. Bisa dibayangkan apa yang akan diterima Sultan Hamid II dengan gagasan besar seperti itu.

Kekeliruan lainnya mungkin terletak bahwa Sultan Hamid II dianggap memperoleh kekuasaannya karena dukungan Belanda;  ia aktif berjuang bekerjasama dengan negara-negara bagian lainnya di Indonesia; dan sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalbar, Republik Indonesia (RI) atas nama Sukarno - Hatta, maupun Badan Penyelesaian Pertentangan Politik Antara Belanda, negara Bagian dan R.I. (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO) yang Hamid Al-Qadrie sendiri adalah ketuanya, sehingga ia sering dicurigai sebagai penghianat; dan kekurang pengertian dan wawasan sebagian tokoh masyarakat Kalbar terhadap tujuan gagasan politiknya, sehingga sebagian mereka menolak dan menentangnya. Padahal ide politiknya tidak lain adalah prediksinya tentang bahaya sentralisme yang mengandung unsur ketidakadilan, keserakahan dan marginalisasi Pusat terhadap daerah. Hal terakhir ini merupakan kekecewaan pertamanya terhadap Pusat dan daerahnya sendiri.

Sebenarnya Pemerintah Pusat seharusnya bisa melihat peranan Sultan Hamid II dengan BFOnya saat itu. Beberapa kali Sukarno - Hatta mengadakan perundingan dan pendekatan dengan Badan BFO, pertama di Bangka 28 Mei 1948, kemudian di Yogyakarta 19 Juli, dan dilanjutkan di Jakarta, 23 Juli 1948 (Rahman, 2000:175-178), untuk bersepakat sebelum RI, negara-negara bagian dan BFO -- dimana Sultan Hamid II menjadi ketua delegasi -- menghadapi Konferensi Meja Bundar di Belanda. Bahkan Presiden Sukarno dan Wakilnya Hatta memanfaatkan BFOdan merangkul Sultan Hamid II ke meja perundingan bersama-sama Belanda. Ini adalah strategi Sukarno - Hatta untuk menyatukan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada ahirnya, tahun 1950 negara-negara bagian, termasuk Kalbar, membubarkan diri, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peranan Sultan Hamid II dan BFOnya cukup besar, karena dalam menyelesaikan perselisihan politik antara R.I., Belanda dan negara-negara bagian, ia berpengaruh terhadap sejumlah pemimpin Belanda dan kepala negara-negara bagian dan cenderung berada di fihak R.I.

Peranan Sultan Hamid II dan Kekecewaannya

Tidak lama menjadi Sultan, pangkat Sultan Hamid dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, ia juga mendapat jabatan kehormatan sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij H.M. Koningen der Nederlander). Ini merupakan pangkat dan jabatan tertinggi yang diperoleh seorang putera Indonesia dalam usia 33 tahun dalam Pemerintahan Belanda. Namun, peranannya sebagai ketua BFO, juru runding yang berfihak pada R.I., reputasi dalam ketentaraan serta keberhasilannya dalam mengamankan Kalbar, tidak menjadi pertimbangan pemerintah R.I. saat itu untuk memberinya jabatan sesuai dengan kemampuannya. Sultan Hamid II hanya diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio (bukan Menteri Departemen), walaupun ia menjadi anggota penyusun Kabinet bersama Muhammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX dan Anak Agung Gede Agung. Inilah kekecewaannya yang kedua. Ia mengakui, menurut Persaja (1955:179), sebagai Menteri Negara, ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana lambang negara (Garuda Pancasila), tidak ada tugas lain sampai ia ditangkap. Bahkan setelah Lambang Garuda Pancasila selesai dibuat dan menjadi lambang negara resmi yang diagungkan oleh rakyat Indonesia, namanya sebagai penciptanya, malah sebagai perencanapun, tidak pernah disebut-sebut. Ironisnya, menurut Turiman (2000) berdasarkan hasil penelitian tesis Magisternya, ia menemukan  banyak bukti tertulis tentang siapa pencipta dan perancang Lambang Garuda Pancasila itu. Syarif Hamid Muhammad A1-Qadrie, bukan Muhammad Yamin,  telah melakukan semua  pekerjaan mulai dari merancang, membuat dan menyelesaikannya  hingga Lambang Garuda Pancasila itu menjadi seperti sekarang ini!

 Kekecewaan Sultan Hamid II lainnya adalah: (1)  Realisasi bentuk negara RIS tidak seperti diharapkan oleh BFO dalam mana anggota organisasi ini tidak menduduki posisi penting dalam Kabinet RIS; (2) Ia sendiri, yang memiliki andil besar dalam mempersatukan unsur negara-negara  bagian yang bertikai, tidak berhasil menduduki jabatan Menteri Pertahanan, padahal kualitas, reputasi dan karir kemiliterannya terpenuhi. Ada keberatan dari fihak R.I., namun, ia dapat memahami dan menerima keberatan itu; (3) Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI dalam Angkatan Perang Repulik Indonesia Serikat (APRIS). Komposisi APRIS berdasarkan hasil konferensi Antar Indonesia dan KMB,  terdiri dari TNI sebagai inti kekuatan ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, KM,VB, dan sebagainya. Untuk itu Sultan Hamid II telah mempersiapkan satu kompi unsur  KNIL dari daerah luar Jawa dan satu kompi anggota kelompok etnis Dayak dari Kalbar yang telah dilatih untuk memperkuat TNI yang akan dikirim ke Kalbar (Rahman, 2000:179). Mengapa unsur Dayak?  (a) anggota kelompok etnis berasal dari daerah Kalbar dan mereka lebih mengenal daerah mereka sendiri; (b) Dayak dan Melayu memiliki hubungan historis dan psikologis, karena Dayak adalah saudara ibu dilambangkan sebagai “hutan terletak di belakang,” sedangkan Melayu adalah saudara ayah dilambangkan sebagai “laut terletak di depan.” (4) Ia juga kecewa menghadapi unjukrasa sebagian pemuka masyarakat dan pemuda  yang menuntut pembubaran Daerah Istimewa Kalbar, penunjukan dr. Sudarso sebagai Kepala Daerah Kalbar, karena Sultan Hamid II dianggap telah meletakkan jabatan sebagai kepala daerah.

Itulah faktor peyebab mengapa Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai kepala daerah sekaligus sebagai Sultan Pontianak, disamping ia dihukum penjara 10 tahun. Ia harus membayar mahal atas ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen, dan atas kesenjangan pemikiran dan wawasan antara dia dengan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri. Setelah 48 tahun menjelang era reformasi mereka baru menyadari faktor utama ketertinggalan, keterpinggirkan dan kemiskinan daerah ini dalam segala bidang yang kesemuanya dari dulu telah diantisipasinya. Kita perlu memiliki Hamid Al-Qadrie – Hamid Al-Qadrie lainnya yang memiliki wawasan luas, gagasan politik besar dan konsistensi dalam membangun dan mengejar ketertinggalan daerah ini.Tanpa itu, daerah ini tetap akan menjadi sapi perahan dan terpuruk.

Penulis: Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie,
adalah Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL),
Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak-Kalimantan Barat.
»»  Baca Selengkapnya...