Selasa, 12 Juli 2011

Kronologis Sejarah Hukum Perancangan Lambang Negara Republik Indonesia


 Kronologis Sejarah Hukum Perancangan Lambang Negara  Republik Indonesia
Oleh;Turiman, SH ,MHum
Berdasarkan penelusuran dokumen dan literatur serta hasil wawancara berikut ini penulis susun kronologis sejarah hukum perancangan lambang negara:[1]
1.      Sebelum Indonesia merdeka tepatnya tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu Panitia (Parada Harahap) mengusulkan tentang lambang negara. Usulan tersebut disetujui oleh semua anggota, dan sepakat akan dibahas tersendiri kemudian dalam bentuk Undang-Undang Istimewa yang mengatur tentang lambang negara.
»»  Baca Selengkapnya...

MEMAKNAI PENEGAKAN HUKUM SECARA SPIRITUAL


MEMAKNAI PENEGAKAN  HUKUM SECARA SPIRITUAL
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
                                                   
            Mahasiswa saya sering mengajukan pertanyaan kepada saya dikelas, mengapa kondisi penegakan hukum Indonesia saat ini “carut Marut”, apanya yang salah dari penegakan hukum di Indonesia ? saya sebagai dosen yang sudah delapan belas tahun mengajar ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tata negara saya menjawab dengan sedikit bercanda, teori hukum  di gudang  sudah habis untuk menjelaskan fenomena penegakan hukum di Indonesia yang “carut marut”. Ibarat dalang maka wayang dikotak sudah keluar semua, jadi tidak ada lagi yang akan dimainkan oleh dalang. Jawab canda itu sebenarnya saya akan menggiring mahasiswa saya untuk merenungkan bahwa hukum negara itu dibuat oleh manusia bukan untuk ditegakan dengan tujuan membahagiakan manusia tetapi membuat hukum itu menjadikan ketidaktertiban bagi manusia, jika demikian  bukan lagi hukum, tetapi “kekuasaan” dan ‘kerakusan”, mengapa demikian, karena paradigma untuk penegakan hukum bukan masalah adil atau tidak adil lagi, tetapi sudah bergeser menjadi masalah “menang kalah”, karena didalamnya ada “virus” yang menyertainya.
           Namun ada sebuah renungan dengan melihat diri kita sendiri dengan rumus 213, apa itu dua adalah mata kita, dan 1 adalah otak/pikiran, sedangkan 3 adalah THT dan salah satunya mulut yang didalamnya ada lidah yang digunakan manusia untuk mengeluarkan perkataan yang kemudian disebut dengan pernyataan.
           Kemudian apa makna angka 213 tersebut dalam hubungan dengan hukum, mata bukankah fungsinya untuk melihat, maka lihatlah dahulu peristiwa hukumnya, kemudian pikirkan dengan rasionalitas melalui kecerdasan yang diberikan Tuhan kepada manusia yaitu baik dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) otak kiri manusia, kecerdasan emosional (EQ) otak kanan dan hubungan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) baru kemudian manusia mengeluarkan pernyataan lewat mulutnya dengan lidahnya. Jadi maknanya lihat lebih dulu peristiwa hukumnya, pikirkan hujamkan ke qalbu manusia, baru keluarkan pernyataan tetapi yang terjadi kemungkinan bukan rumus 213 tetapi yang terjadi rumus 212, yaitu rumusnya “wiro sableng” murid sableng dan gurunya gendeng dua-duanya salah, itulah yang sedikit banyak menggambarkan “carut marut” penegakan hukum di Indonesia, antara penegak hukum dengan masyarakat yang dikenakan penegakan hukum dua-duanya salah atau  “jeruk makan jeruk”.Ada sesuatu yang hilang dari konsep penegakan hukum di Indonesia ini.
           Konsep penegakan hukum sebenarnya berbanding lurus dengan “keteladanan” para penegak hukum dan masyarakat yang dikenakan hukum, oleh karena itu patut disadari kita semua, bahwa tidak dapat dipungkiri sesungguhnya hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh dari langit, tetapi ia dibuat oleh manusia, kecuali hukum yang berasal dari Tuhan, ketika hukum itu dibuat oleh manusia dengan kekuatan rasionalitasnya kemudian dirumuskan dalam formula pasal-pasal di dalam suatu peraturan perundang-undangan yang kemudian para penstudi hukum menyebutnya dengan hukum negara atau hukum positif, maka patut disadari bahwa hukum yang dirumuskan oleh para pembuat hukum negara seharusnya tidak terlepas atau tercerabut dari lingkup sosial tertentu, artinya hukum negara tidak hadir dan bergerak diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang bersifat abstrak, melainkan selalu berada dalam sebuah tatanan sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia hidup, tentunya ketika pembuatannya dituntut harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi kenyataannya subtansi materi muatan hukum kita sedang digiring dengan formula-furmula kepentingan dari bangsa lain dan dipaksakan untuk diberlakukan ke bangsa Indonesia, sehingga materi muatannya didalamnya terkandung kepentingan-kepentingan kekuasaan terselubung yang mau tidak kita harus merumuskan, karena negara telah sepakat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat negara dan negara kita harus tunduk, jadi sebenarnya bangsa ini sudah “terjajah” sehingga pranata hukumpun sudah tak terstruktur, puluhan Komisi dibentuk untuk menangani hal-hal yang khusus dan dibiayai khusus tetapi tetap saja multi tafsir dalam penegakannya, sehingga ada mahasiswa saya mengatakan, ini negara komisi atau negara hukum, akhirnya mahasiswa saya yang nantinya bergelar sarjana hukum prustasi yang penting dapat gelar saja masalah tentang keilmuan hukum nanti bagaimana nanti saja dilapangan.
            Idealisme mahasiswa saya mulai meluntur, tetapi saya menguatkan,bahwa hukum itu tak sama dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan, ia hanya sebagian dari hukum yang ditulis oleh manusia, tetapi ada hukum yang tak tertulis dan itu akan diketemukan didalam praktek masyarakat yang disepakati tetapi sulit untuk dihilangkan, yaitu hukum kesepakatan untuk sama-sama melanggar hukum seperti pasal 1338 KUH Perdata menyatakan sepakat para pihak maka berlakulah sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak, hanya masalahnya apa yang disepakati itu apakah hal yang dihalalkan oleh nilai-nilai yang ada dimasyarakat kita, artinya nilai-nilai luhur yang ada dimasyarakat, seperti kejujuran dan kebenaran, apakah nilai-nilai tersebut sudah tercerabut dari akarnya, maka hal itu akan menjadi “virus” bagi penegakan hukum di Indonesia dan jawaban atas pertanyaan ini baru banyak teori bisa menjelaskannya.
             Ketika kita tarik pada tataran negara Indonesia, maka hukum negara itu harus mencerminkan karakteristik Indonesia yang didalam kontitusinya menyatakan secara tegas negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD 1945), walaupun secara konstitusional negara kita menyatakan secara tegas, bahwa negara kita adalah negara hukum (pasal 1 ayat 2 UUD 1945), tetapi konsep negara hukum yang diinginkan oleh para pendiri negara ini bukanlah seperti konsep negara hukum negara di luar Indonesia, mengapa demikian karena konsep negara hukum yang dikehendaki adalah negara hukum yang tidak hanya mengedepankan kepastian hukum saja, artinya begitu diformulasikan kedalam materi muatan peraturan perundang-undangan kemudian selesai persoalannya dengan mengacu kepada rumusan pasal yang dikenakan kepada pelanggar hukum, tetapi rasa keadilan “tercerabut dari akar”nya sehingga hakim atau siapa saja yang memegang otoritas kewenangan dalam menegakkan hukum hanya berfungsi sebagai “mulut undang-undang”.
           Jika demikian pemahaman bangsa ini terhadap penegakan hukum, maka hukum itu tidak lebih dan tidak kurang sama dengan undang-undang, sedang hukum esensi tidak sama dengan undang-undang, konstruksi hukum Tuhan saja terdiri dari dua kaidah pokok, yaitu hukum tertulis yang kemudian oleh manusia disebut ayat-ayat kauliyah dan semua ini bisa dilihat dikitab suci agamanya masing-masing, tetapi ada kaidah pokok kedua, yaitu hukum tidak tertulis dan oleh manusia disebut ayat-ayat kauniyah itulah disebut dengan sunatullah, kedua kaidah pokok tersebut terbedakan tetapi tidak terpisahkan.
         Adanya perubahan sosial yang besar dan fundamental didalam bangsa Indonesia yang diupayakan selalu diikuti dengan penyesuaian pada segi kehidupan hukumnya. Namun, jika hukum sama sekali kurang atau bahkan tidak memberikan tanggapan terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi dan hukum yang dibuat dan ditegakan tercerabut dari akar nilai-nilai keluhuran manusia, maka itu sebagai pertanda bahwa ia tetap mempertahankan dirinya sebagai pranata yang tertutup. Bila ini yang tetap terjadi  maka hukum sulit diharapkan untuk menata kehdupan sosial yang semakin besar dan kompleks, artinya hukum hanya dijadikan alat justifikasi pembenaran terhadap pelanggaran-pelanggaran rasa keadilan masyarakat.
          Rasa keadilan masyarakat itu berada diantara kedua benang merah antara kedua kaidah pokok tersebut, yaitu antara hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis, artinya ketika hakim atau penegak hukum menerapkan hukum yang tertulis sebagai terumuskan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan, maka mereka juga memperhatikan peristiwa hukum yang menyertainya, oleh karena itu setiap putusan hakim ada sebuah pertimbangan hukum yang memberatkan dan ada pertimbangan hukum yang meringankan dan kedua pertimbangan ini dibangun atau direkonstruksi dengan apa yang dinamakan keyakinan hakim.
           Keyakinan hakim dibangun dengan sebuah kejernihan qalbu, karena bagaimanapun hakim itu adalah manusia yang perbuatannya akan dimintakam pertanggungjawaban, karena saya punya keyakinan, bahwa Tuhannya manusia tidaklah lebih dari satu hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu ketika sebuah putusan hakim diatas tertulis frase Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah hanya sekedar frase yang hanya melekat disetiap putusan hakim, tetapi ia melekat dengan suara hati didalam diri hakim tersebut.
          Jadi ketika seorang penegak hukum didalam qalbunya terbelenggu dengan sebuah kepentingan manusia yang isinya sebuah kezaliman terhadap manusia lain dan keberpihakan terhadap sebuah kepentingan sesaat, maka cepat atau lambat keputusan yang diambil itu akan berubah menjadi butiran-butiran virus yang akan mengkristal membentuk sebuah “penyakit” dan pada titik kuliminasi tertentu ia berubah menjadi sebuah “hukuman” bagi dirinya sendiri.
          Atas dasar itu, maka hakekat hukum seharus tidak hanya didekati dari kepastian hukum tetapi juga didekati dari keadilan, bawa hakekat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakukan atau tindakan, artinya ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan ada pihak yang menerima perlakuan. Dalam konteks negara adalah antara pemimpinnya dengan rakyatnya, tetapi bagaimana jika antara kepastian hukum bertabrakan dengan rasa keadilan, maka yang dimenangkan adalah asas kemanfaatan, atau dalam konsep hukum pidana, dikenakan hukum yang meringan bagi terdakwa.
         Jadi ketika para pemimpin negara atau hakim dinegara ini memberikan contoh sebuah kezaliman terhadap penegakan hukum dihadapan publik, maka seharusnya sebuah kesadaran tumbuh dari seluruh anak bangsa itu, dan kesadaran itu harus dimulai dengan diri kita sendiri,  Renungkanlah kita lahir dengan dua mata di depan wajah kita, karena kita tidak boleh selalu melihat ke belakang. Tapi pandanglah semua itu ke depan, pandanglah masa depan kita. Kita dilahirkan dengan dua buah telinga di kanan dan di kiri, supaya kita dapat mendengarkan semuanya dari dua buah sisi. Untuk berupaya mengumpulkan pujian dan kritikan dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
        Kita lahir dengan otak di dalam tengkorak kepala kita. Sehingga tidak peduli semiskin mana pun kita, sesungguhnya kita tetap kaya. Karena tidak akan ada seorangpun yang dapat mencuri otak kita, fikiran kita dan idea kita. Dan apa yang anda fikirkan dalam otak anda jauh lebih berharga daripada emas dan kekayaaan anda miliki saat ini.
       Kita lahir dengan dua mata dan dua telinga, tapi kita hanya diberi satu buah mulut. Karena mulut adalah senjata yang sangat tajam, mulut bisa menyakiti, bisa membunuh, bisa menggoda, dan banyak hal lainnya yang tidak menyenangkan. Sehingga ingatlah bicara sesedikit mungkin tapi lihat dan dengarlah sebanyak-banyaknya.
Kita lahir hanya dengan satu hati jauh di dalam diri kita. Mengingatkan kita pada penghargaan dan pemberian cinta dan kasih sayang diharapkan berasal dari hati kita yang paling dalam. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai dan menyayangi kita, sebelum kita menemukan cinta dan kasih sayang sejati yang bersumber kepada cinta hakiki manusia kepada sang Pencipta jaga raya dan manusia, itulah suara hati manusia, yang terkristal pada kejujuran, tanggung jawab, visioner, kerjasama, disiplin, adil dan peduli.
Dengan demikian, sesungguhnya fungsi Manusia adalah Khalifah (Pemimpin) di muka bumi dan setiap pemimpin dimintakan pertanggungjawaban serta diperintahkan untuk membangun secara sinergis hubungan kepada Allah, sesama manusia dan alam semesta dengan matahatinya, berarti memperbaiki dan berkiprah untuk bermanfaat sesamanya adalah perintah-Nya. Dan tidaklah kuat manusia di dunia ini orang tidak mampu memperbaiki warga negaranya. Dan tidaklah kuat untuk memperbaiki warga negaranya orang yang tidak mampu memperbaiki rumah tangganya. Dan tidaklah kuat memperbaiki  rumah tangganya orang yang tidak mampu memperbaiki dirinya. Dan orang yang tidak kuat memperbaiki dirinya, maka haruslah dimulai dengan membersihkan qalbunya dan mengendalikan hawa nafsunya. Adapun orang yang tidak mampu memperbaiki dirinya, sedangkan keinginan besar untuk memperbaiki orang lain dan masyarakat serta negaranya, adalah menipu diri dan terpedaya, Mengapa kamu menyuruh orang lain membuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri ?
          Tercerabutnya nilai-nilai keadilan dari penegakan hukum kita saat ini, karena early warning dari Tuhan kepada bangsa ini tidak terbaca secara gamblang, mengapa demikian, karena ada belenggu-belenggu negatif yang merasuk kepada manusia-manusia di Indonesia yang diberikan amanah untuk mengendalikan negara ini.
         Kita tidak banyak belajar dari fenomena yang telah diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia, karena ayat-ayat Allah yang tertulis  sering dibaca tetapi tercerabut dari pemahaman didalam qalbunya, sedangkan ayat-ayat itu itu tidak hanya ditujukan kepada segolongan manusia tetapi untuk seluruh umat manusia dimuka bumi, karena Tuhannya manusia hanya satu saja.
        Al Ghazali menyatakan dalam sebuah proposisinya:[1] "Ketahuilah! Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Kuasa sewaktu menjadi manusia, menghormati dan melebihkan dari segala makluk lainnya, diwujudkan-Nya manusia itu saling tolong menolong, berpegangan dan saling memelihara, karena penghidupan mereka tidaklah sempurna kecuali satu sama lain, saling menolong, membantu menguatkan"         
         Teori itu didasari dengan sebuah alasan yang kuat dibangun atas dasar proposisi Ilahiah yang mendasari teori "saling bergantung" : "Dan kamu harus saling membantu atas perbuatan kebajikan dan taqwa dan janganlah bantu membantu (memberikan bantuan) atas perbuatan yang salah dan permusuhan"[2]
         Tuhan menyuruh manusia supaya saling membantu atas kebajikan dan taqwa, karena ada sifat bergantung antara satu dengan yang lain, dan sebaliknya dilarangnya bantu membantu atas kejahatan dan permusuhan, karena keduanya itu merusak semangat saling bergantung itu.
         Semangat saling membantu yang diperintahkan Tuhan di atas menumbuhkan jiwa persatuan untuk berkerjasama dan tanggung jawab bersama atas segala tindakan yang diambil, karena sesungguhnya rakyat sebuah negara itu adalah terdiri dari manusia yang dinamis "Manusia adalah bagaikan gigi-gigi sisir dalam persamaan (dan saling butuh membutuhkan) (Al Hadist) dan manusia diperintah untuk menegakan kebenaran dan keadilan.  "Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat [3] Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[4]
         Esensi dari teori itu adalah kesatuan dalam keragaman dan sekaligus keragaman dalam kesatuan, "Katakanlah ! wahai para pemeluk segala agama yang mempunyai kitab!  Marilah kita tegak bersama-sama mendirikan kalimah yang sama diantara kami dan kamu, ialah (mempertahankan pendirian) bahwa kita tidak menyembah melainkan akan Tuhan Yang Maha Esa dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, tidak pula kita mengambil sebahagian akan sebahagian yang lainnya menjadi orang-orang sembahan yang lain dari Allah. Maka jikalau kamu menolak akan kerjasama itu, maka ucapkanlah (pengakuan) bahwa kamu bersedia menjadi saksi (dihadapan Tuhan) bahwa kami adalah orang-orang Islam yang tulus[5]    
         Berdasarkan itu  Tuhan menciptakan Manusia menjadi satu umat yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tetapi sesungguhnya berasal dari yang satu dan diperintahkan Tuhan untuk saling berhubungan dan saling kenal mengenal  satu sama lain, itulah esensi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan untuk bersama menegakkan keadilan dan kebenaran serta kemaslahatan bersama sebagai sebuah negara kebangsaan yang bernama Indonesia. "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[6] Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal[7], mengapa Tuhan menyuruh manusia untuk melihara hubungan silahturahim dan supaya saling kenal mengenal, karena sesungguh Tuhan telah menciptakan manusia itu berdasarkan fitrah-Nya, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada sistem (dien) Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah sistem (dien) yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [8] mengapa demikian, karena tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya[9] oleh karena itu diperintahkan orang-orang beriman bertaqwa kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan[10]
           Pertanyaannya adalah mengapa sebuah negara atau suatu bangsa mengalami kehancuran atau dekandensi moral, inilah early warning-nya: "Dan Allah telah memberikan suatu perumpamaan(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datangnya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya, karena itu mereka dimusnakan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim[11] atau apabila Allah menghendaki  kebaikan pada suatu bangsa, maka dijadikanlah pemimpin-pemimpin mereka itu orang-orang yang bijaksana, dan dijadikan ulama-ulama(penulis: Ilmuwan /para ahli/ pemuka agama) mereka pemegang hukum dan peradilan, Allah jadikan harta kekayaan (aset-aset bangsa) berada ditangan orang-orang dermawan.
                      Namun, jika Allah menghendaki kehancuran suatu bangsa, maka Dia jadikan pemimpin-pemimpin mereka itu orang-orang yang dungu dan berahlak rendah, orang-orang yang culas dan curang menangani hukum dan peradilan, dan harta kekayaaan berada ditangan-tangan orang yang bakhil/kikir(fasik)[12] Katakanlah, "Dialah yang berkuasa untuk mengirim adzab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada mereka sebagian keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami[13] betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya diwaktu mereka berada di malam hari, atau diwaktu mereka beristirahat ditengah hari[14] oleh karena itu jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami limpahkan  kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi kebanyakan mereka mendustakan (ayat-ayat) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya[15] dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu supaya (menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhjadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya[16]maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasakan aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari diwaktu mereka sedang tidur ? atau apakah penduduk negeri –negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka diwaktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain ? dan apakah mereka belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kami Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi ?[17]
         Berapalah banyaknya kota yang  Kami telah membinasakannya yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, maka apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada[18] maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan  bagi orang-orang yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa[19], negeri-negeri (yang telah Kami binasakan) itu Kami  ceritakan sebagian dan berita-beritanya kepadamu, dan sungguh telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, maka mereka (tidak) juga beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah mendustakannya. Demikianlah Allah mengunci mati orang-orang kafir.[20]
          Sebenarnya Al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi Ilmu. Dan tidak ada yang mengikari ayat-ayat Kami kecuali orang yang zalim[21]ini adalah kitab yang Kami turunkan kepada penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran[22] dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?[23]Al-Qur'an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertqwa[24] Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah pedoman, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini[25] Dan sekiranya Allah tiada menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah, sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (dien/Sistem/hukum)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa[26]
         Padahal salah seorang non muslim yang bernama Prof Dr Lawrence Rosen, seorang guru besar Antropologi dan Ilmu Hukum pada universitas Colombia telah meluruskan kekeliruan persepsi dari rekan-rekan orientalis mereka selama ini tentang  sistem hukum Islam. Dalam bukunya yang best seller berjudul "The Justice Of Islam: Comparative Perspective on Islamic Law and Society (diterbitkan oleh Oxford University Press Tahun 2000 antara lain Profesor Dr .Lawrence Rosen menuliskan: " Satu dari lima penduduk dunia adalah orang yang seyogianya tunduk dan patuh kepada syariat Islam, tetapi  stereotip yang masih menyebar adalah persepsi yang salah tentang syariat Islam itu, yang seolah-olah hanya menonjolkan betapa kaku dan ganasnya hukum Islam itu[27]


        




[1]  Al Gaazali, "Al Ma'rif ul 'aqliyah" halaman 73 dalam Al  Gazali, Konsepsi Negara Bermoral, Bulan Bintang, cetakan pertama, 1973, halamam 25.
[2] Qur'an  Surah Al Maidah (5) ayat 2.
[3] Qur'an Surah Anisa (4) ayat 58
[4] Qur'an  Surah Al Maidah (5) ayat 8
[5] Qur'an Surah Al Imran (3) ayat 64
[6] Qur'an Surah An Nissa (4) ayat 1
[7] Qur'an Surah Al Hujuraat (49) ayat 13
[8] Qur'an Surah Ar Rum (30) ayat 30
[9] Qur'an Surah Al Israa (17) ayat 84
[10] Qur'an Surah Al Maaidah (5) ayat 35
[11] Qura'an Surah An Nahl (16) ayat 112-113
[12] Hadist Rasulullah Muhammad SAW riwayat HR Ad Dailami  dalam   Willayuddin A.R. Dani, Bahaya Indonesia menuju keruntuhan, Abu Hanifah Publising, 2007, halaman 247
[13] Qur'an Surah Al Anam (6) ayat 65
[14] Qur'an Surah Al Araaf (7) ayat 4
[15] Qur'an Surah Al Araaf (7) ayat 96
[16] Qur'an Surah Al Israa(17) ayat 16
[17] Qur'an Surah Al Araaf (7) ayat 97-98
[18] Qur'an Surah Al Hajj (22) ayat 45-46
[19] Qur'an  Surah Al Baqarah (2) ayat 66
[20] Qur'an Surah Al Araaf (7)  ayat 101
[21] Qur'an Surah Al Ankabuut (29) ayat 49
[22] Qur'an Surah Shaad (38) ayat 29
[23] Qur'an Surah Al Qamar (54) ayat 17,22, 32,40
[24] Qur'an Surah Al Imran (3) ayat 138
[25] Qur'an Surah Al Jaatsiyah (45) ayat 20
[26] Qur'an Surah Al Hajj (20) ayat 40
[27] Ahmad Ali seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin) "Gara-Gara "Syariat" Belanda: Terkorup di Dunia, tapi "Tak ada Koruptornya," Majalah Suara Hidayatullah, Edisi Khusus 01/XV.Mei 2002/Shafar Rabiul Awal 1423, H, dalam dalam   Willayuddin A.R. Dani, Bahaya Indonesia
menuju keruntuhan, Abu Hanifah Publising, 2007, halaman 249
»»  Baca Selengkapnya...