Kamis, 15 Desember 2016

MEMAHAMI KONSTRUKSI HUKUM TENTANG MAKAR & SEJARAH HUKUM MENGENAI KEAMANAN NEGARA

MEMAHAMI KONSTRUKSI HUKUM TENTANG MAKAR & SEJARAH HUKUM MENGENAI KEAMANAN NEGARA

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.Pengertian Makar
Sebuah pertanyaan mendasar apa sebenarnya makar? Secara konstruksi hukum makar secara hukum ternyata terdiri dari beberapa macam bentuk tindak pidana seperti tindak pidana makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa Presiden atau wakil Presiden, tindak pidana makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara, dan tindak pidana makar dengan maksud merobohkan/menggulingkan pemerintah.
           Untuk memahami secara konsepsional perlu ditelusuri definisi makar, dalam khasanah Islam makar ialah suatu tipudaya yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu untuk menghancurkan kebenaran. Tipu daya ini bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu-isu, fitnah, dan dengan melakukan kekacauan. Ada juga yang mengartikan dengan memalingkan orang lain dari apa yang dikehendakinya dengan tipuan akal busuk. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makar mempunyai arti tipu muslihat, akal busuk, perbuatan (usaha) untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Atau dengan kata lain makar juga bisa dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah Kepala Negara.
          Menurut Quraish Shihab makar berarti mengalihkan pihak lain dari apa yang dia kehendaki dengan cara tersembunyi/tipu daya. Secara Umum Pengertian Makar adalah suatu rencana tersembunyi yang teguh untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pembuat makar kepada sasarannya dengan cara yang tidak disangka - sangka.
          Bagaimana dalam khasanah hukum pidana, pengertian tindak pidana makar adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah keamanan negara. Mengapa seseorang melakukan tindak pidana makar banyak faktor yang mempengaruhi, tetapi umumnya adalah rasa ketidak puasan terhadap pemerintahan/kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut pada umumnya dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama, meskipun tidak tertutup, kemungkinan juga dilakukan oleh satu atau dua orang saja.
          Mengacu pada pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa makar adalah:
  1. Melakukan tipu daya secara sembunyi-sembunyi
  2. Memalingkan orang lain lain dari tujuannya dengan suatu bentuk tipu daya
  3. Menimpakan hal yang dibenci kepada orang lain dengan sembunyi-sembunyi
  4. Rencana yang tersembunyi untuk menyampaikan orang yang ditipunya kepada sesuatu yang tidak disangka-sangka.

          Jika memetakan pasal tentang tidak pidana makar dalam KUHP ada dua pasal yang memberikan konsep tentang perbuatan makar, yaitu :
Pasal 107 KUHP
  1. Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  2. Para Pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 104 KUHP

Makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat menjalankan pemerintahan sebagai mana mestinya (tot regeren ongeschiktmaken). Hukumannya adalah hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun, hukuman mana oleh Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 dinaikkan menjadi hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun.
Berdasarkan  rumusan Pasal 104 KUHP terdapat tiga macam tindak pidana, antara lain : 
1.    Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden;
2.    Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden;
3.    Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan.
        Kembali mengacu pada kamus besar Bahasa Indonesia, kudeta adalah kata kerja yang berarti perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Sementara dalam Wikipedia dijelaskan bahwa kudeta adalah sebuah tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara illegal dan sering kali bersifat brutal, inkonstitusional berupa "penggambilalihan kekuasaan", "penggulingan kekuasaan" sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan. Pada dasarnya kudeta adalah sebuah perbuatan pidana namun perbuatan pidana akan lenyap apabila kudeta sukses karena adanya legitimasi politik dari rakyat dan militer.
    Pada sisi lain, dalam hukum pidana istilah yang dikenal adalah makar. Tindak pidana makar masuk ke dalam rumpun kejahatan terhadap keamanan Negara. Secara teoritis, makar yang dikenal oleh umum adalah makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, terhadap wilayah Negara, dan terhadap pemerintahan. Ketiga perbuatan ini diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
    Bentuk tindak pidana yang tepat dalam konteks kudeta adalah makar untuk menggulingkan pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHP yang berbunyi : “(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
     Makar dalam rumusan delik ini adalah penggantian pemerintahan dengan cara yang tidak sah yang tidak berdasarkan saluran yang ditetapkan dalam Undang-undang. Oleh Karena itu, tindak pidana makar baru dapat dikenakan apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 87 KUHP. Pasal 87 KUHPmenegaskan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi apabila telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari si pembuat makar.
     Jika merujuk pada berita-berita media beberapa waktu lalu, tindakan orang yang “dianggap makar” barulah sebatas rencana untuk mengadakan demonstrasi-demonstrasi. Untuk itu, rumusan dan syarat delik ini tidak dapat terpenuhi.
     Makar atau bughat adalah bentuk kejahatan atau tindak pidana yang ditujukan terhadap kekuasaan negara dan digolongkan sebagai kejahatan politik, serta menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam percobaan dan permufakatan untuk melakukan kejahatan makar tetap dapat dipidana.
     Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam hukum pidana positif seseorang yang tidak memenuhi program pemerintah tidak dianggap makar. Sementara itu, menurut hukum pidana Islam, yang disebut makar ialah umat muslim yang hendak mencopot pemimpin negara dan yang tidak melaksanakan kewajiban yang berhubungan dengan hak Tuhan atau manusia, seperti membayar zakat, atau tidak mau menyatakan kesetiaan dan tunduk kepada penguasa tertinggi. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila sebelumnya sudah ada nash atau ketentuan yang melarang perbuatan tersebut dan diancam dengan hukuman.
     Dengan kata lain, tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya suatu nash yang melarang perbuatan tersebut.[1]  Ketentuan ini dalam hukum positif disebut dengan Asas Legalitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Sedangkan untuk hakim, agar dapat menyelesaikan perkara yang sedang diperiksanya, maka wajib baginya untuk mengetahui hakikat dakwaan dan mengetahui hukum tentang kasus tersebut. Pengetahuan hakim tentang hakikat dakwaan itu ada kalanya ia menyaksikan sendiri peristiwanya, atau menerima keterangan dari pihak lain. Dan jika tidak demikian, maka tidak disebut sebagai pengetahuan hakim melainkan dapat disebut sebagai persangkaan (dhan).[2]
    Penyelenggaraan peradilan pidana didukung oleh berbagai komponen seperti pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Komponen peradilan ini mempunyai otonomisasi dan independensi yang sangat kuat sehingga mekanisme kerjanya terlepas dari komponen lainnya. Namun dengan dikeluarkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menunjukan adanya keterpaduan di antara komponen tersebut. Dengan demikian masing-masing komponen tidak lagi berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari satu kesatuan sistem yang disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana.[3]
    Penanganan kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat, pertama kali yang menangani adalah pihak kepolisian dalam hal ini dilakukan oleh  berdasarkan laporan atau aduan maupun tertangkap tangan.[4]  Setelah penyidik menyelesaikan tugas pemeriksaannya langkah berikutnya adalah menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada kejaksaan guna melakukan penuntutan (vervolging) di pengadilan.[5] Dan selanjutnya pengadilan memeriksa dan mengadili (rechtspraak) dengan menjatuhkan putusan berupa pembebasan dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan dan pemberian hukuman berupa pidana. Bagi terdakwa yang mendapat hukuman, yang bersangkutan kemudian ditempatkan di lembaga pemasyarakatan guna menjalani proses pembinaan lebih lanjut.[6]
    Proses penegakan hukum yang dilakukan di tingkat pengadilan diawali dengan hakim membuka sidang dengan menyatakan “sidang terbuka untuk umum”.70 Dilanjutkan dengan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut.  
    Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.. Tidak semua sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Adapun sidang yang tertutup untuk umum yaitu menyangkut perkara kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak di bawah umur. Namun ketika hakim membacakan putusan terhadap perkara-perkara tersebut harus dinyatakan terbuka untuk umum.[7]
   Terkadang setelah pembacaan surat dakwaan, terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi atau tangkisan. Dan selanjutnya hakim harus menjatuhkan putusan sela. Proses terpenting dari penegakan hukum di pengadilan ini adalah pada tahap pembuktian dan penjatuhan putusan, karena dari jawaban soal inilah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau tidak.

B.Analisis Kasus Makar Dalam Putusan Pengadilan
    Sebagai analisis kasus, kita dapat petakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor: 188/Pid.B/2011/PN.Ung, Majelis Hakim telah membuktikan  berdasarkan fakta-fakta di persidangan dari alat bukti, keterangan para saksi, keterangan ahli dan keterangan Terdakwa, maka unsur-unsur permufakatan jahat dan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan negara telah terpenuhi, yaitu adanya usaha-usaha untuk meniadakan atau merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Islam Indonesia (NII), meskipun Pemerintah Republik Indonesia tidak harus terguling tetapi cukup dengan niat dan permulaan pelaksanaan itu.
   Dan menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (2) KUHP. Bahwa, di dalam Pasal 183 Jo Pasal 184 KUHAP mengatur pembuktian yang Negatif Wettelijk Stelsel[8], artinya hakim di dalam  Teori Sistem Pembuktian ada 4, yaitu: 1. Conviction in time adalah pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata;[9]  memutus suatu perkara berdasarkan alat bukti yang sah dan keyakinannya atas alat bukti tersebut.
    Bahwa, keyakinan hakim terhadap 2 (dua) alat bukti tersebut mengandung 3 (tiga) syarat: 1. Benar bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur delik; 2. Benar bahwa terdakwa adalah pelakunya, baik secara individu, penyertaan maupun pembantuan; 3. Tidak ada alasan yang dapat menghapus pidana terhadap diri terdakwa.
    Adapun mengenai macam-macam alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Majelis Hakim berpendapat bahwa BAP Tersangka yang dibuat Penyidik tertanggal 24 Mei 2011 dan 26 Mei 2011 adalah termasuk dalam pengertian alat bukti surat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf a 2.[10]
    Conviction in raisone adalah pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata, namun putusan hakim tersebut harus berdasarkan lasan yang jelas (reasoning);  Positif wettelijk adalah pembuktian yang hanya menyandarkan pada alat bukti semata; Negatif wettelijk adalah pembuktian berdasarkan alat bukti dan keyakinan atas alat bukti tersebut.
    Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang 79 KUHAP dan menjadi salah satu alat bukti yang sah sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP. Meskipun dihadapan pengadilan Terdakwa mencabut BAP tersebut, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa pencabutan keterangan terdakwa tersebut tidak berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa.
    Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi, ahli dan keterangan Terdakwa maka jelas adanya usaha-usaha untuk meniadakan atau merubah NKRI menjadi NII, meskipun Pemerintah Republik Indonesia tidak harus terguling tetapi cukup dengan adanya niat dan permulaan pelaksanaan itu
     Menimbang, bahwa dengan demikian maka unsur “makar dengan maksud menggulingkan pemerintah” telah terbukti. Sedangkan di dalam hukum islam, para ulama’ fiqh tidak membahas secara terperinci tentang alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian tindak pidana makar atau jarimah bughat, dikarenakan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana secara nyata melakukan gerakan dengan menggunakan kekuatan.
Adapun untuk pembuktiannya diperlukan tatkala melihat berbagai tindakan yang mereka lakukan. Dalam hal ini imam syafi’i berpendapat, bahwa seluruh tindakan yang berkaitan dengan kerugian terhadap nyawa dan harta diperhitungkan sebagai tindak jinayah tersendiri, misalnya jika pelaku makar itu melakukan pembunuhan maka dalam hal didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.;
 Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. (vide: pasal 187 KUHAP). KUHP dan KUHAP, pembuktian yang dibutuhkan adalah alat bukti yang sesuai dengan alat bukti dalam jinayah pembunuhan.
Di dalam hukum islam, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah bughat ketika memenuhi tiga unsur, yaitu :
1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam)
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
3. Adanya niat melawan hukum.[11]Ketiga unsur tersebut merupakan syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah bughat.[12] Sedangkan tindak pidana makar menurut hukum positif diatur dalam Buku II Bab I KUHP tentang kejahatan melanggar keamanan negara, yang pada intinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan disertai dengan kekerasan atau bahkan pembunuhan terhadap presiden. Adapun mengenai permufakatan jahat dalam Pasal 110 ayat 1 KUHP merupakan perbuatan yang dilarang.
     Perbuatan tersebut diatas adalah sesuai dengan Pasal 88 KUHP yakni dikatakan ada permufakatan jahat , apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Jadi mufakat jahat terjadi apabila telah mendapat kata sepakat setelah ada perundingan atau perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan.[13] Dan makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 107 KUHP menjelaskan bahwa makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan (meniadakan atau mengganti bentuk pemerintahan) tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan (bersenjata), namun cukup dengan segala perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sedang pada ayat 2 pasal 107 KUHP menentukan pidana yang lebih berat bagi pimpinan atau orang yang mengatur makar tersebut.
   Adapun mengenai istilah penggulingan pemerintahan dalam KUHP memberikan penafsiran seperti apa yang tercantum pada pasal 88 bis KUHP yang berbunyi “Dengan Menggulingkan Pemerintahan (omwenteling) dimaksudkan meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.[14]
  Berdasarkan penafsiran pasal 88 bis KUHP, maka penggulingan pemerintahan itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Meniadakan bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. 2. Mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. Di dalam proses penelusuran fakta hukum pada putusan ini ada beberapa kejanggalan yang harus penulis uraikan, yaitu:
1.      Bahwa, pencabutan BAP oleh terdakwa di hadapan Majelis Hakim khususnya mengenai NII dengan alasan penyidik telah merekayasa BAP dan kondisi Terdakwa pada waktu diperiksa oleh Penyidik dalam keadaan letih serta mendapatkan tekanan baik secara fisik maupun psikis sehingga terdakwa mengakui terlibat secara langsung dengan NII dan menandatangani BAP tersebut. Menurut penulis, Seharusnya dalam hal ini Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa fakta hukum yang digunakan adalah fakta hukum yang terungkap di persidangan, meskipun BAP juga bisa dijadikan sebagai alat bukti surat namun hakim dalam hal ini terlalu gegabah untuk menyimpulkan bahwa pencabutan BAP Terdakwa di depan pengadilan adalah tidak berdasar dan menjadikannya sebagai petunjuk bahwa terdakwa terlibat langsung dengan organisasi NII. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu seharusnya dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dan harus disesuaikan baik anatara satu dengan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri.
2.      Bahwa, menurut pertimbangan Majelis Hakim bahwa disamping adanya niat atau maksud yang dikehendaki maka ternyata Terdakwa sudah melakukan permulaan pelaksanaan dengan adanya perekrutan anggota NII 83 dan penggalangan dana sebagaimana keterangan saksi Nusa Galendra Maulana dan saksi Denok Setyowati. Dalam hal ini penulis tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tersebut, bahwa menurut keterangan saksi Nusa Galendra Maulana menyatakan bahwa saksi memang pernah ikut NII dan saksi tahu dari Fahmi dan Elma (perekrut) bahwa yang menjadi Presiden NII adalah Panji Gumilang yang berkedudukan di Indramayu namun saksi belum pernah melihat dan belum kenal sama Panji Gumilang tetapi saksi pernah melihat gambarnya. Sedangkan untuk gubernur jawa tengah saksi tidak tahu siapa yang menjadi gubernurnya. Begitu juga dengan keterangan yang diuraikan oleh saksi Denok Setyowati yang memberikan keterangan bahwa putrinya pernah menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh Nofi Vriantina, dan saksi tidak tahu hubungan anak saksi dengan terdakwa serta hubungan nofi Vriantina dengan terdakwa. Berdasarkan keterangan tersebut penulis berpendapat bahwa saudara Nusa Galendra Maulana dan Denok Setyowati tidak bisa dijadikan sebagai saksi, karena secara umum definisi saksi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 1 angka 26 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.[15]
3.      Bahwa, menurut pertimbangan Majelis Hakim Terdakwa telah menunjukan niatnya untuk menggulingkan pemerintahan dengan membentuk ormas Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) di Jawa Tengah yang pengurusnya adalah teman-teman terdakwa sesama anggota NII, yang telah berhasil mendapatkan surat keterangan terdaftar dari instansi Kesbanglinmas Provinsi Jawa Tengah sebagaimana keterangan saksi Rr. Siti Fatimah Murniati dan barang bukti SKT. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sebagaimana keterangan saksi Rr. Siti Fatimah, ormas Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) yang dipimpin oleh Terdakwa sedangkan pusatnya ada di Indramayu Jawa Barat yang dipimpin oleh Abdussalam Panji Gumilang yang bergerak di bidang ekonomi, sosial, budaya, HAM, ketahanan pangan, pertanian dan peternakan telah terdaftar di Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 4 Mei 2011. Dengan terdaftarnya MIM maka jelas bahwa secara administratif ormas tersebut tidak bertentangan dengan aturanaturan yang berlaku. Selanjutnya, dengan adanya pencabutan status terdaftar organisasi Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) di Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah dengan dasar adanya surat edaran dari Mendagri 85 tanggal 11 Juli 2011 yang besifat sangat rahasia sangatlah tidak mendasar, apalagi belum ada putusan dari pengadilan yang menyatakan bahwa ormas Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) adalah organisasi yang bertentangan dengan aturan dan dijadikan sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan. Selain itu menurut penulis keputusan pencabutan status terdaftar ormas tersebut menyalahi hak ormas dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan pasal 6 huruf a UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan melanggar hak berserikat yang tercantum dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of assembly) dan mengeluarkan pendapat (freedom of expression).
4.      Dihadirkannya Agus Endro Wibowo, SH Bin Supriyarto sebagai saksi Verbalisant oleh Penuntut Umum atas kesaksian Terdakwa yang menyangkal keterangannya sebagaimana dalam BAP Penyidik sangatlah tidak tepat, karena saksi Agus Endro Wibowo sebagai penyidik bukan yang memeriksa Terdakwa secara langsung. Namun yang memeriksa adalah penyidik lain yang bukan saksi saudara Agus Endro Wibowo, SH dan saksi hanya bertugas menungguinya. Hal ini tentunya bertentangan dengan hukum yaitu sebagaimana definisi saksi menurut Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 1 angka 26 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
5.      Mengenai Buku yang berisikan proklamasi NII, terdakwa tidak merasa memiliki buku tersebut. Sedangkan tujuh anggota POLRI yang melakukan penangkapan atas Terdakwa dan teman-temannya dihadirkan oleh penuntut umum sebagai saksi di persidangan, dari keterangan ketujuh saksi tersebut tidak ada yang memberikan kesaksian secara rinci, khususnya mengenai asal usul buku tersebut, apakah ditemukan di lokasi penangkapan atau bagaimana, akan tetapi mereka hanya memberikan keterangan secara umum saja, seperti hanya bertugas untuk mengikat beberapa dokumen, membawa barang bukti, mengumpulkan dan menulis barang bukti yang disita dan sebagainya. Dan lebih jelasnya didalam surat dakwaan Penuntut Umum tidak mencantumkan barang bukti berupa buku berisikan proklamasi NII. Kecuali kalau ada bukti keterlibatan Terdakwa secara langsung dalam NII, baik berupa tulisan (struktur organisasi) maupun Visual (foto atau video). Sebenarnya Penuntut Umum mencantumkan barang bukti berupa 2 (dua) keping CD, dan berdasarkan kesaksian Joko Sugiyanto Bin Suhadi ia sudah membuka isi dari 2 (dua) keping CD yang berisikan rekrutmen kontituan dan taqdim ikhsan. Dalam hal ini penulis tidak tahu menahu mengenai isi CD yang sebenarnya, akan tetapi Majelis Hakim tidak menjadikannya sebagai pertimbangan untuk menentukan kesalahan Terdakwa. 6. Mengenai jabatan Terdakwa sebagai Koordinator Wali Santri Jateng dan DIY yang bertugas untuk mengumpulkan uang wali santri Pesantren Al Zaitun telah dibenarkan oleh kesaksian Zulistiyono (wali santri), Mustamah (alumni Pesantren Al Zaitun), Iskandar Saefullah (bendahara Pesantren Al Zaitun), Rasdi Suntara (Ketua Komite Sumber Daya Manusia Pondok Pesantren Al zaitun). Terdakwa sebagai koordinator bertugas menarik biaya pesantren setiap bulan kepada seluruh wali santri di Jateng dan DIY yang berkisar sejumlah 2.000 santri.
6.      Seharusnya dalam hal ini dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa yang didakwa sebagai Gubernur NII Jawa Tengah. Dari beberapa kejanggalan yang penulis temukan dalam proses peradilan pidana pada perkara Nomor: 188/Pid.B/2011/PN.Ung tentang tindak pidana makar, maka penulis berpendapat bahwa berdasarkan rumusan tindak pidana makar (bughat) dalam perspektif hukum islam maupun hukum positif tindakan terdakwa belum memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar sebagaimana kejanggalan-kejanggalan yang penulis temukan dipersidangan dan ketidaktepatan dalam penerapan pasal sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan salah atau tidaknya Terdakwa.
7.      Dalam hal ini penulis menyatakan bahwa saudara terdakwa tidak terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan permufakatan  jahat untuk melakukan perbuatan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (2) KUHP. Adapun menurut penulis dalam perspektif hukum islam, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa beserta teman-temannya bukan merupakan suatu perbuatan jarimah bughat, dikarenakan tidak terpenuhinya unsur pembangkangan terhadap kepala negara atau pemerintah, tidak menggunakan kekuatan serta tidak adanya niat melawan hukum. Hal ini dibuktikan dengan patuhnya terdakwa dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, misalnya terdakwa mematuhi aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam hal memenuhi syarat pendaftaran organisasi atau LSM MIM, dan terdakwa belum pernah tersangkut masalah hukum sebelumnya. Sedangkan dalam perspektif hukum positif, dakwaan yang ditujukan kepada terdakwa, yaitu pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (2) KUHP. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut belum terpenuhi, yaitu:
1)      Unsur mengenai permufakatan jahat, dengan terhimpunnya terdakwa dan teman-temannya dalam satu wadah organisasi MIM belum bisa dikatan sebagai suatu permufakatan bersama untuk melakukan makar, karena MIM secara administratif bukan termasuk ormas yang menyimpang dari ketentuan perundangan.
2)      Tidak terbukinya terdakwa secara nyata melakukan permulaan tindak pidana makar, sebagaimana ketentuan dalam pasal 87 KUHP. Alat bukti tidak cukup. a. Meskipun Majelis Hakim menjadikan BAP sebagai alat bukti surat sesuai dengan pasal 187 KUHAP, akan tetapi BAP bukanlah yang dimaksud sebagai alat bukti secara absolut, karena BAP masih harus dibuktikan di persidangan. Dan ketika hal tersebut tidak sinkron dengan keterangan Terdakwa, jadi secara hukum tidak bisa dikatakan sebagai alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan BAP yang disangkal oleh Terdakwa. Dan fakta hukum yang sbenarnya adalah fakta hukum yang muncul dalam persidangan. b. Majelis Hakim menjadikan kesaksian Nusa Galendra Maulana dan Denok Setyowati sebagai satu alat bukti mengenai adanya permulaan tindak pidana makar yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal ini keduanya tidak bisa dikatakan sebagai saksi dan kesaksiannya tidak bisa diterima, karena keduanya tidak ada hubungan atau tidak ada kaitannya dengan terdakwa. c. Dengan adanya buku mengenai proklamasi NII bukan berarti secara otomatis Terdakwa terlibat dalam NII, apalagi tidak ada ketentuan perundangangan maupun ketetapan-ketetapan dari pejabat negara yang melarang beredarnya buku tersebut dan menjadikan organisasi NII sebagai organisasi terlarang di NKRI.
3)      Ahli yang dimintai keterangan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, baik yang memberatkan maupun yang meringankan Terdakwa, perlu diminta untuk melakukan penelitian ulang oleh Majelis Hakim, dengan mempertimbangkan rumusan tindak pidana makar di era demokrasi sekarang ini. B. Analisis Terhadap Sanksi Tindak Pidana Makar pada Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor : 188/Pid.B/2011/Ung Menurut pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor: 188/Pid.B/2011/Ung, berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa dengan terbuktinya Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana permufakatan jahat untuk melakukan makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah sesuai dakwaan Penuntut Umum seperti diatur dan diancam dalam Pasal 110 ayat (1), (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (1) KUHP.
4)      Menimbang, bahwa sebelum menentukan lamanya pidana yang akan dijatuhkan, terlebih dahulu Majelis mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang ada pada diri Terdakwa sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan Terdakwa dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat mengganggu stabilitas keamanan Negara; - Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;
5)      Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa belum pernah dihukum; - Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga; - Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan; Mengingat ketentuan Pasal 110 ayat (1), (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (1) KUHP, KUHAP dan Ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Mengadili:
                                                                 I.            Menyatakan Terdakwa TOTOK DWI HANANTO alias MIZAN SHIDIQ bin SARDHONO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana “Permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah”;
                                                              II.            Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TOTOK DWI HANANTO alias MIZAN SHIDIQ bin SARDHONO dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
                                                           III.            Menetapkan masa penahanan sewaktu Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
                                                           IV.             Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
                                                              V.            Dan menetapkan beberapa barang bukti.

C.Sejarah Hukum Makar terhadap Keamanan Negara[16]
             Untuk mengetahui dengan lebih lengkap  tentang pengaturan keamanan negara di Indonesia, maka  akan dilihat pengaturannya secara umum dan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Secara umum, dimaksudkan untuk menampilkan nama-nama peraturan di bidang keamanan negara. Sedangkan secara khusus, dimaksudkan akan menyoroti beberapa peraturan yang dijadikan contoh, yang pernah coba dipergunakan untuk menjerat kasus keamanan negara tertentu.
Pengaturan masalah yang berkaitan dengan keamanan negara secara umum di Indonesia, antara lain terdapat dalam:
1.      UU     No. 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU  Pemberantasan Kegiatan Subversi
2.      UU No. 31    Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.      UU No. 2 Tahun 2002 tentang  Kepolisian
4.      UU No, 19 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
5.      UU No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
6.      UU No. 1 tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hong Kong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri.
7.      UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana    Pencucian Uang.
8.      UU No. 15 tahun 2003 tentang  PERPU No. 1   Tahum 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme  Menjadi UU.
9.      UU No. 16 tahun 2003  PERPU No. 2 Tahum 2002 tentang Pemberlakuan PERPU No.1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002  Menjadi UU.
10.  UU No. 2 tahun tentang 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
11.  UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
12.  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
13.  UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan    Negara.
14.  UU No. 28 Tahun 1999 tentang    Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,    Kolusi, Dan Nepotisme
15.  UU No.16  tahun 2004  tentang Kejaksaan
16.  UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
17.  UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
18.  UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
19.  UU No. 5 Thn 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
20.  UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
21.  UU No. 9 Tahun 1992 tentang  Keimigrasian
22.  UU No.1 tahun 1999 tentang  Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
23.  UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
24.  UU No12/ DRT/  1951 tentang senjata api dan bahan peledak
25.  UU No.18 tahun  2001 tentang  Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Dalam Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam     
26.  UU No.21 tahun  2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua  
27.  UU No.24  tahun  2003  tentang Mahkamah Konstitusi
28.  UU No.4  tahun 2004  tentang Kekuasaan Kehakiman
29.  PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
30.  PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan     Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
31.  PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan  Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
32.  KepPres No. 103 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan  Singkat 
33.  Instruksi Presiden No. 4 Th. 2002 kepada Menteri negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme;
34.  Instruksi Presiden No. 5 Th. 2002 kepada  Kepala Badan Intelijen Negara sebagai koordinator bagi operasi intelijen, dsb.
       Pengaturan keamanan negara secara khusus,  disajikannya dalam  periodesasi pengaturan, sebagai berikut:
1. Periode  1945  - 1963.
2. Periode  1963  - 1999.
5. Periode  1999 -  2002.
6. Periode  2002.-   sekarang.   
            Pembagian  beberapa  periode tersebut, baik seperti yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP, engan asumsi adanya perbedaan penerapannya, yang mungkin dipengaruhi oleh politik pemerintahan pada masa-masa tersebut.

ad.1. Periode  1945 - 1963:
    Sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai  masa dikeluarkannya  Penpres No. 11/PNPS/1963, yakni  masa pengaturan kejahatan keamanan Negara hanya bersumber KUHP belaka. Kebijakan pengaturan   berkaitan dengan  KUHP tersebut, antara lain: 
a.      Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945.
Pada  Aturan Peralihan  UUD 1945 dikatakan,bahwa  segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.  Maka pada masa itu berlakulah Wetboek van  Strafrecht voor nederlandsch Indie, yang telah  dilakukan perubahan oleh pemerintah Tentara pendudukan Jepang, yang dianggap  perlu bagi kekuasaan mereka. Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya berlaku dualisme KUHP yaitu wetboek van Strafrecht voor Indonesie dan KUHP hasil Undang-Undang. No.1  tahun 1946, yang sama-sama bersumber dari Staatblaad 732 tahun 1915 tentang Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie yang mulai berlaku sejak tanggal 1  januari 1918 di Hindia Belanda, dan masing-masing melakukan perubahan sendiri-sendiri.
b.      Berdasarkan staatblaad no.135 tahun 1945.
Pemerintah Pelarian  Hindia Belanda di Ausrtralia (di kota Brisbane)  mengatur tentang perubahan Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie menjadi wetboek van Strafrecht voor Indonesie, untuk daerah-daerah selain jawa dan madura  berlaku KUHP ini,  yang lebih dikenal dengan “Brisbane Ordonantie”. Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indieini,  teks aslinya masih dalam bahasa Belanda, dimana  dasar  yuridis, filosofis maupun sosiologisnya merupakan pandangan Belanda pada  masa tersebut
a)      Perubahan yang dilakukan oleh “Brisbane Ordonantie”, antara lain: diaturnya kejahatan mata-mata,
b)      penambahan pasal 159 a  dan pasal 159 b yaitu  mengancam  perbuatan yang dianggap mengganggu ketertiban umum dengan kekerasan  dan merobohkan pemerintah  syah.
c)      pasal 335 tambah ayat (3), mengatur perbuatan menyangkut kepentingan perekonomian.
d)     penambahan satu pasal  baru yaitu pasal 570 tentang pelanggaran terhadap keamanan Negara, sehingga Wetboek van Strafrecht voor Indonesie menjadi berjumlah 570 pasal.
e)      penambahan ancaman pidana pasal 110,  semula diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun
 Perubahan ancaman pidana yang  semula telah ada, misalnya yang semula diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.  Padahal   pidana mati di negara Belanda telah dihapus. Dapat disimpulkan, perubahan yang dilakukan tersebut mempunyai tujuan politik. Untuk menunjang kembalinya mereka ke negara bekas jajahannya yaitu Indonesia.
 Perubahan itu mempunyai dampak pada tahun-tahun berikutnya, antara lain terhadap timbulnya UU Anti Subversi. Ini terjadi karena ada  perbuatan  yang tidak diatur dan diancam pidana oleh KUHP,  umpamanya perbuatan mata-mata.  Sehingga Pemerintah Indonesia perlu mengadakan peraturan tentang beberapa perbuatan yang belum diatur oleh KUHP.
  c.        Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946,
 Dengan UU ini, Pemerintah  Indonesia  menetapkan bahwa  untuk hukum pidana  diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah berlaku sejak  tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederladch Indie yang belum dirubah oleh pemerintah tentara pendudukan Jepang,  disebut “KUHP hasil Undang-Undang. No.1  tahun 1946”. UU ini memberikan kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP dengan kondisi negara Indonesia,  terlihat  pada ketentuan dalam  pasal  V, yang menyebutkan: “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian tidak berlaku”. Menurut pasal XVII, UU ini berlaku bagi Jawa dan madura, kemudian menyusul Jakarta dan sebagian dari pulau sumatra.
Materi pengaturan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I Buku Ke dua KUHP dirumuskan mulai pasal 104 sampai dengan pasal 129, ringkasnya sebagai berikut:
a)      Pasal 104, makar dengan maksud membunuh, atau  merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden dan  Wakilnya memerintah.
b)      Pasal 106,  makar dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah Negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara.
c)      Pasal 107,  makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.
d)     Pasal 108,  pemberontakan.
e)      Pasal 110,  permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 104, 106, 107, 108.
f)       Pasal 111,  mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan memusuhi atau perang dengan Negara RI dsb.
g)      Pasal 111 bis, mengadakan hubungan dengan orang atau badan  di luar negeri dengan maksud menggerakkannya supaya membantu mempersiapkan, memperlancar, atau menggerakkan untuk menggulingkan  pemerintah yang sah dsb.
h)      Pasal 112, sengaja mengumumkan  surat-surat, berita-berita yang diketahuinya harus dirahasikan  untuk kepentingan Negara.
i)        Pasal 113, sengaja mengumumkan , atau memberitahukanmaupun menyerahkan kepada orang yang tidak wenang mengetahui, surat-surat, peta-peta dan lain sebagainya yang bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahan dan keamanan Negara.
j)        Pasal 114, karena kealpaannya menyebabkan  surat-surat atau benda-benda dalam pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui umum atau yang tidak berhak dsb.
k)      Pasal 115,  melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia dalam pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu dimaksudkan untuk diketahui olehnya dsb.
l)        Pasal 116, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 113 dan 115.
m)    Pasal 117,  sengaja memasuki bangunan AD atau AL atau daerah terlarang dsb.
n)      Pasal 118,  tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dsb, yang bersangkutan dengan kepentingan militer.
o)      Pasal 119,  memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya  mempunyai niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113.
p)      Pasal 120,  kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan aqal curang.
q)      Pasal 121, orang yang ditugasi untuk berunding dengan Negara asing, dengan sengaja merugikan Negara Indonesia.
r)       Pasal 122, dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan  kenetralan Negara.
s)       Pasal 123,  WNI yang masuk menjadi tentara asing yang sedang menghadapi perang atau perang dengan Indonesia.
t)       Pasal 124,  dalam masa perang sengaja memberi bantuan pada musuh dsb.
u)      Pasal 125, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam pasal 124.
v)      Pasal 126,  dalam masa perang tidak dengan maksud membantu musuh, memberi pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikan dsb.
w)    Pasal 127,  dalam masa perang melakukan perbuatan tipu muslihat atau aqal curang dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
x)      Pasal 129, diterapkannya pidana-pidana yang ditentukan terhadap perbuatan-perbuatan  dalam pasal 124–127, kepada si pembuat yang melakukan salah satu perbuatan itu terhadap atau bersangkutan dengan Negara  sekutu dalam perang bersama.
Pada periode berlakunya KUHP berdasar UU No.1 tahun 1946 ini, ada beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang keamanan negara, antara lain:
1)      Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya  sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960 . UU keadaan bahaya yang lazim dinamakan UU darurat, dalam rangka menindaklanjuti pasal 12  UUD 1945, yang menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang". Keadaan bahaya adalah “suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari wilayah negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara biasa”.UU 23/ 1959 ini, dalam proses penegakan hukum kejahatan terhadap keamanan Negara, mempunyai beberapa ketentuan untuk itu, antara lain: Pasal 1 Presiden dapat menyatakan seluruh atau sebagian wilayah RI dalam keadaan bahaya dengan tiga tingkatan: darurat sipil, darurat militer, keadaan perang.
(1) Keadaan darurat dapat diumumkan Presiden jika keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian RI terancam pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat negara secara biasa.
(2) Keadaan darurat itu dapat pula diumumkan jika timbul perang, atau bahaya perang, atau dikhawatirkan terjadi perkosaan wilayah RI dengan cara apa pun juga. Dengan kata lain, hidup negara dalam bahaya. Sehingga Indonesia sebagai negara  berdasar atas hukum  dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan negara, terpeliharanya persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayahnya, bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai ancaman  dari dalam  dan  luar negeri dengan intensitas tinggi, memerlukan penanggulangan  keadaan bahaya itu. Dalam situasi seperti di atas, tanggung jawab  utama ada pada Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara  tertinggi, oleh karena itu berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan negara, dengan menetapkan negara dalam keadaan bahaya dengan status darurat sipil atau status darurat militer atau dalam keadaan perang. Dan berhak mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka, karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya. Presiden dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR. Mengenai kekuasaan presiden untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya, berikut diketengahkan beberapa peraturan perundangan yang pernah ada, antara lain:
a). Keppres RI no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagaimana telah diubah dengan KeppresNo.40 Tahun 2002
b).  Keppres RI no. 97 tahun 2003 Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.
  2). UU No. 73 tahun 1958 Tentang pemberlakuan UU No. 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
Dualisme sistem hukum pidana tersebut berlangsung terus  meskipun kedaulatan sepenuhnya ada pada pemerintah Indonesia baik secara  de jure maupun  secara de facto, Hal ini disebabkan  karena baik konstitusi RIS maupun UUDS 1950 tetap memberlakukan semua peraturan yang ada sebelum adanya peraturan yang baru,  sehingga baik KUHP maupun Wetboek van Strafrecht voor Idonesia masih tetap berlaku secara berdampingan dalam daerah masing-masing di wilayah Indonesia.
Keadaan demikian baru disadari setelah timbulnya beberapa kasus, umpamanya “kasus Cikini”, yaitu kasus percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terjadi di jalan Cikini Raya Cakarta tahun 1957, dengan cara melemparkan granat yang menimbulkan korban tewas 9 orang dan luka-luka sebanyak 55 orang. Peristiwa tersebut  merupakan suatu peristiwa yang dilatar belakangi politik atau bertujuan politik, yakni ingin merobohkan pemerintahan  dengan jalan membunuh kepala negara agar tidak dapat berfungsi sebagai kepala negara.  Tetapi di depan pengadilan para pembela terdakwa mengemukakan bahwa di Jakarta sebenarnya yang berlaku adalah Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, dalam dalam undang-ungdang pidana tersebut  yang dilarang adalah  seseorang yang ingin mencoba  atau membunuh “koning/ koningen” yang diterjemahkan raja atau ratu. Sedangkan dalam peristiwa Cikini yang akan dibunuh adalah Presiden. Presiden bukan raja, sehingga pasal-pasal dalam KUHP tidak dapat dipergunakan untuk menuntut terdakwa.
Dualisme sistem perundang-undangan hukum pidana tersebut baru diakhiri  dengan dikeluarkannya UU No. 73 tahun 1958 yang menyebutkan bahwa UU No. 1 tahun 1946 berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, artinya di seluruh wilayah Indonesia berlaku KUHP hasil perubahan UU No. 1 tahun 1946 dari Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie,  yang diberlakukan di Hindia Belanda  secara efektif sejak 1 Januari 1918., yang tentunya teks aslinya masih dalam bahasa Belanda.
Dan Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie itu merupakan saduran  atau dapat dikatakan sama seperti yang berlaku di negeri Belanda  tahun 1886. Sehingga dapat diperkirakan bahwa baik dasar  yuridis, filosofis maupun sosiologis yang mendasari adalah merupakan pandangan pada  masa tersebut, yang jelas pasti berbeda dengan  bangsa Indonesia.
Aslinya di negeri Belanda Wetboek van Strafrecht telah banyak dilakukan perubahan, antara lain dengan menambahkan  ketentuan tentang perbuatan mata-mata serta perbuatan sabotase. Sehingga dengan  keluarnya UU No. 73 tahun 1958 maka perbuatan mata-mata serta perbuatan sabotase itu  tidak terlarang lagi  di Indonesia  dan belum didapati pengaturannya dalam KHUP.
Peristiwa Cikini  tersebut diikuti dengan dikeluarkannya Penpres No. 5 tahun 1959 yang memperberat ancaman pidana  terhadap delik yang tersebut dalam titel I dan II  Buku Ke dua KUHP, dengan tambahan kualifikasi  menghalang-halangi program pemerintah. Memang ketentuan-ketentuan tsb  merupakan tindak pidana politik juga , tetapi belum mencakup kejahatan-kejahatan seperti kegiatan mata-mata, sabotase, penjualan rahasia negara kepada pihak asing , subversi dalamarti merencanakan dan mempersiapkan intervensi atau invasi tentara asing ke dalam negeri dan sebagainya. Hal seperti itu baru diatur dalam UU Anti subversi.

ad.2. Periode 1963 – 1999
          Masa  berlakunya hukum pidana  dibidang subversi, yakni sejak berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi hingga  dikeluarkannya UU No. 26 tahun 1999  tentang pencabutan UU No.  5 tahun 1969 tentang pengesahan Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi Undang-Undang. Pada  periode ini  sekedar untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan dalam pelaksanaannya, maka disajikan sebagai berikut:
  a. Masa berlakunya  Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde lama.
    Sejak berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sampai dengan mulanya Orde Baru yaitu 11 Maret 1966. Yakni masa  setelah ada peraturan tentang pemberantasan kegiatan subversi, akan tetapi dalam masa pemerintah Orde Lama. Dalam periode ini KUHP sebagai undang-undang  pidana umum dan Penpres No. 11 tahun 1963 yang saat itu berlaku sebagai penetapan presiden, merupakan undang-undang pidana khusus.
    Dalam membicarakan keabsahan  Penetapan Presiden ini, tidak dapat dilepaskan dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1969, karena dekrit ini yang mendorong timbulnya Penpres No. 11 tahun 1963. Dekrit Presiden 5 Juli 1969 lahir karena keadaan pada saat itu dianggap membahayakan kesatuan bangsa, jadi pada waktu itu negara dalam keadaan darurat, sehingga ada sebagian orang yang membenarkan presiden membuat peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka struktur dan hirarki perundang-undangan menurut UUD 1945. Jadi sebagai hukum revolusi. Ia merupakan alat Orde Lama . Bersama Partai Komunis yang tergabung di dalamnya, yang ditujukan kepada lawan politiknya.
    Sebagai hukum pidana khusus, Penpres  No 11 tahun 1963 memuat beberapa penyimpangan terhadap KUHP. Secara ringkas penyimpangan tersebut antara lain:
  1. Perumusan delik bersifat meluas dan serba  meliputi.
  2. Kemungkinan dijatuhkannya putusan in absentia.
  3. Dimungkinkannya pemidanaan terhadap badan hokum perseroan, perserkatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, disamping orang sebagai subyek hukum.
  4. Penerobosan rahasia bank.
  5. Dapat ditempuhnya upaya banding atas putusan hakim yang berupa pembebasan.
  6. pelaksanaan sidang perkara mutlak harus terdiri 3 hakim.
  7. Putusan pengadilan yang bukan pidana mati, tidak tertunda karena permohonan grasi.
  8. Jaksa Agung/ Oditur Jendral berwenang mengadakan penahanan terhadap seseorang yang didakwa  melakukan kegiatan subversi untuk paling lama satu tahun.
  9. Perkara subversi  diperiksa dalam batas waktu tertentu.
  10. Mengecualikan berlakunya  pasal 63 ayat 2 KUHP, yang berbunyi:”Jika untuk seseuatu perbuatan termasuk  dalam suatu aturan pidana umum ditentukan aturan pidakhusus, maka hanyalah aturan pidana khusus itu saja yang dikenakan”.
  11. Kemungkinan dijatuhkannya pidana (penjara) dan denda, dengan variasi berupa pidana badan saja,  dapat pula pidana badan dan denda, juga mungkin pidana denda saja.
  12. Dapat dirampasnya benda yang menjadi milik  atau bukan milik terpidana  yang diperoleh dari atau digunakan alat melakukan tindak pidana subversi.

 b. Masa berlakunya  Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde Baru.
    Yakni tenggang waktu antara sejak  11 Maret 1966 (Surat Perintah Sebelas maret)  sampai dengan  ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969. Saat  digunakannya peraturan tentang  kegiatan subversi dalam masa Orde Baru, untuk menjerat berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara.
         Dalam periode ini Penpres No. 11 tahun 1963  dipakai  sebagai undang-undang dalam mengadili pera pelaku gerakan 30 September 1966/ PKI, yaitu tokoh-tokoh Orde Lama dan PKI. Hal ini dapat  dibenarkan secara filosofis, bahwa barang siapa membuat suatu aturan yang dipandang adil dan sah untuk diterapkan kepada orang lain, tentulah adil dan sah jika diterapkan pula  kepadanya, jika ia melakukan perbuatan yang memnuhi unsur-unsur dalam peraturan tersebut. Dalam sejarah pernah terjadi, yaitu peraturan “darurat” yang dibuat oleh regim Nazi Hitler, diberlakukan pula terhadap mereka sebagai penjahat perang.

 c. Masa berlakunya  Penpres No. 11 tahun 1963 sebagai UU No. 11/PNPS/1963 dengan UU No. 5 tahun 1969.
    Periode ini terjadi antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1999. Yakni masa sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan Berbagai Penpres dan dan Keppres sebagai undang-undang, sebagai tindak lanjut atas peninjauan kembali terhadap semua produk perundang-undangan dari tahun 1959 sampai  tahun  1966 sampai dengan ditetapkannya   UU No.26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 dan  UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
        Dengan UU No. 5 tahun 1969 tersebut , maka Penpres No. 11 tahun 1963  menjadi UU No. 11/PNPS/1963. Sehingga pada periode ini kejahatan terhadap keamanan negara  dijerat dengan UU  Anti Subversi. Dengan dilegalisasikan dan ditempatkan  dalam jajaran perundang-undangan yang konstitusional, maka menjadi hukum formal bagi hukum pidana politik. Walaupun disadari saat itu belum ada  putusan Mahkamah Agung yang konstan mengenai harus ada atau tidaknya latar belakang serta tujuan politik pelaku tindak pidana politik,  ada kalanya berlatar belakang politik ada kalanya tidak. Beberapa kasus yang bisa dijadikan contoh, misalnya: Kasus Gerakan Aceh Merdeka. Kasus Jayus dan Slamet dalam kasus Wei Jepara Lampung, yang ditahan sejak1989   dan baru diketahui LBH pada 1993. Kasus HR Darsono, Kasus Tengku Bantaqia, Kasus Sri Bintang Pamungkas dan Kasus Budiman Sujatmiko.
         Tetapi setidaknya UU No. 5 tahun 1969 telah memberikan  ruang gerak kepada hakim  yang cukup memadai untuk menerapkan penafsiran penghalusan hukum,   bahwa undang-undang tersebut bersifat darurat yang akan ditinjau dan diselaraskan dengan  UUD 1945 dan hati nurani rakyat.
    Pada periode ini ada beberapa peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan keamanan Negara, antara lain:
     1).  UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi.
Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Di dalam Pasal 4, ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang di dalamnya memuat daftar kejahatan yang dapat di ekstradisi13. Dalam hal belum ada perjanjian, ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara  menghendakinya.
Ekstradisi dapat dilakukan terhadap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Ekstradisi dapat juga dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan. Sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum Negara  Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi.
 Di dalam pasal 2 dari UU ini, disebutkan  pelanggaran hukum yang dapat diserahkan oleh suatu Negara Diminta kepada Negara Peminta penyerahan, antara lain:
- pelanggaran yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum   Negara yang terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yakni berdasarkan asas tindak pidana ganda (double criminality),
- pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu) tahun atau dengan pidana lebih berat.
   Secara garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU ini, Negara Diminta boleh menolak untuk menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan pidana yang berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara lain.
1- tindak pidana yang berlatar belakang politik,
2- tindak pidana militer,
3- penuntutan yang telah kadaluarsa,
4- ne bis in idem.
5- tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta
6-  tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.
Dalam  UU ini  ketentuan ekstradisi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia, sehingga amat mempengaruhi pelaksanaan ekstradisi atas diri seorang penjahat. Hak asasi manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa azas-azas ekstradisi yang berlaku dalam perjanjian antar Negara. Hal yang perlu di garis bawahi, bahwa terhadap delik politik  tidak dapat diekstadisi, ini sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian kejahatan politik. Pengecualian terhadap tidak dapat diserahkannya seorang penjahat politik dari Negara yang Diminta kepada Negara Peminta adalah apabila terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara  atau anggota keluarganya. Karena perbuatan tersebut dianggap bukan  kejahatan politik, meskipun mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan-tujuan politik. Kasus yang menarik untuk disimak misalnya  kasus ekstradisi  Umar al. Faruq yang dituduh  bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap presiden Megawati Soekarno  Putri
   Beberapa peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti Undang-undang No.1 tahun 1979  tentang ekstradisi antara lain:
a)      Undang-undang No. 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah indonesia dengan Pemerintah Malaysia,
b)      Undang-undang No. 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Thailand.

2). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
   UU no. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (LNRI Tahun 1982 No. 51, TLN No. 3234),  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (LNRI Tahun 1988 No. 3, TLN No. 3368), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan RI dan perubahan kelembagaan TNI, yang didorong perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga UU tersebut perlu diganti.Dalam era reformasi diupayakan untuk diganti dengan munculnya  RUU Penanggulangan keadaan bahaya (RUU PKB) dan RUU Keamanan dan Keselaman Negara (RUU KKN), yang dalam masa pembahasan dan persetujuannya kedua RUU ini telah memicu pro kontrak masyarakat yang mengkhawatirkan akan kembali dan menguatnya peran TNI seperti semasa Orde Baru, sehingga pemerintah terpaksa penunda pemberlakuannya.

ad.3.  Periode 1999 – 2002  
Masa sejak ditetapkannya UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan ditetapkannya UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara sampai dengan  dikeluarkannya Perpu No. 1 dan No. 2 tahun 2002. Pada masa ini seiring dengan tidak berlakunya lagi UU Anti Subversi, maka  kejahatan terhadap keamanan negara penanganannya dikembalikan kepada KUHP.
    Beberapa peristiwa menarik di Indonesia pada saat itu antara lain:
1.    Tahun ketiga setelah penghancuran (bumi hangus saat jajag pendapat ) oleh militer Indonesia dan milisi pro-integrasi, belum diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas, hilang, korban perkosaan, dan kejahatan lainnya di Timor Timur. Semua masih menjadi misteri. Sedangkan para pelaku kejahatan itu masih bebas, sementara para korban dan keluarga korban terus menuntut keadilan kepadaUnited Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET) untuk membentuk Special Panel (Regulasi 2000/15) yang memiliki kewenangan mengusut kejahatan-kejahatan serius.
2.    Penanganan atas Peristiwa idul fitri berdarah  di Ambon pada 19 Januari 1999,  antara muslim (yang belakangan dibantu Laskar Jihad) dengan Kristen yang di dukung oleh Forum Kedaulatan Maluku (FKM) yang diketuai oleh Alex Manuputy, yang sampai masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid  dan Megawati Soekarno Putri belum juga tuntas.
3.    Adanya pemahaman lain tentang makar, yang dilontarkan pada ceramah anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur Muhammad Iskandar SQ di Kebumen, Jawa Tengah. yang menyebut Amien Rais dan Akbar Tandjung telah berbuat makar dan halal darahnya karena bermaksud untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan Presiden “14

ad.4.  Periode 2002 – sekarang
         Pada periode ini ada beberapa ada beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan keamanan negara, antara lain:
1). UU no.  3 tahun 2002  Tentang Pertahanan Negara.
Dalam UU no.  3 tahun 2002, diatur tentang pertahanan Negara, Sistem pertahanan Negara, tujuan dan  usaha pertahanan  Negara.. Pertahanan negara, diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan Negara. Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan. Dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung,  dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa, misalnya komponan cadangan dan pendukung.
Komponen cadangan,  terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Dan Komponen pendukung, yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Ancaman pertahanan negara, sebenarnya merupakan Ancaman terhadap kedaulatan Negara, semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multi dimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman bisa berupa   ancaman militer dan ancaman non militer.
UU Pertahanan Negara ini, isinya mengesankan hanya mengatur tentang pemberian wewenang yang lebih besar pada pihak militer untuk berkuasa,  tidak mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari ancaman krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek. Sehingga menimbulkan penafsiran bahwa UU ini  memiliki tujuan tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang berlebihan terhadap militer. Terlihat dari dimungkinkannya  TNI  untuk melakukan operasi militer.
UU ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa total dengan menggantikan fungsi keamanan domestik yang merupakan tugas Polri, dan fungsi administratif pemerintahan sipil,  baik pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku, dan mengambil alih pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer. diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer. Dengan demikian sistem pertahanan negara "Militerisme" bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara, namun justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa. tentuan seperti itu beresiko tinggi melahirkan rejim militer di Indonesia, karena tujuannya adalah memberi kekuasaan yang sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun, setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer dengan mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.
Dalam UU ini, memang Presiden berwenang dan bertanggung jawab mengelola sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan Negara,  dengan menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip demokrasi, HAM, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
Warna militerisme di masa lalu, tampil dalam sosok kekuasaan Presiden Indonesia. Terungkap dalam  laporan: Al-Qaeda in South-east Asia: the Case of the "Ngruki Network" in Indonesia (2002), oleh Direktur International Crisis Group, Sidney Jones, peneliti dari Amerika Serikat. Dalam laporan itu, tergambar suatu operasi intelijen yang merekayasa kasus Darul Islam (DI) dan Jama’ah Islamiyah (JI) oleh Ali Murtopo masa Presiden Soeharto, dalam rangka mempertahankan kekekuasan rezim tersebut. .
  
2). UU no. 15  tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penetapan  atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana Perpu no 1 tahun 2002 itu sempat diberlakukan terhadap kasus peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di Bali  berupa Perpu no. 2 tahun 2002 yang kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003, kemudian  untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 pemerintah telah membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
 Pada masa ini, saat-saat isu terorisme demikian menglobal dan sarat dengan muatan kepentingan pasca peledakan bom 11 September 2001, maka di Indonesia  untuk menangani kasus-kasus kejahatan terhadap keamanan negara  dikeluarkanlan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002 tentang Pemberantasan Kegiatan Terorisme Namun seiring dengan meningkatnya jumlah ledakan bom dan perbuatan teror  maka Perpu tersebut ditingkatkan menjadi UU No. 15 dan 16 tahun 2003. Sehingga pada masa ini kejahatan terhadap keamanan negara dijerat dengan UU Anti Terorisme.
 Sekedar gambaran tentang beberapa peristiwa teror yang terjadi, dapat dikemukakan, antara lain:    
1.        Ledakan bom yang terjadi di Bali pada Sabtu (12/10) pukul 23.15 WITA disebut-sebut sebagai aksi teror terburuk semenjak peristiwa 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York, dan menghancurkan markas militer AS, Pentagon.Sebagian orang menyebut dua tragedi tersebut saling berkaitan karena ledakan bom di jalan Legian, Kuta, Bali, terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari selang tragedi "Black September". Setidaknya 182 orang tewas dan 300 orang mengalami luka-luka dalam tragedi yang menimbulkan kengerian dan kepanikan luar biasa itu.
2.        Ledakan hebat terjadi di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan, Selasa (5/8) pukul 12.45. Diperkirakan, ledakan dari bom yang diletakkan di dalam mobil. Kuat dugaan bencana itu akibat bom bunuh diri. Korban tewas ledakan bom di kawasan Hotel Marriott sedikitnya tercatat 12 orang. Sebanyak 52 orang lainnya saat ini telah dievakuasi ke RS Jakarta, kawasan Benhil, Jaksel, Selasa (5/8/2003). Asap tebal hingga kini masih tergambar jelas di kawasan bisnis di segitiga emas itu. Sekadar diketahui, Marriott adalah hotel bintang lima yang sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan perwakilan asing. Hotel ini terdiri dari 33 lantai, 333 kamar dan beroperasi pada September 2001
3.        Sebuah bom berkekuatan besar (high explosive), meledak di depan kantor Kedutaan Besar Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/9) sekitar pukul 10.25. Hingga Kamis malam, setidaknya enam orang tewas dalam kejadian ini, serta 161 lainnya luka-luka. Ledakan itu dipastikan berasal dari bom mobil, modus yang mirip dengan bom Bali dan bom JW Marriot.
            Terorisme sebagai sebuah isu global dalam dunia internasional, regional, maupun nasional sebenarnya sudah lama kita kenal meskipun harus diakui tidaklah mudah untuk mendefinisikannya. Namun, barangkali perlu diupayakan secara lebih spesifik agar mendapatkan suatu karakteristik  dari pengertian teror maupun terorisme, paling tidak untuk membentuk sarana hukum yang tepat dalam penanggulangan kejahatan terorisme.
            Dalam UU No. 15 Tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun tidak memberikan definisi yang memuaskan tentang perbuatan teror sebagai sebuah delik pidana, seperti halnya dalam delik pencurian, pembunuhan, pemerkosaan sehingga unsur-unsur perbuatan pidana menjadi kabur dan terlalu luas pengertiannya. Hal ini sulit untuk dirumuskan dan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukumnya.
Sejauh ini masyarakat internasional telah mengategorikan terorisme sebagai extra ordinary crime karena akibat dari kejahatannya menyebabkan rangkaian kejahatan dan kerugian yang sangat luas mulai dari nyawa manusia, harta, fasilitas umum, objek-objek vital negara, kepentingan umum, dan kemerdekaan masyarakat diciderai secara serius. Hal ini juga memberikan peluang bagi pihak-pihak yang ingin menjatuhkan pihak tertentu yang berseteru dengan berusaha memasukkan lawan seterunya sebagai pelaku terorisme. Untuk itu harus sangat berhati-hati terhadap kategorisasi kejahatan terorisme tersebut, apalagi bila yang dominan memberi label teroris tersebut adalah pihak yang berkuasa sosial politik maupun ekonomi secara internasional.
Apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme. Dalam ketentuan umum UU no.15 tahun 2003 terorisme didefinisikan sebagai: perbuatan yang merupakan kekerasan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
 Dari rumusan Pasal 6 dan Pasal 7,  bisa ditafsirkan meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
1.    Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menim-bulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
2.    Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Rumusan tindak pidana teror selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 8, yang mengharuskan adanya kesengajaan dan memungkinkan menjerat  kealpaan sebagai suatu perbuatan terorisme  ( pasal 8, d dan g ).  Pasal 8 memasukan 18 macam perbuatan sebagai tindak pidana teror dalam bidang penerbangan (sama dengan KUHP) dan dipidana sama dengan tindak pidana teror dalam Pasal 6.
Kata “merencanakan” dan kata “menggerakkan” dalam pasal ini tidak memiliki ukuran jelas sehingga bisa saja ditafsirkan yang “memotivasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana teror. Seorang guru, ulama, pastor, atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan mereka.
Selain longgarnya definisi dalam UU ini juga bertebar rumusan pasal yang bersifat karet, yang banyak mengandung implikasi negatif dalam penerapkan. Rumusan karet dalam UU Anti terorisme tersebut, antara lain:
a)      Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
b)      suasana terror/ rasa takut thd orang secara meluas
c)      objek-objek vital yang strategis (ps. 6)
d)     pengertian kata “bermaksud” (ps. 7)
e)      merencanakan dan/atau menggerakkan orang  (ps. 14)
f)       tafsir : mengintimidasi, proses peradilan menjadi terganggu, tidak langsung (ps.20, 22)
g)      dapat menggunakan setiap laporan intelijen (ps.26)
  Untuk dapat membedakan antara  tindak pidana teror dengan tindak pidana lainnya, maka  perlu disampaikan unsur-unsur tindak pidana teror yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Unsur pokok tindak pidana teror, adalah:
1.      tindak kekerasan itu terencana rapi, bukan bersifat impulsif atau spontan. \
2.      perbuatan itu berlatar belakang politis, bukan kriminal seperti tindak kejahatan yang dilakukan para mafia yang bermotifkan uang. Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada
3.      sasaran terorisme selalu masyarakat sipil, bukan instalasi militer atau pasukan bersenjata.
4.      dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan dalam negeri yang merasa tidak puas dan marah terhadap kebijakan pemerintah. 21
  Apakah tindak pidana teror dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime? Banyak pihak menyatakan, tindak pidana teror adalah extra ordinary crime. karena sifat perbuatannya yang luar biasa, dengan alasan sulitnya pengungkapan, juga  karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional.
  Tindakan teror bisa dilakukan oleh individu atau sekelompok individu,  organisasi dan negara. Tindakan terror yang dilakukan individu, sering kali merupakan bagian dari suatu organisasi  dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu. Namun dijumpai pula beberapa kasus teror yang dilakukan  seorang atau beberapa orang, bukan berasal dari sebuah organisasi.Tindakan teror yang dilakukan oleh negara, bisa berupa tindak pidana yang  dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM (gross violation against human rights). Terorisme negara berkembang seiring sejarah perkembangan peradaban manusia, contoh   fenomena sosial yang pernah terjadi adalah, “perang psikologis yang ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius (14-37 SM) dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi Romawi mempraktekkan terorisme dalam penyingkiran, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan politiknya. Roberspierre (1758-1794) saat revolusi Perancis. Setelah perang sipil di AS muncul kelompok teroris rasialis  Ku Klux Klan. Demikian juga   Hitler di Jerman  dan Joseph Stalin di Rusia.
      Mengenai hal di atas dan dalam rangka menindak lanjuti upaya penegakan hukum dari  resolusi PBB no 1267 tahun 1999, pemerintah Indonesia melakukan beberapa hal, antara lain: Mengajukan permohonan kepada PBB agar memasukkan GAM, JI dan beberapa WNI (Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar Makawata), kedalam daftar teroris yang disusun PBB dalam revolusi PBB tersebut.
Bila  tindakan teror itu dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya sendiri, maka akan diadili oleh Pengadilan HAM (di Indonesia bernama Pengadilan ad hoc HAM berdasarkan  UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta  PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat). Bila tindak pidana teror itu dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya yang melanggar international criminal law, walaupun ini erat bersinggungan dengan masalah kedaulatan negara  maka idealnya diselesaikan pada Pengadilan internasional. Perlu diingat untuk tindak pidana teror oleh  suatu negara terhadap negara lainnya, bila melibatkan negara-negara kecil, pengadilan Internasional masih mungkin untuk dilakukan, tetapi  bila melibatkan negara besar terhadap negara kecil, akan sulit dilakukan.
Sehingga seharusnya alternatif Kebijakan Legislasi dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yang seharusnya bisa dilakukan adalah:
1.   Karena  terorisme  merupakan  rangkaian  tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan anti-terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukan dalam satu peraturan.
2. Mengefektifkan ketentuan hukum yang ada dan terpencar dalam UU, dengan  mengintegrasikannya ke dalam  kerangka hukum yang komprehensif.
3.      Melakukan aksesi dan atau ratifikasi berbagai ketentuan internasional tentang terorisme
4.   Kerangka hukum di atas harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan: pengawasan perbatasan (darat, laut dan udara), keamanan transportasi, bea-cukai, keimigrasian, money laundering, basis rekrutmen dan pelatihan (milisi dan latihan-latihan militer ilegal), keuangan, bahan peledak, bahan kimia, dan persenjataan, serta perlindungan terhadap keselamatan masyarakat.
5.   Mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum secara non-diskriminatif, selalu menghormati dan melindungi HAM yang non-derogable  rights.





[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 29
[2] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, Terj: Imron AM, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990, hlm. 92
[3] Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2010, hlm 142
[4] Di dalam ketentuan Pasal 7 KUHAP menyatakan bahwa Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2) Melakukan tindakan pertama saat di tempat kejadian; 3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tandsa pengenal diri tersangka; 4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5) Mengadakan penghentian penyidikan; dll. Ibid, hlm. 173-174
[5] Adapun Penuntut Umum berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP mempunyai wewenang: 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) Mengadakan pra penuntutan; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan; 4) Membuat surat dakwaan; 5) Melakukan penuntutan dan melimpahkan perkara ke pengadilan; dll. Ibid, hlm. 175-176. 69 Muhammad Salam Madkur, op.cit, hlm. 143. 70[6] Muhammad Salam Madkur, op.cit, hlm. 143
[7] Lihat Bambang Waluyo, S.H., M.H., Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 53
[8] Muhammad Salam Madkur, op.cit., hlm. 158
[9] Lebih jelasnya lihat di Hari Sasangka, et al, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 14-17
[10] Lebih jelasnya lihat di Hari Sasangka, et al, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 14-17
[11] Mohd. Said Ishak, Hudud dalam Fiqh Islam, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia, 2003, hlm. 70-71
[12] Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 111
[13]  Pengertian tersebut tertuang dalam pasal 104 dan 107 KUHP, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua pasal tersebut. Lihat Muhammad Amin Suma, et al, op.cit, hlm 73-74. 77 KUHP dan KUHAP, op.cit., hlm. 36. 81
[14] Ibid. 82
[15] op.cit., hlm. 171-172.
[16]Bayu Dwiwiddy Jatmiko, “ Periodisasi Pengaturan Kejahatan Keamanan Negara di Indonesia” 2015

»»  Baca Selengkapnya...