Sabtu, 22 Maret 2014

ANALISIS KONSEP KOALISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA


ANALISIS KONSEP KOALISI DALAM  SISTEM  PEMERINTAHAN
DI INDONESIA

Dipetakan oleh Turiman Fachturahman Nur dari Berbagai Tulisan

Prolog
              Jika kita memahami konsep koalisi adalah dimaksudkan sebagai  persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai sedangkan oposisi koalisi adalah sebuah oposisi yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.
              Berdasarkan pengertian di atas, maka salah satu konsep koalisi dikaitakan dengan Sistem Pemerintahan, oleh karena itu untuk memahami konsep koalisi dalam sistem pemerintahan, perlu dipaparkan dua sistem pemerintahan, yakni sistem presidensial dan sistem parlementer berikut ini

1.Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer.
Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
1.      Sistem Pemerintahan Presidensil
2.      Sistem Pemerintahan Parlementer
          Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensil dan sistem parlementer.

2.Sistem Pemerintahan Presidensil
Sistem pemerintahan presidensil ini bertitik tolak dari konsep pemisahan sebagaimana dianjurkan oleh teori Trias Politika. Sistem ini menghendaki pemisahan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan legislatif. Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensil: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina.

a.   Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensil
1.  Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (pemerintahan).
2.   Presiden dan Parlemen   masing-masing    dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Jadi tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan komposisi meyoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen.
3.   Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilihan umu, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer.
4.      Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jika Presiden malakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
5.    Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Di sini Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberi persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden.
6.      Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.

b.      Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensil
1.      Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
2.   Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
3.      Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
4.      Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

    c.       Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensil
1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
2.    Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
3.    Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

  2. Sistem Pemerintahan Parlementer
Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem Monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkakan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Menteri (Perdana Menteri). Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

 a.   Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer
1.      Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling ketergantungansatu sama lain
2.    Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibnetuk oleh parlemen dari partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas di parlemen.
3.  Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan.
4.      Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan ataupun menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik dibidangnya masing-masing ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterima oleh parlemen.


    b.   Kelebihan sistem pemerintahan parlementer
1.   Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
2.       Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
3.  Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

  c.    Kekurangan sistem pemerintahan parlementer
Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
2.   Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
3.   Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
4.        Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya

          Berdasarkan ciri-ciri kedua sistem pemerintahan di atas tidak ada yang menyatakan tentang konsep koalisi dalam kedua sistem pemerintahan di atas. Oleh karena itu untuk memberikan pemahaman tentang apa sebenarnya konsep koalisi dalam penyelenggaraan pemerintahan berikut dilampirkan beberapa tulisan tentang analisis yang berkaitan dengan konsep koalisi dalam sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia berikut ini.

              

PROBLEMATIKA PRAKTIK KOALISI DALAM SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DIKAITKAN DENGAN PENATAAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF


                                                                          Oleh:
FRISTIAN HUMALANGGI, WINA PUSPITASARI, ALVENRA MULY

FRISTIAN SHAMSAPÉÈL GRIEC HUMALANGGI's weblog

5 Mei 2012

 

ABSTRAK
Perubahan Undang-Undang  Dasar pasca reformasi didasari komitmen untuk mempertegas sistem presidensial. Sebaliknya, sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu proportional representation saat ini mendorong partai untuk membentuk koalisi yang justru memperlemah sistem presidensial itu sendiri. Koalisi merupakan salah satu pranata sistem parlementer yang berekses negatif terhadap jalannya pemerintahan. Praktik koalisi di Indonesia yang dibentuk sebelum pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden didominasi transaksi politik mengenai pembagian jabatan pemerintahan tanpa disertai perumusan platform bersama. Kenyataannya, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk memahami praktik koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia dihubungkan dengan sistem pemilu dan sistem kepartaian Indonesia sekaligus merumuskan mekanisme restrukturisasi praktik politik dalam rangka penataan hubungan eksekutif dan legislatif.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif yang menitikberatkan penelitian terhadap data kepustakaan atau data sekunder. Selain metode tersebut, tulisan ini juga menggunakan metode perbandingan hukum tata negara untuk membandingkan Sistem Presidensial Amerika Serikat dengan Sistem Presidensial Indonesia. Selanjutnya, berbagai data tersebut dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik koalisi di Indonesia yang didorong oleh sistem multipartai dan sistem proportional representation justru memperlemah sistem presidensial dan mengganggu hubungan eksekutif dan legislatif.  Untuk menghindari pembentukan koalisi tersebut, penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia perlu dilakukan. Penataan tersebut dilakukan dengan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu melalui peningkatan electoral threshold dan parliamentary threshold yang dikombinasikan dengan sistem distrik. Sistem ini mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan  setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Apabila pembentukan koalisi tidak dapat dihindari melalui mekanisme ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan tersebut meliputi: pertama, pembentukan koalisi harus dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; kedua, pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; ketiga, pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia. Saran yang diajukan yaitu: pertama, desain ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem presidensial dan harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, kedua, apabila hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan dengan cara melakukan perubahan secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan harus dikembangkan guna menguatkan sistem presidensial di Indonesia
Kata Kunci: koalisi, sistem presidensial, sistem multipartai, sistem proportional representation.

© Copyright  FRISTIAN HUMALANGGI, WINA PUSPITASARI, ALVENRA MULY

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perdebatan mengenai sistem pemerintahan bukanlah mengenai sistem mana yang lebih baik, melainkan mengenai pilihan mana yang lebih tepat bagi suatu negara berdasarkan struktur sosial, budaya politik dan sejarahnya,[1] karena setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara historis, Indonesia pernah gagal menerapkan sistem parlementer.[2] Pasca Reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mempertegas sistem presidensial sebagai dasar penyelenggaraan negara. Namun, sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia saat ini justru memperlemah sistem presidensial itu sendiri. Sistem kepartaian Indonesia, yakni multipartai, menyebabkan fragmentasi yang luas. Demikian pula sistem Pemilu Indonesia, yakni proportional representation, tidak mungkin menghasilkan majority government.[3] Keadaan inilah yang mendorong partai politik untuk membentuk koalisi. Padahal koalisi adalah salah satu pranata sistem parlementer yang berekses negatif terhadap jalannya pemerintahan.
Scott Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi jika dibentuk dalam sistem presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga,  secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[4]
Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan  platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini hendak menganalisis praktik koalisi dalam Sistem Presidensial Indonesia dikaitkan dengan sistem pemilu dan kepartaian yang diterapkan saat ini dengan memperhatikan berbagai aspek lainnya dalam rangka penataan hubungan eksekutif dan legislatif.

B.     Identifikasi Masalah
  1. Bagaimana praktik koalisi dalam Sistem Presidensial di Indonesia dikaitkan dengan sistem pemilu dan sistem kepartaian Indonesia?
  2. Bagaimana merestrukturisasi praktik politik dalam rangka penataan hubungan eksekutif dan legislatif di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
  1. Memahami praktik koalisi dalam Sistem Presidensial di Indonesia dihubungkan dengan sistem pemilu dan sistem kepartaian Indonesia.
  2. Merumuskan mekanisme restrukturisasi praktik politik dalam rangka penataan hubungan eksekutif dan legislatif di Indonesia.

D.    Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, diharapkan tulisan ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu hukum tata negara dan ilmu politik, khususnya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilihan umum. Secara praktis, diharapkan tulisan ini dapat memberikan masukan dan saran kepada para pelaku politik mengenai langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk merestrukturisasi praktik politik terkait penataan hubungan eksekutif dan legislatif dalam rangka penguatan Sistem Presidensial di Indonesia.


BAB II
TINJAUAN TEORETIS SISTEM PEMERINTAHAN, SISTEM KEPARTAIAN, SISTEM PEMILIHAN UMUM SERTA SISTEM PEMERINTAHAN AMERIKA SERIKAT

A.    Sistem Pemerintahan 
               Menurut Prof. Bagir Manan, sistem pemerintahan merupakan suatu pengertian yang berkaitan dengan tata cara pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam suatu tatanan negara demokrasi.[5] Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.[6] Menurut Prof. Mahfud M.D., sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.[7]  Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem presidensial (presidential system), sistem parlementer (parliamentary system), dan sistem campuran (mixed system atau hybrid system) yang mengandung unsur  dua sistem pemerintahan (presidensial dan perlementer).[8]


Sistem Parlementer
            Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang bernama parlemen.[9] Kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presiden, ataupun sebutan lain yang sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai di negara bersangkutan, sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut perdana menteri (prime minister).[10]  Fungsi perdana menteri dalam kegiatan pemerintahan adalah menjalankan kekuasaan tata usaha negara dalam lingkungan jabatan eksekutif sedangkan fungsi presiden sebagai kepala negara hanya bersifat simbolik dalam organisasi negara.[11] C.F. Strong, membedakan kedua jabatan tersebut yakni kepala negara disebut sebagai nominal executive, sedangkan kepala pemerintahan disebut sebagai real executive.[12]
            Ciri sistem  parlementer menurut Prof. Bagir Manan yakni adanya dua kelembagaan eksekutif, yaitu yang menjalankan dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintah dan eksekutif yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan.[13]  Eksekutif pertama ada di tangan kabinet atau dewan menteri sedangkan eksekutif kedua adalah kepala negara yaitu raja bagi kerajaan dan presiden bagi republik.[14] Kabinet atau dewan menteri bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.[15] Maksud bertanggung jawab yakni eksekutif dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh badan perwakilan rakyat.[16]
Douglas V. Verney yang dikutip oleh Prof. Jimly Asshidiqie dalam Buku “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, mengemukakan sejumlah prinsip pokok yang dipraktikan dalam sistem parlementer antara lain: hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan; fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian,  sebagaimana yang diistilahkan oleh C.F. Strong yaitu real executive dan nominal executive; kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara, kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif, menteri adalah atau biasanya adalah anggota parlemen;  pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen karena  pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui parlemen, kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen, dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan, serta kekuasaan negara terpusat pada parlemen.[17]
Benjamin Reilly mengemukakan beberapa kelebihan sistem parlementer, antara lain:[18]
  1. Ability to facilitate the inclusion of all groups within the legislature and the executive (kemampuan untuk memfasilitasi masuknya kelompok-kelompok ke dalam badan legislatif dan eksekutif). Kabinet dalam sistem parlementer biasanya dipilih dari anggota badan legislatif sehingga kabinet merupakan koalisi dari beberapa partai yang berbeda.
  2. Flexibility and capacity to adapt to changing circumtances (fleksibilitas dan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan keadaan). Parlemen dapat memberhentikan eksekutif dari jabatannya sehingga lebih fleksibel dan mudah menyesuaikan dengan keadaan.
  3. Check and balances  (saling mengawasi dan mengimbangi). Dengan membuat eksekutif bergantung pada parlemen maka akuntabilitas eksekutif lebih terkontrol.
Benjamin Reilly juga mengemukakan beberapa kelemahan sistem parlementer, antara lain:[19]
  1. Tendency towards ponderous or immobile decision-making (pengambilan keputusan cenderung lambat atau sulit). Koalisi yang dibentuk dalam sistem parlementer menyebabkan eksekutif lebih mudah mengalami deadlock karena ketidakmampuan partai-partai anggota koalisi mencapai kesepakatan mengenai isu-isu tertentu.
  2. Lack of accountability and discipline (kurangnya akuntabilitas dan kedisiplinan). Karena koalisi dibentuk dari partai-partai yang berbeda, maka sulit bagi pemilih untuk menilai kinerja pemerintahan dan menentukan siapa yang bertanggungjawab atas suatu keputusan tertentu.
  3. Propensity towards weak or fragmanted government (pemerintahan cenderung lemah atau terfragmentasi). Dalam situasi yang terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil, serta melemahkan keberlanjutan dan arah kebijakan publik.

Sistem Presidensial
Karakteristik sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa jabatan tertentu, dan presiden memegang sekaligus jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan.[20]Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing.[21]  Kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggung jawab secara individual kepada presiden.[22]
Douglas V. Verney mengemukakan beberapa prinsip pokok yang bersifat universal dalam sistem presidensial, antara lain: terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan eksekutif tunggal; kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi, yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja; kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan; presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan sebaliknya; presiden tidak dapat membubarkan dan memaksa parlemen; jika dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Oleh karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi, eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang berdaulat, dan kekuasaan tersebar serta tidak terpusat.[23]
Douglas V. Varney mengemukakan pula kelebihan-kelebihan sistem presidensial, antara lain:[24]
  1. Executive stability. Stabilitas eksekutif didasarkan  atas masa jabatan presiden yang tertentu  (president’s fixed terms of office). Hal ini bertolak belakang dengan instabilitas eksekutif dalam sistem pemerintahan parlementer yang disebabkan oleh seringnya penggunaan kekuasaan legislatif untuk menumbangkan kabinet melalui mosi tidak percaya atau melalui bentuk-bentuk mosi tidak percaya lainnya, sebagai hasil dari hilangnya dukungan di legislatif terhadap kabinet.
  2. Popular election of the chief of the executive can be regarded as more democratic than indirect ‘election’- formal or informal- of the executive in parliamentary system. Pemilihan oleh rakyat dipandang sebagai sesuatu yang lebih demokratis dibandingkan dengan pemilihan eksekutif yang dilaksanakan secara tidak langsung dalam sistem parlementer. Demokrasi tidak mewajibkan popular election untuk semua pejabat publik, tetapi kepala pemerintahan adalah seseorang yang sangat penting dan sebagai  office-holders yang kuat dalam demokrasi. 
  3. Separation of powers means limited government-an indispensable protection of individual liberty against government ‘tyranny’. Pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi dalam rangka melindungi kemerdekaan individu dari tirani pemerintahan.

Douglas V. Varney juga mengemukakan beberapa kelemahan sistem presidensial,  antara lain:[25]
  1. The problem of executive-legislative conflict, which may turn into ‘deadlock’ and ‘paralysis’. Masalah yang muncul dari konflik legislatif-eksekutif yang dapat mengarah pada terjadinya deadlock dan paralysis. Apabila terjadi  perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif, tidak ada metode institutional untuk menyelesaikan persoalan ini.  Menurut Arend Lijphart, hal ini dapat dihindari dengan tetap memisahkan kedua cabang kekuasaan tersebut tapi tidak membuat keduanya seimbang. Dengan kata lain, dilakukan dengan meningkatkan kekuasaan presiden dibanding kekuasaan legislatif  atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan bagi sistem pemerintahan yang lebih aktif dan efektif.
  2. Temporal rigidity. Kekakuan sementara ini disebabkan oleh president’s fixed term in office, sehingga segala sesuatunya menjadi rigid, spesifik, terjadwal dan tidak adanya revolutionary reserve.
  3. Presidential Government operates on the basis of the winner-take-all rule. Dalam pemilihan presiden, hanya satu kandidat dan satu partai saja  yang menang dan yang lainnya kalah. Apalagi dengan terpusatnya kekuasaan di tangan presiden tidak akan mendorong pembentukan koalisi atau cara pembagian kekuasaan lain atau setidaknya melakukan negosiasi dengan pihak oposisi dalam pengambilan kebijakan.

B.     Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilihan Umum

Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menunjuk kepada perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu.[26] Maurice Duverger membagi sistem kepartaian dalam tiga bentuk, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai dan sistem multipartai.[27]

Sistem Partai Tunggal
Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa sistem satu partai merupakan sistem kepartaian dimana dalam suatu negara hanya ada satu partai politik yang menjalankan peranan menentukan, baik yang dengan tegas diakui dalam undang-undang dasarnya sebagai satu-satunya partai politik yang boleh ada, maupun yang karena faktor-faktor tertentu hanya ada satu partai politik saja.[28] Lebih lanjut Prof. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa istilah sistem partai tunggal dipakai untuk partai yang merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.[29]
Dalam negara yang menganut sistem satu partai, segala kegiatan yang dilakukan dan hendak dilakukan oleh pemerintah pada umumnya merupakan pelaksanaan suatu paham politik dan program partai politik. Oleh karena itu, tidak ada ruang bagi golongan oposisi secara formal. Di samping itu, sistem ini berlaku dan dianut karena adanya keperluan akan diktator.[30]\



Sistem Dwi Partai
Sistem dwi partai diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran sehingga memiliki kedudukan yang dominan.[31]  Prof. Sri Soemantri menambahkan bahwa di antara dua partai politik tersebut, ada satu partai politik yang menguasai suara terbanyak mutlak di parlemen.[32] Pada umumnya, sistem dwi partai muncul karena dilaksanakannya sistem pemilihan umum distrik.[33]
Sistem dwi partai pada kenyataannya dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu: komposisi masyarakat yang homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah.[34]

Sistem Multipartai (Sistem Banyak Partai)
Sistem multipartai adalah sistem kepartaian dimana dalam negara terdapat bermacam-macam partai politik yang mempunyai wakil dalam parlemen dimana tidak ada satu partai politik pun yang menguasai suara mayoritas di dalamnya.[35] Pada umumnya, keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multipartai.[36] Perbedaan-perbedaan yang meliputi perbedaan ras, agama atau suku bangsa mendorong kelompok masyarakat untuk cenderung menyalurkannya dalam suatu wadah tertentu. Dengan demikian, sistem multipartai dianggap lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dalam suatu negara.[37]

Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum pada pokoknya berkisar pada dua prinsip, yaitu:[38]
  1. Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil)[39] Sistem ini disebut juga sistem distrik. Keuntungan menjalankan sistem distrik, antara lain:[40]
    1. Mendorong partai-partai untuk berintegrasi karena kursi yang  diperebutkan dalam satu distrik hanya satu;
    2. Mendorong penyederhanaan partai secara alami;
    3. Wakil yang terpilih dalam suatu distrik dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubungan dengan konstituen menjadi lebih erat;
    4. Menguntungkan bagi partai besar karena melalui efek distorsi dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain sehingga memperoleh kedudukan mayoritas dan dapat mengendalikan parlemen;
    5. Memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di parlemen sehingga tidak perlu melakukan koalisi dengan partai lain;
    6. Sederhana dan murah penyelenggaraannya.
Di samping itu, sistem ini juga memiliki sejumlah kekurangan, antara lain:[41]
  1. Kurang memperhatikan kepentingan partai kecil (golongan minoritas), apalagi jika partai ini tersebar dalam berbagai distrik;
  2. Dianggap tidak adil bagi partai dan golongan yang kalah karena suara yang telah diperoleh tidak diperhitungkan sama sekali dan terbuang sia-sia;
  3. Kurang efektif dalam masyarakat plural yang terdiri atas kelompok etnis, agama dan budaya yang berbeda;
  4. Kecenderungan wakil yang terpilih lebih memperhatikan kepentingan distrik daripada kepentingan nasional.
2. Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa  wakil). Sistem ini biasanya disebut sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional.[42]
Dalam sistem proporsional, satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Satu wilayah dianggap satu kesatuan dimana jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh kontestan secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu. Keuntungan dari penggunaan sistem ini antara lain:[43]
  1. Lebih representatif karena jumlah kursi partai di parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum;
  2. Dianggap lebih demokratis karena praktis tidak ada distorsi. Semua partai atau golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Rasa keadilan masyarakat lebih terpenuhi.
Sedangkan kelemahan dari sistem proporsional sebagai berikut:[44]
  1. Kurang mendorong partai untuk berintegrasi dan cenderung mempertajam perbedaan sehingga berakibat bertambahnya jumlah partai;
  2. Mempermudah fragmentasi partai yang berujung pada perpecahan dengan mendirikan partai baru untuk memperoleh kursi di parlemen;
  3. Memberikan kedudukan kuat kepada pemimpin partai untuk menentukan daftar calon;
  4. Ikatan wakil terpilih dengan konstituennya kemungkinan renggang karena wilayah pemilihan yang besar dan besarnya campur tangan partai dalam pemenangan mendorong wakil terpilih untuk memerhatikan masalah-masalah umum daripada masalah-masalah daerah pemilihannya;
  5. Sulit bagi suatu partai untuk memperoleh posisi mayoritas di parlemen yang diperlukan untuk mendukung pemerintah. Hal ini mendorong dibentuknya koalisi dan berisiko terhadap stabilitas hubungan eksekutif dan legislatif.

C.    Sistem Presidensial Amerika Serikat
Secara historis, sistem pemerintahan Amerika Serikat merupakan contoh terpenting sistem presidensial dan merupakan standar perbandingan di dunia.[45] Negara ini menerapkan sistem presidensial yang tegas.[46] Konstitusi Amerika Serikat mengatur pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Badan Legislatif (Kongres) dan  Chief Executive (Presiden) merupakan separate and largely independent branches pemerintahan. Kedua cabang kekuasaan tersebut memiliki kewenangan masing-masing yang diberikan oleh konstitusi.[47] Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif melainkan melalui pemilu (national election) oleh seluruh rakyat yang menentukan pilihannya melalui Electoral College.[48] Dengan demikian, presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif melainkan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat.[49]
Selain sebagai kepala negara, presiden juga merupakan kepala pemerintahan. Presiden dan pejabat eksekutif lainnya tidak boleh menjadi anggota badan legistatif pada saat bersamaan. Negara ini konsisten dengan sistem dua partai (two-party system)[50] yang artinya ada dua partai yang mendominasi kekuasaan eksekutif dan legislatif meskipun ada pula partai-partai lainnya. Ditambah lagi dengan sistem single member majoritarian congressional districts[51] yang semakin menutup kemungkinan bagi partai-partai lain tersebut untuk ikut serta dalam pencalonan presiden. Pemilihan presiden dan kongres dilaksanakan secara terpisah dan independen maka partai pemenang dalam pemilihan kongres tidak berarti menjadi pemenang pula dalam pemilihan presiden. Dengan demikian,  presiden dan pejabat eksekutif lainnya bisa saja berasal dari satu partai sedangkan partai pemenang dalam pemilu kongres dapat saja menjadi partai oposisi.[52]
 
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan penelitian ini, metode-metode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
A.    Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode yang menitikberatkan penelitian pada data kepustakaan atau disebut dengan data sekunder. Metode pendekatan ini menekankan pada ilmu hukum dengan berpegangan pada segi-segi yuridis. Selain metode tersebut, tulisan ini juga menggunakan metode perbandingan hukum tata negara untuk membandingkan Sistem Presidensial Amerika Serikat dengan Sistem Presidensial Indonesia. Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kedua negara ini dijadikan pembanding untuk merumuskan kombinasi yang tepat antara sistem pemerintahan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian di Indonesia guna menata relasi eksekutif dan legislatif dalam rangka penguatan Sistem Presidensial Indonesia.

B.     Spesifikasi Penelitian
Pemaparan permasalahan yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis yaitu memberikan gambaran mengenai fakta-fakta dan permasalahan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, United  States Constitution, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

C.    Tahapan Penelitian
 Adapun tahapan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengkaji data sekunder. Data sekunder  yaitu data yang telah tersaji dan telah diolah yang terdiri dari:
  1. Bahan-bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang masih menjadi hukum positif yaitu: UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, United States Constitution, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
  2. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang berupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum.
  3. Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum lain yang menjelaskan lebih lanjut bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.

D.    Teknik Pengumpulan Data
               Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menitikberatkan pengumpulan data dengan cara membaca, mencatat, mengutip data dari buku-buku, peraturan perundang-undangan serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan dalam penulisan ini.


E.     Metode Analisis Data
              Penarikan simpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif  yang bertitiktolak dari norma-norma, asas-asas, dan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

BAB IV
ANALISIS TERHADAP PRAKTIK KOALISI DALAM SISTEM PRESIDENSIAL  INDONESIA DIKAITKAN DENGAN RESTRUKTURISASI PRAKTIK POLITIK DALAM RANGKA PENATAAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF

 A.    Praktik Koalisi dalam Sistem Presidensial di Indonesia Dihubungkan dengan Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilihan Umum Indonesia
            Sistem kepartaian berkaitan dengan perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu.[53] Prof. Bagir Manan menyatakan bahwa dalam suatu tatanan pemerintahan yang demokratis, hubungan timbal balik antara infrastruktur dan suprastruktur politik mempunyai peranan strategis.[54]  Infrastruktur utama yang berperan dalam sistem pemerintahan adalah sistem kepartaian.[55] Sistem kepartaian menunjuk pada keanggotaaan partai di parlemen[56] yang turut mempengaruhi fragmentasi politik di pemerintahan. Dengan demikian, semakin banyak jumlah partai politik maka semakin luas pula fragmentasi politik yang terjadi.
            Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority government.[57] Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Prof. Bagir Manan mengartikan koalisi sebagai sistem eksekutif yang disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang mempunyai wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislatif.[58]
            Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, disyaratkan pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.[59] Akibatnya, koalisi menjadi satu-satunya pilihan bagi partai politik yang tidak memenuhi persyaratan tersebut untuk  mengusulkan pasangan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan demikian,  sistem kepartaian  dan sistem pemilu Indonesia yang diterapkan saat ini mendorong pembentukan koalisi.
            Dalam Pemilu 2009 lalu, Partai Demokrat meraih suara nasional 21.703.137 (20,85) dan memperoleh 148 kursi DPR atau 26,43 persen dari keseluruhan kursi parlemen yang berjumlah 560 kursi.[60] Meskipun demikian, Partai Demokrat memilih untuk berkoalisi dengan partai politik lainnya untuk mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden. Dengan membentuk koalisi, Partai Demokrat menggalang kekuatan partai politik lainnya untuk memperoleh dukungan mayoritas dalam Pilpres. Hal inilah yang menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyusun sistem eksekutif berdasarkan komposisi parpol yang mengusungnya.
            Secara teoretis,  koalisi merupakan salah satu pranata yang dikenal dalam sistem parlementer. Dalam praktiknya, terkadang pranata ini berakibat negatif terhadap jalannya pemerintahan. Benjamin Reilly[61] dari Australian National University menyebutkan beberapa kelemahan koalisi. Pertamatendency towards ponderous or immobile decision-making karena lebih mudah mengalami executive deadlock  yang disebabkan oleh ketidakmampuan partai-partai koalisi untuk mencapai kesepakatan mengenai isu-isu tertentu. Kedua, lack of accountability and discipline karena sulit bagi para pemilih untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu keputusan dan menilai kinerja pemerintahan. Ketiga, propensity towards weak or fragmanted government  karena dalam situasi yang terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil sehingga melemahkan keberlanjutan dan arah kebijakan publik.
              David Altman dalam “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999”, mengemukakan bahwa ‘coalitions are not institutionally necessary’ dalam sistem presidensial karena tidak kondusif terhadap ‘political cooperation’.[62]  Selain itu, Scott Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi dalam sistem presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga,  secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[63]Oleh karena itu,  pembentukan koalisi dalam sistem presidensial lebih problematik dibanding dalam sistem parlementer.[64]
             Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan  platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, kasus Bank Century[65] yang menunjukkan lemahnya komitmen partai-partai yang menjadi mitra koalisi.


B.     Restrukturisasi Praktik Politik dalam Rangka Penataan Hubungan Eksekutif dan Legislatif
      Sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya diperoleh suara mayoritas di parlemen dan majority government[66] sehingga mendorong terbentuknya koalisi. Untuk menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif dan legislatif, maka penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia perlu dilakukan.
            Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat menerapkan sistem presidensial secara tegas[67] dan konsisten dengan sistem dua partai (two-party system)[68]. Artinya,  ada dua partai berbeda yang mendominasi cabang kekuasaan eksekutif di satu sisi, dan cabang kekuasaan legislatif di sisi lainnya. Selain itu, sistem single member majoritarian congressional districts[69] yang diterapkan negara ini semakin menutup kemungkinan bagi partai-partai lain untuk ikut serta dalam pencalonan presiden. Pemilihan Presiden dan Kongres dilaksanakan secara terpisah sehingga partai pemenang dalam pemilihan kongres tidak serta-merta menjadi pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan demikian, presiden dan pejabat eksekutif lainnya bisa saja berasal dari satu partai sedangkan partai pemenang dalam pemilu kongres dapat saja menjadi partai oposisi.[70] Kombinasi antara sistem dua partai (two-party system) dan single member majoritarian congressional districts terbukti menghindarkan fragmentasi yang luas serta memungkinkan untuk menghasilkan majority government sehingga tidak perlu membentuk koalisi.
            Dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang plural, maka keanekaragaman budaya politik mendorong ke arah multipartai[71] sehingga sulit  menerapkan sistem dua partai seperti di Amerika Serikat.  Sistem banyak partai ini menyebabkan fragmentasi kekuatan parpol semakin luas. Untuk menghindari terjadinya fragmentasi yang luas tersebut,  maka perlu diadakan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu. Penyederhanaan dapat dilakukan dengan meningkatkan ambang batas (electoral threshold) untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu dan parliamentary threshold  untuk membatasi  jumlah partai yang memperoleh kursi di badan legislatif. Perlu ditegaskan bahwa penyederhanaan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah dijamin dalam konstitusi, melainkan dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai. Oleh karena itu, peningkatan ambang batas ini harus diatur dalam undang-undang. Hal ini dikarenakan penerapan prinsip ambang batas dipandang membatasi keikutsertaan individu dalam pemerintahan. Pada prinsipnya, hanya rakyatlah yang dapat melakukan pembatasan tersebut.
            Selain sistem kepartaian, sistem pemilu yang dianut  oleh Indonesia saat ini  yaitu proportional representation tidak mungkin menghasilkan majority government.[72] Sebagaimana dikemukakan oleh Jean Blondel  bahwa proportional representation kurang mendorong partai untuk berintegrasi dan memperluas fragmentasi sehingga berujung pada perpecahan yang menyebabkan bertambahnya jumlah partai.[73]  Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka penulis berpendapat bahwa sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik atau dikenal pula dengan istilah single-member constituency. Sistem ini mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di parlemen.[74]
            Pada hakikatnya, sistem distrik yang diterapkan dalam sistem multipartai dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Bahkan, penerapan sistem ini di Amerika Serikat menghasilkan dua partai dominan yang menghindarkan negara ini dari praktik koalisi. Apabila sistem distrik ini diterapkan di Indonesia, setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
            Konsekuensi logis dari pilihan mempertahankan praktik koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam praktik koalisi tersebut. Pada akhirnya, perbaikan tersebut akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, pembentukan koalisi dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal untuk menghindari terjadinya inkoherensi paradigma bernegara, inkoherensi sistem politik dan pemerintahan, dan inkoherensi tingkah laku kekuasaan berdemokrasi antar partai koalisi.[75] Tahapan negosiasi formal ini merupakan landasan penting untuk menetapkan komitmen dan konsistensi partai politik dalam rangka menjaga keberlangsungan koalisi. Dalam tahapan ini, partai politik yang akan membentuk koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Untuk menentukan calon tersebut, dapat didasarkan pada hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon. Dengan demikian, partai politik anggota koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.
Kedua, pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat. Pembentukan platform ini didasari oleh kesamaan ideologi partai politik bersangkutan. Artinya, partai-partai yang mempunyai kesamaan ideologi saja yang dapat menjadi mitra koalisi. Selain itu, platform yang telah disepakati tersebut harus dideklarasikan kepada rakyat secara layak sehingga rakyat turut mengawal jalannya koalisi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat, koalisi tersebut harus menyampaikan pencapaian-pencapainnya selama masa pemerintahan.
Ketiga, pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.  Etika politik tersebut terefleksi dalam perilaku para pelaku politik. Oleh karena itu, diperlukan usaha        sungguh-sungguh dari para pelaku politik untuk tidak terjebak dalam pragmatisme yang hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dengan meninggalkan nilai-nilai dasar demokrasi dan kemanusiaan, serta tidak melemahkan sistem presidensial yang dilembagakan secara hukum melalui lembaga-lembaga kenegaraan.[76]
   
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Sistem multipartai menyebabkan fragmentasi luas dalam struktur politik Indonesia. Selain itu, sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia menyebabkan sulitnya membentuk majority government. Kombinasi antara kedua sistem tersebut mendorong terbentuknya koalisi dalam pemerintahan. Koalisi yang dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden didominasi oleh transaksi politik mengenai pengisian jabatan di eksekutif tanpa disertai perumusan platform bersama yang melemahkan hak prerogatif  Presiden. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Dengan demikian, praktik koalisi di Indonesia melemahkan sistem presidensial.
  2. Praktik politik yang diwarnai oleh praktik koalisi menyebabkan ketidakstabilan hubungan eksekutif dan legislatif karena anggota badan legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Untuk menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif dan legislatif, perlu diadakan penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia. Penataan sistem kepartaian dilakukan dengan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu yaitu dengan meningkatkan electoral threshold dan parliamentary threshold. Selain sistem kepartaian, sistem proportional representation yang dianut oleh Indonesia tidak mungkin menghasilkan majority government dan kurang mendorong partai untuk berintegrasi sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah partai.  Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik yang mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan  setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan tersebut meliputi: pembentukan koalisi harus dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; dan pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.
B.     Saran
  1. Desain ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem presidensial. Komitmen mempertegas sistem presidensial sebagai landasan kehidupan bernegara harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, termasuk segala akibat pemilihan sistem tersebut. Dengan demikian, segala pranata atau instrumen yang memperlemah sistem presidensial harus dihapuskan.
  2. Apabila hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan melalui perubahan secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang sehat harus dikembangkan guna memperkokoh pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia. Perubahan secara formal tersebut dilakukan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya serta mengembangkan kebiasaan ketatanegaraan. Selain itu, praktik politik perlu didukung oleh tingkah laku politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Para pelaku politik harus mampu memahami hakikat penyelenggaraan negara sehingga kepentingan pribadi ataupun golongan tidak lagi mendominasi hubungan eksekutif-legislatif.

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku 
Arend Lijphart, 1992, Parliamentary versus Presidential Government, Oxford University Press.
Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta.
___________, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

­­­­­___________, 2001, Teori Politik dan Konstitusi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
E.Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta.
Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,  Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
John M. Echols dan Hasan Shadily, 2006, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama Indonesia, Jakarta.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009, Bunga Rampai: Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial RI, Jakarta.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
Sri Soemantri, 1969, Partai Politik, Sistim Kepartaian dan Sistim Pemilihan Umum di Indonesia, Jajasan Pendidikan Bunda, Bandung.
B.     Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
United States Constitution (Konstitusi Amerika Serikat)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
C.    Artikel
Almon Leroy Way, Jr., “The American System of Government: Politics & Government in the U.S.A”, http://www.proconservative.net/CUNAPolSci201PartThreeB2.shtml.
Anton Paraptono, “Sistem Pemerintahan”, www.unisosdem.org.
Arbi Sanit, Inkoherensi Reformasi Ketatanegaraan disampaikan pada Seminar Nasional dan Mimbar Bebas yang diselenggarakan oleh BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, 1 Juni 2009.
Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral System”, http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
Richard Albert, “The Fusion of Presidentialism and Parliamentarism ”, http://ssrn.com/1424084.
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”, http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf.
Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, sofian.staff.ugm.ac.id.
UNDP, “Governing Systems and Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems)”, http://www.undp.org/governance/docs/parl-pub-govern.htm.
[1] Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral System”, http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.33 WIB.
[2] Sistem pemerintahan parlementer dijalankan di Indonesia sejak tanggal 14 November 1945 sampai 5 Juli 1959 ketika terbentuknya Kabinet II dibawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.  Sistem parlementer mendapatkan legalitasnya di dalam  pasal 118 (2)  Konstitusi RIS dan  pasal 83 (2) UUD Sementara 1950. Tidak stabilnya pemerintahan 1945-1959 merupakan salah satu indikasi gagalnya suatu sistem politik, ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama 14 tahun 17  kali ganti Kabinet. Lihat: http://blog.uad.ac.id/syam/files/2009/11/New-Microsoft-Pert-4-6.ppt.
[3] Jonathan Boston & Andrew Ladley, “Efficient Secrets: The Craft of Coalition Management” dalam Richard Albert, “The Fusion of Presidentialism and Parliamentarism ”, http://ssrn.com/1424084, diunduh 01/04/2010, 17.30 WIB.
[4] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”,  http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.44 WIB.
[5] Bagir Manan, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 250.
[6] Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,  Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 311.
[7] Anton Paraptono, “Sistem Pemerintahan”, www.unisosdem.org, diunduh 13/09/2009, 21.30 WIB.
[8] Jimly Assiddiqie, op.cit, hlm. 312.
[9] Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, sofian.staff.ugm.ac.id., diunduh 12/09/2009 ,  22.30 WIB.
[10] E.Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta, hlm. 314.
[11] Jimly Asshiddiqie, loc.cit, hlm. 312.
[12]Ibid.
[13] Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 15-17.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 315.
[18] Benjamin Reilly, op.cit.
[19] Ibid.
[20] Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 315.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Douglas V. Verney, “Parliamentary Government and Presidential Government” dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, 1992, Oxford University Press, hlm.11-15.
[25] Ibid, hlm.15-20.
[26] Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 415. 
[27] Maurice Duverger, Political Parties, dikutip dalam Sri Soemantri, 1969, Partai Politik, Sistim Kepartaian dan Sistim Pemilihan Umum di Indonesia, Jajasan Pendidikan Bunda, Bandung, hlm 37.
[28] Ibid.
[29] Lihat Miriam Budiardjo, loc.cit.
[30] Sri Soemantri, op. cit, hlm 51
[31] Lihat Miriam Budiardjo, op. cit, hlm 416.
[32] Sri Soemantri, op. cit, hlm 37.
[33] Dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab sistem pemilihan umum.
[34] Peter G.J. Pulzer, 1967, Political Representation and Elections in Britain, dalam  Miriam Budiardjo, 2008,  Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 417.
[35] Sri Soemantri, op. cit, hlm 37.
[36] Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 418.
[37] Ibid.
[38] Ibid,  hlm.  461-462.
[39] Jean Blondel, “Electoral Systems and the Influence of Electoral Systems on Party Systems” dalam Miriam Budiardjo, ibid.
[40] Ibid,  hlm. 466-467.
[41] Ibid, hlm. 467.
[42] Jean Blondel, “Electoral Systems and the Influence of Electoral Systems on Party Systems” dalam Miriam Budiardjo, ibid, hlm. 461-462.
[43] Ibid. hlm. 467.
[44] Ibid, hlm 469.
[45] Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America” dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart, 1992, Oxford University Press, hlm.113.
[46] UNDP, “Governing Systems and Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems)”, http://www.undp.org/governance/docs/parl-pub-govern.htm, diunduh 30/03/2010, 17.43 WIB.
[47] Almon Leroy Way, Jr., “The American System of Government: Politics & Government in the U.S.A”, http://www.proconservative.net/CUNAPolSci201PartThreeB2.shtml, diunduh April 02/04/2010, 17.34 WIB.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Scott Mainwaring, Presidentialism In …  dalam Arend Lyphart, op.cit., hlm.113.
[51] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy … ”, op.cit.
[52] Almon Leroy Way, Jr., op.cit.
[53] Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 415. 
[54] Susi Dwi Harijanti, “Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945: Memperkuat Presidensialisme” dalam  Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009, Bunga Rampai: Potret Penegakan Hukum di Indonesia, hlm. 100.
[55] Ibid.
[56] Ibid.
[57] Jonathan Boston & Andrew Ladley, op.cit.
[58] Susi Dwi Harijanti, op.cit., hlm. 93-94.
[59] Lihat Pasal 9 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[61] Benjamin Reilly, op.cit.
[62] Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”, http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/simalakama-koalisi-presidensial.html, diunduh 30/03/2010, 12.05 WIB.
[63] Ibid.  
[64] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy …”, op.cit.
[65] Kasus mengenai dana talangan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Century yang menjadi polemik hingga Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus ini. Dalam rapat paripurna DPR, beberapa partai mitra koalisi justru tidak mendukung Partai Demokrat.
[66] Jonathan Boston & Andrew Ladley, op.cit.
[67] UNDP, “Governing Systems and … ”, op.cit.
[68] Scott Mainwaring, Presidentialism In …, op.cit.hlm.113.
[69] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy … ”, op.cit.
[70] Almon Leroy Way, Jr., , op.cit.
[71] Lihat Miriam Budiarjo, op.cit., hlm. 415.
[72] Jonathan Boston & Andrew Ladley, op.cit.
[73] Jean Blondel, “Electoral Systems and the Influence of Electoral Systems on Party Systems” dalam Miriam Budiardjo, op.cit.  hlm 468.
[74] Ibid, hlm 466-467.
[75] Lihat: Arbi Sanit, Inkoherensi Reformasi Ketatanegaraan (makalah) disampaikan pada Seminar Nasional dan Mimbar Bebas yang diselenggarakan oleh BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, 1 Juni 2009.
[76] Susi Dwi Harijanti, op.cit. hlm. 102.

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
Arend Lijphart, 1992, Parliamentary versus Presidential Government, Oxford University Press.
Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta.
___________, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

­­­­­___________, 2001, Teori Politik dan Konstitusi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
E.Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta.
Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,  Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
John M. Echols dan Hasan Shadily, 2006, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama Indonesia, Jakarta.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009, Bunga Rampai: Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial RI, Jakarta.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
Sri Soemantri, 1969, Partai Politik, Sistim Kepartaian dan Sistim Pemilihan Umum di Indonesia, Jajasan Pendidikan Bunda, Bandung.

B.     Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
United States Constitution (Konstitusi Amerika Serikat)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
C.    Artikel
Almon Leroy Way, Jr., “The American System of Government: Politics & Government in the U.S.A”, http://www.proconservative.net/CUNAPolSci201PartThreeB2.shtml.
Anton Paraptono, “Sistem Pemerintahan”, www.unisosdem.org.
 Arbi Sanit, Inkoherensi Reformasi Ketatanegaraan disampaikan pada Seminar Nasional dan Mimbar Bebas yang diselenggarakan oleh BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, 1 Juni 2009.
Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral System”, http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
Richard Albert, “The Fusion of Presidentialism and Parliamentarism ”, http://ssrn.com/1424084.
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”, http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf.
Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, sofian.staff.ugm.ac.id.
UNDP, “Governing Systems and Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems)”, http://www.undp.org/governance/docs/parl-pub-govern.htm.

PROBLEMATIK KOALISI
DALAM SISTEM PRESIDENSIAL*

Oleh Saldi Isra
A. Pendahuluan
                Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial[1] Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem   majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009).[2] Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.
Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD 1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif, jumlah kursi terbesar diraih Partai Golkar dengan 127 kursi (23%) DPR (Rachman, 2007).[3] Sementara itu, dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan 69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah. Jika hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yang ada (Isra, 2004).[4] Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota, berdasarkan hasil rekapitulasi Litbang Kompas, SBY-JK menang di 339 (77%) dan Mega-Hasyim menang di 101 (23%) dari keseluruhan jumlah kabupeten/kota (Kompas, 07/10-2004).[5]
Meski SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden hanya menghasilkan minority government. Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga legislatif (Cheibub, 2002: 287).[6] Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY-JK (Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.[7] Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan (Isra, 2008).[8]
Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi (coalition) dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi SBY-JK (Isra, 2008).[9]
Berkaca dari pengalaman pemerintahan SBY-JK,[10] praktik koalisi dalam sistem pemerintahan Indonesia menarik dikaji lebih jauh. Setidaknya ada tiga alasan melakukannya. Pertama, pemerintahan koalisi tetap tidak bisa dihindarkan dalam pembentukan pemerintah hasil Pemilu 2009. Kedua, syarat dukungan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2009 jauh lebih berat dibandingkan dengan Pemilu 2009.[11] Ketiga, partai politik perserta Pemilu Legislatif hampir mendekati dua kali lipat peserta Pemilu 2009. Artinya, praktik sistem pemerintahan presidensial tetap berada dalam “ancaman” sistem kepartaian majemuk.
B. Kepartaian Majemuk dan Koalisi dalam Sistem Presidensial
                Dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem kepartaian[12] dalam sistem presidensial menjadi isu yang amat menarik karena anggota lembaga legislatif dan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (pemilih). Bila mayoritas anggota legislatif menentukan pilihan politik yang berbeda dengan presiden, sering kali sistem pemerintahan presidensial terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government)[13] antara legislatif dengan eksekutif. Dukungan legislatif makin sulit didapat jika pemerintahan presidensial dibangun dalam sistem multipartai.
Dengan situasi seperti itu, banyak kalangan meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintah dalam sistem presidensial. Misalnya, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism” mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai,[14] seperti: (1) institutions shape incentives: presidentialism generates fewer or weaker incentives to form coalitions[15],(2) coalitions are difficult to form and rarely, ‘only exceptionally’, do form under presidentialism[16], (3) when no coalition is formed under presidentialism, a ‘long-term legislative impasse’ ensues[17], (4) ‘there is no alternative but deadlock’[18], (5) ‘the norm is conflictual government[19], (6) as a result, ‘the very notion of majority government is problematic in presidential systems without a majority party’[20], (7) ‘stable multi-party presidential democracy … is difficult’[21], dan (8) ‘presidential systems which consistently fail to provide the president with sufficient legislative support are unlikely to prosper.’[22]
Pertanyaan mendasar yang selalu dikemukakan berkenaan dengan sistem pemerintahan presidensial multipartai adalah: mengapa multipartai dan sistem pemerintahan presidensial sulit digabungkan? Menjawab pertanyaan tersebut, Scott Mainwaring dalam “Presidentialism in Latin Amerika” mengatakan:
The combination of a fractionalized party system and presidentialism is inconducive to democratic stability because it easily creates difficulties in the relationship between the president and the congress. To be effective, government must be able to push through policy measures, which is difficult to do when the executive faces a sizeable majority opposition in the legislature.[23]
Sesuai dengan gambaran itu, keadaan dapat makin rumit karena kedua-kedua institusi itu –presiden dan lembaga legislatif-- sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Berhubungan hal ini, Juan J. Linz mengemukakan pertanyaan yang amat mendasar: who has the stronger claim to speak on behalf of the people?[24] Karena klaim itu, Scott Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi.[25] Dalam fungsi legislasi, sulitnya mencapai kesepakatan antara legislatif dan Presiden yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat.
Dalam situasi seperti itu, sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui lembaga legislatif besar kemungkinan akan ditolak oleh Presiden atau eksekutif. Berkaitan dengan hal itu, mengutip pendapat Scot Mainwaring, Saiful Mujani menjelaskan, sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis. Kesulitan ini terletak bukan saja pada masalah tidak mudahnya mencapai konsensus antara dua lembaga, antara presiden dan lembaga legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan di lembaga legislatif sendiri.[26]
Berkenaan dengan dukungan lembaga legislatif kepada presiden (eksekutif), meski presiden memenangkan pemilihan umum dan mendapat dukungan mayoritas dari pemilih, tidak jarang partai politik presiden menjadi kekuatan minoritas di lembaga legislatif. Karena presiden dan lembaga legislatif sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat (pemilih), perbedaan partai mayoritas di lembaga legislatif dengan partai politik presiden sering berdampak pada ketegangan di antara keduanya. Misalnya, praktik sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat perbedaan partai politik mayoritas di kongres dengan partai politik presiden sering menimbulkan pemerintahan yang terbelah (divided government).[27]
Tidak hanya dalam sistem dua partai, perbedaan suara mayoritas di lembaga legislatif dengan partai politik pendukung presiden juga terjadi dalam sistem multi-partai. Biasanya, untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif, presiden melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Namun demikian, Scott Mainwaring mengemukakan, pembentukan koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer.[28] Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation.[29] Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi. Bagaimanapun, seperti dikemukakan Giovanni Sartori, Presiden tetap memerlukan dukungan lembaga legislatif.[30] Tanpa dukungan, Presiden akan menghadapi situasi sulit yang mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan konflik antara Presiden dan lembaga legislatif.
 Terkait dengan hal itu, Scott Mainwaring mengemukakan bahwa dalam situasi sulit dan konflik itu presiden dapat melakukan (salah satu) langkah dari beberapa pilihan berikut ini: pertama, the president can attempt to bypass congress, tetapi tindakan ini dapat merusak demokrasi.[31] Dalam situasi seperti ini, partai-partai oposisi dapat menilai dan menuduh presiden melanggar konstitusi. Bahkan, sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa cara seperti itu dapat mengundang intervensi militer. Kedua, the president can seek constitutional reforms in order to obtain broader powers.[32] Pilihan pada langkah kedua ini akan mengurangi kesempatan untuk terjadinya negosiasi dan kompromi antara presiden lembaga legislatif. Ketiga, the president can attempt to form a coalition government. [33] Upaya membentuk pemerintahan koalisi mungkin dilakukan dalam sistem presidensial untuk mendapatkan dukungan di lembaga legislatif.
Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling umum dilakukan oleh pemerintah yang hanya mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Sebagai dikemukakan Jose Antonio Cheibub pada awal tulisan ini, minority government adalah pemerintah yang tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar di lembaga legislatif.[34] Dalam kondisi minority government, tambah Jose Antonio Cheibub:
“In much the same way as prime ministers in paliamentary system, presidents who find themselves in a minority situation may enter into coalition to obtain the support of a mojority in congress. They do so by distributing cabinet in congress. Goverment, thus, is here defined by all the parties that hold cabinet positions, and the government legislative support by sum of seats held by all parties that are in the government”.[35]
Dengan penjelasan Cheibub tersebut, presiden yang tidak mengontrol kekuatan mayoritas di lembaga legislatif akan melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem pemerintahan parlementer yaitu melakukan koalisi dengan sejumlah partai politik. Langkah itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan semua partai politik yang mendukung pemerintah. Namun, di tambahkan Scott Mainwaring, koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem pemerintahan parlementer.[36] Dalam pandangan David Altman, kesulitan koalisi itu terjadi karena coalitions are not institutionally necessary dan sistem pemerintahan presidensial not conducive to political cooperation.[37]
Sejalan dengan pendapat Mainwaring dan Altman, Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh menegaskan:
“Minority governments supported by a legislative majority should be legislatively successful under both systems. They are not ‘failures’ of coalition formation, but a result of compromises about policies. Yet presidential minorities facing hostile legislative majorities fail to pass legislation. When the president’s party likes the outcome of the legislative impasse, presidents willingly go down to defeat. But the president may want to pass legislation and still may be unable to do so when a legislative majority expects to gain more by opposing government’s legislative initiatives. We should thus see minority governments to be generally quite successful legislatively but less successful under presidentialism”.[38]
Menguatkan pendapat di atas, dalam tulisan “Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism” Alfred Stepan & Cindy Skach menambahkan:
“There are far fewer incentives for coalitional cooperation in presidentialism. The office of presidency is nondivisible. The presiden may select members of the political parties other than his own to serve in the cabinet, but they are selected as individuals, not as members of an enduring and diciplined coalition”.[39]
Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination” Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in prresidential democracies.[40] Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.
“Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[41]
C. Pengalaman Indonesia
1. Koalisi sebagai Langkah Darurat
Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid[42], Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI P –sekaligus calon presiden yang direkomendasikan oleh Kongres PDI-P di Bali-- untuk menggalang dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDI P.[43]
Sikap percaya diri PDI-P dan Megawati Soekarnoputri mendorong elit politik partai politik berbasis Islam dan berbasis ormas Islam seperti PPP, PAN, PBB, dan Partai Keadilan (PK) yang dirancang oleh Ketua Umum PAN Amin Rais membentuk koalisi yang dikenal sebagai Poros Tengah.[44] Sebagai calon alternatif di luar B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, Poros Tengah mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Langkah Poros menjadi lebih mudah karena laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak oleh MPR dalam Sidang Umum MPR pada bulan Oktober 1999. Ketika Poros Tengah berhasil mendorong Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, koalisi menjadi pilihan tak terhindarkan dan koalisi semakin besar dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden. Bagaimanapun koalisi yang dibangun presiden yang tidak punya dukungan mayoritas di lembaga legislatif dapat dikatakan sebagai sebuah langkah darurat.
Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensial yang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR.[45] Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar,[46] dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.
Namun langkah itu tetap tidak mengehentikan ketegangan antara Presiden Yudhoyono dengan DPR. Bahkan, ketegangan Presiden Yudhoyono dan DPR sudah terjadi sejak bulan-bulan pertama masa pemerintahan Yudhoyono.[47] Dengan ketegangan itu, koalisi yang dibangun Presiden Yudhoyono tidak banyak membantu memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di DPR. Masalah itu diakui secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono bahwa dengan merangkul banyak partai politik, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Nyatanya, dukungan itu tidak terjadi.[48] Dukungan yang dimaksudkan Presiden Yudhoyono tersebut tidak hanya kebijakan dalam fungsi legislasi, tetapi untuk kebijakan non-legislasi.[49]
Di antara agenda non-legislasi yang memerlukan keterlibatan DPR di antaranya: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain;[50] (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;[51] (4) pengangkatan Duta;[52] (5) menerima penempatan duta negara lain;[53] dan (6) pemberian amnesti dan abolisi.[54] Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri), Gubernur dan Deputy Gubernur BI yang dalam praktik “pertimbangan” berubah menjadi persetujuan DPR.
Pengalaman koalisi di era SBY-JK, misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering “mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meskipun kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tidak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.[55] Kecenderungan serupa juga dilakukan partai politik lain yang menjadi pendukung koalisi pemerintahan SBY-JK. Selain itu, desain UUD 1945 setelah perubahan juga cenderung mempersulit posisi presiden berhadapan dengan DPR terutama dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
2. Divided Executive[56]
Belum lagi selesai dari jebakan divided government, praktik sistem presidensial tengah menghadapi eksekutif yang terbelah (divided executive). Meskipun disinyalir sudah ada sejak beberapa waktu lalu, bentuk konkretnya baru kelihatan ketika publik mengetahui secara terbuka pecah-kongsi antara SBY dan JK. Bahkan perkembangan terkini, sebagaimana dikemukakan Ketua Harian I Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu, koalisi antara Golkar dan Demokrat makin tertutup.[57]
Dengan semakin terbukanya pecah-kongsi antara SBY dan JK, dapat dipastikan memberi dampak buruk pada sisa masa jabatan pemerintahan SBY-JK. Melihat posisi sentral SBY dan JK selama ini, sulit menghindari situasi pemerintahan seperti berada dalam satu perahu yang dikomandoi oleh dua orang nahkoda. Bagaimanapun, dengan terjadinya pecah-kongsi tersebut, eksekutif benar-benar dalam situasi yang terbelah. Karena sejak awal pemerintahan dibangun dengan koalisi, divided executive harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Sekalipun secara terpaksa kita harus menerima kenyataan itu, pecah-kongsi antara SBY dan JK tidak memberikan dampak lebih buruk dalam tenggat waktu yang tersisa.
3. Koalisi Partai Politik di DPR
Selain koalisi Presiden dengan sejumlah partai politik di DPR, mekanisme internal DPR membuka kemungkinan untuk terjadinya koalisi antarpartai politik dan koalisi antar-fraksi di DPR. Pasal 98 Ayat (6) UU No. 22/2003 menegaskan, anggota-anggota DPR wajib berhimpun dalam sebuah Fraksi. Eksistensi Fraksi lebih lanjut diatur dalam tatib DPR. Pada Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR 2005/2006 dinyatakan bahwa DPR terdiri dari (a) Fraksi, dan (b) alat kelengkapan DPR. Meskipun bukan merupakan alat kelengkapan DPR, ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR tersebut menenpatkan Fraksi sebagai sebuah instrumen yang amat penting di DPR. Bahkan dengan membaca ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Tatib DPR tersebut, Fraksi lebih penting dibandingkan dengan semua alat kelengkapan DPR.[58] Kemudian, Pasal 14 Tatib DPR 2005/2006 menyatakan, Fraksi bersifat mandiri dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas, wewenang, serta hak dan kewajiban DPR.
Koalisi antar-partai politik terjadi karena adanya batasan minimal bagi partai politik untuk dapat membentuk sebuah fraksi. Dalam Pasal 15 Tatib DPR 2005/2006 ditegaskan bahwa fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Dengan pembatasan tersebut, bagi partai politik yang mendapatkan jumlah kursi kurang dari 13 kursi harus bergabung dengan partai politik lain. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum 2004, dari 16 partai politik yang mendapatkan kursi di DPR hanya sembilan partai politik yang dapat memenuhi ketentuan batas minimal untuk membentuk Fraksi. Sementara itu, tujuh partai politik yang lain harus bergabung (berkoalisi) dengan partai politik lain. Dari komposisi Fraksi yang ada, koalisi ”partai politik gurem” dapat dikelompokkan menjadi dua pola, yaitu bergabung dengan ”partai politik besar” dan bergabung sesama ”partai politik gurem” membentuk fraksi sendiri (lihat Tabel).
Tabel
Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2004-2009  
No
Fraksi
Partai Politik
Jumlah
Total
1
F-PG
Partai Golongan Karya
-Partai Karya Peduli Bangsa
127
2
129
2
F-PDIP
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
109
109
3
F-PD
Partai Demokrat
-Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
-Partai Pelopor
56
1
3
60
4
F-PPP
Partai Persatuan Pembangunan
58
58
5
F-PAN
Partai Amanat Nasional
53
53
6
F-PKB
Partai Kebangkitan Bangsa
52
52
7
F-PKS
Partai Keadilan Sejahtera
45
45
8
F-BPD
Bintang Pelopor Demokrasi[59]
- Partai Bulan Bintang
- Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
- Partai Penegak Demokrasi Indonesia
- PNI Marhaen
11
4
1
1
17
9
F-PBR
Partai Bintang Reformasi
14
14
10
F-PDS
Partai Damai Sejahtera
13
13

T o t a l
550

Sumber: Biro Humas dan Peberitaan, 2007, Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan,
Sekretariat Jenderal DPR-RI, jakarta, hal. 21.
Berdasarkan penggabungan antar-partai politik untuk memenuhi syarat Fraksi tersebut, koalisi Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan Partai Golkar (Fraksi Partai Golkar) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Pelopor dengan Partai Demokrat (Fraksi Partai Demokrat) tidak potensial alot dalam pengambilan keputusan. Dari jumlah kursi partai politik tersebut, PKPB dan PKPI serta Partai Pelopor lebih tepat dikatakan menggabungkan diri ke dalam Partai Golkar dan Partai Demokrat. Namun potensi alot lebih mungkin terjadi dalam Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD) karena mereka bukan bergabung melainkan berkoalisi untuk membentuk sebuah fraksi.
Sebagai sebuah pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum,[60] fraksi memiliki berbagai kewenangan yang sangat menentukan. Dalam Pasal 17 Ayat (1) Tatib DPR 2005/2006 dinyatakan, Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1) itu mengisyaratkan bahwa semua kegiatan anggota DPR berada di bawah kendali Fraksi. Dari ketentuan yang ada dalam Tatib DPR 2005/2006, Bivitri Susanti menyimpulkan beberapa tugas penting yang dapat mebuktikan bahwa Fraksi merupakan pemegang kendali anggota DPR seperti berikut ini.
1. Penentuan anggota DPR yang masuk ke dalam alat kelengkapan DPR.
2. Meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.
3. Pencalonan posisi-posisi kunci dalam struktur DPR, mulai dari pimpinan DPR, pimpinan alat kelengkapan, dan pimpinan kepanitiaan di DPR.
4. Pembahasan rancangan undang-undang di DPR pun harus dimulai dan diakhiri dengan pendapat fraksi. Daftar Inventarisasi Masalah yang akan jadi acuan bagi pembahasan suatu rancangan undang-undang pun dihasilkan oleh fraksi.[61]
Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar-partai politik lebih dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa anggota DPR harus bergabung ke dalam sebuah fraksi. Dalam proses pengambilan keputusan termasuk dalam proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar-partai politik tetapi antar-fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi-partai akan mempertajam perbedaan kepentingan di DPR. Misalnya ketika terjadi konflik antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan awal terbentuknya DPR Periode 2004-2009, hal itu benar-benar memperlihatkan betapa sistem multipartai mengancam kelangsungan kinerja DPR. Terkait dengan peristiwa itu, Tajuk Rencana Kompas mengemukakan, politik perkubuan melalui fraksi-fraksi di DPR secara langsung telah menghilangkan kedaulatan (otonomi) anggota DPR. Berbagai keputusan yang dihasilkan DPR ditentukan bukan oleh anggota, tetapi oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR.[62] Karena itu, peran fraksi setelah perubahan UUD 1945 tidak berbeda dengan peran fraksi pada Orde Baru.
Dalam fungsi legislasi, meskipun bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan substansi rancangan undang-undang. Berdasarkan Pasal 136 Ayat (3) Tatib DPR 2005/2006, sebelum diadakan Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II terlebih dulu dilakukan rapat fraksi. Setelah itu, selama pembahasan rancangan undang-undang, yang dibahas adalah pandangan dan pendapat fraksi-fraksi. Bahkan, Daftar Inventarisasi Masalah yang dijadikan sebagai acuan pembahasan rancangan undang-undang pun dihasilkan oleh fraksi. Setelah selesai pembahasan, persetujuan pun ditentukan oleh fraksi.
Berkaitan dengan koalisi antar-fraksi dalam fungsi legislasi, sejauh ini tidak koalisi permanen. Bahkan, partai politik yang mendukung pemerintah pun tidak selalu mendukung rancangan undang-undang yang berasal dari prakarsa pemerintah. Dalam pembahasan rancangan undang-undang, yang paling sering terjadi adalah “koalisi taktis” berdasarkan kepentingan masing-masing fraksi. Umumnya, kepentingan tersebut lebih merupakan kepentingan jangka pendek dan terkait langsung dengan kepentingan fraksi. Kepentingan jangka pendek itu lebih mudah dicermati dalam pembahasan rancangan undang-undang paket undang-undang bidang politik.[63]
Salah satu contoh menarik pola “koalisi taktis” fraksi dapat dicermati ketika membahas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Untuk persyaratan dukungan (threshold) 15 persen bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang boleh mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, Fraksi PDIP sepakat dengan Fraksi Partai Golkar. Namun untuk persyaratan calon presiden minimal berpendidikan S1, Fraksi PDIP berseberangan pendapat dengan Fraksi Partai Golkar. Karena faktor Megawati Soekarnoputri --Ketua Umum PDIP yang tidak berpendidikan S1-- Fraksi PDIP menolak syarat itu. Sementara Fraksi Partai Golkar setuju syarat pendidikan minimal S1 dipertahankan. Begitu juga halnya dengan syarat tidak menjadi terdakwa untuk tindak pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara, karena faktor Akbar Tandjung --ketika itu Ketua Umum Partai Golkar-- yang sedang dalam status terdakwa kasus Bulog, Fraksi Partai Golkar menolak syarat tidak status terdakwa. Sementara itu, Fraksi PDIP setuju mempertahankan tersebut.
Contoh lain “koalisi taktis” ini dapat juga disimak ketika pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No. 10/2008). Terkait dengan masalah mengganti persyaratan electoral threshold dari 3 persen menjadi partai politik yang hanya memiliki kursi di DPR untuk sebagai syarat mengikuti Pemiliah Umum Anggota Legislatif 2009, semua fraksi di DPR sepakat dengan penggantian tersebut.[64] Namun dalam hal penentuan calon terpilih dari sisa suara, fraksi terbelah menjadi dua kelompok: F-PG, F-PDIP, F-PKB, dan F-PKS setuju dengan batasan 50 persen, sedangkan fraksi-fraksi lain seperti F-PAN, F-PPP, F-PD, dan F-PDB menginginkan batasan 30 persen.[65]
Dalam fungsi legislasi, pembentukan “koalisi taktis” itu tidak hanya menimbulkan inkonsistensi dalam perumusan norma karena kebanyakan pasal(-pasal) yang mereka berbeda cenderung dicarikan rumusan kompromi, tetapi juga membuat penyelesaian sebuah rancangan undang-undang menjadi lebih lama. Misalnya, UU No. 10/2008 rencananya akan disetujui pada tanggal 27 Desember 2007. Namun karena perbedaan yang ada tidak mencapai titik temu, persetujuan ditunda sampai tanggal 26 Februari 2008. Bahkan, jadwal tersebut kembali ditunda sampai tanggal 28 Februari 2008. Akhirnya, persetujuan benar-benar tercapai pada tanggal 3 Maret 2008. Karena kompromi untuk kepentingan sesaat, dalam hitungan bulan setelah pengesahan, sejumlah partai politik mendesak untuk mengubah substansi UU No. 10/2008 terutama untuk penentuan pemenang anggota legislatif.
Dalam fungsi legislasi, kombinasi antara presiden yang mendapat dukungan minoritas di lembaga legislatif dan sistem multi-partai akan menimbulkan kesulitan tersendiri. Kesulitan pertama, konsolidasi presiden dengan lembaga legislatif yang sama-sama mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Jika koalisi tidak terbentuk, ketegangan antara presiden dan lembaga legislatif akan berlangsung dalam waktu yang lama. Kedua, kesulitan melakukan konsolidasi antar-partai politik di lembaga legislatif. Dengan beragamnya kepentingan partai politik, sistem multi-partai akan mempertajam perbedaan kepentingan tersebut selama proses legislasi. Ketiga, dalam sistem dua kamar, akan terjadi konsolidasi berlapis mulai dari konsolidasi di masing-masing kamar, kemudian konsolidasi antar-kamar, dan setelah itu konsolidasi antara lembaga legislatif dengan presiden. Khusus untuk sistem multipartai, konsolidasi potensial mempersulit dan memperlama penyelesaian suatu rancangan undang-undang.

D. Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial
                  Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
                Dengan design legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapai Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tidak menjadi simalakama lagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar (design) pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kalau hanya dilandaskan pada perhitungan untuk memenuhi target memenangkan pemilu, koalisi akan mengalami pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring di atas layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, misalnya, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legistif dan/atau popularitas calon. Kemudian, diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan cara seperti itu, partai politik pendukung koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.
                Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep-konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet. Bagaimanapun, dengan design yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan.


Daftar Pustaka
Albert Stepan & Cindy Skach, Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism, dalam Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1.
Aulia A. Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Anton M. Moeliono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.
Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus Presidensial Government, Oxford University Press.
Arief Mudatsir Mandan, 2005, Mendung di Atas Senayan: Refleksi Empat Belas Bulan DPR-RI 01 Oktober 2004–31 Desember 2005, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta
Barbara Sinclair, 2000, Unorthodox Lawmaking: New Legislative Process in the U.S. Congress, CQ Press, Washington DC.
Bivitri Susanti dkk., 2005, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Draf Laporan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.
Biro Humas dan Penerbitan, 2008, Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.
Biro Humas dan Peberitaan, 2007, Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta.
David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, dalam Journal Party Politics, Vol. 6, No. 3.
David R. Mayhew, 1991, Divided We Govern: Party Control, Lawmaking, and Investigations, Yale University Press, New Haven.
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press.
Jose Antonio Cheibub , 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies, dalam Journal of Caomparative Political Studies, No 35.
Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34.
Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?’ dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore.
Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1994, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe South America, and Post-Communist Europe, Johns Hopkins, Baltimore.
Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidentialism, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus Presidensial Government, Oxford University Press.
Lihat juga Kathryn Hochstetler, tt, Rethinking Presidentialism: Challenges and Presidential Falls in South America, http://www.colostate.edu/Depts/PoliSci/fac/kh/Comparative%20Politics%20revis- ed.pdf, hal. 26.
Mark P. Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential Democracies, Notre Dame University Press, Notre Dame.
Matthew Shugart & John M. Carey, 1992, President and Asemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics, Cambrigde University Press, Cambride.
Saiful Mujani, 2002, Jadikan Presiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta.
Saldi Isra, 2009, Divided Executive, dalam Harian Suara Karya, 11/03, Jakarta.
Saldi Isra, 2009, Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi pada Program Pascaserjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saldi Isra, 2009, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.
Saldi Isra, 2004, Dari Chaos Menjadi Tertib Hukum, dalam Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta.
Scott Maiwaring, 1998, RethinkingParty Systems Theory in the Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization, Working Paper 260.
Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235.
Scott Maiwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2.
Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press.
Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25.
Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141.
Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319.
Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, 1995, Introduction: Party Systems in Latin America, dalam Scott Mainwaring and Timothy R. Scully (edits.), Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford University Press.
Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
The-fu Huang, 1997, Party Systems in Taiwan and South Korea, in Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu and Hung-mao Tien (edits.), Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Johns Hopkins.
Zainal Arifin Mochtar, 2008, Pemilihan Umum Para Politisi, dalam Koran Seputar Indonesia, 1 Maret, Jakarta.



* Makalah disampaikan dalam “Diskusi Bulanan” Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, di Gedung II Dekanan Fakultas Hukum UNAND, Padang, 01 April 2009.
Beberapa bagi dari makalah ini disarikan dari Saldi Isra, 2009, Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi pada Program Pascaserjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 416-434.
Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
[1] Dari penelusuran literatur hukum tata negara Indonesia, setidaknya terdapat empat model penulisan istilah ini, yaitu presidentil, presidensil, presidensiil, dan presidensial. Dalam disertasi ini digunakan istilah “presidensial” untuk menerjemahkan istilah “presidential”. Pilihan itu didasarkan pada resapan yang digunakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu presidensial. Lihat Anton M. Moeliono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, hal. 700.
[2] Saldi Isra, 2009, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.
[3] Hasil selengkapnya, misalnya, dapat dibaca dalam Aulia A. Rachman, 2007, Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945: Studi Ilmiah tentang Tipe Rezim, Tipe Institusi, dan Tipe Konstitusi, Disertasi, Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 362.
[4] Saldi Isra, 2004, Dari Chaos Menjadi Tertib Hukum, dalam Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta, hal. 63.
[5] Kompas, 07/10-2004.
[6] Jose Antonio Cheibub , 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies, dalam Journal of Caomparative Political Studies, No 35, hal. 287.
[7] Dari jumlah itu, Partai Demokrat mendapatkan 56 kursi; Partai Bulan Bintang 11 kursi; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendaptkan 1 kursi. Angka 12 persen juga merupakan hasil dari sebuah koalisi. Lebih jauh perkembangan dukungan ini dapat dibaca, misalnya, dalam Aulia A. Rahman, op.cit., hal. 361.
[8] Saldi Isra, 2008, Simalakama...
[9] Bandingkan dengan ibid.
[10] Pada batas-batas tertentu, pengalaman Presiden Abdurrhman Wahid bisa juga menjadi bagian menarik dari pengalaman koalisi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
[11] Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan:
”Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh prosen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25 % (dua puluh lima prosen) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Sebelumnya Pasal 101 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan:
“Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon”.
[12] Berdasarkan hasil penelitian Scott Mainwaring, ada tiga bentuk sistem kepartaian yang lebih umum di setiap sistem pemerintahan, yaitu (1) sistem partai dominan (dominant party), (2) sistem dua partai (two-party), dan sistem multi-partai (multiparty). Lihat, Scott Maiwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 204-210.
Berkenaan dengan sistem multipartai, ada variasi lain, yaitu sistem multipartai sederhana. Namun sampai sejauh ini, belum ada penelitian yang menjelaskan berapa jumlah partai politik yang “ideal” untuk dapat dikatakan sebagai sebuah sistem multipartai sederhana.
[13] Tentang hal ini dapat dibaca dalam David R. Mayhew, 1991, Divided We Govern: Party Control, Lawmaking, and Investigations, Yale University Press, New Haven; dan Matthew Shugart & John M. Carey, 1992, President and Asemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamics, Cambrigde University Press, Cambride.
[14] Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566.
[15] Diantaranya dikemukakan oleh Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America, Latin American Research Review, 25, hal. 157–79; Albert Stepan & Cindy Skach, Constitutional Frameworks and Democratic Consolidation: Parliamentarianism and Presidentialism, dalam Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1, hal. 20; Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, 1995, Introduction: Party Systems in Latin America, dalam Scott Mainwaring and Timothy R. Scully (edits.), Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford University Press, Stanford, hal. 33.
[16] Juan J. Linz, 1994, Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference?’ dalam Juan J. Linz and Arturo Venezuela, eds, The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, Johns Hopkins, Baltimore, hal. 19.
[17] Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1994, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe South America, and Post-Communist Europe, Johns Hopkins, Baltimore, hal. 181.
[18] Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, loc.cit.
[19] Mark P. Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential Democracies, Notre Dame University Press, Notre Dame, hal. 38.
[20] The-fu Huang, 1997, Party Systems in Taiwan and South Korea, in Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu and Hung-mao Tien (edits.), Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Johns Hopkins, hal. 138.
[21] Scott Mainwaring, 1990, Presidentialism in Latin America…, hal. 25.
[22] Mark P. Jones, loc.cit.
[23] Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, hal. 114.
[24] Juan J. Linz, 1992, The Perils of Presidentialism, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary versus…, hal. 120.
[25] Scott Mainwaring, 1992, Presidentialism in…, hal. 114.
[26] Saiful Mujani, 2002, Jadikan Presiden Hanya sebagai Kepala Negara, dalam Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, The Center for Presidential and Parliamentary Studies, Jakarta, hal. 10-11.
[27] Misalnya, divided government ini dapat dilihat dalam pembahasan rancangan undang-undang keuangan negara tahun 1995-196. Ketika itu, Kongres dikuasai Partai Republik sedangkan Presiden (Bill Clinton) berasal dari Partai Demokrat. Lebih jauh dapat dibaca dalam Barbara Sinclair, 2000, Unorthodox Lawmaking: New Legislative Process in the U.S. Congress, CQ Press, Washington DC, hal. 184-217.
[28] Scott Mainwaring, Presidentialism in…, hal. 115.
[29] David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, dalam Journal Party Politics, Vol. 6, No. 3, hal. 261.
[30] Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press, hal. 173.
Lebih jauh mengenai masalah ini dapat dibaca, misalnya, dalam Scott Maiwaring, 1998, RethinkingParty Systems Theory in the Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization, Working Paper 260; dan Scott Mainwaring & Mariano Torcal, 2005, Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization, Working Paper 319.
[31] Scott Mainwaring, op.cit., hal. 114-115.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Jose Antonio Cheibub, 2002, Minority Governments, Deadlock Situations, and …., hal. 287.
[35] Ibid., hal. 287-288.
[36] Scott Mainwaring, Presidentialism in…, hal. 115.
[37] David Altman, 2000, The Politics of Coalition Formation and Survival…, hal. 261.
[38] Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, Government Coalitions and…, hal. 567.
[39] Alfred Stepan & Cindy Skach, 1993, Constitutional Framework and …, hal. 20.
Lihat juga Kathryn Hochstetler, tt, Rethinking Presidentialism: Challenges and Presidential Falls in South America, http://www.colostate.edu/Depts/PoliSci/fac/kh/Comparative%20Politics%20revis- ed.pdf, hal. 26, dikunjungi 04/01-2008.
[40] Scott Mainwaring, 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200.
Dilema sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial termasuk yang paling banyak ditulis adalah pengalaman Brazil. Lebih jauh, misalnya, dapat dibaca dalam Scott Mainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian Constitutional Congress, Working Paper 235; Scott Maiwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil, Working Paper 174; dan Scott Maiwaring, 1990, Politician, Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141.
[41] Ibid.
[43] Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 69.
[44] Syamsuddin Haris menyebut koalisi Poros Tengah sebagai koalisi longgar. Lebih jauh, lihat ibid.
[45] Denny Indrayana menyebut dukungan awa hanya tujuh persen yaitu dengan hanya menghitung jumlah kursi Partai Demokrat di DPR, Lebih jauh, lihat Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 255.
[46] Sebelum Wakil Presiden M. Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar, partai berlambang pohon beringin ini memilih sikap berseberangan dengan pemerintah Yudhoyono-Kalla. Begitu Kalla menjadi Ketua Umum, Partai Golkar berubah menjadi mendukung pemerintah. Meskipun dukungan itu dibungkus dalam bahasa ”Golkar akan tetap melakukan check and balance yang obyektif kepada pemerintah” oleh Jusuf Kalla. Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam Arief Mudatsir Mandan, 2005, Mendung di Atas Senayan: Refleksi Empat Belas Bulan DPR-RI 01 Oktober 2004–31 Desember 2005, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, hal. 76-80.
[47] Lihat, misalnya, Arief Mudatsir Mandan, ibid., hal. 83-206.
[48] Dalam Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada…, hal. 220.
[49] Kebijakan non-legislasi ini, seperti ketegangan yang terjadi dalam penggantian Penglima TNI, penolakan atas kenaikan harga BBM, penolakan atas usulan Gubernur Bank Indonesia.
[50] Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945
[51] Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945.
[52] Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945.
[53] Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945.
[54] Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
[55] Saldi Isra, 2008, Simalakama...
[56] Disarikan dari Saldi Isra, 2009, Divided Executive, dalam Harian Suara Karya, 11/03, Jakarta.
[57] Koran Seputar Indonesia, 10/03-2009.
[58] Alat kelengkapan DPR meliputi: 1) Pimpinan DPR; 2) Badan Musyawarah; 3) Komisi; 4) Badan Legislasi; 5) Panitia Anggaran; 6) Badan Urusan Rumah Tangga; 7) Badan Kerjasama Antar Parlemen; 8) Badan Kehormatan; dan 9) Panitia Khusus.
[59] Bukan nama partai politik, tetapi nama gabungan partai politik.
[60] Biro Humas dan Penerbitan, 2008, Perspektif Kegiatan Humas Setjen DPR RI dalam Mensosialisasikan Kegiatan Dewan, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hal. 6.
[61] Bivitri Susanti dkk., 2005, Struktur DPR Yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan, Draf Laporan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 27.
[62] Harian Kompas, 17/11-2004.
[63] Meliputi Rancangan Partai Politik, Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
[64] Pasal 9 Ayat (1) UU No. 12/2003 tentang Pemiliahn Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya PBR, PDS, PBB, PDK, Partai Pelopor, PKPB, PDI, PKPI, dan PNI Marhaen tidak bisa langsung ikut Pemilihan Umum 2009.
[65] Kritik tentang hal ini dapat dibaca, misalnya, Zainal Arifin Mochtar, 2008, Pemilihan Umum Para Politisi, dalam Koran Seputar Indonesia, 1 Maret, Jakarta.



KOALISI DALAM SISTEM PRESIDENSIAL MENURUT UUD
                                            Oleh : Resa Indrawan Samir ( 31 Mei 2011 )
                                             http://resaindrawansamir.wordpress.com
1.1.     Latar Belakang
            Setelah reformasi 1998 bergulir ada sebuah tuntutan oleh masyarakat untuk mengubah struktur ketatanegaraan indonesia, yaitu bagaimana mengubah UUD 1945. 1999-2002 adalah sebuah langkah awal yang diambil oleh kaum elit-etit kita melalui “kompromi politik”[1] untuk mengubah UUD 1945. tetapi sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam sidang istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan demikian sulit  sebelum dilakukan perubahan  UUD 1945 oleh MPR.[2] Setelah ketetapan MPR itu dicabut maka diubahlah UUD 1945 sesuai dengan pasal 37 UUD 1945, walaupun dalam proses perdebatan tersebut banyak pakar yang berbeda pendapat dalam proses perubahan UUD 1945 yaitu apakah UUD 1945 di tetapkan dulu sesuai pasal 3 UUD 1945 ataukan langsung saja dilakukan perubahan tanpa ditetapkan. Tetapi yang terjadi adalah UUD 1945 tersebut langsung dilakukan perubahan tanpa dilakukan penetapat terlebih dahulu.  Kemudian ditengah proses perubahan UUD 1945, panitia Ad hoc I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri atas lima butir, yaitu
  1. Tidak Mengubah Pembukaan UUD 1945.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial.
  4.  Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan kedalam pasal-pasal ( batang tubuh ).
  5.  Melakukan perubahan dengan cara adendum.
                Dalam permasalahan ini kita akan membahas tentang sistem pemerintahan. Dalam artian poin ketiga yaitu  Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial. Karena para pendiri bangsa ini ketika mengubah UUD 1945 berdalih bahwa mempertegas sistem presidensial adalah bertujuan untuk memperkukuh pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara indonesia dan pada tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri bangsa.[3] Jadi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah indonesia menganut sistem presidensial seperti apa yang telah digagas para bangsa (the founding father’s )?.
              Kalau kita menelaah lebih jauh UUD 1945 setelah amandeman, memang tetap mempertahankan sistem preisidensial, dengan dalih bahwa banyaknya Pasal-Pasal yang menguatkan posisi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Setelah saya melihat dari 37 pasal dalam UUD 1945 setelah amandemen bahwa ada 19 Pasal yang menguatkan posisi presiden dan 2 (dua) pasal yang meminta persetujuan dan pertimbangan dari 37 pasal yang ada dalam UUD. Tetapi perlu dipahami walaupun banyak pasal yang menguatkan posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemeritahan dalam UUD 1945 belum menjamin bahwa indonesia menganut sistem presidensial seperti apa ketika kita melikik kepada sistem pemeritahan presidensial amerika serikat.[4] karena ada beberapa pasal juga yang dimana praktek-praktek parlementer itu masuk dalam UUD kita.
             Seperti pasal 20 (2) bahwa “setiap rancangan undang-undangan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan berasama.” Pasal ini mempertegas bahwa setiap rancangan undang-undang yang ingin dibuat maka harus mendapat persetujuan bersama antara eksekutif dan legeslatif, seandainya itu tidak terjadi maka hal tersebut maka proses pembahasan undang-undang yang ingin dibuat tidak dapat diealisasikan. Sedangkan salah satu ciri sistem presidensial menurut jimly asshiddiqy adalah terdapat pemisahan yang jelas antara legeslatif dan eksekutif[5], jadi secara tidak langsung ada suautu pemisahan yang tegas antara cabang-cabang lembaga negara tersebut. Tetapi dengan melihat pasal ini maka ada suautu ketidaktegasan pemisahan kekuasaan antara legeslatif dan eksekutif, karena seakan-akan antara ekekutif dan legeslati melebur menjadi satu yang saling kait mengkitkan atau saling membutuhkan, sehingga ciri ini lebih dekat dengan sistem parlementer yang dianut dibeberapa negara didunia. Tetapi walaupun demikinan banyak pakar hukum tata negara menyatakan bahwa indonesia lebih dekat dengan sistem pemerintahan yang bersifat semi presidensial (hibryd system).
             Realitas soslial yang terjadi ketika gencar-gencarnya para pemerhati bangsa ini ingin menguatkan sistem presidensial adalah bagaimana juga dihadapkan kepada suautu permasalahan diawal reformasi ini, yaitu adanya banyak partai yang bermunculan sehingga terjadi suatu peralihan sistem yang dari partai minoritas (minority party) menuju mayoritas partai (mayority party) atau sistem multy partai. Sedangkan seperti yang kita ketahui menurut  scott mainwaring, bahwa ketika sistem presidensial digabungkan dengan sistem akan terjadi devided goverment (pemerintahan terbelah) atau pemerintahan yang terbagi. Karena disatu sisi presiden sebagai kepala eksekutif dipilih secara langsung oleh rakyat sedangkan DPR sebagai lembaga legeslatif dipih secara langsung oleh rakyat, sehingga suara DPR dan Suara dari Presiden itu bisa saja berbeda karena sama-sama langsung bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat. disatu sisi juga ketika sistem presidensial ini dikombinasikan dengan sistem multy partai maka gampang terjadi suatu pemerintahan yang minoritas (goverment minority)  karena suara pendukung Presiden dan pendukung DPR itu dapat saja berbeda. Seperti partai politik yang mengusungkan Presiden menjadi seorang presiden dan presiden tersebut menjadi pemenang dalam pemilihan, bisa saja partai politik yang mengusungkan presiden tersebut mendapat suara minoritas di legeslatif atau DPR sehingga suara antara legeslatif dan eksekutif berbeda. Apalagi kalau memakai sistem presidensial yang dimana apabila dikombinasikan dengan multy partai sering terjadi perelisihan yang panjang antara eksekutif dan legeslatif sehingga kebijakan-kebikan pemerintah yang membutuhkan uluran tangan dari legeslatif tersebut tersendak atau menemui jalan buntu. Sehingga efektifas dan stabilitas jalannya pemerintahan tersebut sedikit terganggu karena suara partai politik pendukung presiden tidak mencapai suara mayoritas di parlemen walaupun pemenang pemilu sekaligus karena tidak mencapai 50 % +1 untuk menentukan jalannya suatu pemerintahan yang efektif.
             Untuk mengatasi jalan buntu tersebut, presiden sebagai kepala eksekutif tersebut harus membuat suatu terobosan yaitu berkoalisi dengan partai-partai yang ada di parlemen. Mengapa demikian harus terjadi ? karena secara realitas politik agar untuk agar efektifitas jalannya pemerintahan itu tidak terganggu karena ulah-ulah segelintir orang yang ada diparlemen yang membandel, sehingga presiden harus membangun koalisi dengan partai-partai di DPR. Tetapi koalisi tersebut kita tak bisa katakan akan menjadi suatu langkah yang baik untuk dilaksanakan. Karena fakta yang terjadi juga sekarang ini bagaimana koalisi yang dibangun itu tidak efektif. Masih banyak partai yang tergabung dalam koalisi yang ”membandel“ seakan-akan keluar dari kesepakatan atau kontrak politik. Contoh kemarin tentang hak angket Bank Century di mana ada Partai Pendukung koalisi terdiri dari Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP tidak dapat membuat hasil yang mulus untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut dan yang terjadi secara realitas adalah bagaimana dua partai besar pendukung pemerintah ini mempunyai suara yang berbeda dengan partai-partai yang berkoalisi yang lain ini seperti Golkar dan PKS. Ini sudah diwanti-wanti oleh scott mainwaring, bahwa koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial tersebut gampang rapuh karena antara eksekutif dan legeslatif tersebut sama-sama mendapatkan mandat secara langsung oleh rakyat sehingga legitimasi mereka pun sama-sama kuat. Scott Mainwaring juga menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering sekali timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu, kemudian Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi.[6] Koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial dan sistem parlementer adalah suatu yang berbeda, karena efektifitas koalisi dalam sistem parlementer lebih baik karena koalisi yang dibentuk untuk memilih seorang perdana menteri dan bertanggungjawab langsung kepada parlemen, jadi kolalisi tersebut dapat berjalan lebih efektif. Berbeda dengan koalisi yang dibangun dalam sistem presidensial yang dimana antara parlemen dan eksekutif sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga antara eksekutif dan parlemen dapat menghasilkan keputusan yang berbeda sehingga stabilitas dan efektifitas jalannya pemeritahan selalu terganggu dan sering terjadi konflik yang berkepanjangan.
                 Jadi cara-cara lain juga yang dilakukan oleh presiden agar koalisi ini dapat berjalan dengan baik yaitu membagi-bagikan kursi menteri kepada mitra koalisi. Fakta ini terjadi ketika Presiden SBY jilid II terjadi dimana dari 34 kursi menteri yang ada, ternyata 22 orang diantaranya adalah berasal dari partai politik. Karena seperti yang kita ketahui sesuai dengan Pasal 17 UUD NRI 1945 bahwa pengangkatan menteri adalah hak konstitusional dari presiden. Dari 22 orang tersebut diantaranya 8 kursi buat Demokrat, 3 kursi Golkar, 4 Kursi buat PKS, 3 Kursi Buat PAN, PKB dan PPP masing-masing 2 kursi.[7] Tetapi walupun itu dilaksanakan belum menjamin 100 % efektifitas dan stabilitas pemerintahan itu dapat berjalan dengan baik karena seperti yang saya kemukakan tadi bahwa koalisi yang dibangundalam sistem presidensial dan parlementer adalah sesuatu yang berbeda.
                Jadi dalam kondisi sulit seperti begini maka banyak hal-hal yang dapat dilakukan presiden ketika dihadapkan dalam problematika yang dimana dia “tersandra” dengan sistem seperti begini dan menurut hemat saya ini dalam mengancam demokrasi yang sedang dibangun dengan baik. Pertama, presiden, bisa saja presiden tersebut melakukan cara-cara tidak konstitusional agar dapat menjalankan pemerintahannya lebih efektif. Kedua, melakukannya dengan cara konstitusional yaitu mengubah konstitusi agar kewenangan presiden dapat lebih leluasa dalam bergerak agar efektifitas dan stabilitas pemerintan dapat berjalan dengan lancar.
            Jadi sekali lagi, tulisan ini hanya melihat bahwa bagaimana koalisi dalam sistem presidensial, apakah dapat membawa jalannya pemerintahan dengan baik dan sejauh mana konstitusi atau UUD 1945 melihat ini, apakah dalam UUD 1945 memberikan ruang untuk melaksanakan koalisi dalam sistem pemeritahan. Dan bagaimana aspek-aspek lain seperti secara sosiolsogis, filosofis dan politis melihat permasalahan ini karena menurut hemat saya bahwa ada suatu paradigma yang kita dukung ketika kita mendukung adanya koalisi dala sistem presidensial yaitu mendukung paradigma dari eksekutif heavy menuju legeslatif heavy.
1.2.   Sejauh mana Konstitusi atau UUD 1945 melihat Koalisi tersebut, apakah memberikan ruang untuk melaksanakan koalisi dalam sitem presidensial.
       Secara eksplisit, kalau kita melihat dalam UUD 1945 sebenarnya keberadaan koalisi tersebut diadalakan adanya dengan merujuk kepada Pasal 6A (2) bahwa “Pasangan calon presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Kata “gabungan partai politik” disini sebenarnya membenarkan adanya koalisi karena kata “gabungan” tersebut bermakna bahwa ada lebih dari satu partai yang menggabungakan lalu mengusulkan seorang presiden. Jadi jelas bahwa koalisi dibenarkan keberadaannya. Tetapi menurut hemat saya koalisi itu dibenarkan secara konstitusi hanya pada proses mengusulkan calon presiden, bukan dalam proses jalannya sebuah pemerintahan. Jadi sudah jelas bahwa menurut hemat saya konstitusi hanya memberikan ruang untuk melaksanakan kolasi dalam mencalonkan seorang presiden dan wakil presiden dan selain itu tidak diperbolehkan adanya. Derivasi dari UU No.42 Tahun 2008 juga membenarkan hal tersebut dalam pasal 9 bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
         Jadi ketika dalam proses pemerintahan ada sebuah koalisi ini sesuatu yang tidak sejalan dengan konstitusi, apalagi seperti apa yang saya kemukakan sebelumnya bahwa koalisi dalam sistem presidensial adalah sesuatu yang tabuh karena koalisi dalam sistem presidensial dan sistem parlementer adalah sesuatu yang berbeda. Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination” Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in prresidential democracies.Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.
“Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[8]
Kemudian koalisi tersebut sebenarnya juga tidak dapat dihindari karena fakta yang terjadi bahwa indonesia menganut sistem multy partai, jadi suatu keharusan bagi presiden untuk membuat suatu koalisi. Karena ini merupakan suatu langkah yang darurat yang harus dilakukan oleh presiden. Karena bagaimana pun presiden membutuhkan uluran tangan dari DPR untuk memuluskan kebijakan-kebijakan presiden kedepannya, baik dalam proses legeslasi maupun non-legeslasi.
Sudah dijelaskan sebelumnya dalam UUD 1945 pasal  20(2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” dan ayat (3) “Jika rancangan undang-undang tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.” Maka sudah jelas dalam konstitusi indonesia bahwa sesuatu yang sakral bagi presiden dan DPR untuk bersama-sama memuluskan suatu kebijakan legeslasi dan ketika salah satunya saja tidak menyetujui maka program legeslasi itu pun batal dengan sendirinya. Maka yang menjadi sesuatu hal yang buruk terjadi ketika Partai pendukung presiden di DPR itu minoritas, maka presiden tersebut harus membangun kekuatan diparlemen untuk memuluskan kebijakannya, karena itu biasanya dalam negara yang menganut sistem multy partai , hal yang sering dilakukan adalah bagaimana melakukan koalisi-koalisi. Tetapi bagaimanapun seperti apa yang tadi saya kemukakan sesuatu hal yang sulit itu akan terjadi ketika sistem multy partai digabungakn dengan sistem presidensial karena koalisi yang dihasilkan gampang terjadi kerapuhan atau ketidakkonsistenan. Dan itu terjadi secara fakta diindonesia.
1.3 . Koalisi dalam sistem presidensial maka  mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutf heavy menuju legeslatif heavy.
Setelah reformasi bergulir 1998, terjadi suatu perubahan struktur ketatanegaraan secara bertahap diinodonesia yaitu dengan mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali (1999-2002). Dimana dulu ada lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dengan diamandemennya UUD 1945 maka tidak ada lagi lembaga negara yang mendominasi. Sekarang antar lembaga negara hanya ada prinsip check and balance dan tidak ada prinsip saling mebawahi seperti dulu. salah satu agenda reformasi selain bagaimana mengutkan demokratisasi yang ada diindonesia adalah bagaimana juga menguatkan sistem presidensial (eksekutif heavy)  diindonesia, tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi juga kesewenang-wenangan oleh presiden (abuse of power). Tetapi yang menjadi suatu masalah yang dihadapi negeri ini setelah reformasi adalah banyaknya partai politik yang mendominasi sehingga indonesia menganut sistem partai yang majemuk (multiparty system). Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem partai yang ada diindonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuman ada 3 (tiga) partai sekarang menajdi banyak partai (multiparty system). Dan inilah menjadi titik kekacauan menurut saya setelah reformasi itu bergulir yaitu indonesia menganut sistem multi partai.
            Seperti apa yang saya kemukakan sebelumya bahwa disatu sisi the founding father’s kita mengeinginkan memperkuat sistem presidensial kita. Tetapi disatu sisi harus dihadapkan dengan sistem multypartai, padahal ketika sistem multi partai digabungkan dengan sistem presidensial maka rentang terjadi suatu pemerintahan yang terbelah, seperti apa yang dikemukakan oleh scott mainwaring. Rentang terjadi konflik antara legeslatif dan eksekutif, dan disatu sisi juga dimana gampang terjadi kompromi sehingga hak-hak konstitusional presiden terganggu karena harus membangun koalisi. Dan disatu sisi koalisi tersebut tidak permanen. Fakta itupun terjadi kalau kita melihat kasus hak angket bank century dimana koalisi yang dibangun oleh pemerintah tak dapat berbuat apa-apa sehingga 2 partai yang tergabung dalam koalisi sedikit berlawanan arah dengan koalisi tersebut sehingga kita dapat berkesimpulan bahwa koalisi yang dibangun tak permanen. Disatu sisi juga, presiden gampang “tersandra” akibat multypartai tersebut sehingga harus melakukan kompromi-kompromi yang berujung pada kepentingan-kepentingan elitis belaka jasa.
          Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apa yang harus diperbuat ?. menurut hemat saya banyak hal yang bisa dilakukan, seandainya UUD 1945 dapat diamanden lagi, saya cuman berharap untuk menguatkan sistem presidensial tersebut harus ada suatu perubahan besar-besaran dalam pasal-pasal dalam UUD 1945 terutama yang bernuansa parlementer, dimana pasal yang berkaitan dengan parlementer itu diubah kalau betul ingin menguatkan sistem presidensial. Karena banyak diantara pakar hukum tata negara mengemukakkan bahwa sistem pemerintahan indonesia lebih ke semi-presidensial. Kemuadian, sistem multypartai ini harus disederhanakan. Walaupun memang masih banyak yang mengatakan bahwa ini melanggas demokrasi diindonesia karena melakukaan suatu pembatasan. Indonesia telah menerapkan semacam parlementery treshold , itu perlu diberi suatu suport terhadap hal tersebut. Yaitu ambang batas partai politik untuk masuk dalam parlemen tersebut pelu dinaikkan karena kalau kita melihat UU No.10 Tahun 2008 maka ambang batas itu hanya 2,5 %, sehingga waktu pemilu 2009  ada 9 (sembilan) partai yang masuk dalam DPR ( Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra dan Hanura ), dan menurut saya partai yang ada dalam DPR tersebut masuh terlau banyak dan masih perlu ditambanh ambang batasnya. Kalau hemat saya sih, harusnya ambang batas itu sampai 5-7 % dinaikkan. Karena itu lebih efektif untuk menstabilkan jalannya pemerintahan karena multypartai tersebut bisa teratasi sedikit-demi sedikit. Walapun masih banyak orang yang mengatakan ini melanggar demokrasi. Tetapi menurut saya ini bukan melanggarar sebuah demokrasi karena sesuai dengan UU No.2 tahun 2008 Jo. UU no. 2 Tahun 2011 tentang partai politik tersebut setiap orang berhak membuat partai politik dan itu tidak ada batasan yang penting memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang tersebut. Dan dengan adanya parlementary treshold itu menurut saya bukan suatu batasan, karena partai-partai yang dipilih tersebut akan terseleksi dengan sendirinya dan rakyat yang menentukan apakah parwakilan-paerwakilan partai tersebut berhak masuk parlemen dengan adanya parlementery treshold.
               Kemudian seandainya penguatan presidensial itu terjadi dan multypartai tersebut mulai dihilangkan dinegeri ini maka sistem check anda balace juga harus diperkuat. Jangan sampai ketika presiden terlalu dikuatkan (eksekutif heavy) maka presiden itu gampang sewenang-wenang (abuse of power), karena itu perlu juga bagaimana pengawasan legeslatif tersebut diperhatikan sehingga check and balances tersebut dapat terjadi. Jadi sekali lagi, bahwa ketika koalisi ini kita masih perjuangkan maka menurut saya seakan-akan kita mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutif heavy menuju legeslatif heavy.


[1] Kompromi Disini dimaksud adalah kesepakatan “ resultante” dalam artian bahwa konstitusi adalah merupakan hasil kesepakatan para pembuatnya sesuai dengan kebutuhan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam) pada waktu tertentu maka upaya memperbaikinya kembali harus selalu diberi peluang untuk didiskusikan jika memang ada perubahan yang signifikan dalam bidang ipoleksosbudhankam. Liat Mahfud MD, Perdebatan hukum tata negara pasca reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. Xii.
[2] Liat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UUD NRI 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sektetariat jenderal MPRRI, 2006, hlm.10.
[3] lbid,hlm.14.
[4]  Bahwa kalau kita berbicara tentang sistem presidensial maka kita merujuk kepada sistem pemerintahan amerika serikat sedangkan kalau parlementer kita merujuk kepada sistem pemerintahan inggris.
[5] Jimly asshiddiqy, Pokok-pokok hukum tata negara indonesia pasca reformasi, bhuana ilmu populer, 2008, hlm. 316.
[6] Lihat Saldi Isra, Problematika koalisi dalam sistem presidensial,http://www.saldiisra.web.id
[7] Liat Muhammad arief iskandar,  sistem presidensialisme yang lemah http://www.waspada.co.id
[8] Lihat Saldi Isra, Problematika koalisi dalam sistem presidensial, http://www.saldiisra.web.id


“KOALISI PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA TAHUN 2012”

 “Studi kasus Koalisi Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Purwakarta tahun 2012”


Alpiadi Prawiraningrat: Locate Discussion

27 Desember  2103

I.     1  Latar Belakang
Kecenderungan umum dalam Pemilukada langsung adalah terbentuknya koalisi partai-partai politik untuk mengusung kandidat. Landasan koalisi salah satunya dapat berupa faktor teknis, karena kurang memenuhi syarat untuk dapat mengajukan kandidat sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa parpol yang hendak mengajukan calon memiliki minimal 15% suara atau kursi sebagaimana dikemukakan pada penjelasan sebelumnya. Syarat ini membuat banyak partai melakukan koalisi. Koalisi juga dibangun berdasarkan landasan untuk memenangkan kandidat yang diusung. Melakukan koalisi dengan banyak partai, diharapkan sumber dukungan terhadap calon akan besar.
Pelaksanaan Pemilukada Purwakarta tahun 2012 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, yaitu Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dengan nama koalisi “Sahate”; Dudung B. Supardi dan Yogie Mochammad dengan nama koalisi “Dugi dan pasangan Burhan Fuad dan Onie S. Sandi dengan nama koalisi “Bomber”. Dari tiga pasang calon bupati tersebut, terdapat fenomena menarik yang sangat jarang terjadi dalam Pemilukada Purwakarta, yaitu pada pasangan nomor urut 2 yaitu Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Dikatakan menarik karena calon tersebut maju dengan diusung oleh koalisi besar yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP).  Koalisi ini dapat dikatakan sebagai koalisi penuh warna, karena partai politik Islam berkoalisi dengan partai nasionalis. Selain itu, partai politik yang di tingkat nasional bersebarangan, di tingkat lokal justru beroposisi, seperti halnya Partai Golkar dan PDIP.
Selanjutnya ada beberapa fenomena lain yang membuat penulis tertarik melakukan penelitian ini, yaitu bahwa Kabupaten Purwakarta telah mengukirkan nama sebagai kabupaten dengan perumbuhan ekonomi dan pembangunan yang sangat pesat di provinsi Jawa Barat.  Peningkatan infrastruktur dengan berbasiskan kepada kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Purwakarta menjadikanya membutuhkan seorang figur kepala daerah yang sesuai dengan yang di harapkan dan dapat memberikan perubahan yang lebih baik untuk masyarakat daerah di Kabupaten Purwakarta.
Jika melihat jumlah kursi yang merepresentasikan perolehan suara Partai Golkar di DPRD Purwakarta, kekuatan politik Partai Golkar tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini dikarenakan Partai Golkar memperoleh suara yang cukup besar dan sangat memungkinkan untuk mencalonkan sendiri kadernya menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati, yaitu 11 (sebelas) kursi di DPRD Purwakarta atau sekitar 24,45 %. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan justru Partai Golkar yang mengusung Dedi Mulyadi yang merupakan partai pemerintah lebih memilih berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung kadernya sebagai calon wakil bupati

I.     2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah yang dipaparkan tersebut, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana proses koalisi partai yang terjalin antara Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) dalam Pemilihan Kepala Daerah Bupati dan Wakil Bupati Purwakarta tahun 2012?”

I.     3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk mengetahui bagaimana proses koalisi partai yang terjalin antara partai-partai pada pemilu kepala daerah di Purwakrata pada tahun 2012. Disamping itu menarik juga untuk melihat pola koalisi yang terbentuk , serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan koalisi partai tersebut, khususnya dalam kasus pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012. 

I.     4  Kerangka Teori
Secara harfiah pengertian koalisi adalah penggabungan. Koalisi merupakan kelompok individu yang berinteraksi yang sengaja dibentuk secara independen dari struktur organisasi formal, terdiri dari keanggotaan yang dipersepsikan saling menguntungkan, berorientasi masalah atau isu, menfokuskan pada tujuan di luar koalisi, serta memerlukan aksi bersama para anggota. Dalam khazanah politik, koalisi merupakan gabungan dua partai atau lebih dengan tujuan untuk membentuk secara bersama satu pemerintahan. Koalisi merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari dalam proses bangsa yang menganut sistem multipartai.[1][1]
Dalam sistem pemerintahan yang multi partai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakekat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Namun sering kali koalisi yang dibangun membingungkan. Kompleksnya kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun diatas landasan pemikiran yang realitis dan layak.[2][2]
Riker memaknai koalisi politik sebagai berikut:[3][3]
“.....three-ormore person games, the main activity of the players is to select not only strategies, but partners. Partners once they become such, then select a strategy”.
Pada saat para rekanan (partner) ini bergabung, dan bekerjasama hanya dengan sejumlah aktor lain, dan menghadapi aktor-aktor lain di luar mereka, setiap koalisi pada dasarnya mencari pengaruh diantara aktor-aktor tanpa adanya mediasai yang berbentuk material oleh karenya bersifat politis.
William Riker menjelaskan tentang koalisi politik melalui teorinya Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC)[4][4] atau kemenangan minimum.  Menurut Riker, pemerintahan seharusnya dibentuk dengan koalisi yang menjamin kemenangan minimum. Asumsi Teori MWC Partai politik berkepentingan untuk memaksimalkan kekuasaan mereka. Dalam sistem parlementer misalnya, kekuasaan berarti partisipasi dalam kabinet dan kekuasaan yang maksimum (maximum power) berarti memegang posisi dalam kabinet sebanyak mungkin. Maka koalisi antar partai politik diperlukan untuk memaksimalkan kekuasaan, baik dalam kabinet maupun parlemen. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan MWC adalah diperlukannya jumlah kursi tertentu untuk mencapai kemenangan yang minimal (cukup 50% + 1) di parlemen.   Teori ini menekankan bahwa cukup membutuhkan koalisi dua atau lebih partai politik yang dapat mengontrol kursi parlemen, tetapi “minimal” dalam arti mereka tidak memasukkan partai-partai yang “tidak perlu” untuk mencapai kemenangan. Koalisi ini cukup menguasai mayoritas minimal kursi parlemen dengan mengeluarkan partai-partai yang memiliki kursi kecil.
Akan tetapi teori Riker tersebut mendapatkan kritikan salah satunya adalah teori MWC cenderung mengabaikan preferensi kebijakan partai padahal hal tersebut tidak dapat diabaikan.[5][5] Terkadang partai tidak selalu ingin memaksimalkan kekuasaan tetapi bagaimana mencapai kebijakan politik tertentu.  Kritik terhadap MWC tersebut memunculkan variasi teori tentang koalisi politik. Diantaranya yang penting adalah Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod,[6][6] menurutnya koalisi dibentuk secara “connected” yaitu terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan partner yang tidak penting. Asumsi Teori MCW Partai-partai terlebih dahulu akan mencoba bergabung dengan “tetangga dekat” mereka, lalu jika diperlukan menambah dengan partai-partai lainnya hingga koalisi mayoritas terbentuk.  Tujuannya partai-partai ingin membentuk pemerintahan yang dapat meminimalkan konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi yang akan memerintah. Maka membentuk koalisi atas dasar kesamaan tujuan kebijakan lebih penting dan stabil daripada atas dasar jumlah semata.
Sehingga dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika Riker dengan koalisi “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), maka Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai).
Tabel 1.1[7][7]
Perbandingan Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) dan Minimum Connected Winning (MCW)
Policy-blind coalition theory
Policy-based coalition theory
Menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi
Menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan
Minimal winning coalitions dari William Riker (1962)
Minimal connected coalitions dari Robert Axelrod (1970)
Asumsi partai bertujuan “office seeking
Asumsi partai bertujuan “policy seeking
Loyalitas peserta koalisi sulit dijamin
Loyalitas peserta koalisi secara minimal diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan
Sulit diprediksi jika range ukuran partai-partai sangat beragam.
Koalisi bisa sangat “gemuk” dengan melibatkan partai-partai yang tidak perlu (oversized) agar tujuan kebijakan mendapat dukungan mayoritas di parlemen

Akan tetapi menurut Geoffrey Pridham,[8][8] baik teori MWC Riker dan MCW Axelrod cenderung bersifat memprediksi koalisi yang akan terbentuk daripada menjelaskan koalisi tersebut. Dalam arti di luar model matematika game theory yang diadopsi oleh Riker maupun kedekatan skala kebijakan yang diajukan Axlerod, kedua pemikiran ini belum dapat menjelaskan dinamika dan proses koalisi politik yang terbentuk. 
Di mana dalam konteks proses koalisi tersebut, partai politik cenderung mempertimbangkan beberapa faktor, yang terdapat dalam beberapa dimensi yang digunakan oleh Pridham dalam memahami konteks koalisi tersebut, di mana dimensi yang digunakan dalam makalah ini, yaitu:[9][9] a) Dimensi Institusional: didasarkan atas argumen bahwa struktur politik menyediakan tantangan dan kesempatan bagi pengambil keputusan dalam membentuk hubungan koalisi. Seperti sistem pemilu; b) Dimensi Motivasional: bisa terbentuk atas dua hal yaitu atas dasar kedekatan kebijakan atau trade-off antara tujuan “office seeking” dan komitmen kebijakan.  Misalnya motivasi di antara mitra koalisi atas isu-isu kebijakan, seberapa jauh prioritas isu berhubungan dengan strategi atau identitas partai; c) Dimensi Horisontal-Vertikal: dilihat dari struktur negara dalam arti hubungan pusat dan daerah. Isunya adalah seberapa penting koalisi di tingkat regional dan lokal bagi strategi partai; d) Dimensi Internal Partai: menyangkut bagaimana proses penjaringan internal partai. Dalam hal ini interaksi antara internal partai dan di luar partai, termasuk keseimbangan kekuasaan antara partai-partai dalam parlemen; e) Dimensi Sosio-politik: beberapa variabel yang memengaruhi koalisi seperti perubahan tuntutan pemilih, konflik dan dukungan di masyarakat; f) Dimensi Eksternal: menyangkut figur aktor yang dicalonkan dalam koalisi di masyarakat.
Sehingga teori yang dipaparkan di atas dapat digunakan sebagai pisau analisa permasalahan yang dibahas.  Dimensi koalisi Pridham digunakan untuk menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor dalam suatu proses pembentukan koalisi Pemilukada Purwakarta tahun 2012. Begitupun dalam memahami fenomena koalisi Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta 2012. Begitupun teori Teori Minimal Winning Coalitions (disingkat MWC) Riker dan Minimum Connected Winning (MCW) Alexord digunakan untuk melihat bagaimanakah pola koalisi yang terbentuk dalam fenomena Pemilukada Purwakarta tahun 2012.

I.     5  Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain). Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah partai koalisi dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012 yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP).
Lokasi penelitian ini dilaksankan di Kabupaten Purwakartaling. Sedangkan informan dalam penelitian ini diambil dengan cara purposive sampling, di mana kelompok kami memilih informan-informan yang kompeten di bidangnya dan dapat memberikan informasi yang kami butuhkan, di antaranya Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar), Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia (PDIP) Kabupaten Purwakarta. Adapun tenik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi



BAB II
PEMBAHASAN
II.  1 Kemenangan Pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada     Purwakarta Tahun 2012.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Purwakarta akhirnya telah menetapkan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2013-2018. KPUD Purwakarta menyatakan hasil pemilihan bupati dan wakil bupati Purwakarta yang digelar 15 Desember 2012 dimenangkan Dedi Mulyadi dengan Dadan Koswara.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan, bahwa pasangan yang berada di posisi pertama, yakni pasangan nomor urut dua memperoleh kemenangan telak dengan  meraih suara sebanyak 306.332 suara atau 65,64%. Di posisi kedua, pasangan Dudung B Supardi dengan Yogie Muchamad (Dugi) meraih suara sebanyak 115.699 suara atau 24,79%. Sedangkan, diurutan nomor tiga ditempati pasangan Burhan Fuad dengan Onnie S Sandi dengan total suara 44.646 suara atau 9,57%[10][10]
Kemenanagn pasangan nomor urut dua tersebut tidak terlepas dari popularitas Dedi Mulyadi sebagai seoarang Bupati dimasa sebelumnya. Dimana menurut Direktur Citra Komunikasi LSI, Toto Izul Fatah diungkapkan bahwa kemenangan Dedi berdasarkan hasil quick count disinyalir karena faktor kepopulerannya. Bahkan, ia menyebutkan, faktor koalisi partai yang dilakukannya tidak berpengaruh besar. Di tingkat masyarakat Dedi populer sekitar 98 persen. Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat memiliki tingkat kesukaan sekitar 80 persen.[11][11]  Sehingga tingkat popularitas Dedi Mulyadi menjadi sangat penting dalam proses pemilihan umum kepala daerah di Purwakarta pada saat itu.
Seperti diketahui sebanyak tiga pasangan calon bersaing pada pencoblosan di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Purwakarta tahun 2012 silam yang memeperebutkan kursi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Purwakarta periode 2013 hingga periode 2018. Adapun tiga pasangan yang akan bertarung sesuai dengan nomor urut, yakni Dudung Bachdar Supardi dengan Yoggie Mochamad, Dedi Mulyadi dengan Dadan Koswara, dan Burhan Fuad dengan Onnie Surono Sandie.

II.2  Faktor-Faktor Pertimbangan Partai Politik dalam Pembentukan Koalisi “Sahate” mendukung Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2012.
Dinamika pembentukan koalisi partai politik dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung sangatlah tinggi, karena partai politik melakukan berbagai penilaian yang didasarkan pada faktor-faktor tertentu yang menjadi landasan pertimbangan setiap partai dalam melakukan koalisi. Faktor-faktor tersebut di antaranya: a) Pemetaan partai politik di DPRD; b) Peran Dewan Pengurus Pusat (DPP); c) Mekanisme Penjaringan Internal Partai Politik; serta, d) Peran Figur Bakal Calon Bupati dan Wakil bupati.  Begitupun dalam konteks pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta, faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan partai politik dalam melakukan koalisi Sahate yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) yang mendukung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara pada Pemilihan Kepala daerah Kabupaten Purwakarta tahun 2012.
Dalam hal pemetaan partai politik di DPRD didasarkan perolehan suara pada pemilu legislatif sebelumnya, hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi para partai untuk melakukan koalisi.  Keputusan ini  mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pasal 59 ayat (1) dan (2) yang kurang lebih menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan suara sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi Sahate pula tidak dapat memungkiri bahwa jumlah kursi yang mereka miliki di DPRD sesuai perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya menjadi pertimbangan mereka untuk melakukan koalisi dengan partai lain untuk mendapat posisi lebih strategis dalam pemilihan lembaga eksekutif. Pada pemilu DPRD Kabupaten/Kota Purwakarta tahun 2009, dapat dilihat bahwa posisi partai-partai dalam koalisi Sahate adalah sebagai berikut.

Tabel I.1 [12]
Posisi Partai Koalisi Sahate dalam DPRD 2009—2014
Partai
Prosentase Suara
Jumlah Kursi
Golkar
26,72%
11
PDIP
9,58%
6
Gerindra
4,74%
2
PKB
5,75%
4
Hanura
5,32%
2
PDP
2,30%
1

Mengacu pada data diatas, dapat dilihat bahwa partai-partai selain Golkar memiliki perolehan suara kurang dari 15% di DPRD. Oleh karena itu, partai-partai selain Golkar memerlukan partai lain untuk bergabung sehingga mencapai jumlah diatas 15%.  Kembali pada relevansi pemetaan kekuatan politik di DPRD yang ditunjukan data di atas (tabel I.1) dengan pembentukan koalisi partai politik terletak pada kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan pasca pemilihan kepala daerah.[13][13] Hal tersebut nampaknya dibutuhkan oleh Dedi Mulyadi sebagai salah satu upaya merealisasikan visi dan misinya sebagai Bupati Purwakakarta pada periode tahun 2012-2018.
Kembali pada konteks proses koalisi Sahate yang mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Didasarkan pada data yang menunjukan beberapa partai politik tidak dapat memperoleh 15% di DPRD Purwakarta, akhirnya parti-partai tersebut melakukan  melakukan survey preferensi calon kepala daerah bupati kepada masyarakat Purwakarta.  Hal tersebut sebgai bagian dari pertimbangan kepada siapa akhirnya partai-partai yang tidak memperoleh 15% di DPRD memberikan dukunga. Setelah melakukan survey calon, mayoritas partai menemukan Dedi Mulyadi sebagai calon terkuat menurut preferensi masyarakat. Kemudian masing-masing partai politik melakukan penjaringan internal, di mana masing-masing partai berbeda dari proses penjaringan tersebut.  PDIP misalnya, setelah melakukan musyawarah internal partai dan pembentukan tim seleksi, akhirnya diputuskanlah bahwa PDIP DPC Kabupaten Purwakarta membuka pendaftaran untuk menjadi koalisi dalam pencalonan bupati dan wakil bupati Purwakarta pada pemilihan kepala daerah tahun 2012. Hal yang menarik adalah Dedi Mulyadi sebagai seorang kader Golkar pertama kalin mendaftarkan dirinya sebagai calon bupati kepada PDIP, yang kemudian membuat PDIP menginisiasi pembentukan koalisi Sahate.[14][14] Sementara partai lain, seperti Gerindra misalnya, tidak membuka pendaftaran karena perolehan suara mereka yang tidak besar dalam DPRD sehingga membuat mereka tidak memiliki posisi tawar cukup kuat selain memutuskan bergabung dengan koalisi. Meskipun PDIP memiliki peluang untuk berkoalisi dengan partai lain untuk membentuk koalisi minimal, tetapi keputusan koalisi besar lebih menjadi preferensi terkait faktor lain yakni figur calon bupati.
Namun, pengusungan Dedi Mulyadi sebagai calon bupati dari partai terkait, tidak bisa semata merupakan keputusan Dewan Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai di Purwakarta. Prosedur yang harus dilewati dan dipenuhi adalah persetujuan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP). Oleh karena itulah peran Dewan Pengurus Pusat dari masing-masing partai juga menjadi suatu hal yang dipertimbangkan. Dalam perjalanan PDIP, persetujuan DPP didapat setelah sang Ketua DPC PDIP Purwakarta, Acep Maman, melakukan presentasi kepada DPP terkait pengusungan Dedi Mulyadi. Sama halnya dengan Gerindra, Hanura, PKB, dan PDP yang mendapatkan persetujuan untuk melakukan koalisi dengan Sahate setelah memaparkan penjelasan dan argumentasi kepada DPP masing-masing. Atas dasar rekomendasi dari DPC masing-masing partai itulah kemudian DPP melakukan pertimbangan dan musyawarah bersama internal partai untuk kemudian memberikan persetujuan dan surat rekomendasi untuk mengajukan pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara sebagai pasangan bupati dan wakil bupati yang diusung partai koalisi pada pemilihan kepala daerah Purwakarta tahun 2012.
Sehingga dapat dipahami bahwa beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, merupakan salah satu aspek yang memengaruhi kelancaran proses pertimbangan koalisi yang dilakukan oleh partai-partai politik dalam koalisi Sahate adalah restu dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) masing-masing partai, selain faktor utama yakni terpenuhinya syarat prosedural yakni Undang-Undang dalam pencalonan kepala daerah dan wakilnya.
Satu hal lagi yang menarik dari proses pemilihan umum secara langsung, termasuk dalam konteks pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten.  Figur atau sosok calon bupati dan wakil bupati dengan visi dan misi yang dimilikinya menjadi prefernsi yang sangat penting bagi partai politik dalam melakukan pertimbangan koalisi.
Begitupun dalam konteks proses penentuan koalisi Sahate dalam pemilihan kepala daerah kabupaten Purwakarta, figur seorang Dedi Mulyadi menjadi bagian terpenting dalam penentuan keputusan koalisi.  Dedi Mulyadi dikenal sebagai individu yang cerdas, sederhana, merakyat dan sangat menjunjung tinggi budaya Sunda, sebagai basis kebudayaan masyarakat Purwakarta[15][15] ditambah lagi faktor kepopulerannya di masyarakat Purwakarta sekitar 98 persen. Dia dikenal masyarakat sekitar 70 persen, dan masyarakat memiliki tingkat kesukaan sekitar 80 persen.[16][16] 
Disamping itu, visi dan misi Dedi Mulyadi sebagai Bupati Purwakarta yang ditungkan dalam “SALAPAN LENGKAH NGAWANGUN NAGRI RAHARJA” (Sembilan Langkah Membangun Purwakarta Sejahtera) Program Pembangunan Purwakarta 2012-2018) yang merupakan strategi, target, sekaligus pula kerangka kerja pelaksanaan pembangunan Purwakarta, di antaranya:[17][17] a) Pendidikan Gratis Sampai Tingkat SLTA Bagi Masyarakat Miskin; b) Pembebasan Biaya Pembelian Buku Sekolah dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Baca Tulis Al Quran Bagi Siswa TK,SD, SLTP dan SLTA Yang Beragama Islam; c) Pelayanan KTP, Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran Gratis Bagi Seluruh Masyarakat Dengan Sistim Pelayanan Di Tingkat Desa dan Kelurahan; d) Pembangunan Puskesmas Rawat Inap Di Seluruh Kecamatan; e) Peningkatan Kesejahteraan Guru dan Pegawai Melalui Insentif Kehadiran, Serta Peningkatan Kesejahteraan Kepala Desa, Aparatur Desa, Bamusdes, LPM, Linmas Hansip, Kadus, RW, RT, DKM, dan Guru Ngaji Melalui Otonomi Desa dan Kelurahan; f) Pengembangan dan Pelebaran Jalan Hotmix Serta Listrik Sampai Pelosok Perdesaan, Membuat/Mengoptimalkan Jalur Tembus Cikao Bandung-Babakancikao, Kiarapedes-Cibatu, Pasawahan-Cibatu, Pasawahan-Pondoksalam, Pasawahan-Purwakarta, Pondoksalam-Bojong, Wanayasa-Pondoksalam, Bojong-Darangdan, Campaka-Cibatu-Bungurari, Membuka Pintu Tol Sawit, Serta Pelebaran Jalan Sawit-Wanayasa; g) Pengembangan Air Bersih dan Irigasi Perdesaan Secara Menyeluruh Dan Mengoptimalkan Sungai Ciherang Untuk Irigasi Perairan Pondoksalam-Pasawahan, Sungai Cikao Untuk Irigasi Perairan Bojong-Darangdan-Jatiluhur, dan Sungai Cimunjul Untuk Irigasi Perairan Purwakarta-Babakancikao. Pengembangan Irigasi Cilamaya Untuk Pertanian Kiarapedes-Wanayasa-Cibatu-Campaka-Bungursari, Serta Mengoptimalkan Fungsi Bendungan Cirata dan Jatiluhur Untuk Pertanian Masyarakat Maniis, Plered, Tegalwaru, Sukatani, Sukasari, dan Jatiluhur Dengan Pola Integrasi Kehutanan, Pengairan, Perikanan, Pertanian, Peternakan dan Pariwisata; h) Pengembangan Kawasan Terpadu Kecamatan Bungursari, Pengembangan Tata Kota dan Tata Bangunan Yang Beridentitas Purwakarta, Renovasi Bangunan Tua, Pengembangan Halaman Stasion, Penyempurnaan Situ Buleud, Penataan Alun-Alun, Integrasi Bangunan Pemerintah, Serta Pemberian Perlindungan Yang Menyeluruh Terhadap Keberadaan Dan Kualitas Pedagang Serta Pasar Tradisional; i) Pengembangan Investasi Dengan Menyiapkan Tanah Untuk Industri Dengan Sistem Sewa Yang Disiapkan Oleh Pemerintah Daerah.  Adanya relevansi penjabaran visi dan misi yang dideskripsikan di atas dengan visi dan misi beberapa partai politik menjadi bagin dari referensi partai untuk melakukan koalisi mendukung Dedi Mulyadi sebagai calon bupati Purwakarta.[18][18] 

II.3 Bentuk Koalisi Partai Politik dalam Pemilukada Purwakarta tahun 2013
Berdasarkan pemaparan di atas, secara sepintas dapat diasumsikan bahwa berdasarkan perspektif partai peserta koalisi “Sahate” yang mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta dapat dikategorikan sebagai koalisi yang didasarkan Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod,[19] menekankan partai politik sebagai “policy seeking” atau upaya perwujudan kebijakan.  Namun di sisi lain fenomena koalisi Sahate dapat dilihat sebagai Minimum Winning Coalition (MWC) yang berorientasi terhadap office seeking jika dilihat dari perspektif Dedi Mulyadi sebagai individu yang mencalonkan diri sebagai calin Bupati Purwakarta tahun 2012-2018. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dalam penentuan tipe koalisi khusunya dalam konteks Indonesia, terutama dalam kasus koalisi Sahate pada Pemilu kepala daerah kabupaten Purwakarta tahun 2012 tidak dapat tegas ditentukan bahwa pola atau bentuk koalisi tersebut adalah teori Riker yang menekankan koalisi pada “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai). Karena kita perlu melihat dari berbagai perspektif, dalam perspektif Dedi Mulyadi misalnya penentuan koalisi yang cukup besar yang diusung oleh cukup banyak partai Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) sebagai upaya untuk menguasai mayoritas di DPRD Kab. Purwakarta dan menjamin stabilitas pemerintahan pasca pemilihan[20][20] dan hal tersebut nampaknya dibutuhkan sebagai strategi untuk merealisasikan visi dan misinya sebagai Bupati Purwakarta pada periode tahun 2012-2018 sebagaimana yang dikemukakan Riker. Namun di sisi lain, perlu dilihat pula bahwa dalam perspektif partai-partai koalisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) koalisi terbentuk sebagai upaya dalam kesamaan pencapaian kebijakan dan tujuan partai politik  politik, sehingga tujuannya partai-partai ingin membentuk koalisi sebagai langkah meminimalkan konflik kepentingan dalam sesama anggota koalisi.  Maka membentuk koalisi atas dasar kesamaan tujuan kebijakan dinilai penting, dan hal ini serupa dengan  teori Minimum Connected Winning (MCW) dari Robert Axelrod.[21][21]
Oleh karena itu, nampaknya asumsi teori yang dikemukakan oleh Riker yang menekankan koalisi pada “minimal winning” menekankan bahwa partai politik bersifat “office seeking” (memaksimalkan kekuasaan), ataupun Axelrod dengan koalisi “minimum connected” menekankan partai politik sebagai “policy seeking” (mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai) cukup sulit digunakan dalam konteks Indonesia, khususnya dalam koalisi “Sahate” pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta tahun 2012.

BAB III
KESIMPULAN

Berdsarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa proses koalisi yang terjadi di tingkat lokal khususnya dalam kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Purwakarta, pertimbangan koalisi dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kekuatan partai politik di DPRD Kabupaten Purwakarta, mekanisme internal partai politik, peran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Politik dan sangat penting adalah figur dari para calon kepala daerah. Seperti yang terjadi dalam koalisi Sahate yang mendukung pasangan Dedi Mulyadi dan Dadan Koswara. Figur calon kepala daerah seperti Dedi Mulyadi dengan visi  dan misi yang selalu berlandaskan kearifan lokal dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara mengoptimalkan pelayanan publik, menjadi salah satu faktor penting yang dilihat partai politik dalam mempertimbangkan keikutsertaannya dalam koalisi. Selain itu dalam kasus koalisi pilkada lokal cukup sulit untuk menentukan apakah tipe koalisi Minimum Winning Coalition (MWC) yang berorientasi terhadap office seeking yang dikemukakan Rieker ataupun koalisi dengan tipe Minimum Connected Winning (MCW) yang berorientasi pada policy seeking yang dikemukakan oleh Alexord, hal ini disebabkan perlunya melihat fenomena koalisi dari berbagai perspektif, baik dari segi pihak yang mengajukan diri dalam pencalonan kepala daerah maupun pihak yang ingin bergabung menjadi bagian dari koalisi tersebut.

Daftar Pustaka

Sumber Buku:
Lijphart, Arend. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja Grafindo, 1995
Bambang, Cipto.  Prospek dan Tantangan Partai Politik.  Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi.  Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Lijphart, Arend. Democracies: Patters of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries.  New Haven: Yale University Press, 1984.
Pridham, Geoffrey. Coalition Behaviour and Party Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987.

Sumber Jurnal:
Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.

Sumber Tesis:
Wardani, Sri Budi Eko. Koalisi dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006.  Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.

Sumber Wawancara
No
Nama
Jabatan
1
Sarif Hidayat
Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar) Kabupaten Purwakarta
2
Neng Supartini
Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Purwakarta
3
Hariyanto
Sekjen DPC Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kabupaten Purwakrta
4
Asep Maman
Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Purwakarta

Sumber Website
Nn. Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
Nn. Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta  diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 06.34 WIB.
Nn.http://i1223.photobucket.com/albums/dd508/bappedapurwakarta/PurwakartaIstimewa300.jpg diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 21.30 WIB.
Nn. bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
Nn. http://static.inilah.com/data/berita/foto/1907461.jpg diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.30 WIB.
Nn. http://tvberita.com/foto_berita/medium_61Foto-0283.jpg diakses pada Sabtu, 23 November 2013; Pukul 10.28 WIB.








[1] Arend  Lijphart. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm. 221,
[2] Cipto Bambang.  Prospek dan Tantangan Partai Politik  (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 22.
[3] Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 123.
[4] Arend Lijphart. Democracies: Patters of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries (New Haven: Yale University Press, 1984), hlm. 47-49.
[5] Ibid.,
[6]Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
[7]Dalam Tesis Sri Budi Eko Wardani. Koalisi dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 37.
[8]Geoffrey Pridham. Coalition Behaviour and Party Systems in Western Europe: A Comparative Approach, 1987 dalam Tesis Sri Budi Eko Wardani. Ibid., hlm. 17.
[9] Ibid,

[10][10] Dedi-Dadan Menang Telak di Pilbub Purwakarta. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/21/dedi-dadan-menang-telak-di-pilbub-purwakarta  diakses pada Minggu, 24 November 2013; Pukul 06.34 WIB.

[11][11] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
[12]Data diolah dari Hasil Penghitungan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Dalam Pemilu Anggota DPRD Kab/Kota Purwakarta Tahun 2009 keluaran KPU
[13] Wawancara dengan Sarif Hidayat selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[14]Wawancara dengan Acep Maman selaku Ketua DPC PDIP Purwakarta, pada  Sabtu, 23 November 2013.
[15]Wawancara dengan Acep Maman selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab. Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada sabtu, 23 November 2013.
[16] Dedi Menang Karena Populer. http://jabar.tribunnews.com/2012/12/15/dedi-menang-karena-populer diakses pada Jumat, 22 November 2013; Pukul 06.38 WIB.
[17]bappedapurwakarta.net/beranda/informasi-terkini/139-program-kerja-pemkab-purwakarta-tahun-2013.html diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 20.13 WIB.
[18]Wawancara dengan Acep Maman selaku ketua DPC PDIP Kab. Purwakarta; Neng Supartini selaku Ketua DPC PKB Kab. Purwakarta dan Hariyanto selaku Sekjen DPC Partai Gerindra Kab. Purwakrta pada sabtu, 23 November 2013.
[19]Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
[20]Wawancara dengan Sarif Hidayat selaku Ketua DPD Golkar Purwakarta, pada Minggu, 24 November 2013.
[21]Craig Volden & Clifford J. Carrubba. The Formation of Oversized Coalition in Parliamentary Democracies dalam American Journal of Political Science, Vol. 48, No.3, July 2004.
»»  Baca Selengkapnya...