MEMAHAMI HIERARKI NORMA HUKUM DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
Turiman Fachturahman Nur
Adalah berbeda antara hierarki norma
hukum dengan hierarki perundang-undangan, untuk memahaminya perlu ada pemahaman
secara teoretik apa yang dimaksud dengan hierarki itu sendiri.
Hierarki adalah tata tingkatan
suatu aturan yang mana dengan ketentuan bahwa peraturan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi atau secara sederhana hierarki
adalah struktur norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Apa sesungguhnya peraturan itu ? Peraturan dapat dikatakan
sebagai pedoman agar manusia hidup tertib dan teratur. Jika tidak terdapat
peraturan, manusia bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit
diatur. Banyak jenis mengenai peraturan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, namun dalam konteks negara Indonesia peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum disebut sebagai peraturan perundang-undangan
Didalam peraturan perundang-undangan
tersebut atau subtansinya berisi norma hukum tertulis dan norma
hukum tertulis adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan
yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, norma hukum tertulis
diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan dalam
membentuk dan memberlakukan norma hukum tertulis.
Kemudian lebih tegas lagi norma hukum
merupakan norma yang memuat sanksi yang tegas. Dimana sanksi tersebut tersusun
atas suatu sistem aturan tersebut diwujudkan dalam perundang-undangan, namun
norma hukum sejatinya tidak hanya berisi sanksi, tetapi larangan, hak dan
kewajiban. Empat elemen inilah yang merupakan karakteristik norma hukum, yaitu
ada larangan, hak dan kewajiban serta sanksi, oleh karena itulah kemudian
subyek hukum yang terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum dipahami dalam
ilmu hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.
A.Teori Hierarki Norma Hukum
Pertanyaannya adalah adakah teori yang dapat menjelaskan tentang norma
hukum dalam suatu negara hukum, jelas ada, secara teoretik dalam tataran ilmu
hukum khususnya ilmu hukum tata negara mengenal teori Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie – Hans Kelsen)
Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang norma hukum (Stufentheorie). Dalam
teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam
arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif serta abstrak, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar merupakan norma
tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma
yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed [1]
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas
ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu
norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relative,
oleh karena itu masa berlakunya suatu hukum itu tergantung norma hukum yang ada
diatasnya.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar
pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber
dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata
susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi
tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu
berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.[2]
Pertanyaan bagaimana struktur hierarki Norma Hukum
dalam suatu negara ? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dieksplorasi lebih
dalam perkembangan teori hierarki Hans Kelsen berikut ini.
B Hierarki
Norma Hukum Negara
Teori perkembangan dimaksud
dinamaan die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen dari Hans Nawiasky, siapakah Hans Nawiasky, beliau
adalah salah seorang murid Hans Kelsen yang
mengembangkan teori gurunya
tentang jenjang norma hukum dalam kaitannya dengan suatu
negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari
negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.
Norma yang di bawah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut
Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu
terdiri atas empat kelompok besar antara lain:[3]
Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma
Fundamental Negara);
Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan
Dasar/Aturan Pokok Negara);
Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang
”Formal”);
Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan
pelaksana/Aturan otonom).
Berdasarkan teori Hans Nawiasky
tersebut, A. Hamid S. Attamimi guru besar ilmu hukum
UI membandingkannya
dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di
Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan
perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam
bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki
tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori
tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila
(Pembukaan UUD 1945)
2. Staatsgrundgesetz : Batang
Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung :
secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati
atau Walikota.[4]
Secara teoretik struktur tata
hukum di atas dipaparkan satu persatu karakteristiknya
Pertama, Norma
Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm)
Norma
hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum
Negara adalah “staatsfundamentalnorm”. Istilah
staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada
Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama ( 10 November 1995) dengan
Pokok kaidah fundamental Negara kemudian joeniarto, dalam bukunya yang berjudul
“sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia” menyebutnya dengan istilah norma
pertama, sedangkan A. Hamid S. attamimi menyebutkan istilah “staatsfundamentalnorm” ini
dengan “Norma Fundamental Negara”.
Norma fundamental Negara yang merupakan norma
tertinggi dalam suatu Negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu
norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat “pre-supposed” atau
“ditetapkan terlebih dahulu” oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan
norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma
yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh
karena jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi,
maka ia bukan merupakan norma yang tertinggi.
Menurut Hans
Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
Negara (staatsfundamentalnorm), termasuk
norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm
ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada
terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi
menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat
dan bentuk suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form
einer politischen einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.
Selain hal itu norma dasar (grundnorm atau
disebut juga ursprungsnorm atau urnorm) sebagaimana
yang disebutkan bersifat “pre-supposed”dan tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu
yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang
fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan untuk tidak menggoyahkan lapisan-lapisan
bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasarkan diri
kepadanya.
Di dalam suatu Negara norma dasar ini disebut juga
staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm suatu Negara
merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi
pengaturan Negara lebih lanjut.[5]
Berdasarkan
uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang
norma (stufentheorie) dari Hans kelsen dan teori jenjang norma
hukum (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) dari Hans Nawiasky.
Persamaanya adalah
bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis–lapis,
dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di
atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan
tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’.
Perbedaanya adalah
1) Hans Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan Hans Nawiasky
membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang berlainan. Perbedaan lainya adalah 2) teori Hans
Kelsen membahas jenjang norma secara umum (general)
dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum Negara), sedangkan Hans
Nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu
dihubungkan dengan suatu Negara.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, 3) di dalam
teorinya Hans Nawiasky menyebutkan norma dasar negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan dengan istilah
staatsfundamentalnorm. Hans Nawiasky
berpendapat bahwa istilah staatsgrundnorm
tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut norma dasar negara, oleh karena
pengertian grundnorm itu mempunyai
kecenderungan untuk tidak berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam
suatu negara norma dasar negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya
suatu pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Pendapat Hans Nawiasky ini
dinyatakan sebagai berikut :
“Norma tertinggi dalam Negara sebaiknya tidak
disebut staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm, norma fundamental
Negara. Pertimbangannya adalah karena grundnorm dari suatu tatanan norma pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu Negara mungkin
berubah-ubah oleh pemberontakan, coup d’etat, putsch, Anschluss dan sebagainya”[6]
Kedua, Aturan
Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Aturan dasar negara/aturan pokok
Negara (staatsgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum
dibawah norma fundamental Negara. Norma-norma dari aturan dasar Negara/aturan
pokok Negara ini merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan
aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan
norma hukum tunggal.
Menurut Hans Nawiasky, suatu dasar negara/aturan pokok
Negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga
dituangkan dalam dokumen Negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah
staatgrundgesetz.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara/Aturan pokok
Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan Negara di puncak
pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubungan antara lembaga-lembaga
Negara, serta mengatur Negara dengan warga negaranya, atau yang biasa kita
sebut sebagai konstitusi.
Pada pokoknya, konstitusi itu mendahului keberadaan
organisasi negara, seperti apa yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa
konstitusi lebih dulu ada daripada adanva pemerintahan, karena pemerintahan
justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh karena itu, menurut
Thomas Paine: “A constitution is not the act of a government, but of a
people constituting a government, and a government without a constitution is
power without right”. Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh
pemerintahan, tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur
pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan
kekuasaan tanpa kewenangan.
Di Indonesia aturan dasar Negara/aturan pokok negara
ini tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945, ketetapan MPR serta hukum dasar
tidak tertulis yang disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan dasar negara ini
menjadi dasar bagi pembentukan undang–undang (formell gesetz) atau aturan
yang lebih rendah[7]
Secara historis yuridis dalam
Penjelasan Umum Angka IV UUD 1945 sebelum amandemen UUD Neg RI 1945 menyebutkan
:
“Maka telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya
memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai
instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk
mnyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagai
Negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang
menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat,mengubah dan mencabut.”
Dengan demikian jelaslah bahwa Batang Tubuh UUD
1945 merupakan aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang merupakan sumber
dan dasar bagi terbentuknya suatu Undang-Undang (formell Gesetz) yang
merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan yang dapat mengikat
secara langsung semua orang.
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara yang
lainnya adalah aturan-aturan yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR yang
merupakan garis-garis besar haluan Negara. Ketetapan ini juga masih merupakan
aturan-aturan yang bersifat pokok dan merupakan ketetapan umum yang bersifat
garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal serta belum disertai norma
sanksi. Ketetapan MPR ini berisi pedoman-pedoman dalam pembrentukan peraturan
perundang-undangan walau hanya secara material.
Selain Batang Tubuh UU 1945 dan Ketetapan MPR,
masih dikenal pula adanya Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara lain yaitu
Konvensi Ketatanegaraan yang merupakan hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh
dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya hukum dasar tidak tertulis di
Indonesia dapat dilihat secara historis yuridis dalam Penjelasan Umum Angka I
UUD 1945 yang berbunyi :
“Undang-Undang Dasar satu Negara ialah sebagian
dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang
tertulis, sedangkan disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum
dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dari praktek penelenggara Negara meskipun tidak tertulis”
Contoh dari Hukum Dasar tidak tertulis adalah adanya
kebiasaaan penyelengaraan pidato kenegaraan oleh Presiden pada setiap tanggal
16 Agustus.
Ketiga,
UNDANG-UNDANG “FORMAL” (formell Gesetz).
Kelompok norma-norma hukum yang
berada di bawah aturan dasar Negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz)
adalah formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan
Undang-Undang ‘formal’. Norma dasar Negara yaitu norma-norma dalam suatu
Undang-Undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan rinci, serta
sudah dapat lansung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam
Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi
norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga
terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian
dalam suatu Undang-Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat
sanksi, bai itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu undang-undang
(wet/gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena
itu suatu undang-undang merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu
lembaga legislatif. [8][8]
Di Indonesia
istilah formell Gesetz atau formell wetten ini
sayogjanya diartikan dengan undang-undang saja tanpa menambah kata formal
dibelakangnya. Oleh karena itu apabila formell gesetz diartikan Undang-Undang
formal, hal itu tidak sesuai dengan penyebutan jenis-jenis peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang dapat diartikan secara arti luas maupun
arti sempit, dalam arti luas Undang-Undang berarti keputusan pemerintah yang
berdasarkan materinya mengikat langsung setiap penduduk pada suatu daerah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan UU dalam arti luas adalah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang tinggi sampai tingkat yang rendah yang
isinya mengikat setiap penduduk.
Sedangkan Undang-Undang dalam arti sempit berarti
legislatif act atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan
persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Naskah hukum tertulis tersebut
disebut dengan legislative act bukan executive act, karena dalam proses
pembentukan legislative act itu, peranan lembaga legislatif sagat menentukan
keabsahan materiel peraturan yang dimaksud.
Keempat, Peraturan Pelaksanaan Dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
Kelompok norma hukum yang terakhir
adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome
Satzung) yang merupakan peraturan yang terletak dibawah undang-undang yang
berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan
bersumber dari kewenangan delegasi sedang peraturan otonom bersumber dari
kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam
pembentukan perundang-undangan ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet(Undang-Undang
dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga
pemerintahan/Negara. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan
batas-batas yang diberikan.
Contohnya
: Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (1) memberi kewenangan kepada
presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang jika
terjadi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Delegasi kewenangan dalam
pembentukan perundang-undangan ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi kepada peraturan perunang-undangan yang lebih rendah., baik pelimpahan
dilakukan dengan tegas atau tindakan.
Berlainan dengan kewenangan atribusi , pada kewenangan
delegasi kewenagan tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan. Dan selain
itu kewenagan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat
di selenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Contohnya : Pasal 5
ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaiman mestinya.”
Persoalannya
adalah bagaimana kekuatan berlakunya norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan ? Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan
perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada
tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
Pertama, Kelakuan atau hal berlakunya
secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai anggapan-anggapan sebagai
berikut:
1. Hans Kelsen menyatakan bahwa
kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan
kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
2. W. Zevenbergen menyatakan, bahwa
suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op
de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan”);
3. J.H.A Logeman mengatakan bahwa
secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya.
Kedua, Kelakuan sosiologi atau hal
berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di
dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori:
1.
Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power
Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai
kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima
ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
2.
Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The
Recognition Theory” ) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa
kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka
kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
Ketiga, Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara
filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita
hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven
Wert”), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[9]
Menurut Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan
asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain:
1.
Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2.
Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3.
Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4.
Undang-Undang yang bersifat khusus akan
mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex
specialis derogat legi generalis);
5.
Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan
undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6.
Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi
kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau
pelestarian.[10]
Dalam teks hukum negara ketika membentuk peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Namun dalam teks hukum di Indonesia ada asas-asas materi muatan yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.
pengayoman
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-an;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Dalam doktrin ilmu hukum, pedoman
dalam menyusun peraturan perundang-undangan pernah disampaikan oleh I.C. Van
Der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi. Menurut I.C. Van Der Vlies membaginya
menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang
material. Asas-asas yang formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel
van duideleijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel
van het juiste orgaan);
3. Asas perlunya pengaturan (het
noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het
beginsel van uitvoerbaarheid);
Sedangkan asas-asas material antara lain
meliputi:
1.
Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het
beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
2.
Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de
kenbaarheid);
3.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijk-heidsbeginsel);
4.
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
5.
Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het
beginsel van de individuele rechtbedeling).[14]
Sedangkan A. Hamid S. Attamimi
berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang
patut, adalah sebagai berikut:
1.
Cita Hukum Indonesia;
2.
Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan
yang berdasar Konstitusi;
Dengan demikian, asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti
pedoman dan bimbingan oleh :
a.
Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan
Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),
yang berlaku sebagai ”bintang pemandu”;
b.
Norma Fundamental Negara juga tidak lain melainkan
Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma);
c.
(1) Asas-asas negara berdasar atas
hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada
dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);
(2) Asas-asas pemerintahan berdasar
atas sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.[16]
Dalam sistem perundang-undangan
dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan
yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih
rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Di samping jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, terdapat peraturan perundangan-undangan yang diluar
hierarki. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
(2)
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Untuk menilai apakah suatu
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu dilakukan pengujian
undang-undang. Baik di dalam kepustakaan maupun praktek dikenal adanya 2 (dua)
macam hak menguji, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan
hak menguji material (material toetsingsrecht).[17]
Adapun yang dimaksud dengan hak
uji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku ataukah tidak.[18] Sedangkan hak uji material adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[19]
Dalam mekanisme pengujian
undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model pengujian undang-undang, yaitu executive
review, legislatif review, dan judicial review.
Dalam model executive review, mekanisme pembatalan ini dapat
juga disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary)
ataupun legislator, melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas.
Dalam model legislative
review, pengujian konstitusionalitas (constitutional review)
dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang terkait dengan cabang
kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis inilah yang
diberi secara aktif menilai dan menguji konstititusionalitas undang-undang. Sedangkan
dalam model judicial reviewtidak memerlukan lembaga baru, melainkan
cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang
selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung
Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).[20]
Bahan
Bacaan:
Asshiddiqie,
Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Asshiddiqie,
Jimly & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Chaidir,
Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total
Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.
Soemantri,
Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung,
1997.
Soeprapto,
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Soeprapto,
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Soekanto,
Soerjono & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung 1993.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 171
[5] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-Undangan, (Yogyakarta,
Kanisius, 2010), hal 45-47
[7]
Ibid. Hal 49
[9]
Soerjono
Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung 1993, halaman 88-92
[10]Ellydar
Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total
Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.
[11] Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[12] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[13]
Maria
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, halaman 228.
[14] ibid
[15] bid
[16] Ibid hal 249
[17]
Sri
Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997,
halaman 6.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20]
Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
halaman 74.