Sabtu, 21 April 2012

Menggapai Esensi Otonomi Daerah Untuk Mewujudkan Kabupaten Sambas Pesisir Mengapa Tak Tembus di Komisi II DPR RI?


Oleh: Turiman Fachturahman Nur

1.   Pengertian otonomi berarti pemerintahan sendiri (auto = Sendiri, nomus = pemerintahan) yang mempunyai makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dapat disebut pula penyerahan penuh kepada daerah otonom untuk melaksanakan urusan rumah tangga. Dalam negara kesatuan, otonomi dapat dilihat dari empat sudut pandang. Pertama, ditinjau dari sudut politik sebagian permainan kekuasaan yang dapat mengarah kepada penumpukan kekuasaan yang seharusnya kepada penyebaran kekuasaan (distribution or dispersion of power). Tetapi juga sebagai tindakan pendemokrasian untuk melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. Kedua, ditinjau dari sudut teknis organisatoris sebagai cara untuk menerapkan dan melaksanakan pemerintahan yang efisien. Ketiga, ditinjau dari sudut kultural adanya perhatian terhadap keberadaan atau kekhususan daerah. Keempat ditinjau dari sudut pembangunan, desentralisasi atau otonomi secara langsung memperhatikan dan melancarkan serta meratakan pembangunan.
2.         Lebih jauh lagi, otonomi tidak saja merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang sifatnya technical administration atau pratical administration saja tetapi terdapat adanya kebebasan daerah dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan berdasarkan aspirasi dari rakyat dalam wilayah territorial otonomi. Proses tersebut merupakan suatu process of political interaction, hal ini berarti bahwa otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, hal mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi pada tingkat nasional dalam suasana sentralistik, melainkan juga demokrasi ditingkat lokal (local democracy) yang arahnya kepada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian daerah. [1]
3.         Salah satu cara untuk menjalankan otonomi daerah tersebut adalah melalui pembentukan daerah. UUD Neg RI 1945 mengatur bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Kemudian Pasal 4 ayat (3) UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi; ”Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”. Ketentuan ini kemudian lebih teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Daerah, yang menggantikan PP No 129/2000.
4.         Mengacu kepada PP 78 Tahun 2007 tersebut, proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. (1) Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah. (2) Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. (3) Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
5.         Namun dalam praktiknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Praktiknya selama ini, yang meminta pemekaran adalah daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (daerah induk) dan tidak mendapatkan pemerataan pelayanan pubik. Sehingga yang terjadi pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan elite nasional dan elite lokal, terlepas darii tu semua, bahwa memwujudkan pemekaran tidak cukup hanya perjuangan pada tataran lokal, tetapi harus ada jalur nasional.
6.         Jika kita membaca dan mencermati penjelasan resmi Kementrian Dalam Negeri melalui jurubicara Reydonnyzar Moenek  terhadap usulan pembentukan daerah baru yang merupakan inisiatif Komisi II DPR RI  Kamis 12 April 2012 .menyatakan “Hanya saja, Kemendagri berharap pembentukan daerah pemekaran baru tersebut berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah (UU Pemda) baru,  pengganti UU No 32 Tahun 2004 yang kini tengah dibahas dengan DPR. Alasannya, karena dalam RUU Pemda baru tersebut dicantumkan grand design rencana penataan daerah mulai 2010 sampai 2025.” Dan dalam UU baru ini, secara jelas menyebutkan penataan daerah bisa dilakukan dengan dimekarkan, digabung atau disesuaikan. Aturan ketat tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah baru bisa memberikan pelayanan maksimal bagi masyarakatnya.[2]
7.         Pernyataan di atas salah satu alasan yang dikemukakan, bahwa “Pasalnya, hasil kajian Kemendagri terhadap 57 daerah baru yang berusia 3 tahun, menunjukkan 70 persen diantaranya gagal sebagai daerah.  Meski begitu, dalam konsultasi terbatas antara pimpinan DPR dengan Presiden yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi disepakati pembentukan daerah otonom baru masih dimungkinkan sepanjang menyangkut kepentingan nasional, strategis, dan perbatasan”.
8.         Berkaitan dengan hasil rapat paripurna DPR RI 12 April 2012 yaitu secara aklamasi menyetujui usulan pembentukan daerah baru yang merupakan inisiatif Komisi II DPR RI. Ke-19 RUU daerah otonom baru terdiri dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang diusulkan Komisi II DPR. Dalam RUU tersebut Baleg meloloskan 19 daerah yang akan dimekarkan.Berikut 19 nama daerah tersebut.

1)   Provinsi Kalimantan Utara
2)   Kabupaten Mahakam Ulu Provinsi Kalimantan Timur
3)   Kabupaten Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan
4)   Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir Provinsi Sumatera Selatan
5)   Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur
6)   Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat
7)   Kabupaten Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara
8)   Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung,
9)   Kabupaten Mamuju Tengah Provinsi Sulawesi Barat
10) Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah
11) Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah,
12)Kabupaten Konawe Kepulauan Provinsi Sulawesi Tenggara,
13)Kabupaten Kolaka Timur Provinsi Sulawesi Tenggara
14)Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara
15)Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara
16) Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi tenggara
17) Kota Raha Provinsi Sulawesi Tenggara
18) Kabupaten Manokwari Selatan Provinsi Papua Barat
19)dan Kabupaten Pegunungan Arfak Provinsi Papua Barat
Berdasarkan 19 item di atas Kabupaten Sambas Pesisir tidak termasuk dalam persetujuan Komisi  II DPR RI. Hal ini harus menjadi evaluasi kita bersama dan sepertinya nasibnya sama dengan PKR (Provinsi Kapuas Raya) yang juga gagal masuk dalam persetujuan DPR RI.
10       Sebagaimana diketahui di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat (3) dan (4), sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sementara, pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan: Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan.
11       Kemudian mengingat aspirasi pemekaran daerah mengalir demikian deras dan sangat sulit dibendung sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sebanyak 205 daerah otonom baru (DOB) terbentuk hanya dalam waktu 10 tahun (1999-2009), yang meliputi 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Hingga saat ini jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 524 daerah otonom, yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di DKI Jakarta. Jumlah tersebut bisa jadi akan terus bertambah, karena hingga saat ini usulan yang masuk melalui pintu Kemdagri dan DPR terus mengalir. Di DPR saja saat ini terdapat 33 usulan calon daerah baru yang tengah diproses. Usulan tersebut, terbagi atas 10 provinsi, 21 kabupaten, dan 2 kota.
12       Konsekuensi dari ledakan pemekaran selama 1999-2010 menyebabkan lonjakan beban APBN yang luar biasa. Pada tahun 2003, pemerintah pusat harus menyediakan DAU Rp 1,33 triliun bagi 22 daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan disepanjang tahun 2002. Jumlah tersebut kemudian melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, di mana pemerintah harus mentransfer Rp 2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 daerah otonom baru. Sementara pada tahun 2010, pemerintah mengucurkan dana Rp 47,9 triliun sebagai DAU untuk daerah pemekaran. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beban terhadap keuangan Negara semakin bertambah sebagai akibat dari lemahnya daya dukung keuangan sebagian besar DOB.
13       Secara teoritis, pembentukan daerah otonom baru bisa untuk menciptakan pemerataan pembangunan. Dengan terbentuknya daerah otonom baru, setidaknya akan ada aliran dana dari pemerintah dalam bentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK) yang mengalir ke daerah, membuka peluang kerja sebagai PNS, memunculkan elite-elite baru yang akan duduk di DPRD, serta meningkatkan eksistensi identitas lokal. Pada titik inilah, dalam banyak kasus, upaya pemekaran daerah dapat berubah menjadi arena bagi para pemburu rente (rent-seeker), maupun para petualang politik yang mengejar kepentingan sendiri dan kepentingan jangka pendek.
14       Sebagai respon dari gejala tersebut, di depan Sidang Paripurna DPR-RI pada 3 Agustus 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan telah memberlakukan kebijakan moratorium pemekaran sebagai bagian dari evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Alasannya adalah untuk mencegah pemborosan dan penghamburan sumber dana negara secara tidak tepat. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah juga menyusun desain besar penataan daerah.
15       Secara garis besar, desain besar penataan daerah berisi beberapa hal, yakni:
Pertama, urgensi penataan daerah, yang merupakan argumen bagi urgensi penyusunan desain besar penataan daerah, yakni bahwa kebijakan penataan daerah yang ada saat ini sarat dengan berbagai persoalan, sedangkan penataan daerah perlu dimaknai secara lebih luas bukan hanya sebatas pembentukan daerah otonom baru. Untuk itu diperlukan desain besar penataan daerah yang akan menjadi dokumen dasar bagi penataan daerah.
Kedua, prinsip dasar dan kerangka pikir penataan daerah, yang menjelaskan pokok-pokok argumentasi bahwa penataan daerah di wilayah NKRI harus ditempatkan sebagai bagian dari kepentingan strategis nasional untuk menjaga integrasi teritorial NKRI sebagai amanat konstitusi, mengukuhkan kapasitas Indonesia dalam persaingan global dan mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Ketiga, elemen-elemen dasar dalam desain besar penataan daerah, yang mengemukakan empat dasar dalam desain kebijakan penataan daerah, yakni: pembentukan daerah persiapan sebagai prosedur baru pembentukan daerah otonom; penghapusan, penggabungan, dan penyesuaian daerah otonom; penataan kawasan yang bersifat khusus; serta penentuan estimasi jumlah maksimal daerah otonom hingga tahun 2025.
Keempat, implementasi desain besar penataan daerah, yang berisi rancangan implementasi desain besar penataan daerah sejalan dengan siklus kebijakan yang meliputi: pengakomodasian pokok-pokok desain besar penataan daerah dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004; penyusunan detil parameter penataan ulang daerah otonom; langkah-langkah pengkajian ulang daerah otonom berdasarkan parameter baru; implementasi seluruh rancangan desain besar penataan daerah; serta evaluasi terhadap pelaksanaan desain besar penataan daerah dan koreksi bila diperlukan.
16          Salah satu urgensi desain besar penataan daerah adalah untuk menjawab banyaknya daerah-daerah yang meminta pemekaran. Kerangka pikir penataan daerah otonom dibangun berdasarkan tiga dimensi dasar yang menjadi prasyarat menuju daerah otonom yang maju dan mandiri. Ketiga dimensi tersebut adalah dimensi geografis, demografis, dan kesisteman, yang terdiri dari sistem pertahanan keamanan, sistem sosial politik dan budaya, sistem sosial ekonomi, sistem keuangan, sistem administrasi publik, dan sistem manajemen pemerintahan. Ketiga dimensi tersebut masing-masing kemudian dijabarkan dalam beberapa parameter terukur secara objektif.
17          Desain besar penataan daerah memberikan rambu-rambu bahwa pemekaran daerah hanya bisa dilakukan berdasarkan kriteria dan penilaian yang objektif serta rasional. Pembentukan daerah otonom baru harus melalui kajian mendalam dan pertimbangan menyeluruh dilihat dari berbagai persoalan dan dampak sosial-ekonomi, budaya, keamanan, serta kemampuan daerah terutama dari kemandirian anggaran. Pemekaran wilayah juga harus mengedepankan pertimbangan karakteristik daerah. Dengan demikian semangat untuk memekarkan daerah otonomi baru, tidak hanya didasarkan pada keinginan atau usulan sejumlah pihak, tetapi melalui suatu kajian yang mendalam. Status suatu daerah otonom juga tidak bisa serta merta ditetapkan, melainkan harus melalui suatu tahapan yang dinamakan daerah persiapan.
18          Substansi desain besar penataan daerah sangat penting untuk memberikan pedoman bagi semua pihak yang terkait dalam penataan daerah di Indonesia. Aplikasi desain besar penataan daerah akan membawa implikasi yang luas terhadap kebijakan penataan daerah, yang berbeda dengan kebijakan yang ada selama ini. Mengingat pentingnya desain besar penataan daerah, maka substansinya perlu diketahui secara luas oleh semua pihak yang berkepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat luas. Untuk itu diperlukan diseminasi desain besar penataan daerah kepada seluruh kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian serta seluruh stakeholders lainnya.
19          Jika kita kaitkan dengan perlu dikemukakan sebelumnya bahwa secara kronologis formal, Wilayah Induk Kabupaten Sambas mengalami pemekaran yang pertama, adalah dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999, tanggal 22 April 1999 (mendahului munculnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemekaran daerah). Undang-undang tersebut menetapkan Sambas menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas dengan Ibu Kota di Sambas.
20          Kemudian pada tahun 2001 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 ditetapkanlah Singkawang, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Bengkayang, menjadi Kota Otonom. Dengan demikian Kabupaten Induk Sambas telah mekar menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang
21          Di Sambas aspek kesejarahan yang berkaitan dengan ingatan kolektif kejayaanKasultanan Sambas juga terasa namun lebih terasa di Daerah Otonomi Baru Sambas (hasil pemekaran Kabupaten Induk Sambas), sedang di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang tidak terlalu kelihatan. Keterikatan yang lemah dengan ikatan memori kejayaan Kasultanan Sambas di Kabupaten Bengkayang dan Singkawang nampaknya terkait dengan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan daerah induk dan adanya politik identitas dari kedua wilayah tersebut. Ide pembentukan Provinsi Sambas Raya nampaknya juga lebih banyak terdengar dan diusahakan di Daerah Otonomi Baru Kabupaten Sambas, yang sedang gencar mengusahakan pemekaran kembali Daerah Otonom Baru Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran.
22          Strategi pemekaran kabupaten yang baru ini memang diusahakan dalam rangka membentuk Provinsi Sambas yang dapat mengingatkan masa kejayaan Kasultanan Sambas. Di Sambas aspek kesejarahan yang menonjol lebih banyak berupa ketegangan, persaingan, dan bahkan konflik berulang antar etnis yang penyebabnya dapat dilacak pada rentang sejarah yang panjang. Pada jaman kolonial Belanda tindakan represip pemerintah terhadap pemberontakan yang berbau ikatan kesukuan dilakukan dengan memanfaatkan dukungan dari suku yang lain. Situasi ini menempatkan relasi yang saling berhadapan antar suku. Situasi ini tidak berubah sesudah jaman kemerdekaan. Situasi kesejarahan ini memunculkan pandangan yang dianut secara luas dilingkungan para elite politik dan tokoh adat setempat bahwa ”pemisahan” dominasi suku pada DOB yang berbeda melalui pemekaran akan menyelesaikan problem laten antar etnis
23          Pelestarian pemekaran menjadi suatu proses penting yang dapat mencegah adanya kemungkinan Daerah Otonomi Baru menjadi mekar kembali dan sekaligus mencegah gejolak ketidak puasan dari rakyat di wilayah pinggiran baru yang muncul oleh akibat pemekaran. Sejumlah usaha dilakukan untuk memelihara kelestarian wilayah untuk Kabupaten Sambas usaha tersebut nampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini terlihat bahwa di DOB Kabupaten Sambas pada tahun 2007 telah muncul usaha untuk memecah kembali Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisir.
24          Untuk memberikan capaian yang tepat, maka rencana pembentukan daerah otonom baru yang bernama kabupaten Sambas Pesisir harulah dikunci dengan alasan strategis, yaitu: Pertama, alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura).
Kedua, Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat.
Ketiga, Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa.
Keempat, Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung (Tanggamus).
Kelima, Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK).
Keenam, Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan. Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara
25.        Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain :
Pertama, Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD.
Kedua, Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.
Ketiga, Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah.
Keempat, Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan.
Kelima, Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut.
Keenam, Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan.
Ketujuh Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah memberatkan masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
26.     Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain :
a.      Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah.
b.      Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut.
c.       Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK.
27.     Menurut hasil kajian, model evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan berdasarkan Peratuan Pemerintah Nomor 78/2007, adalah sebagai berikut:
1.         Persyaratan dan kriteria: persyaratan dan kriteria yang ditetapkan lebih cenderung mengukur potensi/input. Sebagai contoh: dalam syarat/kriteria potensi daerah, indikator sarana pariwisata, tercantum sub indikator ”jumlah hotel/akomodasi lainnya; jumlah restoran/rumah makan; jumlah obyek wisata”. Pada indikator potensi daerah juga terdapat ’sarana pendidikan’ tetapi isinya bukan mengukur sarana tetapi kinerja. Dari syarat/kriteria dan indikator tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut: a. Tidak ada kejelasan kluster yang memayungi syarat/kriteria, indikator dan sub indikator tersedia, sehingga 7 (tujuh) syarat/kriteria tersebut seolah-olah terpisah satu sama lain. b. Indikator dan sub indikator tersebut lebih mengukur potensi, bukan output.
2.         Prosedur: untuk prosedur pemekaran daerah telah dirumuskan dengan cukup baik, tetapi tidak ada penekanan pada tahap implementasi, sehingga banyak terjadi penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan. Secara garis besar dapat dikatakan terdapat dua prosedur pemekaran yakni pemekaran melalui jalur pemerintah (eksekutif) dan jalur DPR (legislatif). Faktanya, pemekaran daerah lebih banyak berasal dari inisiatif DPR.
3.         Prosedur pemekaran yang terjadi selama ini tidak melalui model ’transisi’, sehingga daerah otonom baru langsung memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan daerah induknya. Perlu dilakukan pentahapan dalam melakukan pemekaran daerah, yaitu daerah tidak langsung dimekarkan menjadi daerah otonom, tetapi dibentuk dalam ’daerah persiapan’.Pemekaran daerah dilakukan secara berjenjang. Secara bertahap, pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan akan dimekarkan menjadi ’daerah persiapan’ dimana untuk provinsi dengan nomenklatur ’provinsi persiapan’ dan ’kabupaten/kota persiapan’ untuk kabupaten/kota.
4.         Penetapan daerah persiapan ditungkan dalam bentuk Perpres. Setelah menjadi daerah persiapan selama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dilaksanakan penilaian oleh tim penilai, maka daerah persiapan tersebut dapat diubah statusnya menjadi daerah otonom. Setelah 5 (lima) tahun menjadi daerah otonom, daerah tersebut dapat dipertimbangkan untuk dimekarkan kembali, apabila dinilai memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
5.         Bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi persyaratan, tetapi mengalami keterbatasan-keterbatasan yang mengakibatkan tidak memenuhi persyaratan, maka dapat dilakukan penguatan (strengthtening) Kecamatan untuk mendekatkan pelayanan publik. Pada tataran yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, Pemerintah perlu merevisi UU No. 32 tahun 2004 yang terkait dengan pengaturan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah (Pasal 5 s/d 8). Revisi UU No. 32 Tahun 2004 memang pernah diwacanakan, tetapi belum menyentuh pengaturan tentang pemekaran daerah.
28.  Rekomendasi terhadap rencana Kabupaten Sambas Pesisir, perlu ada dekontruksi kembali kajian akademik yang selaras dengan PP No 78 Tahun 2007, dan jalur “loby” Politik di DPR RI karena bagaimanapun “Palu ada di DPR RI”, sedangkan lajur kemendagri adalah ada program terobosan yang strategis tetapi wilayahnya di wilayah Sambas Pesisir yang mendukung kreteria di dalam PP No 78 Tahun 2007, misalnya program Pelayanan Publik, atau tentukan program utama yang menjadikan wilayan ini menjadi ikon Kal-Bar atau ikon nasional yang berbeda dengan daerah otonom lainnya di wilayah kal-Bar.
29.  Rekomendasi ini didasarkan pada hasil Hasil penelitian yang dirilis Juli 2008 menyimpulkan tentang kegagalan pemekaran daerah.  Riset itu dilakukan terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di daerah. Berdasar hasil studi tersebut, UNDP dan Bappenas meminta pemerintah menghentikan sementara pemekaran daerah hingga dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Provinsi dan Kabupaten Hasil pemekaran 10 tahun terakhir.
30.  Sebagai perbandingan, Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat.Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan pemekaran daerah berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi menurun dan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian pemekaran empat provinsi menjadi delapan provinsi, terjadi perbedaan struktur ekonomi daerah baru dan lama. Provinsi yang dimekarkan tersebut adalah Sumatera Selatan dan Bangka-Belitung, Jawa Barat dan Banten, Sulawesi Utara dan Gorontalo, serta Maluku dan Maluku Utara. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat juga menurun akibat perlambatan kegiatan ekonomi masyarakat. Kondisi ketenagakerjaan setelah pemekaran provinsi justru lebih buruk dibanding sebelum pemekaran.
31.  Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan ditransfer kepada pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah baru berdasarkan kriteria dan formula tertentu.
32.  Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran. Hal tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, sehingga secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.
33.  Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteran masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi. Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.
34.  Bila dibaca Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional. Misalnya, dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan.
35.  Lemahnya dasar penentuan kriteria ini telah menimbulkan celah terjadinya potensi kerja sama antara daerah yang ingin dimekarkan dan aparat pemerintah pusat termasuk DPR. Selain itu, prosedur pemekaran yang berdasarkan hasil penelitian yang dibuat oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu tindakan manipulasi.
36.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan, ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah. Sehingga yang terjadi selama ini pemekaran daerah otonom (yang dilaksanakan sejak 1999) disebabkan sentimen etnis dan tidak meratanya pembagian kue pembangunan. Realitas ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk meninjau ulang pemekaran daerah.
37.  Penulis menemukan enam masalah utama yang sering muncul dalam problematika otonomi daerah di masa reformasi ini:
Pertama, setelah rapat konsultasi antara Presiden dengan Pimpinan DPR, Presiden SBY mengatakan 80 persen dari DOB (Daerah Otonomi Baru) selama 10 tahun terakhir kurang berhasil dan justru menimbulkan masalah baru. Argumen presiden ini kontradiktif dengan data dari Kemendagri yang bulan Juli ini melakukan evaluasi kinerja Pemerintahan Daerah. Menurut Kapuspen Kemendagri, Saut Sitomorang dari 469 jumlah daerah yang dimekarkan, 11 daerah dengan kinerja sangat tinggi (2%), 195 daerah dengan kinerja tinggi (58%),  138 daerah dengan kinerja sedang (34%), dan hanya 67 daerah dengan kinerja rendah (4%). Karena itulah, secara umum dapat kita kategorikan 67% pemekaran daerah berjalan baik, sementara sisanya masuk kategori tertinggal.  DPR pun berpendapat sama, Komisi II mempertanyakan Presiden mendapat data dari mana, jangan-jangan Presiden disuplai dengan data yang tidak valid dan tidak akurat.
Kedua, Grand Design strategi penataan daerah sudah diselesaikan Kemendagri. Menurut Mendagri Gamawan Fauzi rumusan tersebut sudah diserahkan kepada Presiden SBY dan selanjutnya dibahas di Komisi II. Seharusnya dengan selesainya Grand Design ini, Presiden memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk permasalahan pemekaran daerah, bukannya memperkeruh suasana dengan membuat moratorium pemekaran daerah.
Ketiga, pada  periode DPR 2009-2014 terdapat 69 rancangan daerah yang masuk ke Komisi II DPR, dimana 33 usulan daerah baru sudah dinilai dan hanya perlu melengkapi persyaratan, dan 3 usulan daerah baru sudah memenuhi persyaratan dan hanya 19 usulan yang disetujui.
Keempat, pemekaran daerah selalu dianggap sebagai proyek politik bagi DPR, maupun Kemandagri. Menurut Rober Endi Jaweng pemekaran daerah memang proyek menggiurkan bagi mereka. Pasalnya, pemekaran daerah merupakan lahan bagi distribusi kader, lahan jabatan birokrasi, dan politik. Jika moratorium diberlakukan maka mereka tidak dapat meraih keuntungan politik. Terlalu banyak lobi yang dilakukan antara DPR dengan pihak daerah pemekaran, sehingga DPR sering dituduh sebagai agen pemekaran. DPR pun masih berkelit atas data evaluasi yang dilakukan pemerintah. Mereka menganggap bahwa data tersebut bertolak belakang dengan data yang mereka miliki. Di sinilah timbul ketidaksinkronan data dengan pemerintah, DPR, bahkan Kemendagri sekalipun.
Kelima, Moratorium pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah dinyatakan tak berlandaskan hukum. Oleh karena itu, moratorium semestinya tak lagi dilanjutkan. Komisi II DPR menilai moratorium tidak ada undang-undangnya, untuk itu dapat dikatakan cacat hukum.
Keenam, pemberian otonomi daerah kepada bupati/walikota memunculkan fenomena yang tidak sinergis antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi. Pasalnya kewenangan bupati/walikota mempersempit tugas gubernur dan kepala daerah di kabupaten/walikota berupaya mencari penghasilan asli daerah (PAD) dengan segala cara untuk membangun daerahnya. Akar permasalahan otonomi daerah kita adalah gabungan antara mandulnya kekuasaan gubernur yang wilayah kekuasannya telah habis dibagi-bagi kepada Bupati serta terlalu besarnya wewenang Bupati dalam mengatur kabupatennya. Salah satu akibatnya, demi mengejar PAD, pembangunan daerah kebablasan tanpa mempertimbangkan keterpaduan pembangunan intra-provinsi dan mengorbankan kelesstarian lingkungan. Kekuasan besar yang dimiliki Bupati juga dapat melahirkan fenomena “Raja-raja kecil” yang meluaskan praktik KKN sampai tingkat kabupaten.
38.  Dari enam temuan di atas, tidak adil rasanya jika penulis tidak memberikan beberapa usulan atau rekomendasi terhadap permasalahan otonomi daerah ini.
Pertama, harus ada sinkronisasi data yang jelas dan tepat antara pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena usulan daerah baru bisa masuk melalui pintu DPR, DPD, dan Pemerintah. Untuk ini diperlukan tim loby yang kuat.
Kedua, Grand Design strategi penataan daerah harus dapat mencerminkan optimalisasi, transparansi, efektifitas potensi daerah maupun nasional, sehingga sinergitas antar stakeholder dapat terjadi.  Hal ini harus sudah tergambar dengan jelas pada pada subtansi naskah akademik kajian usulan pemekaran atau menyelaraskan dengan desain pemerintah.
Ketiga, daerah pemekaran selama ini tidak pernah disiapkan sebelum pemekaran. Akibatnya, sampai menginjak tahun ke-5, konsentrasi pembangunan biasanya diarahkan pada fisik sarana dasar. Seharusnya, sebuah daerah sebelum dimekarkan harus menjadi daerah persiapan pemekaran selama 5 tahun, bahkan sampai 10 tahun, baru diberikan status DOB. Dengan begitu, daerah itu matang dalam pemekaran. Oleh karena itu harus ada tahapan Kabupaten Persiapan sebelum diajukan menjadi Kabupaten baru.
Keempat, Setiap pemekaran pada dasarnya penggemukan organisasi dan biaya pemda. Cara terbaik adalah memberdayakan kecamatan dan kelurahan/desa untuk pelayanan publik, bukan hanya pemekaran. Ini bisa jadi alternatif lain tuntutan pemekaran. Hal ini perlu ditempuh forum Kepala Desa yang saling menunjang dan bersepakat, bahwa pemekaran Kabupaten diwilayahnya adalah sangat diperlukan. Pada tataran ini perlu  komunikasi pada arus bawah  yang terus menerus.
Kelima,  otonomi daerah yang ada hendaknya hanya diberikan dan diberlakukan kepada daerah setingkat provinsi atau gubernur dan kota-kota tertentu yang mampu membiayai dirinya sendiri. Meskipun nantinya itu tak dapat dipungkiri akan menimbulkan gejolak sosial, namun hal tersebut dapat menyelamatkan Indonesia pada umumnya dan daerah-daerah pada khususnya dari otonomi daerah yang “kebablasan” tanpa lagi memperhatikan banyaknya kerugian yang akan ditimbulkan karena “keasyikan” memekarkan daerah sendiri.
Keenam, terkait masalah moratorium yang cacat hukum,  posisi dasar hukum bagi pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran wilayah seharusnya dikembalikan saja pada ketentuan yang masih berlaku yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2007. Walaupun, moratorium bisa jadi sebuah pilihan korektif. Artinya, jangan ada pemekaran dulu sampai terjadi penataan daerah yang sungguh-sungguh komprehensif. Pemekaran daerah harus dikaitkan langsung dengan tujuan utama otonomi daerah, yaitu meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, serta mensejahterakan rakyat. Robert Endi Jaweng juga mengatakan, pemerintah seharusnya mengumumkan lebih dulu hasil evaluasi terhadap daerah pemekaran sebelum melakukan moratorium. “Segera umumkan ke publik evaluasi terhadap daerah pemekaran. Ini dimaksudkan agar publik mengetahui persoalan mendasar mengapa dari 205 daerah pemekaran baru, 80 persen dinyatakan tidak memuaskan. Apakah persoalan APBD atau lainnya.”
Ketujuh, pemekaran daerah seharusnya dilihat dari sudut yang lebih luas. Memang, kita harus akui bahwa pemekaran telah mendekatkan layanan pemerintah daerah dengan rakyatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah pemekaran bisa berkembang karena upaya publik itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini hanyalah stimulan untuk memperluas desentralisasi pemerintahan. Jadi, menurut kami anggaran yang saat ini masih terpusat semaksimal mungkin harus diberikan ke daerah. Jika keruwetan masalah Otda ini berlanjut, maka bener lirik lagu yang dibawakan grup band Armada, “mau dibawa kemana” otonomi daerah di Indonesia!


[1] Saldi Isra , Quo Vadis Pemekaran Daerah?  Saldi Isra. Website, 18 April 2012.

[2] 13 April 2012 20:19:43  Berita Depdagri, www.depdagri.co.id
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 20 Maret 2012

PENDAPAT ANALISIS HUKUM TERHADAP KLASUL PENGHILANGAN KEWENANGAN DAN POSISI KEPALA DAERAH SEBAGAI PEJABAT PEMBINAAN KEPEGAWAIAN (PPK)


              PENDAPAT ANALISIS HUKUM TERHADAP KLASUL PENGHILANGAN  KEWENANGAN DAN  POSISI KEPALA DAERAH SEBAGAI PEJABAT PEMBINAAN KEPEGAWAIAN (PPK) DALAM RUU APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DAN POSISI SEKDA DALAM REVISI UU NOMOR 32 TAHUN 2004
OLEH : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR
EXPERT HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH KAL-BAR

1.          Seperti sama-sama diketahui bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah disampaian oleh Pemerintah kepada DPR RI, dan saat ini DPR RI telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas RUU tersebut.
2.          Selain itu, saat ini DPR RI, melalui Komisi II, juga sedang membahas RUU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan menggantikan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
3.          Di dalam ketentuan kedua draf RUU tersebut terdapat permasalahan krusial berkenaan dengan kepegawaian yang selama ini menjadi kewenangan Bupati. Di dalam RUU tentang Pemerintah Daerah, terdapat ketentuan yang berbunyi: Sekretaris daerah bertindak selaku Pembina kepegawaian daerah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan manajemen kepegawaian daerah”. Sedangkan pada draf RUU ASN, kewenangan Kepala Daerah sebagai Pembina Kepegawaian di Daerah dihilangkan sama sekali, karena adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai ASN adalah Presiden yang dapat mendelegasikan sebagian kepada pejabat karir tertinggi di daerah, yang notabene adalah Sekretaris Daerah.
4.          Ketentuan ini jelas memangkas dan menghilangkan kewenangan Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang dialihkan kepada Sekretaris Daerah. Ketentuan ini sangat berpotensi memunculkan terjadinya “dualisme” dalam tubuh pemerintahan daerah, yang justru sangat rentan pula membuka celah terjadinya benturan, baik di internal kalangan pegawai sendiri maupun antara Bupati dengan sesama unsur penyelenggara pemerintahan di daerah (DPRD) dan pemangku kepentingan lainnya di masyarakat, terlebih dengan pemerintah propinsi (Gubernur dan SKPD propinsi).
5.          Hendaknya kita pahami bahwa Bupati dalam menjalankan jabatannya selaku kepala daerah dan pemerintahan perlu didukung dengan instrumen birokrasi yang dapat bekerjasama dengan baik agar keseluruhan program yang telah tersusun dalam rencana kegiatan dapat berjalan maksimal dan mencapai sasaran yang ditargetkan untuk percepatan pembangunan. Bupati menjabat didasarkan pada pemilihan umum kepala daerah oleh rakyat di daerah, sehingga Bupati harus memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat atas kinerjanya. Ini harus pula dijamin dengan dukungan kinerja aparatur di daerah. Ironisnya lagi, pengangkatan dan penggantian sekretaris daerah bukan merupakan kewenangan Bupati melainkan kewenangan Gubernur. Jika terjadi disharmonisasi akibat “dualisme” tersebut, kinerja pemerintah daerah menjadi kurang baik akan menimbulkan stagnansi dan persoalan baru yang bahkan justru berpotensi memunculkan instabilitas politik di daerah. Ketentuan ini bahkan berpotensi menjadikan posisi bupati akan ‘tersandera’ dengan kepentingan berbagai pihak.
6.          Patut kita kembalikan esensi jabatan bupati selaku kepala daerah  untuk mendapatkan kewenangan penuh dari ‘mandat’ yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan kepada daerah dan peraturan perundangan. Kewenangan inilah justru yang kemudian diberikan dan diserahkan atau dibagi kepada birokrasi sampai ke tingkat paling bawah yaitu pejabat kepala SKPD yang ada di tubuh pemerintahan, termasuk Sekretaris Daerah untuk menjalankan kewenangan yang diserahkan oleh rakyat kepada bupati agar dapat menjalankan pemerintahan dan pelayanan kepada rakyat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Maka ketentuan  di dalam draf kedua RUU tersebut tersebut secara materiil substansial sebenarnya sudah menyalahi dan merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip demokrasi sesuai konstitusi.   
7.          Hendaknya perubahan UU tentang Pemerintahan Daerah disusun dengan tetap berorientasi pada semangat untuk melakukan penyempurnaan saja atas berbagai ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Ini dimaksudkan untuk percepatan pelayanan dan harus mejadi solusi yang baik, dan bukan sebaliknya justru menjadi kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan persoalan pelik baru di daerah-daerah dan jauh dari tujuan dan semangat otonomi daerah dan desentralisasi itu sendiri.
8.          Terjadinya ‘politisasi birokrasi’ yang selalu digembar-gemborkan (secara berlebihan) oleh berbagai pihak tidaklah harus disikapi secara reaktif. Ini tidak dapat digeneralisasi, melainkan bersifat kasuistis saja dengan kadar yang berbeda-beda. Untuk itu seharusnya diselesaikan dengan langkah kasuistis juga. Langkah paling bijak dan baik adalah memaksimalkan dan mengatur secara tegas sanksi terhadap daerah bilamana terjadi ‘politisasi birokrasi’ secara nyata dengan ukuran-ukuran yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
9.          Apkasi berpendapat ketentuan ini bahkan semakin membuka celah persoalan politik yang lebih luas dan berdampak tidak baik bagi pembangunan suasana kondusif di daerah.Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan di atas, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) harus mengambil sikap terhadap ketentuan yang terdapat di dalam kedua draft RUU dimaksud.
10.       Mengingat  adanya  rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  Tentang Pemerintah Daerah  yang dikaitkan dengan RUU Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti UU No 8 Tahun 1974 jo UU UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu adanya klasul  penghapusan terhadap wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS yang melekat pada kepala daerah selaku Pejabat Pembinaan Kepegawaian (PPK), karena tak lama lagi  menyusul dengan akan adanya UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Saat ini RUU ASN sedang dalam penggodokan di Komisi II DPR RI.
11.       Adapun alasan politik yang digunakan oleh BKN, bahwa  "Posisi PPK yang selama ini dijabat pejabat politik akan menimbulkan persoalan tersendiri dalam manajemen kepegawaian. Namun ini akan dapat terselesaikan dengan adanya UU ASN bilamana sudah disahkan. Sebab PPK akan dijabat Sekda," sebagaimana diterangkan Kabag Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat di Jakarta, Rabu (14/3  2012).
12.       Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra, yaitu bahwa diakuinya, peralihan ini menimbulkan protes di kalangan kepala daerah. Mereka merasa tidak punya power sebagai pimpinan jika bawahannya (PNS) lebih takut kepada Sekda. "Memang hampir semua kepala daerah protes tentang hal ini. Mereka berpendapat, Sekda justru akan memanfaatkan posisinya sebagai PPK untuk mengendalikan PNS. Apalagi tak sedikit Sekda yang akhirnya mencalonkan diri sebagai kepala daerah,"
13.       Bahkan ada sebagian pengamat yang setuju seperti saat ini dan persetujuan tersebut dinyatakan dihadapan puluhan kepala daerah di hadapan sebagaimana disampaikan Wakil Menpan & RB Eko Prasojo meminta agar posisi PPK tetap berada di pejabat politik dan bukan karir. Salah satu pertimbangannya adalah KEPALA DAERAH tidak bisa lagi memberikan perintah kepada PNS. Sebab, PNS tidak akan tunduk perintah, maka pernyataan ini  menurut  APKABSI harus dicermati.
14.       Bahkan beberapa   KEPALA DAERAH  juga berpendapat, bila sekda yang menjadi PPK akan terjadi dualisme kepemimpinan. Lantaran PNS lebih bertanggung jawab kepada Sekda ketimbang kepada KEPALA DAERAH.
15.       Tetapi pada kesempatan lain terhadap hal ini, Wamenpan & RB Eko Prasojo mengatakan pada kesempatan lain menyatakan, bahwa, PPK harus dipegang pejabat karir agar jabatan PNS bisa berkesinambungan. Lantaran yang terjadi selama ini, karir PNS bisa mati tiba-tiba tergantung kedekatan dengan pimpinan daerah. Padahal, jenjang karir PNS itu harus naik seiring dengan bertambahnya kemampuan dan masa kerja pegawai bersangkutan.  PERNYATAAN INI  ANOMALI  atau TIDAK KONSISTEN adapun alasannya wamen dan RB Eko Prasojo, bahwa  "PNS itu merintis karir dari nol. Kalau kemudian dia tidak dekat dengan KEPALA DAERAH dan lantas dinonjobkan, yang dirugikan PNS-nya. Beda kalau Sekda yang menjadi PPK, karir PNS akan terjaga karena Sekda tidak gonta-ganti layaknya kada,"
16.       Terhadap pernyataan yang anomali diatas, maka APKABSI harus bias menstressing untuk mengeluarkan klasul pasal tersebut dari RUU ASN, jika tidak akan menimbulkan  penolakan besar-besaran oleh seluriuh bupati se Indonesia dan hal ini membahayakan bagi pemerintahan Presiden SBY.
17.       Klasul dimaksud adalah Ketentuan di Rancangan Undang-undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) dan RUU revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menempatkan sekretaris daerah (sekda) sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan ini membuat gerah sejumlah bupati. Dengan aturan itu, peran KEPALA DAERAH yang selama ini menjadi PPK, menjadi terpangkas.  Alasan bupati, jika sekda menjadi PPK, kebijakan tersebut akan melemahkan posisi KEPALA DAERAH dan memberikan peluang bagi sekda untuk kepentingan politik, jika dia ikut maju dalam pemilukada.
18.       Pernyataan itu bisa kita  invenstigasi salah satunya pada pernyataan berikut ini "Kami keberatan kalau sekda diangkat jadi PPK. Nanti pegawainya lebih takut ke sekda daripada bupati/walikota. Sekda juga bisa menjadikan posisinya sebagai agenda politik," ujar Bupati Sumbawa Barat  Mala Rahman dalam sosialisasi reformasi birokrasi di Jakarta, Minggu (18/12 2010).  Senada itu, Bupati Pacitan Indartarto mengatakan, bila DPR dan pemerintah pusat tetap menjadikan sekda sebagai PPK di dalam RUU ASN, maka akan muncul dualisme kepemimpinan di daerah. "Kalau sekda berkuasa jadinya seperti matahari kembar. Pegawai pun tidak loyal ke kada dan ini sangat merugikan karena tidak bisa menegakkan aturan," ucapnya.
19.       Menanggapi keluhan itu,  Wakil Menpan-RB Eko Prasojo mengatakan, penempatan sekda sebagai PPK merupakan ide DPR RI. Ini lantaran KEPALA DAERAH merupakan jabatan politik dikhawatirkan akan mengarahkan PNS menjadi tidak netral.   "DPR berpikir agar PNS netral, PPK-nya harus pejabat karir tertinggi yaitu sekda," katanya. Namun, keberatan kada ini akan ditampung pemerintah untuk dirumuskan bersama dengan DPRI RI dalam pembahasan RUU ASN. "Masih akan dibahas lebih lanjut dalam RUU ASN, tentunya akan disesuaikan juga dengan revisi UU Pemda demikian pernyataan wamen. Terhadap pernyataan wamen jika benar klasul tersebut adalah ide DPR RI, maka harus ada gerakan APKABSI untuk melobi DPR RI  agar  ide tersebut  dikeluarkan dari RUU ASN dan  Revisi UU No 32 Tahun 2004.
20.       Analisis terhadap klasul tersebut  tidak selaras dengan konsep desentralisasi dan juga dengan esensi demokrasi di daerah, yaitu  bahwa semenjak pasca reformasi bergulir di Indonesia, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah semakin sentralnya peran kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan. Sebagai contoh dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain memiliki tugas dan wewenang untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, kepala daerah juga memiliki tugas dan wewenang penting lain yakni :
a.      mengajukan rancangan Perda;
b.      menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c.      menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
d.      mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
e.      mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
f.       melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengingat peran sentral kepala daerah pada era reformasi tersebut maka menjadi konsekuensi logis apabila cara atau sistem pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu strategis yang mendapat perhatian serius. Bahkan tidak kurang konstitusi hasil amandemen mengulas secara eksplisit masalah ini. Dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
21          Dasar  argumentasi berikutnya, bahwa KEPALA DAERAH juga mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan Aparatur Sipil Negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan Nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
22          Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan pegawai Aparatur Sipil Negara. Pegawai Aparatur Sipil Negara diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan pegawai Aparatur Sipil Negara.Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalu pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
23          Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, pegawai Aparatur Sipil Negara harus memiliki profesi dan manajemen Aparatur Sipil Negara yang berdasarkan pada asas merit atau perbandingan antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
24          Manajemen Aparatur Sipil Negara perlu diatur secara menyeluruh, dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur yang seragam meliputi penetapan kebutuhan dan pengendalian jumlah,  pengadaan, jabatan, pola karier, penggajian, tunjangan, kesejahteraan, dan penghargaan, sanksi dan pemberhentian, pensiun, dan perlindungan. Dengan adanya keseragaman, diharapkan akan tercipta penyelenggaraan manajemen Aparatur Sipil Negara yang memenuhi standar kualifikasi yang sama di seluruh Indonesia.
25          Pada tataran di atas  APKABSI setuju tetapi dengan memangkas KEWENANGAN an POSISI dKEPALA DAERAH  SEBAGAI PPK adalah  sebuah distorsi dan menciderai terhadap esensi demokrasi di daerah, karena bagaimanapun KEPALA DAERAH terpilih  ketika akan mewujudkan visi dan misi dalam RPJMD yang merupakan sinergisitas anatar visi dan misi kepala daerah terpilih dan visi dan misi masing SKPD. Yang selanjutnya kemudian diregulasi dalam  bentuk PERDA. Kemudian untuk menjabarkan itu maka KEPALA DAERAH terpilih mendelegasikan seluruh kewenangannya dalam pelaksanaaan kewajiban daerah  sebagaimana dimaksud pasal  25 UU No 32 Tahun 2004 (yang tidak berubah dalam revisi RUU nya), kepada seluruh jajarannya di aparatur penyelenggara pemerintah daerah mulai dari SEKDA dan seluruh paratur di SKPD , maka pada posisi ini menjadi penting KEPALA DAERAH sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian).
26          Kemudian apabila kewenangan dan posisi itu dialihkan kepada SEKDA maka kewenangan yang melekat  diposisi KEPALA  DAERAH terpilih dalam PILKADA terjadi DUALISME KEWENANGAN dan DISTORSI terhadap asas desentralisasi dan semangat demokrasi di daerah. Hal ini  akan meningkatkan friksi politik antara KEPALA DAERAH terpilih dalam PILKADA dengan SEKDA. Klasul ini semakin memperlemah manajemen pemerintahan di daerah yang menitik beratkan otonomi daerah pada kabupaten dan kota  sebagai  agenda reformasi yang dijamin secara konstitusional  dan TAP MPR.
27          Analisis berikutnya adalah bertentagan dengan  model manajemen modern berkaitan birokrasi modern, karenba dengan Pemerintahan Daerah atau Daerah Otonom adalah bagian dari pelaksanaan prinsip desentralisasi dalam suatu pemerintahan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang baku tentang prinsip desentralisasi. Secara konseptual desentralisasi umumnya dipahami bersisi ganda: pertama, meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan nasional dan, kedua, mengaktualisasikan representasi lokalitas. Yang pertama biasa disebut dekonsentrasi dan yang kedua disebut devolusi (Smith, 1985:9). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, aspek yang kedua itu yang disebut desentralisasi.
28          Sebagai suatu prinsip yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di tingkat lokal. Melalui pelaksanaan prinsip ini, diharapkan akan berkembang suatu cara pengelolaan kewenangan dan sumberdaya, yang tidak hanya semakin memudahkan pelaksanaan aktivitas yang berlingkup nasional tetapi juga secara bersamaan secara nyata mengakomodasi aspirasi pada tingkat lokal. Selain itu, melalui pembentukan daerah otonom juga dapat diharapkan semakin berkembangnya kehidupan demokratis pada tingkat lokal. Dalam konteks ini, makna keberadaan pemerintahan daerah juga akan sangat berkaitan dengan efektivitas cara pemilihan kepala daerah.’
29          Pelbagai makna yang melekat dalam keberadaan pemerintahan daerah mencerminkan berbagai fungsi pemerintahan daerah, yang menurut Kjellberg (1995:40) dapat berupa beberapa hal sebagai berikut: Pertama, pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan nasional. Sebagai subsistem pemerintahan nasional, keberadaan suatu daerah otonom akan berkaitan dengan penyelenggaraan penegakan rule of law, redistribusi geografis, dan pengemudian ekonomi makro. Dalam penegakan rule of law, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin agar hak-hak sipil bebas dari “penyalah-gunaan” oleh penguasa lokal, disamping untuk menjamin persyaratan agar produksi pelayanan umum oleh pejabat daerah bersifat efisien. Dengan peran untuk menjamin terselenggaranya redistribusi geografis, maka pemerintahan daerah bersifat instrumental untuk membingkai produksi dan distribusi kemanfaatan publik dan beban yang tak terhindarkan, yang ditujukan untuk mewujudkan keadilan di seluruh masyarakat. Sedangkan untuk pengemudian ekonomi makro, pemerintahan daerah atau daerah otonom berperan untuk menjamin agar setiap usaha untuk mengemudikan ekonomi nasional, termasuk melaksanakan setiap kebijakan untuk mengontrol permintaan agregat dan belanja konsumen, mensyaratkan intervensi pusat dalam keuangan lokal.
30          Kedua, pemerintahan daerah sebagai pengelola aspirasi lokal.  Daerah otonom merupakan suatu instrumen bagi teraktualisasinya nilai-nilai otonomi, partisipasi, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Berkaitan dengan nilai otonomi, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin kebebasan komunitas lokal untuk membangun sesuai dengan preferensi mereka sendiri serta terbentuknya badan lokal sebagai subyek hukum (legal entity). Dalam hal nilai partisipasi, daerah otonom merupakan wahana utama untuk akses dan nutrisi masyarakat dalam masalah-masalah publik. Selain itu, daerah otonom juga berperan untuk menjamin agar partisipasi mendorong berkembangnya perasaan solidaritas dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam hal nilai efisiensi, suatu daerah otonom berperan untuk menjamin agar badan-badan lokal yang dipilih menawarkan cara terefisien dalam menangani kesenjangan antara kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat; dan juga dalam produksi kemanfaatan publik, terutama dengan: memiliki pengetahuan yang dibutuhkan, cocok utk mengkordinasikan tindakan publik, dan berpotensi besar untuk menghubungkan isyu-isyu besar dan berbeda dalam masyarakat.
31          Ketiga, pemerintahan daerah sebagai wadah pendidikan politik masyarakat. Pemerintahan daerah atau daerah otonom menjadi instrumen untuk pengembangan pola peranan, komunikasi, dan kepemimpinan. Dalam pengembangan pola peranan, suatu daerah otonom mencerminkan gambaran stratifikasi sosial dan realitas aktivitasnya dalam proses pembuatan keputusan-keputusan politik lokal. Selain itu, kebijakan dan implementasinya yang berkaitan dengan persyaratan rekrutmen anggota badan politik lokal mempengaruhi pola peranan dalam masyarakat, dan membiasakan masyarakat untuk berproses dalam pola peranan tersebut. Dalam hal komunikasi, suatu daerah otonom melalui cara penetapan dan pelaksanaan peraturan dan kebijakan lokal mendidik masyarakat dalam pola komunikasi tertentu. Peran pemerintahan daerah atau daerah otonom sebagai pendidik, juga terkait dengan kenyataan bahwa kemampuan masyarakat berkomunikasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dimulai dari kemudahan akses mendapatkan informasi dari pemerintah daerah. Selanjutnya, dalam hal kepemimpinan, peran daerah otonom sebagai pendidik bermula dari kenyataan bahwa proses pemilihan pemimpin lokal yang senyatanya akan mendidik rakyat dalam memahami apakah kepemimpinan politik bersifat terpencar atau terpusat, dan apakah distribusi kekuasaan akan bersifat luas atau sempit.  Selain itu, peran sebagai pendidik juga diperkuat oleh kanyataan bahwa kepemimpinan lokal akan mempengaruhi berkembangnya masyarakat elitis atau masyarakat pluralis.
32          Sisi lain dari keberadaan suatu pemerintahan daerah atau daerah otonom adalah munculnya persoalan hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan nasional. Keberadaan daerah otonom sebagai subsistem pemerintahan nasional memunculkan dua institusi penyelenggara pemerintahan daerah, yakni institusi daerah dan institusi nasional. Lebih lanjut, keberadaan kedua institusi tersebut memunculkan aspek hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hubungan tersebut bersegi banyak, mulai dari distribusi fungsi sampai dengan kemudahan akses dan kemungkinan diskresi.
33          Jika membaca naskah akademik terhadap latarbelakang lahirnya RUU ASN ini menurut  analisis secara akademik dan pragmatis  adalah terlalu tendensius karena landasan yuridis dan landasan sosiologisnya hanya berangkat dari fakta kasus perkasus yang  kemudian digeneralisir sebenarnya dan hal ini tidak selaras dengan apa yang dimaksud dengan naskah akademik menuruit UU Nomor 12 tahun 2011 Tetang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Apabila hanya kasus, maka penyelesaiannya bukan parsial hanya dari kaca mata birokrtasi tetapi tidak dipertimbangan aspek demokrasi dan esenmsi otonomi daerah. Cukup saja dengan peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatasinya, misalnya UU KPK, sehingga terkesan RUU ASN adalah  “dipaksakan” untuk merubah system  atauhanya memenuhi  pesan BANK DUNIA serta terkesan PROYEK PENELITIAN YANG DISPONSORI BANK ASING, patut dicurigai ini adalah NEO LIBRALISME yang tidak selaras dengan cita hukum Indonesia; Pancasial sebagai sumber segara sumber hukum, negara. Hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan sebagai berikut dalam NASKAH AKADEMIK RUU ASN:
Landasan  Yuridis
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian yang mengatur tentang manajemen kepegawaian Negara yang disusun berdasarkan kerangka pemikiran bahwa pegawai sebagai individu dan sebagai korp adalah bagian integral dari pemerintahan Negara. Karena itu setiap pegawai sipil dituntut agar memiliki loyalitas penuh kepada pemerintah Negara. Ketentuan seperti tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang semakin demokratis dan desentralistis, pemerintahan yang semakin terbuka, serta ekonomi yang semakin kompetitif.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sudah mengamanatkan pembentukan Komisi Kepegawaian Negara sebagai otoritas independen untuk menjaga profesionalitas, netralitas, dan apolitisasi SDM Aparatur Negara. Namun, karena berbagai kesibukan Pemerintah, 12 (dua belas) Tahun setelah diamanatkan oleh Undang-Undang, Komisi independen tersebut belum dibentuk. Sementara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara semakin terkungkung oleh rutinitas dan kurang mampu menjadi pendorong reformasi aparatur negara. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan oleh beberapa kementerian dan lembaga non kementerian sejak 2008 lebih merupakan inisiatif bottomup oleh para pimpinan kementerian tersebut, bukan karena adanya suatu kebijakan nasional reformasi aparatur Negara. Undang-Undang ini merupakan ketetapan pokokpokok bagi pengaturan manajemen kepegawaian bagi seluruh aparatur Negara yang mendapat gaji dari Negara, di samping secara khusus mengatur mengenai aparatur sipil Negara.
Sementara desentralisasi kepegawaian yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam perkembangannya telah dilaksanakan dengan semangat yang berbeda dan telah menyimpang dari semangat yang mendasari desentralisasi kepegawaian. Pembentukan PNS Daerah pada Undang-Undang tersebut pada esensinya adalah untuk mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah agar mampu menyesuaikan jumlah dan mutu pegawai daerah dengan fungsi dan tugas pemerintah daerah. Tapi dalam kenyataan, setelah pelaksanaan desentralisasi kepegawaian sejak Tahun 2000, dari 497 (empat ratus sembilan puluh tujuh) kabupaten dan kota dan 33 (tiga puluh tiga) provinsi, hampir tidak ada yang melaksanakan manajemen kepegawaian dengan semangat seperti yang diharapkan, yaitu mengangkat pegawai yang jumlah, komposisi dan kualifikasinya sesuai dengan beban tugas dan fungsi daerah. Sebaliknya, setiap tahun formasi calon PNS yang diberikan kepada kabupaten dan kota berjumlah 250 orang. Pada provinsi mungkin mencapai 2 (dua) kali jumlah tersebut.
  • Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Internasional Adgers, Norwegia (Kristiansen, 2009[1]) dan oleh Bank Dunia melalui proyek Decentralization Support Fund (2011[2]), menunjukkan adanya praktek jual beli formasi pegawai antara oknumoknum otoritas kepegawaian di Pusat dengan para pimpinan daerah. Formasi yang diperoleh dengan modal Rp510 juta per pegawai tersebut kemudian dijual oleh Pejabat Yang Berwenang di daerah dengan harga berlipatlipat lebih mahal, berkisar  antara Rp75 juta sampai dengan Rp150 juta tergantung dari jabatan. Praktek perdagangan calon pegawai ini selain bernilai sangat besar, sekitar Rp20 sampai 25 triliun per tahun, juga telah merusak sendi-sendi moralitas pegawai aparatur sipil Negara. Praktek perdagangan jabatan terjadi juga dalam pengisian posisi kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah dan pengisian posisi jabatan politik lokal
DEMIKIAN JUGA LANDASAN SOSIOLOGISNYA
      “Landasan Sosiologis
»»  Baca Selengkapnya...