Jumat, 04 September 2015

PROMOSI JABATAN TERBUKA TIDAK SAMA DENGAN “LELANG JABATAN”

PROMOSI JABATAN TERBUKA  TIDAK SAMA DENGAN “LELANG JABATAN”

oleh: Turiman Fachturahman Nur

        
          Pertanyaan yang  menjadi topik diskusi di harian Pontianak Post 7 Sepetember 2015 adalah apakah model promosi jabatan terbuka efektif dan selaras dengan Good Governance ? Apakah Promosi jabatan Terbuka  (open binding) sama dengan Lelang Jabatan?
         Menurut saya menyamakan promosi jabatan terbuka  dengan lelang jabatan adalah salah kaprah, mengapa saya nyatakan salah kaprah, karena promosi jabatan terbuka ini hanyalah salah satu bagian dari manajemen ASN UU Nomor 5 Tahun 2014 memberikan batasan, pada pasal 1 angka 3, bahwa  Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang  profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.  Pertanyaan bagaimana konsep manajemen ASN. Pasal 52 Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Oleh itu lelalng jabatan adalah salah kaprah, karena kata lelang konmotasi negatif  Kata ‘lelang’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ”penjualan barang/benda di hadapan orang banyak yang dipimpin pejabat lelang, dengan penawaran, siapa yang paling tinggi maka dia sebagai pemenang.”
            Pertanyaannya adalah bagaimana konsep manajemen ASN untuk PNS baik di daerah mapun di pusat, yaitu menggunakan SISTEM MERIT
Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud sistem merit ? Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada: 1.kualifikasi, 2.kompetensi, dan 3.kinerja secara   adil   dan   wajar   dengan   tanpa membedakan  latar belakang : politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.(pasal 1 angka 22 UU No 5 Tahun 2014
           Jadi berkaitan dengan sistem merit ini dilakukan salahs atunya adalah promosi jabatan secara terbuka yang diatur dari pasal 69 sampai dengan pasal 74 UU NO 5 tahun 2014, namun perlu diperhatikan secara hukum kepegawaian pernyataan Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
           Kemudian  keadaan mendesak sebelum keluarnya peraturan pemerintah menteri mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Tinggi secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah, sebagaimana dalam konsideran  Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, maka instansi pemerintah perlu melakukan promosi jabatan pimpinan tinggi secara terbuka;
            Apa yang dimakud jabatam tinggi dalam UU ASN  Jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah. (pasal 1 angka 7) Pasal 19  UU ASN  (1) Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: a.  jabatan pimpinan tinggi utama;b.  jabatan pimpinan tinggi madya; dan c.  jabatan   pimpinan tinggi pratama.Lagi lagi pada ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan      syarat kompetensi,  kualifikasi, kepangkatan,  pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
            Jadi  keberadaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Tinggi secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah secara hukum ada terobosan hukum dan sebagai peraturan kebijakan
           Persoalan apakah efektif  dan selaras dengan prinsip-prinsip good governance ? Menurut saya bahwa promosi jabatan terbuka selama mengikuti asas asas Pasal 2 yang menyatakan Penyelenggaraan    kebijakan    dan    Manajemen    ASN  berdasarkan pada asas: a.  kepastian hukum; b.  profesionalitas; c.  proporsionalitas; d.  keterpaduan; e.  delegasi; f.   netralitas; g.  akuntabilitas; h.  efektif dan efisien; i.   keterbukaan; j.   nondiskriminatif; k.  persatuan dan kesatuan; l.   keadilan dan kesetaraan; dan m. kesejahteraan.
         Pertanyaan ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa ada salah persepsi tentang promosi jabatan terbuka dan lelang jabatan. Adalah menarik untuk dikemukan pernyataan Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional menegaskan bahwa istilah lelang jabatan yang dimaksudkan sebagai sistem rekrutmen terbuka bagi pejabat publik, salah kaprah.
         Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional Erry Riyana Hardjapamekas menjelaskan, bahwa sistem pengangkatan, penempatan dan mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pejabat di instansi Pemerintah Pusat dan Daerah perlu dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
        Sehingga, lanjut dia, yang diangkat adalah para pejabat yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan yang hendak diisi. Atau istilahnya yakni 'the right man on the right place'.
           Dia menambahkan, salah satu langkah perbaikan yang ditempuh Pemerintah adalah dengan memberlakukan sistem rekrutmen terbuka. Yang dimaksud dengan rekrutmen terbuka, sambung dia, adalah menjaring aparatur sipil negara dari mana saja, dengan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan oleh instansi yang membutuhkanya.
           "Belakangan ini dalam pidato resmi pejabat, pemberitaan, maupun dalam diskusi dan seminar muncul istilah baru, yaitu 'lelang jabatan' untuk menamakan proses penyeleksian calon pejabat secara terbuka dan kompetif," ujarnya dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Sudirman, Jakarta, Selasa (17/9/2013).
            Reformasi birokrasi pemerintahan diartikan sebagai penggunaan wewenang untuk melakukan pembenahan dalam bentuk penerapan peraturan baru terhadap sistem administrasi pemerintahan untuk mengubah tujuan, struktur maupun prosedur yang dimaksudkan untuk mempermudah pencapaian tujuan pembangunan.
 Secara normatif didalam Peraturan MENPAN No. PER/15/M.PAN/7/2009, Tentang: Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM aparatur.
Disebutkan pula bahwa : Reformasi Birokrasi adalah langkah-langkah strategis untuk membangun aparatur Negara agar lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
           Keluarnya UU No 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) seakan menjadi babak baru dalam sistem administrasi kepegawaian di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyak perubahan mendasar dan prinsip dalam sistem administrasi kepegawaian yang baru ini. Sesuatu hal sangat menarik untuk diperbincangkan di daerah pada saat ini tentunya terkait dengan sistem seleksi pengisian jabatan pada pemerintah daerah. Berbagai tanggapan telah bermunculan dari berbagai unsur khususnya dari pegawai negeri sipil (calon pejabat) di daerah terkait dengan pengisian jabatan ini. 
               Ada yang bersikap sangat antusias, ada yang bersikap lesu darah, ada yang diam-diam saja seakan tanpa masalah, dan ada juga yang bertanya-tanya kebingungan dengan sistem rekrutmen jabatan yang baru ini. Apalagi mengingat belum adanya peraturan pemerintah lainnya yang dikeluarkan terkait dengan teknis operasional dari implementasi UU ASN ini, baru dalam bentuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No13/ 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
             Secara substansi, asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada pasal 2 UU ASN adalah sebagai berikut; kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralisir, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, dan kesejahteraan.
           Salah satu subtansi pasal 2 UU ASN (UU No 5 tahu  2014) adalah adanya keterbukaan atau dikenal dalam  good governance adalah transparansi.
          Pertanyaannya siapakah yang melaksanakan asas penyelenggaraan kebijakandan manajemen ASN  dipusat dan di daerah  ?
             Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing. “Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing,” bunyi Pasal 54 Ayat (4) UU ini. Manajemen PNS pada Instansi Pusat, menurut UU No. 5/2014 ini, dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
           Pasal 56 UU ini menegaskan, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan    jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. Berdasarkan penyusunan kebutuhan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional. Adapun dalam hal pengadaan, ditegaskan Pasal 58 UU No.5/2014 ini, bahwa pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemeirntah, yang dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri PAN-RB. “Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 58 Ayat (4) UU No. 5/2014 ini.
Disebutkan dalam UU ini, setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS, dan setiap Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.
Adapun penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS harus dilakukan melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan. Penyelenggaraan seleksi sebagaimana dimaksud terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang “Peserta yang lolos seleksi diangkat menjadi calon PNS, dan pengangkatan calon PNS ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian,” bunyi Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
         Selain itu UU ini menegaskan, calon PNS wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi, untuk membangunan integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetenti bidang.“Masa percobaan sebagaimana dimaksud bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, dan selama masa percobaan, Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS,” b unyi Pasal 64 Ayat (1,2) UU ini.
           Menurut UU No. 5/2014 ini, Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan: a. Lulus pendidikan dan pelatihan; dan b. Sehat jasmani dan rohani. Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, dan calon PNS yang tidak memenuhi diberhentikan sebagai calon PNS.
           Berkaitan dengan Pangkat dan Jabatan Pasal 68 UU ini menegaskan, PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. PNS juga dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan pangkat atau jabatan yang disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
         Adapun pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kulifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah, yang dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. Sementara promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan. “Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi, yang dilakukan oleh Pejabat pembina Kepegawaian setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah,” bunyi Pasal 72 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu.
           Patut disadari, bahwa  UU ASN merupakan produk hukum yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang komprehensif.  Oleh karena itu dengan terbitnya UU ASN, yakni UU No 5 Tahun 2014 diharapkan.dalam penjabaran peraturan pelaksanaannya jangan sampai multitafsir, oleh karena itulah, dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN, yang nantinya termanifestasi dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran atau jauh dari harapan kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.
           Jika kita membaca nomenklatur judul UU ini adalah, yaitu aparatur sipil negara. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa aparatur sipil negara adalah “profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah”. Sementara itu, pada butir 2 disebutkan bahwa pegawai ASN adalah "PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
             Selanjutnya pada pasal 3 UU ASN ini dinyatakan dengan tegas bahwa; ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai berikut; nilai dasar, kode etik dan kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggungjawab pada pelayanan publik, kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi akademik, jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas; dan profesionalitas jabatan.
             Berdasarkan pasal 51 UU No5/ 2014 tentang ASN dinyatakan dengan jelas bahwa; ?Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan sistem merit?,  yang dimaksudkan dengan sistem merit berdasarkan pasal 1 ayat (22) UU ASN adalah sebagai berikut; ?kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan?.
                Sehubungan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan dan manajemen ASN dalam penerimaan pegawai dan seleksi jabatan didasarkan kepada; kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.
               Apabila diperhatikan secara seksama dasar pemikiran dan manajemen dari UU ASN ini memang sangat objektif dan transparan dalam merekrut pegawai dan pejabat pemerintah yang lebih berkualitas dan profesional sesuai dengan asas dan prinsip UU ASN tersebut, namun apabila diperhatikan dan dianalisis lebih dalam dengan berbagai fenomena yang ada, maka masih terlihat adanya dilema-dilema yang terkait dengan proses dan prosedur dalam rekrutmen jabatan pada pemerintah daerah ini. Bisa saja hal ini nantinya akan dapat membuat berbagai permasalahan baru dalam implementasi UU ASN ini, khususnya dalam proses dan prosedur rekrutmen jabatan pada pemerintah daerah.
              Beberapa dilema yang dapat terlihat dalam  proses penerapan UU ASN maupun dalam penerapan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No13/ 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi pemerintah, diantaranya adalah sebagai berikut;[1]
Pertama, masih belum terlihatnya aturan mengenai batasan yang jelas tentang berapa jumlah maksimal jabatan yang dapat diikuti oleh seorang calon pejabat dalam proses lelang jabatan tersebut. Apakah hanya melamar pada satu jabatan atau dapat melamar pada beberapa jabatan.

Kedua, bagaimana seorang calon pejabat dapat menentukan pilihan jabatannya yang dianggap sesuai dengan kompetensi dirinya nya? Karena tawaran jabatan yang ditawarkan/dilelang tidak dijelaskan kompetensi apa yang diperlukan oleh suatu jenis jabatan yang dilelang tersebut. 
Ketiga, apabila suatu jabatan diminati oleh banyak orang, sedangkan pejabat yang akan ditetapkan menduduki jabatan tersebut hanya satu orang, bagaimana tindaklanjut dari beberapa pejabat yang lain tidak dapat didudukkan di jabatan tersebut? Padahal mungkin saja mereka juga berstatus layak untuk duduk pada jabatan tinggi tersebut, apakah para pejabat ini harus membuat permohonan atau melamar kembali untuk jabatan yang lain pada tingkatan jabatan yang sama?
Keempat, apakah calon pejabat tinggi ini harus melamar pada jabatan yang sedang didudukinya pada saat ini? Atau pada jabatan lain yang dianggap sesuai dengan kompetensinya, hal ini tidak ada penjelasan yang lebih jelas dari lembaga yang berwenang dengan implementasi ASN ini. 
Kelima, apakah calon pejabat yang tidak memenuhi syarat baik dari sisi kualifikasi maupun kompetensinya untuk duduk pada jabatan tinggi dapat melamar pada jabatan yang lebih rendah atau jabatan administrasi?
Keenam, belum jelasnya batasan kewenangan dari tim seleksi jabatan ini, apakah sampai pada penentuan tempat suatu jabatan? Atau hanya sampai pada menentukan layak atau tidak layaknya seorang calon pejabat pada tingkatan dan jenis jabatan seperti yang telah diatur dalam UU ini. Apabila kewenangan tim seleksi sampai pada tahapan penentuan jabatan maka bagaimana pula kapasitas kepala daerah yang juga memiliki penilaian tersendiri terhadap para pejabat di lingkungan kerjanya sebagai atasan langsung? Sehingga apakah kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan rekomendasi tim seleksi? Sehingga bagaimana tindaklanjutnya apabila kepala daerah memiliki pandangan yang berbeda dengan hasil rekomendasi tim seleksi jabatan?
Ketujuh, apakah tim seleksi jabatan pada pemerintah daerah telah memahami betul tentang UU ASN yang terdiri dari 15 bab dan 141 pasal tersebut? Hal ini mengingat latar belakang pendidikan dari tim seleksi yang juga berbeda-beda dan bahkan mungkin saja ada yang anggota tim seleksi yang belum pernah belajar tentang administrasi kepegawaian dengan berbagai dinamikanya. Karena organisasi pemerintahan tidak sama dengan organisasi bisnis dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Dengan kondisi tersebut tentunya akan bisa terjadi perbedaan penafsiran terhadap substansi dan filosofis dari UU ASN tersebut. 
            Sehingga apabila kita lihat berbagai fenomena yang terjadi pada proses rekrutmen calon pejabat tersebut, maka masih banyak hal yang menjadi dilema dalam penerapan UU ASN ini khususnya pada pelaksanaan rekrutmen jabatan di daerah, sehingga apabila hal ini tidak dicarikan solusi dan tindaklanjutnya tentu akan menimbulkan masalah baru dalam  pelaksanaan administrasi kepegawaian di Indonesia khususnya administrasi kepegawaian di daerah. Oleh karena itu, dalam penerapan UU ASN ini, khususnya dalam hal rekrutmen calon pejabat tersebut, khususnya pejabat di daerah perlu dilakukan: Pertama, perlu persamaan persepsi terhadap substansi dan implementasi dari UU ASN tersebut baik dari sisi unsur penyelenggara seperti tim seleksi, kepala daerah, legislatif, para stakeholder lainnya, maupun para calon pejabat yang akan diseleksi.
Kedua, perlu aturan-aturan lainnya atau kebijakan pemerintah lainnya sebagai suatu batasan untuk menutupi berbagai kekosongan aturan yang ada pada UU ASN ini terkait dengan kondisi realita dinamika implementasi UU ASN tersebut. Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi kepada para calon pejabat peserta lelang jabatan yang lebih intesif terkait dengan permasalahan yang lebih teknis dengan proses dan prosedur dari rekrutmen jabatan ini.
Keempat, perlu secepatnya keperluan kompetensi jabatan yang ditawarkan disampaikan kepada para calon pejabat yang akan mengikuti lelang jabatan tersebut, sehingga para calon pejabat tersebut tidak salah dalam memilih jabatan yang sesuai dengan kompetensi dirinya.
Keenam, surat edaran penawaran jabatan ini perlu disampaikan kepada seluruh calon pejabat yang memenuhi persyaratan, sehingga tidak hanya terbatas kepada para pejabat yang sedang memegang jabatan pada saat ini saja, agar asas transparansi sebagai salah satu asas dalam UU ASN ini dapat direalisaskan sebagaimana mestinya.
           Diharapkan dapat dicarikan solusi yang terbaik dalam menjawab berbagai dilema yang terjadi dalam penerapan UU ASN ini.


[1] Rahyunir Rauf, Dilema Rekrutmen Jabatan Pemda, Riau, Pos, 14 Maret  2015

 

  

 


»»  Baca Selengkapnya...