Sabtu, 06 Agustus 2011

Menuju Ilmu Hukum Tata Negara Berbasiskan Moralitas dan Relegius

Menuju Ilmu Hukum Tata Negara Berbasiskan Moralitas dan Relegius
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Mengapa penegakan hukum di Indonesia tercerabut dari akar moralitas, sebenarnya salah satu faktor sumbangan terbesar adalah karena kita menyamakan hukum sama dengan teks peraturan perundang-undangan, sedangkan jika kita eksplorasi lebih dalam materi muatan peraturan perundang-undangan yang dirancang oleh negara melalui lembaga yang diberikan kewenangan tidaklah bebas dari kepentingan-kepentingan politik dalam berbagai dimensinya, sehingga publik tidak bisa berharap banyak kepada peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis, sebagai satu-satu pintu masuk pemahaman ilmu hukum tata negara, khususnya di Indonesia.
Mengapa demikian ? jika kita membaca secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 20 menyatakan: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (2) setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat Masa itu (4 ) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Mengacu pada landasan konstitusional di atas, jelas terjadi sebuah pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu dan meninggalkan teori dalam ilmu hukum tata negara distribution of  power menjadi pemisahan kekuasaan, tetapi akibatnya kita melihat bersama, bahwa DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang justru mengabaikan sebuah lembaga negara yang sebenarnya setara dengan DPR yang merupakan representasi daerah, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang secara konstitusional hanya diberikan kewenangan mengajukan rancangan undang-undang dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang serta ikut membahas tetapi tidak memberikan persetujuan terhadap undang-undang (pasal 22 D) oleh karena itu DPR dengan hegemoninya bisa “menobrak abrik” rancangan undang-undang baik yang datang dari Presiden (eksekutif) maupun yang datang dari DPD.
Ini adalah sebuah ketidak adilan, karena DPD yang mewakili suara daerah nyaris dapat diabaikan, sedangkan sejatinya DPD yang diwakili oleh 4 orang setiap provinsi dipilih langsung oleh rakyat di daerah tidak diberikan kekuasaan untuk setuju atau tidak setuju terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan daerah dan otonomi daerah, seharus diberikan sebuah kewenangan untuk memberikan persetujuan atau menolak sebuah materi peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan daerah.
Efek lain dari Pasal 20 UUD 1945 adalah presiden terpilih melalui pilpres “tidak cukup pede”, karena  Partai yang mewakilinya di DPR tidak mungkin menguasai seluruh kursi DPR yang jumlahnya 500 kursi dan pada tataran praktek melebihi 250 kursi sehingga untuk mengimbangi, akhirnya berkoalisi dan tentu ada partai yang tidak berkoalisi kemudian diketagorikan sebagai “oposisi” sistem seperti ini cukup signifikan jika sistem pemerintahan adalah parlementer.
Dengan demikian keberadaan DPD sebagai perwakilan daerah yang jumlahnya sedikit itu tidak mampu mengimbangi DPR dan dari sisi kewenangan terbatas, seharusnya jika memang ada oposisi, maka secara psikologi politik seharusnya mendukung DPD untuk melakukan stresing kepada partai-partai koalisi, tetapi karena tidak ada kewenangan dalam membentuk undang-undang tetap terabaikan.
Pada sisi tataran praktek moralitas anggota-anggota DPR dalam kondisi seperti sekarang ini dan menguatnya paham-paham yang menganggap hukum sama dengan undang-undang, maka positivisasi adalah salah satu jalan untuk menitipkan kepentingan ke dalam materi muatan perturan perundang-undangan.
Kemudian bagaimana pemahaman ilmu hukum tata negara oleh para penstudi hukum di Indonesia, pada tataran ini secara akademis mempertanyakan apa sebenarnya hakekat ilmu hukum tata negara itu ?
Hakekatnya, ilmu hukum tata negara dalam keotentikannya merupakan ilmu yang sarat dengan moral dan moralitas. Ilmu hukum tata negara merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum tata negara merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum tata negara.
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah yang panjang, moral dan moralitas itu sedikit demi sedikit tereduksi, sehingga dewasa ini kandungan moral dan moralitas dalam ilmu hukum tata negara sangat menipis. Perkembangan ilmu hukum tata negara menjadi semakin memprihatinkan, ketika moral dan moralitas yang masih tersisa dalam batas minimal tersebut cenderung diputar-balikkan melalui rekayasa atau permainan, sehingga garis batas antara adil/dzalim, benar/salah, baik/buruk, jujur/bohong dan sebagainya menjadi kabur, simpang-siur, kacau dan membingungkan. Bahkan pada tataran teoretis maupun praktis, seakan tidak ada lagi garis batas, garis pemisah, garis demarkasi dalam moral dan moralitas tersebut, sehingga siapapun yang terlibat dalam masalah-masalah hukum, menjadi bingung dan terjebak ke dalam ketidak-berdayaan, ketidak-pastian, ketidak-teraturan, karena memang tidak ada pedoman, tidak ada referensi ataupun kategori-kategori yang pasti mengenai moral dan moralitas itu. Ironisnya, tidak adanya garis pembatas dan pemisah antara moral dan moralitas dengan ilmu hukum tata negara tersebut dalam banyak hal justru disengaja oleh pihak-pihak yang berposisi sebagai pengendali, pelaksana maupun pengontrol pengamalan ilmu hukum tata negara di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Garis batas moral dan moralitas yang dalam keotentikannya jelas dan pasti, justru dengan sengaja dibongkar, didekonstruksi, diambangkan, dijungkir-balikan sehingga manakah ilmu hukum yang bermoral dan mana pula ilmu hukum tata negara yang amoral menjadi nisbi, relatif bahkan nihil.
            Berhadapan dengan kecenderungan adanya pemisahan antara moral dan moralitas dengan ilmu hukum tata negara, menjadi relevan untuk dikaji, diungkap dan diangkat kembali urgensi reintegrasi moral ke dalam ilmu hukum tata negara. Bagaimanapun kita berkepentingan agar perkembangan ilmu hukum tata negara dapat berjalan secara wajar, sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan ilmu hukum tata negara harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis.
            Dalam segala keterbatasan yang ada, di sini perkenankanlah  mengungkap dan mengangkat moral dan moralitas religius, sebagai fondasi utama untuk merespon keterpurukan perkembangan ilmu hukum tata negara. Hal ini saya pandang penting, karena pada tataran paradigmatis, filosofis maupun empiris, sejarah kehidupan manusia di belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-benar adil.
            Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq. Khuluq berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk pada al-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Al-Ghazali (1993) mendefinisikan akhlak (khuluq) sebagai hal yang melekat dalam jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah untuk dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’, maka hal-ihwal itu disebut khuluq yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut khuluq yang buruk. Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat lepas dari pengawasan al-Khaliq (Allah swt).
            Dari definisi itu dapat ditegaskan bahwa akhlak senantiasa berkaitan dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi ini adalah masih relevankah memposisikan al-Khaliq sebagai sumber, induk dan tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq al-madzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber, induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar (al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan  berawal dari-Nya dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam segala aspek kehidupan. Inilah yang saya sebut dengan moral religius.
Moral religius merupakan moral kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius menjadi identik dengan moral ilmu hukum tata negara. Jangkauan dan cakupan moral religius menjadi sangat luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius atau moral ilmu hukum tata negara bersifat universal.
Dalam keuniversalannya, moral religius mengandung karakteristik sebagai berikut:
Pertama, berkarakter teistik.  Tuhan itu Esa, dan dengan keesaan-Nya telah meliputi segalanya, sehingga tidak tersisa barang sedikit pun untuk men-Tuhan-kan yang selain Allah swt. Nilai-nilai moral absolut hanya ada pada Dia, dan oleh sebab itu segala bentuk aktivitas manusia, termasuk dalam berolah ilmu hukum tata negara harus berporos, berproses, dan bermuara kepada-Nya. Dengan kata lain, ilmu hukum tata negara yang bermoral adalah ilmu hukum tata negara yang dibingkai oleh pandangan dunia yang teistik. Sebaliknya, terhadap ilmu hukum tata negara yang menempatkan selain Allah swt sebagai ukuran kebaikan, kebenaran dan keadilan, pantas dipertanyakan komitmen moralnya. Dalam konteks ini semestinya, kita ingat akan sentilan Allah swt dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50).
Kedua, berkarakter manusiawi. Moral religius, sebagaimana agama itu sendiri adalah tiang kehidupan. Moral religius menjamin terwujudnya kehidupan manusia agar tegak dan konsisten, tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai perubahan dan hasutan yang membawa kepada kerusakan. Berolah ilmu hukum tata negara atas dasar moral religius, pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu hukum tata negara yang bermoral adalah ilmu hukum tata negara yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebaikan, kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum tata negara dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum tata negara harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membetengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia.
Ketiga, berkarakter realistik. Moral religius menaruh perhatian terhadap kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Realitas seperti itu benar-benar diperhatikan, sehingga walaupun semua manusia telah dititahkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk lain, akan tetapi realitas yang terjadi dapat sebaliknya yakni manusia berada jauh di bawah martabat seekor binatang. Dalam kondisi seburuk apapun, moral religius mampu memberikan jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia karena keterbatasannya itu. Terbuka ampunan terhadap orang-orang yang terlanjur menganiaya diri sendiri, tetapi kemudian sadar akan kesalahannya dan segera mohon ampun serta segera kembali ke jalan yang benar. Terhadap orang-orang melanggar hukum Tuhan karena terpaksa (bukan karena sengaja), tiadalah diketegorikan dia berdosa. Moral religius, dengan demikian sangat peduli terhadap realitas plural yang dihadapi setiap manusia, termasuk pluralitas hukum, asalkan kemajemukan itu masih dalam bingkai kebebasan yang dituntunkan agama.
Keempat, berkarakter holistik. Sebagaimana kita sadari bahwa ilmu hukum tata negara akan selalu eksis bersamaan dengan eksistensi manusia. Manusia dalam eksistensinya, tidaklah berdiri sendiri dan terpisah dari entitas lain. Dalam proses kehidupan akan selalu ada komunikasi dan interaksi dengan entitas lain, baik vertikal terhadap Tuhan maupun horizontal terhadap makhluk-makhluk lain. Moral religius menyediakan ruang-gerak untuk berlangsungnya keseluruhan komunikasi dan interaksi tersebut. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum tata negara akan terlihat dari seberapa besar ruang-gerak yang diberikan oleh ilmu hukum dalam memfasilitasi proses komunikasi dan interaksi keseluruhan entitas, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada entitas manapun yang terabaikan. Moralitas religius senantiasa mendorong kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan maupun tujuan penciptaan semua makhluk, dalam dimensi waktu lampau, kini maupun yang akan datang, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan begitu, ketika ada perbedaan persepsi, pandangan, konsep, teori dan apapun di antara entitas yang eksis dalam kehidupan ini, maka yang terjadi adalah saling menyapa, saling memberi, saling berbagi dan bukan saling membenci, mencaci, ataupun mereduksi. Moralitas religius senantiasa menempatkan dan menghormati setiap entitas dalam kedudukannya sebagai subjek dan tidak sekali-kali mengobjekan pihak lain. Ilmu hukum tata negara yang bermoral religius senantiasa merengkuh pandangan holistik dalam menggarap objeknya, dan tidak sekali-kali membuang ataupun menafikan eksistensi sebuah entitas. Dalam konteks ini kita telah diingatkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam suatu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. ”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada di antara keduanya tanpa hikmah . . . (as-Shaad: 27).
Allah swt telah memberikan kemudahan bagi setiap manusia untuk memahami dan menerima moral religius sebagai fondasi dan tegaknya kehidupan. Kemudahan itu telah dijamin oleh Sang Pencipta sendiri melalui penciptaan manusia dalam fitrahnya sebagai makhluk moralis kodrati yaitu makhluk yang mempunyai hati nurani (dalam bahasa agama disebut qalbu), yang dengan unsur kemanusiaan itu ia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Penjelasan atas hal demikian itu dapat kita dasarkan pada hadis riwayat Ahmad yang menyatakan bahwa pada suatu hari seorang sahabat Nabi bernama Wabishah bertanya kepada Nabi tentang al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa, keburukan), yang kemudian dijawabnya: ”Hai Wabishah, bertanyalah kepada hati nuranimu sendiri; kebaikan adalah sesuatu yang jika kau lakukan jiwamu merasa tenang, hati nuranimu pun akan merasa tenteram. Sedangkan keburukan adalah sesuatu yang jika kau lakukan jiwamu bergejolak dan hati nuranimu berdebar-debar, meskipun orang banyak memberi tahu kepadamu (lain dari yang kau rasakan).”
Dengan penjelasan di atas, maka kata kunci untuk memahami moral religius adalah hati nurani (qalbu). Apabila hati nurani (qalbu) sehat, jernih dan suci maka segala amal perbuatan manusia pun akan menjadi bermoral, akan tetapi sebaliknya apabila hati nurani (qalbu) telah sakit, kotor dan keras maka amal perbuatan yang lahir pun menjadi amoral. Segalanya bertolak melalui hati nurani (qalbu), dan segalanya berpulang melalui hati nurani (qalbu). Di sini, menjadi sangat penting menjaga kesehatan, kesucian dan kejernihan hati nurani (qalbu) secara terus-menerus, agar qalbu tetap dalam keadaan suci, tidak terkontaminasi dengan nafsu/hasrat yang cenderung mendorong manusia pada jurang kehancuran.
Sekalian memposisikan hati nurani (qalbu) sebagai kata kunci untuk memahami moral religius, segera memunculkan pertanyaan, di manakah posisi akal (ratio)? Pertanyaan ini wajar dimunculkan dan perlu mendapatkan penjelasan, terkait dengan suatu keyakinan bahwa kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain adalah terletak pada akal.
Akal (berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu-‘aqla), dan di dalam bahasa Latin disebut ratio yang berarti mengikat, menahan, mengerti dan membedakan. Secara etimologis, dengan demikian, akal merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia untuk menahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan-perbuatan yang buruk atau jahat. Akal merupakan substansi. Cara kerja akal disebut pikir. Dengan demikian akal merupakan alat atau daya untuk berpikir dan daya untuk menimbang-nimbang antara yang baik dan buruk. Akal, menduduki peran dan fungsi amat penting dalam kehidupan manusia, antara lain: sebagai sumber ilmu, sebagai prasyarat mutlak taklif atau agama, pembeda antara manusia dengan makhluk lain, dan berfungsi sebagai alat untuk pengembangan ilmu (Departemen Agama, 2001).
Akal merupakan salah satu hidayah yang diberikan oleh Allah swt hanya kepada manusia, dan tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Hidayah akal yang diberikan khusus kepada manusia mengandung makna dan terkait  dengan tugas untuk memikul amanat sebagai kalifatullah di muka bumi, yang tugasnya memelihara, menjaga dan memakmurkan bumi. Dengan hidayah akal, manusia akan mampu mengolah dan mengambil manfaat alam semesta sehingga kualitas kehidupan maupun peradabannya berkembang lebih tinggi. Semua yang ada di bumi diciptakan Allah swt untuk memenuhi kepentingan hidup manusia. Anugerah yang sedemikian besar itu perlu disyukuri. Rasa syukur itu harus dibuktikan dengan perilaku yang mengandung moralitas tinggi, antara lain melakukan konservasi, rehabilitasi, pemeliharaan agar alam tidak rusak sekaligus terjaga dan terkontrol keseimbangannya. Dalam dimesi moralitas ini pula, kita menyadari bahwa kerusakan yang terjadi di daratan maupun di lautan adalah akibat perbuatan tangan-tangan manusia sendiri. Adanya anjuran bagi manusia untuk menggunakan akal dalam kehidupannya, tidak lain merupakan perwujudan eksistensi dirinya sebagai kalifatullah tersebut.
Dalam pandangan Hanafi (1985), kalau manusia benar-benar ingin berfungsi sebagai kalifatullah, maka ia harus memiliki otonomi penuh atas dirinya, dan otonomi itu hanya dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial. Di sini, agama dapat menjadi sarana yang kuat untuk melakukan gerakan perubahan sosial, pembebasan diri dari hegemoni “tradisi lama” maupun pembacaan ulang terhadap tradisi Barat. Bagi Hanafi, agama merupakan “revolusi akal”, dan para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati. Nabi Ibrahim as adalah cerminan revolusi akal yang menundukkan tradisi-tradisi buta, yaitu revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Nabi Musa as merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Nabi Isa as, adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme. Nabi Muhammad saw, merupakan teladan kaum miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat elite Quraisy dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang bebas, penuh persaudaraan dan egaliter.
Meskipun akal mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan manusia, namun akal bukanlah faktor penentu untuk menetapkan nilai-nilai moral. Akal itu bersifat nisbi atau relatif. Produk yang dihasilkan oleh akal melalui berpikir pun bersifat nisbi atau relatif. Daya jangkauan akal terbatas. Akal tidak memadahi untuk memahami alam semesta, lantaran akal secara maksimal hanya bisa menangkap potongan-potongan alam yang terisolasi, dan kemudian menghubungkan potongan-potongan itu satu dengan lainnya.
Schumacher (1977) memandang akal tidak lebih dari perangkat mental. Dengan mengingat perangkat mental ini sangat bervariasi pada setiap orang, maka pasti ada sebagian orang bisa “melihat” hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh sebagian lain. Atau dengan kata lain, sebagian orang memiliki perangkat mental yang memadahi, sedangkan sebagian lain tidak. Inilah sebuah fakta bahwa tidak semua informasi tentang alam semesta dan kehidupan bisa dicerna hanya dengan akal. Di alam semesta dan kehidupan ini terdapat banyak realitas yang akal tidak memiliki akses kepadanya.
Menurut Arkoun (1986) akal itu bersifat plural, sebab ia bekerja dengan mekanisme khusus, berlandaskan sejumlah aksioma dan referen kultural tertentu. Betapapun demikian, ada unsur-unsur yang selalu memungkinkan akal tersebut menjadi tunggal. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) ketundukan akal pada wahyu yang “terberi” atau diturunkan dari langit. Wahyu itu kedudukannya lebih tinggi dari akal, dan memiliki watak transendental, mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat; (2) penghormatan terhadap otoritas dan keagungan serta ketaatan akal; (3) akal memainkan perannya melalui cara pandang tertentu terhadap alam semesta. Dengan demikian, akal itu bukan abstrak, melainkan konkret dan mempunyai kerangka tertentu.
Keyakinan pada keterbatasan akal, semestinya mendorong bagi siapapun yang berolah ilmu hukum tata negara untuk tidak berhenti pada tataran realitas rasional dan kemudian mengklaimnya sebagai realitas yang paling benar, paling adil, sempurna dan final melainkan agar manusia menggunakan perangkat (unsur) kemanusiaan yang lain, yakni qalbu sehingga pencarian kebenaran dan keadilan senantiasa berada di jalan yang lurus dan semakin dekat pada kebenaran dan keadilan absolut. Dengan kreativitas demikian, keterbatasan akal tersebut tidak menjadi kendala bagi manusia dalam menghadapi alam semesta maupun berolah ilmu (termasuk ilmu hukum). Penggunaan akal harus dibantu dan dikendalikan oleh qalbu. Menggunakan akal secara emosional untuk berpikir tanpa dipandu dan dipadukan dengan qalbu - lebih-lebih kalau dikendalikan oleh nafsu - akan menjurus pada kesesatan, sebab nafsu pada dasarnya merupakan daya atau kekuatan yang bersifat tercela dan menjurus pada kerusakan.
Akal dan qalbu sebagai unsur-unsur kemanusiaan berada dalam satu wadah yang disebut roh (jiwa). Qalbu mempunyai fungsi sebagai kendali terhadap akal agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kehancuran. Sebelum akal melangkah (berpikir) kepada sesuatu keputusan, seharusnya ia mengontrolnya dengan qalbu. Dengan adanya kontrol atau kendali dari qalbu, akal dapat berjalan lurus, menuju kebenaran dan keadilan absolut, walaupun hasil maksimal dari kebenaran dan keadilan yang dicapainya masih bersifat relatif. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum tata negara pada hakikatnya merupakan fungsi keterpaduan, keseimbangan dan kemaksimalan kerja qalbu dan akal.
Marilah kita lihat bagaimana kedudukan moral religius dalam perkembangan ilmu hukum. Sebagaimana dituturkan Golshani (2003), bahwa pandangan dunia yang melandasi sains (termasuk ilmu hukum tata negara, pen.) pada era peradaban Islam klasik dan Eropa Abad Pertengahan bersifat teistik. Pandangan dunia teistik inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebutnya sebagai sains sakral, yaitu sains yang terbingkai dalam pandangan dunia yang teistik – pandangan dunia yang menganggap Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta, yang tidak mengurung wujud dalam wilayah materiil, meyakini pada tujuan bagi alam penciptaan dan mengakui aturan moral.
Sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara telah menorehkan catatan penting bahwa semasa Teori Hukum Alam berjaya, qalbu diposisikan lebih tinggi dari akal. Teori ini menempatkan wahyu secara “terberi”, sebagai kekuasaan spiritual dari hukum Tuhan, dan berada di atas semua perundang-undangan lainnya. Dominasi qalbu atas akal memang terbukti telah menghasilkan kemajuan spiritual, akan tetapi terbelakang dalam bidang materi, phisik dan kebutuhan lahiriah. Dominasi qalbu atas akal dapat membawa manusia kepada kemajuan rohaniah, tetapi tidak jarang dapat mengakibatkan manusia terjerumus kepada dunia mistik yang berlebihan dan menyesatkan.
            Secara sosio-historis, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja-raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) telah mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan hukum agama. Mulai dari urusan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, seni sampai dengan teologi dan sains, keseluruhannya harus mengikuti ketentuan apa yang dituntunkan gereja.
Berhadapan dengan kekuasaan gereja dan raja-raja tersebut, muncullah antitesis berupa pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu pemikiran yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja. Tokoh penting dari gerakan pemikiran ini antara lain Machiaveli (w.1527 M) dan Michel Mountaigne (w.1592 M). Perseteruan dua kubu yang berseberangan dalam konsep, teori maupun praktik-praktik mengenai peran agama dalam perikehidupan, pada gilirannya berpengaruh cukup signifikan pada perkembangan ilmu hukum di Eropa pada saat itu. Konflik antara Paus dan Kaisar Heinrich IV yang berlanjut menjadi peperangan (Wars of Investiture), bukanlah sekedar perang memperebutkan simbol kekuasaan tertinggi dalam kehidupan manusia, melainkan juga perang memperebutkan yurisdiksi. Perjanjian Worms tahun 1122, dapat dipahami sebagai penegasan bahwa yurisdiksi gereja di bawah Paus dan yurisdiksi Negara Dunia di bawah Kaisar adalah terpisah. Begitu pula peristiwa yang terjadi seabad kemudian di Inggris ketika Raja John memaklumatkan Magna Charta tahun 1245 untuk mengakhiri perseteruannya dengan Paus Innocentius III, tersirat dalam Magna Charta tersebut sebuah deklarasi pengakuan bahwa “gereja Inggris diakui bebas” dari kontrol yurisdiksi raja dan para baron.
Ditengah perubahan kondisi sosial-ekonomi maupun hukum sepanjang abad sejak usainya Wars of Investiture dan Perang Salib (1095-1291), para saudagar yang bermukim di kota-kota mulai mengembangkan hegemoni paham mereka yaitu industrialisme, urbanisme, kapitalisme dan sekularisme. Dalam perkembangan seperti itu, para saudagar seakan telah menemukan jati dirinya yaitu sebagai manusia yang terbebas dari segala afiliasi kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan. Hukum Tuhan mulai dicampakan. Bagi mereka, ilmu hukum (pada tataran teoretis maupun praktis) tak perlu lagi bermuatan moral dan moralitas seperti: halal atau haram, pahala atau dosa, karena pembicaraan tentang hal itu dapat menghalangi pencapaian keuntungan materiil. Tatanan normatif dalam ranah privat maupun publik dipandang cukup dibangun atas dasar kesepakatan internal antar-subjek dan dituangkan dalam wujud kontrak-kontrak, dan harus terbebaskan dari  moralitas religius maupun intervensi hukum Tuhan. Kesepakatan, perjanjian, kontrak merupakan refleksi intersubjektif individu-individu manusia, yaitu manusia yang punya otoritas penuh dan kebebasan mutlak. Paham liberalisme dan sekularisme benar-benar telah mendominasi perkembangan ilmu hukum pada saat itu. Momentum inilah yang oleh Wignjosoebroto (2002) disebut sebagai pangkal awal terjadinya proses positivisasi dan objektivisasi yang menghasilkan charters atau hukum undang-undang. Beranjak dari momentum itulah maka dasar legitimasi seluruh bangunan hukum, bukan lagi ilmu hukum yang mengandung moral religius dan bersumber dari Yang Maha Adil (al-Adl), melainkan Grundnorm yang secara umum diistilahkan dengan “konstitusi” atau Undang Undang Dasar.
Apa makna dari perkembangan ilmu hukum tata negara yang cenderung liberal dan sekular tersebut dalam konteks moral dan moralitas? Dalam terminologi Auguste Comte, perkembangan ilmu hukum tata negara telah memasuki tahap positivistis. Pada tahap demikian, ilmu hukum telah mengibaskan pencarian kebenaran dan keadilan melalui qalbu. Cara seperti itu dianggap cocok ketika manusia masih berada pada tahap teologis dan metafisis, sementara pada tahap positivistis pencarian kebenaran dan keadilan harus dilakukan dengan akal. Berpijak pada filsafat positivisme, maka berolah ilmu hukum tata negara harus menggunakan akal/rasio sebagai alat analisis. Melalui metode induksi ala Francis Bacon, metode rasional ala Descartes dan metode atomistis ala Issac Newton yang sudah diperkenalkan sejak abad Pencerahan (Aufklaerung), maka ilmu hukum tata negara secara agresif menguasai objek-objek fisik dan menganalisisnya dengan cara atomistis, mekanis dan reduksionistis. Sekalian objek-objek ilmu hukum dipilah-pilah, kemudian digarap secara mekanis, dan dijelaskan secara rasional. Tidak sekali-kali ilmu hukum tata negara dipandang ilmiah kecuali memenuhi standar baku yakni rasional.
The state of the art dalam ilmu hukum tata negara pada abad ke-19 adalah positivistik. Positivisme menjadi aliran yang dominan. Contoh sangat mencolok adalah Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen. Menurut dia, hukum adalah susunan logis dari peraturan-peraturan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum tata negara adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu. Fokus perhatian hukum semata-mata pada bentuk, bukan pada isi, sehingga hukum tetaplah sah walaupun tidak adil dan tidak megandung nilai-nilai moralitas. Tokoh-tokoh teoretisi positivisme lain, seperti John Austin dan H.L.A.Hart, mereka menjadikan tugas ilmiahnya sebagai pemberi legitimasi terhadap hukum positif, dan mencoba membangun suatu teori mendasar, dimulai dari hakikat peraturan hukum dan membedakan serta memisahkannya dengan moral, etika, kesusilaan, agama maupun norma-norma kehidupan lain. 
Secara ekstrem pikiran-pikiran konservatif di lingkungan kaum positivis mengisyaratkan perlunya hukum dihormati, ditaati dan ditegakkan, sekalipun langit runtuh. Kekuatan sanksi banyak didayagunakan untuk keperluan itu, yang pada akhirnya menjadikan hukum positif cenderung berkarakter represif. Manusia - siapapun dia - dapat dipaksa, dipidana, bahkan dibunuh dengan dalih penegakan hukum positif yang notabene berkiblat kepada kepentingan negara. Dengan begitu, ilmu hukum menjadi abdi bagi para elite penguasa dan mereka yang kaya. Kolaborasi antara politisi dengan konglomerat dalam pengendalian hukum negara, menjadikan hukum positif semakin menampakkan karakter kapitalistik-sekular. Demi pengabdiannya kepada para elite tersebut, maka manusia (rakyat) sering dikorbankan. Derajat, martabat dan kehormatan rakyat dapat menjadi amat rendah ketika dihadapkan dengan ilmu hukum  tata negara positif yang cacat moral tersebut.
Sejak adanya dominasi positivisme, dan seiring dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional. Itulah realitas yang dipandang benar. Manakala ilmu hukum tata negara berbicara tentang keadilan, maka keadilan pun harus diukur dengan ukuran-ukuran yang rasional pula. Rasio menjadi di atas segala-galanya. Sejak saat itu, ilmu hukum menjadi ilmu yang distinct dan esoterik, baik dalam substansi, metodologi maupun administrasi (Parker, 1973; Rahardjo, 2000). Dalam hal substansi, ilmu hukum tata negara cenderung membatasi diri pada peraturan yang diproduksi negara (legislated rules). Kecenderungan ini mendorong inflasi peraturan-peraturan, yang katakanlah rasional namun teramat sering terdapat inkosistensi baik vertikal maupun horizontal. Jelas, hal demikian berseberangan dengan moral religius yang berkarakter holistik.
Selanjutnya dalam hal metodologi. Ilmu hukum tata negara positif senantiasa mengacu pada scientific method, bahkan tidak jarang menyebutnya sebagai satu-satu metodologi yang benar. Mengikuti jejak-jejak Comte, studi ilmu hukum dilakukan dengan cara-cara empirik dan kuantitatif. Peningkatan menjadi studi yang bersifat kualitatif baru dilakukan pada tahap-tahap lebih lanjut melalui teorisasi terhadap bahan hukum yang terkumpul. Keseluruhan peraturan berusaha dikumpulkan, kemudian dipilah-pilah, digolong-golongkan ke dalam privat-publik, perdata-pidana, perorangan-kebendaan, dan seterusnya, untuk selanjutnya dianalisis secara rasional. Jadilah kesimpulan-kesimpulan yang rasional, parsial dan reduksionistis. Sudah tentu kesimpulan demikian ada benarnya (untuk sebagian saja), akan tetapi ketika kesimpulan itu dikembalikan ke dalam keutuhan realitas yang terkait dengan persoalan yang dibahas, nyatalah kesimpulan itu tidak memadahi untuk penjelasan dan penyelesaiannya. Dengan mengandalkan scientific method saja, ilmu hukum menjadi ilmu yang kering, kaku, dan tidak mampu menjelaskan realitas yang utuh. Ilmu hukum rasional yang sudah kehilangan moralitas religius itu pantas disebut sebagai “mayat hidup” atau “zoombi” (Rahardjo, 2003) .
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu hukum positif pada abad ke-19 memang pesat dan telah menghasilkan berbagai asas, doktrin dan sebagainya. Ilmu hukum tata negara elah diandalkan sebagai ilmu yang dapat memandu kebutuhan praksis. Profesi-profesi hukum (hakim, jaksa, advokat, notaris) telah turut berkembang dengan dukungan ilmu hukum positif. Itulah perkembangan ilmu hukum tata negara secara umum di negara-negara Eropa kontinental dan negara-negara bekas jajahannya, termasuk Amerika.  
Perlu dicatat, bahwa Inggris merupakan satu-satunya negara di Eropa yang mempunyai tradisi berbeda, yakni dengan kokoh mempertahankan Common Law. Hukum Romawi yang coba dibawa ke Inggris pada abad ke-6, ditolak karena akan mengganggu kontinuitas perjalanan ilmu hukum tata negara yang berbasis tradisi. Penolakan tersebut menjelaskan mengapa Inggris tidak menyukai hukum yang dibuat melalui badan perundang-undangan. Menempatkan tradisi sebagai basis ilmu hukum sudah tentu baik dan tidak salah sepenuhnya, namun pantas dipertanyakan seberapa besar, seberapa luas dan seberapa dalam kandungan moral yang ada dalam tradisi tersebut. Muslehuddin dalam penelitian untuk disertasinya yang berjudul Philososphy of Islamic Law And the Orientalist (1986) menunjukkan bahwa sistem hukum Common Law dan Romawi-Jerman, tergolong sebagai sistem hukum yang berbasis tradisi namun didominasi oleh akal, dan kurang memperhatikan peran qalbu. Di negara-negara penganut sistem hukum ini, seorang hakim memiliki suatu deskresi luas, dan ini sangat berbahaya. Apa yang disebut dengan deskresi itu, adalah “hukum tiran”. Orang (termasuk seorang hakim) yang terlalu mengandalkan akal dan mengesampingkan qalbu, oleh Allah swt dikategorikan sebagai ghafil (orang yang lalai). Mereka itu diibaratkan sebagai binatang ternak, punya qalbu tetapi tidak dipergunakan untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, dan mereka punya telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (al-A’Raaf: 179).
Memasuki abad ke-20, ilmu hukum mengalami perkembangan yang berbeda secara signifikan, yaitu ketika studi ilmu hukum mulai ditarik keluar dari batas-batas ranah perundang-undangan ke ranah sosial. Seiring dengan perkembangan itu, maka teori-teori makro dalam ilmu hukum tata negara seperti: teori sistem, teori dogmatik, teori normatif, teori struktural, mulai digoyahkan kemamapannya oleh teori-teori mikro seperti: teori konstruksionisme sosial, teori fenomenologi, teori relativisme budaya, teori hermeneutik, teori interaksional simbolik, dan sebagainya. Mulai dekade pertama abad ke-20, sekurang-kurangnya terdapat tiga perkembangan pemikiran ilmu hukum yang membahas keefektifan bekerjanya hukum dalam fungsinya sebagai sarana pengontrol dan pengelola tertib kehidupan bermasyarakat (Rahardjo, 2005; Wignjosoebroto, 2000).
Pertama, aliran the Sociological Jurisprudence. Aliran ini dipelopori Roscoe Pound (1911) dari Universitas Harvard. Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi ilmu hukum yang peduli terhadap efek sosial dari pengamalan ilmu hukum di dalam masyarakat. Studi yang demikian itu tidak dapat dipilah-pilah, digolong-golongkan dan direduksi pada suatu objek tertentu saja. Objek kajian sociological jurisprudence adalah keseluruhan realitas yang terhampar dalam masyarakat. Apa yang terhampar dan terbukti dalam masyarakat itulah yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, sejak abad ke-20 itulah moralitas rasional atau moralitas peraturan mulai didesak oleh dan dengan kehadiran moralitas sosial. Aliran dogmatik hukum atau normatif hukum yang berkiblat kepada penguasa, mulai mendapat tantangan dari aliran sosiologi hukum yang berkiblat kepada masyarakat. Kibaran bendera kubu sosiologi hukum tersebut dapat dipandang sebagai isyarat nyata bahwa kebenaran dan keadilan dalam ilmu hukum tidak dapat dan tidak boleh dibatasi pada ranah perundang-undangan saja. Bagi kubu sosiologi hukum, ilmu hukum tata negara yang tidak sesuai, tidak selaras dan tidak sejiwa dengan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya, bukanlah ilmu hukum tata negara. Mengapa demikian, sebab ilmu hukum demikian itu betapapun dilaksanakan secara konsisten, pasti akan memunculkan ketidak-adilan sosial. Ilmu hukum semacam itu tidak boleh eksis, harus direform, karena ia bukanlah ilmu hukum tata negara dalam pengertian sosiologisnya.
Menurut Pound sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat. Pada hakikatnya hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol yang khusus dan harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif. Pound berpendapat bahwa sangatlah penting untuk mencermati seberapa jauh putusan-putusan hukum lembaga yudisial dan/atau administasi berpengaruh positif pada kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Hakim, harus diberi keleluasaan dalam membuat amar putusan untuk penyelesaian kasus yang dihadapinya. Aturan-aturan hukum hendaknya “hanya” digunakan sebagai pemandu dan pengarah dalam membuat amar putusan, lebih-lebih apabila kasus itu berkaitan dengan moralitas sosial, dan bukan sekali-kali ukuran tunggal yang tekstual. Dari argumen seperti itulah lahir pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of social engineering.
 Kedua, aliran the Realistic Jurisprudence atau Legal Realism. Aliran ini merupakan penerus dari aliran the Sociological Jurisprudence yang telah tumbuh berkembang selama tiga dekade di awal abad ke-20. Oleh sebab itu sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipiil di antara kedua aliran tersebut. Eksponen ternama aliran ini adalah Karl Llewellyn dan Jerome Frank. Agenda utama kaum realis adalah penyadaran akan perlunya memperhatikan fakta kemajemukan masyarakat dalam setiap proses pelaksanaan hukum. Menjunjung ide pluralisme, kaum realis mengasumsikan kehidupan masyarakat sebagai suatu realitas kolektif dinamis yang terdiri dari jutaan individu, yang masing-masing memiliki ragam kepentingan. Masing-masing individu terlibat dalam persaingan untuk memperebutkan sumberdaya yang jumlahnya terbatas. Pengamalan ilmu hukum boleh saja berdasarkan rasionalitas formal sebagaimana dilakukan kaum positivis-formalis, akan tetapi tidak boleh mengabaikan kebenaran materiil yang lebih riil. Jadi, rasionalis-substantif harus lebih didahulukan daripada rasionalis-formal. Dengan begitu maka seorang hakim atau administrator tidak boleh mementingkan proses bernalar yang berlangsung melalui silogisme deduktif, melainkan harus memihak kepada kemaslahatan masyarakat. Setiap hakim harus menyadari bahwa tidaklah ada yang namanya hukum dengan aturan-aturan abstrak yang berlaku umum untuk siapa pun dan kapan pun. Menurut aliran ini, hukum adalah aturan-aturan umum yang dalam penerapannya harus dapat disesuaikan dengan tuntutan kasusnya dan keperluan konkret, sekalipun untuk maksud itu prediktibilitas hukum menjadi tak selalu dimungkinkan (Frank, 1949; Wignjosoebroto, 2002).
Ketiga, aliran the Critical Jurisprudence. Kritik-kritik keras terhadap positivisme berlangsung dalam gelombang pasang dan surut. Setelah sekitar 30 tahun terhitung sejak 1920-an kritik-kritik itu mengoncangkan kemapanan positivisme - khususnya di Amerika - kemudian mengalami surut, melemah bahkan hampir-hampir tak terdengar lagi. Namun, sikap kritis dan kerinduan pada kebenaran tampaknya tidak pernah akan hanyut dan lenyap oleh gelombang perubahan keadaan. Sekitar tahun 1970-an, pasca perang Vietnam, terlihat sedemikian banyak kebijakan Pemerintah Amerika ternyata tidak selaras dengan realitas. Bagaikan membangunkan harimau dari tidurnya, hal demikian ternyata membangkitkan kembali sikap kritis para ahli hukum untuk mengkritisi kebijakan yang cenderung kembali ke paradigma positivisme. Gerakan baru ini bergerak lebih keras dan lebih kritis daripada para pendahulunya (the Sociological Jurisprudence maupun the Legal Realism). Gerakan ini dikenal dengan nama The Critical Legal Studies Movement (dikenal dengan  sebutan CLS). Pada awalnya, yaitu sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970-an, gerakan CLS barulah merupakan suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum positivis yang cenderung mengedepankan formalitas hukum tetapi mengesampingkan arti penting substansi hukum. Pada tahap berikutnya, yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970-an, gerakan CLS sudah mulai berprakarsa mengkritik kasus-kasus lewat berbagai analisis, yang hasilnya pada tahap berikutnya telah diintegrasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metode baru dalam studi ilmu hukum.
Bagaimana pandangan dan pemikiran para eksponen CLS terhadap perkembangan ilmu hukum tata negara? Dalam garis besarnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, mereka tidak percaya terhadap paradigma kaum positivis-formalis yang mengidealkan hukum sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, tidaklah dapat diterima begitu saja. Perlu dipertanyakan apakah hukum formal (hukum positif) benar-benar bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang diasumsikan sebagai institusi independen?. Dalam pengamatan maupun pengalaman mereka kenetralan hukum positif hanyalah mitos belaka, dan bukan  realitas, alias masyarakat dihadapkan pada kebohongan publik.
Kedua,  dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa sesungguhnya formalisasi hukum tidak lain merupakan rasionalisasi kepentingan para elite yang berkuasa, dan dengan demikian hukum positif tidak lain pula adalah legitimasi dominasi kaum elite terhadap rakyat. Pelegitimasian itu antara lain dilakukan melalui proses reifikasi dan hegemoni. Dalam proses reifikasi itu rakyat digiring, dibius dan dijebak untuk percaya, taat dan tunduk pada prinsip yang dikenal dengan doktrin “supremasi hukum”. Keberhasilan meyakinkan kebenaran doktrin supremasi hukum pada tataran konsep, teori dan lebih lanjut diikuti dengan praktik-praktik hukum menghasilkan legimitasi kuat bagi para elite dalam mempertahankan dan memaksakan hukum positif kepada siapapun yang dikehendakinya. Sementara itu melalui proses hegemoni, ajaran-ajaran hukum didayagunakan untuk membentuk dan menguatkan posisi rezim kekuasaan yang sesungguhnya otokratis, namun secara yuridis formal kekuasaan itu sah karena telah mendapatkan persetujuan badan-badan pemerintahan atau negara yang mengatas-namakan dirinya sebagai perwakilan rakyat.
Ketiga, dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya tidak pernah ada. Hukum adalah produk politik. Dalam setiap pembuatan, penyelenggaraan maupun penegakan hukum, bukan murni untuk mengejar dan menegakkan keadilan melainkan tersembunyi agenda-agenda politik dari para aktor atau partai politik yang dominan berkuasa. Para yuris, lawyers dan mereka yang dipandang ahli hukum, telah dibayar mahal dengan uang ataupun diberikan kontribusi jabatan politis oleh para politisi asalkan mereka mau bekerja keras dan berhasil mengakomodasikan kepentingan-kepentingan politisnya sehingga resmi masuk sebagai bagian dari hukum positif. Kerja para “tukang-tukang hukum” tersebut tidak berbeda dengan robot-robot yang mau bergerak ke mana saja sesuai dengan perintah para aktor politik yang berada di belakangnya. Moralitas tukang-tukang hukum tersebut teramat rendah yaitu sebatas moralitas finansial. Mereka bekerja, menjalankan hukum melalui lembaga-lembaga hukum, bukan untuk menegakkan keadilan melainkan hanya mengejar kebutuhan materiil-duniawi serta-merta dengan tega mengobjekkan dan mengorbankan rakyat ke dalam skenario hukum positif.
Dengan pemikiran-pemikiran kritis di atas, CLS bertekad terus melakukan perlawanan terhadap para positivis-formalis. Pertanyaan kita adalah apa agenda CLS ke depan dalam membangun ilmu hukum? Mengutip pernyataan eksponen termuka CLS bernama Roberto M.Unger (1987) bahwa arah kerja CLS bukanlah untuk memporakporandakan sistem hukum nasional melainkan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap praktik-praktik hukum yang cenderung mementingkan rasionalitas formal, dengan cara “memangkasi “cabang-cabang praktik” yang kurang menguntungkan (Wignjosoebroto, 2002). Dekonstruksi itu berlangsung melalui dua metode, yaitu: (1) ”pembalikan hierarki” norma hukum dan  (2) “penafsiran ulang” maksud yang terkandung dalam norma hukum.
Mengapa harus ada pembalikan hierarki norma hukum? Sebab para eksponen CLS yakin bahwa setiap norma hukum selalu mengoposisikan dua nilai kepentingan yang berbeda atau berlawanan, di mana istilah yang disebut dahulu selalu dipandang lebih utama daripada istilah kedua. Sebagai contoh, ketika dalam hukum perkawinan disebut laki-laki dan perempuan, maka hak-hak suami akan lebih besar daripada hak isteri. Norma hukum perkawinan seperti itu harus didekonstruksi melalui pembalikan hierarki dengan mendahulukan perempuan daripada laki-laki. Dalam proses dekonstruksi itu hak dan kepentingan para pihak dikonstruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen, tidak lagi ada dominasi satu entitas terhadap entitas lain. Femininisme Jurispridence kiranya dapat digolongkan sebagai aliran terkemuka dalam penggunaan metode pembalikan hierarki norma hukum itu.
Penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum menurut CLS perlu dilakukan mengingat bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim begitu selesai dirumuskan sebenarnya terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Menurut eksponen CLS, makna setiap teks pada hakikatnya nisbi sebab makna tersebut selalu terkait secara kontekstual dengan perubahan zaman dan lingkungannya. Oleh karena itu kita akan dapatkan setiap generasi berusaha mengakutalisasikan makna setiap teks, dan pemaknaan mereka itu tak mungkin terhalangi oleh perumus aslinya. Prinsipnya, penafsiran ulang norma hukum harus didasarkan pada the free play of the text.
Menurut Unger (1987) bahwa tatanan kehidupan ke depan yang ingin diwujudkan dengan dekonstruksi dan rekonstruksi praktik-praktik hukum adalah empowered democracy dan berkembangnya trasformative politics. Bertolak dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak mudah responsif pada tuntutan publik, maka struktur demikian perlu didekonstruksi menjadi struktur yang demokratis, responsif dan akuntabel. Untuk mencapai tujuan itu maka gerakan yang dikembangkan lebih lanjut adalah apa yang dinamakannya aktivitas transformatif, yaitu aktivitas terencana yang dilakukan atas dasar “perlindungan hak-hak individu dan kebebasan melakukan destabilisasi terhadap struktur atau sistem hukum yang tidak demokratis”.
             Demikianlah gambaran umum perkembangan ilmu hukum pada tataran global. Dari deskripsi di atas, nyatalah bahwa dilihat dari aspek historis, moralitas ilmu hukum dari waktu ke waktu mengalami pereduksian secara tajam. Pada tahap-tahap awal peradaban manusia, moralitas ilmu hukum masih berdiri kokoh di atas fondasi agama. Penilaian moral mengenai baik/buruk, benar/salah, halal/haram secara konsisten dikembalikan pada aturan-aturan yang bersifat Illahiah. Namun, pada perkembangan selanjutnya moralitas religius itu telah tereduksi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Penilaian moral diatur oleh konvensi atau kode-kode yang dibuat berdasarkan akal manusia sendiri, dan semuanya tidak dapat dilepaskan dari kaitan-kaitan politiknya. Penilaian moral menjadi tidak berbeda dengan politisasi moral. Perkembangan semakin memprihatinkan ketika penilaian  moral sangat dipengaruhi oleh wacana ekonomi politik. Penilaian moral mengenai baik/buruk, benar/salah, moral/amoral sangat dilandasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi (khususnya kapitalisme). Dengan perkataan lain, nilai-nilai moral itu kini menjadi bagian integral dari nilai-nilai komoditi saja.
Hegemoni aliran positivistime-sekular seakan telah menjadi panggilan sejarah sekaligus bagian dari proses perkembangan ilmu hukum di sebagian besar belahan dunia ini. Hukum modern sebagai bentuk matang dari positivisme, menjadi kehilangan ciri kemanusiaannya yang utuh, ketika akal (ratio) diperankan melampaui batas-batas yang proporsional dengan mengabaikan wilayah-wilayah yang paling substansial, yaitu qalbu. Sebagaimana dinyatakan oleh Nasr (1976) hukum modern hanya mampu mengantarkan manusia untuk menemukan setengahnya saja dari dunia dan tidak bisa membantu manusia untuk menemukan The Great Chain Being. Memang, penggunaan paradigma Cartesian-Newtonian yang bersifat atomistik, mekanistik dan serba rasional dalam ilmu hukum, telah terbukti bahwa manusia mampu mengembangkan ilmu hukum tata negara yang spektakuler selama abad ke 20, namun kemajuan itu ternyata tidak berkorelasi positif terhadap perkembangan moral dan kesejahteraan manusia. Inilah situasi kontradiktif yang disebut Capra (1996) sebagai “penyakit-penyakit peradaban”, ataupun apa yang disebut oleh Toynbee (1976), sebagai “kemunduran”.
            Keterpurukan ilmu hukum tata negara tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Kehidupan ini tidak boleh dibiarkan menapak ke jurang kehancuran, lantaran ketidakberdayaan ilmu hukum menjadi tiang-tiang penyangganya. Membiarkan pereduksian moralitas religius dari ilmu hukum tata negara sama artinya bertindak amoral. Kita tidak boleh diam. Kita harus berbuat sesuatu untuk menumbuhkan kesadaran dan gerakan akan arti pentingnya mengembalikan moralitas religius sebagai bagian integral dari ilmu hukum tata negara. Sistem hukum yang perlu dibangun, bukanlah sekedar sistem hukum yang kuat dan rasional dalam lingkup sebuah negara ataupun organisasi, melainkan sistem hukum dalam skala makro yaitu sistem hukum yang berdiri tegak di atas fondasi moralitas religius. Inilah tantangan yang harus kita hadapi dan kita cari penyelesaiannya melalui dunia pendidikan hukum.
            Marilah kita beralih untuk melihat ilmu hukum tata negara yang dipelajari dan diajarkan dunia pendidikan hukum di Indonesia. Sampai saat ini pendidikan hukum masih diyakini sebagai tempat persemaian ilmu hukum tata negara yang paling baik. Dari tempat inilah ilmu hukum tata negara dipelajari, diajarkan dan berlanjut untuk dipraktikan. Oleh sebab itu dunia pendidikan hukum mempunyai tanggungjawab moral sangat tinggi terhadap segala aktivitas keilmuan, produk yang dihasilkan, maupun penegakan hukum pada umumnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kata “ilmu”, berasal bahasa Arab ‘ilm yang artinya pengetahuan. Al-Ilm itu sendiri dikenal sebagai nama Allah swt, artinya “Yang Maha Tahu”. Dalam pelbagai turunannya, kata ‘ilm sering digunakan dalam arti “pengetahuan” (knowledge), termasuk makna sains-sains alam dan kemanusiaan (sciences of nature and humanities) maupun pengetahuan yang diwahyukan (revealed) dan diperoleh (acquired). Sementara itu kita pun sepakat bahwa initisari dari “hukum” adalah keadilan. Al-Adl merupakan salah satu nama dan sifat utama Allah swt, artinya “Yang Maha Adil”. Dengan demikian ketika dua kata, yaitu: ilmu dan hukum dipersatukan menjadi ilmu hukum tata negara, maka telah cukup diperoleh wawasan dan keyakinan bahwa sumber, induk ataupun muara dari ilmu hukum tata negara adalah Allah swt. Kalau “kebenaran” adalah moral ilmu, sementara “keadilan” adalah intisari hukum, maka semakin jelas pula bahwa ilmu hukum sebagai genuine science (Rahardjo, 2000) atau sebagai ilmu sakral (Goldshani, 2003) bersumber pada Allah swt. Makna dari penjelasan etimologis ini, bahwa segenap kegiatan berolah ilmu hukum tata negara, baik pada tataran teoretis maupun praktis, semestinya dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada kebenaran dan keadilan absolut, berporos pada Allah swt, dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah swt, dan akhirnya menuju pada keridhaan Allah swt.
Persoalannya, benarkah dunia pendidikan hukum kita telah mengajarkan ilmu hukum s tata negara ebagai genuine science, ilmu sakral ataukah masih berkutat pada positivistik-sekular?
Pada hemat saya, kesempatan untuk merumuskan model pendidikan hukum yang ideal sebenarnya telah terbuka lebar sejak bangsa ini berada pada era kemerdekaan. Namun, sayang kesempatan emas itu belum pernah digunakan secara sungguh-sungguh, sehingga sampai saat ini pun kita belum mempunyai konsep pendidikan hukum yang ideal itu. Kalaupun dalam perjalanan sejarah pernah ada upaya-upaya untuk mengkritisi pendidikan hukum maupun sistem hukum yang ada, hal yang demikian itu terkesan lebih dilatarbelakangi kepentingan politik daripada kepentingan keilmuan.  Alhasil, setiap kali ganti rezim kekuasaan, maka upaya itupun terhenti, gagal dan tidak berkelanjutan.
Kita pantas menaruh hormat kepada para tokoh-tokoh nasional yang telah peduli, mendorong pendidikan hukum dan perkembangan ilmu hukum tata negara ke arah yang terbaik bagi bangsa ini. Kita mencatat, Presiden Soekarno adalah seorang yuris revolusioner. Dengan terbuka beliau mengkritik para yuris Indonesia yang konservatif berkutat secara legalistik pada hukum-hukum formal yang amat kolonial, sehingga menghambat berputarnya roda revolusi. Kita juga mencatat perjuangan Menteri Kehakiman Sahardjo dan Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang telah dengan gigih ingin membebaskan sistem hukum Indonesia dari sembarang bentuk imperativa hukum kolonial. Bagi keduanya, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 haruslah diberi makna baru yang sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia yang telah merdeka, sehingga tidak berlakunya hukum kolonial di era kemerdekaan tidak perlu dengan pencabutan secara khusus lewat perundang-undangan. Kedua petinggi hukum itupun tak segan membuat surat edaran kepada Pengadilan-pengadilan Negeri agar para hakim bersikap kritis, tidak terikat dan tidak terbenani untuk mengikuti hukum warisan kolonial. Kita pun tak dapat melupakan jasa Mochtar Kusumaatmadja yang telah mencoba mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai a tool of social engineering dari Roscoe Pound ke dalam pembangunan Indonesia, seraya tetap menjaga eksistensi ranah-ranah hukum yang berbasis budaya dan spiritual. Beliau pula yang memperkenalkan “clinical legal education” sebagai metode pendidikan hukum yang melibatkan mahasiswa secara aktif dalam penyelesaian kasus-kasus hukum. Pada tahun 1995-an, Satjipto Rahardjo melalui Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP mulai merubah orientasi pendidikan hukum dari pendidikan hukum yang secara konvensional menekankan pada ketrampilan menjadi pendidikan keilmuan yang berorientasi pada pencarian kebenaran dan upaya menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science). Beliau pula yang telah mencoba mengintrodusir konsep “hukum progresif”, yaitu suatu konsep hukum yang membekali para mahasiswa, penegak hukum maupun anggota masyarakat dengan keberanian untuk mencari alternatif dalam mencapai tujuan hukum yaitu kebahagiaan bagi manusia dan kemanusiaan. Perjuangan para tokoh-tokoh hukum di atas perlu terus dilanjutkan, dikembangkan dan disistematisir menjadi sebuah gerakan pemikiran ilmu hukum  tata negara yang efektif melalui pendalaman terhadap paradigma pendidikan hukum yang ideal.
Pada hemat saya, dunia pendidikan hukum di Indonesia pada umumnya hingga saat ini masih dihadapkan pada kesimpang-siuran paradigma. Pada satu sisi ada dominasi paradigma pendidikan hukum Eropa Kontinental yang cenderung berorientasi kepada penguasaan perundang-undangan serta doktrin-doktrin daripada pengembangan ketrampilan analitis; sementara itu pada sisi lain seiring dengan fenomena globalisasi yang sarat dengan nuansa kapitalisme, paradigma Cravathism  Amerika yang berbasis komersial dan beorientasi pada kebutuhan pasar mulai menyeruak masuk ke dunia pendidikan hukum. Hal ini ditandai dengan munculnya budaya hukum mendirikan law firm dan memposisikan law firm yang besar (mega-lawyering) sebagai mesin penggerak hukum yang bekerja di luar otoritas akademis (Rahardjo, 2005).
Dalam kesimpang-siuran paradigma tersebut, dengan berat hati saya menyatakan bahwa pendidikan hukum kita terjebak pada “tradisi jahiliah modern” (Sudjito, 2005). Apa itu? Suatu tradisi pendidikan hukum warisan kolonial, yang berjiwa liberal-individual dan dikembangkan berdasarkan kredo rule and logic. Hukum diajarkan agar rakyat tahu, taat dan patuh kepada hukum negara, serta para aparat negara trampil melaksanakan maupun menegakan hukum negara. Dalam tradisi demikian, maka wajar apabila sebagian besar dosen menjadi sibuk mencari peraturan terbaru, kemudian berusaha untuk memahami, dan selanjutnya mengajarkan kepada para mahasiswa. Belajar hukum menjadi identik dengan belajar tentang perundang-undangan. Memang, di situ masih ada matakuliah filsafat hukum, teori hukum, politik hukum bahkan agama, namun porsinya sedemikian kecil dan seakan menjadi asesoris saja untuk mempelajari hukum positif. Hal yang lebih memprihatinkan lagi dengan tradisi jahiliah modern itu adalah kecenderungan anak didik (mahasiswa) terbawa untuk berorientassi menjadi “tukang-tukang hukum” yang ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan materiil. Sebagai seorang dosen, hati nurani kami sangat risau ketika mendapatkan kenyataan bahwa pendidikan hukum dan pelayanan keadilan yang diberikan para sivitas akademika kepada masyarakat telah bergeser menjadi bisnis komersial terorganisir. Kemanfaatan ilmu hukum tata negara dimaknai sangat sempit yaitu sejauh bermanfaat sebagai alat untuk menggapai kehidupan duniawi semata, serta merta mereka lupa akan pentingnya menjaga integritas moral, seperti kejujuran, keadilan, kepatutan, kemanusiaan, dan sebagainya. Inilah fenomena umum yang kita temukan dalam pendidikan hukum.
Menempatkan rasio di atas segalanya (ratio above else) dalam pendidikan hukum sudah tentu tidak salah sepenuhnya. Akan tetapi harus disadari akal manusia itu terbatas. Dalam keterbatasannya, akan banyak fenomena kehidupan yang bersifat teologis maupun metafisis, tak mampu dijelaskan oleh akal. Fenomena teologis maupun metafisis itu tidak boleh diabaikan oleh ilmu hukum tata negara. Ilmu hukum tata negara akan bermartabat, berwibawa dan dihormati apabila mampu menjelaskan keseluruhan fenomena kehidupan ini dengan baik. Apapun yang ada dan terjadi serta berhubungan dengan kehidupan, seharusnya ilmu hukum tata negara mampu memberikan penjelasan dan penyelesaiannya. Kita mesti ingat akan kata-kata mutiara bahwa “barangsiapa ingin hidup bahagia di dunia, maka kata kuncinya adalah ilmu, barang siapa yang ingin hidup bahagia di akhirat, maka kata kuncinya pun ilmu, dan barangsiapa yang ingin hidup bahagia di dunia dan di akhirat, dia pun harus menguasai ilmu”. Di sinilah, ilmu hukum tata negara dituntut untuk meluaskan jangkauan kajiannya, bukan sekedar membatasi diri pada hal-hal yang rasional-duniawi sebagaimana menjadi konsentrasi hukum positif, melainkan mencakup keseluruhan ilmu hukum tata negara yang ada dalam kehidupan ini. Dalam konteks demikian itulah kita baru dapat menyatakan ilmu hukum tata negara sebagai ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang bila diamalkan pahalanya akan terus mengalir kepada pemiliknya betapapun pemilik ilmu hukum tata negara itu telah meninggal dunia.
Untuk mewujudkan ilmu hukum tata negara sebagai ilmu yang bermanfaat, maka kata kuncinya adalah paradigma holistik (Sudjito, 2005). Dengan paradigma ini, pendidikan hukum diselenggarakan melalui keutuhan pemahaman, penggarapan dan penyelenggaraan hukum dalam suatu proses pencapaian keadilan dan kebahagiaan manusia, bukan saja ketika hidup di dunia melainkan sampai kehidupan di hari akhir nanti. Dalam proses itu harus ada dialog dan penghargaan terhadap semua entitas. Kebenaran hukum harus merupakan hasil konstruksi bersama, bukan konstruksi negara apalagi konstruksi seorang dosen. Konstruksi hukum tidak boleh berlangsung hanya pada tataran rasionalitas, melainkan harus didasarkan, diawali dan dikendalikan oleh hati nurani. Arah perkembangan, sasaran, tujuan dan kiblat pendidikan hukum tidak boleh dibatasi pada pencapaian kepentingan individu, kelompok, partai, atau golongan akan tetapi mencakup keseluruhan dan kesatuan kepentingan manusia dalam posisinya sebagai individu, makhluk sosial sekaligus sebagai kalifatullah
Berdasarkan paradigma holistik tersebut maka ke depan pendidikan hukum akan menghasilkan ilmu hukum tata negara yang berkarakteristik sebagai berikut: Pertama, menempatkan Tuhan sebagai Sang pencipta, pemelihara dan bagian dari tatanan alamiah, sehingga ilmu hukum tata negara dalam tatanan kehidupan manusia senantiasa berporos, berproses dan bermuara pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, senantiasa mencari kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan. Kalaupun dalam pencarian itu harus dilakukan melalui spesialisasi yang berlanjut pada fragmentasi, tetapi tidak sekali-kali menceraikannya dari Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa ilmu hukum tata negara merengkuh pandangan yang menyeluruh dan utuh tentang alam semesta. Ketiga, ilmu hukum tata negara tidak akan pernah mengurung diri dalam wilayah indrawi dan realitas fisik saja, melainkan juga mengakomodasi realitas-realitas adi-indrawi, realitas-realitas spiritual yang diperoleh melalui wahyu dan intuisi. Keempat, ilmu hukum tata negara tidak akan pernah sekali-kali mengabaikan ataupun mengosongkan alam dari segala tujuan dan muatan spiritual sehingga ia tidak meninggalkan makna bagi hidup dan segenap penciptaan, melainkan berpandangan luas bahwa alam memiliki makna yang merentang melampaui kehidupan manusia dan bersambung pada "tujuan eksistensi", yaitu Sang Pencipta. Kelima, ilmu hukum tata negara tidak akan pernah mengembangkan kenetralan pada moral dan moralitas, melainkan terintegrasi dengan serangkaian moral religius. Keenam, ilmu hukum tata negara tidak akan mengajarkan pengamalan ilmu untuk memanipulasi alam, kehidupan dan masyarakat, melainkan mengajarkan kebijaksanaan atas dasar kepekaan hati nurani dan ketajaman akal dalam memecahkan masalah-masalah individual dan kemasyarakatan dalam bingkai keridhaan Illahi. Di sini, ilmu hukum dipersepsikan sebagai amanat Tuhan yang harus dipergunakan secara bijaksana.
Beradasarkan paradigma holistik, ilmu hukum tata negara ke depan akan mampu memberikan pencerahan rohani dan pengkayaan materi karena berakar pada wahyu, berpegang pada pandangan kesatuan alam, mengakui struktur hierarkis realitas, dan perhatiannya luas pada perikemanusiaan. Inilah jenis ilmu hukum tata negara yang kita dambakan. Tanpa itu kiranya sulit manusia mendapatkan kebenaran, keadilan dan kebahagiaan sejati, kecuali hanya kebahagiaan semu belaka. Dengan ilmu hukum yang demikian itulah manusia dapat hidup serasi dengan dirinya, dengan alam dan dengan Tuhannya.

Daftar Pustaka
Arkoun, Mohammed., Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terjemahan Hashim Salih Beirut: Markaz al-Ima’ al-Qaumi, 1986
Al-Ghazali, Imam., Ihya’Ulumiddin, CV Asy Syifa, Semarang, 1993
Capra, Fritjof., The Web of Life, Harper Collins, London, 1996
Departemen Agama RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2001
Frank, Jerome., Courts on Trial: Myth and Reality in America Justice, Pricenton Univ. Press, 1949
Golshani, Mehdi., Sains Dan Yang Sakral: Sains Sakral vs Sains Sekular (terjemahan Mulyadhi Kartanegara), International Conference on Religion and Science in the Post-colonial World, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2-5 Januari 2003
Hanafi, Hassan., From Faith to Revolution, Spanyol, Cordova Press, 1985
Muslehuddin, Muhammad., Philosophy of Islamic Law and the Orientalist A Comparative Study of Islamic Legal System (terjemahan Yudian Wahyudi Asmin Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991
Nasr, Seyyed Hossein., Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, George Allen &Unwin Ltd, London 1976
Parker, Herbert L., and Thomas Ehrlich, New Directions in Legal Education, New York: McGraw-Hill, 1973
Pound, Roscoe., An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven:Yale University Press, 1953
Rahardjo, Satjipto., Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato Emeritus, Semarang, 2000
- - - - - - , Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan (catatan-catatan Kuliah Ilmu Hukum dan teori Hukum), Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2003
- - - - , Membicarakan Pembangunan Pendidikan Hukum, Magister Hukum Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2005
Schumacher, E.F., A Guide for the Perplesed, Jonathan Cape Ltd, London, 1977
Sudjito, Paradigma Holistik, Sebuah Upaya Mewujudkan Ilmu Hukum Sebagai Genuine Science, Mimbar Hukum Edisi No.50, 2005
- - - - - - - , Dekonstruksi Pendidikan Hukum, Bulletin Mahkamah, edisi No.III, 2005
Toynbee, Arnold., Choose Life: A Dialogue, Oxford Univ.Press, London, 1976
Unger, M.Roberto., The Critical Studies Movement, Cambridge, Mass, Harvard Univ. Press, 1987
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta, 2002

»»  Baca Selengkapnya...