Minggu, 12 Januari 2014

MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM



     MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM  DAN  KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM

          Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.Definisi Filsafat

         Salah satu kesulitan ketika kita  memberikan pengertian dalam  khazanah intelektual adalah memberikan pengertian filsafat, disebabkan berbagai  arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda diantara para pakar dalam memberikan identifikasi . Hal ini merupakan sebuah kewajaran, sebab kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing  subyek (para pemikir) memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. Paradigma tersebut akan menjadi acuan bagi pemikir untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.
          Ditilik dari arti bahasa, maka kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia.   Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”.  Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan.
          Paparan lain ada juga yang  mengurainya dengan kata philare  atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
         Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis , mendeteksi  problem secara radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses kerja ilmiah.
 Filsafat merupakan induk semua cabang ilmu . Dalam (ilmu) filsafat dijelaskan asumsi- asumsi dasar bagi eksistensi setiap cabang ilmu, yaitu ontology, epistimologi , dan aksiologi ilmu.
Filsafat itu sendiri berasal dari kata Yunani “Filosofie” (Lili Rasjidi,1985:5)”Filosofi” terdiri dari dua kata , yaitu  . “filo”yang artinya cinta atau ingin dan “sofie”yang artinya kebijaksanaan. Dengan demikian “Filosofie”dapat diartikan cinta atau menginginkan suatu kebijaksanaan hidup . Sedangkan arti filsafat ialah kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran – pikiran rasional , kisah –kisah walaupun bijaksana  kalau tidak rasional , maka bukan filsafat.[1]
Jadi dapat dikatakan pula bahwa filsafat berarti karya manusia tentang hakekat sesuatu . Karya artinya menggunakan rasio / pikiran dan dilakukan secara metodis –sistematis . Karya manusia tentang hakekat sesuatu ialah hasil pikiran manusia tentang hakekat sesuatu . Sesuatu itu ialah alam semesta dan atau segala isinya (termasuk manusia). Hkekat sesuatu ialah tempat sesuatu dialam semesta atau hubungan antara sesuatu dengan isinya alam semesta (yang lain), termasuk tempat manusia dan segala perilakunya. Ini berarti obyek filsafat itu sangat luas , bersifat universal , yang mencakup segala gejala – gejala atau fenomena yang ditemui manusia dimuka bumi ini.
Salah satu gejala tersebut ialah gejala hukum (hidup dan penghidupan hukum). Hukum tersebut merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia . Oleh karena itu , bila orang berfilsafat tentang hukum maka harus berfilsafat tentang manusia terlebih dahulu . Salah satu aspek dari manusia yang berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya . Melalui filsafat perilaku atau etika inilah , orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian filsafat manusia ialah pohonnya , salah satu cabangnya ialah filsafat etika ,dan salah satu cabang dari filsafat etika ialah filsafat hukum , yang sekaligus sebagai ranting pohon filsafat manusia.[2]
Filsafat manusia sering juga disebut “genus” filsafat , filsafat  etika merupakan “species-nya” , dan filsafat hukum sebagai “sub-species-nya”. Filsafat hukum mempelajari sebagian perilaku manusia yang akibatnya diatur oleh hukum. Dengan demikian hukum merupakan salah satu obyek filsafat , yaitu filsafat hukum , yang filsafat hukum itu sendiri merupakan ranting atau “sub-species “ filsafat manusia , atau cabang filsafat etika.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering menggunakan kalimat padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah. Hikmah  digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam berbagai literature kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan disebut Hukama’. Seringkali pula  ketika dikaji dalam berbagai literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-ungkapan dalam sebuah tema  dengan konsep yang dalam bahasa arabnya misalnya kalimat ‘wa qala min ba’di al hukama….”
          Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy yang juga berarti filsafat yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata philos dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan sophos artinya bijaksana atau arif (wise).  Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis yang bertumpu pangkal pada konsep-konsep aktivitas –aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah dalam kajian ilmu.
           Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam hakekatnya memang merupakan problem falsafi  yang kaya dengan banyak  konsep dan pengertian.

B.Filsafat sebagai  Keilmuan
         Apakah filsafat sebagai ilmu, sebenarnya filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai.  Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan.
         Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya  sendiri-sendiri.
         Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang. 
          Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah mengantarkan dalam berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern sekarang ini telah melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan berbagai variasinya. Proses perkembangan dari berbagai fase kehidupan primitip–klasik dan  kuno menuju manusia modern telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada masing-masing zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented pada satu arah menuju pola pikir ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris dalam berbagai segmentasi kehidupan. 
            Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), Heraklitos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses  demitologisasi menuju gerakan logosentrisme. Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus besar gerakan rasionalisme , empirisme  dan positivisme  yang dipelopori oleh para pakar dan pemikir  kontemporer yang akhirnya mengantarkan kehidupan  manusia pada tataran era modernitas yang berbasis pada pengetahuan ilmiah.
         Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”.     

C.Dari Mitos ke Logos
        Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat.
        Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal  3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi:
  • Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini)
  • Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini)
  • Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
        Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana  yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian. 
         Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai  mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610  -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah). 
        Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. 
        Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). 
       Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih  bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
       Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. 
       Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
         Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide”  tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. 
         Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.  Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
    
C.Memahami Filsafat Hukum
Pembahasan filsafat hukum tidak bisa lepas (berkaitan erat)dari hidup dan penghidupan hukum. Hidup dan penghidupan hukum mengandung aspek teoritis (teoritik)dan aspek praktis (praktek). Hal ini disebabkan karena hukum ini bersifat mendua , yaitu hidup di dunia normatif dan empiric. Hukumhidup tumbuh dan berkembang dimasyarakat , dengan kata lain “Hukum ada , tumbuh dan berkembang jika ada masyarakat “.dengan demikian hidup dan penghidupan hukum sebagai salah satu gejala masyarakat /fenomena masyarakat tidak dapat hidup, tumbuh dan berkembang sendiri jika tidak ada masyarakat . Sebagai konsekuensinya , para anggota masyarakat harus/ wajib tunduk dan taat (mematuhi)pada hukum yang telah disepakatinya dalam masyarakat itu,hal ini kemudian dikuatkan dengan adnya sanksi .  Bahkan dalam masyarakat muncul keyakinan bahwa setiapa anggota masyarakat (orang)harus mematuhi hukum , baik yang tertulis maupun tidak tertulis .
Fenomena hidup dan penghidupan hukum tersebut., menimbulkan beraneka ragam pertanyaan antara lain :
1.            Apakah Keadilan, Kepastian Hukum dan Mengapa anggota masyarakat harus harus /wajib menaati hukum?
2.            Apa dasar dan arti keharusan / kewajiban itu?
3.            Mengapa sebagian anggota masyarakat berwenang memaksakan kepatuhan itu(kalau perlu dengan kekuasaan)?
4.            Bagaimana proses pembentukan hukum ?
5.            Siapa yang berwenang membuat hukum dan mengapa ia berwenang untuk itu?
6.            Sejauh mana wewenang itu dapat digunakan ?
7.            Apa arti wewenang itu?
8.            Apa artinya bahwa Hukum itu sudah berlaku ?Apa dasar berlakunya hukum ?
9.            Apa hubungan hukum dan kekuatan ?
10.         Apakah semua hukum harus dipatuhi ? Apakah tata hukum identik dengan hukum?
11.         Apa kriterianya bahwa suatu aturan itu disebut hukum?
12.         Apakah hukum harus berpijak pada aturan non hukum ?
13.         Sejauh mana kaidah non hukum perlu mendapat dukungan kaedah hukum ?
14.         Sejauh mana kaedah hukum dapat mengesampingkan kaedah non hukum ?
15.         Dapatkah semua kaedah non hukum diterapkan dan ditegakkan sebagai kaedah hukum?
Pertanyaan – pertanyaan yang beraneka ragam dan bersifat fundamental tersebut tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum (positif), tetapi memerlukan  refleksi filsafat . Hal ini disebabkan bahwa pertanyaan – pertanyaan tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap kehidupan manusia . Misalnya:Apakah hukuman mati masih perlu dipertahankan ? Apakah “Euthanasia” , bunuh diri , judi, pelacuran , perlu dilarang dengan hukuman pidana ? Sejauhmana transplantasi organ tubuh manusia dan perubahan kelamin perlu diatur dengan kaedah hukuman ?[3]
Disamping itu saat ini sedang marak masalah hak asasi, keterbukaan , kebebasan demokrasi, keadilan dan sebagainya .Pertanyaan –pertanyaan yang tidak mudah dijawab tersebut dimuka selalu dihadapkan pada filsafat hukum. Seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi secara sangat cepat dan dinamis oleh masyarakat manusia , maka hidup dan penghidupan hukum mau tidak mau harus mengikuti arus tersebut. Dalam hal ini,apakah filsafat hukum yang bersumber dari perenungan manusia masih berguna atau relevan pada saat maraknya masalah – masalah kongret yang memerlukan penyelesaian teknis dan prakmatis saat ini ?untuk menjawab pertanyaan  ini bukanlah hal yang mudah., oleh karena itu perlu dipahami tentang pengertian filsafat dan filsafat hukum, ruang lingkup filsafat hukum,dan manfaat filsafat hukum .

D.Pengertian Filsafat Hukum
Pengertian filsafat hukum itu sendiri teryata banyak sekali dan bervariasi , yang antara lain disampaikan oleh para pakar ilmu hukum ,separti berikut ini:
1. APELDOORN
Menurut Apeldoorn , filsafat hukum ialah pengetahuan yang berusaha menjawab apakah hukum itu ?ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak, menanggapi dan bertanya-tanya tentang “hukum”[4]. Dalam edisi baru yang ditulis DHM Meuwissen , hal tersebut telah direvisi secara total. Misalnya , dikatakan bahwa filsafat hukum memang berusaha mencari hakekat hukum, walau sebenarnya hanya melihat hukum sebagai bagian dari kenyataan . Apa hal itu tak bisa dijawab oleh ilmu hukum ?Dapat tapi tak akan mendapat jawaban yang menangkan sebab ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka dan melihat “hukum” yang dapat dilihat dengan panca indera, tidak melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat dengan panca indera (tersembunyi), hanya melihat hukum sepanjang telah menjadi perbuatan manusia . Dimana  ilmu hukum berakhir , disanalah filsafat hukum memulai . Ia menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab oleh ilmu hukum.
2. WILLIAM ZEVENBERGEN
Menurut William Zevenbergen, Filsafat hukum ialah cabang ilmu hukum yang menyelidiki ukuran –ukuran apa yang dapat dipergunakan untuk menilai isi hukum agar dapat memenuhi hukum yang baik. Ia juga mengatakan, filsafat hukum ialah filsafat yang diterapkan dalam hukum.[5]
3. J. H. BELLEFROID
Menurut J.H.P. Bellefroid, filsafat hukum ialah filsafat dalam bidang hukum , bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu hukum.[6]
4. JAN GIJSSEL dan MARK VAN HOECKE
Dalam bukunya yang ditulis bersama Mark van Hoecke , yang berjudul “Wat is Rechtstheorie”. Antwerpen ini membagi ilmu hukum kedalam tiga jenjang ilmu hukum (DRIE TRAPPEN VAN RECHTSWETENSCHAP), yaitu :
a. Rechtskennis(Pengetahuan Hukum );
b. Rechtswetenschap(Ilmu Hukum);
c.  Rechtsfilosofie(Filsafat Hukum).
Filsafat Hukum merupakan peringkat teratas dalam ilmu hukum , yang cakupannya sangat luas , meliputi:
1) De Rechsontologie (Ontologi Hukum ), yang mempersoalkan ajaran atau sifat dan hakekat hukum.
2) De Rechtsaxiologie (Aksiologi Hukum ), yang mempersoalkan nilai –nilai dasar dalam hukum .
3) De Rechsidiologie (Ideologi Hukum ), yang mempersoalkan ajaran berbagai ide yang dikenal dan mendasari hukum .
4) De Rechtsepistimologie(Epistimologi Hukum) yang mempersoalkan / membicarakan sifat pengetahuan dalam hukum, untuk mengetahui kenyataan hukum.
5) De Rechtsteleologie (Teleologi Hukum ), yang mempersoalkan tentang maksud dan tujuan hukum .
6) De Wetenschapsleer van hetrecht (meta teori ilmu Hukum ), membahas macam –macam ilmu dalam filsafat hukum. Ini disebut pula Filsafat Ilmu Hukum.
7) De Rechtslogika(Logika Hukum ), mempelajari dasar – dasar pemikiran hukum dan argumentasi yuridis dalam bagan yang logis . mempelajari pula struktur dari suatu system hukum.[7]
5. GUSTAV  RADBRUCH
    Menurut Gustav Radbruch , Filsafat Hukum ialah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.[8]
6. LANGEMEYER
Menurut Langemeyer , Filsafat Hukum ialah ilmu yang membahas secara filosofis tentang hukum.[9]
7. L. BENDER. O.P
Filsafat Hukum ialah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat yaitu tentang filsafat moral /etika[10]
8. E. UTRECHT
Menurut E. Utrecht , filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya ?(Persoalan adanya tujuan hukum ). Apakah sebabnya kita mentaati hukum ?(persoalan berlakunya hukum ). Apakh keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu ?(persoalan keadilan hukum). Inilah pertanyaan –pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum . Tetapi bagi benyak orang jawaban ilmu hukum tidak memuaskan .
Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja . Sedangkan Filsafat Hukum hendak melihat hukum sebagai kaedah dalam arti “etisch waarde oordeel” (penilaian etis). Filsafat hukum berusaha membuat dunia “etis”yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera dari hukum positif(de onzichtbare ethische wereld achter het(pasitieve)recht). Kadang- kadang juga membuat gambaran tentang hukum yang etis dapat dipertanggungjawabkan dan yang seharusnya berlaku . Filsafat Hukum menjadi suatu ilmu normative seperti halnya dengan (ilmu)politik hukum .Filsafat Hukum berusaha mencari suatu rechtsideal yang dapat menjadi “dasar umum”dan “etis(Etisch)” bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti “Grundnorm” yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran –aliran seperti Neo – Kantianisme atau “Pancasila”kita). Filsafat pada umumnya mencari “etische waarde” dan “ideale levenshouding “yang dapat menjadi dasar tetap petunjuk kita.[11]
9. KUSUMADI PUDJOSEWOJO
    Menurut Kusumadi , Filsafat Hukum ialah bagian ilmu filsafat yang mempelajari apakah tujuan hukum itu ?Apakah aturan hukum sudah memenuhi syarat keadilan ?Apakah keadilan itu?Bagaimana hubungan hukum dan keadilan.[12]
10.PURNADI PURBACARAKA DAN  SOEKANTO
    Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto , Filsafat Hukum ialah perenungan dan perumusan nilai-nilai ;kecuali itu juga mencakup upaya penyerasian antara ketertiban dengan  ketentereman  , antara kebendaan dan keakhlakan , dan antara kelanggengan / konservatisme dengan pembaharuan.[13]
11. SATIJIPTO RAHARDJO
    Menurut Sacipto Rahardjo , Filsafat Hukum ialah ilmu yang persoalkan pertanyaan –pertanyaan yang bersifat dasar tentang hukum. Misalnya :Apa hakekat hukum ?Apa dasar mengikatnya hukum?.
12. SOEDJONO DIRDJOSISWORO
    Menurut Soedjono D, Filsafat Hukum ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan – pertanyaan mendasar dari hukum . Atau ilmu pengetahuan tentang hakekat hukum.
       
        Dari pengertian –pengertian tersebut dimuka, dapatlah disimpulkan bahwa Filsafat Hukum ialah cabang filsafat etika/moral yang obyek pembahasannya meliputi hakekat hukum, inti hukum , dasar yang sedalam –dalamnya, serta mempelajari atau menyelidiki lebih lanjut hal-hal yang tidak dijawab oleh ilmu hukum.


E. Kritik terhadap Positivisme Hukum
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.[14]
Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan (hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di negeri ini memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan.[15]
Paradigma positivisme hukum memang menjadi pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata.[16]
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian hukum memiliki peranan yang sangat urgen. Didalam aliran positivisme  kepastian hukum merupakan tujuan utama, sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus antara kepastian hukum dan keadilan telah lama mengemuka, dengan aliran positivime tersebut hukum seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan yang ada ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan kepastian hukum. Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[17]
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.[18]
Soetandyo memaparkan lebih lanjut bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji “prilaku” benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifipkan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.[19]
Terkait dengan kondisi di Indonesia maka persoalannya tidak bisa terlepas dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum, sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum di antara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa
yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.[20] Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-undang. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah
1. Bagaimana filosopi pemikiran positivisme hukum?
2. Bagaimana kritik terhadap aliran positivisme hukum?


F.Filosofi Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan seperti itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret . masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.[21]
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut:
a.                  Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini.
b.                  Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam sebuah negara.[22]
Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:
a.                 suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang berwenang.
b.                 Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
c.                 Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.[23]
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1.   hukum adalah perintah
2.   Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.
3.   keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4.   Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
5.   Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan[24].
Salah seorang pengikut positivisme Hukum john Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak adil.[25]
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.[26]
Austin juga menegaskan bahwa hukum dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, tetapi lebih disarkan kepada kekuasaan dari kekuatan penguasa. Austin membagi hukum kedalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh manusia tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya dan hukum tidak sebenarnya.[27]
Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya ialah bukan hukum yang merupakan hukum yang secara lansung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan ataupun badan-badan tertentu.[28]
Menurut Thomas Aquino, hukum positif  dinamakan Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet) adalah hukum yang ada dan berlaku.  Menurutnya, Undang-undang tersebut tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Undang-undang tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu “kekuasaan” yang sebagai penguasa tertinggi harus memelihara kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang perlu untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan sukarela dengan jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.

G. Kritik Terhadap Positivisme Hukum.
          Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. [29]
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum  adalah karena masih terjerembab  kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.[30]  Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.[31]
Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence,  Sosiological Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.
Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum yang terpenting bukanlah kehendak penguasa, tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny, tetapi ia menggunakan istilah yang lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat.    Menurut tokoh ilmu hukum realisme F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan pengertian-pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah adalah putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum dalam istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan realisme dalam ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan idealisme membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya akibat hukum secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends Of Law).
        Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam dunia hukum.
        Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.
Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-tantangan zaman.
Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.
Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.
          Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.
        Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari positivisme hukum adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam masyarakat karena yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa. Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA

        Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010

E. Utrecht.1966. Pengantar dalam Hukum Indonesia . Jakarta : Ichtiar.
Gijssels, jan & Mark van Hoecke.1982. Wat is Rechtstheorie? Antwerpen : Kluwer Rechtswetenchappen.
JHP. Bellefroid. 1925. Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands. Nijmegen Utrecht: Dekker & Van Vegt.
Koento Wibisono Siswomihardjo. 1994. Pengembangan Filsafat Hukum Nasional  Suatu Gagasan bagi Dunia Perguruan Tinggi . Makalah dalam Seminar Hukum Nasional yang Diadakan BPHN tanggal 25-29 Juli 1994 di Jakarta . Jakarta : BPHN.
Kusumadi Pudjosewojo . 1961. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia . Jakarta :Penerbit Universitas.
        Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya,  dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang diakses pada tanggal 11 Mei 2013

L.Bender O.P.1984. Het Recht: Rechtsphilosophische Verhandelingen . Bussum : Paul Brand.
Lili Rasjidi . 1985. Dasar –dasar Filsafat Hukum . Bandung : Alumni.
          . 1993. Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Lili Rasjidi dan B . Arief Sidharta Ed.1994. Filsafat Hukum mazhab dan Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya.
L.J. Van Apeldoorn . 1951. Inleiding  tot de Studie van het Nederlands Recht . Zwolle. WEJ Tjeenk Willink.
Muhammad Siddiq Tgk. Armia,2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.

Purnadi  Purbacaraka.1978. Perihal  Kaedah Hukum . Bandung: Alumni.
          . 1979. Sendi- sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum . Bandung: Alumni.
          . 1980. Renungan tentang Filsafat Hukum . Jakarta :Rajawali.
Roscoe Pound. 1972. Pengantar  Filsafat Hukum , terjemahan Muhammad Radjab . Jakarta : Bhatara.
Satjipto Rahardjo . 1991. Ilmu Hukum . Bandung : Pradnya Paramita.
Soedjono Dirjosisworo. 1994. Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Radjawali .
Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman Ed. 1987. Displin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal ). Jakarta : Rajawali Pers.
Soetikno . 1976. Filsafat Hukum I-II. Jakarta : Pradnya Paramita.
Theo Huijbers.1991. Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius .
          .1993. Filsafat Hukum dan Lintasan Sejarah . Yogyakarta : Kanisius .
Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Faisal,2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
W. Freidman .1970. Legal Theory . London . Steven & Son.
W. Zevenbergen .1925. Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap. Gravenhage: GebrBelifante.











































  


[1] Theo Huijbers,1991, Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius, hal 18.
[2]Lili Rasyidi, 1993, Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya.hal 10
[3] Lili Rasjidi dan Arif Sidharta, 1994, Filsafat Hukum mazhab dan Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya  hal 15
[4] Apeldoorn ,1951, Inleiding  tot de Studie van het Nederlands Recht . Zwolle. WEJ Tjeenk Willink, hal 331-332
[5]W.Zevenbergen, 1925, Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap. Gravenhage: GebrBelifante, hal 33
[6]JHP. Bellefroid. 1925. Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands. Nijmegen Utrecht: Dekker & Van Vegt., hal 17

[7]Gijssels & Hoecke, 1982, Wat is Rechtstheorie? Antwerpen : Kluwer Rechtswetenchappen  hal  9-86
[8] Gustav Radbruch 1942,B dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya hal  1
[9] Langemeyer ,1948, dalam lili Rasjidi, ibid, hal 1
[10] L, Blender,1984, dalam  Lili Rasjidi, ibid,  hal 1
[11] E. Utrecht,1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia . Jakarta : Ichtiar, hal 75
[12] Kusumadi Pudjosewojo, 1961, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta :Penerbit Universitas, hal 10-13
[13] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1978, Perihal  Kaedah Hukum . Bandung: Alumni, hal 10-11).

[14] Mochtar Kusumaatmadja, 2009, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm. 2
[15]Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif, Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com  yang diakses pada tanggal 10 Mei 2013
[16] Ibid
[17] Soetandyo Wignjosobroto,2002,  Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta,  hlm. 96
[18] Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya,  dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang diakses pada tanggal 10 Mei 2013
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Anthon F. Susanto,2010, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,  Hal.71
[22] Ibid, Hal. 71
[23] Ibid, Hal. 73
[24] Satjipto Raharjo II,1985, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta,  hlm. 111
[25] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,hlm. 6
[26] Ibid
[27] Sabian Usman,2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, hlm. 149
[28] Ibid, hlm. 149-150
[29] Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, hlm. 125
[30] Op Cit, Sabian Usman, 219
[31] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
»»  Baca Selengkapnya...