Menapaki Konsep Kenegaraan Indonesia
19:34 Anshari Dimyati
Oleh: Anshari Dimyati
Sampai hari ini belum pernah ada Konsensus – “kata sepakat” diantara para Pakar Tata Negara Indonesia terhadap bentuk Negara yang baik di terapkan di Indonesia, dengan perdebatan bahwa persepsi tentang demokratisasi kehidupan politik di Indonesia memiliki perspektif yang berbeda-beda. Semua dinamika tersebut bukan tak ber-sebab, melainkan ‘buah’ dari gagalnya pemerintah dalam mengaplikasikan pesan dari Konstitusi Indonesia. Kemudian harus dicermati lebih mendalam bahwa hak setiap bangsa, hak setiap individu dan masyarakat, serta hak setiap daerah untuk mendapatkan kesejahteraan kehidupan itu Penting, setidaknya kehidupan yang layak yang harus diperjuangkan dan didapatkan.
Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan, memiliki ribuan pulau dan wilayah yang sangat luas. Dimana kebudayaan dari ribuan pulau dan wilayah tersebut menjadi satu Negara dengan diwadahi dalam sebuah Konsep Kenegaraan. Konsep/Bentuk Negara ini merupakan pendasaran berjalannya system untuk menjalankan tujuan-tujuan dari Bangsa tersebut. Bentuk negara menyatakan struktur organisasi sebagai suatu keseluruhan yang meliputi semua unsurnya atau negara dalam wujudnya sebagai suatu organisasi. Indonesia pernah menjalankan dua konsep/bentuk Negara pada saat transisi pasca berdaulat. Pertama; bentuk Negara Kesatuan (UUD 1945), dan Kedua; bentuk Negara Federasi/Federal (lihat: Konstitusi RIS).
Negara Kesatuan (Eenheidsstaat/Unitaris) adalah negara yang bersusun tunggal, dimana pemerintahan pusat memegang kekuasaan untuk menjalankan urusan pemerintahan dari pusat hingga daerah. Bersusun tunggal berarti dalam negara hanya ada satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, satu undang-undang dasar dan satu lembaga legislatif. Sedangkan Negara Federasi (Bondstaat/Federalis/Persatuan/Serikat) adalah adanya satu negara besar yang berfungsi sebagai negara pusat dengan satu konstitusi federal yang di dalamnya terdapat sejumlah negara bagian yang masing-masing memiliki konstitusinya sendiri-sendiri. Konstitusi federal adalah mengatur batas-batas kewenangan pusat (federal), sedangkan sisanya dianggap sebagai milik daerah (negara bagian).
Telah tercantum secara jelas dan selanjutnya kita sepakati bahwa pada Pancasila sila ke-3 menyebutkan “Persatuan Indonesia” (Federalism) bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarism). Hal inilah yang menjadi krusial point dari perdebatan, perbedaan pandangan, atau pertentangan tentang konsep Negara yang terjadi hingga saat ini di Indonesia.
Kemudian yang menarik dalam hal ini adalah ketika melihat didalam UUD 1945 dimana pasal 37 ayat (5) dengan tegas menyatakan bahwa: “Khusus mengenai bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan”. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa segala hal yang diatur dalam UUD 1945 dapat dilakukan perubahan kecuali satu hal yaitu mengenai “BENTUK NEGARA KESATUAN”. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa tidak dapat dilakukan perubahan? Sama sekali tidak dapat ditemukan rasionalisasi adanya sebuah bentuk “pengkultusan” konsep/bentuk negara sebagaimana yang terdapat didalam UUD 1945 pasal 37 ayat (5) tersebut. Penulis berpendapat bahwa bentuk negara bukanlah sesuatu yang diharamkan untuk berubah atau dirubah, dengan menimbang bahwa hal tersebut berdampak positif atau negatif dalam pembangunan sebuah Negara.
Dalam perspektif historis dan budaya, rasionalisasi yang hadir adalah tidak akan mungkin menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang homogen. Indonesia adalah negara yang berdiri atas pendasaran heterogenitas budaya dan hal ini merupakan fakta yang tidak bisa dinafikkan oleh pemerintah. Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, wajah Indonesia adalah kerajaan-kerajaan yang memiliki kedaulatan masing-masing di setiap daerahnya. Kerajaan-kerajaan ini tersebar diseluruh wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke dan dapat dibuktikan hal ini dimana setiap daerah punya sejarah kepemimpinan masing-masing. Kemudian fakta yang terjadi saat ini adalah penempatan beberapa daerah khusus dengan tetap memberikan kesempatan untuk melestarikan budaya kesultanan (keistimewaan), hal ini menurut penulis merupakan sebuah diskriminasi nyata yang berlaku di Indonesia. Karena pada dasarnya, setiap daerah punya tradisi kesultanan/kerajaan masing-masing dan punya sejarah pemerintahan secara sendiri-sendiri.
Lalu mengapa UUD 1945 mengharamkan Indonesia menjadi negara dengan bentuk federal? Bukankah sejarah dan heterogenitas budaya merupakan alasan paling nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai negara federal? Karena dengan berbentuk federal dan setiap daerah berbentuk negara bagian ini jelas merupakan konsep yang paling demokratis karena memberikan kesempatan untuk setiap daerah mengatur daerahnya masing-masing secara penuh dan independen. Dan dengan federal maka setiap daerah posisinya akan sederajat. Tidak ada satu daerah yang lebih tinggi dari daerah lain dan juga tentu saja ini akan semakin memperkecil bahkan menghilangkan intervensi pusat ke daerah.
Otonomi daerah yang digagas sebagai sebuah upaya desentralisasi pasca reformasi bukan merupakan langkah kearah federalisasi. Terdapat perbedaan yang sangat substansi antara bentuk negara federal dengan sistem otonomi daerah. Dalam negara federal arah kewenangan dari bawah ke atas (bottom up). Negara-negara bagian adalah pihak yang terlebih dahulu menentukan apa yang akan mereka lakukan dan apa yang tidak bisa mereka lakukan itulah yang diserahkan ke pemerintah federal. Artinya, kewenangan pemerintah federal adalah kewenangan residu dari kewenangan pemerintah negara bagian. Ini berarti pemerintah negara federal pada dasarnya hanya berposisi sebagai organ yang berfungsi untuk merealisasikan kebutuhan negara-negara bagian, tidak lebih dari itu.
Sedangkan dalam sistem otonomi daerah, kewenangan daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh negara. Arah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam otonomi daerah merupakan kebalikan dari arah pembagian kewenangan yang ada dalam Negara Federal. Maka dalam sistem otonomi daerah, pusat pada hakekatnya merupakan organ yang dibentuk untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan pusat. Dalam pelaksanaan realisasi inilah terdapat otonomi. Jadi otonomi yang ada pada daerah tidak dapat ditafsirkan sebagai kedaulatan daerah untuk menentukan apa yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi, otonomi yang dimaksud adalah otonomi dalam pengertian kebebasan untuk menerjemahkan kepentingan pusat.
Konsep Negara Federal untuk Indonesia sangat penting dipelajari dan diperdebatkan secara publik, guna untuk mempertimbangkan kembali konsep atau bentuk Negara yang mana yang kemudian layak untuk digunakan di Indonesia. Federalisme barangkali merupakan pilihan terbaik, dan patut di pertimbangkan untuk kita coba kembali dalam menerapkan sistem tersebut. Dalam terjadinya dinamika konflik yang di Negara ini, sudah sepatutnya kita mengkoreksi kembali kekurangan-kekurangan sistem yang diciptakan bersama selama beberapa fase kebelakang, tentunya berdasarkan pengalaman, konsep, dan sejarah yang telah dibuka kembali saat ini.