Selasa, 27 Desember 2011

Menapaki Konsep Kenegaraan Indonesia

Menapaki Konsep Kenegaraan Indonesia



Oleh: Anshari Dimyati

Sampai hari ini belum pernah ada Konsensus – “kata sepakat” diantara para Pakar Tata Negara Indonesia terhadap bentuk Negara yang baik di terapkan di Indonesia, dengan perdebatan bahwa persepsi tentang demokratisasi kehidupan politik di Indonesia memiliki perspektif yang berbeda-beda. Semua dinamika tersebut bukan tak ber-sebab, melainkan ‘buah’ dari gagalnya pemerintah dalam mengaplikasikan pesan dari Konstitusi Indonesia. Kemudian harus dicermati lebih mendalam bahwa hak setiap bangsa, hak setiap individu dan masyarakat, serta hak setiap daerah untuk mendapatkan kesejahteraan kehidupan itu Penting, setidaknya kehidupan yang layak yang harus diperjuangkan dan didapatkan.

Indonesia memiliki banyak latar kebudayaan yang berbeda secara kontras, baik cara berpikir dan sifatnya dalam berkehidupan, memiliki ribuan pulau dan wilayah yang sangat luas. Dimana kebudayaan dari ribuan pulau dan wilayah tersebut menjadi satu Negara dengan diwadahi dalam sebuah Konsep Kenegaraan. Konsep/Bentuk Negara ini merupakan pendasaran berjalannya system untuk menjalankan tujuan-tujuan dari Bangsa tersebut. Bentuk negara menyatakan struktur organisasi sebagai suatu keseluruhan yang meliputi semua unsurnya atau negara dalam wujudnya sebagai suatu organisasi. Indonesia pernah menjalankan dua konsep/bentuk Negara pada saat transisi pasca berdaulat. Pertama; bentuk Negara Kesatuan (UUD 1945), dan Kedua; bentuk Negara Federasi/Federal (lihat: Konstitusi RIS).

Negara Kesatuan (Eenheidsstaat/Unitaris) adalah negara yang bersusun tunggal, dimana pemerintahan pusat memegang kekuasaan untuk menjalankan urusan pemerintahan dari pusat hingga daerah. Bersusun tunggal berarti dalam negara hanya ada satu negara, satu pemerintahan, satu kepala negara, satu undang-undang dasar dan satu lembaga legislatif. Sedangkan Negara Federasi (Bondstaat/Federalis/Persatuan/Serikat) adalah adanya satu negara besar yang berfungsi sebagai negara pusat dengan satu konstitusi federal yang di dalamnya terdapat sejumlah negara bagian yang masing-masing memiliki konstitusinya sendiri-sendiri. Konstitusi federal adalah mengatur batas-batas kewenangan pusat (federal), sedangkan sisanya dianggap sebagai milik daerah (negara bagian).

Telah tercantum secara jelas dan selanjutnya kita sepakati bahwa pada Pancasila sila ke-3 menyebutkan “Persatuan Indonesia” (Federalism) bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarism). Hal inilah yang menjadi krusial point dari perdebatan, perbedaan pandangan, atau pertentangan tentang konsep Negara yang terjadi hingga saat ini di Indonesia.

Kemudian yang menarik dalam hal ini adalah ketika melihat didalam UUD 1945 dimana pasal 37 ayat (5) dengan tegas menyatakan bahwa: “Khusus mengenai bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan”. Pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa segala hal yang diatur dalam UUD 1945 dapat dilakukan perubahan kecuali satu hal yaitu mengenai “BENTUK NEGARA KESATUAN”. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa tidak dapat dilakukan perubahan? Sama sekali tidak dapat ditemukan rasionalisasi adanya sebuah bentuk “pengkultusan” konsep/bentuk negara sebagaimana yang terdapat didalam UUD 1945 pasal 37 ayat (5) tersebut. Penulis berpendapat bahwa bentuk negara bukanlah sesuatu yang diharamkan untuk berubah atau dirubah, dengan menimbang bahwa hal tersebut berdampak positif atau negatif dalam pembangunan sebuah Negara.

Dalam perspektif historis dan budaya, rasionalisasi yang hadir adalah tidak akan mungkin menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang homogen. Indonesia adalah negara yang berdiri atas pendasaran heterogenitas budaya dan hal ini merupakan fakta yang tidak bisa dinafikkan oleh pemerintah. Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, wajah Indonesia adalah kerajaan-kerajaan yang memiliki kedaulatan masing-masing di setiap daerahnya. Kerajaan-kerajaan ini tersebar diseluruh wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke dan dapat dibuktikan hal ini dimana setiap daerah punya sejarah kepemimpinan masing-masing. Kemudian fakta yang terjadi saat ini adalah penempatan beberapa daerah khusus dengan tetap memberikan kesempatan untuk melestarikan budaya kesultanan (keistimewaan), hal ini menurut penulis merupakan sebuah diskriminasi nyata yang berlaku di Indonesia. Karena pada dasarnya, setiap daerah punya tradisi kesultanan/kerajaan masing-masing dan punya sejarah pemerintahan secara sendiri-sendiri.

Lalu mengapa UUD 1945 mengharamkan Indonesia menjadi negara dengan bentuk federal? Bukankah sejarah dan heterogenitas budaya merupakan alasan paling nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai negara federal? Karena dengan berbentuk federal dan setiap daerah berbentuk negara bagian ini jelas merupakan konsep yang paling demokratis karena memberikan kesempatan untuk setiap daerah mengatur daerahnya masing-masing secara penuh dan independen. Dan dengan federal maka setiap daerah posisinya akan sederajat. Tidak ada satu daerah yang lebih tinggi dari daerah lain dan juga tentu saja ini akan semakin memperkecil bahkan menghilangkan intervensi pusat ke daerah.

Otonomi daerah yang digagas sebagai sebuah upaya desentralisasi pasca reformasi bukan merupakan langkah kearah federalisasi. Terdapat perbedaan yang sangat substansi antara bentuk negara federal dengan sistem otonomi daerah. Dalam negara federal arah kewenangan dari bawah ke atas (bottom up). Negara-negara bagian adalah pihak yang terlebih dahulu menentukan apa yang akan mereka lakukan dan apa yang tidak bisa mereka lakukan itulah yang diserahkan ke pemerintah federal. Artinya, kewenangan pemerintah federal adalah kewenangan residu dari kewenangan pemerintah negara bagian. Ini berarti pemerintah negara federal pada dasarnya hanya berposisi sebagai organ yang berfungsi untuk merealisasikan kebutuhan negara-negara bagian, tidak lebih dari itu.

Sedangkan dalam sistem otonomi daerah, kewenangan daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh negara. Arah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam otonomi daerah merupakan kebalikan dari arah pembagian kewenangan yang ada dalam Negara Federal. Maka dalam sistem otonomi daerah, pusat pada hakekatnya merupakan organ yang dibentuk untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan pusat. Dalam pelaksanaan realisasi inilah terdapat otonomi. Jadi otonomi yang ada pada daerah tidak dapat ditafsirkan sebagai kedaulatan daerah untuk menentukan apa yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi, otonomi yang dimaksud adalah otonomi dalam pengertian kebebasan untuk menerjemahkan kepentingan pusat.

Konsep Negara Federal untuk Indonesia sangat penting dipelajari dan diperdebatkan secara publik, guna untuk mempertimbangkan kembali konsep atau bentuk Negara yang mana yang kemudian layak untuk digunakan di Indonesia. Federalisme barangkali merupakan pilihan terbaik, dan patut di pertimbangkan untuk kita coba kembali dalam menerapkan sistem tersebut. Dalam terjadinya dinamika konflik yang di Negara ini, sudah sepatutnya kita mengkoreksi kembali kekurangan-kekurangan sistem yang diciptakan bersama selama beberapa fase kebelakang, tentunya berdasarkan pengalaman, konsep, dan sejarah yang telah dibuka kembali saat ini.


»»  Baca Selengkapnya...

ANOMALI MANAGEMEN PEMERINTAHAN DAERAH AKIBAT "PECAH KONGSI"


“ANOMALI “  MANAGEMEN  PEMERINTAHAN DAERAH AKIBAT “PECAH KONGSI”

                                                   Oleh :  Turiman Fachturahman Nur

          Fenomena yang menarik dalam proses pelaksanaan prinsip –prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance  saat ini beberapa daerah otonom di Indonesia, yaitu adanya “pecah kongsi” antara Gubernur dan Wakil Gubernur, antara  Bupati/Walikota dan wakil Bupati/Wakil Walikota atau antara Bupati dengan Sekda dan yang menarik fenomena tersebut selalu ada kaitannya antara konstelasi politik hubungan eksekutif dengan legislatif  di dalamnya.
          Tata kelola pemerintahan daerah yang baik secara manajemen pemerintahan kuncinya pada tiga prinsip, yaitu akuntabilitas, supremasi hukum dan transparansi, tetapi ketiga prinsip ini ditopang dengan satu asas penting responsibiliti, yaitu bagaimana pemerintah daerah dan DPRD merespon kepentingan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk program usulan dari hasil jaring aspirasi masyarakat. Oleh karena itu sering yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaan anggaran keuangan daerah yang kemudian nomenklatur peruntukannya disepakati sebagai program prioritas daerah otonom.
        Program prioritas pada awalnya sebenarnya sudah dikawal oleh masyarakat ketika musbangdes, kemudian dilanjutkan ditingkat kecamatan, kemudian terakhir ditingkat kabupaten/kota, tetapi ketika seorang kepala daerah, Gubernur, Bupati atau walikota beserta jajarannya sepakat dengan hasil tersebut pada tataran selanjutnya tidaklah selaras dengan kesepakatan, karena diinstal ulang oleh “pemegang palu anggaran, yaitu DPRD” maka semua yang disepakati itu berubah menjadi sesuatu yang instan atau tiba-tiba muncul, karena ada kepentingan anggota DPRD Prov/kab/kota yang munculnya belakangan.
         Pada tataran ini mulailah “loby-loby politik” bermain dengan pengelola-pengelola anggaran, yaitu dengan para Kepala Dinas sebagai mitra kerja, dan kita ketahui bersama semua yang disepakati pada saat musrenbang berbagai tingkatan itu “rontok satu persatu” dan tanpa diketahui oleh sang pengusul yaitu elemen masyarakat pengusul. Program usulan masyarakat  sebenarnya adalah pencerminan kebutuhan mendasar di wilayahnya, karena sebelumnya sudah dimapping oleh para ketua RT dan RW dan ditingkat desa/kelurahan.
         Ketidak berdayaan para Kepala Dinas untuk tidak meladeni usulan program instan, maka bakal “repot” dan ketidak berdayaan untuk menolak program-program yang instan dari anggota DPRD itu akhirnya semua “ditumpahkan” kepada Bupati/Walikota/Gubernur yang  nota bene dipilih oleh rakyat daerah. Akhirnya dengan mengabaikan asas transparansi pada titik ujungnya akhirnya “mengalah” dengan kesepakatan politik yang diajukan oleh anggota DPRD, walaupun jauh menyimpang dari  kesepakatan yang sudah melalui proses musrenbang berbagai tingkatan.
         Menjadi “apes dan sasaran tembak” ketika ada gubernur/bupati/walikota bertahan dengan dengan aspirasi masyarakat yang telah disepakati dan dapat dipastikan kepala daerah yang seperti ini akan menjadi “hujatan” dan “rekayasa politik” elit-elit politik di DPRD dan jika tetap tidak “tembus” mulailah anggota DPRD  mencari “sekutu” di eksekutif yang berbeda dengan pola pikirnya dengan bupati/walikota/gubernur dalam mengelola manajemen pemerintahan dan manajemen pembangunan yang  sudah disepakati dengan masyarakat. Mengapa ini terjadi, “karena hujan tidak merata” antara kepentingan masyarakat di arus bawah dengan “kepentingan anggota DPRD menurut rasionalitas partainya yang diwalikinya”
       Pada awalnya “birokrasi tidak masuk ranah politik” tetapi “bentengpun runtuh” kemudian terseret dengan pola permainan dan setting politik anggota DPRD,  akhirnya ”menembak bersama kepala daerah terpilih” bahkan wakil kepala daerahpun “pecah kongsi” dengan kepala daerah, pada titik kulminasi politik inilah asas-asas pemerintahan yang baik – transparansi, akutanbilitas, supremasi hukumpun terabaikan dan menjadi “rumitlah persoalannya ” jika Sekdapun “pecah kongsi” dengan Kepala Daerah dan bersekutu dengan DPRD menembak bersama sama Kepala Daerah yang menjadi atasannya.
       Pada akhirnya sang Bupati/Walikota/Gubernur dihadapan dua pilihan yang  secara managemen resiko pemerintahan daerah seharusnya ditanggung bersama, karena DPRD adalah mitranya. Pilihan pertama, yaitu “ikut menyepakati program instan DPRD” atau pilihan kedua “mempertahankan program yang disepakati bersama dengan masyarakat di berbagai tingkatan musrenbang.  Ketika pilihan pertama dipilih, maka menjadi sebuah “penkhianatan kepentingan masyarakat” dan siap dihujat oleh masyarakat, tetapi ketika pilihan kedua dipilih, maka bersiap-siaplah menjadi “sasaran tembak pemegang palu anggaran dalam hal ini DPRD”, tetapi jika bertahan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka pilihan kedua yang seharusnya dipilih oleh kepala daerah, karena pemerintah daerah hanya pengelola anggaran, bukan pemilik anggaran dan pemilik anggaran adalah masyarakat yang di ada di desa, di wilayah kecamatan. Merekalah sebenarnya pemilik sejati anggaran keuangan daerah, karena di merekalah ujung tombak hasil kemamfaatan pembangunan.
        Hasil penelitian beberapa perguruan tinggi dan lembaga yang terpercaya di Indonesia, “akar masalah”nya adalah “awalnya selalu diawali masuknya program instan oleh anggota DPRD” ditengah pembahasan RAPBD di DPRD” dan tersirat dan tersurat “ikut campur” pula dalam penentuan kepala SKPD sebagai perpanjangan tangan kepentingan fraksi. Pada tataran ini sebenarnya elemen masyarakat yang mengusulkan program pada musrenbang seharusnya ada kewajiban mengawal di DPRD berdasarkan UU No 14 Tahun 2008 keterbukaan informasi publik, UU No 25 Tahun 2008 tentang pelayanan publik, tetapi transparansi keuangan daerah “masih dianggap” sesuatu yang harus disembunyikan oleh anggota DPRD kepada masyarakat, dan jikapun dikawal ketat pada awalnya, maka strategi berikutnya  yang dikawal itu akan dirubah oleh anggota DPRD pada moment “perubahan anggaran atau ABT.
         Fenomena di atas sudah menjadi “rahasia publik” dan sebenarnya dikeluhkan oleh para birokrasi pemerintahan yang ingin berpegang teguh dengan aturan main dan kesepakatan musrenbang. Mereka sadar sebagai pelayan masyarakat, tetapi ketidakberdayaan birokrasi menghadapi “legislatif power” maka yang terjadi saat ini adalah anomali atau ketidak aturan, tetapi pada tataran permukaan terlihat teratur. Inilah “kemunafikan” dalam managemen pemerintahan daerah, padahal DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah berdasarkan UU No 32 Tahuyn 2004.
        Pertanyaannya kapan buah “kemunafikan” ini akan didapat, yaitu ketika para birokrasi yang tidak komitmen dan anggota DPRD yang tidak komitmen sudah tidak memiliki “kuku” lagi alias kekuasaan dan jabatan. Mulailah satu persatu dijamak oleh KPK. Untuk ini kita berpesan kepada para birokrasi sebagai pengelola anggaran sejak sekarang  untuk menyimpan semua risalah rapat anggaran, ataupun nota-nota yang berupa disposisi walaupun hanya secarik kertas yang selalu menempel pada lembar disposisi untuk disimpan dan diarsipkan jika perlu dibuat kronologis peristiwa hukumnya sesuai urutan kejadian atau jika perlu terekam secara digital berdasarkan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik. Mengapa, karena kelak sangat diperlukan ketika  pembuktian tindak pidana korupsi, karena selama ini tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan anggaran keuangan daerah, selalu diawali dengan anomali administrasi pejabat negara. Hal ini dilakukan agar kelak pejabat pemilik kewenangan tidak menjadi “kambing hitam” kemunafikan managemen pemerintahan daerah atau menjadi “pihak yang dikorbankan”.
       Persoalan-persoalan “pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakil Kepala Daerah, atau dengan Sekda, karena salah satu dari mereka bertahan dengan aturan main dan kesepakatan yang telah disepakati oleh masyarakat yang telah memberikan amanahnya kepadanya dan ketidak berdayaan para kepala dinas menghadapi  “program instan” ditengah pembahasan RAPBD dari anggota DPRD, akhirnya akan terinpeksi virus kemunafikan juga, artinya ketika Bupati/Walikota/Gubernur melanggar  aturan main atau tidak mengacu pada prinsip kehati-hatian dan tidak berpihak dengan kepentingan masyarakat, maka bersiap-siaplah menjadi “masuk lingkaran permainan” atau “anomali politik” yang  tidak elegan alias “kemunafikan publik” dan kenyataan hanya sedikit kepala daerah yang mampu bertahan.
        Jika semua orang disekelilingnya sudah “kemasukan virus kemunafikan” dan tidak konsisten dengan aturan main” maka secara managemen pemerintahan daerah dapat saja Bupati/ Walikota/Gubernur mengambil alih kewenangan, karena ia adalah kepala daerah yang diberi amanah dan dipilih dalam Pemilu Kepala Daerah selama pilihan terhadap prinsip itu selaras dengan aturan main peraturan perundang-undangan yang menjadi alas sumpahnya. Mengapa demikian?, karena UU No 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya telah menempatkan Kepala Daerah salah satunya melaksanakan kewajiban daerah (Pasal 25 huruf e) dan untuk melaksanakan kewajiban daerah itu, maka pasal 27 UU No 32 Tahun 2004 kepala daerah harus menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah dan pada ayat (2)nya menyatakan selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat, kemudian dipertegas dalam PP Nomor 3 Tahun 2007, karena bagaimanapun laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah laporan kepala daerah terpilih selama satu tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan kepala daerah kepada Pemerintah dan penyusuan LPPD menganut prinsip transparansi dan akuntabilitas, kemudian penjelasan PP No 7 Tahun 2007 menyatakan, bahwa sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat, maka kepala daerah tersebut berkewajiban pula untuk menginformasikan laporan penyelenggaraan perintahan daerah yang telah dilaksanakan kepada masyarakat sebagai perwujudan adanya transparansi dan akuntabilitas kepada daerah terhadap masyarakat.
           Berdasarkan aturan main tersebut, tanggungjawab akhir ada pada kepala daerah, oleh karena itu kepala daerah yang konsisten dengan amanah masyarakat yang memilih dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan akan selamat pada akhir jabatannya, tetapi yang keluar dari “garis orbit” atau melakukan kesepakatan beranomali bersama DPRD, maka siap-siap untuk diangkat permasalahannya oleh masyarakat kepermukaan pada tataran hukum, karena RPKD pada hakekatnya adalah penjabaran visi, misi dan  program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan pemerintah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah bagi daerah Kabupaten/Kota.
           Masihkah DPRD dan wakil Kepala Daerah ataupun Sekda bermain-main dengan transparansi informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena semua hal itu akan dilaporkan oleh kepala daerah kepada pemerintah secara tranparan, akuntabilitas dan berdasarkan standar pelayanan publik yang telah ditetapkan pemerintah, mengapa demikian, karena sejak awal kita telah bersepakat bahwa Good Governance tidaklah cukup jika tidak Clean Goverment. (Penulis adalah Pengamat dan expert Hukum Tata Pemerintahan Daerah UNTAN).
        
       
.
      
      
       
       
    
        
»»  Baca Selengkapnya...