Sabtu, 09 Januari 2016

PERANGKAT DESA SEBAGAI UJUNG TOMBAK KEPALA DESA (Membedah Konstruksi Hukum Perangkat Desa Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014)

PERANGKAT  DESA SEBAGAI  UJUNG TOMBAK KEPALA DESA
(Membedah Konstruksi Hukum Perangkat Desa Dalam UU Nomor 6 Tahun  2014)

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
HP 081310651414
Turiman_fachturahmannur@yahoo.com

1.Mengapa Desa Saat ini jadi Primadona ?
             Salah satu grand strategi kebijakan prolegnas adalah  ketika upaya revisi kembali UU 32/2004 tengah bergulir, muncul kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR untuk memecah UU 32/2004 menjadi tiga undang-undang: UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada dan UU Pemerintahan Desa. Pemisahan ini yang membuat UU Pemerintahan Desa diatur tersendiri. Ada beberapa argumen penting  yang melandasinya, kemudian tahun 2014 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun  2014 Tentang Pemerintah Darah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
             Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 dan  Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada tanggal 30 Mei 2014, kemudian  diterbitkan Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014   tentang   Desa (Lembaran   Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717);  terjadi perubahan mendasar landasan yuridis pengaturan tentang Desa, penyelenggaraan pemerintahan Desa maupun proses legitimasi terhadap unsur-unsur penyelenggara pemerintah/pemerintahan Desa, yang merupakan landasan operasional pembentukkan Peraturan Daerah sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka seluruh Peraturan Daerah yang berhubungan dengan Desa yang merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa perlu disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini. Sebagai konsekuensinya pemerintah Daerah berkewajiban untuk membentuk beberapa Peraturan Daerah yang merupakan amanat ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, salah satunya adalah Peraturan Daerah Tentang Perangkat Desa..
             Keberadaan Peraturan Perudang-undangan tersebut di atas memberikan pemahaman tentang pentingnya penyelenggaraan Pemerintahan Desa, oleh karena itu saat ini desa menjadi primadona dan menjadi fokus perhatian setelah terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014, karena desa adalah basis terkecil  sebuah demokrasi asli, berikut ini dikemukakan esensi pemerintahan desa dalam tataran demokrasi dari berbagai dimensi argumentasi dengan paparan argumen sebagai berikut:

1.Argumen historis
            Pertama, Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi.
              Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri.  Inilah yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi.  Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).
               Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik kecil”, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
            Kedua, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Diantara kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat  yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan. 
2.Argumen filosofis-konseptual
Pertama, Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan di atasnya ada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus menjadi landasan dan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa yang memiliki tata pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Kedua, mengikuti pendapat Prof. Mr J de Louter, seorang ahli tata negara Belanda dan F. Laceulle dalam suatu laporannya yang menyatakan bahwa bangunan hukum Desa merupakan fundamen bagi tatanegara Indonesia (Sutardjo, 1984: 39). Artinya bahwa bangsa dan negara sebenarnya terletak di Desa, maka pengaturan Desa dalam Undang-Undang adalah sangat mendesak karena jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ini akan menentukan luasnya jangkauan pengaturan mengenai Desa. Artinya pengaturan dalam Undang-Undang ini akan menentukan pula maju mundurnya Desa yang berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi dan demokrasi Desa yang akan dibingkai dengan undang-undang tentang Desa bukan sekadar perkara kelembagaan semata, melainkan mempunyai dasar filosofis yang dalam. Kita membutuhkan bangsa yang mandiri-bermartabat, butuh negara (pemerintah) yang kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demokratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan “otonomi Desa” menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat dan sempurna, yang melampui (beyond) sentralisme dan lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang “menghargai” lokal dan lokal yang “menghormati” pusat. Kemandirian Desa akan menjadi fondasi dan kekuatan NKRI dan imajinasi Indonesia itu. Jika Desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI. Kedepan kita membutuhkan Desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Ketiga, Ketika Undang -Undang tentang pemerintahan Desa digulirkan maka pada tataran empirik merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Apa maknanya? Pertama, kemandirian Desa bukanlah kesendirian Desa dalam menghidupi dirinya sendiri. Kemandirian Desa tentu tidak berdiri di ruang yang hampa politik, tetapi juga terkait dengan dimensi keadilan yang berada dalam konteks relasi antara Desa (sebagai entitas lokal) dengan kekuatan supraDesa (pusat dan daerah) yang lebih besar.  Secara lokal-internal, kemandirian Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak dan kemauan entitas Desa yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan, jaringan dan solidaritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal yang kuat merupakan fondasi lokal bagi kemandirian Desa.
Tetapi inisiatif lokal ini tidak bakal tumbuh dengan baik jika tidak ada ruang yang memungkinkan (enabling) untuk tumbuh. Regulasi yang mengandung banyak instruksi dan intervensi tentu akan menumpulkan inisiatif lokal. Karena itu kemandirian Desa membutuhkan kombinasi dua hal: inisiatif lokal dari bawah dan respons kebijakan. Dari atas dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap keberadaan entitas Desa dan termasuk organisasi masyarakat adat, yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan hak, kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada Desa. Kewenangan memungkinkan Desa mempunyai kesempatan dan tanggungjawab mengatur rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat, yang sekaligus akan menjadi bingkai bagi Desa untuk membuat perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa.
Kemandirian itu sama dengan otonomi Desa. Gagasan otonomi Desa sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:
·         Memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI.
·         Memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan;
·         Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat;
·         Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;
·        Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal;
·         Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa;
·        Memberikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi Desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;
·         Menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;
·      Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa, lembaga-lembaga Desa dan masyarakat.
·         Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.
Kedua, demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip dasar: representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi, yang semua prinsip ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan, perencanaan Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul “penguasa tunggal” yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan Desa akan berjalan apa adanya secara rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat Desa.
Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah Desa.  Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena untuk mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat dari perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.
Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni penyediaan layanan dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi Desa yang berbasis pada potensi lokal.  Kemandirian dan demokrasi Desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi rakyat Desa. Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat bermanfaat untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin mampu dicakup oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga kebijakan pemerintah yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada perbaikan pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal. 

3.Argumen yuridis
Pertama, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal 18b adanya kesatuan masyarakat hukum adat.  Kemudian dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan ”...., maka otonomi Desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari Desa itu sendiri...” Hal ini berarti bahwa Desa sebagai susunan pemerintahan terendah di Indonesia mempunyai identitas dan entitas yang berbeda dan perlu di atur tersendiri dalam bentuk Undang-Undang. Selain itu, usulan mengenai pentingnya Undang-undang mengenai Desa ini dikemukakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.
Sejumlah isu yang terkandung UUD 1945 tentu membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-undang. Termasuk pasal 18 yang mengatur keberadaan daerah besar dan kecil. Pasal 18 itu berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga ditegaskan: “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil’. Ini berarti bahwa daerah yang lebih kecil mencakup kabupaten/kota dan Desa, atau setidaknya undang-undang juga harus memberi kedudukan yang tepat keberadaan Desa yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir, dan Desa pada masa kolonial juga telah diatur tersendiri (Yando Zakaria, 2002).
Kedua, pengakuan dan penghormatan negara terhadap  Desa dalam konstitusi  sebenarnya nampak jelas (Yando Zakaria, 2002). Dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa: Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa NKRI harus mengakui keberadaan Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam. Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa otonom (local self government) atau disebut Desa Praja yang kemudian dikenal dalam UU Nomor 19 Tahun 1965, yakni Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau menurut orang Bali disebut dengan “Desa adat” atau self governing community. Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan (meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).
Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang, apalagi di zaman Orde Baru UU 5/1979 melakukan penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi, UUD 1945 Amandemen Kedua malah menghilangkan istilah Desa.  Pasal 18 ayat 1 menegasakan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi  itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Meskipun istilah Desa hilang dalam UUD 1945 amandemen ke-2, tetapi klausul “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…” berarti mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya. UU 22/1999 dan UU 32/2004 telah memberikan pengakuan itu dan secara nasional melakukan penyebutan Desa (atau dengan nama lainnya). 
 Ketiga, penyerahan urusan/kewenangan dari kabupaten/kota kepada Desa sebenarnya tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Karena itu jika UU Desa disusun terpisah dari UU Pemda, hal ini akan semakin mempertegas amanat dan makna Pasal 18 UUD 1945, sekaligus akan semakin memperjelas posisi (kedudukan) dan kewenangan Desa atau memperjelas makna otonomi Desa.
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
 Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undangundang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai Undang-Undang tersebut disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asalusul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Dengan demikian dengan lahirnyaUndang –Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah merupakan instrumen yang mendasar untuk memperkuat pemeirntahan desa, otonomidesa serta demokrasisasi pada level desa yang salah satunya adalah tata cara pemilihan kepala desa diwilayah daerah otonom kabupaten.

4.Argumen Sosiologis
Pertama, secara sosiologis, jelas bahwa untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia harus memulai paradigma pembangunan dari bawah (Desa) karena sebagian besar penduduk Indonesia beserta segala permasalahannya tinggal di Desa. Tetapi selama ini,  pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan dan bias kota. Sumberdaya ekonomi yang tumbuh di kawasan Desa diambil oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga Desa kehabisan sumberdaya dan menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota.  Kondisi ini yang menciptakan ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.
Kedua, ide dan pengaturan otonomi Desa kedepan dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan sosial, budaya ekonomi dan politik Desa. “Otonomi Desa” hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa, dan secara sosiologis hendak memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri, mengingat transformasi Desa dari patembayan menjadi paguyuban tidak berjalan secara alamiah sering dengan perubahan zaman, akibat dari interupsi negara (struktur kekuasaan yang lebih besar).
Ketiga,  pengaturan tentang otonomi Desa dimaksudkan untuk merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain) dan  munculnya pemain-pemain ekonomi dalam skala global. Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak mungkin dihadapi oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai.  Tantangan ini memerlukan institusi yang lebih kuat (dalam hal ini negara) untuk menghadapinya. Oleh karena diperlukan pembagian tugas dan kewenangan secara rasional di negara dan masyarakat agar dapat masing-masing bisa menjalankan fungsinya.  Prinsip dasar yang harus dipegang erat dalam pembagian tugas dan kewenangan tersebut adalah Daerah dan Desa dapat dibayangkan sebagai kompartemen-kompartemen fleksibel dalam entitas negara. Berikutnya, ketiganya memiliki misi yang sama yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan yang lebih mendasar adalah survival ability bangsa.  Otonomi Desa adalah instrumen untuk menjalankan misi tersebut.  Oleh karena itu, tidak tepat kalau dalam otonomi daerah atau Desa justru melemahkan bangunan NKRI atau survival ability bangsa.  Ini mungkin terjadi kalau tidak ada pengaturan tepat antara peran negara, daerah dan Desa.  Perlu diingat bahwa negara tidaklah sekedar agregasi daerah-daerah atau Desa-Desa yang otonom. (Hastu, 2007). Spirit Desa bertenaga sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebenarnya menjadi cita-cita dan fondasi lokal-bawah yang memperkauat negara-bangsa (Sutoro Eko, 2007; AMAN, 2006).

5.Argumen Psikopolitik
Pertama, sejak kemerdekaan sebenarnya Indonesia telah berupaya untuk menentukan posisi dan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Perdebatan terus berlangsung mengawali penyusunan UU, tetapi sulit membangun kesepakatan politik. UU 19/1965 tentang Desa Praja sebenarnya merupakan puncak komitmen dan kesepakatan politik yang mendudukkan Desa sebagai daerah otonom tingkat III. Tetapi karena perubahan paradigma politik dari Orde Lama ke Orde Baru, UU tersebut tidak berlaku.
Selama puluhan tahun pencarian tentang posisi dan format Desa betul-betul mengalami kesulitan yang serius. Mendiang Prof. Selo Soemardjan (1992) selalu menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi dan format Desa. Demikian tuturnya: Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya tidak dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum maupun politis. Sebaliknya menghadapi Desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui sebagai daerah istimewa tampaknya ada berbagai pendapat yang berbeda-beda yang sampai sekarang belum dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan pendapat itu mengakibatkan keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi tingkat I dan tingkat II saja dan sistem tiga tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah tingkat III.
Kedua, secara psikopolitik, Desa tetap akan marginal dan menjadi isu yang diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada posisi subordinat dan subsistem pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah, sosiologis, politik dan hukum yang berbeda dengan daerah. Karena itu penyusunan UU Desa tersendiri sebenarnya hendak ”mengeluarkan” Desa dari posisi subordinat, subsistem dan marginal dalam pemerintahan daerah, sekaligus hendak mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Ketiga, secara politik penguatan otonomi Desa melalui UU Desa tersendiri sebenarnya juga menjadi aspirasi Desa yang disuarakan oleh asosiasi pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Mereka senantiasa menuntut perhatian pemerintah pada Desa, kesejahteraan yang lebih baik, kedudukan dan kewenangan Desa yang lebih besar, penempatan Desa sebagai subyek pemerintahan dan pembangunan, alokasi dana Desa yang lebih memadai, serta pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom up). Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) senantiasa menuntut pengakuan negara terhadap adat. Aspirasi dari bawah tersebut tentu memperoleh dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa pada dasarnya adalah merupakan politik hukum  memberdayakan pemerintahan desa untuk memperkuat penyelenggaraan otonomi  desa yang mampu menopang penyelenggaraan otonomi daerah.



2Perangkat Desa Sebagai Ujung Tombak Kepala Desa
2.1. Landasan Filosofis dan Sosiologis Perangkat Desa sebagai Perwujudan  Demokrasi Desa
          Sebagai miniatur negara Indonesia, Desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Di satu sisi, para perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai daftar tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level Desa, melaksanakan program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah Desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga.
         Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat Desa. Para perangkat Desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong Desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para pamong Desa beserta elite Desa lainnya dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga Desa.
       Dalam praktiknya antara warga dan pamong Desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di Desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong Desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana.
      Jika pemerintah Desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala Desa (lurah Desa) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah Desa. Semua perhatian di Desa ditujukan kepada Kepala Desa secara personal. “Hitam putihnya Desa ini tergantung pada lurahnya atau kadesnya”, demikian ungkap seorang warga Desa. 
       Kades harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala Desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala Desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat.
       Kepala Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di Desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya. Legitimasi kepala Desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat.
       Umumnya kepala Desa yakin bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang diemban, meski setiap kepala Desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala Desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala Desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.
     Kepala Desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala Desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala Desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga Desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan Desa, sejauh Kepala Desa tidak mengganggu usaha ekonomi dan nyawa warganya secara langsung.
   Warga Desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural Desa yang bias elite.
   Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat Desa. Sampai sekarang, elite Desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala Desa, partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah Desa. Pemerintah Desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan Desa.
     Di sisi lain, pemerintahan Desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Para Birokrat Desa (sekretaris Desa hingga kepala-kepala urusan) disebut sebagai perangkat Desa yang bertugas membantu kepala Desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan administratif di dalamnya. Di Jawa, perangkat Desa sering disebut sebagai “Pamong Desa”, yang karena posisinya sebagai pemuka masyarakat, dan memperoleh mandat untuk mengayomi dan membimbing  rakyat Desa. Mereka juga mempunyai atribut mentereng (abdi negara dan abdi masyarakat) yang menjadi kebanggaannya. Sebagai abdi negara, perangkat Desa menyandang atribut dan simbol-simbol  yang diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara, seperti menarik pajak, mengurus administrasi, surat-surat resmi, pendataan penduduk dan lain-lain. Sebagai abdi masyarakat, perangkat Desa bertugas melayani masyarakat 24 jam, mulai pelayanan administratif  hingga pelayanan sosial (mengurus kematian, hajatan, orang sakit, pasangan suami isteri yang mau cerai, konflik antarwarga, dan sebagainya).
       Sistem birokrasi Desa sangat berbeda dengan sistem birokrasi negara, meskipun Desa juga sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas negara, baik pelayanan publik maupun pembangunan. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrat negara, baik  pejabat administratif maupun pejabat fungsional (kesehatan dan pendidikan), berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang dikelola dengan kepastian mulai dari pengangkatan pertama, pembinaan, pembagian tugas, promosi, penggajian hingga sampai pensiun di hari tua.
      Birokrasi Desa didesain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisional. Status perangkat Desa bukanlah PNS, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional (dari penduduk Desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syarat dan proses modern). Pengisian perangkat bukanlah dari nol sebagai staf seperti PNS, melainkan langsung mengisi pos jabatan-jabatan dalam birokrasi Desa (sekdes, kaur, kadus) yang posisinya lowong.  Semula mereka ditetapkan bekerja seumur hidup, tetapi belakangan banyak kabupaten/kota yang menetapkan masa kerja perangkat Desa selama 20 tahun atau berusia maksimal 60 tahun. Pembinaan PNS dimulai dari prajabatan, diklat penjenjangan maupun promosi dari staf hingga eselon I, perangkat Desa tidak diperlakukan yang sama. Ketika seseorang menduduki jabatan kepala urusan maka dia selamanya akan duduk situ sampai usia pensiun. Dia tidak akan mengalami promosi menjadi sekretaris Desa, kecuali jika dia melepas jabatan kaur dan bertarung melamar posisi sekdes yang kosong.
      Para perangkat Desa juga tidak memperoleh pendidikan dan latihan yang sistematis dan berkelanjutan sebagaimana diberikan negara kepada PNS. Perangkat Desa memperoleh pembekalan awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas administrasi, tetapi setelah itu tidak memperoleh diklat teknis dan juga tidak ada monev.  Terkadang sebagian perangkat Desa memperoleh diklat teknis (misalnya administrasi, perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu)
      Berdasarkan paparan di atas  secara konsepsional  keberadaan Kepala Desa menjadi penting sebagai penggerak pemerintahan desa, oleh karena itu mekanisme pengaturan tentang tata cara pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian kepala Desa sangat diperlukan pengaturan  didalam materi muatan peraturan daerah dan harus terjadi sinkronisasi horisontal dengan materi muatan peraturan daerah yang mengatur perangkat desa, karena Perangkat Desa adalah unsur pembantu Kepala Desa dalam penyelenggarann Pemerintahan Desa.

2.1.Konstruksi Hukum Tentang Perangkat Desa Didalam Peraturan Perundang-Undangan
2.1.1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
          Didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pengaturan yang berkaitan denga Perangkat Desa di atur pada  Bagian Kelima dengan nomenklatur Perangkat Desa, yakni pada  Pasal 48 yang menyatakan bahwa Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis.
           Adapun Tugas dari Perangkat desa dinyatakan secara rinci dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun  2014 yang menyaakan, bahwa Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
           Siapa yang mengangkat perangkat desa lebih lanjut diatur pada Pasal 49 ayat (2) Undang –Undang Nomor 6 Tahun 2014, yang menyatakan, bahwa Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota. Dalam hal melakanakan tugas dan wewenang Perangkat desa bertanggung jawab kepada Kepala Desa. (Pasal 49 ayat (3).
            Apa yang menjadi persyaratan untuk diangkat sebagai perangkat Desa, didalam  Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, menyatakan, bahwa Perangkat Desa diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan: a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun; c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
             Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diamanahkan untuk diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
           Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 diatur tentang larangan Perangkat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 51 yang menyatakan, bahwa Perangkat Desa dilarang: a. merugikan kepentingan umum; b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa; f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menjadi pengurus partai politik; h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan; j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan l. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
             Lebih lanjut diatur tentang sanksi terhadap Perangkat Desa yang melanggar larangan tersebut di atas, yakni  pada Pasal 52 ayat (1) Perangkat Desa yang melanggar larangan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Jika sanksi administrasi tidak dilaksanakan, maka menurut Pasal 52 ayat (2) dapat dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
            Kapan Perangkat Desa berhenti secara tegas diatur pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Perangkat Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan.
             Ketika Perangkat desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 ditentukan dengan berbagai alasan, yakni karena: a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun; b. berhalangan tetap; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa. Siapa yang berwenang diberhentikan.
            Pasal 53 ayat  (3) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 ,menyatakan Pemberhentian perangkat Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2.2.2  Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
      Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa diatur dalam Bagian Kedua dengan nomenklatur Perangkat Desa.
      Struktur Perangkat Desa dinyatakan secara tegas dalam Pasal 61 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014,bahwa Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis. Pasal 61 ayat (2) Perangkat Desa berkedudukan sebagai unsur pembantu kepala Desa.
     Struktur Personalia Perangkat Desa secara organisasi pemerinah Desa lebih lanjut diatur dalam Pasal 62 ayat  (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014, bahwa Sekretariat Desa dipimpin oleh sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf sekretariat yang bertugas membantu kepala Desa dalam bidang administrasi pemerintahan.
    Mengenai jumlah personalia diatur lebih lanjut Pasal 62 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014, menyatakan, bahwa Sekretariat Desa paling banyak terdiri atas 3 (tiga) bidang urusan. Pada pasal 63 ayat  (3) memberikan atribusi, bahwa bidang urusan akan  diatur dengan Peraturan Menteri.
   Berkaitan dengan pelaksanan kewilayahan lebih lanjut diatur pada Pasal 63 ayat  (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 menyatakan, bahwa Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai satuan tugas kewilayahan.
     Berkaitan dengan jumlah personalia Pasal 63 ayat  (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dan kemampuan keuangan Desa. Pasal 64 (1) Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai pelaksana tugas operasional. Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014  tentang jumlah seksi sebagai pelaksana teknis ditentukan paling banyak terdiri atas 3 (tiga) seksi.  Pengaturan ditentukan mengenai pelaksana teknis sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Menteri.
      Bagaimana prosedur pengangkatan Perangkat Desa di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun  2014  diatur  pada Pasal 65 ayat (1) yang menyatakan , bahwa Perangkat Desa diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan: a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun; c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan d. syarat lain yang ditentukan dalam peraturan daerah kabupaten/kota.
     Materi muatan Peraturan Daerah bisa mengatur syarat lain sebagaimana diamanahkan pada pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 yang menyatakan, bahwa syarat lain pengangkatan perangkat Desa yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota harus memperhatikan hak asal usul dan nilai sosial budaya masyarakat.
   Bagaimana mekanisme pengangkatan perangkat desa ? Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 mengatur prosedur dimaksud yakni, bahwa Pengangkatan perangkat Desa dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut: a. kepala Desa melakukan penjaringan dan penyaringan atau seleksi calon perangkat Desa; b. kepala Desa melakukan konsultasi dengan camat atau sebutan lain mengenai pengangkatan perangkat Desa; c. camat atau sebutan lain memberikan rekomendasi tertulis yang memuat mengenai calon perangkat Desa yang telah dikonsultasikan dengan kepala Desa; dan d. rekomendasi tertulis camat atau sebutan lain dijadikan dasar oleh kepala Desa dalam pengangkatan perangkat Desa dengan keputusan kepala Desa.
    Jika perangkat desa berasal dari Pengawai Negeri  Sipil, maka diatur persyaratan sebagaimana ditegaskan  dalam Pasal 67 ayat  (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014, bahwa Pegawai negeri sipil kabupaten/kota setempat yang akan diangkat menjadi perangkat Desa harus mendapatkan izin tertulis dari pejabat pembina kepegawaian.
   Bagaimana dengan tugas pegawai negeri diintitusi lama ? Pasal 67 ayat  (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014  memberikan rekomendasi, bahwa dalam hal pegawai negeri sipil kabupaten/kota setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpilih dan diangkat menjadi perangkat Desa, yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya selama menjadi perangkat Desa tanpa kehilangan hak sebagai pegawai negeri sipil.   
   Berkaitan dengan tata cara pemberhentian Perangkat Desa didalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014  diatur pada Paragraf 3 dengan nomenklatur Pemberhentian Perangkat Desa, yakni mulai  dari  Pasal 68 ayat (1)  yang menyatakan, bahwa Perangkat Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan.
    Jika diberhentikan, maka pasal 68 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 Perangkat Desa diberikan alasan yuridis normatif sebagaiberikut, yakni karena: a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun; b. berhalangan tetap; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa. Pasal 69 Pemberhentian perangkat Desa dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut: a. kepala Desa melakukan konsultasi dengan camat atau sebutan lain mengenai pemberhentian perangkat b. camat atau sebutan lain memberikan rekomendasi tertulis yang memuat mengenai pemberhentian perangkat Desa yang telah dikonsultasikan dengan kepala Desa; dan c. rekomendasi tertulis camat atau sebutan lain dijadikan dasar oleh kepala Desa dalam pemberhentian perangkat Desa dengan keputusan kepala Desa.
    Berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian dalam Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun  2014 Perangkat Desa  diatur dalam Peraturan Menteri.

2.3.3 Pengaturan Perangkat Desa Yang Selaras dengan Peraturan Perudang-Undangan saat ini
               Berdasarkan acuan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 materi muatan Peraturan Daerah tentang Perangkat Desa dapat diatur hal-hal mendasar, yakni:
1.        Ruang Lingkup
        Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa dan Kepala Desa menyelenggarakan Pemerintahan Desa dan dibantu oleh Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari :
1.      Sekretariat Desa yang dipimpin oleh Sekretaris Desa dibantu oleh :
2.      Urusan Umum
3.      Urusan Keuangan ;dan
4.      Urusan Perencanaan.
               Yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Urusan.
1.      Pelaksana Teknis yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Seksi terdiri dari:
2.      Seksi Pemerintahan;
3.      Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan;dan
4.      Seksi Kemasyarakatan.
5.      Pelaksana Kewilayahan
2.Struktur Organisasai Dan Tata Kerja Pemeirntaha Desa
                Penyusunan struktur organisasi pemerintah Desa dapat mencakup jumlah bidang urusan, seksi dan unsur kewilayahan pada setiap Desa, yang disesuaikan dengan:
1.      kebutuhan dan kemampuan keuangan desa;
2.      potensi dan ketersediaan sumber daya manusia; dan
3.      kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
            Organisasi dan tata kerja pemerintah desa ditetapkan dengan Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dengan berpedoman pada Peraturan Daerah
             Berkaitan dengan Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Organisasi Pemerintah Desa
Kepala desa, maka diatur, bahwa Kepala Desa menyusun rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan a. kemampuan keuangan desa; bpotensi dan ketersediaan sumber daya manusia; dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
          Rancangan Peraturan Desa paling sedikit memuat ketentuan yang mengatur tentang pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi, struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.Rancangan Peraturan Desa wajib disosialisasikan kepada masyarakat desa sebelum disampaikan kepada BPD untuk mendapatkan persetujuan bersama. Kepala Desa mengajukan rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa kepada BPD untuk mendapatkan persetujuan. Rancangan Peraturan Desa dibahas bersama Kepala Desa dengan BPD dalam rapat BPD, sesuai dengan peraturan tata tertib BPD, untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
           Untuk memberikan materi Raperdes tentang  organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, maka Rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa terlebih dahulu dievaluasi oleh Bupati dan/atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati atau .Kewenangan evaluasi rancangan Peraturan Desa tersebut dapat dilimpahkan kepada Camat.
    Permohonan evaluasi dilakukan setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan BPD  untuk itu Kepala Desa menyampaikan rancangan Peraturan Desa kepada Camat paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal persetujuan bersama. Hasil evaluasi Peraturan Desa yang telah dievaluasi diserahkan oleh Camat kepada Kepala Desa paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa oleh Camat.
     Hasil evaluasi ditetapkan dengan Keputusan Camat, dan tembusannya disampaikan kepada Bupati. Apabila Camat telah menyampaikan hasil evaluasi jika terjadi kesalahan Kepala Desa bersama BPD wajib memperbaikinya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti perbaikannya oleh Kepala Desa, dan Kepala Desa menetapkan Rancangan Peraturan Desa menjadi Peraturan Desa, Camat dapat mengusulkan kepada Bupati untuk membatalkan seluruh atau sebagian isi Peraturan Desa.
    Apabila Camat tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu, maka Peraturan Desa berlaku dengan sendirinya dan Kepala Desa dapat langsung menetapkannya dan apabila telah diberlakukan ternyata terdapat kesalahan maka camat mengusulkan kepada Bupati untuk membatalkan, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
   Mekanisme evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang Organisasi Pemerintah Desa dilaksanakan sesuai Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal Kepala Desa tidak menindaklanjuti hasil evaluasi tetap menetapkan menjadi Peraturan Desa, maka Bupati membatalkan Peraturan Desa dengan Keputusan Bupati.
2.3.4.Kedudukan Tugas, Fungsi, hak dan Kewajiban Perangkat Desa
          Dalam materi mutan peraturan daerah kabupaten, pengaturan sekretariat Desa ditegaskan dipimpin oleh Sekretaris Desa yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Desa. Unsur staf  adalah merupakan urusan yang ditetapkan sesuai kebutuhan dan kondisi desa setempat.
             Berkaitan dengan Tugas Sekretaris Desa, dinyatakan Sekretaris Desa mempunyai tugas :
1.      mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan program kerja pemerintahan desa;
2.      pengoordinasian pelaksana teknis dan pelaksana kewilayahan;
3.      mengoordinasikan evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa;
4.      menyelenggarakan kesekretariatan desa;
5.      menjalankan administrasi desa;
6.      memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh satuan organisasi pemerintah desa;
7.      melaksanakan urusan rumah tangga, dan perawatan sarana dan prasarana fisik pemerintah Desa; dan
8.      melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
             Berkaitan dengan Sekretaris Desa dinyatakan, bahwa Sekretaris Desa  mempunyai fungsi:
1.      pelaksanaan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan kegiatan pemerintahan desa;
2.      pelaksanaan kegiatan kesekretariatan desa;
3.      pelaksanaan urusan personalia Perangkat Desa;
4.      pelaksanaan urusan perlengkapan dan rumah tangga desa;
5.      pelaksanaan pelaporan keuangan desa;
6.      pelaksanaan pelayanan administrasi pemerintahan desa;
7.      pengelolaan perpustakaan desa;
8.      pengelolaan aset desa; dan
9.      penyusunan rancangan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa.
  Seksi Urusan Umum sebagai unsur Sekretariat Desa yang membantu Kepala Desa di bidang urusan umum dan perlengkapan.  Secara organisasi Seksi urusan umum dipimpin oleh seorang Kepala Urusan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa. Kepala Bidang Urusan Umum dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh staf Desa sesuai kebutuhan dan kemampuan desa, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Urusan Umum.
          Kepala  Urusan Umum mempunyai tugas :
1.      melakukan urusan surat menyurat;
2.      melaksanakan pengelolaan arsip Pemerintah Desa;
3.      melaksanakan pengelolaan barang inventaris Desa;
4.      mempersiapkan sarana rapat/pertemuan, upacara resmi dan lain-lain kegiatan Pemerintah Desa;
5.      melaksanakan pengelolaan perpustakaan Desa;
6.      melakukan tugas-tugas kedinasan di luar urusan umum yang diberikan oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa; dan
7.      melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan.
            Kemudian seksi Urusan Umum mempunyai fungsi :
1.      pelaksanaan urusan tata usaha dan kearsipan pemerintah desa;
2.      pelaksanaan urusan barang inventaris desa;
3.      pelaksanaan urusan rumah tangga desa; dan
4.      pelaksanaan pelayanan administrasi kepada masyarakat desa.
            Seksi Urusan Keuangan adalah merupakan unsur Sekretariat Desa yang membantu tugas Kepala Desa dibidang keuangan.Urusan Keuangan dipimpin oleh seorang Kepala Urusan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa. Kepala Urusan Keuangan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Staf Desa sesuai kebutuhan dan kemampuan desa, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Urusan Keuangan.
          Seksi Urusan Keuangan mempunyai tugas :
1.      menyiapkan bahan penyusunan anggaran, perubahan dan perhitungan APB Desa;
2.      menerima, menyimpan, mengeluarkan atas persetujuan dan seizin Kepala Desa, membukukan dan mempertanggung-jawabkan keuangan Desa;
3.      mengendalikan pelaksanaan APB Desa;
4.      mengelola dan membina administrasi keuangan desa;
5.      menggali sumber pendapatan desa;
6.      melakukan tugas-tugas kedinasan di luar urusan keuangan yang diberikan oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa; dan
7.      melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan.
             Dalam melaksanakan tugas,maka seksi urusan Keuangan mempunyai fungsi :
1.      pelaksanaan penyusunan rancangan APB Desa;
2.      pelaksanaan penerimaan sumber pendapatan dan keuangan Desa;
3.      pelaksanaan pembukuan, perbendaharaan, dan pelaporan keuangan Desa;
4.      pelaksanaan pungutan desa; dan
5.      pelaksanaan penyusunan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa.
Seksi  Urusan Perencanaan adalah merupakan unsur Sekretariat Desa yang membantu tugas Kepala Desa dibidang perencanaan, pengendalian dan pelaporan program pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat Desa.Urusan Perencanaan dipimpin oleh seorang Kepala Urusan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa. Kepala Urusan Perencanaan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh staf Desa sesuai kebutuhan dan kemampuan desa, yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Urusan Program.
          Seksi Urusan Perencanaan mempunyai tugas :
1.      menyiapkan bahan penyusunan kebijakan dan program kerja pemerintahan desa;
2.      melaksanakan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program kerja pemerintahan desa secara rutin dan/atau berkala;
3.      menyusun pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan;
4.      melakukan tugas-tugas kedinasan di luar urusan program yang diberikan oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa;
5.      melaksanakan Musrenbang Desa;
6.      menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa;
7.      menyusun Rencana Kerja Pemerintahan Desa; dan
8.      melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan.
          Dalam melaksanakan tugas, maka Urusan Perencanaan mempunyai fungsi :
1.      penyusunan rancangan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa;
2.      penyusunan program kerja pemerintahan desa;
3.      penyusunan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan;
4.      penyelenggaraan musyawarah Desa;
5.      pengendalian dan evaluasi;
6.      penyusunan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa setiap akhir tahun anggaran;
7.      penyampaian dan penyebarluasan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat setiap akhir tahun anggaran; dan
8.      fasilitasi kesekretariatan BPD
    Seksi Pelaksana Teknis secara struktur organisasi, maka Pelaksana Teknis dipimpin oleh Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa.Kepala Seksi dapat dibantu oleh Staf Desa sesuai kebutuhan dan kemampuan desa, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Seksi.
        Seksi Pemerintahan adalah merupakan unsur pelaksana teknis yang membantu tugas Kepala Desa di bidang pemerintahan, keamanan, ketertiban dan perlindungan masyarakat.Seksi Pemerintahan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
        Seksi Pemerintahan mempunyai tugas :
·         merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan pemeliharan ketentraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat.
·         melaksanakan administrasi kependudukan;
·         melaksanakan administrasi pertanahan;
·         melaksanakan pembinaan sosial politik;
·         memfasilitasi kerjasama Pemerintah Desa;
·         menyelesaikan perselisihan warga; dan
·         melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Kepala Desa.
            Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Seksi Pemerintahan mempunyai fungsi :
·         penyusunan rencana dan pelaksanaan pemeliharaan ketentraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat;
·         penyusunan rencana dan pelaksanaan administrasi kependudukan;
·         penyusunan rencana dan pelaksanaan administrasi pertanahan;
·         penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan pembinaan sosial politik;
·         pelaporan dan pertanggungjawaban perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Seksi Pemerintahan;
·         fasilitasi kerjasama Pemerintah Desa; dan
·         penyelesaian perselisihan warga.
        Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan merupakan unsur pelaksana teknis yang membantu tugas Kepala Desa di bidang pembangunan. Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
         Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan mempunyai tugas :
1.      merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan pembangunan desa;
2.      mengelola sarana dan prasarana perekonomian masyarakat desa dan sumber-sumber pendapatan desa;
3.      mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai bidangtugasnya;
4.      mengembangkan sarana prasarana pemukiman warga;
5.      meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup; dan
6.      melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
       Dalam melaksanakan tugas Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan mempunyai fungsi :
1.      perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan program pembangunan desa;
2.      peningkatan kegiatan serta pengembangan sarana dan prasarana perekonomian desa;
3.      pendataan, pengolahan, dan peningkatan penghasilan tanah-tanah milik desa;
4.      peningkatan dan pengembangan sumber-sumber pendapatan desa;
5.      pengembangan sarana prasarana pemukiman warga;
6.      peningkatan peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkunganhidup; dan
7.      pengoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat desa sesuai bidang tugasnya.
         Seksi Kemasyarakatan adalah merupakan unsur pelaksana teknis yang membantu tugas Kepala Desa di bidang agama, pembinaan kemasyarakatan dan kesejahteraan rakyat. Seksi Kemasyarakatan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
  Seksi Kemasyarakatan mempunyai tugas :
1.      merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan pembinaan mental spiritual, keagamaan, nikah, talak, cerai dan rujuk, sosial, pendidikan, kebudayaan, olah raga, kepemudaan, kesehatan masyarakat, kesejahteraan keluarga, pemberdayaan perempuan danperlindungan anak;
2.      mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai bidang tugasnya; dan
3.      melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
·         Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Seksi Kemasyarakatan mempunyai fungsi :
1.      perencanaan dan mengaktifkan pelaksanaan kegiatan keagamaan;
2.      pelayanan administrasi nikah, talak, rujuk, dan cerai;
3.      perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di bidang sosial;
4.      perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pendidikan dan kebudayaan;
5.      perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di bidang pemuda, olahraga, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
6.      perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di bidang kesejahteraan dankesehatan masyarakat;
7.      pelaporan dan evaluasi kegiatan kemasyarakatan; dan
8.      pengoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai bidang tugasnya.
          Pelaksana Kewilayahan/Kepala Dusun dipimpin oleh seorang kepala pelaksana kewilayahan yang disebut Kepala Dusun, berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Desa melalui Sekretaris Desa.
         Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dusun berkedudukan di bawah Kepala Desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa dan kepala dusun mempunyai tugas :
1.      membantu pelaksanaan tugas Kepala Desa diwilayah Dusun;
2.      melaksanakan kegiatan dan administrasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta membina ketentraman dan ketertiban di wilayah Dusun;
3.      melaksanakan Peraturan Desa, Peraturan dan Keputusan Kepala Desa;
4.      melaksanakan pelayanan kepada masyarakat;
5.      menyampaikan informasi tentang ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku didesa dan di wilayah Dusun;
6.      memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Desa mengenai kebijakan dan tindakanyang akan diambil di bidang tugasnya; dan
7.      melaksanakan tugas lain yang diberikan Kepala Desa.
           Dalam melaksanakan tugas Kepala Dusun mempunyai fungsi :
1.      pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan;
2.      pelaksanaan peraturan desa, peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa;
3.      pelaksanaan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat;
4.      peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat;
5.      peningkatan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan;
6.      pelaksanaan keamanan, ketertiban dan perlindungan masyarakat;
7.      pelaksanaan pengembangan dan pembinaan kebudayaan; dan
8.      pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Kepala Dusun.
Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, Perangkat Desa mempunyai hak :
1.      menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah serta mendapat jaminan kesehatan;
2.      mendapatkan cuti; dan
3.      mendapatkan perlindungan hukum atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan.
       Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, Perangkat Desa mempunyai kewajiban :
1.      memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Repulik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
2.      mentaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
3.      melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, professional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas darikolusi, korupsi dan nepotisme;
4.      menjalankan kebijakan dan program pemerintahan desa;
5.      menjalin kerja sama dan koordinasi dengan sesama Perangkat Desa dan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
6.      menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik; dan
7.      memberikan informasi kepada masyarakat Desa.


2.3.5.Tata Kerja Perangkat Desa
            Kepala Desa dan Perangkat Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan berkewajiban melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Setiap pimpinan satuan organisasi Pemerintah Desa mengadakan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan fungsi dan tugasnya.Setiap pimpinan satuan organisasi melaporkan hasil pelaksanaan fungsi dan tugasnya kepada atasannya secara tertulis, rutin dan/atau berkala. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud di atas setiap pimpinan satuan organisasi Pemerintah Desa bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahannya serta memberikan bimbingan dan petunjuk-petunjuk bagi pelaksanaan tugas masing-masing. Sekretaris Desa mengoordinasikan pelaksanaan teknis administrasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Sekretaris Desa mewakili Kepala Desa apabila Kepala Desa sedang tidak ada di tempat atau berhalangan sementara.
            Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya, Kepala Desa bertanggung jawab memimpin dan memberikan bimbingan, petunjuk dan perintah serta melakukan pengawasan dan mengendalikan pelaksanaan tugas semua Perangkat Desa. Untuk kelancaran tugas, Kepala Desa mengadakan rapat koordinasi secara berkala. Setiap Perangkat Desa wajib membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas sesuai bidang ketugasan secara tepat waktu kepada atasannya.

2.3.6.Pengisian Perangkat Desa 
       Pengisian Perangkat Desa dilakukan melalui cara ujian tertulis. Sedangkan mekanisme  pengisian Perangkat Desa melalui tahapan :
1.      penjaringan;
2.      penyaringan; dan
3.      pengangkatan.
          Berkaitan dengan Penjaringan diatur Persyaratan Calon Perangkat Desa. Calon Perangkat Desa adalah penduduk Desa Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat sebagai berikut :
1.      bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.      memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
3.      berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
4.      berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun pada saat ujian tertulis;
5.      penduduk desa setempat untuk Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Kepala Seksi dan Staf atau penduduk dusun setempat untuk Kepala Dusun, yang terdaftar dan bertempat tinggalpaling kurang 1 (satu) tahun terakhir terhitung sebelum diterimanya berkas lamaran oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa yang dibuktikan dengan Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk dan atau Kartu domisili yang dikeluarkan oleh ketua RT/RW diketahui oleh Kepala Desa ;
6.      berkelakuan baik, jujur dan adil;
7.      tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara dengan hukuman badan atau hukuman percobaan;
8.      tidak sedang berstatus tersangka atau terdakwa karena tindak pidana kejahatan kesengajaan yang diancam dengan pidana penjara;
9.      tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.  tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
11.  sehat dibuktikan dengan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh RSUD atau Puskesmas;
12.  Perangkat Desa yang mendaftarkan diri untuk jabatan lain harus mendapatkan izin dari Pejabat yang berwenang dan mengundurkan diri dari jabatan/kedudukan semula apabila diangkat dalam jabatan yang lain;
13.  Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Kepala Seksi dan Staf sanggup bertempat tinggal diwilayah desa selama menjabat;
14.  Kepala Dusun sanggup bertempat tinggal di Dusun wilayah kerjanya selama menjabat; dan
15.  Bakal Calon Kepala Dusun harus mendapat dukungan dari warga Dusun yang mempunyai hak pilih 15 % (lima belas per seratus) atau usulan dari warga Rukun Tetangga/Rukun Warga berdasarkan musyawarah.
          Jika perangkat desa berasal dari Pegawai Negeri Sipil yang mencalonkan diri selain harus memenuhi persyaratan di atas, harus memperoleh Surat Izin dari Pejabat Pembina Kepegawaian dan atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati. Ketika diangkat menjadi Perangkat Desa, yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya selama menjadi Perangkat Desa tanpa kehilangan hak sebagai Pegawai Negeri Sipil.
          Tata cara Pengisian Perangkat Desa diatur dengan kegiatan Pembentukan Panitia Pengisian dengan ketentuan Paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Perangkat Desa yang bersangkutan, Kepala Desa memproses pengisian Perangkat Desa. Dalam rangka pengisian Perangkat Desa, Kepala Desa membentuk Panitia Pengisian Perangkat Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Panitia Pengisian Perangkat Desa sebagaimanadimaksud terdiri dari unsur Perangkat Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan unsur masyarakat dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :
1.      Ketua merangkap anggota;
2.      Sekretaris merangkap anggota;
3.      Bendahara merangkap anggota; dan/atau
4.      Anggota.
           Penentuan susunan Panitia Pengisian Perangkat Desa dilaksanakan dengan cara musyawarah mufakat secara proporsional dengan melibatkan lebih banyak peran sertamasyarakat. Jumlah Panitia Pengisian Perangkat Desa berjumlah ganjil dan paling banyak 7 (tujuh) orang. Penentuan kedudukan Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Anggota Panitia Pengisian Perangkat Desa dilakukan dengan musyawarah mufakat oleh anggota Panitia PengisianPerangkat Desa, dan apabila melalui musyawarah tidak dicapai mufakat/ kesepakatan, maka dilakukan dengan pemungutan suara. Untuk keperluan administrasi, Panitia Pengisian Perangkat Desa dapat menggunakan Cap/Stempel Panitia Pengisian Perangkat Desa.
          Adapun Tugas Panitia Pengisian Perangkat Desa adalah :
1.      mengumumkan kepada masyarakat mengenai adanya pengisian Perangkat Desa;
2.      menyusun jadwal waktu dan tempat proses pelaksanaan pengisian Perangkat Desa, dengan persetujuan Kepala Desa dan dikonsultasikan kepada Camat;
3.      menyusun RAB pengisian Perangkat Desa, dengan persetujuan Kepala Desa dan dikonsultasikan kepada Camat;
4.      menyusun tata tertib pelaksanaan pengisian Perangkat Desa dengan pertimbangan Kepala Desa dan dikonsultasikan dengan Camat;
5.      menerima pendaftaran Bakal Calon;
6.      melaksanakan penelitian persyaratan Bakal Calon;
7.      mengumumkan Calon kepada masyarakat;
8.      meneliti kebenaran keberatan masyarakat terhadap Calon;
9.      mengajukan Calon yang lolos atas keberatan masyarakat kepada Kepala Desa untuk ditetapkan sebagai Calon yang Berhak Mengikuti seleksi;
10.  menyelenggarakan seleksi bagi Calon yang berhak mengikuti;
11.  mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan pengisian Perangkat Desa;
12.  membuat berita acara hasil seleksi untuk disampaikan kepada Camat melalui Kepala Desa; dan
13.  melaporkan pelaksanaan pengisian Perangkat Desa kepada Kepala Desa.
            Pengajuan Permohonan diatur sebagai berikut penduduk yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Perangkat Desa mengajukan permohonan pendaftaran secara tertulis di atas kertas bermeterai cukup kepada Kepala Desa melalui Panitia Pengisian Perangkat Desa dengan melampirkan :
1.      Surat Pernyataan yang memuat :
2.      bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3.      setia dan taat kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
4.      sanggup berbuat baik, jujur, dan adil;
5.      tidak sedang menjalani pidana penjara dengan hukuman badan atau hukuman percobaan;
6.      tidak sedang berstatus tersangka atau terdakwa karena tindak pidana kejahatan kesengajaan yang diancam dengan pidana penjara;
7.      tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
8.      tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, atau pernyataan pernah menjalani pidana penjara yang diancam dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun atau lebihdan telah 5 (lima) tahun selesai menjalani pidana penjara serta mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada public bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
9.      sanggup mengundurkan diri dari jabatan lama apabila diangkat dalam jabatan baru, bagi Perangkat Desa; dan
10.  sanggup bertempat tinggal di wilayah desa setempat selama menjabat bagi Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Kepala Seksi dan Staf, atau Surat Pernyataan sanggup bertempat tinggal di wilayah Dusun setempat selama menjabat bagi Kepala Dusun.
11.  fotokopi/salinan ijazah paling rendah sekolah menengah umum atau sederajat yang dilegalisir pejabat berwenang;
12.  fotokopi/salinan akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir yang dilegalisir pejabat berwenang;
13.  fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang dilegalisir dan surat keterangan bertempat tinggal paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran dari Rukun Tetangga/ Rukun Warga di ketahui oleh Kepala Desa;
14.  fotokopi Kartu Keluarga (C1) yang dilegalisir;
15.  surat keterangan catatan kepolisian yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat;
16.  surat keterangan kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Rumah Sakit Umum Daerah atau Puskesmas ;
17.  pas foto, warna dan ukuran yang banyaknya sesuai kebutuhan;
18.  surat izin dari pejabat yang berwenang bagi perangkat desa ;
19.  surat izin dari pejabat pembina kepegawaian bagi pegawai negeri sipil; dan
20.  khusus Bakal Calon Kepala Dusun disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk warga yang mendukung atau Berita Acara musyawarah Rukun Tetangga/ Rukun Warga.
           Penduduk sebagaimana dimaksud di atas selanjutnya disebut Bakal Calon Sekretaris Desa, Bakal Calon Kepala Urusan, Bakal Calon Kepala Seksi, Bakal Calon Kepala Dusun atau Bakal Calon Staf.
            Pendaftaran Bakal Calon perangkat desa diatur dalam Jangka waktu pendaftaran dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari. Apabila dalam jangka waktu ditentukan belum mendapatkan Bakal Calon, maka jangka waktu pendaftaran diperpanjang untuk selama 7 (tujuh) hari.
             Penetapan Calon, maka Panitia Pengisian Perangkat Desa melakukan penelitian persyaratan administrasi masing masing Bakal Calon. Bakal Calon yang telah melalui penelitian danmemenuhi persyaratan administrasi oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa ditetapkan sebagai Calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan Calon.Nama-nama Calon selanjutnya diumumkan kepada masyarakat paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan untuk memberikan kesempatan masyarakat menilai masing-masing Calon.
             Penyampaian Keberatan terhadap Calon Penyampaian keberatan terhadap Calon yang ditetapkan oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa, disampaikan kepada Panitia Pengisian Perangkat Desa dengan menyebutkan identitas pengirim secara jelas, paling lambat 7 (tujuh) hari sejak penetapan Calon. Penyampaian keberatan setelah diteliti kebenarannya, dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Keberatan Masyarakat. Selanjutnya dibuat Berita Acara Penelitian Keberatan Masyarakat dan menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi Kepala Desa untuk menetapkan calon yang berhak mengikuti seleksi.
            Penetapan Calon yang Berhak Mengikuti Seleksi Panitia Pengisian Perangkat Desa mengusulkan calon kepada Kepala Desa dengan dilampiri berita acara penetapan calon dan/atau berita acara penelitian keberatan masyarakat untuk ditetapkan sebagai calon yang berhak mengikuti seleksi. Kepala Desa setelah menerima usulan panitiapengisian perangkat desa selanjutnya menetapkan calon yang berhak mengikuti seleksi dengan mempertimbangkan berita acara penetapan calon dan/atau berita acara penelitian keberatan masyarakat, yang dituangkan dengan Keputusan Kepala Desa.Keputusan Kepala Desa disampaikan kepada ketua panitia pengisian perangkat desa paling lambat 2 (dua) hari sebelum pelaksanaan ujian seleksi. Ketua Panitia Pengisian Perangkat Desa setelah menerima Keputusan Kepala Desa tentang penetapan calon yang berhak mengikuti ujian pada hari itu juga mengumumkan nama-nama calon yang berhak mengikuti seleksi.

2.3.7..Penyaringan Perangkat Desa
             Calon yang Berhak Mengikuti Ujian wajib mengikuti seleksi yang dilaksanakan oleh Panitia Pengisian Perangkat Desa. Pelaksanaan dituangkan dalam berita acara seleksi oleh panitia pengisian perangkat desa serta dapat dilengkapi tandatangan calon yang berhak mengikuti.
            Calon yang Berhak Mengikuti Ujian yang lulusdan memperoleh nilai tertinggi dituangkan dalam Berita Acara Penetapan Calon yang Lulus dan Memperoleh Nilai Tertinggi. Nama calon yang berhak mengikuti seleksi dan lulus diajukan kepada Kepala Desa dengan dilampiri berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

2.3.8.Pengangkatan  Perangkat Desa
              Untuk pengangkatan dibutuhkan rekomendasi Camat, oleh karena diatur sebagai berikut  Panitia Pengisian Perangkat Desa melaporkan hasil seleksi Pengisian Perangkat Desa kepada Kepala Setelah menerima laporan hasil seleksi pelaksanaan Pengisian Perangkat Desa kemudian Kepala Desa menyampaikan hasil seleksi Pengisian Perangkat Desa kepada Camat untuk mendapat penetapan dan rekomendasi.
             Camat memberikan rekomendasi dalam hal proses pengisian Perangkat Desa sudah sesuai ketentuan. Berdasarkan identifikasi Camat, apabila proses pengisian Perangkat Desa tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Camat tidak memberikan rekomendasi dan memerintahkan kepada Kepala Desa untuk melakukan proses pengisian ulang atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Rekomendasi tertulis Camat menjadi dasar Kepala Desa dalam pengangkatan Calon Yang Lulus untuk menjadi Perangkat Desa dengan Keputusan Kepala Desa.

2.3.9..Larangan dan Sanksi Perangkat Desa
            Perangkat Desa dilarang :
1.      merugikan kepentingan umum;
2.      membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
3.      menyalah gunakan wewenang, tugas, kewajiban, dan/atau haknya;
4.      melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
5.      melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa;
6.      melakukan tindakan makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara;
7.      melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
8.      menjadi pengurus partai politik;
9.      menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
10.  merangkap jabatan sebagai Ketua Lembaga Kemasyarakatan Desa, anggota BPD, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
11.  ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan Kepala Daerah, dan/atau pemilihan Kepala Desa;
12.  melanggar sumpah/janji jabatan;
13.  meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan; dan
14.  melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan dangan, bertentangan dengan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat atau melakukan perbuatan lain yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat.
          Sanksi terhadap perangkat desa berupa teguran Tertulis oleh Kepala Desa. Teguran dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu antara teguran satu dengan teguran lainnya paling cepat 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari. Apabila setelah teguran ke 3 dan apabila Perangkat Desa yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap perbaikan, Kepala Desa memberhentikan sementara Perangkat Desa yang bersangkutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak teguran ke 3 (tiga) diberikan. Dalam hal Perangkat Desa melakukan tindak pidana dan perkaranya telah diproses oleh aparat penegak hukum, maka Kepala Desa dalam memberikan sanksi tidak memerlukan teguran tertulis.
           Sanksi berikutnya Pemberhentian Sementara adalah Perangkat Desa yang berstatus tersangka dalam suatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dan/atau menjalani proses penahanan selama proses pemeriksaan perkara pidana, Kepala Desa memberhentikan sementara Perangkat Desa yang bersangkutan. Perangkat Desa yang diberhentikan  setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 10 (sepuluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Perangkat Desa, Perangkat Desa yang bersangkutan menyampaikan petikan putusan pengadilan kepada Kepala Desa.
              Kepala Desa merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Perangkat Desa yang bersangkutan sebagai Perangkat Desa sampai dengan akhir masa jabatannya paling lama 20 (dua puluh) hari sejak Kepala Desa menerima petikan putusan pengadilan. Jangka waktu selama menjalani pemberhentian sementara tetap diperhitungkan dalam masa jabatan Perangkat Desa. Apabila Perangkat Desa yang diberhentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, Kepala Desa harus merehabilitasi nama baik Perangkat Desa yang bersangkutan.
         Adapun Perangkat Desa berhenti karena :
1.      meninggal dunia;
2.      atas permintaan sendiri; atau
3.      diberhentikan
          Perangkat Desa diberhentikan karena :
1.      telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun;
2.      tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan;
3.      tidak lagi memenuhi syarat sebagai Perangkat Desa;
4.      melanggar sumpah/janji jabatan;
5.      tidak melaksanakan kewajiban sebagai Perangkat Desa;
6.      melanggar larangan dan/atau terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
            Pemberhentian Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat rekomendasi tertulis dari Camat. Kepala Desa menyampaikan usul pemberhentian Perangkat Desa kepada Camat untuk mendapat Camat wajib memberikan rekomendasi dalam hal proses pemberhentian Perangkat Desa sudah sesuai ketentuan peraturan perundang Berdasarkan identifikasi Camat, apabila proses pemberhentian Perangkat Desa tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Camat tidak memberikan rekomendasi. Rekomendasi tertulis Camat menjadi dasar Kepala Desa dalam pemberhentian Perangkat Desa dengan Keputusan Kepala Desa. Kepala Desa menetapkan Keputusan Kepala Desa tentang Pemberhentian Perangkat Desa paling lambat 12 (dua belas) hari sejak dikeluarkannya rekomendasi tertulis dari
            Selanjutnya Perangkat Desa yang melakukan tindak pidana dan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat tidak diberhentikan oleh Kepala Desa apabila amar putusan pengadilan menetapkan :
1.      hukuman kurungan yang dijatuhkan oleh hakim diputus kurang dari 3 (tiga) bulan; dan/atau
2.      hukuman yang dijatuhkan oleh hakim berupa hukuman percobaan.
Berdasarkan pemetaan tentang perangkat desa diatas jelas memberikan gambara, bahwa perangkat desa adalah ujung tombak kepala desa, oleh karena itu menurut penulis perlu untuk peningkatan kapasitas dan profesionalitas, karena saat ini perhatian pemerintah sangat respon terhadap pemberdaan masyarakat desa.
Untuk itu pengembangan Perangkat Desa Desa sebagai organisasi pemerintah dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena memiliki tugas yang berat, organisasi pemerintah harus dipimpin dan diisi oleh ssumber daya manusia terpilih yang memiliki semangat yang tinggi, komitmen yang utuh, dan kompetensi yang mumpuni untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan (Lembaga Administrasi Negara RI, 2009).
Berangkat dari realitas tersebut masih banyaknya perangkat desa yang kompetensinya masih kurang memadai akibat prasyarat pendidikan dan kurangnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada para perangkat desa, maka dalam rangka implementasi Undang-undang Desa, yang memberikan kewenangan cukup besar kepada pemerintahan desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan, perlu adanya upaya-upaya peningkatan kualitas perangkat desa sebagai sumber daya manusia agar mampu melaksanakan tugas-tugas yang diemban pemerintah desa dengan baik.
Dalam ilmu manajemen personalia upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia disebut pengembangan karyawan. Tujuan pengembangan karyawan adalah untuk memperbaiki efektifitas kerja karyawan dalam mencapai hasil-hasil kerja yang telah ditetapkan (Heidjarachman & Suad Husnan, 2008).
Perangkat desa yang kurang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang bidang tugasnya akan mengalami kesulitan dan kelambatan dalam bekerja, berakibat pada pemborosan bahan, waktu dan biaya. Pengembangan perangkat desa merupakan keharusan yang harus dilakukan secara terus-menerus, mengikuti perkembangan masyarakat, kemajuan teknologi, dan bertambahnya tugas serta wewenang yang harus diemban. Ada beberapa cara pengembangan perangkat desa sesuai kekurangan dan kebutuhannya, yaitu:
1. Meningkatkan tingkat pendidikan Peningkatan tingkat pendidikan dilakukan bagi para perngkat desa yang berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perangkat desa yang belum tamat pendidikan setingkat SMA diwajibkan menempuh pendidikan melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket B dan Paket C. Biaya yang diperlukan untuk pendidikan bisa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) baik seluruhnya maupun sebagian yang diberikan dalam bentuk bantuan pendidikan. Bahkan apabila mampu perangkat desa yang telah berpendidikan setingkat SMA juga diharapkan menempuh Pendidikan Tinggi agar bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan masyaarakat yang dilayaninya.
2. Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) diselenggarakan oleh lembaga khusus yang bertugas mengembangkan aparatur pemerintah. Diklat sangat diperlukan bagi semua perangkat desa baik yang baru diangkat maupun yang sudah lama bekerja agar dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan bidang tugasnya. Pelaksanaan Diklat bisa secara bertahap setiap tahun, misalnya pada tahun pertama dilakukan Diklat bagi Kepala Urusan Tata Usaha, tahun kedua bagi Kepala Urusan Keuangan, dan seterusnya hingga semua perangkat desa mendapat kesempatan mengikuti Diklat. Biaya Pendidikan dan Pelatihan bisa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten atau dianggarkan oleh masing-masing desa dalam APBDes.
3. Kursus atau In House Training Kursus adalah proses pendidikan yang dilakukan pada suatu lembaga pendidikan ketrampilan. In House Training adalah pelatihan yang dilakukan bagi karyawan di tempat kerjanya dengan cara mengundang pelatih yang professional. Bagi perangkat desa yang memiliki tugas khusus namun belum memiliki keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan bidang tugasnya maka perlu diberi kesempatan mengikuti kursus. Seorang kepala atau staf urusan keuangan yang belum memiliki keahlian di bidang keuangan maka diharuskan mengikuti kursus akuntansi. Demikian juga bagi perangkat desa yang belum mampu mengoperasionalkan komputer atau teknologi informasi diharuskan mengikuti kursus komputer atau mengikuti in house training bersama-sama perangkat lainnya. In house training adalah pelatihan perangkat desa yang dilakukan di tempat kerja dengan mengundang pelatih/pembimbing profesional dari luar instansi. Biaya kursus dan in house training bisa dianggarkan dalam APBDes.
4. Pengembangan Sistem Seleksi Perangkat Desa Untuk mendapatkan perangkat desa yang berkualitas tentunya diperlukan sistem seleksi yang baik, yang memungkinkan mendapatkan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan sesuai bidang tugas yang akan diberikan. Untuk mendapatkan seorang Kepala Urusan Keuangan misalnya, maka disyaratkan bagi pelamar dari lulusan SMK program keaahlian akuntansi atau lulusan SMA/MA yang memiliki ijazah ketrampilan akuntansi. Sistem seleksi secara umum ada beberapa metode yang lazim dipergunakan, antara lain: a. Penelusuran berkas lamaran b. Ujian tertulis c. Ujian praktek d. Wawancara e. Pemeriksaan kesehatan Seleksi yang hanya menggunakan metode ujian tertulis sangat lemah dan menyesatkan karena hanya menghasilkan sumber daya manusia yang pandai dalam pengetahuan tapi belum tentu memiliki keahlian/ketrampilan dan kepribadian sesuai yang diperlukan.
           Dengan demiian dalam perekrutan perangkat lebih dibutuhkan orang yang memilki keahlian/ketrampilan dan dedikasi dibanding kepandaiannya. Dalam seleksi perangkat desa lima metode ini bisa dipergunakan secara bersama-sama asalkan petugas seleksi yang ditunjuk betul-betul bersifat obyektif sehingga tidak menimbulkan masalah. Agar obyektif maka perlu dipisahkan antara Panitia Seleksi dengan Tim Seleksi. Panitia Seleksi sebaiknya berasal dari unsur lembaga desa dan tokoh masyarakat yang umumnya memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dalam memajukan desanya. Tim Seleksi sebaiknya berasal dari lembaga professional seperti Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Sekolah (SMK/SMA/MA), atau Lembaga Pendidikan Ketrampilan (kursus) yang terakreditasi . Tim seleksi ini ditunjuk oleh Panitia Seleksi dengan system kontrak kerja. Agar lebih terjamin obyektifitasnya maka lembaga yang ditunjuk berasal dari luar desa yang bersangkutan dan dirahasiakan.



»»  Baca Selengkapnya...