Rabu, 07 Mei 2014

MENELUSURI PAHAM POSITIVISME HUKUM DAN TEORI HUKUM MURNI


MENELUSURI PAHAM POSITIVISME HUKUM DAN TEORI HUKUM MURNI

Oleh Turiman Fachturahman Nur

         1.   Latar Belakang
          Patut dicatat bahwa tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri dari para ahli hukum.
          Pada hakekatnya teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
          Pada sisi yang demikian itu, maka sebenarnya teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
          Secara historis faktanya, bahwa teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik.
          Patut dipahami, bahwa para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum.
          Jika kita telusuri, bahwa teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
          Catatan munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
          Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.
          Sejarah mencatat, bahwa pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).
          Pada perkembanghan selanjutnya muncul teori hukum murni ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada.
          Ini artinya sebenarnya teori hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
          Titik kunci dari teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral. Salah satu peletak dasarnya adalah Hans Kelsen (1881-1973), adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).

          2 .   Rumusan Masalah
     1.    Bagaimana teori Positivisme dalam aliran filsafat hukum?
     2.    Bagaimana teori hukum murni dalam aliran filsafat hukum?
     3.  Bagaimana Pengaruh Paham Positivisme Terhadap Ilmu Hukum ?

3.Teori Positivisme
3.1.Pelopor Teori Positivisme
            Sebagaimana kita ketahui oleh para penstudi hukum, bahwa Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. liran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak.
           August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
           Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
          Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
          Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
         Aliran hukum positivistik banyak dianut oleh beberapa sistem kum di beberapa Negara.  Aliran hukum postitifistik ketika diterapkan banyak disebut sebagai hukum positif atau ada juga yang meyebutnya sebagai hukum murni, misalnya Kelsen.Kata positivism sendiri kemungkinan pertama kali diunakan untuk menggambarkan suatu ide bahwa hukum adalah positif atau berdasarkan pada fakta, sebagai lawan dari alamiah yaitu diturunkan dari hukum alam atau moralitas.
          Dapat dikatakan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukum positif menolak penentuan hukum yang berdasarkan pada perintah Tuhan. Namun juga perlu diketahui, Indonesia tidak sepenuhnya kaku menjadikan aliran ini berlaku dalam sisitem hukum kita, sehingga tidak mengakomodir aliran hukum lainnya. Ambil contoh Indonesia mengakomodasi hukum Islam untuk kasus-kasus tertentu yang ditangani oleh Pengadilan Agama dan juga hukum adat.
         Selain itu, perkembangan politik di Indonesia menjadikan hukum negara sangatlah dinamis dan plural seiring dengan keterbukaan dan demokrasi di negara kita. Essai ini akan berupaya menggambarkan mengenai apa itu hukum positive dan perkembangannya. Hal ini dimaksudkan guna–jika dirasa bermanfaat– mempermudah dalam pembacaan fenomena hukum positif di Indonesia khususnya.
            Hukum positivistik sebagai aliran hukum yang berlaku mempercayai bahwa sumber-sumber hukum yang sah adalah aturan-aturan tertulis, Ketetapan-ketetapan dan prinsip-prinsip yang telah diperundangkan, diadopsi dan diakui oleh pemerintahan yang berlaku atau institusi politik termasuk lembaga-lembaga admnistratif, legislative dan yudikatif.
           Pertanyaan mendasar mengenai pembahasan terhadap aliran hukum ini adalah apakah itu hukum dan bagaimana hukum ditetapkan sehingga memiliki kewenangan. Tulisan ini akan mencoba menerangkan mengenai aliran hukum positivistik dimulai dari pengertian hukum positivistik, dan perkembangannya.

3.2     Sejarah Kemunculan Teori Positivisme
          Secara historis sebenarnya sebelum Abad Ke-18 Pikiran Berkenaan Dengan Positivisme Hukum Sudah Ada, Tetapi pemikiran itu baru menguat setelah lahirnya negara-negara modern.
          Di sisi lain, pemikiran positivisme hukum juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dari pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat disibukkan dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak dan positivisme hukum seringkali dilihat sebagai aliran hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama. Bahkan tidak sedikit pembicaraan terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers), hukum hukum itu identik dengan undang-undang.
          Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.

3.4     Kajian Pandangan Teori Positivisme Terhadap Positivisme Hukum
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang.
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk dalam aliran ini ajaran Analytical Jurisprudence yang dikemukakan oleh John Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut: ”Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a members of some independent political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang tertinggi.
Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.
Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai  suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati hukum tersebut.
Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang  berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang  de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.
Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Hukum bersifat non optional. Karena itu, Austin menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum.
Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah absurd, karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian Austin, mengontrol perilaku masyarakat adalah fungsi utama hukum. Dalam arti ini, sebetulnya Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai alat kontrol sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum tertuma sebagai hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak perintah hukum yang bersumber pada kedaulatan penguasa. Dalam arti ini, pandangan hukum Aquinas lebih lunak dibandingkan dengan pandangan Austin.
Hukum sebagai perintah, menurut Austin, memuat dua elemen dasar yaitu sebagai berikut:
1.    Hukum sebagai perintah mengandung pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Karena itu, keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan, yakni bahwa “pihak yang terkena hukum harus menanggung akibat yang tidak menyenangkan atau membahayakan dari yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang berlaku.” Dengan demikian, hukum dalam arti perintah yang mengungkapkan keinginan penguasa pada dasarnya memuat ancaman hukuman bagi siapa pun yang berada di bawah hukum yang berlaku.
2.   Bahwa hukum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah dengan sendirinya terikat, wajib berada dibawah keharusan untuk melakukan apa yang diperintahkan. Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa subjek yang terkena perintah mendapat sanksi hukum
          Kemudian Austin mengungkapkan dua pembedaan besar berkaitan dengan hukum yaitu sebagai berikut:
1.    Hukum Tuhan
     Adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk ciptaan-Nya. Hukum ini merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.
2.    Hukum manusia
     Adalah hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Hukum manusia ini dibedakan menjadi 2 yaitu:
1)   Hukum yang sebenarnya (properly so called). Hukum ini sebagai superior politik atau dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh otoritas politik.
2)   Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai yang memiliki otoritas politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini mencakup oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi, misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
          Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut:
1.   Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
2.   Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya.

                 3.5.   Kritikan Terhadap Austin Tentang Teori Perintah (Teori Positivisme).
          Catatan kritis terhadap konsepsi Austin tentang teori perintah mendapat kritikan antara lain oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apabila hukum hanya dipahami sebagai perintah, sementara perintah selalu dikaitkan dengan keinginan dan sanksi.

           1.    Kritikan dari Hans Kelsen
          Sebagaimana dikutip oleh Murphy dan Coleman sepakat bahwa sanksi memang penting dalam hukum. Perintah sebagai hukum harus memiliki kemampuan memaksa. Meskipun begitu, bagi Kelsen, konsep sanksi bukanlah suatu yang esensial untuk memberi status bagi perintah. Menurutnya sanksi hukum hanya relevan dalam konteks hukum pidana (criminal law) tetapi tidak pada jenis hukum lainnya. Apabila konsep sanksi dipaksakan menjadi esensi hukum, aka hukum direduksi menjadi hukum pidna. Padahal disamping hukum pidana masih terdapat hukum perdata (private law).

2.  Kritikan dari H.L.A Hart
          Kritik yang cukup penting diberikan oleh H.L.A Hart terhadap  pemikiran Austin. Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan dalam teori Austin, menurut Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat hukum sebagai emanasi atau jelmaan diri dari penguasa absolut. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Hukum harus memiliki keberlangsungan hukum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu. Hukum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal continuity). Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu, dalam hal ini penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum ketika yang bersangkutan meninggal dunia.
2)   Hukum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai jelmaan keinginan penguasa, tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada hukum yang berlaku. Teori kedaulatan Austin tidak tegas membuka kemungkinan bagi penguasa untuk tunduk pada hukum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori kedaulatan Austin menciptakan problem of self-limitation karena tidak mudah seorang penguasa memerintah dirinya sendiri. Tentu saja ini membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa.
3)   Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “konsep berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”. Menurut Hart tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being forced) mengikuti kemauan adalah dua hal yang berbeda. Bertolak dari kritik ini Hart membangun teorinya dengan merujuk bahwa validitas hukum tidak pada individu atau kelompok individu yang berdaulat, melainkan pada sistem. Hukum tidak bergantung pada orang tetapi pada sistem (Lembaga peraturan).

               4.     Teori Hukum Murni
                 4.1   Pelopor Teori Hukum Murni
          Hans Kelsen (1881-1973), adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).
                
                 4.2   Kajian Terhadap Pandangan Teori Hukum Murni
          Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
          Teori hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
          Dapat digambarkan bahwa antara abad 19 dan 20, kemurnian suatu ilmu pengetahuan menjadi sesuatu hal yang sudah tidak ideal lagi, hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya yurisprudensi-yurisprudensi dimana di dalam yurisprudensi-yurisprudensi tersebut banyak dipengaruhi oleh banyak hal-hal lainnya seperti unsur psikologi dan biologi yang ada pada waktu itu, sehingga di dalam keadaan seperti itu untuk menemukan suatu ilmu hukum yang murni merupakan suatu hal yang sulit untuk didapatkan.
          Teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral. Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya dikarenakan norma tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang yang dilahirkan melalui suatu prosedur hukum dan hal ini berlakuk sebagai suatu hukum yang positif.
          Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
          Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
          Teori hukum murni ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum.
          Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
          Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :
1.    Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2.   Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3.    Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4.    Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5.    Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6.    Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
          Pada dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu:
1.    Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.    Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm  yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm  memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.    Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
          Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
          Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada, apakah dalam bentuk tertulis, atau sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
          Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.  

               5. Memahami  Pengertian Hukum Positivistik 
           Hukum positivistik adalah suatu aliran dalam filsafat hukum dan yurisprudensi. Hukum positivistik memberikan penekanan pada hukum yang berasal dari konstruksi sosial. Artinya hukum dipandang sebagai sesuatu yang berada diluar diri manusia yang berlaku obyektif memaksa manusia untuk menyesuaikan perilakunya.
          Menurut hukum positivistik, hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi atau dianggap sebagai hukum umum yakni hukum yang dikembangkan oleh hakim melalui ketentuan-ketentuan dalam pengadilan.
Hukum positivistik adalah filsafat hukum yang berargumen bahwa setiap dan seluruh hukum-hukum tidak lebih dan tidak kurang merupakan suatu ekspresi kehendak dari lemabaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuatnya. Oleh sebab itu dari perspektif positivistik, ini dapat dikatakan bahwa aturan-aturan atau hukum-hukum yang sah dapat valid bukan karena mereka berasal dari hukum moral atau hukum alam, melainkan karena aturan-aturan itu dibuat oleh kekuasaan yang memiliki wewenang yang sah dan dapat diterima oleh masyarakat.
          Menurut Ensiklopedia Stanford, hukum positifistik memiliki pandangan bahwa eksistensi dari hukum tergantung pada fakta sosial dan bukan atas dasar nilai-nilai hukumnya. Secara sederhana, hukum memberi penekanan terhadap perbuatan/tindakan berdasarkan legal dan tidak legal bukan pada baik dan buruknya. Meski begitu, pandangan ini tidak berbicara bahwa nilai-nilai dalam hukum tidak penting, tidak dapat dipahami atau dikesampingkan dalam pembahasan filsafat hukum. Melainkan bahwa nilai-nilai dalam hukum tersebut tidak menentukan apakah hukum-hukum atau sistem hukum tersebut hadir.[1]
         Aliran hukum positif tidaklah memasukkan suatu justifikasi ethic (prinsip-prinsip moralitas), juga bukan keputusan untuk atau terhadap kepatuhan hukum. Aliran positivistik tidak menilai hukum dari pertanyaan pertanyaan tentang keadilan atau humanitas, melainkan dari bagaimana cara hukum-hukum itu dibuat. Hal ini termasuk pada pandangan bahwa hakim membuat hukum baru untuk memutuskan kasus yang tidak jelas pada sebuah aturan hukum. Melakukan, memutuskan atau mempertahankan praktek-praktek tertentu dari hukum dapat dianggap sebagai jalan atas pembuatan hukum.
           Pertanyaan “apa itu hukum” adalah pertanyaan esensial dari aliran positivistik. Jawaban mengenai pertanyaan itu merujuk pada hal-hal yang bersifat empiris yaitu pada fakta yang dapat diterima secara obyektif. Hukum yang secara empiris jelas adalah hukum tertulis yang sudah melalui proses pembahasan hingga pengundangan.  Menurut aliran ini, Hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari kewenangan yang formal atau informal berasal dari lembaga yang berwenang untuk itu, atau lembaga pemerintahan yang tertinggi, dalam suatu komunitas politik yang independen.[2]
          Berangkat dari berbagai pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa aliran hukum positivistik memandang hukum dari suatu fakta bahwa hukum itu jelas ada (tertulis) yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang memiliki wewenang untuk dapat menetapkannya, bukan hukum yang berdasarkan pada perintah ketuhanan, akal dan pikiran atau bahkan hak asasi manusia. Dengan begini sebetulnya aliran positivistik menutup kemungkinan pembahasan hukum melalui pertanyaan-pertanyaan sosiologis maupun melalui penafsiran terhadap hukum dengan metode hermeneutik.
          Paparan ini selanjutnya akan menguraikan mengenai perkembangan aliran ini dalam filsafat hukum, termasuk tokoh-tokoh yang mempeloporinya. Pertanyaan selanjutnya yang akan dibahas pada paparan kajian ini adalah mengapa hukum postif diperlukan.

5.1.  Perkembangan Teori dalam Aliran Hukum Positivistik: Dari Austin ke Hart
          Hukum positivistik dalam perkembangannya memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat luas. Aliran ini merupakan turunan dari filsafat politik kuno yang sudah lama dibahas, diperkenalkan dan diterapkan sampai abad pertengahan. Namun perkembangan politik modern telah mengubah hampir keseluruhan, masih sedikit menyisakan doktrin filsafat politik klasik. Perkembangan aliran hukum positivistik hingga abad pertengahan berakar dari berbagai macam pemikiran, seperti filsafat politik Hobbes dan Hume, berakar pada pemikiran Jeremy Bentham terhadap gagasannya mengenai hukum dan kekuasaan yang diadopsi, dimodifikasi dan dipopulerkan oleh Austin.
          Namun hingga pertengahan abad ke 20, ide-ide hukum klasik sudah mulai kehilangan pengaruhnya terhadap para filosof hukum. Pemikiran pada abad modern mengganti kekuasaan hukum pada kekuasaan legislative dengan lebih fokus terhadap institusi-institusi yang mengaplikasikan hukum seperti pengadilan-pengadilan. Dan penekanan pemikiran modern itu memberikan jalan terhadap perkembangan teori yang memberi tekanan pada karakter hukum yang sistematik dan normative .
          John Austin (1790-1858) berargumen bahwa ciri-ciri yang  jelas secara prinsip dari sebuah sistem hukum adalah hadirnya kekuasaan yang dipatuhi oleh kebanyakan orang dalam masyarakat.[3] Hukum baginya merupakan perintah (Command) dari pihak yang berkuasa (Sovereign) dan memiliki terhadapnya memiliki wewenang untuk mengeluarkan sangsi. Austin berpendirian bahwa orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command, dianggap berpijak bahwa command merupakan pelaksanaan dari kekuasaan.  Oleh sebab itu menurutnya, setiap hukum yang dibuat oleh kekuasaan berarti sifat hukum tersebut adalah tertinggi atau berdaulat penuh.[4]
         Pendapat Austin tersebut menimbulkan implikasi yakni bahwa apapun bentuknya sesuatu kekuasaan berhak untuk membuat, menentukan dan menegakkan hukum. Kekuasaan bisa dalam artian Negara modern yang terdiri dari eksekutif maupun yudikatif, bisa juga bentuk kekuasan teokrasi yang pemimpinnya mendapatkan legitimasi ke-Tuhanan. Selain itu kekuasaan (sovereign) bersifat paling tinggi, akibatnya  rakyat atau anggota masyarakat yang berada di bawah kekuasaan itu harus tunduk dan patuh terhadap institusi tersebut.
            Namun bagaimanapun juga pendapat Austin tersebut mengandung berbagai kelemahan. Perdebatan yang mendasar pada teori Austin diatas adalah cocok atau tidaknya teori tersebut diaplikasikan pada suatu tatanan masyarakat yang plural dengan demokrasinya. Padahal pada faktanya tidak ada identifikasi terhadap sovereignty (kekuasaan) pada sebuah negara demokrasi. Di Indonesia contohnya, kekuasaan politik tertinggi berada di tangan rakyat yang memilih para pembuat hukum baik legislative maupun eksekutif untuk dapat mewakili kepentingan mereka.
           Baik legislative maupun eksekutif itu memiliki kekuasaan untuk memaksa perilaku masyarakatnya Namun legislative, misalnya, harus tunduk dan berperan sebagai pelayan rakyat. Namun Eksekutif yang dipilih oleh rakyat bukannya tunduk pada rakyat namun patuh dan berada pada pengawasan Legislatif.
           Problem kedua dari pandangan Austin adalah kekuasaan dari otoritas para pembuat hukum tidak memiliki kemampuan untuk membatasi hukum yang dibuatnya. Pada pandangan Austin, kekuasaan tidaklah secara legal dibatasi karena tidak ada seorang pun atau lembaga apapun yang dapat memaksa dirinya sendiri. Namun begitu di negara demokrasi, hukum yang dibuat oleh Legislative ternyata dapat membatasi perilaku orang-orang yang duduk di Legislative.
           Pandangan John Austin mengenai hukum yang bersifat imperative ini mengandaikan pada dua hal. Pertama, ini bersifat monistik yaitu mengandaikan bahwa semua hukum-hukum sebagai satu bentuk, membebankan kewajiban-kewajiban pada subyek hukum-hukum itu, meskipun bukan pada kekuasaan itu sendri. Kedua, hal ini bersifat reduksionis yang hanya menggunakan bahasa-bahasa perintah dari kekuasaan legislative tertinggi dan sebaliknya mengesampingkan perintah-perintah yang secara normative di luar dari kekuasaan legislative.[5]
           Hans Kelsen (1881-1973) memberi kontribusi yang penting dalam teori hukum positive. Pandangannya dimulai dengan melihat pada perdebatan antara filsafat Kantian dan Postivisme sehingga mendasari pemahamannya mengenai apa itu hukum. Satu phrase yang terkenal dari filsafat Kantian adalah das ding an sich yaitu benda ada pada dirinya sendiri. Persoalan akan dimulai ketika terjadi struktur a priori terhadap suatu benda.
           Konsep mengenai benda  itu sudah ada dalam diri pengamat ketika ia mengamati obyek benda tersebut. Dari sini muncul dualisme terhadap benda tersebut, yakni numenal dan fenomena. Numenal ada pada diri si pengamat, sedangkan fenomenal ada pada diri benda itu sendiri.  Jika demikian adanya, maka pemahaman terhadap suatu obyek itu bisa jadi berbeda antara pengamat satu dengan lainnya, hal ini akan menimbulkan berbagai kerancuan, dan sulit untuk menemukan obyektifitasnya. Oleh sebab itu pemikir positivist menolak kerancuan ini dan menganggap hakikat itu ada dalam fenomena itu sendiri.[6]
          Kelsen mencoba memasukkan sejarah perdebatan itu untuk melihat subyek hukum. Ia mulanya mengatakan bahwa hukum tidak dapat muncul dari fenomena atau fakta. Hukum hadir secara imputative, dimasukkan dari subyektifitas orang-orang yang berbeda yang kemudian disatukan. Namun ketika itu sudah menjadi kodifikasi maka suatu hukum dapat menjadi subyek di mana orang-orang yang membentuknya harus tunduk terhadap hukum yang dibuatnya. Hal ini menegaskan bahwa hukum sudah ada pada dirinya sendiri. Menurutnya, ketika sudah membicarakan suatu hukum maka tidak penting lagi mempersoalkan hukum hukum itu dibuat, melainkan biarkan hukum itu sendiri berbicara mengenai dirinya, inilah yang dikatakannya sebagai hukum murni. Ia mengatakan:
           Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif. Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berpaya menjawab pertanyaan apa itu hukum, bagaimana keberadaanya, bukan bagaimana ia semestinya ada….Ia disebut teori hukum murni lantara ia hanya menjelaskan hukum dan berpaua membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkutan dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkanilmu hukum dari unssur-unsur asing. Inilah landasan metodologis dari teori ini.[7]
             Hans Kelsen mempertahankan pandangan imperativalist monism a-la Austin namun meninggalkan pandangan reduksionismenya. Bentuk setiap hukum adalah dari ketentuan bersyarat, diarahkan pada pengadilan, dan menjatuhkan sanksi pada perilaku tertentu dengan menggunakan delik. Pada pandangan ini, hukum adalah sebuah sistem panduan secara tidak langsung: ia tidak memberitahu subyek apa yang harus dilakukan; ia memberitahu petugas hukum mengenai apa yang harus dilakukannya untuk subyek di bawah kondisi tertentu.
            Jadi, apa yang biasa kita anggap sebagai kewajiban hukum untuk tidak mencuri adalah, bagi Kelsen hanyalah logis ketika memiliki korelasi dengan norma primer yang menetapkan sanksi terhadap pencuri. Meskipun sebagian menganggapnya sebagai fakta penting namun tidak demikian dalam hukum murni, seperti gunanya punya larangan pencurian. (Pengadilan memperdulikan antara, di satu sisi, orang tidak mencuri dan, di sisi lain, mencuri dan menderita sanksi.)
            Kontribusi Kelsen yang paling penting terletak dalam serangannya terhadap reduksionisme. Dia berpendapat hukum adalah normatif dan harus dipahami dengan cara demikian. Hal ini mungkin tidak membuat kewenangan – bahkan hak hukum – sehingga filsafat hukum harus menjelaskan fakta bahwa hukum diambil untuk memaksakan kewajiban pada subjeknya.
            Selain itu, hukum adalah sistem normatif: “Hukum tidak, seperti yang kadang-kadang dikatakan, sebuah aturan. Ini adalah satu set aturan dimana memiliki semacam kesatuan yang dapat kita sebut sistem“.[8] Pandangan imperativalisnya Austin menilai kesatuan sistem hukum terdiri dari semua hukum yang diperintahkan oleh satu badan yang berberdaulat. Namun bagi Kelsen, seperangkat sistem hukum tersebut terdiri, pada kenyataan bahwa mereka semua berhubungan dalam satu rantai otoritas, bahkan memiliki otoritas itu sendiri.
             Dari dua pendapat baik itu Bentham-Austin dan Kelsen nampak jelas perbedaannya. Kewenangan atau daulat bagi Kelsen terletak pada diri hukum itu dan bagaimana seperangkat hukum tersebut dapat melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar kedaulatan pada hukum itu sendiri tetap memiliki kekuatan hukumnya meski terjadi suatu perubahan sosial yang berakibat pada pergeseran suatu pemerintahan. Jikapun terjadi perubahan pada seperangkat hukum maka harus melalui mekanisme-mekanisme yang tetap merujuk pada hukum yang secara sah berbicara mengenai perubahan itu. Pendapat itu juga diperkuat oleh Hart yang akan dibahas kemudian.  Sementara kedaulatan hukum menurut Austin yang imperative itu ditentukan oleh kedaulatan dari pemerintahan itu sendiri. Maka mungkin saja bisa jadi, ketika pemerintahan itu mengalami perubahan, hukum itu sendiri dengan sesegera mungkin juga dapat berubah.
             Contoh yang paling dapat terlihat adalah pada kasus di Indonesia. Manakala terjadi pergeseran pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi, tidak serta merta membawa seluruh perubahan hukum yang dibuat di masa Orde Baru. Jika-pun dirasa perlu ada perubahan hukum di Era Reformasi (seperti amandemen UUD tentang pemilihan presiden) harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang terdapat pada sepertangkat Undang-undang dasar itu sendiri. Dalam perspektif Kelsenian misalnya, lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengubah undang-undang adalah sebenarnya lembaga yang diberikan kewenangan oleh aturan tertinggi undang-undang dasar (first constitution)
             Intinya bahwa kekuasaan hukum itu ada pada hukum sendiri, pertanyaan selanjutnya ketika dalam sistem ketatanegaraan misalnya, banyak hukum-hukum yang lainnya, maka siapakah yang paling memiliki kewenangan? Padahal secara teoritis, sebenarnya mungkin saja satu hukum bersumber dari sumber hukum yang lainnya. Untuk menghindari kerancuan ini,  Kelsen mengajukan suatu pemikiran terhadap apa yang ia sebut sebagai norma dasar (grundnorm).
            Maksud daripada norma dasar itu sendiri adalah sandaran dari setiap hukum-hukum atau norma-norma yang banyak itu. Norma dasar bersifat ekstra legal (ditetapkan sebagai hukum yang paling tinggi secara fungsional) dan tidak bersandar pada norma-norma atau hukum-hukum lainnya sebaliknya mereka bersandar terhadap grundnorm itu. Oleh sebab itu, kita dapat melihat bahwa tatanan hukum itu bersifat hierarkhis dari atas ke bawah. Hierarki yang berada di atas disebutnya sebagai konstitusi dan yang lain menjadi sub-sistem.
            Jika kita merefleksikan sejenak apa yang dimaksudkan oleh Kelsen sebagai grundnorm itu di Indonesia, kita akan mendapati itu sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Hierarkhi hukum Kelsenian masih bisa nampak dalam tata urutan perundangan di Indonesia, karena Indonesia secara historis telah menetapkan UUD’45 sebagai dasar Negara atau dalam bahasa Young sebagai “single canonical Constitution”.[9]
           Namun bagaimana dengan negara yang sementara tidak menetapkan atau bahkan tidak memiliki ‘single canonical Constitution” itu? Seperti Kanada misalnya, konstitusi Kanada tahun 1982 sebenarya dibuat berdasarkan Akta Parlemen Inggris. Padahal teori Kelsenian mengandaikan setiap hukum harus mendasarkan dirinya pada satu norma dasar. Sedangkan di Inggris tidak ada penetapan sebagai “single canonical Constitution”.  Selain itu, Kanada juga tidak mengikatkan dirinya ada hukum di Inggris. Dari kasus inilah teori Kelsenian mengalami kesulitannya.
           Solusi yang paling berpengaruh sekarang adalah H.L.A. Hart (1907-1992). Solusinya menyerupai penekanan Kelsen pada dasar-dasar normatif dari sistem hukum, tetapi Hart menolak transendentalis Kelsen. Padangan Kant  terhadap otoritas yang dilihat secara empiris.
           Pemikiran Hart mengacu pada Weberian tentang sistem sosial. Bagi Hart kewenangan atau otoritas hukum adalah sosial. Kriteria utama validitas dalam sistem hukum bukanlah norma hukum maupun sesuatu yang dianggap sebagai norma, namun dalam aturan sosial yang hanya ada karena dipraktekkan. Hukum akhirnya bertumpu pada kebiasaan: kebiasaan tentang siapa yang berwenang memutus perselisihan hingga memutuskan hukum, apa yang mereka harus perlakukan sebagai alasan untuk keputusan yang mengikat yaitu pada sumber hukum, dan bagaimana kebiasaan dapat diubah.
           Bagi Hart yang paling penting adalah aturan dalam menentukan sumber-pengakuan dalam menentukan kriteria utama validitas pada sistem hukum. Ia hanya ada karena dilakukan oleh badan-badan hukum, dan bukan hanya dari adanya aturan pengakuan (atau aturan) yang terbaik untuk menjelaskan praktek mereka, namun juga aturan yang mereka benar-benar menarik tentang apa standar mereka yang terikat untuk diterapkan. Pemikiran Hart banyak disebut sebagai konvensionalis.[10]
          Bagi Hart aturan hukum utama adalah norma-norma sosial, meskipun tidak melulu sebagai produk dari perjanjian atau bahkan konvensi. Jadi bagi Hart sistem hukum adalah semua norma-norma yang turun ke bawah, tetapi pada akarnya adalah norma sosial yang memiliki jenis kekuatan normatif lainnya yaitu melalui kebiasaan. Ini adalah keteraturan perilaku terhadap badan-badan hukum yang mengambil “sudut pandang internal”. Mereka menggunakannya sebagai standar untuk menuntun dan mengevaluasi diri mereka sendiri dan perilaku orang lain, dan penggunaan ini ditampilkan dalam perilaku mereka termasuk jalan keluar dari berbagai bentuk tekanan sosial untuk mendukung aturan dan siap untuk mengaplikasikan dari segi normatif seperti “tugas” dan “kewajiban” saat menjalankannya.[11]
          Lantas pertanyaan khas positivistic adalah bagaimana cara agar norma sosial tersebut memiliki kekuatan normative, atau dapat dikatakan dianggap legal. Ia mengajukan beberapa konsep untuk itu. Pertama, ia menawarkan konsep yang ia sebut sebagai aturan primer dan aturan sekunder. Aturan primer adalah aturan yang mengatur perilaku manusia. Aturan-aturan primer adalah aturan yang memberi informasi pada orang-orang yang memberi syarat-syarat tentang apa yang harus mereka lakukan, atau membebani mereka mengenai bagaimana mereka melakukan perbuatan itu, meskipun harus mengorbankan kepentingan mereka. Sementara aturan sekunder memberikan orang-orang kebebasan dan hak-hak untuk mengubah atau bahkan membuat aturan primer, mengkontrol fungsinya dan membatasi ruang lingkupnya. Aturan primer menentukan kewajiban atau tugas-tugasnya sementara aturan sekunder memberikan kekuasaan dan hak-hak bagi sektor public maupun privat.[12]
           Jika dalam pandangan Austinian mengandaikan masyarakatnya sebagai homogen, yang mana hanya memiliki aturan primer saja, maka pandangan Hart sudah mempertimbangkan pluralitas masyarakatnya yang memiliki hak untuk menentukan (impose) aturan-aturan bagi mereka. 
           Dengan struktur yang ada dalam masyarakat yang kompleks tersebut maka suatu hukum memerlukan syarat yang ke-dua, yaitu apa yang disebutnya sebagai “the rule of recognition”.  Aturan pengakuan ini sendiri memiliki dua unsur baik aturan primer maupun sekunder. Jadi seperti bahasa pelajaran hukum kita bahwa aturan pengakuan harus memiliki syarat baik secara de facto maupun de jure. De facto yang diakui secara fakta ada keberadaannya karena kebiasaan: keputusan hakim pada suatu pengadilan, konvensi yang dapat  menjadi suatu kebiasaan maka konvensi yang menjadi tugas para legislative yang sebagai keterwakilan publik. Dan de jure tidak lain adalah diakui secara hukum atau dengan standar yang lain dalam sebuah sistem hukum.


5.2.    Pandangan Hukum Positivistik sebagai Sebuah Ilmu
            Berdasarkan pemaparan di atas mengenai perkembangan pemikiran aliran Positivistik dalam hukum, selanjutnya akan dipaparkan aspek filosofis aliran ini sebagai sebuah ilmu dalam hukum. Mengikuti alur filsafat Ilmu seperti dikemukakan oleh Jujun S Sumantri[13], bahwa suatu ilmu harus memiliki tiga criteria yaiut ontology, epistemology dan aksiologi. Dari pembahasan ini kita akan mencoba menelaah sekaligus sedikit menyimpulkan persoalan filsafat dalam aliran Hukum positivistik.
           Ontologi dalam filsafat adalah pembahasan mengenai hakikat atau kebenaran dari suatu hal. Ada tiga mainstream utama dalam pembahasan ontology yaitu bahwa hakikat itu berdasarkan apa yang ada di dalam pikiran (idealism), berdasarkan apa yang ada pada sesuatu yang dapat diamati (empirisme), dan berdasarkan pada keraguan (nihilism)
           Ontologi dalam hukum positivistik pada dasarnya mempercayai bahwa kebenaran bermula pada sesuatu yang dapat diamati. Hukum positivistik memandang hukum berarti law as it is laid down or posited [14]: Hukum adalah sesuatu yang diusulkan sebagai fakta atau diformulasikan dan diundangkan.
           Beberapa tokoh dalam positivisme berbeda pendapat soal menentukan kewenangan dalam hukum. Bentham dan Austin berpendapat bahwa kewenangan dalam hukum ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Sementara bagi  Hart dan Kelsen bahwa bukan pemegang kekuasaan yang menjadi sah atau tidaknya suatu hukum, melainkan pada hukum itu sendiri yang menjadi penentu, Jadi bagaimanapun pandangan positivistic tentang hukum adalah bahwa hukum didasarkan pada fakta hukum yakni sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
           Epistemologi adalah terkait dari bagaimana cara ilmu tersebur diperoleh dan dapat menyusun suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi memberikan penjelasan mengenai bagaimana hakikat itu dapat diketahui. Secara mendasar ada tiga cara menentukan kebenaran itu diperoleh yakni deduktif, induktif dan berdasarkan pada fakta yang ada atau bisa jadi bersifat doktrinal.
           Deduktif yaitu bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui suatu pandangan umum yang tidak dapat disangkal lagi, sehingga ketika prmis-premis selanjutnya ditentukan oleh fakta umum tersebut. Sementara Induktif adalah cara memperoleh pengetahuan dari preposisi-preposisi yang bersifat  obsrvatoris yang kemudian ditarik pada suatu kesimpulan dari yang bersifat umum. Sedangkan secara pernyataan secara doktrinal menyandarkan kebenaran yang sudah diketahui melalui doktrin yang tidak dapat disangkal lagi. Pendapat ini sangat dipengaruhi oleh epistemologi yang dikembangkan oleh Comte.
             Aspek epistemologis dalam hukum positif meski berbeda yang dikembangkan oleh setiap tokohnya, namun epistemologi hukum positivistik mengacu pada dua hal, yakni doctrinal-deduktif. Aspek doctrinal-deduktif adalah  mengandaikan bahwa fakta hukum adalah konstruksi masyarakat yaitu apa yang dipercayai dan disetujui oleh masyarakat.
            Pandangan deduktif para tokoh positivistik berbeda pada persoalan ini, Austin dan Bentham memandang pada peraturan yang berlaku adalah ditentukan dan atas kehendak dari penguasa, Kelsen melihat peratturan yang berlaku adalah sesuai dengan grundnorm yaitu kesesuaian dengan norma dasar dalam hal ini konstitusi kanonik. Sementara Hart melihatnya secara fungsional bahwa konklusi dapat dilihat dari bahan-bahan hukum yang lainnya.
             Sementara aspek aksiologis adalah mengenai nilai-nilai tentang hakikat dari sesuatu, yiutu mengenai baik dan buruk. Aksiologi dalam aliran positivistik melihat bahwa apa yang baik dan buruk adalah ditentukan dari kepastian hukum itu sendiri. Meskipun mereka berpandangan untuk menyisihkan mengenai nilai etiknya (baik dan buruk) dalam pandangan subyektif yang ada dalam masyarakat, namun mereka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perubahan terhadap hukum.
             Perubahan terhadap hukum dapat dilakukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang berlaku atau bahkan dapat dilakukan berdasarkan perkembangan nilai-nilai yang dinamis dalam masyarakat jika dan jika dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang telah vidisyahkan.

5.3.   Mengapa Pandangan Hukum Positive Bertahan ?
           Hukum positive memiliki sumbangan tersendiri dalam disiplin ilmu hukum. Hukum positif menyaratkan suatu perbedaan yang jelas antara yang legal atau illegal, sementara menganggap kurang penting antara mana yang bermoral dan tidak bermoral. Hukum positive mengandaikan bahwa hakikat hukum itu ada pada fenomenanya, meskipun kelompok essensialist menganggap hal ini sebagai second order urutan ke dua karena melihat pada bentuknya bukan dan melupakan esensinya. Namun bagaimanapun standar hukum dalam positivism sangat jelas. Hal ini dapat mempermudah orang awam sekalipun untuk mengenali sistem hukum itu sendiri. Seperti yang dikatakan Raz melalui Leiter: “Positivism reflects and explicates our conception of the law”.[15]
            Hukum mampu merefleksikan dan member kita penjelasan mengenai konsep hukum kita. Misalnya saja kita dapat memberikan perbedaan yang mana kemampuan hakim dalam memutus perkara berdasarkan aturan main hukum dan mana yang menjadi karakter moralnya. Di samping itu, positivism memudahkan melakukan penyelidikan terhadap hukum, karena memilki referensi sumber hukum yang telah secara eksplisit ada. Penyelidikan secara scientific memerlukan batasan-batasan yang dikhususkan pada bidang disiplin ilmu. Dan positivism telah berhasil membangun framework pada pertanyaan-pertayaan hukum.
Selanjutnya dan terakhir, menurut pendapat saya positivism memuat pertanyaan tentang bagaimana hukum yang baik tersebut. Positivisme percaya bahwa hukum yang baik itu (ought to be) adalah hukum yang memiliki sifat utilitarianistik yaitu memberikan manfaat berupa kepuasan yang dapat diterima oleh beberapa pihak. Memang untuk mencapai kepuasan itu adalah subyektif namun setidaknya positivisme mampu mengkonstruksikan bagaimana kepuasan dapat dicapai. Kepuasan dapat dicapai ketika itu mampu diobyektifikasikan yakni merujuk pada fakta yang jelas. Dalam hal ini ketika hukum menjadi objektifikasi maka fakta empirik adalah fakta yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Dari sini paling tidak, positivism sudah mampu untuk membuat standarisasi yang jelas sebagai sebuah bangunan pengetahuan.

6.Penutup
6.1 Kesimpulan
             Setelah kita membahas mengenai perkembangan positivism, dapat kita melihat bahwa positivism sebagai sebuah landasan ilmu hukum megalami perkembangan dengan menyesuaikan kondisi masyarakat. Banyak yang mengatakan bahwa positivism membuat hukum yang ada menjadi normative yang seolah-olah dianggap mempertahankan konservatisme. Namun sebenarnya ketika positivisme dipahami sebagai sebagai ilmu maka hal tersebut tidak berlaku. Di mulai dari Bentham hingga Hart, pandangan positivistik mencoba melihat bagaimana agar supaya hukum tersebut mampu diaplikasikan sesuai dengan perubahan pada masyarakat.
           Dimulai dari Bentham misalnya, pandangan hukum imperatifnya adalah mengikuti struktur masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari imperialis menuju masyarakat demokratis. Pendapat Bentham dan Austin sendiri mengarahkan kekuasaan dipegang bukan pada orang namun pada lembaga yang memiliki otoritas dan penegakan hukum. Sementara pandangan Hart mengandaikan agar supaya hukum mampu diaplikasikan pada sebuah masyarakat yang komplek dan plural. Meski begitu yang tetap menyisakan persoalan dari positivisme hukum adalah keberterimaan terhadap perubahan hukum yang mengikuti perkembangan masyarakat yang sangat cepat
          Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.Teori positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja.      Pemikir positivime hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.Selanjutnya berkembang teori hukum murni yang pelopor dari  teori ini yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Teori murni berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri yang memisahkan ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.

6.2. Kristalisasi Paham Positivisme dan Teori Hukum Murni
a)      Memandang perlu memisah secara tegas antara hukum dan moral (das sein dan das sollen). 
b)      Menurut Hans Kelsen merupakan teori tentang hukum yang senyatanya ( das sein ). 
c)      Tidak mempersoalkan hukum senyatanya ( das sein ) apakah hukum itu adil atau tidak adil. 
d)     Hukum adalah perintah penguasa ( law is command of the lawgivers ). 
e)      Hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam. 
f)       Aliran hukum positif mengidentikkan hukum dengan undang-undang. 
g)      Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. 
h)      Bagian aliran hukum positif dikenal dengan nama legisme. 
i)        Hukum Positif menurut  L.A. Hart : Anggapan bahwa :
·         undang-undang adalah perintah manusia.
·         tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada.
·         analisis ( atau studi tentang arti ) dari konsepsi tentang hukum :
a)      harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab atau asal usul undang undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai arti moral, tuntut  sosial,serta fungsi-fungsinya.
b)      sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup yang menghasilkan putusan hukum yang tepat dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ada lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan norma-norma moral.
c)      penilaian-penilaian  moral tidak dapat diartikan atau dipertahankan,seperti halnya dengan pertanyaan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk atau bukti (noncognitivisme dalam atika ). 

10.  Eksistensi Hukum Positif 

·         Menurut W. Fiedman : Pada prinsipnya pemisahan hukum  yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah asumsi   filosofis yang paling fondamental dalam positivisme hukum.
·          Menurut John Austin : Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada dan oleh makhluk yang berakal yang  berkuasa atasnya
·         John Austin membedakan : antara hukum ciptaan Tuhan untuk manusia       fungsinya sebagai wadah-wadah  kepercayaan dan undang-undang yangdiadakan oleh manusia.Hukum positif merupakan hukum yang diadakan oleh kekuatan politik.Hukum positif mempunyai ciri empat unsur : perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignity)
·         Pendapat John Austin  dikembangkan oleh Rudolf von Jhering dan George Jelliniek (Jerman ).Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan dimaksudkan untuk         menunjukkan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan         bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara. Tiga tanda pokok ketentuan hukum:
1.norma untuk perilaku luar seseorang terhadap orang lain.
2.norma yang bergerak dari kekuasaan dari luar yang diketahui.
3. norma kekuatan mengikatnya dijamin oleh kekuasaan luar. 

11.  Alat Teori hukum murni  Hans Kelsen
·         Teori hukum murni merupakan pengembangan dari aliran positivisme  yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang.
·         Hukum adalah suatu sollenskatagorie ( katagori keharusan ), bukan Seinskatagorie ( katagori faktual ).
·         Aliran ini dopelopori oleh tokoh agama ternama yaitu Hans Kelsen.
·         Teori hukum murni  merupakan pemberontakan yang ditujukan kepada ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengetengahkan hukum sebagai pemerintahan dalam negara totaliter.
   12.Ajaran hukum murni :
·           Tujuan teori hukum, seperti ilmu pengetahuan yaitu mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
·           Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
·           Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
·            Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannyadengan dengan daya kerja norma-norma hukum.
·           Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,mengubah isi dengan cara yang khusus.
·           Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang khas dari hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan          hukum yang nyata.

13.          Filosofi ajaran  Hans Kelsen :
·         Hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis.
·         Unsur etis :konsep hukum yang tidak memberi tempat bagi berlakunya hukum alam. Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk.
·         Unsur sosiologis : ajaran hukum tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ajaran hukum hanya memandang  hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein / realitas sosial
·         Unsur politis : Unsur politis sangat sulit dipisahkan dari hukum, sebab pembuat undang-undang adalah lembaga politis anggotanya adalah partai politik.

14.          Inti ajaran Hans Kelsen :
·         Ajaran hukum murni ( pure theory of law ) : membersihkan hukum dari anasir non hukum. 
·          Ajaran tentang grundnorm : merupakan azas yang melahirkan peraturan hukum dari dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm tatanan hukum A berbeda dengan grundnorm pada tatanan hukum B. 
·         Ajaran Stufenbautheory : Peraturan hukum secara keseluruhan diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar.
·         Kedudukan  norma dasar adalah tertinggi dan abstrak, makin kebawah makin konkret. Dalam proses tersebut, apa yang semula berupa suatu yang seharusnya berubah menjadi suatu yang dapat dilakukan

6.2 Saran
          Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri dara para ahli hukum. Oleh karena itu para ahli hukum agar dalam memberikan pemikiran filsafatnya selalu mengedepankan manfaatnya bagi dunia pendidikan, serta dari masing-masing para ahli hukum tersebut dapat saling menghormati pemikiran-pemikiran filsafat dari para ahli hukum yang lain. Sehingga tidak saling menjelekkan/menjatuhkan  kepada para ahli hukum dari pemikiran filsafat yang kajinya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Antonius dan E Manulang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Prenada Media Grup. Jakarta:2007
Green, Leslie. Legal Positivism. Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2003
Groudine, J Candace. Authority: H. L. A. Hart and the Problem with Legal Positivism. The Journal of Libertarian Studies, Vol. IV. No. 3 summer 1980: 274
Hardiman, Budi F. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietze. Gramedia Pustaka Utama Jakarta:2007
Himma, Kenneth Einar. Legal Positivism. http://www.iep.utm.edu/legalpos/
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. (Terj) Raisul Mutaqin. Nusa Media. Bandung 2008
Leiter, Brian. Why Positivism ?. University of Chicago. AALS panel on “Legal Positivism: For and Against” with Leslie Green, Mark Greenberg, & Jeremy Waldron, New Orleans, January 9, 2010
Sumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta: 1990. 
Wacks, Raymond. Philosophy of Law: Very Short Introduction, Oxford University Press, New York: 2006
Young, Ernest. The Constitution outside Constitution. The Yale Law Jurnal. Academic Research Library. Desember 2007



[1] Leslie Green. Legal Positivism. Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2014.  Diakses tanggal 26 Maret 2012
[2] Antonius Cahyadi dan E manulang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Prenada Media Grup. Jakarta 2007, halaman 58
[3] Kenneth Einar Himma. Legal Positivism. http://www.iep.utm.edu/legalpos/ diakses tanggal 26 Maret 2014
[4] Ibid, halaman 67
[5] Op.Cit. Lesly Green
[6] F Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietze: Gramedia Pustaka Utama .Jakarta ,2007 halaman 288
[7] Op. Cit, halaman 1
[8] Op. Cit.  Lesly Green
[9] Untuk pembahasan mengenai penetapan Konstitusi kanonik Tunggal dan persoalannya, lihat Ernest Young. The Constitution Outside Constitution. The Yale Law Jurnal. Academic Research Library. Desember, 2007 halaman 408
[10] Op.Cit. Green
[11] Op Cit lesly Green
[12] Candace J. Groudine. Authority: H. L. A. Hart and the Problem with Legal Positivism. The Journal of Libertarian Studies, Vol. IV. No. 3  summer, 1980 , halaman 274
[13] Jujun S Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta: 1990
[14] Raymond Wacks. Philosophy of Law: Very Short Introduction, Oxford University Press, New York:, 2006, halaman 18
[15] Brian Leiter. Why Positivism ?. University of Chicago. AALS panel on “Legal Positivism: For and Against” with Leslie Green, Mark Greenberg, & Jeremy Waldron, New Orleans, January 9, 2010


Berikut ini makalah pembanding:
 
POSITIVISME  HUKUM DALAM
 KERANGKA KONSEPSI

Oleh: Refki Saputra
kisapoetra.blogspot.com/2010

Ubi jus incertum, ibi jus nullum
(tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum)


A.Titik Tolak
           Positivisme hukum tidak begitu saja muncul dalam hingar bingar perkembangan dan evolusi pemikiran zaman abad pertengahan. Sejumlah keadaan pada masa itu menjadi poin penting untuk dikemukakan diawal ini untuk meresapi semangat dari jiwa positivisme secara utuh. Beberapa fakta akan diungkapkan terkait dengan kondisi sosial, politik, kebudayaan masyarakat yang mengilhami timbulnya keinginan untuk “memositifkan” hukum.
Pada perkiraan abad ke 18[1], ditandai dengan era pencerahan (Aufklarung), dimana ilmu pengetahuan alam (Newton, Lavoiser, Galileo, dll) berkembang pesat dengan menggunakan metoda pengamatan percobaan (proefondervindelijk). Pandangan orang ketika itu dengan sebuah observasi (pengamatan/penelitian ilmiah) dapat ditemuan hukum-hukum alam.[2] Van Peursen menambahkan pengalaman sendiri tidak berdiri sendiri dan lepas dari filsafat dan menggambarkan dunia yang dianut oleh manusia modern sangat dipengaruhi oleh cara pandang sains modern.[3] Kondisi ini telah mengalihkan pandangan orang ketika itu dengan menggunakan metode-metode scientis dalam bidang ilmu lainnya, tak terkecuali hukum.
Pandangan bahwa hukum berasal dari Tuhan (mazhab hukum alam) dan melalui perantara gereja mulai dianggap tidak rasional (irrasional). Melalui penjelasan ilmiah yang berkarakter serba pasti, dianggap akan menjernihkan ilmu-ilmu sosial lainnya yang cenderung meraba-raba memakai intuisi yang abstrak sehingga tidak member solusi yang konkret atas suatu persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Dengan adannya alur pikir yang jelas dan terarah, memakai standar yang sama, akan memberikan suatu kejelasan rumusan yang dapat “dicangkokkan” kepada kondisi-kondisi sosial masyarakat yang mulai lemah dan secepatnya harus diselamatkan. Tak peduli kesesuaian dengan perasaan jiwa masyarakat yang heterogen dengan variasi persoalan tertentu.
Kemudian di dataran Eropa masyarakat yang sudah mulai memikirkan kesamaan hak dimana kekuasaan raja semakin hari semakin hilang karena dianggap menimbulkan kesengsaraan dibawah cengkraman kekuasaan raja yang absolute. Salah satu bentuk otoritarianisme raja saat itu adalah seringnya dilakukan penjatuhan hukuman terhadap seseorang hanya atas dasar perkataan raja dan tanpa adanya dasar hukum yang jelas, sehingga begitu revolusi eropa pada paruh akhir abad ke-18 berhasil dengan ditandai berhasilnya revolusi Perancis melalui tokohnya Napoleon Bonaparte maka mulai dicanangkanlah pemikiran tentang perlunya kepastian hukum melalui pengaturan pola perilaku masyarakat dengan penetapan norma-norma ke dalam hukum tertulis yang dilakukan terlebih dahulu sebelumnya, dan pemilihan bentuk hukum tertulis ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum tertulislah maka segala macam norma yang mengatur masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum.[4]
Maka sejak saat itu berkembanglah apa yang dinamakan dengan aliran Legisme, yaitu paham yang mengaitkan hukum dengan undang-undang, bahkan secara strict menyebutkan tidak ada sumber hukum selain undang-undang. Paham ini dianut di Jerman oleh Paul Labland, Jellinek, Rudolf van Jhering, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[5]
Pemikiran tentang konsep negara ketika itu juga memberikan efek yang luar biasa terhadap keinginan masyarakat akan keadilan hukum. Dimana sebelumnya kedaulatan berada ditangan raja dengan segala perintahnya yang merupakan hukum menjadikan mayarakat jenuh dan paling tidak menjauhkan dari esensi hukum untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Diawali dengan perjanjian Westphalia (Treaty op Westphalia) yang ditandatangani pada tahun 1648 yang merupakan tonggak kelahiran negara modern. Kedaulatan beralih dari diri pribadi atau warga bangsa (nationals), menjadi kedaulatan oleh segenap bangsa (nation). Sejak saat itu negara menjadi organisasi kekuasaan yang berdaulat penuh dalam suatu wilayah.[6] Perkembangan teknologi pada abad ke 18 menunut Negara melakukan transformasi kedalam bentuk hukum modern yang modern. Hal ini menurut E. Sumarsono positivisme hukum hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun (dirinya – penulis) sebagai sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap berdasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya.[7]
Kondisi ini memberikan kewenagan bagi Negara (penguasa) untuk membentuk hukum yang dapat dipaksakan kepada seluruh warga Negara. Hal ini menjadikan angin segar bagi pada kaum kapitalisme yang dalam dunia insdustrialisasi karena Negara memberikan struktur yang tersentralisasi dan didukung oleh hukum moderen.[8] Maka dengan demikian Roberto M. Unger menyebutkan bahwa hukum kian hari mengalami pergeseran dari bentuk hukum yang interaksional bergerak kepada fase hukum yang positif dan publik atau disebut juga tipe hukum birokratis (bureucratik laws).[9]
Begitu pula dengan hukum dari Tuhan yang bersifat irrasional menjadi tatanan hukum yang maju berwatak sekuler dimana didalamnya memisahkan hal-hal yang irrasional tersebut, hukum telah mencapai tahap kompleksitas, abstraksi, dan sistematisasi karena merupakan suatu objek ilmiah yang dilaksanakan oleh para spesialis yang khusus dididik untuk itu.[10] Bahwa kemudian hukum menjadi sakral dan tidak bisa dimasuki oleh pemikiran-pemikiran awam yang tidak cakap hukum.

B. Konsepsi
Paham Positivisme hukum tidaklah suatu konstruksi yang tunggal tentang karakter dari hukum itu sendiri, melainkan berpangkal pada pengaruh-pengaruh pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan. Pandangan positivisme itu sendiri dipengaruhi oleh iklim cultural pada saat itu ketika pada abad ke-18 era refolusi indutri di Inggris yang menimbulkan gelombang optimisme akan kemajuan umat manusia dengan keberhasilan teknologi industrinya. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Positivisme mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya mencari-cari kerja kodrat ontologis dan metafisis yang elah dijalaninya selama ribuan tahun.[11] Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.[12] Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan criteria verifikasi, dan untuk menegaskan kembali serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang tersisa dengan menggunakan bahasa formal yang ketat.[13] Adapun ciri-ciri positivisme anatara lain sebagai beikut:[14]
  1. objektif/bebas nilai; hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin realitas (korespondensi);
  2. fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi;
  3. nominalisme, hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan ini mengatasi semua bentuk particular logam seperti; besi, kuningan, timah, dan lain-lain;
  4. reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati;
  5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menjelaskan supranatural;
  6. Mekanisme, gejala yang dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjeaskan mesin-mesin (sistem meakis). Alam semeta dijelaskan sebagai sebuah jam besar (a giant clock work).
Sementara itu, aliran positivisme dalam hukum (positivisme hukum) mucul berdasarkan pandangan seorang Filusuf Prancis Aguste Comte ang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.
Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya. Ketiga tahap hukum tersebut adalah:[15]
  1. Tahap teologis, dimana manusia percaya pada kekuatan-kekuatan Illahi di belakang gejala-gejala alam;
  2. Tahap metafisis, dimulainya kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis. Ide-ide teologis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika;
  3. Tahap positif, diamana gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu ide alam yang abstrak. Disitu satu gejala diterangkan melalui gejala-gejala lain dengan mendapati hukum-hukum anatara mereka. Hukum-hukum itu tidak lain suatu relasi yang konstan dari gejala-gejala.
Jadi pandangan filosofi positivisme dalam perjalanan pemikiran manusia dalam mencari suatu kebenaran bertransformasi dari apa yang dahulunya masih bersifat keTuhanan, ortodoks menerima semua keajaiban dari sang pencipta menjadi konstruksi yang dapat dilogikakan (dipositifkan). Logika akan dipandang sebagai penentu legitimasi pengetahuan, sehingga memberikan kepastian yang dibutuhkan, karena orang harus mampu mencapai basis yang kuat, dan landasan yang teguh, guna menjustifikasi segala sesuatu.[16] Maka dari itu, yang dikatakan sebagai hukum oleh pandangan positivisme adalah apa norma (aturan) yang dapat ditangkap oleh pancaindera (bukan bersifat metafisis/kasat mata) karena dituliskan dengan jelas. Hal ini menandakan hukum harus melalui proses birokratis yang sangat ketat oleh lembaga yang berwenang atas suatu perintah penguasa. Kedudukan hukum berada dalam ketentuan formal (diformalkan) karena validitasnya (legitimasinya) dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan patokan secara umum. Maka tak salah mengapa penganut aliran positivisme hukum juga disebut sebagai aliran formalistis.
Menurut Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putera prinsip-prinsip positivisme hukum adalah sebagai berikut;[17]
  1. Tata hukum Negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte dan spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari instansi yang berwenang;
  2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
            Konstruksi hukum yang berasal dari undang-undang dan diformalkan oleh negara akan memberikan sebuah kepastian hukum, karena hal inilah yang minimal harus dipenuhi oleh hukum. Sebab, hukum tanpa kepastian akan kehilangan maknanya sebagai hukum karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagisemua orang.[18] Ubi jus incertum, ibi jus nullum: dimana tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:[19]
  1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer;
  2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
  3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
  
  B.
Asumsi Filosofis
Positivisme hukum berpegang kepada hukum yang mapan, mandiri, dan terbebas dari unsur non hukum lainnya. Setidaknya Antonio Boggiano beranggapan, bahwa kaum positivisme hukum berusaha sedapat mungkin menghindari pembahasan tentang hukum moral.[20] Padangan bahwa hukum tidak identik dengan moral yang secara radikal kalaupun hukum bertentangan dengan moral namun akan tetap dianggap sebagai hukum.
Kondisi ini tentulah ada penjelasan yang logis dibelakangnaya. Misalnya hukum pada pandangan positivisme hukum sudah adil dan pasti benar, karena dibuat oleh penguasa dalam suatu Negara berdaulat. Sebagaimana yang disumbangkan oleh ilmu Negara dimana salah satu relasi antara negara dan masyarakatnya seperti hubungan ayah yang baik bagi anaknya. Dimana tidaklah mungkin sang ayah menenlantarkan (menyengsarakan anaknya). Begitupula dengan hukum yang dibuat pemerintah, haruslah dipatuhi oleh rakyatnya karena merupakan ketentuan yang sah dan valid yang pasti akan memberikan kebahagiaan bagi masyarakatnya.
Kemudian asumsi dasar positivisme hukum juga menganggap dunia peradilan sudah terjamin netalistas dan imparsialitasnya seperti yang telah dijamin dalam undang-undang. Jadi masyarakat tidak perlu cemas akan lembaga peradilan yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakatnya. Paradigma yang dibangun adalah sangat “deduktif mekanis” atau “logika formal” dengan menyamaratakan antara keteraturan sosial (social order) dengan keteraturan hukum (legal order).[21] Positivisme Hukum berkeyakinan hukum harus dibangun dengan pendekatan rasional dan seobjektif mungkin. Dalam penerapannya kepada kasus-kasus yang konkret positivisme hukum memakai sistem logika tertutup dengan metode deduktif sebagaimana sudah dijelaskan diawal. Apabila premis mayor tadi berdialektika dengan suatu fakta sebagai premis minornya, maka akan diperoleh sebuah konklusi yang tidak terbantahkan. Hal demikian dapat dilihat dari preposisi sebagai berikut:

“Barang siapa menduduki lahan orang lain secara melawan hak akan dipidana penjara karena penyerobotan setinggi-tingginya 5 tahun,
(Premis Mayor)
+
Masyarakat adat memasuki lahan hutan yang dikuasai Negara
(Premis Minor)
=
Masyarakat adat akan dipidana penjara karena penyerobotan setinggi tingginya 5 tahun.

              Dari preposisi diatas dengan menggunakan logika silogisme tertutup, maka akan tampak dengan jelas bagaimana hukum mempunyai alur yang jelas dan pasti. Apapun yang dipandang sebagai pertentangan dalam hukum, maka secara otomatis hukum akan bereaksi untuk menentukan kesalahan yang dilakukan oleh sipembuat.



C. Karakteristik
                  Masing-masing mazhab atau aliran yang mempengaruhi tentang pemikiran hukum memiliki karakteristik masing-masing yang memiliki garis pembatas dengan aliran hukum lainnya. Dari karakteristik yang tergambar, disitu masing-masing aliran saling menguatkan dan melemahkan diantara aliran yang ada. Pertentangan antara satu mazhab hukum yang ada dengan mazhab yang lainnya sesungguhnya merupakan pertentangan diantara karakteristik yang ada.
Sebetulnya karakteristik atau cirri-ciri yang melekat dari hukum yang bercorak positivistik sudah tergambar dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, namun belum menggambarkan jati diri yang sebenarnya dari positivisme hukum tersebut. Beberapa ahli mengumulkan pandangan mereke berkenaan dengan ciri-ciri dari positivisme secara utuh, seperti yang diuraikan oleh Hart yang menguraikan cirri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini adalah sebagai berikut:[22]
  1.  Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
  2. Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral;3.
     Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar atau tepat biasannya dapat diperoleh dengan alat-alat logika tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
                  Pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Hukum dalam karakteristik yang dibangun oleh Hart memang harus dibersihkan dari unsure moral, karena pertimbangan moral tidak dapat dilakukan tela’ah secara ilmiah. Proses ilmiah menurut Descartes akan membuat penilaian yang benar dan memiliki landasan yang kokoh dan pasti terhadap suatu fenomena.[23] Jika pertimbangan moral dimasukkan dalam proses ilmiah, maka hasil yang akan dicapai tentu tidak akan objektif rasional, melainkan subjektif emosional belaka yang tidak diinginkan oleh pandangan positivisme dalam menjadikan hukum sebagai norma umum yang universal dan dapat dijadikan acuan bagi semua orang.
Jika melihat beberapa prinsip dasar yang dikembangkan oleh positivisme hukum, terdapat karakteristik sebagai berikut:[24]
  1. Dualistis, misalnya pemisahan antara moral dan hukum, pemisahan hukum dari bentuk (form) dan isinya (materiil), bahkan pemisahan hukum dari sudut pandang adannya norma sollen (keharusan) dan sein (kenyataan), terakhir konsep nilai yang ada dalam norma nersifat benar dan salah.
  2. Reduksionis, pandangan bahwa hukum dapat dipilah-pilah dan dipreteli mulai dari bagian yang paling besar sampai kepada bagian yang paling kecil.
  3. Mekanistis, umumnya positivisme hukum dalam menjelaskan relasi diantara bagian-bagian yang telah dipilah atau dipreteli selalu bersifat mekanistis. Hukum dilihat sebagai mesin yang terdiri dari komponen-komponen, dengan kata lain hukum merupakan sebuah mesin yang besar yang bergerak secara teratur dan serba pasti;
  4. Tertutup, maksudnya menolak pandangan di luar dari tatanan yang sudah ada dan sudah jadi;
  5. Aturan dan logika, didalam sistem hukum yang tertutup tersebut maka yag berlaku adalah aturan dan logika (rules and logic) dengan konsep subsumsi, derogasi, dan non kontradiksi.



D. Varian
1. Positivisme Sosiologis
Menurut pandangan ini, hukum akan selalu dikaitkan dengan struktur sosial atau pranata sosial sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam bentuk material utuh. Seperti yang diungkapkan oleh Donal Black bahwa hukum sebagai variabel kuantitatif yang dapat diukur.[25] Keterukuran dari positivisme sosiologis ini mengacu kepada stratifikasi sosial, morfologi, kebudayaan, organisasi dan pengedali sosial.
Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai suatu yang terbuka bagi masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode ilmiah.[26] Hal ini berarti, langkah-langkah dalam memahami hukum harus berdasarkan pengamatan terhadap objek dengan membuat suatu hipotesis yang merupakan anggapan yang bersifat tentative yang harus dibuktikan secara empiris.[27] Maka dengan demikian, norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan kesadaran akan keadilan didalam tubuh manusia tidak memiliki tempat dalam positivisme hukum ini. Penyelidikan terhadap hukum semata-mata sebagai suatu gejala sosial karena positivisme sosiologis tidak mengakui adannya hukum lain selain dari norma hukum yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh masyarakat.[28]
Dalam positivisme sosiologis ini pandagan Aguste Comtelah yang menjadi landasan awal dengan pemikiran revolusionernya membagi tiga tahap perkembangan pemikiran yang dilalui oleh setiap orang (Law of Three Stages ). Adapun yang termasuk kedalam pemikiran positivisme sosiologis selain Comte adalah Herbert Spencer, Emilie Durkheim, dan Donald Black.

2. Positivisme Yuridis
Dalam positivisme yuridis tidak lagi mengaitkan hukum dengan lingkungan sosialnya seperti positivisme sosiologis yang telah diperbincangkan sebelumnya. Pandangan ini melulu berbicara kedayagunaan hukum sebagai instrument secara mandiri, tidak terpenaruhi oleh unsure-unsur non hukum, karena hukum itu harus dianggap sakral dan valid. Dari beberapa nama dari ilmuan positivisme yuridis, namun yang paling mendapat perhatian dalam positivisme yuridis ini adalah pemikiran dari John Austin dengan positivisme analitis (analytical jurisprudence) dan Hans Kelsen dengan teori hukum murninya (the pure theory of law).

a. Hukum Positif John Austin (1790–1859)
Menurut Austin, hukum adalah perintah dari penguasa (law is command of a lawgiver ), yang berarti perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Selanjutnya menurutnya hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai yang baik dan buruk.[29] Austin membagi hukum menjadi dua bentuk yakni:[30]
1. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine law);
2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
a.Hukum yang sebenarnya (hukum positif), seperti:
   -  Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan      pemerintah   dan lain-lain;
   -     Hukum yang dibuat oleh rakyat secara individual, misalnya hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian
b.  Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dianggap sebagai hukum karena tidak ditetapkan oleh penguasa/badan yang berdaulat seperti ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh badan keolahragaan atau mahasiswa.
Konsep yang mendasar terhadap hukum yang analitik adalah yang memuat ketentuan perintah, sanksi dan kedaulatan. Pertama, perintah menghendaki orang lain untuk melakukan kehendaknya. Kedua, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan (sanksi) bagi yang tidak melaksanakannya. Ketiga, perintah tersebut adalah pembedaan kewajiban anatara yang diperintah dengan yang memerintah. Keempat, perintah tersebut hanya akan terlakasana jika pihak yang memrintah itu adalah pihak yang berdaulat.[31]
Pada akhirnya, pokok-pokok pikiran dari analytical jurisprudence dapat disimpulkan sebagai berikut:[32]
  1. Tidak mendasarkan pada penilaian baik dan buruk, karena penilaian tersebut berada diluar bidang hukum;
  2. Memisahkan antara moral dan hukum;
  3. Pandangannya bertolak belakang dari mazhab sejarah dan mazhab hukum alam;
  4. Hakikat dari hukum adalah perintah dari kekuasaan yang berdaulat;
  5. Kedaulatan berada diluar hukum, baik didalam politik dan sosiologis masyarakat yang tidak perlu dipersoalkan karena merupakan sebuah kenyataan;
  6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan ruang bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Ajaran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973)
Kelsen dianggap ilmuan yang paling mutakhir dari ajaran posrivisme hukum. Ajaran Kelsen ini sesungguhnya terdiri dari dua generasi. Pertama, ajaran hukum yang bersifat murni dan yang kedua bersasal dari muridnya Adolf Merkl yakni ajaran stufenbau des recht yang mengutamakan adannya hierarkis dari pertauran perundang-undangan.[33]
 Inti ajaran hukum murni ini adalah hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti nilai etis, sosiologis, politis dan sebagainya.[34] Menurut E. Sumaryono, kata “murni” digunakan tidak lain untuk spekulasi filosofis, dan bertujuan membebaskan gagasan tentang norma hukum positif dari penyelidikan dari norma hukum dengan perilaku actual manusia yang didasarkan atas hukum sebab akibat sebagai wujud manifestasi hukum kodrat.[35] Maka dari itu banyak pemikiran beranggapan bahwa positivisme hukum menghentikan orang untuk berfilsafat dalam berhukum.[36]
Hukum menurut pandangan hukum murni berada pada sollen kategori bukan sebaliknya berada pada sein kategori (kenyataan sosial). Jadi orang mena’ati hukum karena memang seharusnya ia wajib untuk mena’atinya sebagai suatu kehendak negara. Persoalan apakah orang pada kenyataannya menaati atau tidak itu berada diluar hukum yang hanya merupakan kenyataan sosial.
Kemudian berbicara tentang konsep stufenbau theory yang digunakan dalam ilmu perundang-undangan. Konsep positivisme ini menghendaki hierarkis dalam penyusunan produk hukum, dimana peraturan yang ada harus bersumber pada hukum yang lebih tinggi lainnya.[37] Peraturan yang paling tinggi dalam suatu tingkatan peraturan hukum disebut sebagai groundnorm yang bersifat hipotesis, sedangkan ketentuan yang lebih rendah akan bersifat konkret seperti perda.

JELAJAH LITERATUR
John Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung.
Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Anthon F. Susanto, 2007, Hukum; Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif - Transgresif, Refika Aditama, Bandung.
Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta Publishing, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta.
http://joeniarianto.files.wordpress.com.jalan-mundur-_dalam_-positivisme-hukum indonesia.
http://staff.blog.ui.ac.id, positivisme-dan-perkembangannya

[1] Satu abad sebelumnya yakni Abad ke-17 M juga telah diakui oleh kesadaran Eropa, bahwa Rene Descartes (penganutnya disebut Cartesian) sebagai orang yang pertama memiliki kapasitas filosofi tinggi yang pemikirannya dipengaruhi oleh fisika dan astronomi baru. Lihat dalam Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 39. Descartes menganggap alam bekerja secara mekanis, dan suatu kebenaran adalah apabila dapat dijelaskan secara matematis.
[2] John Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, h. 116.
[3] Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik ….op. cit., h. 37.
[4]Jalan Mundur (dalam) Positivisme Hukum Indonesia http://joeniarianto.files, diunduh 11 Oktober 2010.
[5] Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 56.
[6] Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik….op. cit., h. 75.
[7] Ibid., h. 77.
[8] Ibid., h. 76.
[9] Ibid., h. 75.
[10] John Glissen, op. cit., h. 66.
[11] Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik….op. cit., h. 63.
[13] Anton F. Susanto, op. cit., h. xiii.
[14] Ibid., h. 66.
[15] Ibid., h. 83.
[16] Anthon F. Susanto, 2007, Hukum; Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, h. 88.
[17] Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik......op. cit., h. 72.
[18]http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/07/herlambang-positivisme hukum diunduh pada 11 Oktober 2010.
[19]http://staff.blog.ui.ac.id,positivisme-dan-perkembangannya/, diunduh pada tanggal 11 Oktober 2010.
[20] Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik......op. cit., h. 80.
[22] Lili Rasjidi, op. cit., h. 57.
[23] Anthon F. Susanto, 2007, Hukum; Dari Consilience ….., op. cit., h. 88.
[24] Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik......op. cit., h. 88-89.
[25] Ibid., h. 84.
[26] Ibid., h. 82.
[27] Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta, h. 27.
[28] Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik......op. cit., h. 82.
[29] Lili Rasjidi, op. cit., h. 58.
[30] Ibid., h. 59.
[31] Ibid.
[32] Ibid., h. 60.
[33] Ibid.
[34] Secara komprehensif lihat Hans Kelsen, 1960, Pure Theory of Law, University of California Press, Los Angeles, terjemahan oleh Max Knight, 1960, atas judul asli Reine Rechtlehre, Wina.
[35] Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik......op. cit., h. 87.
[36] Lili Rasjidi, op. cit., h. 57.
[37] Ibid., h. 61.



»»  Baca Selengkapnya...