Sabtu, 02 April 2011

TEROBOSAN HUKUM MEMAJUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A. BUMD dan Peluang Otonomi Daerah

Berkaitan dengan cara pandang otonomi daerah yaitu pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan perekonomian daerah, untuk meningkatkan pendapatan asli saerah, maka setiap daerah otonom melakukan upaya-upaya terobosan dan usaha-usaha untuk memupuk sumber pendapatan daerah dengan tanpa membebani masyarakat, tetapi membuka peluang usaha yang berbasiskan ekonomi daerah yang selaras dengan potensi daerah.

Berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pandapatan Asli Daerah bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengeloaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

Berdasarkan asumsi umum terdapat pandangan bahwa dari hasil Pendapatan Asli Daerah selama ini, dirasakan masih belum cukup memadai dalam membiayai pembangunan sebuah daerah otonom, oleh karena itu, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten menganggap perlu mengadakan usaha-usaha lain guna menambah sumber-sumber pendapatan daerah.

Sesuai perkembangan keadaan saat ini, usaha-usaha yang lebih tepat dan memungkinkan serta dapat diandalkan untuk menambah sumber pendapatan daerah adalah mengelola pengusahaan dengan prinsip ekonomi perusahaan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh antara lain dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Untuk mewujudkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah Provinsi melalui hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan tersebut, dilakukan antara lain melalui pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di berbagai Provinsi. Dengan pendirian BUMD diharapkan ikut berperan dalam menghasikan barang dan / atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat daerah, oleh karena itu, ruang lingkup BUMD yang ada Provinsi tidak terfokus pada satu bidang tetapi dapat melakukan usaha-usaha di bidang pembangunan, agrobisnis, industri strategis, konstruksi, properti, konsultan, jasa/perdagangan, telekomunikasi, perhubungan (transportasi darat, laut dan udara), energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, pariwista, penerbangan, infrastruktur, perbankan, investasi, asuransi, dan usaha lain sesuai kebutuhan, sebagai upaya ekstensifikasi pendapatan daerah maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pada sisi lain BUMD juga diposisikan, sebagai badan usaha yang diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk mendapatkan laba sehingga dapat menunjang kelangsungan usaha BUMD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah otonom

Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif di BUMD, perlu menumbuhkan budaya profesionalisme antara lain melalui pembinaan pengurusan dan pengawasannya yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesungguhnya memiliki karakteristik yang sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara legal, BUMN dan BUMD sama-sama merupakan bagian dari keuangan negara (berdasarkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara). Namun sayang, meski BUMD memiliki karakteristik yang sama, kinerja BUMD jauh ketinggalan dibanding BUMN.
Salah satu penyebab, karena stakeholders BUMD terlihat kurang responsif dalam mengikuti dinamika yang ada, khususnya dinamika pengelolaan (governance) di BUMN. Padahal, jika dicermati, banyak hal yang berlaku di BUMN dapat menjadi role model atau benchmark bagi pengelolaan BUMD.
B. Permasalahan BUMD
Dari aspek governance, misalnya, institusi BUMD masih diperlakukan sama dengan institusi pemerintah. Padahal, BUMD bukanlah institusi pemerintah. Implikasinya, berbagai kewajiban yang melekat pada pemerintah, melekat pula pada BUMD. Sebagai contoh, BUMD masih harus mengikuti ketentuan pengadaan barang yang diberlakukan di pemerintahan, yang semestinya tidak perlu karena BUMD adalah perusahaan.
BUMD juga masih harus menjalani pemeriksaan atas laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena alasan keuangan negara. Padahal, sebagai perseroan terbatas (PT), BUMD juga diperiksa kantor akuntan publik (KAP) yang independen. Dan perlu dicatat, pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK ini, sudah tak berlaku lagi di BUMN.
Tidak adanya equal treatment bagi BUMD (yaitu sebagai perusahaan yang dituntut harus laba), menyebabkan BUMD tidak dapat bersaing secara seimbang dengan BUMN dan swasta yang lebih lincah.
BUMD juga menghadapi masalah minimnya permodalan akibat kurangnya perhatian dari pemilik (dalam hal ini pemerintah daerah/Pemda). Kalaupun ada Pemda yang memiliki perhatian lebih terhadap aspek permodalan BUMN ini, itu pun masih harus menghadapi ganjalan politik, karena interpretasi yang keliru dari para politisi DPRD dalam memahami peraturan. Akibatnya, proses penguatan permodalan BUMD menjadi tidak efisien.
Perlu diketahui, untuk setiap penyertaan modal yang dilakukan Pemda harus dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda). Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 75 dinyatakan “Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan”.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ketentuan dalam PP 58/2005. Sebab, menurut peraturan yang lebih tinggi (undang-undang/UU), kewajiban tersebut juga diatur. Pasal 41 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan: “Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah”. Mengacu pada UU ini, memang sudah tepat bila setiap penyertaan modal Pemda ke BUMD harus melalui Perda (yang berarti harus mendapat persetujuan DPRD).
Persoalannya, interpretasi atas ketentuan ini menjadi berlebihan, karena harus dengan Perda tersendiri, sehingga tidak efisien. Padahal, praktek penyertaan modal oleh pemerintah pusat di BUMN, tidak harus melalui mekanisme persetujuan tersendiri oleh DPR (atau tidak melalui UU tersendiri).

Praktek di tingkat pusat, setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN ditetapkan secara bersama-sama dalam setiap pembahasan mengenai UU APBN, tidak dengan UU tersendiri. Setelah UU APBN disahkan, mekanisme penyertaan modal pemerintah pusat kepada BUMN ditetapkan melalui PP yang tidak membutuhkan persetujuan DPR.

Badan usaha milik negara yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut badan usaha milik daerah (BUMD). Perusahaan daerah adalah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar / seluruhnya adalah milik pemerintah daerah.

Tujuan pendirian perusahaan daerah untuk pengembangan dan pembangunan potensi ekonomi di daerah yang bersangkutan. Contoh perusahaan daerah antara lain: perusahaan air minum (PDAM) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) memiliki kedudukan sangat panting dan strategis dalam menunjang pelaksanaan otonomi. Oleh karena itu, BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal sehingga dapat berperan aktif, baik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan perekonomian daerah. Laba dari BUMD diharapkan memberikan kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Otonomi daerah memberikan konsekuensi yang cukup besar bagi peran Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) dalam menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari BUMD telah berjalan sejak lama sebelum UU tentang otonomi daerah disahkan. Untuk mencapai sasaran tujuan BUMD sebagai salah satu sarana PAD, perlu adanya upaya optimalisasi BUMD yaitu dengan adanya peningkatan profesionalisasi baik dart segi manajemen. sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga memi l iki kedudukan yang sej aj ar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya.

Dasar hukum pembentukan BUMD adalah berdasarkan UU No 5 tahun 1962 tetang perusahaan daerah.

Ciri-ciri BUMD adalah sebagai berikut:

- Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha Pemerintah berkedudukan sebagai pemegang saham dalam pemodalan perusahaan.

- Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menetapkan kebijakan perusahaan

- Pengawasan dilakukan alat pelengkap negara yang berwenang/Melayani kepentingan umum, selain mencari keuntungan\· Sebagai stabillisator perekonomian dalam rangka menyejahterakan rakyat.

- Sebagai sumber pemasukan Negara.

- Seluruh atau sebagian besar modalnya milik Negara.

- Modalnya dapat berupa saham atau obligasi bagi perusahaan yang go publik

- Dapat menghimpun dana dari pihak lain, baik berupa bank maupun nonblank.

- Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMN, dan mewakili BUMN di pengadilan

Tujuan Pendirian BUMD:

- Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas Negara.

- Mengejar dan mencari keuntungan

- Pemenuhan hajat hidup orang banyak

- Perintis kegiatan-kegiatan usaha

- Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah

- melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat

- penyelenggara kemanfaatan umum, dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah

Berdasarkan kategori sasarannya secara lebih detail, BUMD dibedakan menjadi dua yaitu sebagai perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum yang bergerak di bidang jasa dan bidang usaha. Tetapi, jelas dari kedua sasaran tersebut tujuan pendirian BUMD adalah untuk meningkatkan PAD.

Pemberdayaan BUMD dalam Peningkatan Ekonomi Daerah BUMD menurut Ginandjar Kartasasmita (1996) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Ini berarti bahwa memberdayakan itu adalah memampukan dan memandirikan masyarakat beserta kelembagaannya, disini termasuk badan usaha milik daerah.

Khusus dalam hal BUMD, upaya memberdayakan itu haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensinya untuk berkembang. Ini dengan landasan pertimbangan bahwa setiap masyarakat dan kelembagaannya, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Maka dengan pemberdayaan itu pertama-tama merupakan upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi (dan daya) yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, yang kedua, adalah memperkuat potensi atau daya yang dimiliki tersebut, dimana untuk ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai input yang diperlukan, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang sehingga semakin berdaya memanfaatkan peluang.

Akhirnya, yang ketiga, dimana memberdayakan berarti pula melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan haruslah dicegah agar jangan pihak yang lemah menjadi bertambah lemah, tapi dapat hidup dengan daya saing yang memadai. Dalam kaitan dengan perbaikan kinerja BUMD sebagai Laporan Hasil Studi Analisa Kinerja BUMD Non PDAM, Biro Analisa Keuangan dan Moneter, Depkeu, dikemukakan berbagai langkah dan tindakan yang dapat dilakukan dalam memperbaiki kinerja usaha BUMD, dengan tindakan-tindakan yang sifatnya strategis yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian strategi, yaitu strategi pengusahaan, strategi penumbuhan dan strategi penyehatan perusahaan yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

Strategi Pengusahaan Perusahaan yang dapat dilakukan dengan langkah atau tindakan memperbaiki kinerja perusahaan, diantaranya dengan Mengatasi kelemahan internal yang diantaranya melalui penetapan kembali corebusiness, likuidasi unit bisnis yang selalu rugi, dan memperbaiki sistem manajemen organisasi.

Memaksimumkan kekuatan internal, yang antara lain dengan cara mengkonsentrasikan bisnis pada usaha yang berprospek tinggi, memperluas pasar dengan mempertahankan dan mencari pelanggan baru, serta mencari teknik produksi baru yang dapat meningkatkan efisiensi usaha

Mengatasi ancaman eksternal, yang diantaranya dengan cara memperbaiki mutu produk dan jasa, meningkatkan kualitas SDM serta meningkatkan kreativitas dan keaktifan tenaga pemasaran dalam mencari terobosan baru, memaksimumkan peluang eksternal, yang antara lain melalui upaya kerjasama yang saling menguntungkan dengan perusahaan sejenis atau yang dalam keterkaitan. Dan kerjasama ini dapat dilakukan dalam bentuk joint venture, BOT, BOO atau bentuk kerjasama lainnya.

Strategi Penumbuhan Perusahaan adalah bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan ukuran besaran yang disepakati untuk mencapai tujuan jangka panjang perusahaan. BUMD dikatakan tumbuh jika perusahaan daerah itu berhasil meningkatkan antara lain, volume penjualan, pangsa pasar, besarnya laba dan aset perusahaan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan agar perusahaan terus tumbuh berkembang diantaranya adalah mengkonsentrasikan bisnis pada produk yang representatif, melakukan perluasan pasar, pengembangan produk baru, dan integrasi horizontal dan/atau vertikal.

Strategi Penyehatan Perusahaan yaitu yang dilakukan melalui pendekatan strategik dan pendekatan operasional. Dalam pendekatan strategik, misalnya, jika terjadi kesalahan strategis seperti ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan misinya, maka perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap bisnis yang dilakukan untuk perubahan dan penyempurnaannya. Sedangkan dengan pendekatan operasional ditujukan untuk melakukan perubahan operasi perusahaan tanpa merubah strategi bisnis. Dalam hubungan ini langkah-langakah yang biasa diambil oleh perusahaan dalam rangka penyehatan operasi diantaranya adalah:

Meningkatkan penghasilan yang diperoleh dengan berbagai teknik bisnis, misalnya pemotongan harga, peningkatan promosi, penambahan dan perbaikan pelayanan konsumen, memperbaiki saluran distribusi dan memperbaiki kualitas produk (b) Melaksanakan pemotongan biaya (penghematan). Biaya-biaya yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan operasional pokok perusahaan yang segera membentuk penghasilan, biasanya menjadi pilihan pertama untuk diturunkan, seperti misalnya biaya-biaya administrasi, penelitian dan pengembangan, dan pemasaran.

Demikianlah pokok-pokok pikiran dari Biro Analisa Keuangan dan Moneter, Depkeu tentang upaya perbaikan kinerja, yang berarti pula upaya pemberdayaan, dari BUMD di Daerah-daerah untuk masa mendatang. Pada dasarnya penulis sepakat dengan berbagai upaya, dan langkah dalam rangka pemberdayaan yang dikemukakan tersebut di atas.

Namun demikian, disamping untuk usaha-usaha BUMD yang telah berjalan dengan kinerja yang masih rendah dan terbatas di masa lalu tersebut, juga perlu pemikiran lebih lanjut terhadap usaha-usaha BUMD yang akan didirikan dan dibangun pada masa mendatang dalam rangka lebih memberdayakannya untuk menunjang keuangan Daerah dan perekonomian Daerah pada umumnya. Dalam hubungan ini untuk pendirian BUMD baru dan pengembangan lebih lanjut BUMD yang telah jalan perlu dilakukan antara lain: studi kelayakan usaha yang dilakukan secara teliti betul yang dapat disimpulkan untukmenghasilkan produk barang dan jasa yang feasible dan berprospek (sangat) menguntungkan peningkatan kerjasama dengan usaha yang sejenis atau yang bersifat keterkaiatan dalam rangka peningkatan daya saing penerapan kelembagaan dan organisasi usaha dengan tenaga terdidik dan terlatih yang dijiwai semangat kewirausahaan pengembangan dan penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi perusahaan daerah seperti yang dalam usaha korperasi swasta yang dalam operasionalnya dilakukan dengan tertib, terbuka dan terpadu pemberian kewenangan yang lebih luas kepada BUMD dari pimpinan daerah sehingga direksinya dapat lebih “leluasa” dalam melaksanakan kepemimpinan dan operasionalisasi perusahaannya.

Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa yang menjadi dasar pendirian BUMD adalah UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Dalam hal ini, berbagai fungsi dan peranan yang “dibebankan” kepada dan dilaksanakan oleh BUMD tersebut (BPS, 1997), utamanya adalah: melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan daerah pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan daera, mendorong peran serta masyarakat dalam bidang usaha, memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi kepentingan public, menjadi perintis kegiatan dan usaha yang kurang diminati swasta.
Mengingat dipandang cukup pentingnya peran BUMD khususnya sebagai salah satu sumber PAD di Daerah, maka tentu saja BUMD dituntut agar lebih profesional dan lebih efisien dalam melaksanakan usahanya. Kebijakan dan upaya ke arah itu telah banyak dilakukan, namum karena berbagai kendala, ternyata BUMD pada umumnya, khususnya di luar PDAM dan BPD menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Hal ini tampak, antara lain, relatif masih kecilnya peran dan kontribusi laba BUMD dalam penerimaan PAD di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Tambahan pula menurut UU No. 5 Tahun 1962 yang mendasarinya, terdapat rincian yang menetapkan bahwa penggunaan laba bersih perusahaan, setelah terlebih dulu dikurangi penyusutan, ditetapkan sebagai berikut (Kunarjo, 1993):

(1) Perusahaan Daerah yang memiliki modal seluruhnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan adalah:

(a) untuk dana pembangunan daerah 30%

(b) untuk anggaran Perencaan Pembangunan belanja daerah 25%

(c) untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangan dana pensiun dan sokongan sejumlah 45%.

(2) Perusahaan daerah yang sebagian modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan setelah dikeluarkan zakat yang dipandang perlu adalah:

(a) untuk dana pembangunan daerah 8%

(b) untuk anggaran belanja daerah 7%

(c) selebihnya (85%) untuk pemegang saham dan untuk cadangan umum.

Dengan demikian bagian laba perusahaan daerah yang jumlahnya relatif kecil di berbagai daerah menjadi semakin kecil lagi dengan penetapan bagian daerah dalam penggunaan keuntungan bersihnya yang diperuntukkan bagi penerimaan daerah yang relatif kecil pula. Bahkan adakalanya pula pada daerah tertentu dan tahun-tahun anggaran tertentu praktis Bagian laba perusahaan daerah itu “tidak terealisir” karena daerah sendiri terpaksa menambah permodalan (atau investasi) pada BUMD yang bersangkutan yang jumlahnya sama atau bahkan melebihi Bagian laba perusahaan daerah yang seharusnya disetorkan dalam mendukung APBD daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan laporan hasil studi Biro Analisa Keungan Daerah Depkeu tentang Analisis Kinerja BUMN Non PDAM (1997) dikemukakan bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dalam perjalanan hidupnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) lemahnya kemampuan manajemen perusahaan

(2) lemahnya kemampuan modal usaha

(3) kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha

lain yang sejenis

(4) lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing
(5) kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industry hulu maupun hilir

(6) kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki,sehingga rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil produksi
(7) besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah (8) masih dipertahankannya BUMD yang merugi, dengan alasan menghindarkan PHK dan “kewajiban” pemberian pelayanan umum bagi masyarakat.

Selain dari pada itu, dari berbagai pengamatan dan keluhan yang seringkali disampaikan oleh pihak internal maupun eksternal dari perusahaan daerah sendiri adalah adanya berbagai kendala lain dalam pembinaan dan pengembangan usaha BUMD tersebut. Diantaranya dirasakan adanya campur tangan pemerintah daerah yang cukup besar atas jalannya organisasi BUMD serta adanya keterbatasan kewenangan tertentu dalam operasionalisasi perusahaan. Selanjutnya seringkali pula dalam penempatan direksi tidak terlepas dari pertimbangan KKN atau kedekatan para calonnya dengan pimpinan daerah. Dalam hubungan ini banyak pula penempatan direksi dan bahkan tenaga kerja yang kurang didasarkan pada pertimbangan profesionalisme, keahlian dan keterampilaan, bahkan adakalanya penempatan di perusahaan daerah itu sebagai “tempat buangan” bagi pejabat tertentu yang tergeser kedudukannya.

C. Faktor Penyebab Buruk Performance BUMD

Kinerja BUMD yang buruk ini disebabkan oleh banyak faktor. Baik dari dalam dan dari luar BUMD itu sendiri. Kita sudah sering mendengar bahwa BUMD ini dikelola oleh orang-orang yang tidak cukup cakap. Banyak terjadi penempatan direksi dan bahkan tenaga kerja yang kurang didasarkan pada pertimbangan profesionalisme, skill, dan kompetensi. Bahkan, beberapa penempatan di BUMD sebagai "tempat buangan" bagi pejabat yang tergeser kedudukannya. Ketimpangan kompetensi ini mengakibatkan lemahnya kemampuan manajemen perusahaan serta lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing dengan perusahaan yang dikelola swasta murni.

Jumlah pegawai yang tidak berkualitas ini cukup memberikan beban fixed operation head yang besar bagi neraca keuangan perusahaan. Kurang adanya spesialisasi dan konsentrasi utama dalam bidang usaha perusahaan daerah juga menyebabkan efesiensi yang rendah dan beban biaya operasional yang ditanggung menjadi relatif lebih besar. Faktor internal lainnya adalah kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan aset yang dimiliki yang berakibat rendahnya produktivitas, mutu, serta ketepatan produksi. Management asset yang acak adut dan neraca keuangan yang selalu negatif mengakibatkan ketidakmampuan BUMD untuk menambah belanja modal (pemberian alat baru, preventif, dan prediktif maintenance, dan lain-lain). Hal ini mengakibatkan rata-rata kondisi mesin dan peralatan sudah tua serta ketinggalan zaman dibandingkan usaha sejenis lainnya. Faktor eksternal yang berpengaruh cukup besar adalah kurangnya koordinasi antar BUMD dalam kaitannya dengan industri hulu dan hilir (Analisa Depkeu 1997).

D. Strategi Penyehatan BUMD

Untuk memperbaiki kinerja BUMD ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai solusi praktis yaitu:

Pertama, menempatkan orang-orang yang profesional yang memiliki skill dan kompetensi sesuai bidang usaha BUMD yang digarap. Selain itu peningkatan kompetensi dan profesionalisme direksi beserta stafnya dalam menjalankan perusahaan sebagai usaha komersial murni yang mengutamakan pertimbangan efesiensi dan pencapaian laba usaha yang memadai. Direksi dan staff yang ditempatkan di BUMD haruslah orang-orang yang mempunyai jiwa dan semangat wiraswasta/ entrepeneurship dalam menjalankan operasional usaha.

Kedua, pemberian wewenang dan pendelegasian kebijakan yang lebih besar dan luas oleh pimpinan daerah kepada BUMD dalam operasionalnya. BUMD tidak boleh dijadikan sapi perah atau kereta politik bagi kepentingan birokrat maupun partai politik. Tujuan semata-mata adalah tetap profit oriented untuk menambah PAD.

Ketiga, mengatasi kelemahan internal dengan penetapan kembali core bisnis, likuidasi unit usaha yang selalu merugi. Memperbaiki sistem manajemen dengan cara memperluas pangsa pasar dengan mempertahankan pasar lama dan mencari pasar baru, mengadopsi teknik produksi baru yang lebih efesien dan efektif. Dan, yang terakhir memperbaiki koordinasi antar BUMD dalam industri hulu dan hilir.

Memaksimumkan peluang eksternal berupa upaya kerja sama yang saling menguntungkan dengan perusahaan sejenis atau yang ada keterkaitan. Bentuk kerja sama bisa berupa joint venture atau bentuk kerja sama lainnya.

E. Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan Tentang BUMD

UU No 5 Tahun 1962 sudah tidak relevan dan kurang mampu mengakomodasi penyelenggaraan BUMD dan justru membuka celah salah kelola dan penyimpangan Ketentuan UU No. 5 Tahun 1962 yang perlu direvisi:

Dasar dan tatacara pendirian BUMD

Bentuk BUMD yang memaksimalkan profit dan yang memaksimalkan pelayanan public

Kerjasama dengan pihak ketiga

Mekanisme kepemilikan dan pengambilan keputusan BUMD
Pengangkatan dan kewenangan direksi

Perencanaan jangka panjang dan pendek perusahaan

Pertanggungjawaban dan pengawasan BUMD

Kepegawaian

Kebijakan manajemen peningkatan kinerja BUMD: restrukturisasi dll.

Berikut adl fungsi dan peran BUMD dalam menunjang penyelenggaraan pemerintah daerah :

  1. Melaksanakan kebijakan pemerintah daerah di bidang ekonomi dan pembangunan.
  2. Pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan.
  3. Mendorong peran serta masyarakat dalam bidang usaha.
  4. Memenuhi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat.
  5. Menjadi perintis kegiatan yg tak diminati masyarakat.

Tujuan utama sektor publik adalah pemberian pelayanan publik namun tak berarti organisasi sektor publik sama sekali tak memiliki tujuan yg bersifat finansial. Organisasi sektor publik juga memiliki tujuan finansial akan tetapi hal tersebut berbeda baik secara filosofis konseptual dan operasional dgn tujuan profitabilitas pada sektor swasta. Tujuan finansial pada sektor swasta diorientasikan pada maksimasi laba utk memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham sedangkan pada sektor publik tujuan finansial lbh pada maksimasi pelayanan publik krn utk memberikan pelayanan publik diperlukan dana.

Semenjak Undang-Undang tentang Otonomi Daerah diterapkan persoalan kemampuan daerah secara ekonomi dan politis pun ramai diperbincangkan. Salah satu isu ekonomi yang menarik untuk didiskusikan dalam hal ini yakni seputar daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat pelaksanaan otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan.

Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan lain seperti laba perusahaan daerah. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat, tidak ada jalan lain yang perlu dilakukan pemerintah daerah selain menggali dan mengotimalkan sumber pendapatan asli daerah. Yang menjadi persoalannya sekarang, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber pendapatan daerah, khususnya bagi daerah yang miskin sumber daya alam? Jawabannya akan sangat tergantung pada proses “restrukturisasi” sumber-sumber penerimaan daerah. Saya katakan restrukturisasi sebab pemerintah daerah sebenarnya sudah mempunyai sumber-sumber pendapatan yang potensial namun pada saat ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Yang diperlu dilakukan pemerintah daerah saat ini yaitu ‘memolesnya’ kembali agar tampak molek dan cantik. Salah satu sumber pendapatan potensial yang perlu dipoles itu tidak lain perusahaan daerah atau dikenal dengan badan usaha milik daerah (BUMD).

F. Persoalan Serupa BUMD Mirip BUMN Tetapi tak sama

Secara umum kondisi perusahaan daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh kebanyakan BUMN kita. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN jelas memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya, pemerintah pun perlu membuat kementrian khusus yang menangani BUMN. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah tersebut, peranan BUMD harus mulai diperhatikan.

Bila dibuat pembandingan antara BUMN dan BUMD, akan terlihat kesamaan permasalahan di antara keduanya. Pertama, masalah efisiensi. Kebanyakan BUMD di Indonesia beroperasi di bawah kondisi yang sangat tidak efisien. Terjadi pemborosan dana di sana-sini karena para pengelolanya tidak memiliki keahlian yang cukup. Terkadang keputusan-keputusan manajerial berkaitan dengan investasi baru, penentuan tarif atau keputusan lain diambil secara tidak profesional. Pekatnya nuansa kolusi, korupsi dan nepotisme menandakan ketidakprofesionalan para pengelola BUMD tersebut. Di samping itu, inefisiensi BUMD juga bersumber dari pemanfaatan teknologi yang sudah ketinggalan jaman. Kebanyakan BUMD beroperasi dengan mesin-mesin peninggalan kolonial yang umurnya sampai saat ini sudah puluhan tahun. Bahkan ada mesin yang umurnya lebih tua dari karyawan yang paling tua sekalipun. Dengan kondisi ini, jelas beban pemeliharaan mesin tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari mesin tua tersebut.

Kedua, masalah intervensi dan birokrasi. Bila saat ini banyak BUMD yang kalah bersaing dengan sektor swasta dan akhirnya tumbang di tengah jalan, salah satu penyebabnya adalah besarnya campur tangan dan lambannya pemerintah daerah dalam mengantisipasi perubahan situasi dan kondisi bisnis. Selama ini semua keputusan bisnis baik yang bersifat strategis maupun keputusan-keputusan konvensional lainnya harus selalu ijin kepada pemerintah. Repotnya, respon pemerintah seringkali, bahkan dapat dikatakan selalu, lambat. Maklum, sekali lagi berurusan dengan birokrasi. Pemerintah akan selalu "mempertimbangkan", "menampung", lalu "membahas" usulan para direksi perusahaan daerah. Keputusannya akan diberitahukan kemudian, bisa dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan. Bisa dibayangkan, jika suatu BUMD mengajukan proposal investasi mesin baru saat ini dan keputusan "ya" atau "tidak" baru datang setahun kemudian.

Ketiga, pengendalian dan pengawasan. Selaku pemilik, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengawasi perkembangan BUMD-BUMD di wilayahnya. Pemerintah daerah biasanya membentuk badan pengawas, yang bertindak seperti dewan komisaris pada perusahaan swasta. Anggotanya terdiri dari para pejabat di lingkungan pemda, yang terkadang tidak mempunyai latar belakang bisnis sama sekali. Biasanya, badan pengawas ini tidak melakukan kegiatan sesuai tugas dan fungsinya, yaitu selaku wakil pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya perusahaan daerah. Para anggota badan pengawas rata-rata menyatakan tidak sempat memikirkan perkembangan usaha daerah, karena sudah sibuk dengan tugas dalam jabatan formalnya sendiri-sendiri. Tetapi, ironisnya mereka senang-senang saja menerima "gaji" dari jabatan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, posisi perusahaan daerah seakan-akan menjadi anak ayam yang berusaha hidup dan mengais-ngais makanan tanpa tuntunan sang induk.

G. Dualisme Peranan BUMD

Secara konseptual, BUMD didirikan atas dasar dualisme fungsi dan peranan, yang keduanya sangat sulit, jika tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dipadukan. Seperti BUMN, ia punya tugas dalam mengembangkan perekonomian daerah melalui peranannya sebagai institusi public service. Namun pada saat yang sama, BUMD juga diharapkan mampu menghasilkan laba dari usahanya selaku pelayan masyarakat. Secara implisit, BUMD dijadikan sumber dana APBD. Dalam ketentuan, BUMD diwajibkan menyetorkan bagian labanya sebagai dana pembangunan daerah sebesar 55% dari laba bersih tahunan. PDAM adalah contoh BUMD yang mempunyai fungsi pelayanan publik dominan sekaligus sumber dana pembangunan daerah.

Dalam tataran operasionalnya, peran dan fungsi ini dilaksanakan secara distortif. Fungsi service lama-kelamaan bergeser sebagai fungsi ekploitatif. Hal ini nampak, misalnya ketika PDAM menetapkan tarif baru. Manajemen selalu berargumen bahwa kenaikan tarif itu diperlukan untuk menyesuaikan perkembangan cost of product, atau untuk menutup kerugian yang dideritanya. Tetapi bila dicermati, tingginya biaya atau munculnya kerugian itu disebabkan oleh pengelolaan jaringan yang kurang profesional atau sebab lain yang berkaitan dengan inefisiensi.

Jika demikian keadaannya, hal itu telah menunjukkan kekacauan dalam menerjemahkan peran dan fungsi di atas. Namun demikian, wajar-wajar saja jika terjadi. Rasanya memang sulit, jika sebuah institusi dituntut untuk memenuhi keduanya. Apalagi, sampai sekarang PDAM bisa dikatakan satu-satunya perusahaan yang melayani kebutuhan air bersih di daerah alias monopoli. Tanpa ada pesaing dalam lingkungan bisnis serupa, akan sulit bagi PDAM untuk melakukan benchmarking, apakah operasinya berjalan efisien atau tidak.

H. Ambiguitas Pemerintah

Sementara itu, pemerintah daerah sendiri terlihat ambigu dalam kapasitasnya sebagai pemilik perusahaan daerah. Pemerintah daerah yang seharusnya mempunyai kewajiban membina dan mengawasi, justru cenderung eksploitatif terhadap perusahaan daerah. Acapkali, perusahaan daerah dijadikan sapi perah. Pemerintah selalu menargetkan penerimaan APBD dari perusahaan daerah. Tanpa menghiraukan, apakah perusahaan untung atau rugi, ia tetap saja menyetorkan dana pembangunan daerah sesuai yang ditargetkan. Praktik ini tentu saja menyulitkan perusahaan daerah sebagai institusi bisnis. Bagaimana bisa menjamin kontinuitas operasi perusahaan, jika perusahaan daerah tetap saja dimintai setoran manakala ia menderita kerugian?

Contoh riil ekploitasi atas perusahaan daerah oleh pemerintah yaitu kasus utang Persebaya kepada PDAM Kodya Surabaya yang sempat terekspos di sebuah media beberapa tahun lalu. Secara prosedural, bagaimana mungkin PDAM mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk dipinjamkan sebagai dana operasional sebuah kesebelasan? Dilihat dari kacamata apa pun hal ini sebetulnya tidak dapat dibenarkan. Dari sisi bisnis, jelas hal itu merupakan kerugian besar bagi perusahaan, karena ia meminjamkan dana begitu besar tanpa bunga. Dari sisi aturan pun, PDAM juga tidak punya kewajiban lain kepada pemerintah daerah kecuali menyetorkan dana pembangunan sebesar 55% dari laba bersih. Kasus-kasus serupa akan ditemukan dalam jumlah banyak bila dilakukan penelitian lebih jauh. Misalnya, pemberian fasilitas-fasilitas khusus kepada pejabat tertentu, baik berbentuk setoran gaji buta, seperti keberadaan badan pengawas, atau bentuk fasilitas lain yang cenderung merongrong keuangan perusahaan.

I. Quo vadis BUMD?

Sebagai dipahami bahawa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki oleh pemerintah daerah, dimana tujuannya adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah (PAD). Tapi pada kenyataannya bahwa BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PAD, justru lebih banyak suntikan dana dari pemerintah daerah daripada keuntungan yang di dapat. Kondisi tersebut menjadi beban bagi APBD.Sehingga apa yang menjadi tujuan berdirinya BUMD adalah sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah tidak tercapai. Banyak permasalahan yang dihadapi BUMD dalam mencapai tujuannnya tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut berkaitan dengan visi misi yang kurang jelas, faktor birokrasi, serta sumberdaya manusia. Masalah lain yang juga membuat BUMD tidak dapat berkembang ada Undang-Undang yang berkaitan dengan BUMD. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan apa yang dihadapi BUMD dalam mengembangkan usahanya yang pada akhirnya akan dirumuskan suatu langkah konkrit kebijakan dalam hal peningkataan peran BUMD dalam perekonomian daerah. Dalam hal ini peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Lalu bagaimana? Pertanyaan ini sering muncul ketika pemerintah sendiri berusaha mengatasi permasalahan tersebut. Yang pasti, pemerintah daerah tidak mungkin terus-terusan menerapkan praktik-praktik yang tidak sehat seperti di atas. Yang perlu dilakukan justru harus melakukan serangkaian upaya sistematis untuk merestrukturisasi BUMD di wilayahnya. Apalagi, jika kemandirian daerah yang diterjemahkan dalam konsep otonomi menjadi suatu keharusan di pada saat ini. Mau tidak mau, kalau ingin memperoleh bagian laba, perusahaan daerah harus dalam keadaan sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara wajar. Di samping itu masyarakat juga tidak selalu jadi objek penderita atas kebobrokan yang diderita perusahaan daerah.

Upaya perbaikan kinerja BUMD juga harus dilakukan seperti BUMN saat ini. Secara sederhana restrukturisasi dilakukan dengan mengubah mindset manajemen dari berorientasi birokratis menjadi bisnis-profesional. Nuansa birokratis perlu dipangkas dari tubuh perusahaan daerah agar keputusan-keputusan bisnis dapat diambil dengan cepat. Perusahaan daerah harus diberi kewenangan sepenuhnya untuk menentukan kebijakan demi kemajuannya sendiri. Pemerintah daerah tidak harus ikut campur tangan yang cenderung "mengobok-obok" kegiatan operasional maupun keuangan perusahaan. Keterlibatan pemerintah dalam tubuh perusahaan telah terbukti membebani dan cenderung membatasi gerak dan inovasi perusahaan.

Format BUMD sebagai perusahaan juga perlu dipikirkan untuk menjamin kelangsungannya dalam jangka panjang. Jika mau mencontoh upaya reformasi BUMN, BUMD harus diarahkan menjadi perusahaan publik yang kepemilikannya didasarkan atas saham-saham. BUMD harus berubah menjadi PT yang sahamnya terdaftar dalam bursa saham. Konsekuansinya, perubahan manajemen secara mendasar harus dilakukan.

Hal terakhir yang patut diupayakan oleh pemerintah, yakni mengeluarkan deregulasi yang memungkinkan perusahaan swasta memasuki wilayah bisnis yang selama ini dikuasai oleh perusahaan daerah, misalnya pengelolaan air bersih. Di samping demi kepentingan masyarakat, karena akan terdapat banyak pilihan untuk jenis layanan kebutuhan tertentu, hal ini juga akan berdampak positif bagi persaingan bisnis. Perusahaan daerah akhirnya dituntut untuk beroperasi dalam skala yang efisien, sehingga dalam jangka panjang ia tidak hanya bisa survive, melainkan juga akan dapat bermain dalam dunia bisnis yang persaingannya semakin mengglobal

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asumsi pandangan terhadap BUMD yang selama ini sudah umum terjadi pada rata rata BUMD adalah sbb:

a. Rekruitmen yang tidak transparan, mayoritas titipan pejabat dan penampungan pensiunan.

b. Kualitas SDM yang tidak memadai.

c. Kultur bisnis yang tidak terbangun dengan baik, mungkin karena perusahaan plat merah yang menjadikan suasananya berbeda. Padahal disisi lain perusahaan plat merah ini memiliki privilege / privilence /keistimewaan khusus dari Pemda, khususnya dalam hal modal dan regulasi-regulasi lainnya.

d. Struktur manajemen yang tidak ramping, sehingga tidak efisien.

e. Tidak optimalnya pengawasan dari pemilik/owner melalui Dewan Pengawas, disamping itu pemilik kurang memahami alur bisnis.

f. Legalitas dan legislasi yang kurang dapat mewadahi kondisi usaha yang dinamis.

g. Lingkungan usaha yang tidak kondusif.

»»  Baca Selengkapnya...