Rabu, 19 Agustus 2015

MEMAHAMI HAKEKAT PLURALITAS HUKUM BERDASARKAN KONSEP WERNER MENSKI


Oleh: Turiman 
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id, Blog: Rajawali Garuda Pancasila, Blogspot.Com

Abstrak
Kita masih sibuk untuk mencari paradigma hukum yang tepat untuk memahami sinergisitas antara konsep kepastian hukum, konsep keadilan dan konsep kemanfaatan hukum dalam berbagai mazhab hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal, keseluruhan teori hukum menghadapi keadaan sulit jika para penstudi hukum tidak keluar dari kotak hitamnya atau out of the box keilmuan hukum, tidak mau membuka diri untuk memahami sinergisitas antar kajian yang multi disiplin dan multi metode serta keanekaragaman pendekatan untuk melihat dimensi hukum dari dimensi manapun dari disiplin keilmuan lain, bagaikan batu mutiara yang bersegi, terserah dari mana kita akan melihatnya, mereka hanya yakin, bahwa hukum akhirnya hanya dipahami subtansinya yang berisi hak dan kewajiban plus sanksi ketika melanggarnya dan kajian hanya “terjebak” pada teks, tetapi maju satu langkah lagi pada konteks dan kontektualisasi.Yang kemunculan barangkali menjelang abad 21 sebagian besar dengan tajam dari ilmu hukum Islam, dimana konsep kunci dari ikhtilaf, adalah menoleransi keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang dihasilkan sifat manusia, didalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang pluralitas sangat tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk menjadi penafsir tunggal. Sebagai contoh dikenal mazhab dalam hukum Islam (Maliki, Syafeii, Hambalii dan lainnya). Hal ini memberikan pemahaman bahwa pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar bangsa maupun dalam satu negara tertentu, tetapi juga plurarlisme mengenai prilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada di setiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitis, ketika sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan secara proposional secara serentak ketiga pendekatan hukum, normatif,empiris, dan  filosofis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular concept of legal pluralism dari konsep hukum Werner Menski, 2006. Pertanyaan bagaimana dengan pluralitas hukum yang khas Keindonesian?, penulis  mengajukan model dengan mengacu pada pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak yang berlawanan dengan arah jarum jam  atau gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila dalam lambang negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah hukum dan analisis semiotika hukum yang kemudian oleh peneliti disebut sebagai konsep semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Atau kita bisa disebut Filosofis Pancasila “berthawaf” Semiotika hukum Lambang Negara Indonesia yang berbentuk Elang Rajawali-Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adalah satu kajian Pancasila sebagai cita hukum. Kajian Pancasila secara ilmiah ada dua dimensi yang perlu diperhatikan didalam mengembangkan pendekatan ilmiah mengenai Pancasila: pertama, mengembangkan suatu teori ilmiah untuk mempelajari Pancasila; kedua,mengembangkan teori-teori ilmiah dengan Pancasila sebagai landasannya.

Kata Kunci: Pluralitas Hukum,  Konsep Hukum Werner Menski,  Filosofis Pancasila “Berthawaf.
I.Menelusuri Pemahaman Mazhab Hukum Dalam Teori Hukum
Untuk memahami konsep hakekat hukum dalam judul di atas ada 10 pertanyaan yang perlu dijawab oleh para penstudi hukum sebagai berikut:

1.Apakah Ilmu Hukum ?
Secara umum , ilmu hukum dapat dibedakan ke dalam tiga klasifikasi (Achmad Ali, 1999:3), yaitu:
1.      Beggriffenwissenschaft, ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum. Termasuk didalamnya mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum,Filsafat Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum.
2.      Normwissenschaft, ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, termasuk Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum Internasional, dan lain-lain.
3.      Tatsachenwissenschaft, ilmu tentang kenyataan, Termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Hukum dan Politik, Semiotika Hukum, dan lain-lain.

2.Bagaimana Pendekatan Filsafat moralitas dalam ilmu hukum ?
   Mengenai filsafat moralitas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.   Ius constitutum, mengkaji secara normatif, aturan-aturan, dan asas-asas hukum yang ada dalam berbagai perundang-undangan. Objek ada “law in books”
2.   Ius constituendum, merupakan kajian tentang hal-hal yang ideal dalam hukum. Lazim dinamakan filsafat hukum, Objeknya adalah “law in idea”.
3.   Ius operatum, merupakan kajian empiris terhadap, yang berfokus pada bagaimana hukum bekerja didalam kenyataannya. Objeknya adalah “law in action”

3. Bagaimana pengunaan berbagai istilah/terminologi dalam literatur ilmu hukum ?
             Banyak kalangan penstudi hukum menemukan berbagai istilah dalam literatur hukum, seperti law, laws, a law, the law, dan legal. Dalam berbagai kamus dan literatur kita dapat mengetahui perbedaan makna dari istilah-istilah itu (lihat L.B Curzon, 1979 : 23-24 dan Prof Achmad Ali, Menguak tabir Hukum, 1996: 19-20).
1.      Perkataan “ a law” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan suatu peraturan khusus atau undang-undang lainnya , sebagai contoh , The Theft Act 1978 adalah undang-undang dalam arti a law yang berhubungan dengan perbuatan curang.
2.      Perkataan “the law” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan pada “the law of land” (hukum tanah), yaitu tubuh dari undang-undang, peraturan-peraturan lain, putusan-putusan pengadilan, dan lain-lain, plus asas-asas hukum, plus filsafat umum tentang masyarakat di dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan hukum, sebagai contoih penggunaan: “dibawah penggunaan hukum dinegeri ini dia tak dapat dihukum” (under the law of this land he ought not to be panished), atau “semua orang sama dihadapan hukum (all man are equalbefore the law).
3.      Perkataan “law” digunakan tanpa suatu “article” (kata depan) adalah juga digunakan sebagai abstrak, istilah konseptual di dalam konteks yang menunjukkan pada filsafat hukum. Contoh: “Hukum adalah ekspresi dari keinginan rakyat” (law is the expression of people’s will).
4.      Perkataan “laws” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan undang-undang dan peraturan-peratuaran sejenis serta aturan-aturan. Sebagai contoh: The Law relating to bankruptcy include the Bankcruptcy Act, 1974 (Peraturan tentang Keadaan Pailit, 1974), The insolvenny Act 1976 (Peraturan Tentang Keadaan Pailit, 1976).
5.      Perkataan “droit” lebih menimbulkan keraguan daripada istilah Inggris “law”. Dalam artinya yang luas dan obyektif, le droit berarti aturan-aturan hukum secara total dan kita juga sering menjumpai istilah droit objektif (atau hukum alam) sebagai lawan dari aturan-aturan hukum positif yang khusus.
6.      Kata sifat “legal” merupakan akar yang langsung dari bahasa latin ,”legalis”, yang didasarkan pada kata lex yang berarti hukum. Legal juga sering diartikan: “menurut undang-undang”.
7.      Lex”, dari bahasa latin, berarti hukum, undang-undang, juga menunjukkan perubahan dari suatu undang-undang. Dalam bentuk abstrak disebut juga “lege”, hukum. Lex juga digunakan untuk istilah-istilah tertentu, seperti: Lex commisioria: syarat batal suatu perjanjian jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka dipandang batal demi hukum; Lex fori, hukum yang berlaku, adalah hukum ditempat gugatan dimasukan dan diterima.
8.      “Jure”, berarti menurut hukum. Contohnya: jure humano, berarti menurut hukum manusia.
9.      “Juris”, juga beratti hukum. Presumptio Juria: Dugaan hukum.
10.   “Jus” atau “Ius”, juga berati hukum, tetapi sedering juga berarti hak . Contohnya: jus avocandi: hak untuk memanggil kembali.
4.Apa pengertian hukum ?
Oxford English DictionaryLaw is the body of rules, whether formally enacted or customary, which a state or community recogniz as binding on its members or subjects. (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).
Web New International Dictionary:
Hukum adalah suatu aturan atau cara bertingkah laku atau bertindak yang ditentukan atau diakui secara formal sebagai suatu yang mengikat melalui suatu pengendalian oleh otoritas tertinggi atau yang diwajibkan oleh suatu sanksi, diakui, atau dilaksanakan melalui pengawasan otoritas; keseluruhan kumpulan kebiasaan-kebiasaan, praktik atau aturan-aturan yang merupakan aturan organik, yang ditentukan sifat-sifat dan kondisinya oleh eksistensi suatu negara atau organisasi masyarakat lainnya.

5.Bagaimana pemahaman Mazhab Hukum alam ?
               Pokok-Pokok Pikiran hukum alam, ketika pemahaman hukum tentang apa yang dimaksud sebagai hukum adalah:
1.Hukum itu tidak dibuat oleh manusia atau negara, tetapi ditetapkan oleh alam.
2.Hukum itu bersifat universal
3.hukum berlaku abadi
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari moral
             Di era modern saat ini, kembali pemikiran-pemikiran hukum alam diminati dan dijadikan acuan. Antara lain pemikiran-pemikiran dari kaum “the critical legal studies movement” Amerika Serikat, yang menentang keterpisahkan hukum dari akar-akar moralitas dan religiusnya. Namun demikian, untuk penggunaan ajaran hukum alam di abad ke 21 ini, terlebih dahulu kita membedakan antara hukum alam sebagai subtansi dan hukum alam sebagai metode.
a.      Hukum alam sebagai metode , yaitu usaha untuk menciptakan aturan-aturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berbeda-beda. Ia tidak mengandung kaidah, tetapi ia hanya mengajarkan bagaimana membuat aturan yang baik. Hukum alam sebagai metode merupakan ciri hukum alam sebelum abad ke 17.
b.      Hukum alam sebagai subtansi, yaitu hukum alam yang memuat kaidah-kaidah. Ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dan beberapa asas yang absolut sifatnya, yang lazim dikenal sebagai “hak azazi manusia”. Hukum alam sebagai subtansi merupakan ciri hukum alam abad ke  17 dan ke 18.
   Rudolf Stamler, seorang filsuf Jerman yang mengikuti ajaran Emanuel Kant, mencetus pikiran-pikirannya yang menurut saya “bersifat menengahi” antara hukum alam dan positivistis. Menurut Stamler, harus dibedakan antar “ the concept of law dengan “the idea of law” .Bagi Stamler, the comcept of law tidak lebih dari suatu definisi formal belaka, sedangkan the idea of law merupakan realisasi keadilan.
Selanjutnya pokok-pokok pikiran Stamler sebagai berikut:
a.      Semua hukum positif merupakan usaha menuju hukum yang adil
b.      Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum pada setiap situasi.
c.      Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.
d.      Hukum adalah suatu struktur yang demikian itu, kita harus mengabtrasikan tujuan-tujuan tersebut dari kehidupan sosial yang nyata. Kita harus menemukan asalnya dan bertanya diri kita sendiri, apakah merupakan hal pokok yang harus kita lakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem tujuan yang harmonis dan teratur.
e.      Dengan  bantuan analisis yang logis, kita akan menemukan asas-asas penyusunan hukum (juridical organization) tertentu yang mutlak sah, yang akan membantu kita dengan aman, dalam memberikan penilaian tentang tujuan manakah yang layak untuk memperoleh pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah tujuan itu berhubungan satu sama lain secara hukum (jurally related).
6. Bagaimana pemahaman Mazhab Legal Positivisme (Positivisme Hukum) ?
Positivisme hukum dikenal sebagai teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral, merupakan hal yang amat terpenting.
Roger A Sinner, dalam Deniss Paterson, 1999, menyatakan, bahwa positivisme membedakan secara tegas “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai standar hukum yang valid” dan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar moral yang valid”
John Austin (1790-1859) ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivis” yang menyatakan, bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi.
Hans Kelsen mengemukan: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap prilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Jadi bagi kaum positivisme hukum dipahami sebagai berikut:
a.        Hukum adalah seperangkat perintah.
b.        Yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara)
c.        Ditujukan kepada warga masayarakat
d.        Hukum berlaku lokal (dalam yudiksi negara pembuatnya).
e.        Hukum harus dipisahkan dari moralitas.
f.         Selalu tersedia sanksi eksternal bagi pelanggar hukum.
Komentar Charles Sampord (1989),bahwa positivisme hukum menyiapkan suatu titik tolak alami untuk membahas teori-teori sistem hukum. Orang-orang menamakan diri sebagai kaum positivistis tidak hanya menggunakan istilah secara lebih bebas (liberal) ketimbang teoretisi lain, tetapi sebagian besar kalangan positivis, menganggap bahwa karakteristik sistimatika hukum juga merupakan ciri paling sentral dari gambaran mereka tentang hukum. Jadi tidaklah mengejutkan bahwa mereka mempunyai sebagian dari gambaran-gambaran yang dibayangkan secara paling persis tentang sistem hukum dalam yurisprudensi (ilmu hukum).
Kepersisan serupa tidak dapat ditemukan dalam mendefinisikan positivisme hukum itu sendiri. Positivisme hukum  lahir dari teori-teori hukum alam dengan menekankan peran pranata-pranata manusia dalam menentukan hukum.
Ketika penekanan ini berkembang, sejalan dengan peningkatan aktual dalam kekuasaan yang dimiliki oleh pranata-pranata tersebut, kaum positivis mulai menganggap diri mereka sendiri sebagai berbeda dari para lawyer hukum alam dalam hal bahwa mereka melihat hukum sebagai suatu fenomena manusiawi dan sosial ketimbang sebagai fenomena ilahiah, metafisik, atau alami. Karakteristik ini telah berlangsung sejak Betham  menegaskan bahwa “law as the command of a political sovereign (rather than God, nature or reason); hukum adalah perintah seorang penguasa politik (ketimbang Tuhan, alam, atau akal), hingga Raz (1979 :37) yang “tesis sosial” –nya menganggap pengidentifikasian hukum sebagai “a matter of social fact (masalah fakta sosial).
Fakta-fakta sosial yang ada dibenak kaum positivis yang lebih awal, adalah kegiatan-kegiatan dari badan legislatif tertentu, yang dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum dan outputnya merupakan “the law” (undang-undang).
7.  Bagaimana pemahaman Mazhab legal Utilitarisme (Utiliarisme Hukum) ?
 Aliran ini  ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832) seorang filsuf, ekonom, juris, dan reformer hukum. Betham mampu menenun dari “benang” prinsip kemanfaatan “menjadi” permandani doktrin etika dan ilmu hukum yang luas dan dikenal sebagai utilitarisme.
Bagi Jeremy Betham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemamfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip itu dikemukakan oleh Betham dalam karyanya Introduction to principles of Morals and legislation (1789), yang bunyinya bahwa hukum bertujuan untuk “the greatest happines of the greatest number”
Bagi Betham, tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk empat tujuan :
a.        to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
b.        to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah)
c.        to provide security (untuk memberikan perlindungan)
d.        to attain equility (untuk mencapai persamaan)
Jadi suatu undang-undang barulah dapat diterima sebagai hukum jika undang-undang itu bertujuan untuk mencapi tujuan:kelimpahan,perlindungan terhadap status dan kepemilikan, serta untuk meminimasi ketidak adilan.

8. Bagaimana Pemahaman mazhab Legal Historisme (Mazhab Historis Hukum)?
       Pelopor aliran historis  adalah Karl Von Savigny (1799-1861) dan Maine (1822-1888). Savigny adalah negarawan dan sejarahwan Prussia, yang mengupayakan pemahaman tentang hukum melalui penyelidikan tentang volkgeist atau the soul of people (jiwa rakyat).
Istilah volkgeist sendiri diperkenalkan pertama kali oleh murid Savigny, yaitu G.Puchta. Savigny: “All law is the manisfestation of this common consciousness” (semua hukum merupakan manifestasi dari kesadaran umum ini)
G. Puchta menyatakan bahwa:
Law grows with the growth, and strengthens with the strength of the people, and finally dies away as the nation loses its nationalty” (Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya).
          Hukum tidak berlaku secara universal, karena hukum itu lahir dari “volkgeist” yang berbeda-beda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Jadi, hukum hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
Hukum tidak memancar dari seorang peletak dasar hukum yang tunggal, melainkan dari kesadaran instintif masyarakat: tentang apa yang dianggap “benar” dan apa yang dianggap “salah”. Jadi bagi Savigny, ia melihat perbedaan hukum dari masing-masing terletak pada karakteristik perkembangan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum.
            Bagi penganut historisme, oleh karena hukum itu tumbuh dan berkembang, maka berarti ada hubungan yang terus menerus antara sistem yang ada kini dengan ada yang ada di masa silam. Dan oleh karena itu, hukum yang ada kini mengalir dari hukum yang ada sebelumnya atau hukum yang ada di zaman lampau. Dan selanjutnya, hal itu mengandung makna bahwa hukum yang ada kini, dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa lampau.
            Dari sudut pandang penganut historisme, hukum adalah fenomena historis, hukum mempunyai sejarah. Dan sebagai “fenomena sejarah” berarti hukum tunduk pada perkembangan yang berlangsung secara terus menerus.
Ada dua makna pengertian perkembangan, yaitu:
a.        unsur perubahan,
b.        unsur stabilitas
         Apa yang berkembang adalah stabil, meskipun ia berubah.
“Hukum berkembang” terutama bermakna bahwa terdapat hubungan erat, berkesinambungan antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau satu kesinambungan. Sebagai konsekuensinya, kita hanya dapat memahami hukum di masa kini, hanya dengan memanfaatkan metode penyelidikan sejarah. Mempelajari hukum sebagai ilmu, berarti mempelajari sejarah.
Definisi hukum menurut Savigny:
All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is in a people’s history, the roots are fed by consciousness, the faith, and the customs of the people” (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran keyakinan, dan kebiasaan masyarakat).

9.Bagaimana Pemahaman aliran Realisme Hukum (Amerika Serikat)
         Yang dinamakan sebagai aliran realisme hukum adalah merupakan kumpulan pemikiran yang beragam, tetapi mempunyai satu fokus pandangan yang sama tentang hukum.
          Basis filsufis dari “realisme” bersandar pada keyaknan bahwa ketika kita berpersepsi, kita menyadari hal-hal yang ada secara terlepas dari kita, karenanya secara tersirat keyakinan ini melibatkan suatu penolakan terhadap pandangan bahwa apa yang dipersepsi tidak lebih dari pada sekedar data yang bersifat perasaan pribadi (“private sense”) saja.  Doktrin yang diterapkan pada penyelidikan terhadap suatu fenomena melibatkan aplikasi prosedur-prosedur obyektif yang tidak dipengaruhi oleh suatu cara yang bersifat sentimen dan idealisme.
          Aliran ini dibangun oleh pandangan James (1890-1922) dan Dewey (1859-1952), James menguraikan teori pragmatisme sebagai filsafat positivisme yang menolak “ sistem tertutup dan kemutlakan serta asal usul yang bersifat kepura-puraan belaka” dan berpaling ke ‘Fakta-fakta, tindakan-tindakan, dan kekuasaan”.
Teori –teori Realisme mencakup suatu spekulasi ilmu hukum yang sangat beragam dan terdapat penolakan-penolakan terhadap pandangan aliran pemikiran yang menyatu.
         Llewellyn menyebutkan pandangan-pandangan berikut ini yang lazim bagi pendekatan-pendekatan realisme terhadap metode antara lain:
a.        suatu pandangan bahwa hukum sifat berubah-rubah.
b.       Sikap hukum bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan hukum hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial.
c.        Keyakinan bahwa masyarakat berada di dalam proses perubahan terus menerus dan sering “mendahului” hukum, sehingga pengujian-pengujian kembali dan revisi terhadap hukum merupakan sesuatu yang esensial.
d.       Suatu ketidak percayaan terhadap konsep-konsep tradisional dan aturan-aturan hukum sebagai penggambaran tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
e.        Suatu penekanan terhadap evaluasi hukum dari sudut pandang dampak serta efek-efek terhadap masyarakat.
f.        Keyakinan terhadap arti penting dari apa yang dapat dicapai oleh suatu serangan yang terencana dan berkelanjutan terhadap persoalan-persoalan hukum.
        Esensi dari aliran realisme dalam ilmu hukum ada di dalam gagasan Holmes tentang pengujian fakta-fakta. Menurut Holmes, seorang hakim dapat memenuhi fungsi-fungsi hanya kalau ia secara memadai mengenal banyak aspek hukum. “kalau subyek anda adalah hukum, maka jalan-jalannya mudah dipahami melewati antropologi, ilmu tentang manusia, ke ekonomi, politik, teori perundang-undangan, etika, dan dengan pemikiran berarti melewati semua jalan pandangan hidup anda yang final..”
                   Corak pemikiran kaum realis, diantaranya tampak dalam definisi hukum yang dikemukakan oleh salah seorang eksponennya, Gray , yaitu:
       “law as a rule of conduct lain down bu the person acting as judicial organ of the state. Law ia what the judges declare... that the personality and personal views of  a judge play an important role in the decision making process.” (Hukum sebagai suatu aturan perilaku yang ditetapkan tindakan personal aparat pengadilan. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim...Bahwa kepribadian dan pandangan pribadi hakim, memainkan peranan penting dalam proses terwujudnya keputusan).  
         Menurut buku karya editor Christoper Berry Gray, Philosophy of law : An Encyclopedia Volume II (1999: 722-723), meskipun secara umum penganut realisme hukum berpandangan bahwa yang dimaknakan sebagai hukum adalah putusan hakim, dan bukan undang-undang, karena undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi hukum setelah dijelmakan dalam putusan hakim. Tetapi dikalangan kaum realis sendiri  terdapat dua sayap:
a.      The sociological wing of realism,” yang dianut Karl Llewelly, Oliphant, Moore, dan Cohen. Inti pendapat mereka adalah bahwa ada beraneka ragam kekuatan sosial yang memaksa dan mempengaruhi penilaian hakim terhadap fakta-fakta dari kasus yang dihadapinya, yang mana, kekuatan sosial itu yang menentukan lahirnya putusan hakim, ketimbang aturan-aturan  hukum. Kekuatan sosial itu termasuk : latar belakang ekonomi para hakim, dan juga termasuk, pengalaman-pengalaman sosialisasi profesional para hakim.
b.      The idiosyncracy wing of realism” , yang menekankan pada pengaruh psikologis dan kepribadian individu. Dianut oleh Jerome Frank dan Hutcheson. Inti pendapat mereka adalah bahwa faktor yang paling mendasar yang mempengaruhi hakim dalam menilai fakta-fakta yang terkait kasus yang diadilinya adalah faktor kepribadian dan psikologi dari individu. Jerome Frank dipengaruhi oleh ajaran psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Dengan demikian, “sayap sosiologis” dalam realisme itu merupakan embrio mazhab sosiologis, sedangkan “sayap idiosyncracy” dalam realisme meruapakan imbrio mazhab legal psikologis.

10.Bagaimana Pemahaman  mazhab Sosiologis Hukum ?
         Eugen Ehrlich dikenal sebagai the founding father of sociology law, dan Roscoe Pound oleh banyak pakar juga dianggap sebagai the founding father of sociologikal jurisprudence.
         Pemikiran aliran sosiologis mencakup sejumlah pendekatan yang lebih beragam ketimbang seragam. Namun pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam:
a.pemikiran sociology of law yang merupakan cabang sosiologi
b.pemikiran the sociological of jurisprudence yang merupakan cabang ilmu hukum.

ad.a Sosiologi Hukum, Pound menunjuk studi ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya, yang didasarkan pada suatu konsep yang memandang hukum sebagai satu alat pengendalian sosial. Lloyd menuliskannya sebagai suatu yang pada pokoknya meruipakan ilmu deskriptip yang memanfaatkan teknik-teknik empiris. Hal yang berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat hukum dan tugas-tugasnya dibuat, sosiologin hukum memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu.
ad.b Ilmu hukum sosiologis. Pound menunjuk kajian ini sebagai studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu merupakan suatu aspek ilmu hukum sebenarnya. Lloyd menuliskan bahwa ilmu hukum sosiologis ini adalah suatu cabang dari ilmu-ilmu normatif, yang bertujuan untuk lebih mengefektifkan perundang-undangan di dalam pelaksanannya, dan didasarkan pada nilai-nilai yang subyektif. Beberapa penulis menggunakan istilah-istilah ini untuk menunjukkan pada “aliran sosiologis dalam ilmu hukum , yaitu para yuris yang melihatnya sebagai suatu studi tentang masyarakat untuk membuat ilmu hukum menjadi lebih akurat.
II.Konsep Pluralitas Hukum Werner Menski
Berdasarkan paparan mazhab–mazhab di atas sebenarnya memberikan pemahaman, bahwa pandangan hukum di dalam berbagai sistem hukum di dunia adalah pluralitas, dan untuk memahami hukum yang pluralitas perlu teori yang relevan untuk menjelaskan dan selaras dengan globalisasi, yaitu Teori “Triangular Concept of Legal Pluralism (konsep segita pluralisme hukum).  Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski.
   Werner Menski adalah seorang profesor hukum dari Universitas of London, pakar hukum dibidang hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
  Proposisi yang dibangun dari teori ini adalah, bahwa pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar bangsa maupun dalam satu negara tertentu, tetapi juga plurarlisme mengenai prilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada di setiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitis, ketika sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka.
  Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan secara proposional secara serentak ketiga pendekatan hukum, normatif,empiris, dan  filosofis, dan itulah yang dikenal sebagai triangular concept of legal pluralism.
       Bagaimana penjelasan teorinya secara ontologi, epistemologi, aksiologi yaitu dapat dibuat ragaan sebagai berikut: (modifikasi dari Achmad Ali,2009)
Untuk menjelaskan model ragaan di atas, yaitu pada segitiga unsur masyarakat  kita berikan nomor  1 adalah unsur masyarakat adalah the triangle of society, nomor 2 adalah unsur negara the triangle of state, dan nomor 3 adalah nilai serta etika the realism of values and ethics. Ketiga komponen tersebut adalah relatif tidak lebibh unggul antara komponen yang satu dengan yang lain.
Menurut Menski tiga komponen itu untuk memperkenalkan representasi grafis (skema) dari level of intrinsic the scond pluralisme hukum yang disajikan di atas, kita mulai dengan hukum yang ditemukan didalam kehidupan sosial, karena kehidupan sosial itulah merupakan  tempat dimana hukum selalu berlokasi.
Studi terkini dibidang hukum mengkonfirmasikan,  bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa hukum, sementara sedikit sekali, atau hampir tidak ada hukum produk negara didalam suatu konteks kultur dan lokal khusus.
Dibidang sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma atau input-input yang berasal dari negosiasi hukum kurang lebih murni bersumber dari masyarakat sendiri. Bukan dari produk hukum negara.
Jika suatu kelompok manusia tertentu membedakannya sendiri dengan kelompok lain, atau membedakan dirinya sendiri sebagai anggota kelompok lain, atau membedakan dirinya sendiri  sebagai anggota kelompok dengan anggota lain dari kelompoknya, misalnya perbedaan secara etnis, maka disitu kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang terpisah.
Ini yang kita berikan nomor 11 dalam penomoran, yang merefleksikan fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen dari tipe hukum ini, mula-mula berasal dari dalam segitiga ini.
Aturan-aturan didalam kehidupan sosial, juga dipengaruhi oleh kehadiran dari co existing hukum produk negara, yang kita berikan sebagai nomor 12 dalam penomoran, yang mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan mendapat pengaruh parsial dari hukum produk negara.
Disisi lain , poros pusat dalam the triangle of society, kita berikan nomor 13 dalam penomoran,terhadap norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai.
Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat dalam the triangle of society. Hal itu membuktikan bahwa ini merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang barangkali juga secara intrinsik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan alam nilai. Dengan demikian, hal ini berarti bahwa analisis kuktural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (plurality –conscious analitycal methods).
Berikutnya kita pindah ke the triangle of the state. Di dalam suatu konteks hukum tertentu, mungkin saja tidak tampak adanya hukum produk negara, dimana studi ini menemukan bahwa selalu terdapat beberapa jenis hukum.
Dengan demikian, jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin juga dalam bentukjnya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun, apapun bentuknya dan apa pun yang membentuknya, apa pun kemungkinan sifat tepat dari negara (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk para ilmuwan politik, tetapi juga studi termuktahir menyakinkan, bahwa masalah tersebut merupakan bidang mereka, yang juga, mereka akan memperolegh manfaat dari analisis kesadaran pluralitas yang lebih mendalam), kita memberikan elemen sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai bentuk produk negara, yang mana dapat mengambil bentuk aturan-aturan, norma-norma ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum produk negara ini.
Berikutnya, kita memberikan nomor 21 untuk berbagai jenis hukum produk negara yang mendapat pengaruh oleh dunia kehidupan sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis hukum, yang mana dalam istilah yang digunakan oleh Chiba dikenal sebagai the scond type of official law (tipe kedua dari hukum resmi negara), yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara,melainkan dilegitimasi berlakuknya oleh negara (state law that was not really made by the state but accepted by it).
Penalaran yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari the stattist triangle, kenapa tipe-tipe hukum produk negara (state made law) dalam penomoran kita berikan nomor 23 yang merefleksikan input dari segi ketiga (third triangle).
Kita kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai segi tiga hukum alam (the triangle of natural law) dan pengembangan keadaannya yang plural. Kita berikan nomor 33 bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga jenis hukum alam ini, yang sumbernya telah “berutang” pada input-input yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini.
              Kita kemudian memberikan nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan unsur-unsur etis, dari apa yang diistilahkan oleh Chiba (1986) sebagai “postulat hukum” , yang secara sebagian besar telah “berutang”, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk mereka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran “some rule negotiation power” yang menggerakan awal dari segitiga jenis ini.
             Selanjutnya kita melengkapi putaran ini, dengan cara memberi nomor 31 bagi nilai dan etika, yang tampak untuk sebagian terbesar telah “berutang”  bentuk mereka pada input sosial, dan kemudian kita kembali pada kehidupan kultur yang lebih luas. Citranya secara keseluruhan kemudian tampak dalam skema yang telah digambarnya sebelumnya.
Jadi  jika kita singkat teori Menski di atas adalah bahwa kalau kita ibaratkan hukum itu sebagai pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon itu secara parsial, melainkan secara total. Kita boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam fungsinya sebagai “akar” (yang dalam hukum adalah masyarakat dan nilai kulturnya) yang menyerap makanan dari tanah,  kita boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam bentuk batang yang memperkukuh pohon itu (dalam hukum adalah hukum positif), dan kita tidak boleh memandang sebagian kayunya hanya sebagai ranting yang menjulur ke atas langit dan ke berbagai arah untuk menghirup aroma surgawi (di dalam hukum adalah nilai-nilai moral, agama, dan estika). Hukum jika diibaratkan pohon, maka seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu kesatuan yang utuh, terdiri dari: hukum yang dilahirkan oleh masyarakat, hukum yang merupakan produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan, dan etika. Ketiga pilar utama itulah hukum yang utuh.
Kalau kita bandingkan dengan teori tiga tipe  dari Nonet & Selznick, maka mereka menempakan tipe hukum responsif sebagai tipe hukum ideal mereka, yang dalam perkembangannya telah melewati hukum represif dan tipe hukum otonom. Sedangkan Werner Menski, menjadikan tipe hukum idealnya, yaitu the holy grail of all law, suatu tipe hukum yang berhasil secara optimal menjalin interaksi di antara tiga komponen utama tadi , secara harmonis, yaitu ethical values atau nilai-nilai etika, social norm atau norma-norma sosial, dan posited state made legal rules (state-made law), yaitu hukum buatan negara.
           Jika konsep pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep ketiga unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M Friedman, maka dapat kita katakan bahwa pluralitas hukum tidak hanya menyangkut subtansi atau strukturnya, tetapi juga, bahkan lebih tinggi tingkatan pluralitasnya unsur “kultur hukum” yang mencakup pluralitas kebiasaan-kebiasaan yang ada, pluralitas opini-opini yang ada, pluralitas keyakinan-keyakinan yang ada, serta juga pluralitas dari cara berpikir dan cara bertindak di bidang hukum.
     Adalah yang terpenting dari tiga komponen dikembangkan menjadi sembilan komponen menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada di dalam konsep segitiga Menski sebagai berikut:
1.      Hukum negara yang sesungguhnya, yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak dikenal sebelumnya di dalam nilai-nilai etika, moral, dan agama, maupun norma sosial. Contoh, UU Penggunaan Helm bagi Pengendara  Motor, peraturan ini absolut produk hukum negara.
2.      Hukum produk negara yang hanya meligitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya. Contoh: larangan membunuh, mencuri, memerkosa. Perbuatan itu sebelum diancamkan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memang telah dinyatakan sebagai kejahatan oleh norma moral dan agama, maupun oleh norma-norma sosial.
3.      Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma etika, moral, dan agama, atau norma-norma sosial dan kultur tertentu.
4.      Hukum yang murni produk sosial.
5.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan negara.
6.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai-nilai etika, moral dan agama.
7.      Nilai-Nilai etika, moral atau agama yang masih murni.
8.      Nilai-nilai etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma sosial, atau kultur tertentu.

9.      Nilai-nilai etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan pemerintah.
»»  Baca Selengkapnya...