Senin, 07 Maret 2011

KEDUDUKAN PERDA SEBAGAI PRODUK HUKUM DAERAH DALAM STRUKTUR HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN PERDA SEBAGAI PRODUK HUKUM DAERAH DALAM STRUKTUR HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Sebagai Bahan Bimbingan Teknis Merancang Produk Hukum di Daerah Berdasarkan UU No 10 Tahun 2004, UU No 32 Tahun 2004, UU No 24 Tahun 2009)

Oleh:Turiman Fachturahman Nur SH,MHum.CD.[1]
Dosen Hukum Tata Negara Fak Hukum UNTAN Pontianak

Ketika kita membahas kedudukan PERATURAN DAERAH atau PERDA sebagai produk hukum daerah dalam struktur hirarki peraturan perundang-undangan, maka yang patut dipahami secara konsepsional adalah bahwa PERDA adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan, oleh untuk tidak bias pemahaman perlu kita ketahui apa yang dimaksud peraturan perundang-undangan, dan apa pengertian PERDA itu sendiri sebagai produk hukum daerah, apakah ada jenis produk daerah lain yang juga jenis peraturan perundang-undangan, karena ada pandangan di birokrasi pemerintahan di daerah bagaimana jika PERDA materi muatan mengacu kepada peraturan menteri sedangkan peraturan menteri tidak muncul dalam hirarki peraturan perundang-undangan, kemudian bagaimana mengacunya ketika kita merancang sebuah PERDA agar tidak menabrak peraturan menteri, mengapa demikian karena tidak dipungkiri banyak Peraturan Menteri yang harus diacu, bahkan Peraturan Presiden atau lebih tinggi lagi Peraturan Pemerintah atau lebih tinggi Undang-Undang, yang jadi masalah kadangkala para pemangku kepentingan (birokrasi pemerintahan) mendapatkan antar jenis peraturan perundang belum sinkron baik secara vertical maupun horizontal, oleh karena bahan ini membantu para peserta bimbingan teknis dalam merancang sebuah produk hukum daerah yang nama PERDA.
Untuk memahami secara holistik dan komprehensif, maka perlu disamakan persepsi apakah yang dimaksud peraturan perundang-undangan itu ? mengacu pada ketentuan normatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan aturan teknisnya, yaitu Permendagri No 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI TAHUN 2004 Nomor 53)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 ada dua subtansi yang perlu digaris bawahi, yaitu bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, hal ini berarti secara konsepsional peraturan perundang bisa terbit dari lembaga negara pada satu sisi atau dari pejabat yang berwenang, kata kuncinya adalah kewenangan.
Berkaitan dengan kewenangan tentunya berdasarkan struktur tata pemerintahan daerah kewenangan yang bersumber pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dan medebewin tugas pembantun, pertanyaannya adalah PERDA sebagai produk hukum daerah bersumber dari kewenangannya yang mana dari ketiga asas tersebut ?
Berdasarkan Permendagri No 16 Tahun 2006 memberikan batasan normatif apa yang dimaksud Produk Hukum Daerah yaitu adalah peraturarn daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 2 ) jelas kepala daerah adalah pejabat yang berwenang yang kewenangannya sudah jelas dalam UU No 32 Tahun 2004 pada Paragraf Kedua bagian keempat menyatakan secara jelas bahwa Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pasal 25 Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c.menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; g. dan melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketika melaknakan tugas dan wewenang tersebut Kepala Daerah terdapat kewajiban yaitu pada Pasal 27 (1) UU No 32 Tahun 2004, bahwa "Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b meningkatkan kesejahteraan rakyat; b memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; c. melaksanakan kehidupan demokrasi; d. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan; e. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; f.memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; g melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. h. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; i. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; j menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan PERDA untuk memahami ini pertanyaan bisa dipertajam bagaimana kedudukan PERDA Kedudukan Peraturan Daerah, yaitu bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi Peraturan Daerah Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah
Pertanyaan bagaimana secara normatifnya ? disini kita berbicara SUBTANSI PERDA, bahwa Peraturan Daerah (PERDA) : Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Persetujuan Bersama Kepala Daerah (Pasal 1 Angka 7 UU No 10 Tahun 2004) dan Materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (Pasal 12 UU No 10 Tahun 2004) Dengan demikian esensi PERDA ada empat hal : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah 2. Tugas pembantuan, dan 3. Menampung kondisi khusus daerah serta 4. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang - Undangan yang lebih tinggi.
Pada tataran penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan disinilah kita berbicara tentang hirarki peraturan perundang-undangan pertanyaannya secara konsepsional ada landasan akademisnya (teoritis) tentang hirarki norma hukum (tertulis) itu ?
Untuk memberikan pemahaman kita eksplorasi apakah sebenarnya peraturan perundangan secara akademis? sedikit sebagai bahan rujukan, Peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[2]
Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah “yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif” sebagaimana terungkapkan dalam pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Kuntana Magnar, bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.[3] Dari pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Bagir Manan bersana dengan Kuntana Magnar mengemuka sejumlah unsur yakni:
1. keputusan tertulis;
2. yang dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif;
3. yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum;
4. sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam UU Nomor 10 tahun 2004, Pasal 1 angka 2, bahwa Peraturan Perundang- undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut adalah:
1. peraturan tertulis;
2. mengikat secara umum; dan
3. yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.
Lembaga negara atau pejabat yang berwenang tersebut baik di pusat maupun di daerah. Sehingga peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah. Salah satu jenis peraturan perundang-undangan daerah adalah Peraturan Daerah, yang menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Yang lainnya adalah peraturan kepala daerah yakni peraturan Gubernur dan peraturan bupati/walikota (Pasal 1 angka 11 UU Pemda).
Mengacu pada kepustakaan Belanda, A. Hamid. S. Attamimi mengemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum.[4] Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun bagi rakyat.[5] Sedangkan norma hukum bersifat umum, menurut FR. Bohtlingk dan JHA. Logeman, mengandung pengertian berhubungan dengan ruang berlaku, yakni berlaku di seluruh wilayah, berhubungan dengan waktu berlaku, yakni berlaku terus-menerus, berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum, yakni berlaku untuk semua orang, dan berhubungan dengan fakta yang terulang.[6]
Dalam perkembangannya, kriteria yang lazim digunakan adalah dari segi subyek dan obyek. Dari segi subyek, apabila yang terkena norma hukum itu adalah orang atau orang-orang tidak tertentu disebut norma umum, sedangkan bila yang terkena itu adalah orang atau orang-orang tertentu disebut norma individual. Dari segi obyek, apabila norma hukum itu mengenai hal tidak tertentu disebut disebut norma abstrak, sedangkan jika mengenai hal tertentu disebut norma konkrit. Keempat macam norma hukum itu dapat dikombinasikan menjadi 4 (empat) kategori norma hukum, yakni: norma hukum umum-abstrak, norma hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak, dan norma hukum individual-konkrit.[7]
Peraturan perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya yang umum-konkrit, demikian A. Hamid. S. Attamimi, sedangkan norma hukum lain-lainnya, yaitu yang individual-abstrak, dan lebih-lebih yang individual-konkrit, lebih mendekati penetapan (beschikking) daripada peraturan (regeling).[8]
Secara otentik pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 Tahun 2004, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.”
Dalam pengertian tersebut penyebarluasan peraturan perundang-undangan dimasukan sebagai salah satu bagian proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Padahal penyebarluasan peraturan perundang-undangan dilakukan setelah peraturan perundang-undangan dibentuk atau dibuat. Jadi, berada di luar proses pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi saat ini itu menjadi penting karena berkaitan dengan program sosialiasi..
Mengaitkan pengertian otentik tentang peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh badan atau pejabat yang berwenang; dan
3. yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
20.Dengan demikian pembentukan peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum yang dilakukan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah, yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Oleh karena Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan daerah, maka pembentukan Peraturan Daerah yang dapat dimengerti sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah; dan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
21.Kemudian bagaimana tentang Hierarki peraturan perundang-undangan yang diterapkan di Indonesia sebenarnya didasarkan pada Stufentheorie dari Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen yang merupakan teori abad 19, tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
22. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu − yakni norma yang lebih rendah − ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar.[9]
23. Stufentheorie dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl. Kemudian oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Teori yang dikembangkan Hans Nawiasky ini dikenal sebagai die Theorie vom Stufenordnung der Rechtnormen, yakni Suatu norma hukum dari negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang; suatu norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi; norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi lagi; sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yaitu staatsfundamentalnorm. Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok norma hukum dalam suatu negara terdiri atas 4 kelompok besar[10]:
Kelompok I
:
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara).

Kelompok II
:
Staatsgrundgesezt (Aturan Dasar Negara).
Kelompok III
:
Formell Gesezt (Undang-Undang Formal).
Kelompok IV
:
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom).

24. Asas preferensi yang berlaku dalam konteks ini adalah lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan (menderogasi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
25.Hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sekarang adalah sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengaturan sebelumnya mengenai hierarki itu dapat dilacak sampai pada tahun 1950. Berikut ini dipaparkan perkembangan pengaturan mengenai hierarki tersebut dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2004 dalam upaya mendapatkan pemahaman yang lebih memadai mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan daerah, khususnya Peraturan Daerah, dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
26. Dalam UU No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pasal 1, diatur bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
27. Dalam Pasal 2 diatur, tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1. Kedua ketentuan tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan pusat yang berlaku saat itu.
28. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan RI ialah:
- UUD RI 1945,
- Ketetapan MPR (S),
- Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
- Peraturan Pemerintah,
- Keputusan Presiden,
- Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri,
- Instruksi Menteri,
- dan lain-lainnya.
29.Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya (Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966).
30.Ketetapan MPRS tersebut menegaskan politik perundang-undangan mengenai bentuk (baca: jenis) dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak saat itu. Sekalipun tidak tegas keberadaan peraturan perundang-undangan daerah dalam tata urutan itu, namun keberadaannya dapat diinterpretasikan dari kata “dan lain-lainnya.” Artinya, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah (Keputusan Kepala Daerah saat itu) berada di bawah Instruksi Menteri.
31.Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ketetapan MPR ini ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU;
4. PERPU;
5. PP;
6. Keppres;
7. Perda (Pasal 2).
a. Perda provinsi.
b. Perda kabupaten/kota.
c. Perdes (ayat (7) Pasal 3).
32.Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (ayat (1) Pasal 4). Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (ayat (2) Pasal 4).
33.Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan dan jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan.
2. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan, yang membawa implikasi hukum bahwa jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah.
3. Peraturan perundang-undangan yang berada dalam jenis Peraturan Daerah, yakni Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes, tidaklah berada dalam tata urutan berdasarkan Ketetapan MPR tersebut.
34. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 diatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah (ayat (1) Pasal 7), meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota.
c. Peraturan Desa.
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi di Daerah Provinsi Papua (Penjelasan ayat (2) huruf a Pasal 7).
35. Dalam ayat (5) diatur, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan ayat (5) Pasal 7).
36. Seperti halnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, UU Nomor 10 Tahun 2004 juga mengenal jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (di luar hierarki). Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (4), jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan, bahwa jenis peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh:
a. MPR, dan
b. DPR,
c. DPD,
d. MA,
e. MK,
f. BPK,ubernur BI,
g. Menteri,
h. Kepala badan, lembaga, atau lomisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU,
i. DPRD Provinsi,
j. Gubernur,
k. DPRD Kabupaten/Kota,
l. Bupati/Walikota,
m. Kepala Desa atau yang setingkat.
37. UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di luar hierarki.
2. Jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa), Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa.
3. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan hierarkinya.
38. Hubungan antara Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, tidaklah hubungan hierarki.
39. Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa berada di luar hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
40. Kemudian bagaimana tentang Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah ?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi:
1. Peraturan Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi,
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
c. Peraturan Desa.
2. Peraturan DPRD, yang meliputi:
a. Peraturan DPRD Provinsi, dan
b. Peraturan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Peraturan Kepala Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Gubernur, dan
b. Peraturan Bupati/Walikota.
4. Peraturan Kepala Desa.
41.Sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004), maka jenis-jenis peraturan perundang-undangan daerah itu haruslah berisi materi muatan yang tepat.
42.Penggunaan istilah ”materi muatan” diperkenalkan oleh Abdul Hamid Saleh Attamimi sebagai pengganti kata Belanda ”het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke ”het eigenaardig onderwerp der wet”, diterjemahkan dengan ”materi muatan yang khas dari undang-undang”, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan UU. (Attamimi 1979, 1982, dan 1990). Dalam UU P3, istilah materi muatan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 12).
43.Berdasarkan pengertian tersebut, maka materi muatan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan tertentu, yang tidak menjadi materi muatan jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Khususnya, mengenai materi muatan Perda, maka berarti materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam Perda, yang tidak dimuat baik dalam peraturan perundang-undangan daerah lainnya maupun peraturan perundang-undangan pusat.[11]
44.Mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 secara tegas diatur dalam Bab III yang bertajuk Materi Muatan, yakni
1. Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 8).
2. Materi muatan PERPU sama dengan materi muatan UU (Pasal 9), yang ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Pasal 1 angka 4).
3. Materi muatan PP berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya (Pasal 10).
4. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan PP ([Pasal 11).
45. Materi muatan tersebut adalah materi muatan peraturan perundang-undangan pusat. Hal tersebut penting dipahami dalam upaya memperjelas pemahaman mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan daerah.
Materi muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah sebagai berikut:
1. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12).
2. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).
3. Materi muatan Peraturan Kepala Daerah adalah materi untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan ((Pasal 146 ayat (1) UU Pemda).
4. Peraturan DPRD, masih perlu diadakan kajian mengenai materi muatannya. Contoh materi muatan Peraturan DPRD adalah Peraturan Tata Tertib DPRD (Pasal 54 ayat (6) UU Pemda).
46.Khusus mengenai materi muatan Perda dapat dikemukakan kembali, bahwa materi muatannya pada dasarnya adalah:
1. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah (termasuk di dalamnya seluruh materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, sebab kondisi khusus daerah merupakan salah satu karakter dari otonomi daerah, yakni karakter “nyata” dan yang lainnya adalah seluas-luasnya dan bertanggung jawab).
2. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan, dan
3. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
47.Khususnya mengenai materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah harus merujuk pada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Pemda, yang masing mengatur urusan wajib dan urusan pilihan daerah provinsi dan urusan wajib dan urusan pilihan daerah kabuipaten/kota. Pembagian urusan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang penetapan masing-masing urusan itu oleh Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah.
48 Selanjut apapun jenis peraturan perundang-undangan akhir bersumber pada Rect Idee Indonesia yang telah disepakati yaitu Pancasila, tetapi bagaimana menjabarkan Pancasila sebagai sumber hukum negara dalam struktur peraturan perundang-undangan. Mengacu pada konsep negara hukum Indonesia telah disepakati bahwa Pancasila adalah cita hukum (recht idee) Indonesia dan secara konstitusional telah diformulasikan oleh para pendiri negara ini pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 kemudian telah dijabarkan lanjut kedalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pada Pasal 2 menyatakan : "Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.
49. Permasalahannya adalah bagaimana mewujudkan Pancasila sebagai recht idee tersebut ke dalam konsep bernegara hukum yang khas Indonesia, tentunya secara teoritis paparannya pada satu sisi tentunya kita memasuki sebuah konsep tentang pembaharuan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional, pada sisi lain dalam hal ini pada sisi kenegaraan tentunya perlu ada kesamaan komitmen, visi dan misi, yaitu menjadikan negara hukum Indonesia sebagai “rumah yang nyaman dan membahagiakan bagi segenap komponen bangsa.“
50. Pertanyaannya secara akademis adalah nilai-nilai apa yang terkandung dalam Pancasila ternyata Pancasila setelah reformasi tidak hanya dipahami secara hirarki piramida semata tetapi juga konsep ber'Thawaf ? dan kedua, bagaimana menjabarkan teori Pancasila "thawaf " dalam Perisai Pancasila pada Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II sebagaimana telah dipertegas Pasal 48 ayat (2) dalam UU No 24 Tahun 2009?
51. Model alternatif yang ditawarkan adalah Model Thawaf yaitu memahami konsep Pancasila dengan pendekatan semiotika pada simbolisasi Pancasila pada perisai Pancasila dalam Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II yang telah dipertegas pada Pasal 48 ayat (2) UUNo 24 Tahun 2009, sehingga pemahaman konsep Pancasila memunculkan pluralisme pandangan, artinya tidak hanya pandangan positivisme abad 19 sebagai yang kita pahami selama ini atau konsep hirarkis piramida.
52. Konsep “thawaf” pada Pancasila jelas akan berbeda dengan konsep Pancasila yang tersusun secara hirarkis piramida. Kedua, Penafsiran Pancasila tidak hanya dianalisis dari paradigma positivisme tetapi Penafsiran Pancasila tetapi bisa memilih pandangannya spiritualisme, agar tidak berkesan sekuler. Kedua implikasi tersebut bermanfaat dalam menyusun konsep bernegara hukum kebangsaan Indonesia yang bermoral, atau penulis singkat konsep negara hukum bermoral yang berdemokrasi berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa .
53. Berdasarkan paparan di atas, berikut ini kita kutip transkrip Sultan Hamid II ketika menjelaskan Perisai Pancasila dalam lambang negara, Rajawali –Garuda Pancasila ketika dipesan oleh Presiden Soekarno, menyatakan: [12]

Ada tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf", dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih
Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [13]

"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[14]

" ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja- Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
54.Berdasarkan tiga penjelasan Sultan Hamid II tentang konsep thawaf dalam perisai Pancasila dalam lambang negara di atas, maka secara tersirat dan tersurat, bahwa dari lima Sila pada konsep Pancasila menurut Sultan Hamid II berdasarkan pesan Presiden Soekarno[15], yaitu :[16]

"....Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima"
55.Mengacu pada penjelasan Sultan Hamid II diatas, jika kita hubungkan dengan simbolisasi Pancasila pada sila-sila dalam Perisai Pancasila pada lambang negara Rajawali –Garuda Pancasila baik pada ciptaan pertama 8 Februari 1950 maupun ciptaan kedua 11 Februari 1950 dengan perbaikannya yang disposisi Presiden Soekarno dan kemudian dilukis kembali oleh Dullah, 20 Maret 1950 sampai dengan konsep lambang negara terakhir akhir Maret 1950 sebagaimana menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 dan sekarang menjadi lampiran resmi UU No 29 Tahun 2009[17], terlihat, bahwa perumusan simbolisasi sila-sila Pancasila menggunakan arah thawaf itulah penulis sebut sebagai Paradigma[18] Pancasila ber"Thawaf"
56. Konsep Pancasila "thawaf' itu dimulai pada Sila Pertama, kemudian memancar kepada semua Sila, karena Sila pertama dimasukan kedalam perisai kecil yang ada ditengah perisai besar yang terbagi menjadi empat ruang yang dibelah oleh garis equator/khatulistiwa. Arah thawaf pada simbolisasi pada perisai Pancasila itu dimulai dari Sila kedua, yang disimbolisasi dengan tali rantai yang terdiri dari 17, yaitu mata bulatan dalam rantai digambar berjumlah 9 sebagai simbolisai perempuan dan mata pesagi yang digambar berjumlah 8 simbolisasi laki-laki[19] kemudian berputar/thawaf arah kekanan atas Sila Ketiga dilukiskan pohon astana /pohon beringin simbolisasi tempat berlindung, kemudian berputar/thawaf ke arah kiri samping yaitu Sila Keempat yang disimbolkan kepala banteng sebagai simbolisasi tenaga rakyat, kemudian berputar/thawaf kearah kiri bawah ke Sila Kelima, yang dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan kemakmuran.[20]

57.Terhadap konsep/model ber"thawaf" diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan : [21]
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima".
58. Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: nilai Pancasila bagi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya bahwa negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral [22] kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia menjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah oleh Sultan Hamid II dimasukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
59.Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya. Jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia, tentunya mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agamanya, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
60. Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [23]
61. Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung nakna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
62.Dalam kaitannya dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara subtansial nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.
63.Berdasarkan konsep thawaf Pancasila tersebut, maka Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sebuah perisai atau pertahanan sebuah bangsa , karena selaras makna perisai atau tameng itu sendiri yang sebenarnya dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri dan perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah, yaitu lambang perjuangan dan perlindungan, artinya dengan mengambil bentuk perisai, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli[24]
64.Secara semiologi perisai yang berbentuk jantung itu, ditengah terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan khatulistiwa/equator. Lima buah ruang pada perisai itu mewujudkan masing-masing dasar Pancasila, dan apabila kita menggunakan semiotika hukum dari teks hukum kenegaraan, maka secara semiotika hukum lambang menegaskan konsep thawaf tersebuat secara tegas pada pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
65.Adapun konsep kedua Pancasila ber”thawaf” adalah berputar berlawan dengan arah jarum jam, berdasarkan UU No 24 tahun 2009 :[25]
Pasal 48 (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
66.Deskripsi epistemologis pada Pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 diatas memberikan penegasan tentang putaran "Thawaf" pada Konsep Simbolisasi Pancasila dan secara teoritis diatas memberikan paparan, bahwa nilai Sila ke I Ketuhanan Yang Maha Esa tetap menjadi sentral dan menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya sila II,III,IV,V secara teoritik mengapa dimulai pada sila ke II Kemanusiaan yang adil dan beradab, maknanya, bahwa hukum progresif pembentukan harus mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian[26], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika[27], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan[28], artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara selanjutnya ke Sila Ke III Persatuan Indonesia, maknanya hukum Progresif taat kepada asas Kebangsaan[29], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, kemudian ke sila IV Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya, bahwa Hukum Progresif haruslah taat kepada asas kekeluargaan[30], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman[31], artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat, dan kemudian sila ke V Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia, maknanya bahwa hukum progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan[32], artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pada asas Kenusantaraan[33] artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum[34], artinya bahwa setiapMateri Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Jika diurut berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan maka konfigurasi keselarasannya adalah sila kedua menjabarkan Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan, Asas Bhinneka Tunggal Ika, asas Kemanusian, Sila ketiga, menjabarkan asas Kebangsaan, sila keempat menjabarkanb asas Kekeluaragan dan asas Pengayoman, sedangkan sila kelima menjabarkan asas Kenusantaraan, Asas Ketertuban dan Kepastian Hukum dan asas Keadilan, inilah yang penulis namakan Paradigma Pancasila Ber"THAWAF" dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penerapan tersebut kemudian penulis sebut penerapan Teori Thawaf Pancasila berdasarkan UU No 24 Tahun 2009 jo UU No 10 Tahun 2004 dalam menjabarkan Pancasila sebagai Recht Idee sebagaimana Pancasila pada alinea keempat UUD 1945, tentunya menjadi berbeda dan teori thwaf diatas mereduksi teori Hirarkis Piramida Pancasila yang selama ini dipahami ketika dikaitkan dengan sistem norma hukum yang sedikit banyak terpengaruh dengan paradigma positivisme atau teori hirarlis piramida Hans Kelsen, artinya dengan teori THAWAF Pancasila menjadi sesuatu ciri khas bernegara hukum yang progresif [35]atau bernegara hukum berciri khas KeIndonesiaan, inilah teori alternatif yang penulis tawarkan yang selaras dengan simbolisasi Pancasila pada lambang Negara sebagaimana analisis semiotika hukum sebagaimana telah dirumuskan pada Pasal 48 ayat (2) UU No 24 Tahun 2009 yang selaras dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a s.d i UU No 10 Tahun 2004 sebagai konsep bernegara hukum yang progresif dan paparan ini sekaligus menjawab kegelisahan Prof Tjip, karena menurut Penulis lambang pada perisai pada lambang negara sesungguhnya merupakan simbolisasi Pancasila, baik sebagai ideologi, dasar negara maupun filosofis bangsa Indonesia serta sumber hukum dari sumber hukum negara, sehingga secara teoritis lambang negara dalam konsep bernegara hukum Indonesia adalah mempresentasikan ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam bernegara hukum, pertanyaannya apakah dengan telah menetapkan Pancasila sebagai cita hukum, dan apakah dengan pernyataan identitas sebagai negara hukum segala sesuatu sudah selesai ? apakah tidak ada hal lain yang masih perlu dijawab melampaui konsep bernegara hukum yang berdasarkan Pancasila ? Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa negara hukum yang dibentuk pada Tahun 1945 itu ibarat rumah yang belum selesai benar. Negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya. Negara hukum Indonesia perlu terus menerus menegaskan identitasnya, yang belum tuntas dipikirkan oleh para bapak kemerdekaan kita dan menjadi tugas kitalah untuk lebih menegaskan indentitas tersebut.[36]
Berdasarkan kegilasan Prof Tjip itulah identitas tersebut dicari, karena apabila benar lambang negara khususnya simbol-simbol dalam lima buah pada ruang dalam perisai merupakan simbolisasi Pancasila, maka analisis semiotika hukum Pancasila pada lambang negara adalah merupakan konsep teoretis bernegara hukum berparadigma Pancasila yang penulis sebut Paradigma Pancasila ber"thawaf", itulah sesungguhnya kekayaan rohani dan intelektual yang terkristalisasi dan menjadi pilihan sebagai Ground Norm atau Recht Ide/Cita Hukum bagi bernegara hukum Indonesia yang sudah semestinya menemukan jalan masuknya sendiri ke dalam bangunan hukum kita, sekalipun akan menyebabkan ketidak sesuaian dengan model, standar yang dominan di dunia atau doktrinal falsifikasi Pancasila yang dipahami selama ini yaitu struktur hirarkis piramida.
Kebebasan memilih dan menentukan memang cukup menonjol pada saat bangsa berhadapan dengan materi muatan hukum, khususnya dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Tetapi bangunan hukum menghendaki bahwa pola tertentu sehingga memungkinkan pelaksanaan atau penerapan dengan seksama, pola yang sekarang sudah menjadi sangat terkenal di Indonesia adalah Stufen theori Hans Kelsen yang mengikuti A Merkl. Menurut pola tersebut seluruh bangunan hukum suatu bangsa terikat oleh susunan logis dari semua peraturan, bagian yang membentuk sisten hukum bangsa tersebut. Sebagaimana sudah diketahui dengan luas, teori Hans Kelsen tersebut mengatakan, bahwa sistem atau bangunan hukum itu mempunyai dasarnya dalam bentuk peraturan peraturan yang paling abstrak dan keseluruhan sistem hukum merupakan konkretisasi belaka dari peraturan abstrak tersebut melalui prinsip logika, artinya melalui susunan logis tersebut sistem hukum dapat diterima dan dijalankan dengan seksama, sebab sistem hukum bersesuaian dengan prinsip kerja pikiran manusia. Tanpa susunan logis, maka bahan-bahan tersebut diatas terletak secara bertebaran begitu saja tanpa bisa diikuti oleh pikiran manusia sebagai pihak yang menerima, memakai dan menjalankan hukum. Dengan demikian, hukum hanya bisa disebut sebagai himpunan ide. nilai, wawasan, tanpa bisa dinamakan sebagai suatu sistem pengaturan secara sebenarnya.[37]
Peraturan abstrak itu kemudian oleh Hans Kelsen disebut Grund Norm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan –peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu, Grund Norm ibarat bahan bahan bakar yang menggerakan seluruh sistem hukum. Grund Norm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan dipertanggungjawabkan pelaksanaan hukum, jadi Grund Norm adalah norma dasar, yang secara teoretis berada pada puncak piramida, artinya peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah semakin kongkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang "seharusnya" berubah menjadi sesuatu yang "dapat dilakukan.[38]
Stufenbautheorie inilah juga yang berpengaruh kuat dalam memahami filsafat Pancasila di Indonesia sehingga semiotika hukum struktur Pancasila sebagaimana pandangan Notonagoro yang dikemukakannya dalam Pidato Dies Natalis Universitas Air Langga pada 10 November 1955 yang saat ini setelah 100 tahun masih banyak diacu dan menjadi sandaran ketika membahas filsafat Pancasila[39], tetapi menurut penulis paradigma yang digunakan tergolong sangat postivisme dan sepertinya terpengaruh dengan konsep pemahaman abad ke 19 yaitu Paradigma Hukum Positivisme dan terpengaruh Teori Stufenbautheorie Hans Kelsen, sedangkan konsep yang dipaparkan Sultan Hamid II ketika memvisualisasikan Pancasila dalam perisai Lambang Negara jauh lebih visioner dan brilian, bahkan melampaui paradigma positivisme, tetapi sudah mengarah kepada paradigma critical theory dan paradigma konstruktifisme.[40] Penulis menyebutnya paradigma ganda Pancasila ber"thawaf"
Notonagoro mengemukakan, dalam bukunya Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 bahwa:[41] "Susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk piramida. Untuk memperjelas pandangan Notonagoro, maka berikut ini dipaparkan uraiannya lebih jelas sebagaimana disitir oleh Kaelan:[42]
"Pancasila yang terdiri atas lima sila yang merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal tersebut pada hakikatnya kesatuan kelima sila tersebut adalah bersifat hirarki dan berbentuk piramida. Kesatuan sila-sila pancasila tersebut adalah merupakan suatu kesatuan yang bertingkat (hierarkies) dan berbentuk piramida.
Berdasarkan pandangan Notonagoro dan penerusnya, akhirnya saat ini berbicara tentang Pancasila kaitannya dengan hukum selalu memiliki kecenderungan umum, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai bagian paling tinggi dipiramida hukum di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Sidharta ketika menggambarkan posisi para penstudi hukum di Indonesia. Pancasila menjadi "bintang Pemandu" atau leistren, yang lapisan-lapisan materinya berisi subtansi hukum dan tiang kerangkanya struktur hukum, serta lingkungan kehidupannya adalah budaya hukum. Darji Darmodihardjo menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tentang Reine Rechlehre, Grundnorm atau Unsprungnorm[43]
Dengan struktur Pancasila "hirarkis piramida" itu kemudian berimbas kepada struktur norma hukum dipahami dengan model piramida, karena Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum yang berisi nilai-nilai Pancasila, dan disamping itu terdapat sistem norma hukum yang merupakan norma Fundamental Negara dan aturan dasar tertulisnya terdapat dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yang berfungsi konstitutif dan regulatif terhadap Sistem Norma Hukum Indonesia yang kemudian membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang-jenjang, Norma hukum yang dibawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi[44] dan sampai pada puncak piramida tertinggi, yaitu Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai Cita Hukum (Rechtidee) yang merupakan sumber hukum negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004.
Dengan demikian kedudukan PERDA dalam struktur peraturan perundang-undangan tidak hanya dipahami secara hirarkis Piramida tetapi melingkar membentuk gerak "thawaf" Gilir Balik., oleh karena asas hukum yang digunakan tidak hanya lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan (menderogasi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri juga menggunakan asas-asas berikut ini:[45]
Asas Lex postfreriori derogat legi a priori; Peraturan yang baru akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lama apabila mengatur subtansi yang sama namun bertentangan.

Asas Lex superior derogat legi inferiori; Peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur subtansi yang sama dan bertentangan

Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebihtinggi akan melumpuhkan/mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi tersebut.

Asas Lex specialis derogat legi generalis; Peraturan yang lebih khusus akan melumpuhkan peraturan yang yang umum apabila mengtur subtansi yang sama dan bertentangan.


Makalah ini diberikan dalam Rangka Bintek Peraturan Perundang-Undangan di Melawi, Rabu, Oktober 2010.
[1] Expert Hukum Tata Negara Untan dan Tim Hali Forum Parlemen DPRD Provinsi Kal-Bar.
[2] Bagir Manan, 1994, “Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional”, makalah, disajikan pada pertemuan ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, di Jakarta. Selanjutnya disebut Bagir Manan (II), hlm. 1.
[3] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Armico, Bandung, hlm. 13.
[4] A. Hamid. S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 314.
[5] Indroharto, Op.Cit., hlm. 105.
[6] A. Hamid S. Attamimi dalam Padmo Wahjono, ed., Op.Cit, hlm. 135.
[7] Indroharto, Op. Cit., hlm. 82, 144. A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 316
[8] A. Hamid. S. Attamimi, Ibid., hlm. 317.
[9] Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari General Theory of Law and State, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 179. Lihat pula Hans Kelsen, 2006,Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan dari Pure Theory of Law, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 244.

[10] Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 41, 44-45.

[11] Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar)”, Tesis Magister, Program Pascasarjana, Bandung, hlm. 13-14.
[12] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 13 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekrataris peribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Al- Kadrie. Halaman 5-6
[13] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid halaman 7
[14] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid, halaman 8
[15] Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara. Pidato kenegaraan Soekarno Pada tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila dikutip dari Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
[16] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, ibid, halaman 7
[17] Pasal 50 UU No 29 Tahun 2009: "Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini".
[18] Apa sebenarnya pengertian paradigma ? Paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subyek mater) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental image a disipline has of its subject matter. Dengan maksud lebih memperjelas lagi George Ritzer mencoba mensintesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Thomas Khun, Mastermann dan Friedrich, dengan mengartikan paradigma sebagai: Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan, (diciplin)Bertolak dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa unsur, yaitu: (1). sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang; (2). objek ilmu pengetahuan yang seharusnya didpelajari oleh disiplin; dan tentang; (3). metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu. Dengan demikian, paradigma diartikan sebagai: Kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakatnya. Jadi Paradigma hukum adalah sejumlah gagasan tentang hukum yang telah eksis dalam suatu rangkaian pertumbuhan sains yang menyerupai gagasan Khun. Bermula dari gagasan hukum alam yang mendapat tantangan dari bagian alirannya yang lebih muda (aliran hukum rasional), ilmu hukum kemudian berkembang dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu bentuk khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran suatu paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tergeser atau jatuhnya paradigma itu, Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmun Pengetahuan Berparadigma Ganda, 1980, halaman 7dan halaman 9 atau lihat juga Lili Rasjidi , Ib Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu Sistem, Penerbit PT Remaja Rosdarkrya, Bandung, 1993, halaman 70
[19] Penjelasan yang sama pada Pasal 4 angka romawi IV dan penjelasan pasal 4 PP No 66 Tahun 1951, dan juga disitir Pasal 48 ayat (2) UU No 29 Tahun 2009 Ayat (2) Huruf b Mata rantai bulat yang berjumlah 9 melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun.
[20] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951.
[21] Transkrip Sultan Hamid II, 13 April 1967, op cit, halaman 7
[22] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[23] Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[24] Penjelasan Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
[25] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara
[26] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b UU No 10 Tahun 2004
[27] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f UU No 10 Tahun 2004
[28] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h UU No 10 Tahun 2004
[29] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf c UU No 10 Tahun 2004
[30] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d UU No 10 Tahun 2004
[31] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU No 10 Tahun 2004
[32] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2004
[33] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e UU No 10 Tahun 2004
[34] Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i UU No 10 Tahun 2004
[35] Gagasan Hukum progresif telah mengilhami dan menggairahkan dunia intelektual hukum berarapa tahun teraakhir ini bahkan masa-masa mendatang. Pesona hukum progresif tidak hanya mampu menggeledah berbagai sudut pandang yang selama ini tidak tersentuh dan dianggap mapan misalnya paham positivisme dalam jagat pemikiran hukum melainkan juga dengan kemampuan dan keberanian melakukan rekombinasi berbagai pendapat mahzab hukum dengan perkembangan sains komtemporer. Hukum progresif tidak menjadi kota kata penting yang wajib dikutip dan dibahas ketika berbicara masalah berhukum kita pada masa kekinian bagaimana hukum seharusnya beruasaha mengatasi berbagai permasalahan dan persoalan bangsanya, Lihat selengkap Sajtipto Rahardjo, Hukum Progersif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Cet I , Juli 2009, pada ringkasan buku.
[36] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009, halaman 3.
[37] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Kaitannya dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional, Genta Publising. Cet I, 2009, halaman 138-139.
[38] Inti ajaran Hans Kelsen, dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) CV Candra Pratama, Makasar, 2009,halaman 273
[39] Dalam seminar 100 memperingati Notonagoro di UGM, Joko Pitoyo menyatakan kondisi paradoks pada berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat derasnya globalisasi, telah menjadikan kurangnya wacana tentang Pancasila baik pada aras politik, budaya dan akademis. Kaelan melihat bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kekacauan epistemologis dalam pemahaman tentang Pancasila. Tawaran yang diajukan untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah system nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh, Hasil Seminar 100 Tahun Memperingati Notonagaro, pada sesi I Kontektualisasi dan Implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara: Bidang Filsafat, Ideologi, Sosial Budaya, dan Pendidikan, Yogyakarta UGM, 7-2-2006.
[40] Untuk memahami konsep Teori dan Paradigma dalam Penelitian Sosial, dapat dilihat pandangan Agus Salim Ms, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, sebuah buku sumber untuk penelitian kualitatif, edisi kedua, Tiara Wacana, 2003, halaman 68-71.
[41] Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, edisi 3, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2000, halaman 91.
[42] Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 68-71
[43] Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004, halaman 211-213.
[44] A. Hamid S Attamimi, Pancasila Sebagai Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Pancasila sebagai Ideologi Dalam berbagai bidang kehdupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, BP 7 Pusat 1993, halaman 83.
[45] Forum Parlemen Kalimantan Barat dan bahan pelatihan Direktorat Pertaruran Perundang-undangan,
»»  Baca Selengkapnya...

Penguatan Empat Pilar Kenegaraan

Pokok Pikiran Sosialisasi Penguatan Empat Pilar dalam Rangka Memperkuat Kesatuan Bangsa Bagi Generasi Muda
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Dosen Hukum Tata Negara Fak Hukum UNTAN Pontianak

Sosialisasi empat pilar yang meliputi Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak mungkin hanya dilakukan oleh Kesbanglimas. Dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk mensosialisasikan gerakan ini.
Empat pilar tersebut telah menjadi konsensus nasional dan yang menjadi sebuah prinsip bagi bangsa Indonesia yang majemuk atau lebih dikenal kebhinekaan dan patut disadari, bahwa manusia dilahirkan untuk berbeda. Indonesia pun terdiri dari ribuan pulau, bahasa, etnis, dan agama, namun perbedaan itu membuat kekuatan, oleh karena itu orang bisa bicara mengenai Pancasila, konstitusi, dan berbagai masalah yang lainnya adalah sebuah keniscayaan. Namun yang lebih penting pada tataran pragmatis adalah adalah mempraktekan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika itu lebih sulit. "Hidup ber-Bhinneka Tunggal Ika itu sulit dipraktekan," Untuk itulah menjadi tugas kita semua agar nilai-nilai 4 Pilar lebih sering disosialisasikan
Tujuan memasyarakatkan gerakan empat pilar ini adalah untuk mengingatkan kembali seluruh bangsa Indonesia terhadap empat pilar negara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, agar reformasi yang kita maksudkan tidak kehilangan jatidiri.
Saat ini kita merasakan betul nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para pendahulu kita itu telah banyak dilupakan. Karenanya kita perlu menyegarkan akan hal itu walaupun yang menjadi hambatan terbesar sosialisasi empat pilar kenegaraan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD NRI Tahun 1945, kepada warga adalah kesenjangan terlalu tajam idealisme dengan realitasnya. Pemasyarakatan gerakan empat pilar ini mengalami banyak hambatan karena antara idealisme dengan realitanya terdapat gap (kesenjangan) yang sangat besar.
Pemasyarakatan secara luas ideologi negara tersebut bisa berhasil apabila dilakukan dalam dua tataran, yakni tataran perangkat regulasi yang sesuai dengan Pancasila, semisal memberikan jaminan terhadap demokrasi, keadilan sosial dan lain sebagainya. Tataran berikutnya adalah pelaksanaan dilapangan. "Tahapan inilah yang tersulit," tetapi akan tidak menjadi sulit apabila komitmen dengan berbagai pihak baik organisasi-organisasi yang terkait dengan pemerintah maupun non pemerintah, seperti organisasi kemasyarakatkan (ormas) dan lembaga pengembangan masyarakat serta generasi muda. Kita ingin menjadikan pemasyarakatan tersebut lebih sistematis dalam rangka menjadikan UUD RI Tahun 1945 benar-benar menjadi konstitusi yang hidup atau living constitution. Sehingga kesadaran masyarakat khususnya para pejabat pemerintahan dan negara serta elemen masyarakat terhadap konstitusi menjadi semakin tinggi, konstitusi yang terus direformasi secara berkesinambungan sesuai dengan zamannya, akan mewujudkan negara yang modern dan demokratis. Dari konstitusilah semua dasar-dasar penyelenggaraan negara diatur. Tidak dengan itu saja, amandemen UUD, supremasi konstitusi kian tegas dilakukan.
Dengan memiliki sebuah konstitusi yang demokratis dan modem, tidak berarti kehidupan bernegara dan berbangsa dengan sendirinya berubah menjadi demokratis dan modern pula. Tetapi semua akan tergantung kepada sejauh mana masyarakat me-miliki pemahaman dalam melaksanakan konstitusi tersebut. Harus diakui pemahaman masyarakat terhadap UUD NRI Tahun 1945 masih rendah. Kesalahpahaman pun kerap terjadi. Bila komponen bangsa telah memahami isi UUD NRI Tahun 1945, tentu akan terbentuk kesadaran menjaga keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sebab, faktanya, penerapan nilai-nilai tersebut saat ini begitu mengkhawatirkan. Dia mencontohkan Pancasila yang posisinya adalah ideologi negara. Banyak sekali anak usia sekolah yang tidak lagi mengingat Pancasila. Kami yakin dan optimistis bahwa pada saatnya nanti pemahaman terhadap gerakan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik. Pemahaman yang lebih baik atas empat pilar tersebut, akan menjadi modal dasar bagi Bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur dan masa depannya yang lebih baik.
Entri point dari empat pilar itu akhir pemaknaan dan pembacaan terhadap Pancasila tidak hanya dari sisi kesejarahan tetapi juga dari sisi simbolisasi dari Pancasila dalam Lambang Negara yang merupakan representasi Pancasila dan merupakan sebuah aset bangsa Indonesia ternyata perancang lambang negara yang merupakan representasi Pancasila adalah anak bangsa dari Kalimantan Barat, yaitu Sultan Hamid II dan pada kesempatan ini kita memberikan apresiasi kepada nara sumber kali ini yang akan membahas empat pilar tersebut dari sisi lambang negara republik Indonesia.
Mudah-mudahan kegiatan ini menjadi bermanfaat untuk memahami lebih mendalam terhadap empat pilar dalam kaitannya dengan memperkokoh kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Tahun 1945 yang telah empat kali amandemen.

Mengapa Perlunya Penguatan Empat Pilar NKRI ?

“ Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, sambung menyambung
menjadi satu itulah Indonesia, Indonesia tanah airku, aku berjanji padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia,”

A. Pendahuluan
Petikan lagu diatas tidak asing bagi kita dan cara yang sangat sederhana untuk memahami Indonesia. Lagu diatas tidak hanya menggambarkan betapa luasnya negeri ini tetapi juga melukiskan betapa beragamnya agama, suku, budaya dan bahasa di negeri yang kita cintai ini. Pengarang secara sadar memilih memakai konsep Barat – Timur (Sumatera – Papua) dan tidak memakai konsep Utara- Selatan (Kalimantan-Jawa dalam melukiskan Indonesia. Ia tak mengambilnya karena sadar konsep Utara Selatan (Kalimantan-Jawa) tak cukup kuat merepresentassikan keragaman Indonesia.
Penyebutan nama Sabang, sebagai kota batas akhir di ujung barat tidak hanya hendak menyampaikan sebuah kota semata, tetapi juga mewakili potret Indonesia yang sebagian besar penduduknya bisa dilihat dari wajah Aceh yakni mayoritas beragama Islam, beragam suku dan berakar dari budaya yang toleran.
Demikian juga penyebutan nama Merauke, bukan hanya hendak menunjukan titik batas negeri ini di bagian timur, tetapi juga jelas-jelas merepresentasi kondisi Indonesia timur dimana banyak bermukim warga non muslim dari beragam suku dan bahasa bahkan ras yang merupakan warga minoritas di negeri ini.
Beragamnya agama, suku, ras, daerah dan bahasa di Indonesia juga menyediakan ketegangan-ketegangan hubungan. Ketegangan hubungan ini kemudian menimbulkan konflik. Dalam titik didih tertentu dimana intelektualitas mendominasi kepentingan yang tumpang tindih, konflik berakhir dengan konflik perebutan wacana yang menyelesaikan persoalan dengan perdebatan akademisi, namun pada level yang lebih tinggi dimana intelektualitas tidak lagi mendominasi dan begitu banyak kepentingan bermain, ketegangan berakhir dengan kekerasan di kelompok akar rumput.
Terkait dengan yang terakhir ini, sejarah bangsa ini mencatat begitu banyaknya kekerasan antar masyarakat yang terjadi. Kita tidak akan pernah lupa peristiwa Rengas dengklok, Sambas, Sampit, Poso, Ambon dan Lombok. Peristiwa-peristiwa ini tak banyak diselesaikan secara hukum. Sebagian besar kita tak bisa melihat hasil kerja aparat hukum dalam mengungkap dan menangkap pelaku kekerasan. Pemerintah sebagai aktor utama
Lalu pertanyaan menggelitik adalah dimana peran 4 Pilar Utama Bangsa sebagai perekat kehidupan berbangsa ini ? Apakah masih relevan, ataukah masih ada “ketidaksepakatan” antara komponen bangsa menyangkut 4 pilar utama bangsa ?

B. Ketegangan Wacana Memaknai Pilar Utama Bangsa

Wajah pilar kebangsaan Indonesia kembali menarik diperbincangkan pada 1 Juni 2010. Saat itu MPR RI menggelar acara Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Presiden SBY hadir dalam peringatan tersebut dan berpidato tentang “peneguhan kembali” 4 Pilar berbangsa yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Mantan Presiden Megawati serta para mantan wakil presiden juga turut hadir. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 diperdengarkan, Ketua MPR RI dan Presiden SBY bergantian menyampaikan pidato. Acara ini dinilai sukses karena MPR sebagai lembaga tinggi negara sukses menghadirkan para petinggi negeri (baik yang masih menjabat maupun yang sudah tidak menjabat) di gedung MPR, rakyat dipertontonkan keharmonisan saat Megawati bersalaman dengan SBY.
Seolah salaman ini memperlihatkan cairnya ketegangan diantara keduanya. Pertanyaan kritis bagi kita semua Apakah kehadiran petinggi Negeri pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, bisa menyimpulkan bahwa Empat Pilar Berbangsa sudah diterima oleh seluruh komponen bangsa ? Ataukah masih berlangsung negosiasi “ kepentingan” untuk meredakan ketegangan antara para pihak agar 4 pilar utama bangsa bisa diterima. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pemaknaan 4 pilar utama bangsa pada hari-hari terakhir ini ?

B.1. Tentang Pancasila
Meski MPR RI pada tahun 1998 melalui Ketetapan MPR No.18 MPR 1998, telah menetapkan Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara, bukan berarti ketegangan antara Kelompok Nasionalis dan Kelompok Islam selesai. Peristiwa peringatan Pidato Bung Karno pada 1 Juni 2010, memperlihatkan secara jelas tentang masih belum selesainya ketegangan keduanya dalam memaknai saat lahirnya Pancasila dan “pencipta” konsep Pancasila itu sendiri.
Awalnya MPR RI (baca Ketua MPR Taufik Kemas), hendak menggagas 1 Juni 2010, sebagai Peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan oleh MPR RI. Pengkondisian wacana sudah dilakukan oleh Fraksi PDI Perjuangan dengan hendak mengangkat kembali 1 Juni 1945, sebagai hari lahirnya Pancasila. Hal ini segera mendapat tantangan dari ” Wakil Kelompok Islam”. A.M. Fatwa, anggota DPD RI dari DKI Jakarta yang sekaligus Dewan Pembina Partai Amanat Nasional, dalam beberapa surat khabar dengan jelas menyatakan keberatannya apabila MPR RI melakukan Peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2010. Sesuatu yang diklaim bisa melukai para pendukung hari lahirnya pancasila 23 Juni 1945. Fatwa menyebut titik kompromi bahwa 18 Agustus sebagai hari Konstitusi. Ia juga jelas menyatakan bahwa Pancasila milik seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya milik golongan tertentu. Protes A.M. Fatwa merefleksikan dinamika yang terjadi dalam tubuh MPR. Yang kemudian segera ditindaklanjuti dengan keputusan bahwa MPR hanya akan menyelenggarakan Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, bukan Peringatan Hari Lahirnya Pancasila.

B.2. Tentang UUD 1945
Menurut saya, UUD 1945 juga sedang mengalami negosiasi politik yang tak henti. Sejak mulai ditetapkan pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 setidaknya sudah mengalami 1 kali penggantian dan 4 kali perubahan. 1 kali penggantian pada saat dikeluarkannya UUD
Sementara dan 4 Kali perubahan adalah hasil dari negosiasi pada masa Reformasi. Setelah perubahan selama 4 kali, banyak pihak masih merasa UUD 1945 masih jauh dari kesempurnaan. Setidaknya terdapat 2 hal yang sering diperdebatkan yakni Sistem Presidensial Setengah Hati dan Kewenangan DPD RI.
Terkait Sistem Presidensial setengah hati, UUD 1945 secara jelas mempertontonkan terjadinya tarik menarik antara 2 lembaga yakni Kepresidenan dan DPR yang sama-sama memiliki kedudukan yang sama kuat . Sebuah study tentang kombinasi sistem presidensialisme dan multi partai era pemerintahan Presiden SBY 2004 – 2009memperlihatkan bahwa presidensial mengalami reduksi. Terkait kewenangan DPD RI, UUD 1945 tidak memberikan kewenangan Legislasi dan Penganggaran secara penuh kepada DPD RI, padahal para anggota DPD RI dan anggota DPR RI dipilih sama-sama dalam sebuah pemilihan umum. Kondisi ini menyebabkan tugas konstitusi DPD RI menyangkut Otonomi Daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah4 tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.

B.3. Tentang NKRI
Pilar NKRI juga masih terus berproses menuju negosiasi. Secara khusus di daerahdaerah yang punya sejarah ingin memisahkan diri (Aceh dan Papua) dan Yogyakarta. Konsep NKRI yang seharusnya memandang tiap provinsi dalam level dan kewenangan yang sama menjadi konsep yang sedikit mengambang karena diberikannya perlakuan khusus kepada beberapa provinsi. Perlakuan khusus ini diharapkan menjadi titik temu dari berbagai kepentingan yang ada di 3 daerah ini.
B.4. Tentang Bhineka Tunggal Ika
Konsep yang diambil dari bahasa sangsekerta ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep NKRI. Bhineka Tunggal Ika hendak merangkul keruwetan keberagaman antar suku dan bahasa yang ada di negeri ini dalam konsep kebersamaan dalam rumah bernama Indonesia. Konsep ini kadang tidak bisa dipraktekkan dalam dunia nyata, ini terlihat dari seringnya terjadi konflik antar etnis di Indonesia.

C. Membangun Kerangka Hukum Berdasarkan 4 Pilar Negara
Untuk membuat sebuah undang-undang menjadi efektif dan selaras dengan kebutuhan warga, harus dibangun sebuah kerangka hukum yang kuat. Dalam konteks ke Indonesiaan kerangka hukum itu tidak boleh meninggalkan 4 pilar negara yakni Pancasila; UUD 1945; NKRI; dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalaah dasar dan roh dari seluruh kerangka hukum dalam sebuah undang-undang. Keempatnya setidaknya sampai saat ini dianggaap sebagai titik kompromi yang ideal untuk menyatukan perbeddaanperbedaan konsepsi ketatanegaraan Indonesia. Tetapi juga harus diingat bahwa keempatnya masih sebagian sedang berproses menuju kesempurnaan.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah melibatkan partisipasi secara penuh dari warga negara. Partisipasi ini dapat dimulai dari mulai proses pengajuan sebuah RUU sampai pada tahap proses konsultassi publik untuk menjadikan sebuah RUU menjadi usulan resmi baik oleh inisiatif DPR, DPD maupun Pemerintah.
Keberbedaan yang telah dikompromikan dan terangkum dalam 4 pilar berbangsa harusnya menjadi roh utama bagi undang-undang ini. Keinginanan untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan ditengah keberbedaan adalah usaha yang terus menerus menemui tantangan, entah itu tantangan kesenjangan ekonomi, ketegangan kepentingan atau ketegangan nilai. Namun seharusnya ini tidak menjadi halangan untuk terus memajukan usulan ini menjadi sebuah Undang- undang agar bangsa ini punya strategy paripurna dalam memangani konflik sosial yang terjadi.
»»  Baca Selengkapnya...

Rancang Bangun Hukum Tata Negara Terimbas Politik

Rancang Bangun Hukum Tata Negara Terimbas Politik
(Analisis Pembaharuan Hukum Indonesia Dari Sisi Hukum Tata Negara)

Oleh Turiman Fachturahman Nur
Dosen Hukum Tata Negara Fak Hukum UNTAN Pontianak
email: qitriaincenter@yahoo.co.id HP 08125695414

A. Pergeseran Penegakan hukum tata negara
Lahirnya berbagai kebijakan yang menimbulkan penolakan keras dari banyak komunitas lokal di tanah air, tentu menuju ke suatu pertanyaan, dimana letak penghargaan atas kebhinnekaan dalam agenda pembaharuan hukum di Indonesia? Jawabannya bisa diperoleh dari keberadaan aturan-aturan baik di tingkat daerah maupun di level nasional yang justru menolak kemajemukan bangsa Indonesia. Artinya, ide pembaharuan hukum masyarakat Indonesia baru justru menuju ke pemaksaan kaidah sosial masyarakat tertentu kepada masyarakat lain yang memiliki nilai dan kebutuhan hukum yang berbeda. Apa yang terjadi disini adalah sebuah pengulangan terhadap pola-pola kebijakan lama di era regim hukum Orde Baru yang menerima begitu saja keutamaan kekuasaan politik dan mendepak desakan pembaharuan hukum yang dituntut oleh komunitas marginal seperti masyarakat adat, perempuan dan anak-anak.
Dengan berkaca pada situasi ini maka masyarakat baru Indonesia memiliki dua pilihan: Pertama, mereview kebijakan lama untuk mengakomodasi pluralitas sosial menjadi pluralisme hukum. Hal ini bertujuan untuk mencegah resistensi dan korban yang lebih banyak bagi komunitas. Kedua, tetap bergerak dalam alur perubahan sebagaimana telah dijalani saat ini tetapi dengan konsekuensi Indonesia sebagai sebuah negara tidak pernah bisa memutus mata rantai pelanggaran HAM di masa lalunya, dimana kebijakannya yang mengorbankan banyak kaum marginal terus berlanjut, wacana di atas adalah sekelumit yang ditengarai oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga dan Ketua Badan Pengurus HuMa[1]
Ketika kebijakan itu diformulasikan kedalam sebuah peraturan perundang-undangan, misalnya dalam bentuk produk yang nama Undang-Undang ada anggapan yang berkembang dikalangan pakar ilmu politik, bahwa materi muatan undang-undang itu sebenarnya proses dari sebuah proses politik dalam hal ini kalangan DPR bersama Pemerintah dan kadangkala konstruksi materi muatan rancangan undang-undang yang sudah disusun berdasarkan asas-asas hukum menjadi berantakan strukturnya, karena pasal-pasal ”diprereli satu persatu” dan atau formulasi norma dirubah berdasarkan sebuah kepentingan atau ”pesanan” kekuatan di infra struktrur politik.
Selaras dengan ini Prof. Dr Komaruddin Hidayat menyatakan: ”sebuah demokrasi akan memperkuat negara, kalau parpolnya sehat, Parpol sehat kalau diisi oleh para politisi yang pintar dan berkualitas. Tetapi kalau DPR politisinya tidak berkualitas, maka UU yang dijahit ibarat baju, setelah jadi dipakai terasa sesak. Mungkin anda berpendapat apakah UU Produk DPR selama ini ibarat baju yang pas dipakai”[2]
Paparan diatas memberikan pemahaman yang keliru, bahwa hukum itu sama dengan undang-undang, sedangkan hukum itu tidak dapat dipungkiri bahwa hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh dari langit, tetapi dibuat oleh manusia dan selalu berada dalam lingkup sosial tertentu, itu artinya hukum tidak hadir dan bergerak diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada pada tatanan sosial tertentu dalam lingkup-lingkup manusia yang hidup, pemahaman yang demikian itu menggugah sebagian besar pemikir dan penstudi hukum untuk melihat hukum tidak dalam sebuah norma an sich. Para penganut perspektif ini berpendirian bahwa hanya dengan cara itulah kita dapat melihat ”wajah hukum” secara sempurna.[3]
Memaknai hukum pada tataran seperti itu tentunya kita mengharapkan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis seharusnya adalah mempresentasikan terhadap peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat, sehingga fungsi cita hukum dalam negara berubah dalam arti dapat mengakomodasi semua dinamika masyarakat yang kompleks seperti Indonesia.
Dengan demikian hukum sebagai suatu proses tidak dapat dilihat sebagai suatu perjalanan penetapan peraturan –peraturan hukum saja. Melainkan, hukum sebagai proses perwujudan tujuan sosial hukum, dengan kata lain yang tengah berlangsung dalam perjalanan penetapan peraturan itu adalah proses penetrasi dari sektor-sektor kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan hal yang demikian itu, Bredermeier berpendapat bahwa didalam sistem sosial dijumpai bekerja 4 (empat) proses-proses fungsional utama, yaitu: (1) adaptasi (2) perwujudan tujuan (3) mempertahankan pola dan (4) integrasi. Keempat proses itu saling kait mengkait dan secara timbal balik saling memberikan input. Setiap sub proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara sub Proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu output dari salah satu proses itu juga akan menjadi input bagi sub proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum nampaknya sangat diperlukan. Barang tentu ini tidak dapat terjadi bila paradigma berpikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis –positivitis. Pada tataran inilah kita menyadari, bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang ada. Sehingga dalam beberapa hal tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non hukum, yang seringkali belum dikuasai benar para petugas hukum yang ada pada saat ini, Untuk itu, para penstudi hukum perlu menguasai ilmu-ilmu sosial agar dapat menambah pemahaman mengenai hubungan hukum dan realitas sosial didalam masyarakat modern dan demokratis ini, tentu ada benarnya apa dinyatakan Prof Dr Satjipto Raharjo, dalam bukunya ” pemanfaatan ilmu-ilmu sosial bagi pengembangan ilmu hukum, jika pendapat ini diaplikasikan dalam analisis Hukum Tata Negara, seharusnya hukum tata negara tidak hanya menggunakan pendekatan normatif saja, tetapi pendekatan sosio-politik, ini artinya adanya pergeseran analisis hukum tata negara bagi para penstudi ilmu hukum tata negara.
Adalah menarik ketika ada anggapan para pemerhati ilmu politik menyatakan sebuah pendapat, bahwa sesungguhnya hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang adalah hasil dari proses politik, pertanyaannya bagaimana menjelaskan pendapat ini dari sisi hukum tata negara dan bagaimana pula penegakan hukumnya ?
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

B Indentifikasi Permasalahan
Berdasarkan paparan diatas pertanyaan ilmiahnya adalah bagaimana analisis pergeseran Pembaharuan dari sisi Hukum Tata Negara ? Adapun identifikasi permasalahannya adalah berikut ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia.
Sudah hampir satu dasa warsa lamanya proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak, reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan massa.
Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya. Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan pendapatnya sesuai dengan versinya masing-masing.
Banyaknya konsep dan gagasan di atas, ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Justru masyarakat awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi semakin bingung harus mengikuti pendapat yang mana, karena semua pendapat selalu mengaku yang terbaik, meskipun dalam praktik ternyata sulit pula untuk diaplikasikan (non aplicable). Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Betapapun memang harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari krisis ini tidak mudah, karena begitu kompleks permasalahan yang melatarbelakanginya.

C. Bagaimana Multi Player Efek-nya dalam Pendidikan Hukum ?
Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan tinggi harus mencoba mencari alternatif yang tepat untuk diterapkan mengatasi krisis yang menimpa bangsa Indonesia ini. Dalam kaitan inilah, para pakar, kaum akademisi maupun para praktisi terutama yang berbasis pendidikan tinggi hukum, sebenarnya dapat ikut berpartisipasi memberikan peran dan sumbangan pemikirannya terhadap situasi dan kondisi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini, para sarjana hukum tentunya tidak sekedar melihat persoalan dari pedekatan hukum dalam arti normatif semata, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang lebih mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif melalui pengkajian dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak dari kerangka tinjauan filsafat hukum.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan sumbangan yang dapat diberikan filsafat hukum dalam era reformasi. Dalam wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai krisis yang terjadi dalam masyarakat kita pasca reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiogis ilmu hukum, ruang lingkup objek pengkajian filsafat hukum, serta urgensi dan relevansinya filsafat hukum dalam membantu menyelesaikan krisis yang multidimensional ini.
Tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu hukum Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum itu masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganologikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum.
Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum dalam perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya. Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu hukum yang murni secara teoritis semata-mata (normative) maupun ilmu hukum yang terapan semata-mata (empiris). Integralitas ilmu adalah kebalikan dari spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi ilmu dalam perkembangan ilmu merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang semakin kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan dangkal. Mungkin ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari kenyataan yang dihadapi.
Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor disangka itulah gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata uang dan melupakan sisi lainnya. Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya, yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis.
Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls being is material) , sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit) . Pandangan ini menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang (subjek) melihat suatu objek tertentu. Tinjauan epistemologis menyoroti tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Selanjutnya tinjauan aksiologis adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari suatu objek tertentu.

a. Tinjauan Ontologis
Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum, yaitu : (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata, (3) perilaku hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut normwissenschaf atau ilmu tentang kaidah.
Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-kaidah hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi persoalannya adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana yang menjadi perhatian dari ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum. Kedua bidang ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi.
Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut.

b. Tinjauan Epistemologis
Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum tidak didasarkan pada empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya berupa hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa perilaku hukum saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh indra manusia, yakni nilai-nilai hukum.
Kebenaran yang dapat dicapai oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan dari obyek dan seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut. Secara hakekat, ilmu hukum berusaha untuk menampilkan hukum secara integral. Oleh karenanya metode ilmu hukum harus bersifat integral pula. Dalam ilmu hukum pada waktu sekarang sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum (rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum hanya dapat dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan analisa baik filosofis maupun sosiologis.
Dalam perkembangannya, karena para ilmuwan hukum tidak puas dengan metode yang ada, maka muncullah metode multi disipliner atau disipliner, yang merupakan perwujudan dari logika hipotiko-deduktif-verifikatif. Dalam metode ini suatu masalah berusaha dipecahkan atau didekati dari berbagai disiplin baik yang termasuk deduktif maupun induktif. Istilah hipotiko deduktif menempatkan kaidah hukum sebagai hal yang mentah yang perlu untuk dimasukkan kedalam proses “verifikasi” untuk dibuktikan kebenarannya. Dengan mengadakan verifikasi maka suatu hipotesa atau teori seakan-akan dicocokkan dengan fakta-fakta. Menurut Popper, bukan verifikasi yang menjadi kriterium demarkasi antara yang ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah falsifikasi, yakni kemampuan menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper telah mengganti verifikasi yang bersifat induktif dengan falsifikasi yang deduktif.
Secara epistemologis, metode hipotiko-deduktyif-verifikatif dinggap ideal, tetapi dalam praktek penerapannya menjadi pragmatis. Metode tersebut tidak mutlak dipergunakan secara padu. Yang menjadi ukuran dalam penggunaan metode ialah situasi, kepentingan, kebutuhan dan biaya.
Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode, sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berhubungan.

c. Tinjauan Aksiologis
Ilmu hukum bersifat dinamis. Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Secara aksiologis, peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain seperti diuraikan dibawah ini:
Pertama, ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan perundang-undangan. Hasil-hasil penelitian ilmu hukum menjadi masukan untuk menyusun rancangan peundang-undangan.
Kedua, ilmu hukum berpengaruh dalam praktek hukum atau pelaksanaan hukum. dalam rangka peradilan, seorang hakim atau lebih sering memutuskan perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum yang berwibawa sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga jaksa dan pengacara sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaannya.
Ketiga, ilmu hukum berpengaruh dalam pendidikan hukum. Pendidikan hukum yang formal yakni di bangku sekolah dan yang informal di tengah masyarakat lewat media massa dan penyuluhan-penyuluhan sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Seorang mahasiswa di didik oleh seorang pengajar yang mempunyai status sebagai ahli hukum. Seorang ahli hukum mempunyai wawasan yang khas dan pernah sekurang-kurangnya meneliti hukum. Kualitas pengajar akan menentukan kualitas dari mereka yang diajar.
Keempat, ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan dari bidang-bidang yang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau segala bidang, maka sistem seperti itu bersifat progressif dan interventif. Sebab itulah bidang-bidang yang diatur itu memerlukan suatu kejelasan atas pengaturan tersebut.Kelima, ilmu hukum berusaha untuk mengadakan sistematisasi. Bahan-bahan yang tercerai berai disatukan dalam suatu susunan yang bersifat komprehensif. Hasil sistematisasi menyajikan informasi yang memudahkan. Ilmu hukum juga menyajikan pertimbangan-pertimbangan. Adanya sejumlah data dan sejumlah peraturan tidak cukup bermakna. Semua itu harus dianalisa. Analisa atas suatu peraturan akan memudahkan pemahaman atas peraturan itu.
Dan selanjutnya, ilmu hukum mempunyai fungsi sebagai pencerah terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum adakalanya diabaikan bukan semata-mata demi hukum tetapi untuk sesuatu yang lebih mulia yakni terwujudnya keadilan yang diridhloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi memberikan pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Ahli hukum Belanda J. van Kan, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro, yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).[4] Roscoe Pound menekan-kan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.
Dalam konteks keIndonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.[5] Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundangundangan itu.
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.[6] Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.
Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.[7]
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,[8] dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo [9] membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank,[10] juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hokum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem.
Adapun kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keya-kinan, harapanharapan dan pendapat tentang hukum.[11] Dalam perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.[12] Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.[13]
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.[14] Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.[15] Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini.[16]
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hokum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pemben-tuk undang-undang.[17]
Kalau kita membicarakan keadilan hukum maka sebenarnya letaknya bukan pada seperangkat aturan hukum. Pembiaraan keadilan hukum lebih tepat ditujukan pada putusan pengadilan. Pengujian keadilan hukum tidak terletak pada substansi aturan hukum namun lebih pada penilaian putusan pengadilan pada tiap-tiap kasus. Oleh karena itu pemaknaan keadilan hukum juga harus berhubungan dengan kasus yang menjadi obyek penerapan aturan hukum tersebut. Upaya untuk menemukan keadilan hukum hanya mungkin jika seseorang diberi seperangkat aturan untuk menerapkannya pada serangkaian fakta. Hakim akhirnya membuat tiga pertanyaan terhadap penyelesaian atas kasus yaitu : pertama aturan hukum apa yang diadopsi, kedua Penilaian /versi dari fakta-fakta untuk menerapkan aturan hukum, ketiga Apakah aturan hukum tersebut sungguh dapat diterapkan. Akhirnya hakim akan memberikan pilihan mereka dengan mempertimbangkan ketiga hal terebut.
Dalam konteks ini keadilan menjadi bagian tedekat dari tiap kasus. Argumen bahwa keadilan merupakan bagian dari hukum – dan bukan menyederhanakan uraian atas hukum adalah akibat yang tidak dimaksud dari kaum positivis. Kaum positivis telah mengatur bahwa aturan hukum tidak perlu berisi moral. Aturan aturan hukum tersebut semata-mata tingkah dari pembuat aturan dan hakim yang dikeluarkan dalam bentuk perintah. Pada kontks ini, aturan hukum adalah fakta. Bukan nilai. Ini bukan berarti bahwa aturan hukum dapat diabaikan. Aturan hukum tersebut harus dan merupakan bagian dari perhitungan kasus karena aturan hukum merupakan bagian topografi dari kasus. Aturan Hukum merupakan bebas nilai, mereka tidak memunculkan yang seharusnya. Keharusan itu harus dijatuhkan oleh hakim terhadap aturan hukum dan fakta dari kasus. Semua penulis setuju bahwa keadilan merupakan tujuan dari hukum. Cuma pertanyaannya adalah, pada abad 19 kaum positivis ragu apakah keadilan menjadi perhatian dari praktisi hukum (lawyer). Namun, Keadilan pada hakekatnya merupakan ketepatan dalam penerapan aturan hukum pada fakta dari sebuah kasus.

D. Upaya Mendekati Unsur Obyektif Keadilan
Memperbincangkan keadilan juga sangat bergantung pada sejauh mana pengalaman kita dalam merasakan keadilan. Antara orang satu dengan orang yang lain tentu berbeda pendapat apabila dimintai pendapat tentang keadilan. Ini hal yang logis karena penilaian keadilan juga menyangkut apek perasaan dari orang yang memberi penalaian atas keadilan itu. Sementara itu, perasaan seseorang aas sesuatu hal tidaklah sama. Penilaian rasa sesesorang atas sebuah persitiwa dipengaruhi oleh sejarah hidup dan pengalaman pribadi dari orang tersebut. Sebuah contoh seorang hakim yang mempunyai latar belakang dari kaum berada, fasilitas tercukupi, tidak pernah bekerja keras dalam memperoleh sesuatu hal tentu akan berbeda dengan perasaan keadilan seorang hakim yang dilahirkan dari orang tidak punya, tidak mempunyai fasilitas yang tercukupi, mendapatkan sesuatu harus dengan kerja keras. Orang lain yang ingin menyelami perasaan keadilan kita maka orang lain lain tersebut harus terlebih dahulu mempelajari ribuan pengalaman dan sejarah hidup yang kita lalui yang telah membentuk kita dalam memahami tentang perasaan keadilan. Tanpa pendalaman tentang pengalaman dan sejarah hidup kita dalam membentuk pengertian tentang keadilan maka orang lain tersebut tentu tidak akan bisa paham mengapa kita menilai sesuatu itu adil.
Tentu saja cara demikian bukanlah hal mudah. Bagimana mungkin orang lain dapat mengetahui pengalaman dan sejarah hidup kita dalam memberikan definisi tentang hakekat keadilan?. Pertanyaan selanjutnya, dalam bentuk media apa kita memberitahukan kepada orang lain tersebut agar tahu sejarah dan pengalaman hidup kita?. Apakah kita pernah mendokumentasikan sejarah dan pengalaman hidup kita ?. Ataukah kita menggunakan cara bercerita kepada orang lain tersebut tentang beribu pengalaman dan sejarah hidup kita yang membentuk pandangan kita tentang keadilan?. Seumpama kita menempuh cara bercerita, bukankah bahasa akan menjadi penghalang dalam kita memahamkan orang lain atas sejarah dan pengalaman kita?. Memang sulit untuk menjawab hal-hal tadi. Sebab, bukan hal mudah memberitahukan kepada orang lain tentang beribu pengalaman dan sejarah hidup kita dalam memandang keadilan. Mungkin karena hal-hal demikian hans kelsen berpendapat bahwa menurut Hans kelsen, tidak ada kriteria yang obyektif tentang keadilan karena peneryataan benar atau tidak benar merupakan judgement atas nilai berdasarkan tujuan akhir dan syarat akan subyektifitas dari kepribadian. Subyektifitas keadilan disebabkan oleh penilaian keadilan berdasarkan unsur emosi dari pikiran kita, perasaan kita dan kebijaksanaan kita.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan itu, juga tidak tepat kalau kita tidak menyinggung aspek-aspek pengalaman dan sejarah hidup dari pihak-pihak penilai keadilan. Karena cara ini berusaha untuk mendekati obyektifitas keadilan. Anthony D’amato juga berpendapat bahwa lebih mudah menemukan ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan. Anthony D’ amato menyampaikan bahwa pengalaman hidup hidup, sejarah hidup, pelajaran yang diambil oleh seseorang terhadap segala perisitiwa dan sesuatu hal disekitarnya merupakan hal yang sangat penting dan mempengaruhi tingkat penilaian seseorang terhadap keadilan. Sebegitu pentingnya hal ini, antony mengemukakan bahwa “ kalau kamu bertanya kepadaku tetang makna keadilan, maka hanya ada satu cara , saya akan menyarankan kepada kamu untuk menghidupkan/ menjalankan video recorder pikiran saya, saya tidak dapat menjelaskan keadilan dengan kata-kata karena saya tidak mempelajarinya dengan kata-kata-kata. Dari ungkapan ini, bisa dimpulkan bahwa mempelajari keadilan tidak dapat dengan kata-kata maupun sebuah definisi. Keadilan hanya bisa dipelajari dari pengalaman yang kita peroleh selama kita berproses dalam hidup. Proses hidup kita membentuk perasaan kita dalam memberikan makna keadilan. Dengan proses hidup yang kita jalanin tersebut kita bisa merasakan. Ini berbeda jika kita mempelajari keadilan hanya sebatas pada definisi dan kata saja.
Persoalan kemudian timbul, apakah proses hidup antara orang yang satu dengan yang lain bisa disamakan. Bukankah tiap-tiap orang mempunyai proses hidup sendiri-sendiri dan berbeda-beda ?. Pengalaman, sejarah hidup antara orang yang satu dengan yang lainnya tentu berbeda-beda sehingga memaknai keadilan juga berbeda. Namun memahami keadilan yang didefinisikan oleh orang lain memang menuntut kita untuk tahu terlebih dahulu pengalaman hidup dan sejarah hidup orang yang mendefinisikan keadilan. Hal ini untuk menemukan obyektifitas dari subyektifitas memaknai keadilan. Obyektifitas dalam memaknai keadilan tetap menjadi hal yang penting. Obyektifitas ini untuk mengurangi kontoversi seputar makna keadilan.
Pola kerja untuk mencari keadilan hukum di Indonesia juga dapat menggunakan metode sebagaimana diuraikan di atas. Pencarian keadilan hukum tidak dapat hanya menggunakan pendekatan legal positivistik secara kaku. Sebab pendekatan legal positivistik haya akan membeikan makna keadilan prosedural. Lebih dari itu, pencarian makna keadilan hukum di negeri ini harus juga enyelami perasaan hukum itu sendiri. Sebab keadilan hukum lebih berorientasi pada pemenuhan aspek perasaan obyektif masyrakat memaknai keadilan. Hakim dituntut tidak sebatas pada corong undang-undang namun hakim harus juga menjadi corong keadilan yang hidup di masyarakat. Ini bukan berarti bahwa kita menghadap-hadapkan keadilan prosedural dengan keadilan yang hidup di masyrakat. Sebab keadilan Hukum tidak mungkin akan mengandung unsur double standard yang mengkotradiksikan antara unsur yang terkandung dalam hukum positif dengan unsur yang terkandung dalam masyarakat. Hukum pada hakekatnya juga mengandung unsur moral dan moral merupakan hal yang universal. Universalitas moral akan mendekatkan kita pada kesamaan merasakan keadilan.
Keadilan hukum menjadi perhatian utama bagi mereka yang berkecimpung di dunia hukum. Keadilan hukum pada hakekatnya seperti sebuah kepingan uang logam dimana pada satu sisi ada gambar keadilan, pada sisi lain ada gambar hukum. Penghilangan salah satu gambar saja akan menghilangkan nilai uang itu. Akhirnya uang itu tidak akan bernilai dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Itulah analogi yang dapat penulis berikan untuk menggambarkan hukum dan keadilan. Mngukur keadilan menjadi hal yang sulit sebab keadilan itu hanya dapat dirasakan. Berbicara keadilan juga berbicara perasaan hukum. Ini berbeda jikalau kita mendeteksi tentang hukum. Kita dapat dengan mudah dan menunjuk “itu hukumya”. Tapi pada saat hukum ditegakkan maka isu krusial adalah adakah keadilan dalam penegakan hukum tersebut?. Untuk menjawab apa keadilan maka bukan hal gampang karena keadilan itu merupakan sesuatu yang filsafati. Keadilan tidak cukup didefinisikan tetapi lebih penting dari pada itu keadilan harus dapat dirasakan. Sebuah pendefinisian tentang keadilan merupakan hal yang tidak penting sebab dengan didefinisikan terebut maka tentu saja bahasa akan membatasi makna dan perasaan dari keadilan itu sendiri.
Musuh utama serta kendala dalam pengembangan sistem hukum otonom adalah tradisi dan politik. Menurut Mattei, yang mengklasifikasikan tiga kelompok sistem hukum nasional:
1. Sistem hukum yang didominasi oleh tradisi yang bersifat religius atau adat istiadat ataupun lainnya;
2. Sistem hukum yang didominasi oleh intervensi (campur tangan) politik;
3, Sistem hukum otonom yang dikuasai dan dijalankan oleh yuris-yuris profesional
Dengan melihat klasifikasi tersebut, sistem hukum di Indonesia dapat dikualifikasikan ke dalam kelompok 1 dan 2. Diperlukan usaha dan dobrakan untuk lepas dari kungkungan politik dan tradisi, agar sistem hukum kita dapat berjalan ke arah kelompok 3.
Kendala yang sangat berat saat para yuris-yuris ataupun calon yuris untuk melepaskan diri dari mata rantai politik dan tradisi. Sering kali, dijumpai bahwa para yuris justru terlanjur ataupun telah masuk ke dalam lingkaran tradisi ataupun politik. Inilah yang penulis maksudkan bahwa rancang bangun Hukum Tata Negara terimbas politik, mengapa terjadi hal yang demikian ?
Pertama, suatu tradisi yang ada di Negara Indonesia selalu memberikan suatu reaksi terhadap pembaharuan yang hendak dicapai oleh suatu sistem hukum. atau dengan kata lain selalu menghantui akan terciptanya suatu terobosan-terobosan baru dalam suatu sistem hukum. Seharusnya suatu sistem hukum yang di dalamnya harus tercipta suatu kepastian sering kali terkendala dengan keberadaan suatu tradisi dalam suatu bangsa. Contoh yang sangat sederhana adalah begitu sulitnya Sistem Hukum Nasional untuk melakukan unifikasi hukum terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pewarisan, sehingga berdampak pada ketidakpastian dalam Hukum Waris Nasional yang sampai sekarang masih bersifat pluralistik. kendala yang berakar dari tradisi ini dapat ditemukan pada agama/kepercayaan maupun kebiasaan.
Kedua, Dalam perhelatan politik di Indonesia sering kali dijumpai hal-hal yang sangat mempengaruhi dan/atau menodai sistem hukum nasional. bila kita melihat bahwa politik dan hukum merupakan dua hal yang salaing bertautan, sehingga diperlukan suatu perpolitikan yang sehat agar produk-produk hukum, yang merupakan bagian dari sistem hukum itu sendiri, nantinya juga akan baik. Pembuat undang-undang, yang dalam hal ini orang-orang yang dilahirkan dari ranah politik sering kali hanya menjadi suatu mesin stempel persetujuan parlementer pada setiap rancangan undang-undang yang telah dibuat oleh pansus RUU tersebut. sehingga, hal ini sangat mempengaruhi produk undang-undang yang dihasilkan. maka tidak heran apabila kita selalu menghasilkan menjumpai keadaan-keadaan yang pro dan kontra dari setiap undang-undang yang dihasilkan, kita lihat baru-baru ini sebagian undang-undang yang dihasilkan selalu terlekat kata “Kontroversial”, sebagai contoh UU ITE, UU Pornografi, UU BHP, dan lain-lain.

E. Bagaimana dengan Penegakan Hukum Tata Negara Indonesia ?
Penegakan Hukum Tata Negara Indonesia sebenarnya berbanding lurus dengan beberapa hal yang terjadi dalam peristiwa hukum tata negara, yaitu :
a. Perubahan UUD 1945
Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud MD., Prof. Dr. Harun Alrasid, dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.

b. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.

F. Pergeseran Analisis terhadap Teori Hukum Tata Negara
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.
Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

G. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum
Salah satu teori yang penting di bidang Hukum Tata Negara adalah teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Banyak yang berpendapat bahwa secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi hanya dapat dijamin secara efektif jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court). Organ ini khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diberlakukan oleh organ lain.
Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal dirumuskan ketika Kelsen menjadi anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada 1919 – 1920 dan diterima menjadi Konstitusi Tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.
Pemikiran Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan tersebut yang kemudian disebut dengan “The Pure Theory of Law” telah mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan lain, yaitu antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis. Stanley L. Paulson membuat skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen diantara kedua tesis tersebut terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral:
Law and Fact
Law and Moraity
normativity thesis
(separability of law
and fact)
reductive thesis
(inseparability of law and fact)
Morality thesis
(inseparability of law and morality)
Natural law theory
-
Separability thesis
(separability of law and morality)
Kelsen’s Pure Theory of Law
Empirico-positivist theory of law
Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico positivist adalah separability thesis dan reductive thesis. Teori Kelsen adalah pada tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama dengan morality thesis.
Teori yang dikembangkan oleh Kelsen sesungguhnya dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum secara utuh. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis juridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.
Dengan melihat kondisi-kondisi yang demikian maka saatnyalah para calon-calon yuris dan/atau yuris mulai melakukan dobrakan yang tentunya tetap berada pada koridor hukum yang berlaku. Keberadaan suatu lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang bagi kita untuk melakukan pengawasan hukum terhadap produk-produk hukum yang telah dihasilkan dari suatu ranah politik. Perlu diingat bahwa stigma yang ada sekarang, yaitu kebobrokan hukum Indonesia merupakan cambukan bagi kita semua, seiring berjalannya waktu stigma itu dapat kita rubah sepanjang kita orang-orang hukum dapat menggerakkan suatu sistem hukum nasional ke arah kelompok 3, hal ini sangat mungkin terjadi sepanjang para calon-calon yuris dan/atau yuris selalu berpegang pada suatu makna yang terkandung dalam hukum itu sendiri. (Penulis Expert Psikologi Hukum Dan Hukum Tata Negara UNTAN).

Daftar Kepustakaan

Esmi Warassih, SH.MS Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryadaru Utama, Semarang, 2005

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991

Komarudin Hidayat, Makalah “Memantapkan Kehidupan Demokrasi Dalam Masyarakat Pluralisme, 2009 Dalam Soetandyo Wignjosoebroto, FORUM KEADILAN: N0. 09, 25 Juni 2006

Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bharata, 1978.

Roger Cotterrell, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths. 1984
Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara, 1979 .

Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1992

Lili Rasjidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Lawrence M. Friedman, , American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, 1984

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta. 1978

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Theo Huijbers, 1991, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991


[1] Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, FORUM KEADILAN: N0. 09, 25 Juni 2006
[2] Prof Dr Komarudin Hidayat, Makalah “Memantapkan Kehidupan Demokrasi Dalam Masyarakat Pluralisme, 2009
[3] Prof Dr Esmi Warassih, SH.MS Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryadaru Utama, Semarang, 2005
[4] Roscoe Pound, 1978, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hal, 7; Lili Rasjidi, 1992, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, hal. 43.
[5] Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta, hal. 11
[6] Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24
[7] Ibid, hal. 25.
[8] Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto, 1983,Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hal.: 4,5.
[9] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24
[10] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24
[11] Theo Huijbers, 1991, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, hal. 122; Lili Rasjidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 51
[12] Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, hal 16.
[13] Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, hal. 25
[14] Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hal. 51. Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, hal. 11.
[15] Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, hal. 483.
[16]C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, hal. 53.
[17] Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara, hal. 12.
»»  Baca Selengkapnya...