Senin, 11 April 2011

Mengenang & Mengenal Sultan Hamid II Dalam Tataran Sejarah Indonesia

Dihimpun oleh :Turiman Fachturahman Nur

Sultan Hamid II, seorang Sultan Pontianak yang saya anggap paling berjaya meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah.

Sebagai seorang tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan, maka eksistensi Sultan Hamid II tak pelak bagi saya menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Meskipun selama sejarah negara ini berkembang, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini.

Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini, inilah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.

Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri, ada Tan Malaka tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri, ada Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya, ada Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak yang lain lagi.

Perancang Lambang Negara

Sultan Hamid II, Sultan Pontianak seorang lulusan Akademi Militer Breda Belanda, menjadi perwira tentara KNIL (Koninklijk Nederland Indische Leger) dengan pangkat Major, Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.

Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, iaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.

Lantas kemudian memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.

Sultan Hamid II adalah seorang federalis, namun bukan berarti beliau seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal ini yang dihilangkan dari sejarah! Padahal, kalau Sultan Hamid II dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.

Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan egara federalis, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud sampai saat ini. Tapi karena federalisnya ini Sultan Hamid menjadi korban perjuangan politiknya bahkan seumur hidup jatuh dalam fitnah ‘pemberontak.’

Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi sebuah negara federal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selaku ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah Belanda.

Secara singkat perjuangan tersebut tidak sia-sia, kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Pengakuan terhadap daerah istimewa Kalimantan Barat itu sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditanda tangani di Den Haag tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.

Namun apa daya, dalam pemerintahan RIS di bawah Perdana Menteri Muhammad Hatta, Sultan Hamid II hanya dilantik menjadi Menteri Negara Porto Folio, suatu jabatan penghibur atau mungkin sekedar pelengkap penderita. Pengangkatannya sebagai Menteri Negara tanpa tugas khusus itu, tentu membuat Sultan Hamid II kecewa, karena tidak setimpal dengan peranan yang telah dilakukannya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (kasusnya hampir sama meskipun berbeda konteks ketika Natsir kecewa, Alex Evert Kawilarang kecewa, atau ketika Kahar Mudzakar kecewa dengan pemerintahan sehingga melahirkan protes).

Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme, tapi…kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu berjaya membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana Belanda.

Kemudian, hal lain yang juga yang dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi Desainer dari Lambang Kenegaraan yang masih terpakai hingga saat ini yakni Burung Garuda tersebut. Meski sejarah menutup-nutupi, hasil karya Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Kenegaraan tersebut tak boleh dilupakan.

Kalimantan tanpa Sultan Hamid II

Sudah menjadi nasib Kalimantan Barat, selepas Sultan Hamid II ditahan hingga wafat tanpa kehormatan, DIKB kemudian dibubarkan pada penghujung tahun 1950. Kalimantan Barat statusnya hanya menjadi sebuah provinsi dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956. Hilang sudah cerita DIKB yang menjadi cita-cita Sultan Hamid II dan Para Raja, Sultan, Panembahan dan Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kalimantan Barat. Apa yang didapat Kalimantan Barat sebagai Provinsi yang tidak memiliki keistimewaan?

Pengeksploitasian sumber daya alam (SDA) terjadi tanpa kendali, apalagi semasa rezim sentralistik. Hutan Kalimantan Barat mengalami deforestisasi yang mencengangkan sekaligus mencemaskan, sumber-sumber pertambangan di-eksploitasi, sungai-sungai besar tak lagi jernih, mercuri mencemari, penduduk negeri digusur demi perkebunan atas nama pembangunan. Tiada lagi kehormatan sebagai negeri yang pernah berjaya, tiada lagi marwah sebagai negeri yang berdikari, tiada lagi adat resam budaya yang terpelihara, peninggalan sejarah menjadi lapuk dimakan usia, hak ulayat sudah tidak dihargai lagi, masyarakat adat terpinggirkan.

Apa beda Kalimantan Barat dengan Aceh, Yogyakarta dan Papua?! Perihal keistimewaan atau mungkin kekhususan, Kalimantan harusnya punya keistimewaan itu. Bedanya Kalimantan terutama Kalimantan

Barat…meminjam istilah Melayu Pontianak ‘tak kuase jak’ untuk menagih itu. Kalimantan Barat selalu patuh dan menjadi anak baik di negeri ini, Kalimantan Barat belum berani fight menagih kembali haknya. Saking patuh dan penurutnya Kalimantan maka marwah tergadaikan. Padahal apa yang kurang yang disumbangkan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat untuk negeri ini, SDA yang dikeruk sampai Kalimantan tinggal tunggul dan ampas. Semoga di masa hadapan Borneo menjadi lebih baik!

Pontianak Post Rabu, 30 Maret 2011

In Memorium Sultan Hamid II

Oleh A Halim R

12 JULI 1913, tatkala itu zaman Belanda, terlahir seorang putra mahkota, Sultan Muhammad nama Ayahndanya, Sultan Pontianak adalah martabatnya. Putra terlahir Hamid Alkadri, disambut gembira seluruh negeri, tampan rupawan dia punya diri, setelah dewasa bijak bestari. 30 MARET 1978, 33 tahun telah berlalu, takdir Allah sudahlah berlaku, Sultan Hamid II putra bermutu, pulang ke Rahmatullah menuju Yang Satu. Yang Satu itu adalah Al-Ahad, di tangan-Nya semua kodrat-iradat, sejarah diukir bukanlah jahat, penuntun bangsa dan masyarakat.

Putra Indonesia yang bermartabat, Sultan Pontianak yang sangat merakyat, karena permainan politik yang jahat, beliau dihukum dan dijerat. Padahal pikirannya sangat cemerlang, menghargai anak bangsa tidak berbilang, antero Nusantara sama dipandang, beragam etnik pecah dipantang.
Sebagai pejuang anak bangsa, hidupnya lama di dalam penjara, pada zaman Orde Lama, orang pintar banyak terhina. Bukanlah apa penyebab gara-gara, melainkan politik punya sengketa, hukum diberlaku semena-mena, yang tak sepaham masuk penjara. Politik memang barang celaka, sejak zaman dahulu kala, semua cara dihalalkannya, sejarah pun bisa diubahnya. Sejarah bisa diubahnya, perkara kecil dibesar-besarkannya, nama orang bisa dihapuskannya, jasa orang tak lagi dikenangnya.

Tahun 1966, tatkala Orde Baru yang berkuasa, tahanan-hukuman politik dibebaskan semua, Sultan Hamid II termasuk di dalamnya, politikus dan wartawan banyak pula.

Tatkala jasad telah dimakamkan, di Batulayang beliau berdekatan, dengan para keluarga dan sultan, sejarah mulai timbul ke permukaan.
Uun Mahdar seorang mahasiswa, di Universitas Pajajaran dia berada, mulai meneliti dan menyelia, Garuda Pancasila siapa pembuatnya. Ia dibimbing Profesor Soemantri, Bagir Manan sebagai penguji, skripsi diteliti lalu diuji, ia lulus tanpa diragui.

Intelektual muda lain mulai mencungkil, mencari fakta di tebaran kerikil, Turiman mahasiswa UI yang terampil, nak menyusun tesis: demam menggigil. Anak Pontianak yang sederhana ini, mendapat ide dari kawan senegeri, namanya Max Yusuf Alkadri, untuk menulis sejarah lambang RI. Garuda Pancasila siapa tak kenal, lambang negara berfalsafah handal, namun siapa perancang yang original, sosok yang nyata tidak dikenal.

Ada yang bilang Muhammad Yamin, namun keabsahannya tidak terjamin, Basuki Resobowo kata yang lain, namun tak ada pula tukang amin.
Turiman dan Max Yusuf Alkadri, teringat pada Sultan sendiri, fakta awal lalu dicari, kepala menaning tapi keras hati. Bukti dan dokumen lalu disisir, ke museum-arsip dan para pemikir, termasuk ke Mas Agung mereka mampir, muslim Tionghoa ahli zikir. Dari Mas Agung bukti didapat, walau dari dokumen yang sudah terlipat, dari Kerajaan Sintang diperoleh bukti kuat, fakta dan dokumen jadi berkebat-kebat. Bung Hatta menjadi saksi, manusia jujur-bersih-terpuji, dalam tulisan yang tahan uji, beliau bersaksi dan beralibi. Dengan bukti berkebat-kebat, absah sudah perancang garuda didapat, bukan orang jauh dari Gujarat, Sultan Hamid II perancang yang tepat.

Untuk menyusun tesis sejati, perancang Garuda Pancasila yang asli, Turiman perlu dana sepundi, kemana pula duit hendak dicari. Berkomunikasi keduanya dengan sahabat dekat, Redaktur AP Post yang sangat erat, untuk mencari cara yang tepat, Turiman disuruh membuat surat. Surat Pembaca untuk dimuat, isinya mohon bantuan kerabat-sobat, gayung bersambut sangatlah cepat, Yayasan Bhakti Suci siap dan cekat. FX Asali anak negeri, penasihat Yayasan Bhakti Suci, ketua Halim Irejo alias AO diomongi, untuk membantu mahasiswa senegeri. Bhakti Suci bukan cuma untuk orang mati, yang hidup nak buat tesis pun ikut diberi, mendukung marwah negeri sendiri, akhirnya tesis lolos dan tahan uji.

Profesor-Doktor di Universitas Indonesia, mengakui kebenaran paparan yang ada, tiada cacat dan tiada cela, tesis yang hebat sejarah dibuka. Secara akademis kebenaran diakui, Sultan Hamid II perancang lambang RI, pelukis Dullah yang menyempurnai, diperintah Bung Karno penggemar seni. Kata Bhinneka Tunggal Ika, itu Bung Karno yang mereka, inti filosofis yang ada di dalamnya, wajah berbeda satu saudara.

Bertahun tesis Turiman bergema, namun hanya di media Kalbar saja, orang luar seperti memekakkan telinga, ataukah tak mau peduli akan adanya. Hingga pada suatu masa, Nanang R Hidayat nama orangnya, dosen Institut Seni Indonesia Jogja, nak menulis tentang Garuda Pancasila.
Nanang membuka situs Garuda, dan ada di internet dunia maya, di sanalah ia berjumpa, Turiman dan Max Yusuf nama tertera. Kontak-mengontak lalu berjalan, bahkan pertemuan di darat pun diadakan, silarurrahmi dan dialog berbulan-bulan, bak saudara- sahabat saling merindukan. Bagaikan bertemu buku dan ruas, berbagai hal dan kaidah sama dibahas, ide dan fakta terbentang luas, untuk menulis buku tanpa was-was.

Tahun 2008 wujud buku menjadi nyata, dicetak penerbit Nalar di Jakarta, buku diberi judul langka, Mencari Telur Garuda. Nanang R Hidayat bertutur kocak, namun isinya bernas dan pacak, membuka mata semua khalayak, siapa perancang Garuda Pancasila yang bijak. Fakta dan dokumen dirangkai-rangkai, menjadi buku yang sangat bitai, siapapun boleh mengintai, mana yang haq mana yang kulai. Tiada lagi syak wasangka, atas semua fakta yang disodorkannya, hanya manusia yang berhati durjana, tidak mengakui kebenarannya. Buku Mencari Telur Garuda, buku belum ada tolok bandingnya, telah beredar di seluruh Nusantara, pun tiada pula penyanggahnya.

Kini Sang Arif telah berpulang, namun karya baktinya tetap menjulang, walau namanya ditutup orang, negatifnya saja selalu dibilang. Begitulah pengorbanan pahlawan sejati, tak ingin menonjol meninggikan diri, tak diingat orang beliau tak iri, yang penting bakti telah diberi. Bakti bukan untuk mengais rezeki, apalagi untuk mencuri-korupsi, memaknai hidup lebih berarti, rezeki ada di tangan Ilahi. Di dalam bui beliau tabah, berpisah dengan keluarga beliau pasrah, jiwa pun tidak menjadi gundah, beribadah mengingat Allah lebih berfaedah. Kebenaran sejati bukan di mahkamah manusia, sebah manusia makhluk yang leta, hukum bisa diputar-balikkannya, kebenaran hakiki Allah pemutusnya.

Ya Allah Rabbul alamin, barzah-akhiratnya mohon dijamin, limpahkan rahmat bagi si mukmin, semua dosanya mohon ampunin. Ya Allah subhanahu wataala, sejahterakanlah kehidupan barzahnya, permudahkanlah yaumil mahsyarnya, sabas bahagia hari akhiratnya.

Kami mengingat seorang putra bangsa, putra Kalbar yang pernah menderita, nasab dan martabatnya sangat mulia, namun raja hidup di penjara. Putra bangsa anak Kalbar ini, ternyata tokoh nasional sejati, perancang lambang negeri bahari, Indonesiaku-Indonesiamu-tempat kita berdiri.**

Pontianak Post Selasa, 05 April 2011

In Memoriam Sultan Hamid II, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -1- Sangat Disiplin, Berwawasan Global dan Etika Pergaualan Internasional

Syarif Ibrahim Alqadrie

Permintaan rekan “koeli tinta,” insan LSM, kolega dan mantan mahasiswa agar saya menulis tentang Sultan Hamid II Al-Qadrie, sangat beralasan. Upaya mengungkap kisah seorang tokoh yang pernah punya andil di tingkat lokal, nasional, regional dan global, tidak akan pernah mubazir. Di lain pihak, sejarah sering menjadi produk politik penguasa. Produk semacam itu telah menampilkan sejumlah “tokoh” yang tidak pernah melakukan peran riil apapun dalam sejarah. Mereka ditampilkan dari atas tidak lain hanya untuk kepentingan baik politik etnis, politik perpartaian maupun ekonomi politik dan status quo penguasa.

Jadi, upaya memenuhi permintaan tersebut tidak didasarkan pada motif apapun selain hanya ingin mengungkapkan fakta riil dan obyektif mengenai hubungan sejarah dan politik: ‘sejarah adalah politik pada masa lampau dan politik ialah sejarah masa kini.’ Ini berarti, kalaupun ketokohan seorang putra Indonesia keturunan Arab Alawiyyin kelahiran Kalbar ini tercampakkan dari sejarah, itu berarti ada sesuatu yang keliru dalam politik masa lalu. Ini juga mengingatkan kita bahwa kebijakan yang keliru semacam itu jangan pernah terulang, karena ia akan menjadi sejarah kelam bangsa ini.

Ketidakhadiran dan Panceklik

Hamid Al-Qadrie lahir di Pontianak 12 Juli 1913 dari seorang ayah, Sultan Muhammad Al-Qadrie, keturunan Melayu-Dayak-Bugis-Arab Alawiyyin dan Ibu keturunan Turki. Ia wafat 30 Maret 1978 di Jakarta pukul 18.15 setelah melaksanakan shalat Maghrib.

Seandainya masih hidup, Hamid sudah akan berumur 97 tahun 8 bulan 25 hari. Sampai saat ini, hari wafatnya telah berlangsung 33 tahun 33 hari. Setiap tahun, hari kelahiran dan wafatnya diperingati di Kesultanan Qadriyah. Artikel ini bermaksud dan boleh dianggap memperingati dua masa bersejarah itu. Namun, isinya lebih dimaknai oleh rekan-rekan saya sebagai perwujudan baik dari kondisi ketidakhadiran (absence) atau panceklik hadirnya para pemimpin besar di Indonesia selama 43 tahun sejak ORBA maupun dari krisis kepercayaan rakyat terhadap mereka.

Kehilangan Satu Generasi Pemimpin

Rakyat Indonesia, terutama di Kal Bar haus dan rindu akan dan mendambakan hadirnya pemimpin-pemimpin besar sekaliber antara lain Multatuli, Soekarno, Mohammad Hatta, A. H. Nasution dan Hamid Al-Qadrie yang ide politik mereka merakyat dan banyak berbicara di tingkat nasional dan internasional. Setelah Hamid, memang banyak pemimpin-pemimpin formal dan informal datang silih berganti mengisi jabatan kosong, karena Kalbar kehilangan satu generasi pemimpin. Peristiwa Mandor 1943 dengan Balatentara Kempitai Jepang memegang peran kunci menyebabkan Kalbar mengalami musibah kepemimpinan.

Rakyat Kalbar pantas berterima kasih kepada para pemimpin yang telah datang atau didatangkannya (dropped) dan telah menggerakkan roda pemerintahan. Namun, Kalbar perlu waktu untuk memperoleh banyak manfaat dari mereka karena berbagai alasan: mereka kurang mengenal Kalbar dan budayanya, lamanya masa tugas sangat terbatas, sering dialihtugaskan (rolling of duty) ketempat lain, komitmen dan tanggung jawab mereka lebih pada instansi yang mendatangkan mereka ketimbang pada rakyat dan daerah Kalbar.

Karena itulah, pembangunan di daerah ini telah sedang berjalan sangat lamban bagai sebuah “becak yang bannya bocor,” sedangkan percepatan (acceleration) pembangunan di daerah lain terutama Jakarta, seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Bali berjalan bagaikan “sepeda motor balap 250 cc.” Selain itu, ketidakberuntungan Kalbar dari kehilangan satu generasi pemimpin juga dirasakan dalam segi sosial ekonomi: hancurnya lingkungan alam dan sosial, proses pengundulan hutan sangat cepat, ketidakpedulian, moralitas, penataan kota dan lingkungan yang menimbulkan krisis identitas. ]

Figur Konkrit

Dalam kondisi suram seperti itu, masyarakat Kalbar melihat ke belakang pada apa yang telah dilakukan oleh Hamid Al-Qadrie untuk menempatkan Kalbar sederajad dengan daerah dan bangsa lain. Mereka menginginkan lahir dan munculnya figur-figur pemimpin dan tokoh bertaraf nasional dan internasional dan memiliki gagasan, pemikiran dan obsesi besar, dan integritas tinggi, dalam bentuk konkrit bukan dalam bentuk messiah yang “turun dari langit” sebagaimana diharapkan oleh aliran mesianisme, seperti Imam Mahdi dalam masyarakat Syiah, Ratu Adil pada masyarakat pedalaman Jawa dan “messiah” yang konkrit dalam masyarakat Dayak (Alqadrie, 1994). Figur semacam itu diharapkan muncul di Kalbar dari generasi penerus: pemikir-pemikir yang memiliki obsesi besar, pekerja keras, jujur dan konsisten.

Putera Kalbar yang satu ini berpendidikan sangat baik. Ia secara pribadi dididik oleh seorang wanita Inggris dan menguasai dua bahasa asing secara aktif, Inggris dan Prancis. Begitu menyelesaikan Sekolah Lanjutan Pertama, Hamid muda telah menguasai dua bahasa asing lainnya: Belanda dan Jerman. Ia dapat mengelola waktu dan pekerja keras, memiliki disiplin sangat baik, wawasan global dan etika pergaualan internasional. Karena menerima pendidikan Barat dan Timur, ia berhasil menggabungkan dua dunia: global dan lokal, sehingga ia mampu berfikir global dan berhati lokal. Ini ditunjukkannya ketika berada di lingkungan keluarganya, ia makan dengan menggunakan tangan dan bermain dengan kawan-kawan sebayanya, tetapi ia menyukai kebersihan dan menghargai perbedaan. (Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University, Jepang & NIAS, Copenhagen, Denmark)

Pontianak Post Rabu, 06 April 2011

Ajudan Ratu Weheilmina; Orang Indonesia Pertama dan Terakhir
In Memoriam Sultan Hamid II Al-Qadrie, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -2-

SETELAH menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, Sultan Hamid II yang wafat pada 30 Maret 1978 (bukan 3 Maret 1978 seperti tulisan kemarin) meneruskan ke Akademi Militer Breda, Den Haque, Belanda. Di sini ia tidak hanya memiliki keahlian teori dan praktek dalam kemiliteran, tetapi juga meningkatkan penguasaannya dalam bidang politik dan Bahasa Spanyol. Setelah menyelesaikan pendidikan di Breda, Hamid Al-Qadrie diangkat menjadi Letnan II pada Angkatan Darat Belanda dalam umur 22 tahun. Dalam usia 28 tahun ia diangkat sebagai salah seorang Ajudan Ratu Belanda, Weheilmina. Ketika berumur 33 tahun ia dipromosikan sebagai Mayor Jenderal (Mayjen) dalam Kesatuan Militer Belanda. Dengan prestasi tersebut, Hamid Al-Qadrie merupakan orang Indonesia --kelahiran KalBar-- pertama dan terakhir yang menjadi Ajudan Kepala Negara di Eropa termuda, dan menguasai 5 (lima) bahasa Asing! Tampaknya, hanya Soekarno, mantan Presiden I RI, adalah satu-satunya orang Indonesia yang menyamainya dalam menguasai bahasa asing.

Penghargaan pemerintahan asing kepada Hamid Al-Qadrie menunjukkan bahwa ia memiliki otak cemerlang dan wawasan akademis yang tinggi. Ia juga memiliki gagasan-gagasan, ide dan pemikiran sosial politik yang popular dan menembus waktu dan tempat (universal).

Karir militernya diikuti pula dalam bidang politik luar negeri. Dengan persetujuan dari tiga pihak: Belanda, Negara Bagian dan Republik Indonesia (RI), ia diangkat menjadi ketua Badan Penyelesaian Pertentangan Politik antara tiga pihak di atas (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO). Karena itu, ia sering mengikuti konferensi di dalam dan di luar negeri mewakili Kalbar, BFO dan Republik Indonesia (RI) atas nama Soekarno-Hatta.

Keberpihakan dan Pengaruh

Paling kurang tiga kali Soekarno-Hatta mengadakan perundingan dengan BFO yaitu 28/5-1948 di Bangka, 19/7-1948 dan 23 Juli-1948 di Yogyakarta untuk mengadakan kesepakatan sebelum RI, Negara-Negara Bagian dan BFO, menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haq. Dalam strategi mempersatukan ketiga unsur tersebut menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Soekarno-Hatta sering merangkul Hamid Al-Qadrie bersama BFO untuk melunakkan hati para pemimpin Negara Federal dalam mendukung strategi itu. Dalam hal ini, Hamid sering berada di pihak RI dan mendukung Soekarno-Hatta.

Pada kenyataannya, Hamid memiliki pengaruh besar terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia dan terhadap unsur yang ada di Negara-Negara Federal dan di BFO. Dalam beberapa kegiatan konferensi seperti KMB dan perundingan lainnya terutama dalam menciptakan NKRI, Hamid ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia. Pengaruh dan kedudukan strategis itu digunakannya untuk memperlancar proses penggabungan RI, negara-negara bagian dan BFO ke dalam NKRI. Akhirnya kerja keras itu membuahkan NKRI.

Bahwa peranan Hamid Al-Qadrie dengan BFO-nya sangat besar dalam penyelesaian kemelut politik antara Belanda, RI, Negara-Negara Bagian, dan proses pembentukan NKRI, sudah tercatat dalam catatan peneliti netral (Prasaja, 1950) dan tidak diragukan lagi. Namun, Jakarta tidak pernah mau melihat apa yang terbaik yang sudah ia lakukan sebagai seorang warga negara. Hamid sampai sekarang terlupakan hanya karena barangkali ia berasal dari “semberang” (non-main land). Pandangan Pemerintah Pusat (PemPus) juga menjadi “kabur,” hanya karena ia pernah melotarkan ide demokratisnya tentang Daerah Istimewa Kalbar yang sekarang sangat dikenal dan didambakan semua daerah luar Jawa: Daerah Otonomi Khusus.
Hamid memang pernah menjadi salah seorang arsitek terbentuknya Negara Federasi/ Negara Indonesia Serikat (United States of Republik of Indonesia). Di dalam bentuk negara seperti itu, antara lain Amerika Serikat (AS), India dan Malaysia, tiap daerah provinsi yang menjadi negara bagian, tidak tergantung PemPus (Negara Federal), bertanggung jawab, berwewenang dan berhak penuh dalam mengambil kebijakan, dan mengimplementasikannya, untuk kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan bagi negara bagian masing-masing dan sekaligus bagi negara federal yang menaungi mereka. Teori Federalisme yang didasari oleh paradigma humanisme dan demokratis menekankan bahwa Negara Federal Pusat akan menjadi besar dan kuat karena kekuatan dan kebesaran negara-negara bagian yang ditunjang oleh kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.

Tercetusnya ide besar itu dilandasi prediksi keilmiahannya tentang ketidakadilan yang cenderung dihadapi oleh setiap rakyat yang berada di luar lingkaran kekuasaan dan etnisitas, khususnya dari pemerintah pusat. Namun, ia berkaitan pula dengan keserakahan yang cenderung timbul dari mereka yang tidak mau memahami hak dan kewajiban hakiki dalam kemajemukan bangsa. Tanpa batas-batas wewenang yang tegas dalam pengaturan dan pembagian kekuasaan antara Pusat dan bagian-bagiannya, apa yang akan terjadi ialah bukan hanya sekedar otonomi “belas kasihan,” diskriminasi, tetapi juga akan berubah menjadi kolonialisme interen.(Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University,Jepang &NIAS, Copenhagen, Denmark)

Pontianak Post Kamis, 07 April 2011

Strategi Politiknya: Federalisme & Otonomi Khusus In Memoriam Sultan Hamid II Al-Qadrie, Sultan Terakhir De Politico di Kesultanan Qadriyah -3-

HAMID Al-Qadrie percaya bahwa ide yang sudah lama dimimpikannya itu tidak mungkin bisa terwujud dalam kenyataannya karena negara serikat tidak relevan lagi dengan cita-cita kemerdekaan dan persatuan yang ia juga terlibat di dalamnya. Atas dasar itu, ia dengan kesadaran penuh mengubah strategi politiknya dari negara federal/serikat, pada mana Kalbar sebagai salah satu negara bagian, menjadi Daerah Otonomi Khusus, yang sekarang telah dimiliki oleh Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Dengan perubahan ide dan sikap politiknya pemerintah pusat sudah seharusnya menghilangkan kesalahfahaman dan kecurigaan mengenai apa yang disebut sebagai “cacat sejarah” berkaitan dengan ide federalism sebagai prinsip politik Hamid Al-Qadrie yang kemudian mengalami perubahan. Kesalahfahaman dan kecurigaan yang berubah menjadi tuduhan “penghianatan” berujung pada peristiwa Sultan Hamid II yang menyebabkan ia divonis 10 tahun penjara.

Bahwa predikat “pengkhianatan” terhadap dirinya dilandasi juga oleh tingkah pola anak buahnya, Westerling –perwira pertama KNIL-- yang melakukan aksi makar dan kekerasan di beberapa tempat seperti di Bandung, Makassar dan Jakarta, tampaknya “dapat difahami.” Sebagai atasan langsung, Hamid memang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam sistem komando terhadap apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Namun, kenyataannya, Hamid Al-Qadrie, tidak dapat dan tidak juga mampu melakukan kontrol langsung terhadap Westerling dan pasukannya. Pada saat peristiwa itu berlangsung, selama 4,5 tahun, ia berada di Pontianak memenuhi permintaan rakyatnya baik untuk memimpin Kalbar sebagai Kepala Swapraja (daerah otonom sekarang) maupun untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya di Kesultanann Qadriyah. Permintaan agar Hamid Al-Qadrie pulang dan sekaligus untuk mengisi kekosongan kepemimpin di Kalbar berasal tidak saja dari keluarga besar Istana, Puak Melayu dan anggota berbagai kelompok etnis, tetapi juga dari sebagian terbesar anggota kelompok etnis Dayak KalBar. Mereka diwakili oleh “pasukan rakyat” Dayak lengkap datang dari berbagai kawasan pedalaman dipimpin oleh Panglima Burung yang turun gunung dan keluar dari belantara untuk meminta agar Hamid Al-Qadrie pulang dan memimpin Kalbar.

Malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Kepulangannya ke daerahnya sendiri didramatisir. Hamid diisukan bahwa ia akan “menggerakkan” massa dan “mengkoordinasikan” pembentukan negara boneka Belanda dan mengadakan “perlawanan” terhadap pemerintah pusat. Dengan isu tersebut, banyak kalangan menjadi salah pengertian tentang misinya membangun dan meningkatkan marwah (dignity) rakyat Kalbar. Sebagai akibatnya, ia mendapat penentangan dan perlawanan tidak saja di Jakarta tetapi juga dari sejumlah pemuda dan tokoh di daerahnya sendiri yang terprovokasi dengan fakta yang dibelokkan.

Sultan Hamid II didemo secara besar-besaran, dicerca dan ditentang karena ia dianggap sebagai “pengkhianat, pemberontak” dan akan “ menghancurkan” NKRI. Ini merupakan konsekuensi negatif dari kesenjangan wawasan, pengetahuan dan pemikiran antara ia dan sejumlah pengikutnya dengan sejumlah besar penentangnya. Sampai sekarang diaspora non- fisik seperti ini masih sering terjadi baik antara sesama Melayu maupun antar kelompok etnis di Kalbar.

Tiga Kekeliruan

Ada tiga “kekeliruan” yang mungkin dilakukan Sultan Hamid II. Pertama, dengan beraninya ia mengungkapkan wacana tentang federalisme, walaupun kemudian telah diubahnya dengan Daerah Istimewa atau Otonomi Khusus (special autonomy). Padahal situasi belum memungkinkan: orang-orang belum faham benar tentang ketidakadilan dan keserakahan di dalam negeri sendiri. Ternyata gagasan politiknya baru dapat direalisasikan setelah bangsa ini merdeka 65 tahun, bahkan setelah bebas dari belenggu autoritarisme selama 32 tahun (Alqadrie, 2009: Bab II). Dapat dibayangkan apa yang pasti akan diterimanya dengan gagasan besar seperti itu dalam era jauh sebelum reformasi?
“Kekeliruannya” kedua: ia dibesarkan secara Barat; berpendidikan Barat; lulusan Akademi Militer Belanda, juga Barat; bekerja dalam lingkungan Barat; memperoleh pangkat dari Barat; diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda, juga Barat; dan berasal dari keturunan bukan “asli” tetapi blasteran Arab Alawiyyin, Turki, keturunan Dayak, Melayu, Bugis dan Banjar. Ini mungkin menyebabkan gagasan politiknya dianggap “aneh” dan “rada ngeyel.” Karena itu juga, barangkali ia hanya diangkat sebagai Menteri Negara tanpa Departement (without/zonder fortofolio) yang --disebut oleh ponakan-ponakannya sebagai Menteri “tadak begune”-- hanya diserahi tugas menyiapkan gedung dan ruangan parlemen untuk rapat dan merancang serta menyelesaikan lambang Negara (Garuda Pancasila) [Persaja, 1950). Tidak ada tugas lain!

Kekeliruan ketiga adalah penolakannya terhadap komposisi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang akan dibentuk. Komposisi itu terdiri hanya dari unsur TNI dari luar Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, bukan dari kesatuan lain termasuk dari Kalbar berdasarkan kesepakatan hasil Konferensi Antar Indonesia dan KMB. Atas dasar kesepakatan itu, komposisi APRIS seharusnya terdiri dari kesatuan mantan TNI sebagai kekuatan inti, mantan KNIL, mantan kesatuan Negara Bagian dan Kesatuan dari Kalbar. Untuk ini, Hamid sudah mempersiapkan satu kompi dari anggota kelompok etnis Dayak Kalbar (Rachman, 2000).

Namun, gagasannya tentang pembauran di tubuh Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia tidak dipenuhi. Bahkan, ia dicurigai akan memperlemah Militer Indonesia. Padahal, apa yang ia rencanakan merupakan perwujudan dari keberagaman (pluralism) dengan karakter multikultural –menerima dan menghormati perbedaan. Ia juga berpandangan sama terhadap kelompok etnis Tionghoa di Kalbar. Dimulai dari pendiri pertama Kesultanan Qadriyah, diikuti oleh pelanjutnya, dengan karakter multikultural Sultan Hamid II merangkul kelompok ini menjadi salah satu pillar kekuatan sosial ekonomi Kalbar. Kebijakan ini tidak saja mampu mendekatkan mereka dari saudara-saudara mereka, kelompok etnis Indonesia lainnya, tetapi juga menjauhkan mereka agar tidak menjadi korban dari kebijakan devide et empera Belanda

Ketokohan Sultan Hamid II teruji ketika ia menerima “kebijakan” pemerintah pusat yang jauh dari keadilan dan dilandasi oleh politik etnis yang diskriminatif. Pemerintah pusat sampai sekarang menutup mata atas fakta dan kebenaran tentang siapa pengagas, perancang, pencipta dan pembuat jadi Lambang Burung Garuda Pancasila (Turiman, 2000). Bahkan, dengan teganya pemerintah pusat menetapkan M. Yamin sebagai “penciptanya”.

Kebohongan publik dapat diciptakan, tetapi publik yang arif tidak bisa dibohongi.
Peristiwa Sultan Hamid II membuat kita makfum bahwa ‘perlakuan tidak adil yang Hamid Al-Qadrie terima merupakan harga dari kejujuran dan keberanian untuk kepentingan orang lain. Semoga ini tidak lagi menjadi ciri utama Indonesia dan Kalbar pada khususnya. Amien. (Penulis dosen FISIPOL UNTAN, Profesor tamu di Kyoto University,Jepang & NIAS,Copenhagen, Denmark)

»»  Baca Selengkapnya...

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Oleh : Tim Asosiasi Dosen HTN Fakultas Hukum UNTAN Pontianak Kal-Bar direfensi dari Pandangan Dr. (HC) AM. Fatwa
Wakil Ketua MPR RI

Kekuasaan Penyelenggaraan Negara

Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan.

Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

UUD 1945 mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.

Disamping mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia.

Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Selama ini, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.

Pembagian Kekuasaan Negara

Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi].

Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.

Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK.

Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD [Pasal 1 ayat (2)].

UUD 1945 salah satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system.

Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Saat ini lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presiden, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Adanya perubahan terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa implikasi pada hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.

Pada kesempatan ini, saya hanya akan menyampaikan mengenai tugas dan fungsi MPR yang dengan perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan tugas lembaga negara lainnya. Sedangkan tugas dan fungsi lembaga negara lainnya selain MPR akan disampaikan dalam bentuk pola hubungan antar masing-masing lembaga.

Tugas dan Fungsi MPR

Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.

Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meng­anut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara lang­sung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan lang­sung kepa­da rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:

  1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
  2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
  4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
  5. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Hubungan antar Lembaga Negara

a. MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi

Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.

Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.

Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.

Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

b. DPR dengan Presiden, DPD, dan MK.

Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan DPD untuk mewakili daerah.

Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.

Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.

c. DPD dengan DPR, BPK, dan MK

Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah.

Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.

Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.

Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.

d. MA dengan lembaga negara lainnya

Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.

Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.

e. Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY

Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.

f. BPK dengan DPR dan DPD

BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.

Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD.

Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.

g. Komisi Yudisial dengan MA

Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.

Demikian beberapa catatan mengenai tugas, fungsi serta hubungan antar lembaga negara menurut ketentuan UUD RI Tahun 1945 dan Peraturan Perundangan yang berlaku.


Daftar Pustaka

Joeniarto, S.H., Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Cetakan Keempat, Jakarta, Februari 1996.

Amir, Makmur & Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sejarah, Realita, dan Dinamika,
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2006.

Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


»»  Baca Selengkapnya...

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia

Oleh : Tim Asosiasi Dosen HTN Fakultas Hukum UNTAN Pontianak Kal-Bar direfensi dari Pandangan Prof.Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita
Ketua DPD RI

Pendahuluan
Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penye-lenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat perubahan konsti-tusi yang muncul berupa supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, penyelenggaraan otonomi daerah dan pengaturan hal-hal yang mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Semua itu direfleksikan sebagai konsensus politik bangsa yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya desakan yang begitu kuat dari berbagai kalangan masyarakat untuk mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar-lembaga negara, antar-pusat dan daerah, maupun antar-negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Telah menjadi hal yang nyata bahwa sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945 telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mengakar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat, yaitu faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dll., dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi, politik, dan sosial.

Oleh karenanya perubahan Undang-Undang Dasar juga telah “mengembalikan” kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ciri lain yang sangat penting juga ialah bahwa Presiden sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR. Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tetapi hanya salah satu diantara lembaga-lembaga negara yang sejajar. Semangat dalam demokrasi memang tidak boleh mengindikasikan adanya lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi yang tidak terbatas seperti lembaga MPR diwaktu yang lalu.



Reformasi Sistem Ketatanegaraan Melalui Amandemen UUD 1945

Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Sebelumnya, kita mengenal MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sedangkan Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama sejajar berada dibawah MPR. Selanjutnya berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia, “institusi” tertinggi ialah UUD 1945 itu sendiri (yang sebelumnya adalah MPR), sedangkan semua lembaga-lembaga yang merupakan lembaga negara dengan kedudukan yang sejajar. Lembaga-lembaga itu ialah lembaga legislatif terdiri dari DPR dan DPD yang seluruh anggotanya bersama-sama berada dalam lembaga MPR; serta lembaga eksekutif yaitu Presiden; serta Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. BPK hadir sebagai lembaga pengawasan eksternal. Beberapa lembaga yang hadir berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga adalah Komisi Yudisial, suatu komisi pemilihan umum dan suatu bank sentral.

Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum UUD 1945


Struktur Ketatanegaraan RI Setelah Perubahan UUD 1945



Catatan:
Beberapa lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945
- Komisi Yudisial
- suatu komisi pemilihan umum
- suatu bank sentral

Gambar 1. Struktur Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945

Berbagai Permasalahan Dalam Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hasil perubahan selama empat kali, masing-masing pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara. Pada pelaksanaannya ternyata UUD 1945 hasil amandemen dihadapkan pada berbagai masalah. Pandangan yang muncul ialah adanya sementara pihak menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli, atau sebelum diamandemen; dan ada pula pihak yang menghendaki penyempurnaan terhadap hasil amandemen UUD berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaannya. Beberapa masalah yang menonjol diantaranya indikasi perlu dilakukan reposisi kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial); dan perlu pelurusan format sistem ketatanegaraan (MPR, DPR dan DPD serta MK dan MA), disamping juga peletakan sistem presidensial untuk menjadi lebih wajar (tidak menjadi dominasi DPR). Berbagai persoalan lain seperti hak Presiden untuk menyusun kabinet, pengangkatan pejabat-pejabat yang harus mendapat persetujuan DPR sampai pada proses persetujuan duta besar asing di Indonesia serta hal-hal lain juga muncul ke permukaan. Namun, pada kondisi sekarang, substansi pokok dalam usul amandemen kelima yang sudah mengemuka adalah mengenai struktur legislatif, untuk penegasan peran legislasi dan pengawasan DPD sebagai lembaga legislatif dalam sistem ketata-negaraan kita.


DPD Dalam Konstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan, eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara, di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang membuat mereka sekarang menjadi negara maju.

Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai negara yang berbentuk republik, maka yang berperan dalam proses-proses penentuan arah kehidupan berbangsa itu adalah para wakil dari elemen-elemen bangsa yang juga mewakili unsur-unsur daerah. Para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 secara jelas menyadari kebhinekaan itu. Prof. Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyatakan bahwa “permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat, dan kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah”.

Pemikiran Prof. Muhammad Yamin yang menggambarkan ruh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern. Bangunan lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah berkembang dinamis dari periode ke periode, dan pada tahun 1998, dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali di mana tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili wilayah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan.

Penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian melahirkan DPD tidak serta merta muncul jatuh dari langit. Karena kecuali ia merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 seperti yang sedikit digambarkan di atas, juga merupakan produk sosiologi-politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari tuntutan reformasi 1998. Sejumlah kondisi itu antara lain:

Pertama, Penyelenggaraan negara yang sentralistik yang berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai basis berdirinya bangsa ini. Maka, di awal reformasi semangat itu kemudian diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu suatu pilihan politik dalam pengelolaan NKRI dimana daerah harus menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republik ini. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan realisasi dari kebijakan desentralisasi itu, yang kemudian diperkuat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada BAB VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A, dan 18B.

Kedua, di masa Orde Baru dan di awal era reformasi (bahkan hingga sekarang) persepsi publik terhadap eksistensi dan perilaku partai politik (parpol) kurang sejalan dengan harapan publik, karena sistem kepartaian kita masih sangat sentralistik. Sistem seperti itu sudahlah pasti selalu menyulitkan perjuangan kepentingan daerah dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tatar nasional, akibat dari kebijakan yang sentralistik yang secara alamiah berseberangan dengan aspirasi desentralistik.

Ketiga, kehadiran DPD merupakan produk dari refleksi kritis terhadap eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan kita di era sebelum reformasi. Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan kehidupan negara modern yang demokratis. Maka DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingannya secara utuh di tatar-nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI.

Keempat, kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa parpol yang eksis di daerah umumnya merepresentasikan kepentingan menurut kebijakan parpol pada tingkat pusat atau dengankata lain parpol masih berwatak sentralistik. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari komunitas yang primary group-nya berbasis parpol, maka sangat berpotensi (untuk tidak dikatakan pasti) mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan dengan kepentingan partainya.


Pelajaran dari Dunia Internasional

Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, dimana semangat dan fakta disintegrasi negara menjadi salah satu fenomena mondial yang terjadi pada dasawarsa 90-an. Cukup banyak negara yang pecah berkeping-keping dengan menimbulkan luka mendalam (sering disebut “Balkanisasi”). Tragedi itu tentu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang menjadi amanat luhur para pendiri negara. Kecenderungan lain yang terjadi di berbagai belahan dunia sejalan dengan gejala demokratisasi, adalah meningkatnya desakan agar daerah-daerah diberi peran lebih besar dan berarti di tingkat nasional, terutama dalam merumuskan dan mengambil putusan tentang kebijakan nasional yang terkait dengan kepentingan dan urusan daerah.


Pelajaran dari Pengalaman Masa Lalu

Selama ini dan telah berlangsung puluhan tahun, kedudukan dan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah sangat besar dan sangat menentukan. Berbagai urusan dan kepentingan daerah ditentukan oleh pusat tanpa cukup mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah. Kemajemukan dan kebhinekaan bangsa kurang dihiraukan sehingga banyak masyarakat di daerah merasa terabaikan dalam kehidupan nasional serta banyak daerah bahkan merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang bersumber dari daerahnya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur fisik yang paling nyata dirasakan sangat kurang di berbagai daerah yang secara geografis berada jauh dari pusat pemerintahan nasional. Akibat dari itu memunculkan gerakan separatis di berbagai daerah seperti Aceh dan Papua; kurang berkembangnya demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal; serta berkembangnya gerakan kekecewaan dan protes di daerah-daerah dan menurunnya semangat partisipasi masyarakat. Kemajuan daerah tidak sebanding dengan perolehan dana hasil eksploitasi sumber daya daerah dan terjadi disparitas antar wilayah, kesenjangan pusat dan daerah dan antardaerah yang cukup lebar.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan itu pada akhirnya terbangun konsensus politik untuk memperkuat suara kedaerahan sehingga terjadi pembentukan DPD yang sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional. Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan November 2001 dan dengan demikian DPD adalah lembaga yang lahir sebagai produk reformasi untuk menyuarakan kepentingan daerah.

Kita dapat mengidentifikasi dasar pertimbangan pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, disamping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Disamping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan.

Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh partai politik. Jelasnya DPR dan DPD tersebut seperti terllihat pada gambar 2

Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Pada pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPD telah diwakili oleh 33 Provinsi dengan empat orang anggota di setiap provinsi sehingga jumlah anggota DPD akan berjumlah 132 orang pada masa keanggotaan 2009-2014.

DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni: Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.

Selain Panitia Ad Hoc, DPD memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional mendukung pelaksanaan tugas DPD, yakni Badan Kehormatan yang bertugas menegakkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik anggota DPD; Panitia Musyawarah yang bertugas menyusun agenda persidangan DPD; Panitia Perancang Undang-Undang yang bertugas merencanakan dan menyusun program legislasi DPD; Panitia Urusan Rumah Tangga yang bertugas membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD; dan Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan yang bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral.

Di samping alat kelengkapan tersebut, DPD membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan Anggota DPD dan meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam lingkup sebagai Anggota MPR. Diawal pembentukannya Kelompok Anggota DPD telah berhasil menempatkan dua orang wakilnya untuk duduk sebagai Pimpinan MPR.

Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Disamping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: Apakah harapan-harapan atas DPD RI tersebut dapat terwujud? Apakah ada keseimbangan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki oleh DPD?

Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945:

  1. dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
  2. ikut membahas RUU tertentu;
  3. memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN;
  4. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));
  5. melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

Secara skematis sebagaimana terlihat pada gambar 3

Gambar 3. Fungsi DPD RI menurut UUD 1945 Pasal 22 D

Gambaran itu menunjukkan bahwa ternyata kewenangan yang diberikan kepada DPD hanya sebatas memberi masukan kepada DPR baik dalam bidang legislasi, maupun pengawasan. Hal ini memberikan batasan yang membuat DPD tidak dapat berperan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelaksanaanya selama hampir lima tahun periode DPD berjalan sejak Oktober 2004, telah menunjukkan indikasi kesulitan DPD dalam menyelesaikan secara tuntas aspirasi masyarakat. Oleh karenanya telah tumbuh kekecewaan atas ketidakmampuan DPD mengemban aspirasi dan harapan masyarakat. Persoalannya bukan untuk DPD semata, tetapi pada ketuntasan dalam artikulasi aspirasi rakyat. Untuk itu memang masih sangat dibutuhkan pemahaman tentang konsep sistem ketatanegaraan yang mendasar dengan didukung oleh kesadaran untuk mengerti bahwa ada persoalan dalam konstruksi sistem ketatanegaraan kita. Ada permasalahan dalam sistem ketatanegaraan, yang hanya dapat diselesaikan secara konstitusional melalui perubahan kelima UUD 1945 dengan dilandasi oleh pemahaman konseptual dan fakta yang ada di lapangan dalam sistem ketatanegaraan kita.

Tinjauan Singkat Sistem Bikameral

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.

Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.

Sebagai referensi, kita dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 Negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).

Selanjutnya mari kita lihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.

Dalam “manajemen politik” seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bicameral

Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda.

Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi; makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Italia, Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah “anomali” karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat.

Eksistensi dan Pemberdayaan DPD RI

Eksistensi DPD

Dengan segala keterbatasan dalam kewenangan yang ada, DPD terus berupaya untuk eksis dan mengartikulasikan aspirasi daerah dengan sebaik-baiknya. DPD juga berupaya untuk mengambil inisiatif untuk terus mendorong ketatalaksanaan hubungan fungsi politik dengan DPR dan dengan Pemerintah atau dalam hal ini Presiden, ditandai dengan agenda politik DPD berupa konsultasi reguler dengan Presiden dan agenda Pidato Kenegaraan pada bulan Agustus setiap tahun, sejak tahun 2004, DPD telah menghasilkan produk-produk politik berupa 167 buah Keputusan DPD yang meliputi: Pengajuan usul RUU inisiatif dari DPD 11 buah RUU antara lain berkenaan dengan pemekaran daerah (Gorontalo), kepelabuhanan, dan lembaga keuangan mikro yang merupakan kepentingan bagi hampir semua daerah di Indonesia, dan kehutanan. Selain itu juga sudah dihasilkan Pandangan dan Pendapat DPD atas RUU tertentu yang berasal dari Pemerintah maupun DPR, yaitu sebanyak 84 buah; serta Pertimbangan DPD atas RUU bidang Pendidikan dan Agama yang berasal dari Pemerintah maupun DPR sebanyak 6 buah; serta Hasil Pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu sebanyak 41 buah; juga Pertimbangan DPD terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah dan DPR terkait dengan anggaran yaitu sebanyak 25 buah.

Berbagai Prinsip Pemberdayaan DPD RI

Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, ada beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:
- Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.

- Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD, dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).

- Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak, mengembalikan ke DPR atau hanya menunda pelaksanaannya.

- Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.

Pertanyaan selanjutnya sehubungan dengan apa yang berkembang dan apa yang menjadi faktor dasar pembatas ruang gerak politik DPD bagi rakyat banyak, terutama untuk daerah ialah, bagaimana DPD selanjutnya? Apakah dibiarkan seperti sekarang, ditiadakan atau diberdayakan secara lembaga sesuai harapan rakyat daerah?

Upaya Pemberdayaan DPD RI

Dengan mempertimbangkan harapan masyarakat di daerah yang amat besar terhadap DPD serta legitimasi politiknya yang tinggi, maka dalam rangka upaya untuk lebih memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah, telah tumbuh prakarsa untuk lebih memberdayakan peran (empowering) DPD, melalui amandemen ke-5 UUD 1945.

Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran daerah dalam penyelenggaraan negara. Kiprah DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik negara dan pengelolaan negara, sesuai ruang lingkup tugas fungsi DPD sebagai lembaga legislatif.

Indonesia merupakan negara besar dalam ukuran penduduk maupun luas wilayah. Dengan beragamnya kepentingan yang dilahirkan oleh sifat multi etnis dan multi kultur bangsa ini, diperlukan keterwakilan (representation) yang tidak hanya atas dasar jumlah penduduk, tetapi juga atas pertimbangan kewilayahan dan heterogenitas seisi wilayah dan kepentingannya, maka Indonesia membutuhkan sistem bikameral yang kuat.

Pada sisi pandang ini keberadaan fungsi legislasi secara bersama-sama merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia dimana DPR dan DPD dapat saling mengisi dan memperkuat. Dapat kita lihat bahwa anggota DPR dipilih berdasarkan jumlah penduduk dan melalui partai-partai, maka anggota DPD dipilih berdasarkan keterwakilan daerah dan secara perseorangan. Kedua sistem ini bisa bersifat komplementer, saling mengisi, mengimbangi dan menjaga (checks and balances) antar lembaga perwakilan (legislatif).

Kehendak untuk mempertahankan kekuasaan yang sudah dimiliki kita pahami sebagai naluri alamiah, karena kekuasaan itu dianggap sebagai hak dan kenikmatan. Tetapi pandangan itu akan berubah apabila kekuasaaan dan kewenangan itu dilihat sebagai amanah dan berbagi kewenangan adalah hal wajar dan bagian dari sistem demokrasi. Demokrasi mencegah kewenangan yang berlebih, baik di tangan perseorangan atau pada sebuah kelompok kolektif. Sebenarnya disitulah terletak hakekat keberadaan DPD, yaitu untuk memperkuat demokrasi dan keadilan dalam sistem kenegaraan kita. Itulah sesungguhnya jiwa dari amandemen UUD 1945 yang telah melahirkan DPD.
Perubahan UUD hanya dimungkinkan jika dilakukan melalui persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa :

(1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Penutup

Perubahan konstitusi seharusnya membawa bangsa ini berjalan tegap ke depan. Semua pihak dituntut melangkah maju dan berpikir secara rasional dalam mencari jalan keluar bagi berbagai persoalan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dengan perubahan UUD 1945 Indonesia memasuki barisan negara-negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga perwakilannya.
Upaya Amandemen lagi secara komprehensif terhadap Konstitusi Negara dengan penegasan tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, mempertahankan Dasar Negara Pancasila, mempertahankan Pasal 29 UUD 1945, mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan dengan mempertegas Sistem Bikameral dan Sistem Pemerintahan Presidensial merupakan bagian jalan keluar dalam mengatasi persoalan carut marutnya sistem ketatanegaraan nasional secara konstitusional.

Sistem bikameral yang efektif akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah dapat terjembatani secara efektif dengan kebijakan di tingkat pusat. Pemberdayaan DPD bukan masalah perebutan kekuasaan atau kepentingan elit politik, tetapi adalah untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat

Dengan demikian pada hakekatnya amademen untuk mencapai konstruksi ketatalaksanaan dalam sistem ketatanegaraan melalui pemberdayaan DPD bagi kepentingan masyarakat daerah secara luas itu, merupakan prasyarat (pre-requisite), dan seharusnya tidak tertunda-tunda, sebagai salah satu rantai dari rangkaian reformasi yang kita percaya masih terus berlangsung di segala bidang kehidupan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Lijpart, Arend. 1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press.

1992. Parliamentary versus Presidential Government. New York: Oxford University Press.
Mastias, Jean, and Jean Grange. 1987. Les secondes chambers du Parlement en Europe occidentale. Paris: Economika.

Patterson, Samuel C, & Anthony Mughan. 1999. Senates: Bicameralism in the Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus.

Riker, William H. 1992a. “The Justification of Bicameralism.” International Political Science Review 13:101-16.

1992b. “The Merits of Bicameralism.” International Review of Law and Economics 12:166-68.
Tsebelis, George, and Jeannette Money. 1997. Bicameralism. New York: Cambridge University Press.

»»  Baca Selengkapnya...