Materi Kedua:
Filsafat Pancasila
Mata Kuliah Pendidikan Kewarnegaraan
(Pemahaman Hubungan Filsafat Pancasila dengan
Filsafat Hukum
Pancasila)
Oleh: Turiman
Fachturahman Nur
A. Pengertian Filsafat Pancasila
Untuk memahami filsafat
Pancasila, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan apa yang dimaksud
filsafat ? secara etimologi Filsafat adalah
satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia.
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” yang
artinya “cinta” dan “sophos” yang artinya “ hikmah” atau “kebijaksanaan” atau
“wisdom” (Nasotion, 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah
mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Filsafat
menurut J. Greet adalah ilmu pengetahuan yang timbul dari
prinsip-prinsip mencari sebaab-mushababnya yang terdalam atau hekaket terdalam.
Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati.
Ada dua pengertian filsafat,
yaitu :
1. Filsafat dalam
arti proses dan filsafat dalam arti produk.
2. Filsafat sebagai ilmu atau
metode dan filsafat sebagai pandangan hidup
Pancasila dapat
digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan
hidup, dan dalam arti praktis. Ini berarti Filsafat Pancasila mempunyai
fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tataran kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia
Jika demikian apa Pengertian
Filsafat Pancasila ? menurut Ruslan Abdulgani, Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai
ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Mengapa
pancasila dikatakan sebagai filsafat, hal itu karena pancasila merupakan hasil
perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita,
yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Menurut
Notonagoro, Filsafat Pancasila ini
memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila.
Secara ontologi, kajian
pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
hakikat dasar sila-sila pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar antologi
pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok
sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik
Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan
kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat
kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk
sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan
sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensi pancasila
dijadikan dasar negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan
negara diliputi oleh nilai-nilai pancasila yang merupakan kodrat manusia yang
monodualis tersebut.
Kajian epistemologi filsafat
pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat
pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya karena
epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan
(ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi pancasila ini tidak bisa dipisahkan
dengan dasar antologinya. Oleh karena itu, dasar epistemologis pancasila sangat
berkaitan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Sebagai suatu paham epistemologi,
pancasila mendasarkan pandangannya bahwa imu pengetahuan pada hakikatnya tidak
bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta
moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan
dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pancasila secara epistemologis harus
menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi
pada saat ini.
Kajian Aksiologi filsafat
pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat
suatu pengetahuan mengenai pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila
pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi,
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam pancasila pada hakikatnya merupakan
suatu kesatuan yang utuh. Aksiologi pancasila ini mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai pancasila.
Secara aksiologi,
bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai pancasila. Sebagai pendukung
nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima pancasila
sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan pancasila
sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap,
tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai filsafat bangsa
dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan
kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan harus didasarkan pada nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan dan yang terakhir keadilan.
Pemikiran filsafat kenegaraan ini bertolak dari pandangan bahwa negara
merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, di mana
merupakan masyarakat hukum.
B.Karakteristik
Pancasila
Pertanyaan secara ilmiah adalah bagaimana karakteristik Pancasila sebagai
filsafat? Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik
sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu :
(1) Karakteristik
filsafat pancasila yang pertama yaitu sila-sila dalam pancasila merupakan
satu kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dalam hal
ini, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya
terpisah-pisah, maka itu bukan merupakan pancasila.
(2)
Karakteristik filsafat pancasila yang kedua ialah dalam susunan pancasila
dengan suatu sistem yang bulat dan utuh sebagai berikut.
-
Sila 1 mendasari, meliputi dan menjiwai sila 2, 3, 4 dan 5.
-
Sila 2 didasari, diliputi, dijiwai sila 1 dan mendasari serta menjiwai sila 3,
4 dan 5.
-
Sila 3 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari serta
menjiwai sila 4 dan 5.
-
Sila 4 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3, serta mendasari dan
menjiwai sila 5.
-
Sila 5 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3 dan 4.
(3)
Karakteristik filsafat pancasila yang berikutnya, pancasila sebagai suatu
substansi artinya unsur asli atau permanen atau primer pancasila sebagai suatu
yang mandiri, dimana unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
(4)
Karakteriktik filsafat pancasila yang terakhir yaitu pancasila sebagai suatu
realita artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya sebagai
suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam
kehidupan sehari-hari.
C.Prinsip
Prinsip Filsafat Pancasila
Jika ditinjau dari kausa Aristoteles,
Prinsip-prinsip pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1) Kausa Material yaitu sebab
yang berhubungan dengan materi atau bahan. Dalam hal ini Pancasila digali dari
nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
(2) Kausa Formalis ialah sebab
yang berhubungan dengan bentuknya. Pancasila di dalam pembukaan UUD 1945
memenuhi syarat formal (kebenaran formal).
(3) Kausa Efisiensi yaitu
kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan pancasila sebagai dasar
negara Indonesia merdeka.
(4) Kausa Finalis Ialah
berhubungan dengan tujuannya, dimana tujuan yang diusulkannya pancasila menjadi
dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila
meliputi :
(1) Tuhan yang berarti bahwa sebagai kausa prima.
(2) Manusia berarti bahwa makhluk individu dan makhluk sosial.
(3) Satu berarti bahwa kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
(4) Rakyat yang berarti bahwa unsur mutlak negara, harus bekerja sama
dan gotong royong.
(5) Adil yang berarti bahwa memberikan keadilan kepada diri sendiri
dan orang lain yang menjadi haknya.
Sumber
: Buku dalam Penulisan Pengertian Filsafat Pancasila, Karakteristik Filsafat
Pancasila dan Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila : Heri
Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010. Judul Buku : Cerdas, Kritis,
Dan Aktif Berwarganegara (Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi).
Erlangga : Jakarta.
C.Membaca Filsafat Pancasila Berdasarkan Perisai
Pancasila Dalam Lambang Negara
Pertanyaan adalah apa hakekat Pancasila dilihat dari filsafat hukum ? Jawaban atas pertanyaan ini adalah hakekatnya
mempertanyakan saat ini bagaimana kedudukan Pancasila secara hukum, karena
dalam Pembukaan UUD Neg RI 1945 tidak dinyatakan dengan tegas nomenklatur Pancasila
secara yuridis normatif. Jika kita baca alinea keempat pernyataan adalah
sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Secara teks hukum negara dalam
alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 diatas hanya dinyatakan “dengan berdasar kepada”, selanjutnya lima pernyataaan
selanjutnya kemudian oleh Presiden Soekarno secara historis diberi nama
PANCASILA. Namun apa kedudukan Pancasila dalam alinea keempat pembukaan
tersebut,karena dalam kajian Pancasila berkembang nomenklatur yang dilekatkan
dengan Pancasila, seperti Pancasila sebagai jiwa bangsa, Pancasila sebagai
jatidiri bangsa, Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, Pancasila sebagai
perjanjian luhur bangsa.
Untuk memahami kedudukan hukum Pancasila
yang terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang
menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum Negara.
Kemudian
penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa
dalam tataran hukum Pancasila ditempatkan sebagai sumber segala sumber hukum
negara. Pertanyaannya apa konsekuensi hukumnya dalam kehidupan kenegaraan atau
dalam tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Konsekuensi
hukumnya adalh semua materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Pertanyaannya
adalah kedudukan Pancasila dalam pembukaan UUD Neg RI 1945 sebagai apa? Jika
kita membaca secara cermat penjelasan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 jelas ada
tiga pemaknaan dengan pernyataan berikut ini “Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara “ Jadi terjawab sudaj bahwa Pancasila yang
terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945 ada tiga konsepsional
tentang Pancasila, yaitu (1) sebagai dasar
negara, (2) sebagai Ideologi Negara
dan (3) sebagai Filosofis Negara. Oleh
karena itu menurut penulis pendidikan Pancasila di perguruan tinggi harus
mengkaji secara ilmiah tiga konsepsional berkaitan tentang Pancasila.
Bagi kalangan mahasiswa
fakultas hukum tentunya ada pertanyaan kritis untuk mengetahui bagaimana
memahami bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila?. Untuk itu penulis mengajukan pembacaan
Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam lambang negara, karena menurut
Presiden Soekarno dalam Pidato tentang dikursus Pancasila di hadapan mahasiswa
seluruh Indonesia 2 Juli 1958 di istanan
negara menyatakan secara tegas sebagai berikut:
“Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya
Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara
Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh
lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari
lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk
ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang
ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di
gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan
selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia,
sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam
kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau
dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan
dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai
oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang
bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa
perobahan dari pada lambang negara.”
Berdasarkan pernyataan Presiden Soekarno jelas
bahwa lambang negara saat ini adalah lambang negara yang bersendikan
Pancasila, yakni secara semiotika hukum terdapat pada perisai Pancasila dan
secara yuridis normatif ditegaskan pula didalam UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa,
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 48 ayat (1) Di tengah-tengah
perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah
garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah
ruang yang mewujudkan dasar Pancasila
Jelaslah
berdasarkan pasal 48 ayat (2) bahwa perisai yang terdapat dalam lambang negara
yang didalamnya terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila. Dengan demikian secara ilmiah dan secara yuridis normatif, bahwa lambang
negara kita Garuda Pancasila yang bersemoyan bhinneka Tunggal Ika (pasal
37 A UUD Neg RI 1945) adalah lambang yang mewujudkan dasar Pancasila,
pertanyaannya adalah bagaimana membaca Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila
sebagaimana dimaksud Pasal 48 UU Nomor 24 taun 2009 ? berikut ini kita paparkan
secara komprehensif pembacaan Pancasila dengan menggunakan perisai Pancasila,
kemudian dikaitkan dengan menjawab pertanyaan bagaimana materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ?
Kaitannya yang benar dan tepat adalah dengan mengkaitkan Pembacaan Pancasila
berdasarkan perisai Pancasila dalam lambang negara dengan asas-asas materi
muatan pembentukan peraturan perundang-undangan berikut ini.
D.Membaca
Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila Dalam Lambang Negara
Yang patut direnungkan
dan diajukan pertanyaan kritis adalah bagaimana Semiotika Hukum Membaca Pancasila Berdasarkan
Perisai Pancasila dan Makna Filosofis Pancasila Dalam Lambang Negara Elang
Rajawali –Garuda Pancasila bagi Bangsa Indonesia saat ini dan kedepan ? Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan ayat (1) Di
tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam
tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar
Pancasila sebagai berikut:
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah
perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
dilambangkan dengan tali rantai
bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah
perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai. Rumusan teks hukum pasal 48
diatas jika dibaca perisai Pancasila sebagai visualisasi ide Pancaila,
maka alurnya adalah melingkar berlawanan
dengan arah jarum jam atau dalam bahasa Islam “berthawaf” atau dalam bahasa Kalimantan “gilir balik”.
Rumusan
Pasal 48 di atas selaras dengan
pernyataan Sultan Hamid II yang menyatakan: "... patut diketahui arah simbolisasi
ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang
"berthawaf"/berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata
bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja,
karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas
kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa
kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja
ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan
berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap
kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan
konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan
sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa
Indonesia yang kita tjintai ini. Selanjutnya
pada bagian lain Sultan Hamid menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai
Pancasila : " ... Falsafah
"thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa
didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau
gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada
sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan
rukun dan damai, begitulah menurut
Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja,
jakni membangun negara jang bermoral
tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang
ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap
memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja
pembangunan "nation character
building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno
kepada saja. (transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967)
Adapun konsepnya secara epistemologis
adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
yang dilambangkan dengan Nur Cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut
lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara atau kehidupan hukum dan kenegaraan, yaitu ilmu
perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah
diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap
materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Asas
ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral, oleh karena itu secara
semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada
perisai tersendiri berwarna hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambangkan dengan cahaya
dibagian tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai
ke empat sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V
atau menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model
semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang
Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan
persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila.
Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM
atau taat pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan
taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan
Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan
Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kemudian sila I
menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan dengan
pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang
bersifat progresif taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan)
dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan
kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila, karena produk hukum dalam
hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah
kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semangat demokrasi untuk menterjemahkan suara
rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya,
bahwa hukum yang bersifat Progresif haruslah
taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan dan taat kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Kemudian Sila I menjadi cahaya
sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan
kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum
yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau
taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas
Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum. Oleh karena itu
simbolisasi Pancasila dalam perisai Pancasila dalam lambang negara adalah
mewakili sinergisitas lima kecerdasan manusia Indonesia, dan harus diselaraskan
dengan asas-asas pembentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
Konsep Paradigma Pancasila “Berthawaf” di atas dapat dijelaskan secara epistemologi, bahwa Sila Ke satu
menjadi Nur Cahaya yang menyinari
keempat sila lainnya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai simbol yang mewakili "God Spot"
titik Tuhan/kecerdasan Spiritual/Spiritual Quentient (SQ) menerangi kepada
manusia yang berprikemanusian yang adil dan beradab sebagai yang
mewakili kecerdasan pancaindra/Artificial Quentient (EQ) dengan rumus 213 (melihat dahulu, berpikir baru
berkata atau bertindak) bagi manusia-manusia yang menempati negara
yang dinamakan negara kebangsaan Republik Indonesia yang menjunjung persatuan, yaitu Persatuan Indonesia,
sebagai yang mewakili Kecerdasan Intelektual/Intelectual Quentient IQ
dalam bingkai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan sebagai yang mewakili kecerdasan emosional/Emotional
Quentinet EQ serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagai kecerdasan keratifitas/Creatifitas Quentient CQ,
sehingga ketika menjabarkan materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusian, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Kesemua itu adalah sinergisitas antara
SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat
progresif, yakni yang baik dan taat asas dalam pembentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan
konsep itu maka secara aksiologis (pilihan
analisisnya) melalui sinergisitas antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ diwujudkan dalam
membentuk peraturan perundang-undangan, sehingga asas peraturan
perundang-undangan memenuhi konsep hukum yang bersifat progresif yang taat pada
asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
meliputi : (1) Kejelasan tujuan (Pasal 5 dan penjelasan huruf a
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai .(2) Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat (Pasal 5 dan penjelasan huruf b Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga/Pejabat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang (3) Kesuaian antara jenis dan materi muatan (Pasal
5 dan penjelasan huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan Perundang-undangannya. (4)
Dapat dilaksanakan (Pasal 5 dan penjelasan huruf d Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011), artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut didalam
masyarakat baik filosofis, Yuridis, maupun sosiologis. (5) Kedayaangunaan atau
kehasilgunaan (Pasal 5 dan penjelasan huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara. (6) Kejelasan rumusan (Pasal 5 dan
penjelasan huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi,
serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. (7) Keterbukaan (Pasal 5 dan penjelasan
huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi bagaimana
cara bekerjanya atau mensinergikan SQ,AQ,IQ, EQ, CQ tersebut berikut
ilustrasinya pola pikirnya.
Secara konsepsional aksiologis dapat dipaparkan, bahwa para penstudi hukum maupun para
penyelenggara negara dimungkinkan dengan paradigma Pancasila berthawaf menggunakan dua alur
pemikiran dalam membentuk hukum yang bersifat progresif yang pertama
adalah pola pikir induksi yaitu
dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ 1) manusia melihat
nomos atau fenomena yang ada di dalam masyarakat (fenomena sosial) melalui
kecerdasan panca inderanya (AQ 2) rumusnya 213 (melihat dahulu, berpikir
baru berbicara), kemudian ia berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan
kecerdasan intelektualnya. (IQ 3) Selanjutnya melakukan
kotemplasi/perenungan dengan kecerdasan emosionalnya terhadap penomena yang
terjadi, peristiwa hukum dan sosial dimasyarakat, misalnya (EQ 4) dengan memohon petunjuk kepada
Tuhan Sang Pencipta Manusia dan
sunatullah Alam Semesta, kemudian ia mengacu kepada aturan-aturan yang dibuat
oleh manusia (baca peraturan perundang-undangan).
Selanjutnya dengan rasionalitas relegiositasnya mendapatkan pencerahan,
karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional (SQ,IQ,EQ),
akhirnya melakukan perwujudan dalam tindakan yang adil dan berkesadaran hukum
serta memunculkan kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya (CQ 5)
sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia
dan menjaga alam semesta (lingkungannya). Kesemua itu adalah sinergisitas
antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ dalam membentuk peraturan perundang-undangan
yang bersifat progresif. (yang baik dan
taat asas untuk kebahagian manusia).
Pada alur pola pikir yang kedua deduksi dengan menggunakan
kecerdasan spiritualnya (SQ A) melihat fenomena yang ada di alam semesta
(fenomena alam) dengan kecerdasan pancaindranya (AQ B), kemudian
melakukan perenungan terhadap sunatullah yang bekerja (kerangka hukum sebab
akibat) dengan kecerdasaan emosionalnya (EQ C), kemudian berpikir dan
melakukan analisis kajian hukum dengan kekuatan intelektualnya (IQ D)
serta memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta sunatullah pada Alam Semesta
dan Manusia, kemudian ia mendapatkan pencerahan karena mampu mensinergikan
kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual (SQ, EQ.IQ) dan pada
akhirnya melakukan perwujudan dalam tindakan yang adil dan berkesadaran hukum
serta memunculkan kreatifivitasnya dengan kecerdasan kretifivitasnya (CQ E)
sebagai amal ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanfaan sesama manusia
dan menjaga alam semesta (lingkungannya). Kesemua itu adalah sinergisitas
antara SQ,AQ,EQ,IQ,EQ dan CQ dalam
membentuk peraturan perundang-undangan yang
bersifat progresif. (yang baik dan taat asas untuk kebahagian manusia).
E.Makna Sebenarnya “Bhinneka Tunggal Ika” dalam konsep
kenegaraan
Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian dijabarkan
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara
serta lagu kebangsaan, khususnya tentang lambang negara pasal 46 s/d pasal 50
dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Saat ini, semangat
Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak generasi muda yang tidak
mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan melupakan kata-kata ini, sehingga
ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita
kehabisan minyak. Selain karena lunturnya semangat tersebut, adanya disparitas
sosial ekonomi sebagai dampak dari pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini
dikhawatirkan akan menimbulkan fanatisme asal daerah. Bahkan yang
memprihatinkan tak memahami makna filosofis perisai Pancasila dalam lambang
negara dan juga tak kenal siapa perancang lambang negaranya ?
Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an, keberagaman dipandang sebagai suatu kekuatan yang
bisa mempersatukan bangsa dan negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat
heterogen, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini,
di ruang-ruang publik yang manakah homogenitas
absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena
itulah, tak bisa tidak, kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai keberagaman, yakni pluralistik dan multikultural. Kalimat itu hanya ada dipita yang dicengkram Elang
Rajawali Garuda Pancasila, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi apakah makna terdalam dari Bhinneka Tunggal
Ika didalam lambang negara itu ?
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak
dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk,
selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan
jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang
tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun
2010). Dapat dikatakan bahwa Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku
bangsa tetapi juga keaneka ragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional
hingga ke modern, dan kewilayahan.
Bangsa Indonesia memiliki lebih dari
1.128 (seribu
seratus dua puluh delapan) suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup
yang beranekaragam. Demi persatuan
dan kesatuan, keanekaragaman ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman suku
bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara persatuan” dalam arti sebagai negara yang warga
negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun
golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan
hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi
individu diakui kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas
rakyat. Kehidupan orang perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat
diakui sebagai individu dan kolektivitas warga negara, terlepas dari ciri-ciri
khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan dan
keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang berbeda
dari orang atau golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga
negara karena kewargaannya. Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan
seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita negara yang
bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan
menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya
dalam Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie,
Jimly, 2005).
Dengan perkataan lain, bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang
dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang
diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie,
Jimly, 2005).
Bhinneka
Tunggal Ika merupakan
semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Walaupun terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya
daerah, tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama,
yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan
merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah
serta dasar negara Pancasila. Bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi
satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman
yang dapat menyeragamkan pandangan dan tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari.
Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir dari
pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad
mempertahankan keutuhan bangsa. Negara
Indonesia yang majemuk diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat
diartikan walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang beragam baik
dari suku, agama, dan bangsa tetapi satu adalah bangsa Indonesia.
Paparan
kajian legal Hermenuetik
(Hermanuetik Hukum) diatas jelas selaras ketika membaca secara hermenuetika
hukum tentang Bhinneka Tunggal Ika, karena didalam Lambang Negara Indonesia,
menurut Soediman Kartohadiprojo dalam salah satu tulisan "Pancasila
dan Hukum" menyatakan:
1.
"Lambang
Negara adalah lambang dan lambang itu adalah sesuatu yang melambangkan sifat
dari sesuatu; sedang negara adalah manusia. Jadi Lambang Negara kita tadi
melambangkan sifat bangsa yang bernegara didalam negara itu Bangsa Indonesia.
2.
Didalam
Lambang Negara ini kita jumpai Pancasila.
Lambang negara kita ini terdiri dari tiga bagian:
1.
Cendra sengkala
2.
Perisai
Pan casila
3.
Seloka
Candra sengkala, ini terdapat dalam "Burung
Sakti Elang Rajawali yang bulu sayapnya 17 helai jumlahnya, bulu sayap
kemudinya 8 helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuh 45 helai
jumlahnya" ini melukiskan diproklamisikan Republik Indonesia.
Perisai
Pancasila Burung Elang Rajawali atau garuda ini dikalungi dengan perisai yang
memuat didalamnya Pancasila. Ini berarti bahwa Republik Indonesia kita dijiwai
oleh Pancasila.
Burung Elang Rajawali atau
Garuda dengan kalungnya ini menggemgam dalam cakarnya sebilah "papan"
yang tak terpisahkan dari padanya yang memuat seloka "Bhinneka Tunggal
Ika"Bhinneka Tunggal Ika, ini digengggam oleh sang burung, dan terdapat
dibawahnya. Ibaratkan sebatang tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dibawah adalah
akarnya.
Akar adalah urat nadinya
tmbuh-tumbuhan. Dari akar tumbuh-tumbuhan memperoleh sumber kehidupannya.
Selain dari itu, akar adalah alat untuk menegakkan berdirinya tumbuh-tumbuhan.
Demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan:
a.
sumber
kehidupan Revolusi/Republik kita dengan Pancasila itu; jadi sumber kehidupan
Pancasila pula.
b.
alat
penegak Revolusi/Republik dan Pancasila[1]
Berdasarkan pandangan Soediman Kartohadiprojo, menurut
penulis ada dua hal, yaitu Pertama, (1) bahwa membahas Lambang Negara secara
hermenutika hukum sebenarnya tiga bagian semiotika, yaitu Burung Elang Rajawali
berdasarkan jumlah sayapnya melambangkan identitas negara atau candra sengkala
tentang berdiri negara republik Indonesia (2) tentang semiotika Pancasila yang
disimbolisasikan pada perisai Pancasila (3) tentang seloka Bhinneka Tunggal
Ika, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun
terbedakan secara semiotika hukum. Kedua, Istilah yang digunakan untuk menyebut
lambang negara adalah Burung Sakti Elang Rajawali ini memberikan bukti sekali
lagi, bahwa lambang negara kita bukan figur garuda dalam mitologi tetapi sudah terjadi pergeseran semiotika, yaitu
figur burung Elang Rajawali Pancasila.
Pertanyaan secara hermenuetika hukum apakah
artinya Bhinneka Tunggal Ika itu ? Jika menyitir kembali pandangan Muhammad Yamin yang menyatakan, bahwa
Bhinneka Tunggal Ika" artinya hampir sama dengan seloka bahasa latin:
" Ex pluribus umum= Bersatu
walaupun berbeda –beda.[2]
Secara hermenuetika dengan arti yang dilontarkan Muhammad Yamin diatas secara gramatikal mengingat akan salah satu
arti dari awal kata be- ialah menunjukkan sesuatu yang aktif, maka bersatu
mengandung arti, bahwa yang kemudian bersatu itu sebelumnya adalah terpisah
satu sama lain. Kalau manusia, maka menurut pengertian ini manusia dilahirkan
dan hidup terpisah satu sama lain, kemudian "bersatu" menjadi (hidup
ber-) satu.
Menelaah apa yang menjadi arti "Bhinneka
Tunggal Ika" ini, patut memperhatikan, bahwa tiap-tiap kata yang kita
pergunakan itu adalah untuk menunjukkan suatu maksud. Kadang-kadang dalam
bahasa yang kita pergunakan itu tidak kata yang tepat untuk menunjukkan maksud
kita. Dalam tataran ini, maka kita
mempergunakan suatu kata atau rangkaian kata-kata yang artinya menurut tata
bahasa mendekati apa yang kita maksudkan. Untuk keperluan itu, maka kata atau
rangkaian kata-kata itu harus diberi arti sesuai dengan tujuannya, dan tidak
menurut tata bahasa.
Dengan demikian dengan memberikan tempat
pada seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara Indonesia sudah tentu
dengan maksud dan tujuan yang tertentu, suatu maksud dan tujuan kira dapat
dipisahkan dari makna umum, bahkan untuk menambah atau melengkapi maksud dan
tujuan dari Lambang keseluruhan, karena
semiotika hukum, bahwa lambang itu adalah sesuatu untuk menunjukkan sifat
sesuatu.
Berkaitan dengan itu, berarti Lambang
Negara Republik Indonesia tentunya untuk menunjukan sifat, isi jiwa negara
Republik Indonesia, dan dengan begitu sifat, isi jiwa bangsa Indonesia, lebih
mendalam, bahwa bagian lambang negara itu karena ditujukan pada manusia yang
merupakan bangsa Indonesia, maka dengan demikian seloka Bhinneka Tunggal Ika
yang ditempatkan pada Lambang Negara juga dimaksudkan untuk
menunjukkan/mempresentasikan bagi isi jiwa bangsa Indonesia.
Pertanyaanya adalah isi jiwa apakah dari
Bangsa Indonesia yang hendak dipresentasikan dengan Bhinneka Tunggal Ika ?
Melihat coraknya Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika merupakan sumbernya, maka
kiranya tidak jauh dari kebenaran kalau diambil kesimpulan, bahwa isi jiwa
tentang tempatnya manusia, individu dalam pergaulan hidup manusia.
Proposisi yang
selaras dengan paparan diatas berdasarkan paradigma pospostivisme yang berbasis
spiritual, yaitu proposisi Ilahiah, sebagai berikut:
"Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan peliharalah hubungan silahaturahmi. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu".[3]
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadi kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.,
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.[4]
Proposisi ilahiah diatas adalah selaras
dengan makna hermenuetika hukum, dari seloka Bhinneka Tunggal Ika, bahwa
walaupun bangsa Indonesia itu penuh keanekaragaman secara multi agama, multi
suku, multi budaya dst tetapi sesungguhnya berasal dari satu diri, yaitu bangsa
Indonesia, dan basis terkecil dari suatu
bangsa adalah keluarga, yaitu kesatuan, kelompok, pergaulan hidup manusia yang
terdiri dari manusia yang berbeda-beda; ayah , ibu, anak-anak, ayah dan ibu
berbeda dari anak dalam umurnya, ayah dan ibu berbeda satu sama lain dalam
kelamin; pria dan wanita:pun anak-anak terdiri dari pria dan wanita; dan last but not least, diantar sekian
banyak manusia yang hidup bersatu merupakan keluarga itu, bahkan andaikata
terdapat diantaranya anak kembar, tidak ada yang sama kepribadianya.
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing" Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.[5]
Secara hermenuetika hukum hal itu dapat
dikemukakan, bahwa makna Bhinneka Tunggal Ika dalam hubungannya manusia
Indonesia, yaitu Persatuan dalam keragaman; Keragaman Dalam persatuan yang
disimpulkan dalam pengertian "kekeluargaan", Jadi jika benar bahwa
Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber dari Pancasila, maka menurut pandangan
bangsa Indonesia atau menurut pandangan bangsa Barat yang dilukiskan dengan
"Men are created free and
equal" , -Manusia dilahirkan bebas dan merdeka, yang satu terpisah
dari lainnya sumber ini ditemukan kembali dalam seluruh lembaga kehidupan
ketatanegaraan, hukum , dan sebagainya, maka kebenaran Bhinneka Tunggal Ika itu
harus diketemukan kembali dalam pembacaan Pancasila secara hermenuetika hukum.
Menurut penulis pembacaan hermenuetika
hukum Bhinneka Tunggal Ika dalam
Perspektif Pancasila
"Berthawaf" yaitu :
"Sila Pertama dari Pancasila Ketuhanan
Yang Maha Esa", yang berarti bangsa Indonesia percaya adanya Tuhan Yang
Maha Esa, Mengandung arti juga, seluruh alam
ciptaan-Nya ini adalah penuh dengan keanekaragaman, melainkan merupakan
satu kesatuan, terdapat hubungan satu sama lainnya mewujudkan satu kesatuan
Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan dan sila ini
menyinari keempat sila lainnya dari
Pancasila, oleh itu secara
semiotika hukum Pancasila disimbolkan dengan dua perisai besar yang berisi
simbolisasi sila ke II,III,IV,dan V dan
perisai kecil berisi simbolisasi sila ke I, maka perisai kecil ditengah
merupakan inti bagi perisai besar Pancasila, artinya jika sila ke 1 hancur, maka akan berdampak besar terhadap
perisai besar yang berisi prinsip ke Indonesiaan, oleh karena itu disimbolkan
dengan warna merah putih.
Sila Kedua dari Pancasila Kemanusian yang
adil dan beradab, maknanya adalah bahwa kemanusian yang beraraskan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang
sesungguhnya adalah manusia-manusia Indonesia yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan atau dalam tataran Islam mewujudkan As
Ma'ul Husna dan salah satunya adalah Yang Maha Adil. Jadi Persatuan dalam
keragaman; Keragaman dalam persatuan, artinya walaupun manusia berbeda
agamanya, kebudayaannya dan adat istiadatnya, maka sifat-sifat Tuhan yang
hendak diwujudkan adalah bersifat universal
(Logosentrime) yaitu: sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi tugas
manusialah mewujudkan sifat-sifat Tuhan
Yang Maha Esa itu dalam kehidupan antar manusia Indonesia, seperti kasih
sayang, keadilan, kebenaran.
Sila Ketiga Persatuan Indonesia,
adalah negara yang bangsanya terdiri dari Bhinneka Tunggal Ika
yang sesungguhnya adalah satu, yaitu Bangsa dan Negara Indonesia yang
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa- negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1 UUD 1945) dan kemerdekaan negara Indonesia
adalah atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan didorong keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
(alinea 3 Pembukaan UUD 1945), itulah Negara Indonesia yang diharapkan
anak-anak bangsanya bersatu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, maknanya, bahwa
musyawarah itu memerlukan sekurang-kurang dua orang, ialah dua orang yang
berlainan pendapat, Kalau tidak berlainan pendapat maka tidak mungkin terdapat
musyawarah. Walaupun ada perbedaan tetapi
muaranya mencari kebulatan, kesatuan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam perwakilan; Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan.
Prinsip inipun dicahayai oleh sifat-sifat
Tuhan Yang Maha Esa dalam mewujudkan sistem kerakyatan itulah Demokrasi
Indonesia yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa (Demokrasi di negara hukum yang Teokrasi).
Sila kelima keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, maknanya, bahwa apa yang dimusyawarahkan
atau yang diputuskan dalam kesepakatan oleh perwakilan rakyat Indonesia
semuanya itu adalah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dengan demikian Sila Kesatu menyinari
keempat sila lainnya arti Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi nur bagi manusia -
manusia Indonesia yang relegius, kemudian manusia –manusia Indonesia bersatu
membentuk persatuan Indonesia, dalam bentuk Negara Bangsa Indonesia yang
berbentuk Republik Indonesia dengan menjalankan Kerakyatan atau demokrasi dalam
negara hukum versi Indonesia yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang
mewakili rakyat Indonesia, dan hasil musyawarah tersebut diwakili oleh elemen rakyat Indonesia itu semua
ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi sekuruh rakyat Indonesia,
artinya secara hermenuetika hukum
dapat dipaparkan sebagai berikut
manusia-manusia Indonesia membentuk persatuan Indonesia dalam bentuk Negara
Republik Indonesia yang berdemokrasi Indonesia untuk menyepakati
kesepakatan-kesepakatan hukum dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang disinari dan
dibentengi serta berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang secara semiotika hukum Pancasila dibaca
secara berthawaf mulai dari Sila Kesatu
ke sila Kedua, ke sila Ketiga, ke sila Keempat, ke sila Kelima dan bergilir
balik sila Kesatu ke sila Keempat, ke
sila Ketiga , ke sila Kedua, Ke sila Kelima
[1] Soediman
Kartohadiprojo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia- Pancasila
dan Hukum (kumpulan karangan), Jakarta /Bandung, 2009. halaman
97-98.
[3] Surah
Al-Qur'an, An Nisaa (4) ayat 1.
[4] Surah
Al-Quran, Al Hujuraat (49) ayat 13
[5] Surah
Al-Quran, Al Israa (Memperjalankan di
malam hari) (17) ayat 84