Kamis, 30 Juni 2011

SEMIOTIKA HUKUM SEBUAH MODEL PEMAHAMAN MEMBACA TEKS HUKUM


SEMIOTIKA HUKUM  SEBUAH MODEL PEMAHAMAN MEMBACA TEKS HUKUM

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Untuk memahami semiotika dalam kajian ilmu hukum, maka para penstudi hukum perlu mengenal tokoh-tokoh semiotika dalam khasanah keilmuan semiotika/semiologi terlebih dahulu dengan berbagai teorinya sebagai berikut :[1]

A.    Tokoh-tokoh Semiotika dalam khasanah Semiologi

1.      C.S PEIRCE
      Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh:  Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.  Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan. Contoh lain Gambar Dewi Keadilan yang ditutup mata yang memegang pedang dengan timbangan dapat dimaknai tegaknya penegakan hukum tanpa diskriminasi.

2.      FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
 Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa mencari tahu makna-makna dari simbol dan status, membicarakan 'kesan-kesan', membaca buku atau majalah yang mengulas tentang 'bahasa tubuh'.atau mengkaji bahasa hukum dalam berbagai bunyi pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
  Kegiatan-kegiatan itu menunjukkan bahwa pada dasarnya kita terbiasa menjadi praktisi semiotika, sekalipun kita mungkin tidak memahami hal-hal teknis di bidang semiotika. Kita mempraktikkan semiotika pada tataran yang mungkin masih dangkal, kurang sistematis, kurang disadari, dan belum terbimbing.
Semiotika adalah ilmu tentang 'tanda-tanda'. Sebagai suatu pengantar menuju dunia semiotika, paparan ini merupakan penjelasan personal, bahkan mungkin ideosinkresi, tentang semiotika dan teori semiologis, serta penerapan teori-teori ini pada media massa, budaya populer, seni, dan budaya pada umumnya termasuk dunia hukum dalam hal ini teks hukum. 
Semiotika muncul untuk memberikan landasan secara epistemologis terhadap kajian tanda/simbol berikut maknanya yang dipelopori oleh salah satu tokonya yang telah memberikan pondasi dasar bangunan semiotika dan juga banyak menginspirasi pemikir semiotika lainnya, Ferdinand de Saussure.
Saussure adalah seorang ahli linguistik dari Swiss yang banyak melakukan penelitian terhadap gejala pertandaan, terutama dalam sastra. Dalam konsepsinya, Saussure membuat model untuk menganalisa sebuah tanda bekerja yang akhirnya akan menghasilkan makna.
Tanda menurut Saussure adalah satuan dasar bahasa yang tersusun dari citra bunyi (penanda) dan konsep (petanda), penanda niscaya bersifat fisik dan dapat dicerna indera, sementara petanda merupakan konsep yang non fisik, karena petanda adalah acuan ideasional yang bersemayam di benak masyarakat. Sebagai contoh, ketika menyebut “ganja” sebagai proses penandaan, maka akan muncul beragam perbadaan dalam wilayah penanda atau citra bunyi antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, di Yunani akan muncul citra bunyi kannabis, lantas di Inggris akan muncul marijuana.
Sementara itu, konsep mental atau petandaan antara masyarakat Indonesia tentang “ganja” dengan masyarakat penganut Rastafari di Jamaica atau Afrika akan jauh berbeda, dimana konsep mental masyarakat Indonesia akan menyatakan “ganja” sebagai tumbuhan biasa yang dapat dijadikan sebagai obat-obatan, sementara dalam masyarakat Rastafari di Jamaica dan Afrika akan menyebut sebagai tanaman suci untuk melakukan ritual penyembahan. Sebagai sebuah sistem pertandaan, petanda dan penanda tidak dapat dipisahkan, karena kedua unsur tersebut berada dalam satu gejala tanda.
Petanda atau konsep mental selalu dipengaruhi oleh kultur yang ada di dalam sebuah masyarakat, karena hal tersebut mutlak dibutuhkan untuk melakukan komunikasi yang signifikan antar individu dalam masyarakat, seperti kata “ganja”, yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi.
Menurut Saussure, sebuah petanda bersifat arbitrer atau sewenang-wenang, seperti citra bunyi “ganja” yang digunakan untuk menunjuk sebuah objek berupa tanaman, merupakan bentuk kesewenangan dari masyarakat Indonesia. Bahasa dalam konsepsi Saussure tidak memiliki motivasi, kemunculannya bersifat semena-mena atau arbriter, hingga akhirnya seluruh masyarakat menyepakati sebuah kata atau bahasa digunakan untuk berkomunikasi.
  Lebih lanjut, Saussure menilai bahwa bahasa yang abriter membagi realitas menjadi bagian-bagian tertentu, bahasa dalam arti ini memiliki kemampuan untuk melakukan klasifikasi terhadap realitas, sesuai dengan kesepakatan dalam masyarakat. Sehingga untuk menelusuri makna, digunakanlah “pembandingan” antar realitas yang sudah terklasifikasikan, misal: “ganja” sebagai tanda, untuk memaknainya; “apa itu ganja?”, perlu dibandingkan dengan tanda lain di dalam sistem pertandaan yang sejenis, misal dengan “singkong” atau “sirih” sebagai pembanding, pada titik ini kita akan mendapatkan pemaknaan bahwa “ganja” bisa berarti bukan “singkong” dan juga bukan “sirih”. Saussure menyebutkan bahwa proses pembandingan dengan tanda lain atau realitas eksternal merupakan sebuah nilai, dan dari nilailah sebuah makna akan terbentuk dalam setiap masyarakat.
Dengan model pemaknaan tersebut, batas antara realitas yang telah diklasifikasikan bersifat artifisial, tidak alamiah . Pada titik ini terlihat benang merah antara konsep relasi imajiner Althusser dengan “makna artifisial” Saussure, karena keduanya menilai bahwa realitas tidak bersifat alamiah, melainkan sebuah sistem yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, melalui makna. Lebih lanjut, relasi struktural dari tanda menurut Saussure memegang peran penting untuk melakukan proses pemaknaan, karena tanpa ada pembanding dalam struktur, maka tidak akan ada makna.
Relasi struktural Saussure dalam perkembangannya memunculkan konsep relasi paradigmatik dan sintagmatik untuk menganalisa makna. Relasi paradigmatik dalam konsep Saussure adalah hubungan individu dengan tanda, dimana terdapat sebuah pemilihan tanda oleh individu atau komunitas dari sebuah kumpulan tanda dan pemilihan tanda tersebut memiliki motivasi.
Pemilihan sebuah tanda akan memunculkan makna dan makna dari tanda yang kita pilih akan ditentukan oleh makna dari tanda yang tidak kita pilih. Singkat kata, untuk mengetahui “sesuatu” bermakna “hitam”, kita harus mencarinya dari makna “putih”.
Sementara itu, relasi sintagma merupakan susunan dari unit-unit tanda yang telah kita pilih hingga akhirnya membentuk kesatuan utuh yang sesuai dengan konvensi di tengah masyarakat. Relasi sintagma sering kita jumpai dalam padanan kata di dalam bahasa, dimana padanan tersebut memiliki konvensi yang kita kenal dengan tata bahasa. Sintagma pemilihan tanda selalu dipengaruhi dengan pemilihan tanda-tanda lainnya.
Dari kedua relasi tersebut, Saussure membagi bahasa yang terdiri dari elemen tanda berupa kata, seperti yang tercantum di bagan atas menjadi dua; langue dan parole. Langue merupakan sebuah sistem bahasa yang memiliki konvensinya di tengah masyarakat, sehingga individu tidak akan mampu secaraserta-merta melakukan perubahan, dalam langue terdapat relasi yang secara “tidak sadar” sudah menjadi hukum di dalam benak individu dan masyarakat, sehingga untuk melakukan proses komunikasi, individu harus patuh terhadap konvensi agar proses komunikasi dapat berjalan.
Parole merupakan aspek tindakan dari bahasa, atau sebagai ucapan dari bahasa, parole bukan konvensi masyarakat, melainkan otonomi individu untuk memilih tanda dalam kumpulan tanda sesuai dengan kebiasaan dan kesadaran pengguna sepenuhnya.
Saussure di kemudian hari lebih memfokuskan kajiannya pada langue yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang memiliki aturan-aturannya sendiri, hal ini dikarenakan latar belakang akademisnya sebagai ahli linguistik. Tokoh semiotika lain yang melanjutkan tradisi Saussurean adalah seorang pemikir Prancis, Roland Barthes yang menganalisa bahasa pada wilayah parole.


   4.ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos, tetapi simbol Pohon beringin dalam perisai Pancasila adalah simbol sila ketiga, sedangkan di dunia pengadilan adalah simbol pengayoman.

5.BAUDRILLARD
         Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006)
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

  6. JACQUES DERRIDA
            Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994, Sobur, 2006)
   Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
   Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak    hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan  kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.
 Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai   ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
            Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.
Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

 7. UMBERTO ECO
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang  menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

8.   Pengertian Semiotika
  Setelah kita mengenal berbagai tokoh semiotika di atas, pertanyaan yang perlu diajukan apakah pengertian semiotika? Terminologi semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang berasal dari kata Yunani, “semeion”/”Tanda”/Simbol, karena secara sederhana semiotika serring disebut sebagai “study of sign” (suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai studi atas kode-kode, yaitu  sistem apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna[2], sedangkan Saussure menyebutnya sebagai ilmu umum  tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda didalam masyarakat (a science that studies the life of sign within society)[3] pandangan lain adalah menurut Rahayu Surtiati Hidayat, menurutnya semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol (simbolic) dan pemaknaan (signification)[4]
Pertanyaannya adalah apa yang menjadi studi utama Semiotika? Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris, yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu  tentang-tanda-tanda, Kris Budiman menjelaskan bahwa, semiotika pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:[5]
1.       Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda yang lain”, dengan perkataan lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam metode penafsiran Gramatikal (bahasa) dalam Ilmu hukum, yaitu penafsiran yang menekan pada makna teks yang didalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis yuridis yang sudah dilazimkan. Menurut Vissert Hoft, dinegara-negara yang menganut tertib hukum kodifikasi, teks harfiah undang-undang dinilai sangat penting. Namun penafsiran gramatikal saja tidak cukup jika tentang hal yang ditafsirkan itu sudah menjadi perdebatan[6];
2.      Semantik, yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya”. Bagi Moris yang dimaksudkan dengan degsinata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan didalam tuturan tertentu;
3.      Pragmatik, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “ hubungana diantara tanda-tanda dengan  interpreter atau para pemakainya-pemaknaan tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

9.Fokus Studi Semiotika
Menurut John Fiske, studi semiotika dapat dibagi kedalam bagian sebagai berikut:[7]
1.      Tanda/simbol itu sendiri, hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda/simbol yang berbeda, cara tanda/simbol yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda/simbol adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya. Menurut penukis jika dikaitkan dengan lambang negara, misalnya maka simbol-simbol yang ada pada lambang negara itu dapat dipahami dengan pemaknaan yang diberikan oleh negara terhadap makna simbol-simbol yang ada dalam lambang negara.
2.      Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda/simbol, Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengekploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3.      Kebudayaan atau tempat kode dan tanda/simbol bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda/simbol-simbol itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
        Untuk memahami  studi semiotika lebih mendalam, maka Yasraf Amir Pialang menjelaskan tentang beberapa elemen penting dari semiotika yang meliputi beberapa hal sebagai berikut:[8]
1.      Komponen tanda/simbol; Apabila praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda/simbol. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda/simbol. Meskipun demikian, didalam  masyarakat informasi saat ini terjadi perubahan mendasar bagaiamana “tanda/simbol” dipandang dan digunakan. Ini disebabkan karena arus pertukaran tanda/simbol tidak lagi berpusar didalam suatu komunitas tertutup, akan tetapi melibatkan persinggungan di antara berbagai komunitas, kebudayaan dan ideologi.
2.      Aksis Tanda; Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu perbendaharaan tanda atau kata  serta askis sintakgmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda/simbol/simbol , berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi yang bermakna.
3.      Tingkatan Tanda; Barthes mengembangkan dua tingkatan penandaan, yang memungkinkan untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat. “Denotasi”, yaitu pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi, tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak ekspilisit, tidak langsung dan tidak pasti artinya;
4.      Relasi antar Tanda: Selain kombinasi tanda analisis semiotika juga berupa berupaya untuk mengungkapkan interaksi diantara tanda-tand/simbol-simbol. Meskipun bentuk interaksi antar tanda-tanda/simbol-simbol itu sangat terbuka, akan tetapi ada dua interaksi utama yang dikenal yaitu “metafora”, sebuah model interaksi tanda/simbol, yang didalamnya sebuah tanda/simbol dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem yang lainnya, misalnya didalam lambang negara Indonesia ada perisai besar dan perisai kecil  yang kesemuanya dibagi menjadi lima ruang yang didalamnya ada simbol-simbol yang mensimbolisasikan Pancasila, tetapi struktur letaknya dan cara membacanya dapat digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem yang lainnya, misalnya sistem norma hukum dan keduanya ada bentuk interaksi “metafora”, yaitu antara cita hukum Pancasila dan sistem norma hukum yang seharus mengacu pada metafora pembacaan cita hukum dalam dalam lambang negara.

10.Pengertian Semiotika Hukum
    Berdasarkan pengertian semiotika dan obyek studi semiotika dan   elemen penting dari semiotika, maka dapat ditarik pengertian semiotika, yaitu ada dua pengertian: Pertama ilmu yang mempelajari/mengkaji tentang tanda-tanda/simbol-simbol beserta pemaknaan yang terdapat didalam simbol-simbol itu sendiri. Kedua sebuah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol (simbolic) dan pemaknaan (signification) didalamnya serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan pengertian  semiotika diatas, maka pengertian kedua lebih representatif untuk menjelaskan semiotika hukum, karena salah satu pengertian hukum, yaitu  hukum sebagai simbol yang didalamnya ada nilai-nilai  sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara arbriter, konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah (inear) maupun yang lahiriah (outer) yang dilambangkan atau diwakili simbol.
Untuk menjelaskan secara rasional, maka perlu dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan simbol itu sendiri ?  Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara arbitrer, conventional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang melambangkan (menyimbolkan) dengan yang dilambangkan (disimbolkan). Dengan demikian, baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.[9]
Contohnya adalah lambang-lambang dari pemerintah daerah di Indonesia, pada tataran semiotic sebenarnya memaparkan karakteristik masing-masing daerah yang gambarnya (ikon)-nya diambil dari benda-benda fisik yang bisa melambang atau mewakili ide, perasaan dan karakteristik daerah itu sendiri, pertanyaan mengapa selalu mengambil ikon dari daerah yang bersangkutan?.
Alasan pertama adalah karena simbol itu dibentuk secara arbitrer. Pemakai simbol tidak perlu banyak berpikir untuk menentukan tanda apa yang akan dia gunakan untuk menyimbolkan sesuatu benda, tindakan, perasaan, pikiran atau ide. Simbol apapun dapat digunakan untuk melambangkan yang dilambangkan. Hanya saja, alasan kedua perlu diperhatikan untuk mengesahkan simbol yang arbitrer. Untuk itu perlu ada konvensi yaitu suatu kesepakatan, perjanjian atau pemufakatan masyarakat pemakai simbol. Apabila dalam proses penciptaan secara arbitrer dapat dikatakan simbol bersifat individual, maka dalam proses pemufakatan masyarakat pemakai simbol, maka dalam proses pemufakatan ia bersifat sosial.
Berdasarkan kedua alasan di atas, maka alasan berikutnya simbol itu harus dirasionalisasi, yaitu simbol itu mampu merepresentasikan yang diwakilinya secara tepat. Kemampuan representatif simbol itu dapat diuji dengan alasan berikutnya yaitu interpretasi dari individu atau kelompok masyarakat pemakai simbol itu. Dengan kata lain, sebuah simbol adalah simbol apabila mampu merepresentasikan yang dilambangkannya berdasarkan interpretasi penafsiran simbol itu.
Hubungan interpretasi dengan representasi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Zoest[10], bahwa hubungan yang tidak dapat dilepaskan dari sifat representatif tanda (dalam hal ini juga simbol) adalah sifat interpretatif. Untuk memperoleh gambaran bagaimana sebuah simbol itu diinterpretasikan tentulah ditelusuri bagaimana simbol itu dirancang dan pada ranah ini dibutuhkan sebuah pendekatan akademis yaitu menggunakan pendekatan historisitas.
Tampaknya, representasi lebih fundamental daripada interpretasi. representasi mendahului interpretasi. Interpretasi tidak akan ada tanpa representasi, tetapi apakah mungkin ada representasi tanpa interpretasi? Mungkin hal itu bisa terjadi meskipun konsepnya kurang hidup. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa interpretasi menuruti representasi simbol.
Ketika ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan itu diverbalkan, maka sebuah simbol yang telah termaknakan tersebut diformulasikan kedalam bahasa teks hukum dan jika teks hukum itu dikonstruksi dalam sebuah bentuk hukum, misalnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau pejabat yang berwenang, maka selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan.
Pada tataran inilah peraturan perundang-undangan pada studi semiotika hukum bukan hanya dibaca secara teks an sic, tetapi harus dieksplanasi ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan apa yang menyelinap kedalam rumusan teks peraturan perundang-undangan atau ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan yang tersurat dan tersirat dibalik teks hukum dalam formulasi materi muatan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian teks hukum telah dikonsepkan kedalam beberapa ragam makna yang kemudian pada tataran realitas, teks hukum akan dipersepsi dari berbagai perspektif, dan kemudian daripada itu akan menghasilkan pemahaman, pemaknaan, dan konsep yang tak bisa tunggal. “Hukum bukanlah lagi sebatas gejala atau realitas; melainkan sebuah konsep yang dapat dieksplanasi dari berbagai cara pandang pemikir dan penstudi hukum sesuai dengan paradigma yang diacu oleh pemikir dan penstudi hukum bersangkutan.
Mengapa demikian ?, karena sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskkan (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting sekali.  Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan menurut Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantungnya hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebaih adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum “ Jadi jika ada yang menyatakan bahwa teks hukum sudah jelas ketika diverbalkan kedalam bentuk hukum tertulis, misalnya dalam formulasi peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo adalah satu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengaku bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan.[11]
Pada tataran penafsiran inilah studi semiotika hukum memerlukan pendekatan disiplin lain, yaitu hermeuetika hukum, mengapa demikian ? karena salah satu fungsi dan tujuan mempelajari hermenuetika menurut James Robinson[12] adalah untuk “bringing the unclear into clarity” (memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas), sedangkan Leyh, tujuan dari pada “hermenuetika hukum “ adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interprestasi hukum didalam kerangka hermenuetika pada umumnya. Upaya mengkontektualisasikan teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermenuetika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi[13]
Salah satu kajian hermenuetika hukum untuk membaca ide, pemikiran, konsep dibalik hukum sebagai simbol yang telah diverbalkan ke dalam teks hukum, maka konsep hermenuetika filosofis dari Gadamer sangatlah relevan, mengapa demikian, karena hermenuetika filosofis Gadamer adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia terhadap teks hukum. Hal ini dikarenakan hermenuetika filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca masa lalu dan sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin).
Sedangkan pada tataran konsepsional tugas hermenuetika secara epistemologi hakekatnya dimaknakan sebagai teori atau filsafat tentang interprestasi makna (Bleicher, 1980) atau sebagai suatu teori tentang aturan-aturan yang digunakan dalam eksegese (ilmu tafsir) ataupun suatu interprestasi atas teks atau kumpulan tanda-tanda tertentu yang dipandang sebagai teks (Ricoeur) dan secara etimologis, istilah hermenuetika mengandung tiga lapisan makna, yakni pertama, adanya suatu tanda atau teks itu sendiri dari sebuah sumber tertentu. Tanda, pesan atau teks itu sendiri merupakan satu kesatuan yang terangkat dalam suatu pola tertentu, dan diandaikan menyimpan makna dan intensi yang tersembunyi. Kedua, adanya seorang perantara atau seorang penafsir untuk memberikan pemahaman terhadap tanda, pesan atau teks yang memiliki makna dan intensi tersumbunyi tersebut. Ketiga penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasinya mengenai makna dari tanda, pesan atau teks kepada kelompok pendengar tertentu.[14]
Ketiga lapisan makna tersebut  dapat digunakan sebagai basis studi semiotika hukum, mengapa demikian, karena harus diakui bahwa perkembangan studi hukum dewasa ini telah maju seiring dengan perubahan atau pergeseran perspektif atau cara pandang pemikir  dan penstudi hukum yang memandang hukum tidak semata-mata dilihat dan diberlakukan sebagai sebuah bangunan norma, melainkan lebih jauh dari sebagai sebuah sistem hukum yang didalamnya terdapat sub sistem lainnya, seperti politik, budaya, ekonomi dan lain sebagaimnya.
Perubahan terhadap cara pandang itupun menuntut perubahan pada metode atau cara-cara yang ditempuh untuk memahami dan menjelaskan secara lebih memadai tentang yang kita sebut dengan hukum itu, artinya kehadiran metode semiotika hukum dengan berbasiskan hermeutika hukum dalam studi hukum juga sebetulnya juga sebagai salah satu alternatif untuk memahami dan menjelaskan ide, pemikiran, konsep, tindakan bahkan nilai-nilai yang menerobos masuk kedalam aspek-aspek yang berada dibalik tanda/simbol, pesan atau teks-teks hukum yang tampak kasat mata baik secara tersirat maupun tersurat.
Dengan demikian jika semiotika hukum itu pada satu sisi digunakan untuk memahami konsep atau model  dari sistem hukum berdasarkan paradigma apa yang menyelinap dibalik bangunan hukum yang sedang diberlakukan dalam suatu masyarakat hukum, misalnya negara, maka pada sisi lainnya hermenuetika hukum membaca teks hukum dalam hal ini kata teks dalam pengertian hermenuetika hukum adalah  berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan ia kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Pertanyaannya adalah apa relevansi semiotika hukum dari kajian hermenuetika hukum ? penulis sependapat dengan pandangan E. Sumaryono, bahwa relevansi kajian hermenuetika hukum itu mempunyai dua makna sekaligus: Pertama, hermenuetika hukum dapat dipahami sebagai “metode interprestasi atas teks-teks hukum” atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif” Di mana, interprestasi yang benar terhadap teks hukum harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun tersirat, atau antara bunyi hukum dengan semangat hukum. Pada tataran ini menurut Gadamer, ada tiga persyaratan yang harus dipenenuhi oleh seorang penafsir/interpreter, yaitu memenuhi subtilitas intelegendi (ketepatan pemahman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan).[15] Kedua, hermenuetika hukum juga mempunyai  pengaruuh  besar atau relevansi dengan “teori penemuan hukum”. Hal ini ditampilkan dalam kerangka pemahaman “;ingkaran spiral hermenuetika (cyrcel hermenuetics), yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermemenuetika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum modern dewasa ini.[16]
Berdasarkan paparan di atas, maka secara akademis, bahwa yang dimaksud dengan semiotika hukum adalah metode yang mengkaji simbol-simbol yang didalamnya berisi ide, pemikiran, konsep, perasaan, dan tindakan serta nilai-nilai yang dibaca secara hermenutika hukum baik sebagai metode maupun sebagai teori penemuan hukum terhadap teks hukum dan kata teks hukum dalam pengertian hermenuetika hukum adalah  berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan teks hukum ini dalam kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).


         Daftar Kepustakaan
Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001.
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna, Refika Pratama, Bandung, 2005
E, Sumaryono, Hermenuetik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Ferdinand D . Saussure, Course in General Linguistic, McGraw-Hill, New York University, 1996.
Fromm, Erich. 1951."The Nature of Symbolic Language".  Dalam Arthur M. Eastman (Ed.). The Norton Reader. An Anthology of Expository Prose. New York: Norton and Company, 1978 
John Fiske, Cuktural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2004.
Jazim Hamidi, “Mengenal Lebih Dekat Hermenuetika Hukum (Persfektif Falsafati dan Merode Interprestasi) dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008
J.J Bruggink, “Recht- Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtheorie, Terjemahan oleh         Benard Arief Sidharta, Refleksi  Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
James Robinso.M.Robinson, “Hermenuetika Since Barth” dalam New Frontiers in Theology” , dimuat dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics
Kris Budiman, Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2003
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, seri pemikiran tokoh, Ar Ruzz Media, Yogyakarta,2006
Mohammad A Syuropati,Teori Sastra Kotemporer dan 13 Tokohnya, In azna Books, Yogyakarta, 2011
Rahayu Surtiati Hidayat, Semiotik dan Bidang Ilmu, dalam semiotika Budaya, yang disunting Christomy & Untung Yuwono, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, 2004
Visser’t Hoft,Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001
Yasraf  Amir Piliang, Hiper semiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Zoest, Aart van, Semiotiek. Belgia: Basisboeken/Ambo/Baarn,1978.
Zumri Bestado Syamsuar, “Pandangan Paul Ricoeur Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi Atas Teori Kritis Masyarakat, Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta: Program Pascasarajana Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004.



[1]  Untuk memahami para tokoh semiotika dapat dilihat Listiyono Santoso dkk, 2007 Epistemologi Kiri, seri pemikiran tokoh, Ar Ruzz Media, Yogyakarta,  dan Mohammad A Syuropati, 2011,Teori Sastra Kotemporer dan 13 Tokohnya, In azna Books, Yogyakarta, hal 65-104 dan paparan ini adalah rangkuman kedua buku tersebut.
[2] Kris Budiman, Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2003, , halaman 3.
[3] Ferdinand D . Saussure, Course in General Linguistic, McGraw-Hill, New York University, 1996, halaman 16.
[4]Rahayu Surtiati Hidayat, Semiotik dan Bidang Ilmu, dalam semiotika Budaya, yang disunting T. Christomy & Untung Yuwono, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, halaman 77.
[5] Kris Budiman, op cit, halaman 4-5
[6]Visser’t Hoft,Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001, halaman 25
[7] John Fiske, Cuktural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, halaman 60-61.
[8] Yasraf  Amir Piliang, Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, halaman 257
[9]Fromm, Erich. 1951."The Nature of Symbolic Language".  Dalam Arthur M. Eastman (Ed.). The Norton Reader. An Anthology of Expository Prose. New York: Norton and Company, 1978  halaman 195
[10] Zoest, Aart van, 1978. Semiotiek. Belgia: Basisboeken/Ambo/Baarn,  Hal. 22
[11] Satjipto Rahardjo, Penafsiran Hukum Yang Progresif,  Pra wacana dalam Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna, Refika Pratama, Bandung, 2005, halaman 1.
[12] James Robinso.M.Robinson, “Hermenuetika Since Barth” dalam New Frontiers in Theology” , dimuat dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics, halaman 103 dalam Jazim Hamidi, “Mengenal Lebih Dekat Hermenuetika Hukum (Persfektif Falsafatai dan Merode Interprestasi) dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 82.
[13] Lihat dalam Gregory Leyh, ibid, halaman xi.
[14] Zumri Bestado Syamsuar, “Pandangan Paul Ricoeur Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi Atas Teori Kritis Masyarakat, Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta: Program Pascasarajana Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004, halaman 346.
[15] E, Sumaryono, Hermenuetik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999, halaman 29.
[16] J.J Bruggink, “Recht- Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtheorie, Terjemahan oleh Benard Arief Sidharta, Refleksi  Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman . 209.
»»  Baca Selengkapnya...

PERANAN SULTAN HAMID II DALAM TATARAN SEJARAH NASIONAL YANG TERLUPAKAN BANGSANYA


PERANAN SULTAN HAMID II  DALAM TATARAN  SEJARAH NASIONAL YANG TERLUPAKAN BANGSANYA

Oleh; Turiman Fachturahman Nur

A.    Kilas balik Sultan Hamid II dalam tataran sejarah Nasional
Jika kita membicarakan Sultan Hamid II dalam tataran sejarah kenegaraaan Indonesia sebenarnya kita tak dapat memisahkan keberadaan Kesultanan Pontianak (Pontianak Sultanate) yang merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Nusantara, bahkan di dunia, khususnya termuda di Kalimantan Barat (Kalbar) (Alqadrie, 1979:12).   
Apabila kita menelusuri jejak Sultan Hamid II dalam tataran sejarah lokal dan nasional, maka dapat dipaparkan dengan nama Abdul Hamid Alkadrie yang kemudian dikenal Sultan Hamid II. Lahir pada 12 Juli 1913 di Pontianak, Kalimantan Barat, Sultan Hamid II adalah generasi ketujuh Kesultanan Kadriah –berdiri tahun 1771 Masehi. Dalam tubuhnya mengalir darah bangsa Indonesia, dan Arab, sedangkan pengasuhnya adalah wanita Inggris.
Ayahnya, Sultan Syarif Muhamad Alkadrie, memiliki darah Indonesia-Arab. Ibunya (istri keempat), Shaikha Jamila bin Syecha Djamilah Syarwani, murni berdarah Arab. Namun, sejak berusia 10 hari, Hamid diasuh dua perempuan Inggris, Nona S. Fox dan Nona E.M. Curties. Menurut Frans Dingemans dalam disertasi “Hamid Alkadrie: Sultan Pontianak, Peranannya selama Masa Revolusi Indonesia 1945-1950”, ini dilakukan demi pertimbangan keamanan; khawatir Hamid akan diracun seperti dialami kakak lelakinya.
Sultan Hamid II mengenyam pendidikan yang memadai. Dia sempat bersekolah Technische Hooge School (THS) –kini Institut Teknologi Bandung– tapi tak tamat. Dia kemudian masuk Koninklijke Militaire Academie di Breda, Negeri Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat letnan dua.
Setelah lulus dari K.M.A. la pernah ditempatkan di Malang, Balikpapan, dan berbagai tempat di Pulau Jawa.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pads tanggal 10 Maret 1942 ia turut tertawan sampai bulan Agustus 1945 dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi Kolonel. Dan ketika ayahnya mangkat karena korban agresi Jepang, pada tanggal 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil dari daerah Istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut serta dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, B.F.0, B.F.C, I.J.0 dan K.M.B. di Indonesia dan Negeri Belanda.
    Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan seorang Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai Asisten Ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia yang pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemeliteran.
       "Pada tanggal 21 – 22 Desember 1949, 1 atau 2 hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di tanah air menawarkan "over comando" kepadanya namun la menolak, karena ia tahu bahwa Westerling adalah gembong APRA.
        Selanjutnya ia berangkat ke Negeri Belanda dan pada tanggal 2 Januari 1950 sepulangnya dari Negeri Belanda ia merasa kecewa atas pengiriman Pasukan T.N. I ke Kal-Bar, karena tanpa mengikut sertakan anak buahnya dari K.N.I.L. dan tanpa permisi kepada Kepala Daerah Istimewa Kal-Bar yang ketika itu dijabat oleh Sultan Hamid II.
 Pada saat yang hampir bersamaan terjadi peristiwa yang menggegerkan, yaitu Westerling kembali melakukan gerakan menyerbu Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat dimarah di Hotel Des Indes Jakarta dan kedekatannya dengan Westerling inilah menjadi pertimbangan yang memberatkan hukum kepada Sultan Hamid II oleh Mahkamah Agung tahun 1953 dan menjadikan “keterseokan politik”, dan Mahkamah Agung membebaskan tuduhan primer keterlibatan dengan peristiwa Westerling Di Bandung, tetapi mengapa para penulis sejarah selalu mengkaitkan dengan Sultan Hamid II dengan peristiwa westerling di Bandung dalam beberapa buku sejarah ?
  Patut dicatat, bahwa persidangan Mahkamah Agung tahun 1953 Sultan Hamid II tidak bisa dibuktikan kesalahan pada tuduhan primer dan Mahkamah Agung Membebaskan terdakwa dari tuduhan primer tersebut. Pertanyaannya adalah apakah dimaksudkan tuduhan primer yang diajukan oleh Jaksa Agung pada sidang MA itu, yaitu keterlibatan Sultan Hamid II dalam tindakan Westerling di Bandung, oleh karena itu MA berpendapat dalam menimbang menyatakan : “bahwa pembuktian tentang adanya hubungan itu sebelum tanggal 24 Januari 1950.. Mahkamah Agung menyatakan sangat kabur dan belum meyakinkan Mahkamah Agung, bahwa sebelum tanggal 24  Januari 1950 sudah ada hubungan organisatoris antara terdakwa dan gerombolan Westerling, maka dengan ini terdakwa tidaklah dapat dipertanggungjawabkan atas penyerbuan Bandung dan harus dibebaskan dari tuduhan bagian “primer”
Pertimbangan MA dalam putusannya tanggal 8 April 1955 jelas memberikan bukti sejarah, bahwa Sultan Hamid II tidak terlibat dengan penyerbuan Westerling di Bandung tanggal 23 Januari 1953, oleh karena itu dalam putusan Mahkmah Agung membebaskan terdakwa dari tuduhan primer.
 Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Sultan Hamid II dijatuhi hukum sepuluh tahun, disinilah keterseokan sejarah Sultan Hamid II dalam karir politiknya, tetapi menurut penulis sebuah kejujuran seorang anak bangsa sebagai manusia khilap, sehingga hanya mengakui telah melakukan perbuatan dalam bagian “lebih subsider lagi“ dari surat tuntutan Jaksa Agung, dengan mengajukan hal-hal menurut pendapat terdakwa dapat membebas terdakwa, yaitu bermaksud menyerang rapat dewan menteri, tetapi sampai malam peristiwa itu tidak terjadi, jadi Sultan Hamid II di hukum atas pengakuannya sendiri pada tuduhan lebih subsider lihat buku Peristiwa Sultan Hamid II terbitan Persaja, 1954.
 Hal lai  yang patut dicatat oleh bangsa ini, bahwa sewaktu RIS dibentuk, maka berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 2 Tahun 1949 tanggal 20 Desember 1949, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan Menteri Negara itu ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Selama waktu menuntut sekolah di K.M.A di Breda ia telah melawat ke Negeri Belanda kembali 6 kali Amerika, Inggris, Arab, Israel, Pakistan, dan India dalam tahun, 1946, 1947, 1948 dan 1949.
8 Februari 1950 Sultan Hamid II menyerahkan rancangan lambang negara kepada Bung Karno yang mengambil figur garuda memegang perisai Pancasila dan rancangan selanjutnya diperbaiki .
10 Februari 1950 rancangan gambar sketsa perbaikan yang diajukan Sultan Hamid II kepada Bung Karno.
11 Februari 1950 lambang negara rancangan Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS dan ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS.
20 Maret 1950 gambar penyempurnaan rancangan lambang negara Sultan Hamid II didisposisi oleh Presiden Soekarno dan kemudian untuk terakhir kali diperbaiki oleh Sultan Hamid dengan menambah skala ukuran dan tata warna yang kemudian dijadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 6 dan dokumen aslinya sekarang tersimpan di Yayasan Mas Agung Jakarta.
5 ApriI1950 di Hotel Des Indes Sultan Hamid II ditangkap atas perintah Jaksa Agung.
25 Februari 1953 perkara Sultan Hamid II mulai diperiksa oleh Mahkamah Agung.
25 Maret 1953 Jaksa Agung menuntut hukuman 18 Tahun penjara bagi Sultan Hamid II.
Tanggal 8 April 1953 Mahkamah Agung Indonesia menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun dipotong masa tahanan kepada Sultan Hamid II dengan diberi pertimbangan untuk mengajukan grasid dan
3 September 1953 dengan Keputusan Presiden permintaan Grasi No. 923/G di tolak. Grasi yang diajukan itu ditolak Presiden Soekarno. Sekeluarnya dari tahanan 1960 ia kemudian bergabung kedalam Partai Masyumi yang dipimpin oleh M. Natsir. Pada saat itu Partai Matsyumi dan Partai PSI sama-sama menentang faham "NASAKOM" di Indonesia. Semasa pemerintahan Orde Lama, Sultan Hamid II bersama-sama Sutan Syahrir, Mohtar Lubis pada saat menghadiri pemakaman ayah dari sahabatnya Ide Anak Agung Gde Agung di Bali ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan yang tidak jelas, selama ditahanan bertemu dengan Syamsuddin Sutan Makmur (Mantan Menteri Penerangan 12-8-1955 sampai dengan 24-3-1956)
      Semasa pemerintahan Orde Baru, ia oleh generasi muda yang tergabung dalam KAMI dan KAPI tahun 1966 ia dibebaskan dari tahanan dan tinggal bersama keluarga Syamsuddin Sutan Makmur di Jakarta.
        Pada tanggal 18 Juli 1974 Sultan Hamid II menyerahkan dokumen (manuskrip) gambar-gambar sketsa rencana Lambang Negara dan Matersi RIS dan gambar perumusan final lambang Negara, kepada H. Mas Agung di Yayasan Idayu, A Kwitang No.24 Jakarta, kecuali gambar Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan photo gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh keluarga Kraton Kadriyah Pontianak.
         Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak Batulayang di Pontianak.
         Catatatan sejarah yang perlu dikemukakan oleh bangsa ini, bahwa pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Sultan Hamid II menjabat sebagai Ketua BFO yang mewakili daerah bagian/satuan kenegaraan (DIKB - Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar) dan negara bagian diluar RI 17 Agustus 1945 dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda 27 Desember 1949, apakah secara hukum internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta atau dikenal Republik Yogya, mengapa hal ini tidak diangkat sebagai jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” bagaimana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara yuridis negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ketika diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai keberadaan DIKB bagi RI dalam ini memperkuat Proklamasi 17 Agustus 1945, itulah yang dicatat oleh sejarah sebagaimana dinyatakan Mr Surjadi dalam pembelaan periksaaan Perkara Sultan Hamid II dalam Sidang MA tanggal  25 Maret 1953::” Sebagai telah diraikan Sultan Hamid II dalam pembelaannya tadi, ia dari permulaan ada BFO turut serta secara aktif dalam perjuangan mencapai kemerdakaan 100 % bagi nusa dan bangsa.
         Negara-negara bagian yang diciptakan oleh Pihak Belanda dengan maksud digunakan sebagai :”tegewicht” dan untuk melemahkan “Republik Yogya”, dalam gabungan B.F.O dibawah pimpinan Sultan Hamid II sebagai ketuanya, ternyata tidak merupakan lawan, akan tetapi menjadi kawan bagi Republik.
         Pada akhirnya yang berhadapan satu dengan lainnya ialah Republik Yogya dan B.F.O disatu pihak dan Belanda di lain pihak, sedangkan menurut rencana Belanda dengan dibentuknya Negara-negara bagian semestinya Republik Yogya disatu pihak dan Belanda dan negara-negara bagian di lain pihak. Keadaan itu tidak sedikit memperkuat perjuangan kita terhadap dunia internasional. Sebab dengan  demikian dunia internasional diconfronteer dengan persatuan yang kokoh kuat dari bangsa Indonesia.Kedua sayap, Republik Yogya dan B.F.O maju bersama-sama.
       Dengan penuh loyalitas dan kesungguhan hati Sultan Hamid II turut melaksanakan Konferensi Antar Indonesia, yang mencapai hasil yang sebaik-baik. Dengan tidak kurangnya loyalitas kepada nusa dan bangsa Sultan Hamid II telah turut serta dalam K.M,B untuk mencapai hasil maksimum dari Konferensi itu.
Sebagai hasil konferensi Antar Indonesia dan K.M.B Negara Indonesia buat sementara dibentuk sebagai Negara Federal. Satu dan lainnya ditetapkan (vasteglegd) didalam UUD Sementara RIS 1949 yang telah disetujui oleh Republik dan B.F.O dan kemudian diratifikasi oleh Parlemen dari masing-masing Negara Bagian. Sampai ada pemilihan umum berdirinya dan hidupnya Negara-Negara Bagian dijamin U.U.D. sementara tadi sebagai ‘overtuigd Federalis” dan sebagai Kepala satuan kenegaraan dalam hal ini DIKB dan Sultan Hamid II mempunyai hasrat untuk melaksanakan UUD sementara itu dengan sebaik-baiknya dan mengharap demikian pula Negara Bagian yang lainnya.
Akan tetapi apakah yang Sultan Hamid II lihat dan alami,  segera sesudah pengakuan kedaulatan ? (27 Desember 1949). Aliran yang menghendaki Negara Kesatuan dengan segera memulai dengan aksinya untuk menghapuskan Negara-negara bagian. Dengan jalan subersif atau dengan terang-terangan Pemerintah dan Negara-negara bagian disabotase dalam pekerjaannya. Disamping intansi-intansi Pemerintah Negara Bagian disana-sini tetap dipertahankan “schaduw bestuur’ yang diwaktu  gerilya dibentuk oleh Republik Yogya sebagai alat perjuangan untuk menghadapi Belanda. Dan Aliran ini merasa kuat untuk berbuat demikian dengan keyakinan, bahwa alat kekuatan negara tak akan menghalangi-halangi perbuatan mereka itu U.U.D. Sementara R.I.S dianggap sepi belaka oleh mereka (Buku Peristiwa Sultan Hamid II, Tahun 1953 Persaja, Jakarta, halaman 217-218)
Mengapa demikian, sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1 dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi DIKB, Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Borneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
       Pada 1941, Hamid ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan. Karena terluka, atas perintah komandannya, dia berangkat ke Pulau Jawa; mula-mula ke Surabaya lalu Malang. Tentara Belanda sendiri tak mampu mengatasi perlawanan Jepang, dan menyerah tanpa syarat pada 10 Maret 1942. Sebagai perwira KNIL, Hamid termasuk target penangkapan. Dia pun ditangkap militer Jepang dan ditahan selama 3 tahun lebih.
        Hamid bebas setelah Jepang kalah perang. Tak berapa lama, tepatnya 29 Oktober 1945, dia diangkat sebagai sultan dengan gelar Syarif Hamid Alkadrie, namun lebih dikenal  dengan Sultan Hamid II. Sekira dua tahun kemudian dia juga menjabat kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang pertama sekaligus terakhir, karena daerah istimewa tersebut berumur pendek, hanya dua tahun.
       Bersama sejumlah tokoh Negara-negara Bagian/Kepala-kepala Daerah Otonom, Sultan Hamid II membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Federal, yang lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948. Gagasan pembentukan BFO berasal dari inisiatif Ida Anak Agung Gde Agung, kepala negara Indonesia Timur, yang ingin menghilangkan kesan bahwa keberadaan Negara-negara Bagian/Daerah Otonom semata merupakan ide dari Van Mook, letnan gubernur Belanda di Indonesia. Selain itu, pembentukan BFO berangkat dari keprihatinan atas konflik antara Indonesia dan Belanda yang tak mencapai titik temu. BFO berusaha menjembatani kepentingan Indonesia maupun Belanda, yang kemudian tercapai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
“… maka usaha BFO, sejak lahirnya organisasi ini, ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya,” kata Sultan Hamid II dalam pidato pembukaan Konferensi Inter Indonesia, yang digelar untuk menyamakan persepsi antara Indonesia dan BFO sebelum maju ke perundingan bersama Belanda. Sultan Hamid II adalah ketua BFO, menggantikan Tengku Bahriun yang meninggal dunia. Konferensi sendiri berlangsung dalam dua tahap; pertama di Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta 19-23 Juli 1949 dan kedua di eks Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila) Jakarta, 1 Juli hingga 2 Agustus 1949.
KMB berlangsung di Den Hag pada 23 Agustus hingga 2 November. Sultan Hamid II memimpin delegasi BFO, sementara delegasi Indonesia dipimpin Mohamad Hatta. KMB menghasilkan sejumlah keputusan penting, terutama pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Peranan Sultan Hamid II dalam perumusan lambang negara terjadi di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat itu dia ditunjuk sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Karena Pasal 3 Ayat (3) Konstitusi RIS 1949 menyatakan bahwa pemerintah menetapkan lembang negara, Presiden (RIS) Sukarno menugaskannya untuk merancang bentuk gambar lambang negara.
Dalam sidang kabinet tanggal 10 Januari 1950, dibentuk sebuah Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II. Panitia ini bertugas menyeleksi atau menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Muhammad Yamin menjadi ketuanya, sementara anggotanya adalah Ki Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Purbatjaraka.
        Menurut pernyataan Bung Hatta dalam buku Dr Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet, Menteri Priyono menggelar sayembara. Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Bisa jadi Hatta keliru. Sebab, selama periode RIS, tak ada anggota kabinet bernama Priyono. Kita mengenal Priyono sebagai menteri (pendidikan dan kebudayaan) pada 1957 hingga 1966. Di masa RIS, jabatan menteri itu dipegang oleh Abu Hanifah.
Namun demikian secara tegas dalam buku yang sama Mohammad Hatta menegaskan, pada halaman 108: Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah kita merdeka semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950        
Yang jelas, kedua rancangan itu kemudian diserahkan ke Panitia Lencana Negara. Panitia menolak rancangan Muhammad Yamin, karena mengandung banyak unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh Jepang. Pemerintah akhirnya menerima Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950. Dalam perkembangannya, lambang itu mengalami beberapa kali perbaikan, sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. 
Namun perjalanan hidup Sultan Hamid II justru berakhir tragis. Selang dua bulan kemudian, Sultan Hamid II dicopot dari jabatannya sebagai menteri dan ditangkap saat berada di Hotel Des Indes atas perintah dari Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Dia dituduh bersekongkol dengan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), yang menyerbu Bandung pada 22 Januari 1950 dan Jakarta pada 26 Januari 1950. Tiga tahun kemudian dia diadili dan mendapat vonis hukuman 8 tahun penjara dan dibebaskan oleh Mahkamah Agung dari tuduhan primer.
Ketika bebas pada 1958, Sultan Hamid II tak bepolitik lagi. Namun, empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dengan alasan yang tidak jelas dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur. Tuduhannya: dia hendak melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Menurut Abdul Harris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V, konon, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah Ida Anak Agung Gde Agung. Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir. Begitu juga Sultan Hamid II, yang notabene kawan lama Ida Anak Agung Gde Agung.
Selama sekira empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan, dan baru dibebaskan pada 1966 setelah era Sukarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II di mata kawan lamanya, Ida Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Sukarno, bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebabnya, sejak keluar dari penahanan tahun 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.
Selepas mendekam di penjara, Sultan Hamid II fokus pada aktivitas bisnis, sampai akhir hayatnya. Dia adalah pemilik dan presiden direktur PT Indonesian Air Transport. Pada 30 Maret 1978 Sultan Hamid II wafat di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Kadriah di Batu Layang, Pontianak.
         Sosoknya memang di luar arus revolusi, tetapi bangsa ini melupakan peranannya bagi berdirinya republik tidaklah kecil, terutama dalam merintis jalan menuju pengakuan kedaulatan dan perumusan lambang negara Garuda Pancasila yang sekarang atribut Rajawali Garuda pancasila melekat di baju para pejabat dan di gedung lembaga negara serta di kantor pemerintahan seluruh Indonesia, bahkan di baju timnas sepak bola, tetapi ironis hampir setengah abad lebih bangsa Indonesia merdeka belum ada pengakuan resmi oleh negara.
        Ada satu pertanyaan yang perlu diajukan mengapa Sultan Hamid II berhaluan paham federalisme bahkan digelar ”sang federalis sejati” dan apa yang menjadi latar belakang ia mendirikan Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB tahun 1946 yang wilayahnya meliputi 12 swapraja dan 3 neo swapraja yang  kemudian menjadi satuan kenegaraan yang diakui keberadaannya dalam Konstitusi RIS 1949 pada pasal 1. Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita menelusuri keberadaan Kesultanan Pontianak sebagai faktor sosiologis dan psikologis yang membentuk karakter Sultan Hamid II menjadi seorang federalisme sejati.   
         Apabila menelusuri jejak sejarah dalam perespektif etnisitas maka secara etnisitas kesultanan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Melayu, Bugis dan Dayak ini, dan menjadi termuda di dunia, artinya termuda berdirinya dibandingkan dengan kesultanan lain di dunia.
             Mengapa demikian?  Kesultanan ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 bersamaan 12 hari bulan Rajab tahun 1185 (Rahman, dkk., 2000). Ia didirikan relatif lebih akhir dibanding dengan kelahiran kesultanan lainnya tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di kawasan lainnya di Nusantara, karena tidak ada kerajaan atau kesultanan lainnya, selain kesultanan Pontianak, yang berdiri pada periode/tarikh yang sama dengan atau lebih akhir dari/setelah tanggal kelahiran kesultanan Pontianak (Alqadrie, 1979:35).
         Selain terbungsu, kehidupan pemerintahan kesultanan ini  hanya berlangsung relatif singkat, 179 tahun, dan hanya diperintah oleh 8 (delapan) generasi sultan dari dinasti Al-Qadrie, sejak kelahirannya 1771 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Setelah itu, kesultanan ini tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi . 
`                Kesultanan termuda ini memiliki keunikan (uniqueness) sebagai warisan sejarah Nusantara, karena walaupun kesultanan ini  lahir lebih akhir atau paling bungsu, tetapi ia telah menjadi pemersatu, “unggul” dan memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan  bagian barat, diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional  di Nusantara, seperti Riau, Siak, Tambelan, Siantan, Palembang, Banjar, Paser (Rahman, dkk. 2000: 4; Alqadrie, 1979), Malaka, Johor, dan Trengganu, serta Banten dan Demak (Iskandar, dkk., 1987:58-59,60-62).
            Patut dicatat, bahwa keunikan lain terletak pada letak geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan (Hankam). Hal ini dimungkinkan oleh letak dan kedudukannya yang tidak terlalu jauh tidak hanya dari perairan laut dan selat, yaitu Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna- ketiga jalur transportasi tersebut menghubungkan  kesultanan ini masing-masing dengan Batavia, Demak, kesultanan lainnya di utara Jawa, Banjarmasin, Kutai dan Paser; Palembang, Riau;  dan Deli (sekarang dikenal dengan Medan), Malaka (sekarang Singapura), dan Johor (sekarang menjadi sebuah kota penting di Malaysia Barat dekat Singapura dan Kuala Lumpur). Letaknya juga tidak terlalu jauh dari kawasan pedalaman yang menghubungkannya dengan kesultanan lain di pedalaman dekat (interior valley) dan perhuluan/ pedalaman jauh (interior upland).
            Keberadaan letaknya yang strategis ini memungkinkan kesultanan ini mampu bertindak sebagai kekuatan pengawas (controlling power) dalam hal pengumpulan/pemasukan pajak dan pungutan lainnya, di satu fihak, serta penertiban di bidang Hankam, di lain fihak, terhadap penggunaan transportasi lalu lintas perairan di situ untuk tujuan perdagangan maupun kegiatan militer. Selain itu, letak kesultanan Pontianak yang strategis secara interen di kawasan Kalbar sendiri -- pada simpang tiga antara Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak -- letak mana memiliki nilai positif dari segi geopolitis, menyebabkan pendiri kesultanan ini -- Syarif Abdurrahman bin Habib Hussein Alqadrie -- disebut sebagai ahli Maritim (Maritime specialist) (Alqadrie, 1979:9) yang memungkin serangan militer ke jantung kesultanan ini, walaupun melalui dua jalur -- Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak -- dapat dimentahkan.
            Letak geografis seperti itu memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi geopolitis dan geostrategis baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara di luar kawasan apa yang dikenal sekarang dengan Kalbar, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya kesultanan ini secara implicit sebagai kekuatan hegemonis di kawasan yang disebut sekarang dengan Kalbar. Pengakuan seperti ini lebih diperlancar dari hasil tiga strategi yang dilakukan oleh para Sultan Pontianak terhadap para kesultanan atau panembahan di kawasan ini yaitu: (1) penguasaan, (2) pengembangan ikatan kekeluargaan melalui perkawinan, pengangkatan keluarga/anak, dan (3) peningkatan kewibawaan lewat pendalaman agama pada mana para penguasa dan kerabat Kesultanan Pontianak dianggap memiliki pengetahuan agama Islam lebih mendalam.           
            Menghadapi pertahanan tangguh dari letak geografisnya yang strategis, Kompeni Belanda menggunakan tiga taktik non-militer yaitu (1) taktik penguasaan konvensional tradisional melalui perundingan yang mengikat, (2) taktik adu domba atau pecah belah (devide et impera), dan (3) taktik penguasaan “moderen” melalui pengembangan kawasan di bagian lain dari kawasan kesultanan sebagai kekuatan pesaing (competing power) untuk memperlemah pusat pemerintahan kesultanan. Dengan taktik tersebut, kesultanan ini berangsur-angsur surut dan hampir kehilangan pengaruh dan kontrol terhadap kesultanan lainnya di  Kalimantan.
            Paparan ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena keunikan Kesultanan Pontianak, pendiri pertama, latar belakang  atau asal usul  pendiri tersebut, dan 8 (delapan) generasi sultan yang pernah berkuasa dengan karakter masing-masing. Selain itu tulisan ini diharapkan juga dapat menguraikan pengaruh besar dan disusul dengan merosotnya pengaruh tersebut dalam waktu relatif pendek, serta faktor-faktor utama penyebab berkembang dan merosotnya pengaruh tersebut, serta pola tingkah laku politik lokal dan nasional kaitannya dengan kesultanan tersebut.
             Paparan berikut ini penulis rangkum dari pandangan Prof DR. Syarif Al Kadrie seorang pengamat politik lokal dan etnisitas Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat terhadap keberadaan kesultanan Pontianak dalam sejarah lokal dan nasional, sebagaimana paparan berikut ini.

 B.Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak, Asal Usul dan Latar Belakangnya.                
          Kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan Qadriah, karena ia didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie. Kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan-kesultanan lainnya di kawasan Kalbar tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) figur tersebut di atas.



 1.   Habib Syarif Hussein Al-Qadrie.
            Menurut catatan sejarah (Haji Yahya, 1999: 224; Alqadrie, 1979; Rahman, 2000:13-14; Sahar, 1982:12), Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan di Yaman dan berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706. Hussein dibesarkan, dididik orang tuanya secara Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari gurunya Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi, Al-Mukalla, salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari 4 (empat) tahun,  sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika.
            Dari pengalamannya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginannya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekannya satu perguruan yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Haji Yahaya, 1999:224). Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam. 
            Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, menurut Alwi Shahab (2000:7) adalah bahwa mereka datang ke Indonesia tanpa membawa wanita -- kebanyakan mereka perjaka (unmarried men). Sesampai di kawasan Nusantara mereka menikah dengan wanita-wanita setempat, menyebut penduduk setempat (pribumi/bumi putera) sebagai achwal -- saudara dari ibu mereka --  dan mereka berperan di sektor perdagangan, sektor lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran agama Islam. 
            Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di Aceh dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. Menurut Haji Yahaya (1999:224) dan Rahman ( 2004: 16) berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar  Alaydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya,   sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh; Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung  dan mendapat gelar Tuan Besar Siak; Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya  menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayatnya, diberi gelar Datuk Marang.
            Sesuai dengan petunjuk gurunya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya. Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC (Rahman, dkk., 2000; Haji Yahaya, 1999:224-225; cari Sejarah Indonesia lainnya). Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid -- pedagang dan perantau Arab lainnya -- yang berada di situ.
            Selama di Batavia Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal -- seorang pedagang dan ulama yang juga berasal dari Arab --  yang mengajaknya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.  Setelah dua tahun berada di Semarang, Habib Hussein masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh gurunya untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya -- kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau. Kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceriterakan oleh Syech Salam kepadanya yaitu Matan, Sukadana -- dua kesultanan Islam yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Ketapang --  dan Mempawah -- sebuah kesultanan Islam tertua di Kalbar dan menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak.
            Dengan dukungan moril dan material dari dan dihantar oleh Syech Salam Hambal, Hussein Al-Qadrie dalam umur 29 tahun melanjutkan perjalanan ke Matan. Di sini ia diterima penduduk setempat, disenangi oleh murid-muridnya dan mendapat simpati dari keluarga Kerajaan, sehingga Habib Hussein Al-Qadrie diangkat sebagai tokoh penting, yaitu Hakim atau Qadhi dalam peradilan di Kerajaan Matan.
            Dari  perkawinannya dengan Nyai Tua -- puteri Sultan Ma’aziddin -- Habib Hussein Al-Qadrie memperoleh 4 orang putera dan puteri yaitu bernama Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie  lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H bertepatan dengan 1739 M.
            Baru 3 (tiga) tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Matan, kemasyhurannya sebagai ulama dan hakim pengadilan telah tersebar ke Kerajaan Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang berkedudukan di Sebukit yang bernama Pangeran Tua, meminta kepada Sultan Matan dan Habib Hussein agar bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam dan menjadi imam besar di sana (Sahar, 1983:18; Rahman, 2000:25-26). Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh Hussein Al-Qadrie, karena ia belum lama berada di Matan. Setelah berada di Matan selama 17 tahun, akhirnya pada tahun 1755M Habib Hussein baru dapat memenuhi permintaan tersebut, dan pada tahun 1755 ia bersama keluarganya pindah ke Mempawah dan membangun pemukiman baru di Galah Herang dalam kawasan kerajaan itu.


2. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie – Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak.
            Dua tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Mempawah, puteranya, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang berumur 18 tahun, dikawinkan dengan Utin Candramidi, puteri Opu Daeng Manambon dengan Puteri Kusumba. Perkawinan ini tidak saja memperkuat kedudukan Habib Hussein yang diperlukan oleh rakyat dan Kerajaan Mempawah. Itu juga mempererat hubungan tiga kerajaan yaitu Matan, Mempawah dan Luwuk di Sulawesi Selatan, karena Putri utin Cadramidi adalah puteri Opu Daeng Menambon yang berasal dari Kerajaan Luwuk. Perkawinan ini juga dianggap sebagai permulaan yang baik bagi dorongan politik terhadap kelanjutan cita-cita Habib Hussein untuk menemukan pemukiman baru bagi keluarganya dan bagi penyebaran Islam yang diharapkannya dapat direalisasikan oleh putera tertuanya itu. 
            Setelah perkawinannya dengan  Utin Candramidi, Abdurrahman bergelar Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Di dalam tubuh Abdurrahman mengalir darah ayahnya (sebagai keturunan Arab, ia memanggil Habib Hussein sebagai aba) sebagai pedagang, perantau, pelayar dan ulama penyebar ajaran Islam, ia juga tidak menyimpang dari apa yang telah dilakukan ayahnya.
            Abdurrahman muda tumbuh menjadi pedagang muda. Jiwa pedagang dan semangat maritimnya semakin berkembang. Pada tahun 1759  Syarif Abdurrahman mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan dan Negeri Siak, ketika ia berumur sekitar 20 tahun, dan pada tahun 1765  ke Kerajaan Palembang dan Banjarmasin, ketika ia berumur kurang dari 26 tahun. Di Palembang Sultan kerajaan ini -- yang telah mengenal baik ayah dan mertuanya -- memberinya hadiah berupa sebuah perahu, 100 pikul timah dan uang 2.000 ringgit.
            Pemberian ini merupakan modal awal yang mendorongnya menjadi pedagang, pelayar dan pengelana labih jauh lagi. Setelah ia berada lagi di Mempawah sekitar dua tahun, modal awal tersebut ditingkatkannya lagi berupa penambahan sebuah perahu dan barang modal lainnya. Pada tahun 1767 Syarif Abdurrahman Al-Qadrie meninggalkan Mempawah menuju Kerajaan Banjarmasin dan Paser -- sekarang lebih dikenal dengan Kabupaten Paser dengan ibukotanya Tanah Gerogot -- yang masing-masing terletak di kawasan selatan dan pantai timur Pulau Kalimantan.
Kerajaan Banjarmasin  adalah kota perdagangan yang sudah lama maju dan lebih berkembang dibanding dengan kota dan kerajaan lainnya di kawasan Kalimantan. Kota kerajaan ini telah menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan sekitarnya. Kerajaan Paser  belum begitu berkembang, tetapi memiliki potensi besar dalam hal penyediaan sumberdaya alam, termasuk perkebunan, dan dinamika penduduknya dalam hal religiositas. Karena letak geografisnya tidak begitu jauh dari Banjarmasin pada mana pengaruh sosial budaya kerajaan ini sangat besar terhadap Kerajaan Paser, maka sampai sekarang Islam berkembang pesat hampir di seluruh kawasan Paser, termasuk di kawasan pedalamannya, dan budaya Banjar, termasuk bahasanya, berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di situ.
            Abdurrahman memperdagangkan rempah-rempah, lada,  kain-kain sutera, lenen, dan hasil perkebunan lainnya di sana, dan ia juga berkenalan dengan para pedagang Inggeris, Perancis, Portugis, Belanda dan Cina yang sangat memerlukan barang-barang tersebut untuk dipertukarkan dengan produksi negara mereka. Masyarakat Barat, menurut Wallerstein (1997), memerlukan sumberdaya alam (SDA) dan kerajinan lainnya yang tidak mereka miliki, dan mereka berkompetisi dalam memperolehnya untuk mempertahan status mereka agar tidak terlempar menjadi masyarakat pinggiran (peripheral societies). Kalau saja pemenuhan kebutuhan akan bahan-bahan hasil bumi tersebut diselenggarakan  melalui perdagangan yang adil (fair trade), tidak melalui cara-cara kolonialistis dan imperialistis, maka sudah lama Dunia Timur sama majunya dengan Dunia Barat.
            Dari keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan tersebut, Syarif Abdurrahman dapat menambah armada perdagangannya berupa sebuah kapal layar besar yang dinamainya Tiang Sambung dilengkapi dengan meriam gurnada, lila dan pamuras (Rahman, 2000:52-53). Dengan armada, peralatan dan barang modal yang semakin bertambah dari hari kehari, ia telah memenuhi keinginannya baik untuk menjadi pedagang dan pelayar ulung, maupun  untuk memenuhi ambisinya membangun tempat pemukiman tetap yang strategis dalam segala hal yang ia dan ayahnya telah lama dambakan untuk anak, cucu, para pengikut setianya dan keturunan mereka. Dengan pemukiman itu mereka tidak hanya menjadi qadhi, imam besar dan pemuka agama, tetapi menjadi pemimpim yang mengayomi  umat dan bagi kemaslahatan rakyat dan keturunan mereka.
            Untuk memenuhi ambisinya tidak ada jalan lain ia harus memiliki armada dan peralatan yang lengkap, serta didukung oleh awak kapal yang cukup dari segi jumlah, kualitas dan kesetiaan, serta nakhoda yang memiliki keahlian dan keberanian. Beruntung, ia telah memiliki sebagian besar dari keperluan itu, dalam pelayarannya ia selalu bersama armada dan peralatan yang relatif lengkap serta didampingi oleh sejumlah awak dan Nakhoda yang bernama Daud yang setia (Rahman, 2000:52-53).
       Setahun berada di Banjarmasin, pada tahun 1768 Abdurrahman Al-Qadrie mengawini puteri  Raja Banjar bernama Syarifah Anum atau Ratu Syahranum dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Perkawinan ini, selain merupakan sekedar keinginan pribadi yaitu untuk mengembangkan tali kekeluargaan antara keluarga kerajaan Banjar dengan kerajaan Mempawah, juga dianggap sebagai perkawinan politik untuk memperkuat aliansi paling tidak antara tiga kerajaan di Kalimantan: Mempawah, Matan dan Banjar. Aliansi ini berdampak positif bagi dukungan terhadap Abdurrahman dan armadanya untuk menciptakan keamanan pelayaran dan perdagangan kapal-kapal dagang sipil Inggeris, Perancis, Cina dan pedagang Islam lainnya  dari perompak atau bajak laut yang mengganggu keamanan kawasan Selat Karimata, Selat Malaka dan Selat Makassar. Perkawinan politik itu juga bermanfaat dalam mendukung obsesinya untuk mendirikan pemukiman tetap dan mengusir dominasi Barat yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara ini.                         
            Sekembalinya dari penjelajahannya beberapa kawasan disekitar Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Bangka, Laut Jawa dan Selat Makasar,  pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 atau pertengahan 1771,   Habib Hussein dan Panembahan  Opu Daeng Menambon  telah meninggal dunia. Wafatnya kedua orang yang sangat dihormati dan dibanggakannya itu telah menjadi salah satu pendorong kuat bagi Syarif Abdurraham untuk mencari tempat pemukiman baru tidak saja sebagai pusat perdagangan tetapi juga sebagai pusat pemerintahan dari kerajaan baru yang dipimpim oleh salah seorang dari empat orang saudara laki-lakinya.
            Setelah bermusyawarah dengan keluarga besarnya, termasuk dengan Panembahan Adijaya -- putera Opu Daeng Menambon yang diangkat sebagai Panembahan Mempawah -- dan empat saudara laki-lakinya -- Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie dan Syarif  Muhammad,  akhirnya mereka meninggalkan Mempawah mencari pusat pemukiman, dan Syarif Abdurrahman ditunjuk sebagai kepala rombongan besar itu.
            Penunjukan dengan suara bulat kepada Abdurrahman disebabkan tidak hanya ia merupakan saudara laki-laki tertua dari keluarga atau dinasti Al-Qadrie tetapi juga ia memiliki pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan persetujuan itu cita-cita ayahnya dan obsesinya sejak kecil serta persiapan matang yang dilakukan Abdurraman sejak lama, tampaknya akan terealisasikan.
            Pada pukul 14.00 Jum’at, 9 Rajab tahun 1185 H atau 1771 M, setelah sembahyang Jum’at, Pangeran Abdurrahman Al-Qadrie berangkat  bersama seluruh keluarganya menuju ke pemukiman baru yang belum mereka ketahui dalam satu konvoi besar yang terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan peralatan tidur, makanan, minuman untuk dua bulan. Armada yang terdiri dari 16 buah kapal itu dilengkapi dengan persenjataan beberapa buah meriam, persenjataan konvensional lainnya, para pengikut setianya dan sejumlah awak kapal cukup banyak jumlahnya diantaranya terdiri dari orang-orang Benggali yang berasal dari kapal-kapal Perancis yang pernah dikalahkannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud pengikut setianya.
            Setelah empat hari perjalanan sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang dinamai Batu Layang terletak 15 km dari muara Sungai Kapuas atau lima kilo meter dari kota Pontianak. Tempat itu  kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Qadriah sampai sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanan sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungan Kapuas dan Sungai Landak. Di kawasan ini, berdasarkan mitologi atau dongeng tradisional Kalbar rombongan Pangeran Abdurrahman diganggu oleh dan berperang dengan “makhluk halus” khas Pontianak yang disebut “hantu kuntilanak.”
            Pada subuh hari Rabu tanggal 14 Rajab 1185 bertepatan dengan 23 Oktober 1771 rombongan Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie memasuki kawasan perairan di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki “hantu Kuntilanak” itu sampai perompak itu melarikan diri. Pada pukul 08.00 hari yang sama rombongan itu mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas tidak jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Mesjid Jami’ Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Kemudian Abdurrahman dan para pengikutnya mulai mempersiapkan tempat pemukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau tersebut. Pemukiman itulah kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak.
            Mengapa Abdurrahman memutuskan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan kesultanannya? Pertama, dari segi religiositas, sebagai seorang yang taat beragama ia telah meminta petunjuk dariNya dan yakin akan petunjuk itu, karena sebelum sampai ketempat itu ia telah sampai ke beberapa tempat, antara lain Segedong di Sungai Peniti -- berlokasi  sekitar 20 km dari kota Pontianak, namun tempat itu tidak menjadi pilihannya. Kedua, keputusan itu merupakan hasil musyawarah antara Syarif Abdurrahman dengan empat saudara laki-lakinya, isterinya,  Nakhoda Daud dan beberapa pengikutnya. Ini menunjukkan bahwa walaupun Abdurrahman telah dipercaya menjadi pemimpin dalam keluarga besarnya, namun ia masih menginginkan musyawarah. Kebiasaan semacam ini terus dipraktekkannya walaupu a telah menjadi sultan. Ketiga, keputusan itu merupakan hasil dari  pengetahuan maritim praktis yang diperolehnya selama bertahun-tahun menjelajah berbagai pulau, laut dan sungai sehingga ia menemukan pemukiman sebagaimana ia dambakan sebelumnya.
            Keberhasilan Syarif Abdurrahman menemukan Kawasan pemukiman yang sangat strategis dalam geografis yang aman dari bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami dan angin taufan hingga sekarang, menurut Jimmy Ibrahim (1971:59), tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Dengan masih tegak berdirinya istana Kesultanan Qadriah Pontianak hingga sekarang ini tidaklah berlebihan kalau Syarif Abdurrahman disebut sebagai seorang yang akhli Maritim dan akhli strategi.

 3.  Para  Sultan yang Berkuasa di Kesultanan Qadriah Pontianak.         Kesultanan Qadariyah Pontianak  merupakan kesultanan termuda dan terbungsu di Nusantara, setelah itu tidak ada lagi kerajaan lain yang lahir di kawasan kepulauan jamrud Khatullistiwa ini. Selain itu usia kesultanan ini juga secara politik pemerintahan relatif tidak terlalu panjang dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di kawasan Kalimantan bagian barat ini. Kekuasaan politik riil dan relatif mutlak tidak lebih dari 179 tahun, 2 bulan 13 hari, dihitung dari kelahirannya -- 23 Oktober 1771-- berakhir pada awal kemerdekaan negara Republik Indonesia (RI) -- tepatnya 5 Januari 1950 -- yaitu berakhirnya kekuasaan Sultan Hamid II.
             Selama berusia 173 tahun lebih dua bulan 20 hari, kesultanan ini dipimpin oleh 8 (delapan) raja atau sultan yang jangka waktu atau usia pemerintahan mereka berbeda antara satu sultan dengan sultan lainnya. Kedelapan sultan yang pernah memerintah Kesultanan Qadriah adalah sebagai berikut:  
1)      Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie,  1778 – 1808.
2)      Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819,
3)      Sultan Syarif Usman Al-Qadrie, 1819 – 1855;
4)       Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1855 – 1872;
5)      Sultan Syarif Yusuf Al-Qadrie, 1872 – 1895;
6)      Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie, 1895 –1944;
7)      Sultan Syarif Thaha Al-Qadrie, Agustus – Oktober 1945.
8)      Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1945 – 1950.

 Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie Nur Alam bin Habib Hussein  Al-Qadrie.
            Syarif Abdurrahman lahir di Matan pada tahun 1739. Delapan tahun lamanya setelah membangun dan bermukim di kerajaan Pontianak ia dinobatkan oleh Raja Riau Sultan Haji sebagai sultan pertama di Istana Qadriah Pontianak pada hari Senin 8 Syakhban 1192 H bertepatan dengan tahun 1778 M. Penobatan itu dihadiri oleh para Panembahan dan Sultan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan Riau
            Raja Haji adalah putera Daeng Celak dan ponakan Daeng Manambon. Kedua Sultan keturunan Bugis Luwuk ini adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka.  Kelima bersaudara ini berperan besar dalam membantu  perkembangan  Kerajaan Matan, Sukadana, Mempawah, Riau, Siak,  Pontianak, Banjar,  Indragiri, Jambi, Palembang, Malaka, Johor, Kedah, Selanggor dan  Perak.
            Raja Haji sendiri dari Kesultanan Riau berjuang mempersatukan kerajaan-kerajaan disepanjang pantai Timur Sumatera,  Semenanjung Malaya dan Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan bagian Barat. Hubungan erat dan sentimental antara sesama kerajaan-kerajaan tersebut merupakan perwujudan dari perpaduan antara keturunan Arab, Bugis, Melayu, Dayak, dan Banjar, yang sekaligus telah memperkokoh Wawasan Nusantara dan Wawasan Nasional – jauh sebelum konsep dan ide wawasan ini diperkenalkan dalam ideologi kebangsaan.  Di sini peranan Kesultanan Pontianak, khususnya Sultan Abdrrahman Al-Qadrie, sangat menentukan.  
            Hubungan kekeluargaan dan politik dalam satu wawasan seperti ini sangat dicurigai oleh VOC. Kongsi Dagang Belanda ini menganggap bahwa kedekatan hubungan antara kerajaan sepanjang pantai Timur Sumatera dan Kalimantan merupakan bentuk persekutuan politik yang ingin menentang VOC. Oleh karena itu, apapun motifnya “persekutuan politik” seperti itu, menurut VOC (dari sejarah nasional/perjuangan Indonesia) perlu dihancurkan. Setelah Nicholas De Cloek, utusan Batavia pertama ke Kerajaan Pontianak akhir tahun 1778, dianggap gagal “menjinakkan” Sultan Abdurrahman,  pada Juli 1779 VOC mengirim lagi utusannya ke Pontianak yaitu Willem Adriaan Palm yang menjabat Komisaris VOC. Dengan dalih ingin mendirikan perwakilan dagang di kerajaan ini, VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di kerajaan Pontianak. Willem Adriaan Palm digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang menjabat sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784) berkedudukan di Pontianak. Melalui Resident ini VOC mulai membangun pemukiman, pabrik-pabrik, pertahanan dan benteng di seberang tepian Barat Sungai Kapuas tepat di kawasan seberang istana Kerajaan Pontianak.
            Kawasan ini mulanya diperoleh dari kebaikan hati Sultan Abdurrahman dengan memberikan ijin pinjaman untuk mendirikan tempat kegiatan dan pemukiman orang-orang Belanda yang, menurut Ansar Rahman (2000:90-91), dikenal dengan penguasaan tanah seribu, karena tanah yang dipinjam itu seluas 1.000 meter2. Akan  tetapi dalam waktu tidak lebih lama dari sekitar 10 tahun, Pemerintahan Belanda di Batavia telah memperoleh hak atas pemukiman tersebut, bahkan kawasan itu telah menjadi kosentrasi atau pusat politik, yaitu tempat pusat kegiatan administrasi Karesidenan van  Borneo’s Wester Afdeling I, dan pusat kegiatan ekonomi Pemerintah Batavia. Kawasan pusat kegiatan pemeritahan dan ekonomi ini telah menjadi bukan hanya saingan Pemerintahan Kesultanan Abdurrahman, tetapi juga kekuatan pengontrol terhadap hampir setiap aktivitas kesultanan ini.       

  Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819.
            Sultan Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan Utin Candramidi.  Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia diangkat oleh ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 - 1790 yang dikehendaki oleh Batavia. Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara. karena Gusti Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi bersama panglima perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin. Kerajaan Mempawah dalam rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali.
            Kompeni Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan Pontianak dan Mempawah. Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Perjanjian yang berat sebelah itu ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan dikedua di kesultanan itu.
            Rasa tidak senang dan kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif Kasim, bertambah besar dan disebabkan oleh beberapa hal: (1) usaha campur tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya; (2) Syarif Kasim, berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya tanpa alasan jelas; (3) dan tindakan kekerasan dan tercela lainnya terhadap lawan-lawan politiknya.
            Tindakan negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewaris tahta Kesultanan Pontianak menggantikannya. Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana  menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari, sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya.
            Ketika ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui  tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu, dengan  pertimbangan: 1) Syarif Usman masih kecil dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan; 2) Ia sangat menghargainya saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya; 3) Syarif Kasim berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia akan melunasi hutang ayahnya.
            Sampai akhir kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain. Kesalahan paling fatal adalah bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial Belanda menugaskan Komisaris Broek Holts bersama sejumlah serdadunya untuk datang ke Pontianak untuk melindunginya keamanannya.
            Kesalahan-kesalahan seperti itu harus dibayar mahal. Secara resmi Belanda berkuasa kembali di Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak pada 9 Agustus 1818. Syarif Kasim menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari 1819, dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di Pontianak bernama Marianne’s Oord (Rahman, 2000:112-113). Taktik Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini tampaknya, menurut Alvin So (1990: … - …) dan   Gunder Frank, 1989), merupakan realisasi awal dari keserakahan Barat, dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui hubungan eksploitatif. Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang “membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri  bernama Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84).

 Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855).
            Syarif Usman Alqadrie menduduki jabatan Sultan Qadriah Pontianak Ketiga menggantikan Syarif Kasim dan pengangkatan ini mendapat dukungan dari sebagian terbesar rakyatnya. Alasan mengapa Sultan Usman mendapat dukungan baik dari keluarga besar Kesultanan Qadariyah dan sebagian besar rakyat Pontianak maupun dari Batavia antara lain adalah penghargaan atas kesetiaan dan  kesabarannya menjadi Pangeran Ratu dan mengamankan kekuasaan Sultan Kasim selama 11 tahun. Ia dikenal jujur, dianggap dapat melunasi hutang-hutang ayahdanya, dan lebih umanah dan mampu untuk membangun kesultanan Qadriyah.
            Menyadari terbatasnya kemampuan militer yang dimilikinya, Sultan Syarif Usman hampir tidak berdaya menghadapi Belanda dengan persenjataan relatif lengkap walaupun ia mendapat dukungan dari sebagian terbesar kerabat kerajaan dan penduduk setempat. Ia melihat bahwa hampir tidak ada jalan lain kecuali sementara “mengikuti” keinginan Pemerintah Kolonial Belanda dengan meneruskan perjanjian yang telah dibuat pendahulunya, dengan menanda tangani perjanjian baru pada tahun 1819, 1822 dan 1823.
            Tiga buah perjanjian tersebut di atas yang sangat mengikat dan merugikan fihak kesultanan, rakyat dan dirinya antara lain adalah bahwa fihak kesultanan tidak lagi memiliki kekuasaan dan penghasilan sepenuhnya tetapi kekuasaan pemerintahan dan penghasilan kesultanan telah dibagi dua dengan Pemerintah Belanda di Batavia. Bahkan, menyusul lagi ketentuan baru, berdasarkan catatan Rahman (2000:118) Sultan tidak lagi mendapatkan separuh (50%) dari penghasilan kesultanan sebagaimana ketentuan sebelumnya, tetapi Sultan hanya diberikan tunjangan 42.000 gulden setiap tahun.
            Ketentuan ini tidak saja menimbulkan kerugian bagi fihak kesultanan secara material, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap dan penghancuran martabat/marwah (dignity) kesultanan yang berdaulat dan memperoleh dukungan dari rakyat. Belanda memperlakukan sultan dan para pemuka Kesultanan Qadriah  sebagai tidak lebih dari para pegawai dan buruh kontrakan yang makan gaji dari Belanda. Hal lain yang sangat memukul martabat kesultanan dan rakyat adalah diberlakukannya perjanjian 14 Oktober 1823 yang menetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas terhadap rakyat pribumi setempat disamping orang-orang Eropah dan Cina (Rahman, 2000:118). Ini bermakna bahwa Pemerintah kesultanan telah kehilangan kekuasaan dan ikatan terhadap rakyatnya. 
            Kondisi penghancuran harga diri seperti ini ternyata telah menambah kebencian dan pembangkangan terhadap Belanda baik dari sebagian besar kerabat istana maupun dari tokoh/pemuka masyarakat, dan ini telah pula membesarkan Kampung Luar dan kampung-kampung lain sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
            Walaupun kesulitan dalam keuangan dan dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari kerabat kesultanan dan  rakyat, Sultan Usman mampu membangun kembali Mesjid Agung/Jami’ tahun 1821 yang pernah dirintis oleh ayahdanya Sultan Abdurrahman, dan melanjutkan membangun istana kesultanan beserta tiang bendera kesultanan pada 19 Januari 1845 yang masih dapat ditemui sampai sekarang.    
            Cengkeraman kuku kolonialisme Belanda ke dalam setiap sendi kehidupan kesultanan dan rakyat Pontianak ternyata   merupakan penghalang utama bagi obsesi Sultan Syarif Usman untuk membangun kesultanan Islam yang berwibawa dan sejahtera di Nusantara pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya. Alasan ini merupakan salah satu pertimbangannya untuk mengundurkan diri 5 (lima) tahun lebih awal dari seharusnya. Berdasarkan tata aturan kerajaan seorang raja baru akan diganti setelah ia wafat, Syarif Usman wafat tahun 1860 tetapi ia telah mengundurkan diri  pada bulan April 1855. Lima tahun sisa waktu hidupnya digunakannya bergabung dengan para “pembangkang” untuk melawan Belanda.

 Sultan Syarif Hamid Alqadrie  (1855 -  1872).
            Syarif Hamid Alqadrie, lahir 1802, putera tertua Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie, dari isterinya Syarifah Zahara, menggantikan ayahdanya pada April 1855 sebagai Sultan Qadriah Pontianak Keempat, wafat 22 Agustus 1872.
            Semasa pemerintahannya dan sebagai kelanjutan dari masa kekuasaan ayahdanya, wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda semakin luas, sebaliknya wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak menjadi berkurang, karena pada tahun 1856 Belanda mengadakan kembali perjanjian dengan Sultan Syarif Hamid, perjanjian mana masih tetap sangat merugikan rakyat dan kesultanan. Disamping meluasnya wilayah kekuasaan Kolonial Belanda, ada sesuatu kontradiktif yang tampaknya dibuat oleh Pemerintahan Batavia.
            Residen Borneo Barat, menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850. Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan        memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang).
            Kawasan sebelah barat Sungai Kapuas Kecil yaitu seberang sungai dari Kesultanan ini, yang secara de facto dan de jure dikuasai Belanda, semakin berkembang dan telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan residen Belanda di Kalbar. Taktik Belanda seperti ini, yang dimulainya sejak Pemerintahan Sultan Kasim, dilaksanakan terus dalam rangka memperkecil pengaruh Kesultanan Qadriah Pontianak serta mengucilkan Sultan Hamid.
            Untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagai akibat dari perjanjian yang diterapkan Belanda hanya memberi penggajian kepada sultan, petugas kesultanan dan kerabatnya, Sultan Hamid menerapkan suatu pendekatan “kekeluargaan” terhadap petani kelapa di Sungai Kakap sehingga ia banyak memperoleh keuntungan dari sub sektor ini yang justru dianggap “merugikan” Belanda. Karena itu Belanda mendirikan semacam Persatuan Petani Kelapa diketuai oleh Syarif Abdurrahman untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dengan hukum kolonial Belanda.

Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).    
            Putera tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie dari isterinya Syarifah Fatimah, yang bernama Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 1850 dan wafat 15 Maret 1895 dalam usia 45 tahun, diangkat sebagai Sultan Pontianak Kelima menggantikan ayahdanya beberapa bulan setelah ayahdanya meninggal pada tahun 1872. Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat  kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap pula sebagai penyebar agama Islam. Oleh karena itu, sultan ini sangat terkenal dan dihormati oleh raja-raja di kawasan Kalimantan, Nusantara, bahkan sampai di luar negeri, sebagai kepala negara dari kerajaan Islam yang disegani kawan maupun lawan.
            Seperti kebiasaan Belanda sebelum-sebelumnya, begitu ayahdanya wafat dan ia naik tahta, 22 Agustus 1872, Belanda mengadakan lagi perjanjian baru dengan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie. Perjanjian itu antara lain mengatur bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada kesultanan. Dengan persetujuan pejabat tinggi pemerintahan Belanda (Bestuur Ambenaar) untuk pertama kalinya kesultanan Pontianak diperkenankan memungut pajak di wilayahnya.
            Penyerahan kekuasaan polisi kepada kesultanan didasarkan pada fakta bahwa selama dipegang oleh Belanda, penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Ketika mereka melakukan apa yang disebut sebagai “pelanggaran” hukum, mereka menghilang dan bersembunyi ke hutan atau ke kawasan pedalaman, sehingga hanya fihak kesultanan yang dapat membujuk mereka untuk diadili. Penyerahan pemungutan pajak kepada kesultanan juga didasarkan pada pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda, karena hasil pajak itu tidak dinikmati sendiri oleh kesultanan tetapi dibagi dua dengan Belanda.
            Dimasa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf, banyak pendatang (imigrants) Bugis/Makasar gelombang kedua berdatangan. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pekebun, dan memilih bermukim di kawasan kesultanan, yaitu  Kampung Dalam Bugis, Jungkat, Peniti, Wajok (sekarang termasuk kecamatan Siantan), dan Sungai Kakap serta sepanjang Sungai Jawi (sekarang bagian dari Kabupaten Potianak dan kota Pontianak). Pendatang lain berasal dari Banjar, Serasan, Sampit, Pulau Bangka, Belitung,  Tambelan, Melaka, dan Kamboja sehingga kawasan pemukiman mereka masing-masing dinamai Kampung Banjar, Sampit, Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan dan Kampung Kamboja. Para pendatang dari Banjar  yang sangat terkenal adalah Haji Muhammad Kahfi datang tahun 1846 dan Haji Muhammad Yusuf tahun 1884 yang masing-masing mendirikan Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon (Alqadrie, 1984:80) , karena isterinya adalah seorang wanita Vietnam. 
            Kedatangan mereka sangat menguntungkan kesultanan baik secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik, karena mereka dan keturunan mereka adalah pendukung setia kesultanan, mengindentifikasikan diri sebagai Melayu Pontianak, maupun secara material dan finansil merupakan sumber ekonomi berupa  penghasilan atau pendapatan kesultanan. Mereka, terutama Bugis Makasar, datang ke kawasan kesultanan ini dimotivasi oleh faktor budaya (cultural factor), yaitu siri’ masiri’ (Alqadrie dalam Latif Usman, 2000:146-161), sehingga mereka menjadi petani sangat produktif dan pekebun yang mengusahakan tanam-tanaman tahunan (year-round trees) yang cepat menghasilkan uang (cash crops) sebagai tabungan hari depan.
            Paling kurang tiga hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yusuf Alqadrie. Pertama, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Boemi tahun 1870 yang mengizinkan pemilik modal membuka perkebunan dan mengelola hutan. Sejak saat itu sub sektor perkebunan karet di kawasan kesultanan ini mulai mengalami primadona, dan eksploitasi hutan mulai dilakukan. Modal swasta Belanda mulai berdatangan ke dalam dua sub sektor ini. Alasan utama keluarnya UU tersebut adalah bahwa Belanda memerlukan dana untuk biaya perang Aceh (1873-1907) dan perang Lombok (1894), dan bahwa UU itu merupakan alat kontrol dan penghancur mobilisasi, soliditas dan solidaritas rakyat, terutama sub kelompok etnis Melayu, Dayak, Bugis, Banjar, keturunan Arab, yang dicurigai terpusat di luar kota kesultanan (luar bandar) khususnya di kawasan hutan dan pedesaan, dengan memasukkan penduduk dari Pulau Jawa, Ambon dan Nusa Tenggara Timur. Kedua, Sultan Yusuf semakin kehilangan kekuatan dan kekuasaannya, karena ia tidak memiliki kekuatan maritim, seperti kapal perang dan persenjataan lengkap yang dapat dihandalkan. Padahal secara geopolitik dan geostrategis, pertahanan dan kekuatan Kesultanan Pontianak terletak pada maritimnya yang didukung oleh armada kapal perangnya. Ketiga, pada 10 Agustus 1886 dibuat pula perjanjian perbatasan Kesultanan Pontianak dan kerajaan Landak ditandatangani oleh Sultan Yusuf Alqadrie dan Pangeran Kusuma Dinata, Wakil Panembahan Landak, dengan disaksikan oleh Residen Belanda. Perjanjian itu mengkhiri pertikaian antara kedua kerajaan itu.

  Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944).     
            Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie --  Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf Alqadrie,  lahir 8 Januari 1872, diangkat sebagai Sultan Pontianak Keenam pada tanggal 6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun. Syarif Muhammad merupakan sultan terakhir dari dinasti Alqadrie yang berkuasa dan memimpin pemerintahan pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda. Sultan dari generasi selanjutnya, tidak lebih hanya merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai ketua atau kepala dari istana yang mewakili   kerabat atau keluarga besar untuk kelanjutan dinasti dan budayanya. Bahkan menurut beberapa penulis sejarah (Rahman, 2000:138; Alqadrie, 1979:89) Syarif Muhammad adalah  sultan yang mewarisi sisa-sisa kekuasaan yang “diberikan” Belanda.
            Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Isinya (Rahman, 2000:138) antara lain adalah: (1) Pemerintah Hindia Belanda secara aktif menentukan personalia kesultanan; (2) Belanda memberlakukan Hukum Pidana dan Perdata di lingkungan kesultanan; (3) Seluruh pegawai kesultanan digaji oleh pemerintah Belanda. Dua hal mendasar terkandung di dalam perjanjian yang sangat mengikat ini adalah: pertama, apa yang disebut globalisasi yang berkarakter penundukan dan penciptaan ketergantungan di Indonesia, khususnya di sektor hukum, sebenarnya dimulai di Kesultanan Pontianak pada 1912; kedua,  perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia.
            Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya. Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad  merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini.
            Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya.
            Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Mohammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan -- Belanda dan Jepang ketika Nusantara masih dikuasai masing-masing oleh pemerintahan kolonial Belanda dan oleh pemerintahan bala tentara Fasis Jepang sejak 1942 – yang berdampak negatif yaitu diperketatnya kontrol pemerintah kolonial Belanda terhadap hampir semua kegiatan dan sektor kehidupan rakyat, dan ditangkap dan dibunuhnya 30 orang kerabat kesultanan, para pemuka, pemimpin dan tokoh  masyarakat Pontianak yang semuanya berjumlah sekitar 10.000 ( Yanis, 1983: 170-182; Alqadrie, 1984:65) oleh Militer Fasis Jepang, termasuk Sultan Muhammad serta ayah penulis makalah ini, Syarif Akhmad Alqadrie.
            Sultan Muhammad ditangkap Balatentara Jepang pada malam hari Senin, 24 Januari 1944. Penangkapan pada gelombang berikutnya dilakukan Balatentara Jepang terhadap tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan, dan mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944.  Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan (Rahman, 2000:146,155; Yanis, 1983: 182-183), dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang selamat dari pembantaian Jepang (Rivai, 1995:26).

        Sultan Syarif Thaha Alqadrie (Agustus – Oktober 1945).
            Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad, beserta para kerabat istana, tokoh dan pemuka masyarakat Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, yang dikenal dengan Peristiwa Mandor, ternyata menghancurkan semangat, mental dan moril keluarga besar kesultanan, bahkan masyarakat Pontianak dan Kalbar. Ternyata adalah sangat sulit mencari pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie untuk diangkat sebagai sultan, karena beberapa penulis (Rahman, 2000: 146-153; Yanis, 1983: 172-182, Rivai, 1995: 24-27, Alqadrie, 1984:64) memperhitungkan sejumah 30 orang kerabat istana yang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan sekitar 24 orang terdiri dari sultan atau panembahan, tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan Kalbar, dan Pontianak khususnya, dari berbagai anggota kelompok etnis, termasuk Cina keturunan, juga menjadi korban keganasan Balatentara Fasis Jepang.
            Rapat di istana Qadriah tanggal 29 Agustus 1945 untuk mencari pegganti Sultan Syarif Muhammad yang dihadiri oleh Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai), wakil dari pemerintah balatentara Jepang, para tokoh/pemuka masyarakat, cendekiawan Pontianak, dan kerabat istana yang luput dari pembunuhan, akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Muhammad dari puteri keduanya bernama Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendara,  dilantik sebagai Sultan Qadriah Pontianak Ketujuh.
            Sebenarnya pengganti Sultan Syarif Muhammad, berdasarkan tata krama tradisional kerajaan, seharusnya adalah salah seorang dari 5 (lima) puteranya, tetapi 4 (empat) puteranya, menurut catatan Ansar Rahman (2000:154,173) dan Mawardi Rivai (1995:25-26) juga menjadi korban keganasan Jepang.
            Seorang puteranya yang masih hidup, bernama Syarif Hamid Alqadrie -- perwira KNIL -- sedang berada dalam tahanan Jepang di Batavia.  Pengangkatan Syarif Thaha sebagai sultan disetujui oleh sebagian kerabat istana termasuk Syarifah Maryam -- bibi atau kakak/embakyu bundanya -- puteri tertua dari Sultan Muhammad, oleh para pemimpin, tokoh pergerakan, sebagian masyarakat dan pemukanya, serta wakil pemerintaha Jepang yang masih berada di Pontianak.
            Berbeda dengan kakekdanya, Sultan Syarif Muhammad yang masa kekuasaannya merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha, sangat pendek, hanya sekitar 3 (tiga) bulan. Dalam masa pemerintahanya, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak. Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah: (1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu  untuk melucuti tentara Jepang; (2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan; (3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak.
            Berbeda dengan masyarakat keturunan Arab yang banyak berbaur dengan masyarakat setempat, mengikuti organisasi pergerakan dan berorientasi pada kepentingan dan identitas penduduk mayoritas, sebagian besar anggota komunitas keturunan Cina tampaknya memiliki jarak dengan masyarakat setempat. Padahal, pada pola pembauran ala Filipina, mereka membaur dan masuk ke dalam kehidupan budaya mayoritas penduduk setempat yang beragama Katolik. Di Indonesia pada umumnya, di Kalbar dan di Pontianak lebih khusus lagi, kalaulah mereka bersedia masuk ke dalam agama yang dianut oleh penduduk mayoritas -- saudaranya kelompok etnis Melayu, Bugis dan Banjar, maka pembentukan PKO yang merisaukan saudaranya tidak perlu terjadi.
            Jarak antara mereka -- anggota kelompok etnis keturunan Cina dan penduduk setempat -- tidak dengan sendirinya berarti tidak ada komunikasi dan interaksi antara mereka. Batas-batas budaya (atau eksklusivitas = tambahan penulis), menurut pengamatan Baarth (1996:…..), dapat terjadi, walaupun anggota kelompok etnis saling berbaur, perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh terjadi tidaknya pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan atau penyatuan. Anggota kelompok etnis keturunan Cina di Pontianak pada saat kekosongan kekuasaan yaitu tidak adanya/ tidak jelasnya siapa pengganti Sultan Muhammad tampaknya merasa tidak aman. Selama pemerintahan dinasti Al-Qadrie mereka merasa aman dan terlindungi. Selain itu,  mereka juga memiliki loyalitas cukup tinggi baik kepada kesultanan maupun kepada NKRI yang segera akan terbentuk. Ini terbukti bahwa pada Peristiwa Mandor tidak sedikit tokoh dan pemuka masyarakat keturunan ini ikut menjadi korban keganasan balatentara Jepang (Yanis, 1983: 172-182, 219-221; Rivai, 1995: 24-27).
            Masuknya pasukan Dayak ke Pontianak untuk menuntut diangkatnya Sultan Pontianak menunjukkan paling tidak tiga hal: (1) Sejak lama anggota kelompok etnis Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub kelompok (anak suku) memiliki tanggung jawab dan komitmen yang besar terhadap jalannya pemerintahan dan kemajuan daerah ini. Mahrus Effendy (1998:123) mencatat bahwa kedatangan pasukan Dayak ini menunjukkan kesetiaan mereka terhadap kesultanan; (2) Adanya integrasi, pembauran yang kuat antara berbagai kelompok etnis, terutama keturunan dan keluarga besar kesultanan dengan anggota kelompok etnis Dayak; (3) Adanya perasaan satu keluarga, satu ibu, antara kelompok etnis Dayak dan Melayu. Perasaan bersaudara itu tidak akan pecah oleh intervensi politik praktis.
            Kedatangan tentara Australia atas nama sekutu dibawah Kolonel Cotton bersama pasukan Belanda untuk melucuti tentara Jepang menambah suasana Pontianak menjadi kacau, karena mereka dating ke Pontianak ternyata ingin mengembalikan kekuasaan Belanda. Mereka menaikkan bendera Belanda di Kantor Residen. Keinginanan ini ditantang oleh Pemuda Perjuangan Republik Indonesia (PPRI) dan Rakyat dengan berdemonstrasi diberbagai tempat. Kondisi serba kacau ini menyulitkan Residen Asikin Noor dan Syarif Thaha memimpin Pontianak. 
            Gubernur Jenderal Belanda mengangkat Dr. Van der Zwaal tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Residen Kalbar, sedangkan Asikin Noor dikembalikan ke Banjarmasin. Ia juga mendatangkan Sultan Syarif Hamid II yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang ke Pontianak untuk menjabat sebagai Sultan Pontianak. Dengan pertimbangan masih sangat muda dan Sultan Hamid II adalah pamannya sendiri, Sultan Syarif Thaha menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri (Alqadrie, 1979: 55; 1984:64) kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak.

  Sultan Syarif Hamid II Alqadrie atau Sultan Hamid II  (1945 – 1950).
              Syarif Hamid bin Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 12 Juli 1913, adalah putera sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie dari isteri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani. Ia mendapat pendidikan yang sangat baik tidak hanya dalam pendidikan formal di dalam negeri di Pontianak dan kebanyakan di jawa dan di luar negeri,  tetapi juga informal, berupa sekolah agama Islam, dan non formal, berupa pengasuhan dari keluarga wanita Inggeris. Pada tahun 1933 Syarif Hamid memasuki Akademi Militer Belanda (Koningkelijk Militair Academie/KMA), Breda. Begitu lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua, dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa (Rahman, 2000: 172).
            Begitu Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie ditahan di penjara Batavia, dan baru dibebaskan ketika Jepang menyerah dan tentara sekutu memasuki Indonesia pada permulaan 1945. Ia diaktifkan kembali sebagai perwira KNIL dengan pangkat Kolonel, suatu pangkat tertinggi pada saat itu yang diberikan kepada putera Indonesia kelahiran Pontianak.
            Sekeluar dari penjara, ia langsung kembali ke Pontianak, karena keprihatinannya dengan kondisi Kesultanan Pontianak dan Kalbar yang kacau balau pada saat itu. Syarif Hamid dilantik sebagai Sultan Pontianak Kedelapan yang dikenal dengan Sultan Hamid II, pada 29 Oktober 1945. Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampil sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong.
            Ia meninggalkan jabatan baik sebagai sultan terakhir dari dinasti Alqadrie maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalbar (D.I. KB) pada 5 Januari 1950.  Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaannya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung RI menuntut dibubarkannya D.I. KB. Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan masyarakat tentang status D.I. KB. Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS. Sultan Hamid II wafat di Jakarta tanggal 30 Maret 1978.      

 C.Pola Tingkah Laku Politik Lokal dan Politik Nasional Kaitannya dengan Kesultanan Pontianak.          
            Sangat tidak beruntung, kelahiran kesultanan Qadriah Pontianak tahun 1772 bersamaan pula dengan telah berpijak dan bercokol sangat kuatnya kolonialisme dan imperialisme Barat, sehingga kehidupan dan perkembangan kesultanan ini ditekan dan diarahkan bagi kepentingan imperialisme tersebut. Ini berarti bahwa hubungan, Kesultanan Pontianak dan Sultan serta para kerabat istana dan rakyatnya, disatu fihak, dengan pemerintah kolonialisme Belanda bersama pejabatnya, dilain fihak, menunjukkan hubungan imperialistis, tidak seimbang dan eksploitatif.
            Menghadapi ini, hampir semua sultan dan para pembantunya tampaknya “menerima” perlakuan tidak adil ini “tanpa” banyak reaksi dan oposisi, sehingga ada kesan Kesultanan Pontianak bersekutu dengan bahkan mendukung pemerintahan penjajahan Belanda. Padahal “penerimaan” dan “ketundukan” itu lebih bersifat sementara dan merupakan strategi untuk menghindari konflik militer langsung antara kedua fihak yang berakibat kehancuran lebih buruk lagi. 
            Hal ini menimbulkan 2 (dua) sikap dasar yang membentuk 2 (dua) kelompok berbeda di kalangan kerabat istana dan rakyat: Kelompok pertama menunjukkan sikap penentangan keras terhadap pemerintahan Belanda, sultan dan pembantunya yang berkuasa saat itu. Kelompok kedua lebih kompromistis terhadap Belanda dan sultan, atas perjanjian memberatkan rakyat dan menghinakan kesultanan. Para sultan tidak mempunyai pilihan lain, karena kesultanan tidak memiliki persenjataan sekuat dan secanggi yang Belanda miliki untuk melawannya.
            Kelompok pertama bergabung dan membentuk pemukiman sendiri yang sampai sekarang disebut Kampung Luar sebagai simbolisasi dari “ke luar dari lingkungan istana” untuk menentang kebijakan tidak adil, atau mencari pemukiman lain di luar kedua tempat itu – lingkungan istana atau Kampung Dalam dan Kampung Luar, baik di kawasan yang sekarang disebut Kota Pontianak dan sekitarnya, biasanya di kawasan Barat dan Selatan, maupun di luar kawasan kesultanan Pontianak yang sekarang di Kawasan Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak dan kabupaten-kabupaten perhuluan (the interior upland areas).
            Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Sultan Syarif Usman, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum ia wafat sebagai protes terhadap Belanda. Pangeran Bendahara Syarif Ja’far -- paman Sultan Syarif Muhammad -- melancarkan protes dan penolakan terhadap penetapan pajak (belasting) yang tidak adil dan terlalu memberatkan rakyat, ia diusir Belanda dari Pontianak dan memutuskan untuk merantau ke Mekah dan meninggal di sana.
            Pangeran Adipati Syarif Husin -- paman Sultan Muhammad -- menunjukkan penentangannya baik terhadap ponakannya sendiri, yang dianggap tidak bersikap kritis terhadap Belanda dan memasukkan cara-cara dan etika Barat ke dalam istana,  maupun terhadap Belanda yang menetapkan kerja rodi dan pajak yang menekan rakyat. Ia aktif dalam pergerakan nasional, bertemu dengan dr. Susilo di Banjarmasin untuk menyusun strategi menentang Belanda dan Jepang, mengorganisir perlawanan dari Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, sehingga luput dari penangkapan Belanda dan Jepang. Ia tidak menjadi korban keganasan Jepang sebagaimana diduga oleh Ansar Rahman, dkk. (2000:146).            Syarif Maswar Al-Hinduan sangat antipati kepada Belanda dan bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) kemudian PNI/PDI.  Banyak lagi kerabat kesultanan sebagai “pemberotak” terhadap Belanda, Sultan Kasim dan Sultan Muhammad, meninggalkan istana dan kawasan kesultanan. Keturunan mereka tersebar di seluruh Kalbar dan kawasan Nusantara dan menjadi orang-orang kritis, berwawasan Nusantara dan mencapai kemajuan dalam sektor pendidikan dan ekonomi.
            Kurang lancarnya interaksi sosial antara Sultan Abdurrahman dengan puteranya Syarif Kasim antara lain disebabkan  Sultan Abdurrahman dengan usul dari Belanda mengangkat  Syarif Kasim sebagai Sultan di Mempawah dan tidak mengijinkannya menjadi sultan di Pontianak. Hal ini didasari oleh tiga hal: (1) Ketika ayah mertuanya – Opu Daeng Menambon – wafat, calon penggantinya -- Adi Wijaya -- masih kecil, pengganti sementara yang tepat adalah Syarif Kasim; (2) Pada saat itu, Sultan Abdurraman ditekan oleh  Belanda untuk menguasai Mempawah. Gabungan pasukan Kesultanan Pontianak dan Belanda dengan dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Selpitsin, dapat menguasai Mempawah tanpa peperangan berarti, karena Panembahan Adijaya Kesuma Negara mengungsi ke Karangan (Rahman, 2000:109; Haji Yahya, 1999:228).
            Mempawah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pontianak sampai tahun 1854; (3) Persetujuan Sultan Abdurrahman mengangkat putera-puteranya Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah dan Syarif Usman sebagai Sultan Pontianak berdasarkan konsep putera daerah. Ibu Syarif Kasim adalah Utin Candramidi, keturunan Dayak Mempawah puteri Sultan Daeng Manambon.  Adapun ibu Syarif Usman adalah Ratu Kusumasari, keturunan Dayak Pontianak. Konsep ini ditambah dengan konsep arsitektur yang, menurut pemikiran Dian Alqadrie (2004), dilandasi oleh factor geografis -- letak Mempawah adalah di kawasan air/laut, sedangkan letak Pontianak adalah darat/hutan -- sehingga Syarif Kasim seharusnya mengabdi di Mempawah dan Syarif Usman seyogyanya berkuasa di Pontianak.
            Syarif Kasim yang menjadi Sultan di Mempawah tidak diijinkan oleh Sultan Abdurrahman baik untuk datang  ke Pontianak maupun untuk meggantikan kedudukannya sebagai  sultan Pontianak setelah ia wafat. Menurut versi Belanda (Vert Ofert,  dalam Rahman, 2000: 110) kekecewaan Sultan Abdurrahman kepada puteranya itu disebabkan ia telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, Nakhoda kapal Cina dan berhutang sebesar 30.000 peso Spanyol. Akan tetapi kenyataannya kekecewaan itu disebabkan Syarif Kasim melaksanakan perjanjian dengan Belanda berkaitan dengan Mempawah. Ini merupakan politik pecah belah Belanda (devide et impera politics). Namun, Syarif Kasim akhirnya diangkat juga sebagai Sultan Pontianak Kedua dengan persetujuan dari Adiknya, Syarif Usman,  yang bersedia menjadi Pangeran Ratu setelah Syarif Kasim berjanji hanya memerintah 10 tahun saja. Ia meninggalkan Mempawah dan diganti oleh adiknya Syarif  Hussein, putera Sultan Abdurrahman (Haji Yahaya, 1999:228) sampai pangeran Adi Jaya dewasa dan siap untuk menjadi Sultan di Mempawah.
            Keputusan Sultan Kasim dan Sultan Hussein mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya, merupakan salah satu kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan antara kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadi Belanda. Ini juga merupakan realisasi dari Konsep Putera Daerah yang telah lama dijadikan prinsip dalam pengangkatan seorang pemimpin. Sekarang konsep tersebut telah dikembang oleh Syarif Ibrahim Alqadrie (2000) untuk mengatasi ego local/regional (provincialism/ethnocentrism).   Selain itu, Kesultanan Mempawah adalah cikal bakal dari Kesultanan Pontianak yang harus diakui kebeeradaannya.
             Ada kesan bahwa Sultan Syarif Kasim tidak menepati janji karena ia baru menyerahkan kekuasaannya setelah 11 tahun kepada Syarif Usman, dan bukan 10 tahun sesuai dengan janjinya. Keterlambatannya setahun kenyataannya digunakannya untuk menghadapi masa transisi antara masa kekuasaan Inggeris pada 1811 – 1816 ke masa kekuasaan Belanda, agar adiknya, Syarif Usman, yang belum begitu dewasa tidak banyak mengalami kesulitan dalam menjalankan kekuasaan. Berdasarkan sumber British Library (Dalam Rahman, 2000:111 dan Alqadrie, 1984:76) Sultan Syarif Kasim memiliki hubungan erat dengan Inggeris di bawah Gubernur Jenderal Thomas S. Raffles, bahkan juga dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika ia mendapat pengakuan dari Batavia setelah Inggeris menyerahkan kembali Indonesia (Hindia Belanda = dahulu) kepada Belanda.
            Pola politik nasional yang berkaitan dengan Kesultanan Pontianak, khususnya bersinggungan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi mengenai persepsi hubungan Sultan Hamid II dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan dengan Belanda.
            Karena keprihatinannya terhadap kondisi Kalbar Syarif Hamid  kembali ke Pontianak. Kesempatan itu digunakannya untuk menggantikan ponakannya, Syarif Thaha Alqadrie, menjadi Sultan Pontianak, melanjutkan obsesi leluhurnya untuk membangun Kalbar umumnya dan Pontianak khususnya. Namun, seperti disinyalir oleh beberapa penulis (Iskandar, 1991:65); Rahman, 2000: 173-175) bahwa Syarif Hamid -- seorang tokoh yang memahami Kalbar -- didukung untuk berkuasa di Pontianak oleh Van Mook yang memanfaatkannya untuk memecah belah Indonesia,  lalu “berkomplot” dengan Belanda untuk “menghancurkan” Republik Indonesia,  adalah kurang tepat dan tidak beralasan sama sekali.
            Obsesinya yang sebenarnya, menurut Persaja (1955:163-164) adalah bahwa kedatangan dan dilantiknya Sultan Hamid II sebagai sultan Pontianak Kedelapan merupakan kehendak rakyat dan setelah langsung berhubungan dengan rakyat, ia, sebagai kepala swapraja, menjadi lebih mengetahui bahwa cita-cita kemerdekaan telah meresap di hati sanubari rakyatnya. “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa (dan menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya rakyat di daerah ini = tambahan penulis),” lanjut Prasaja (1955:164), “timbullah keyakinan saya,” bahwa ‘bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita’ ……..”
            Inilah wacana pemikiran politik Sultan Hamid II yang berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi/negara serikat. Pemikiran politik seperti ini seharusnya dihargai kalau bangsa ini ingin menjadi bangsa yang yang dimulai dengan gagasan dan ide-ide besar. Sekarang ide besarnya itu baru dapat ditangkap rakyat Kalbar, dan bahwa kesenjangan, ketertinggalan daerah dari Pusat dan Jawa, dan kekecewaan daerah disebabkan justru bangsa ini terlalu takut dengan sistem pemerintahan seperti Malaysia – yang lebih mampu memakmurkan rakyatnya, dan sistem yang lebih mengandung keadilan adalah sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.   
            Kekeliruan Sultan Hamid II boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walaupun masih dalam wacana, ternyata baru bisa digulirkan -- itupun masih belum terlalu aman – di negeri Pancasilais ini, setelah era reformasi, tahun 1998 (setelah 52 tahun). Wacana ini digulirkannya ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma -- diperbudak bangsa lain -- selama lebih kurang 350 tahun, dan bahkan pada saat “hantu-hantu” penjajahan seperti Van Mook, Van der Zwaal, bergentayangan menciptakan negara-negara bagian, dan pengkhianat-pengkhianat Indonesia, termasuk di Kalbar, bersedia memperoleh upah dari Jepang dan Belanda untuk tega mengorbankan saudaranya. Kita bisa membayangkan apa yang akan diterima Sultan Hamid II dengan mengeluarkan gagasan besar seperti itu.
            Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada: (1) kekuasaannya sebagai Sultan di Pontianak didukung oleh Belanda; (2) ia aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negera-negara bagian lainnya di Indonesia -- sehingga ia sering dicurigai sebagai penghianat; (3) ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalbar, Republik Indonesia (RI) atas nama Sukarno - Hatta, maupun Badan Penyelesaian Pertentangan Politik Antara Belanda, Negara Bagian dan R.I. (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO) yang Syarif Hamid sendiri adalah ketuanya; dan (4) kekurang pengertian dan wawasan sebagian tokoh masyarakat dan pemuda di Kalbar dan di Pontianak terhadap tujuan gagasan politiknya, sehingga sebagian mereka menolak dan menentangnya. Padahal ide politiknya tidak lain adalah prediksinya tentang bahaya sentralisme yang mengandung unsur ketidakadilan, keserakahan dan marginalisasi Pusat terhadap daerah. Hal terakhir ini merupakan kekecewaan pertamanya terhadap Pusat dan daerahnya sendiri.
            Sebenarnya Pemerintah Pusat dapat melihat peranan Sultan Hamid II dengan BFOnya saat itu. Beberapa kali Sukarno - Hatta mengadakan perundingan dan pendekatan dengan Badan BFO, pertama di Bangka 28 Mei 1948, kemudian di Yogyakarta 19 Juli, dan dilanjutkan di Jakarta, 23 Juli 1948 (Rahman, 2000:175-178), untuk bersepakat sebelum RI, negara-negara bagian dan BFO -- dimana Sultan Hamid II menjadi ketua delegasi -- menghadapi Konferensi Meja Bundar di Belanda. Bahkan Presiden Sukarno dan Wakilnya Hatta memanfaatkan BFO dan merangkul Sultan Hamid II ke meja perundingan bersama-sama Belanda.
            Ini adalah strategi Sukarno - Hatta untuk menyatukan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada ahirnya, tahun 1950 negara-negara bagian, termasuk Kalbar, membubarkan diri, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peranan Sultan Hamid II dan BFOnya cukup besar, karena dalam menyelesaikan perselisihan politik antara R.I., Belanda dan negara-negara bagian, ia berpengaruh terhadap sejumlah pemimpin Belanda dan kepala negara-negara bagian dan cenderung berada di fihak R.I.
            Tidak lama menjadi Sultan, pangkat Sultan Hamid dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, ia juga mendapat jabatan kehormatan sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij H.M. Koningen der Nederlander). Ini merupakan pangkat dan jabatan tertinggi yang diperoleh seorang putera Indonesia dalam usia 33 tahun dalam Pemerintahan Belanda. Namun, peranannya sebagai ketua BFO, juru runding yang berfihak pada R.I., reputasi dalam ketentaraan serta keberhasilannya dalam mengamankan Kalbar, tidak menjadi pertimbangan pemerintah R.I. saat itu untuk memberinya jabatan sesuai dengan kemampuannya.
            Sultan Hamid II hanya diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio (bukan Menteri Departemen), walaupun ia menjadi anggota penyusun Kabinet bersama Muhammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX dan Anak Agung Gede Agung. Inilah kekecewaannya yang kedua. Ia mengakui, menurut Persaja (1955:179), sebagai Menteri Negara, ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana lambang negara (Garuda Pancasila), tidak ada tugas lain sampai ia ditangkap.
            Kekecewaan Sultan Hamid II lainnya adalah: (1)  Realisasi bentuk negara RIS tidak seperti diharapkan oleh BFO dalam mana organisasi ini tidak menduduki posisi penting dalam Kabinet RIS; (2) Ia kecewa tidak berhasil menduduki jabatan Menteri Pertahanan, padahal reputasi dan karir kemiliterannya terpenuhi. Ada keberatan dari fihak R.I., namun, ia dapat memahami dan menerima keberatan itu; (3) Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI dalam APRIS; (4) Terakhir adalah kekecewaannya menghadapi unjukrasa sebagian tokoh, pemuka masyarakat dan pemuda  yang menuntut pembubaran Daerah Istimewa Kalbar, penunjukan dr. Sudarso oleh komite Nasional Kalbar sebagai Kepala Daerah Kalbar, karena Sultan Hamid II dianggap telah meletakkan jabatan sebagai kepala daerah. 
            Itulah salah satu alasan mengapa Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai kepala daerah sekaligus sebagai Sultan Pontianak, disamping ia dihukum penjara 10 tahun. Ia harus membayar mahal atas ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran atau wawasan antara dia dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri, sehingga setelah 48 tahun menjelang era reformasi mereka baru menyadari faktor utama ketertinggalan, keterpinggirkan dan kemiskinan daerah ini dalam segala bidang yang kesemuanya telah dari dulu telah diantisipasi. 
Jadi Sultan Hamid II dihukum karena rencana pernyerbuan pada Rapat Dewan Menteri, walaupun sampai pukul  19.00 malam rencana itu tidak terjadi, karena dalam sidang itu yang dipakai adalah Kitab undang-Undang Hukum Pidana buatan Belanda, maka niatpun sudah  bisa di hukum, sedangkan dalam hukum Islam jika niat tidak diwujudkan dalam perbuatan maka ia akan mendapat pahala. Dari uraian pembelaan itu kita mendapat pelajaran sejarah bahwa Sultan Hamid II dihukum karena dengan“kejujurannya sendiri”sebagai manusia khilap akan membunuh tiga Menteri”dalam rapat dewan menteri tetapi sampai Rapat Dewan Menteri itu berakhir jam 19.00  tidak pernah terjadi perbuatan yang direncanakan, karena Sultan Hamid II setelah itu menyadari, bahwa perbuatan itu khilap sebagai manusia dikarenakan tekanan psikologis politik yang menerpa dirinya, maka lebih tepat Sultan Hamid II dihukum karena keterseokan politik, tetapi adilkah itu jika dibandingkan dengan peristiwa 3 Juli 1946 yang mana M Yamin bersama kabinet melakukan kudeta terang-terangan kepada RI dan dijatuhi hukum empat tahun, sedang Sultan Hamid II peristiwanya belum terjadi, apakah karena ia seorang Federalisme sejati, pada sisi lain bangsa ini harus ingat pada fakta sejarah, bahwa perjuangan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 adalah sumbangsih perjuangan diplomatik Sultan Hamid II di KMB Denhaag Belanda, andaikan Sultan Hamid II bersikukuh tak mau bergabung dengan RI Yogya dalam RIS apakah pengakuan kedaulatan itu terjadi.
Hal itulah yang dicatat pada pembelaan pengacaranya pada Pembelaan pada sidang MA 25  Maret 1953 yang menyatakan :  “Sebagai telah diuraikan sendiri oleh terdakwa dalam pembelaan tadi, ia dari permulaan ada B.F.O turut serta secara aktif dalam perjuangan mencapai kemerdekaan 100 % bagi nusa dan bangsa. (Persaja, Peristiwa Sultan Hamid II. 1955, halaman 217-218).
Negara-negara bagian yang diciptakan fihak Belanda dengan maksud untuk digunakan sebagai “tegenwicht’ dan untuk melemahkan Republik Yoyga”di dalam gabungan B.F.O dibawah pimpinan terdakwa sebagai ketuanya, ternyata tidak merupakan lawan, akan tetapi menjadi kawan republik.
 Pada akhirnya yang berhadapan satu dengan yang lainnya aialah Republkik Yogya (RI) dan BFO disatu pihak dan Belanda dilapin pihak, sedang menurut rencana Belanda dengan pembentukan negara-negara bagian semestinya Republik Yogya disatu pihak dan Belanda dan negara-negara bagian dilain pihak.
   Keadaan itu tidak sedikit memperkuat perjuangan kita terhadap dunia internasional, Sebab dengan demikian persatuan yang kokoh kuat dari bangsa Indonesia Kedua sayap, Republik Yogya dan B.F,O maju bersama-sama.
    Dengan penuh loyalitet dan kesangguhan hati terdakwa turut serta melaksanakan konferensi Antar Indonesia, yang mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Dengan tidak kurangnya loyalitas kepada nusa dan bangsa terdakwa telah turut serta dalam K.M.b untuk mencapai hasil maksimum dari konferensi itu. Mengingat segala sesuatu terurai di atas sudah selayaknya apabila terdakwa paling sedikit mengharap dari semua pihak pelaksanaan hasil-hasil pembicaraan Antar Indonesia dan K.M.B dengan secara jujur dan loyal. Sebagai hasil konferensi Antar Indonesia dan K.M.B Negara Indonesia buat sementara dibentuk Negara Federal. Satu dan lainnya ditetapakan (vastgelegd) didalam U.U.D. Sementara RIS yang telah disetujui oleh Repubkik dan B.F.O dan yang kemudian diratifikasi oleh Parlemeb dari masing-masing Negara Bagian. Sampai diadakannya pemilihan umum berdirina dan hidupnya Negara-negara Bagian dijamin oleh U.U.D. Sementara tadi sebagai “overtuigd federalis” dan sebagai kepala salah satu Negara Bagian (satuan kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) mempunyai hasrat untuk melaksanakan U.U.D. Sementara itu dengan sebaik-baiknya dan mengharap demikian pula dari Negara Bagian  yang lain-lainnya.Akan tetapi apakah yang ia lihat dan alami, segera sesudah penyerahan kedaulatan ?
Aliran yang menghendaki Negara Kesatuan dengan segera memulai dengan aksi-askinya untuk menghapus Negara-Negara Bagian.  
 Dengan jalan subversif atau dengan terang-terangan Pemerintah dari Negara-Negara bagian disaboteer dalam pekerjaannya. Disampingnya instansi-intansi Pemerintah Negara Bagian disana sini tetap dipertahankan “shaduw bestuur” yang diwaktu gerilya dibentuk oleh Republik Yogya sebagai alat perjuangan untuk menghadapi Belanda. Dan aliran ini merasa kuat untuk berbuat demikian dengan keyakinan, bahwa alat kekuatan Negara tak akan menghalangi-halangi perbuatan mereka itu. U.U.D sementara R.I.S dianggap sepi belaak oleh mereka.
             Berdasarkan pembelaan itulah maka M.A telah menimbang hal yang mengentengkan kesalahan terdakwa adalah sebagai berikut: (Persaja, Peristiwa Sultan Hamid II. 1955, halaman 234)
a.       Pengakuan terdakwa atas  sebagian kesalahannya, yang menyebabkan pemeriksaan perkara didalam sidang pengadilan berjalan lancar.
b.      Terdakwa kelihatan sangat menyesal atas perbuatan yang ia akui itu
c.       Terdakwa berusaha mencapai suatu cita-cita, yaitu federalisme dalam ketatanegaraan Indonesia.
d.      Pada akhirnya sama sekali belum ada korban yang nyata dari tindakan terdakwa
e.       Dapatlah dimengerti, bahwa terdakwa adalah sangat kecewa dalam hatinya akan kedudukannya yang sangat kurang penting dalam Pemerintahan R.I.S, yaitu hanya sebagai Menteri Negara, yang sama sekali tidak bertugas penting.
           Sedangkan  hal yang memberatkan terdakwa adalah :
a.        Percobaan pemberontakan ini dilakukan pada waktu Negara Indonesia Negara Indonesia masih  dalam keadaan bahaya.
b.      Terdakwa sendiri pada waktu itu adalah Menteri Negara jadi sebagian dari Pemerintah
c.       Terdakwa harus tahu, bahwa Negara Indonesia sebagai Negara muda masih belum kuat kedudukannya, maka ia harus tahu, bahwa tindakannbya adalah betul-betul membahayakab negara.
d.      Kenyataan, bahwa terdakwa mempergunakan seorang Asing Westerling, yang sekiranya tidak suka pada kemerdekaan Negara Indonesia dan maka dari itu tentunya btak segan untuk melenyapkan kemerdekaan itu.
e.       Sifat perseorangan yang terselip dalam maksud terdakwa yaitu untuk sendiri, menjadi Menteri Pertahanan.
Berdasarkan hal- hal di atas tidak satupun klasula Mahkamah Agung yang mengkaitkan Sultan Hamid II dengan pemberontakan Westerling yaitu penyerbuan di Bandung 23 Januari 1950 dan bahkan Mahkamah Agung menyatakan secara tegas “maka dengan ini terdakwa tidaklah dapat dipertanggungjawabkan atas penyerbuan Bandung dan ia harus dibebaskan dari tuduhan Primair
Fakta sejarah hukum itu dibuktikan dengan Putusan Mahkamah Agung menyatakan: “Menyatakan, bahwa terhadap terdakwa Syarif  Hamid Alqadrie pemeriksaan dimuka sidang pengadilan tidak memperoleh bukti yang sah dan meyakin tentang kesalahannya atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya dalam bagian “primair”dari surat tuntutan. Membebaskan terdakwa dari tuduhan tersebut.”
Mempersalahkan terdakwa melakukan kejahatan: “Dengan maksud untuk mempersiapkan kejahatan pemberontakan, mencoba menggerakan orang lain untuk melakukan kejahatan pemberontakan itu , dilakukan dalam keadaan perang”
Menghukum terdakwa oleh karenanya menjalani hukum penjara SEPULUH TAHUN
Jadi Sultan Hamid II berdasarkan putusan Mahkamah Agung 8 April 1953 dihukum karena kesalahan atas pengakuannya sendiri menyerang Rapat Dewan Menteri RIS tetapi sampai Rapat Dewan Menteri itu berakhir tidak terjadi maksud tersebut, hanya karena niat dalam hukum tinggalan Belanda dapat dihukum, maka dijatuhi hukum atas percobaan kejahatan dan oleh Sultan Hamid II sudah menjalankan hukuman itu, tetapi apakah bangsa ini masih mau menghukum Sultan Hamid II dengan“mengarang buku sejarah bahwa Sultan Hamid II terlibat Pemberontakan Westerling Di Bandung untuk generasi penerus dalam buku sejarah disekolah-sekolah, sedangkan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut telah membebaskan tuduhan tersebut.
Fakta sejarah telah membuktikan, bahwa terhadap niat Sultan Hamid II menyerang Dewan Menteri RIS 1950 Dalam Rapat tersebutpun  tidak terwujud sampai dengan rapat itu berakhir, bandingkan dengan peristiwa 3 Juli 1946 Muhammad Yamin bersama kabinet melakukan terang-terangan KUDETA atas RI hanya dihukum 4 tahun, adilkah itu bukankah ada diskriminasi dalam penegakan hukum, yang lebih inkontitusional lagi adalah Sultan Hamid II disidang dibawah UUDS 1950 pada tahun 1953 sedangkan ia tidak lagi menjabat Menteri Negara RIS dibawah Konstitusi RIS, sedangkan peristiwa terjadi tahun 1950 dan yang lebih fatal lagi hukum diberlakukan dengan prinsip berlaku surut, jelas dibalik ini ada faktor politik, apakah karena Sultan Hamid II sang federalis sejati, apakah tak ada sumbangsih kepada bangsa ini, bukankah perjuangan diplomatik di KMB Sultan Hamid II selaku ketua BFO berperan besar, jika beliau tidak setuju dengan RI 17 Agustus 1945 apakah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 terjadi yang mana didalamnya ada negara RI 17 Agustus 1945 itulah yang dimaksudkan Sultan Hamid II, Bahwa BFO hanya“Studi faktor”untuk memperlancar pengakuan kedaulatan, jika Sultan Hamid II mau memberontak memisahkan dari RI 17 Agustus 1945 bisa saja karena beliau ketua Van Borneo, Ketua B.FO dan Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat yang tidak ikut perjanjian Renville  dan Linggarjati dan merupakan satuan kenegaraan (lihat pasal 2 Konstitusi RIS) tetapi DIKB secara yuridis tetap bergabung dengan RI 17 Agustus 1945 yang sementara beribukota di Yogyakarta yaitu RIS, bahkan selaku Menteri Negara Sultan Hamid II yang telah membuat Lambang Negara yang seperti sekarang ini yang ditetapkan sebagai Lambang Negara RIS 11 Februari 1950 sebagai dinyatakan secara tegas oleh Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta menjawabn halaman 108 dan 112 dan buku Revolusi Indonesia 1945-1950 terbitan Kementerian Penerangan dan Prof Dr Pringgodigdo dalam buku“Garuda Pancasila”yang kemudian gambarnya penyempurnaan terakhirnya menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) dan UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50)   yang bentuk seperti sekarang ini, tetapi mengapa bangsa Indonesia tak menghargai jasa-jasanya.
Bangsa ini sering menghilangkan fakta sejarah, karena sejarah dibuat oleh Penguasa yang tidak memiliki kesadaran sejarah dan akhirnya bangsa ini terlindas dengan sejarah yang dibuatnya sendiri seperti sekarang ini, jika kita menginginkan seorang anak bangsa yang tak berbuat salah, maka kita tidak mendapatkan“pahlawan” apalagi jika makna “pahlawan” hanya diartikan bagi mereka yang melawan penjajah secara fisik melalui senjata, sedangkan perjuangan diplomatik tak pernah menjadi catatan perjuangan anak bangsa sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Hamid II di KMB dalam perjuangan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang dokumennya sudah terungkap saat ini, silahkan para pembaca download dari Google “dokumen KMB” atau vedio KMB. Siapakah yang tertarik menulis Peranan Sultan Hanid II dalam kenegaran RI, bahkan mengungkap sejarah Darerah Istimewa Kalimantan Barat kami punya fakta otentik dari Arsip dari Negeri Belanda, bahwa Kalimantan Barat bukanlah negara bagian tetapi satuan kenegaraan yang resmi terdaftar di PBB, tetapi karena rasa nasionalisme Sultan Hamid II DIKB  (Daerah Istimewa Kalimantan-Barat) bergabung dengan RI Yogyakarta atau RIS setelah sidang KMB 1949, mengapa Pemerintah Indonesia sulit sekali untuk meluruskan sejarah ini sedangkan bangsa ini sudah bertekad NKRI adalah harga mati! Begitu sulitkah “lidah para pemimpin menyatakan, bahwa Sultan Hamid II berperanan penting dalam pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 dan menyatakan bahwa yang membuat lambang negara yang bentuk gambarnya seperti sekarang ini adalah anak bangsa, yaitu Sultan Hamid II yang ditetapkan sebagai lambang negara 11 Februari 1950, seperti dinyatakann secaravtegas oleh Mohammad Hatta ataukah menunggu NKRI berubah menjadi perjuangan Federalisme jilid II, yaitu otonomi daerah yang berubah menjadi ego kedaerahan oleh generasi muda daerah tanpa kesadaran nasionalisme dan kesadaran sejarah  lagi bahwa kita adalah pernah menjadi satu bangsa besar dan yang menghargai sejarah bangsanya, atau menunggu  para masyarakat di daerah “muak” melihat tingkah laku para pemimpin di negara dan pemerintah pusat yang tidak mengapresiasi aspirasi daerah dalam bingkai NKRI dan membiarkan “fakta sejarah”membentuk kristalisasi kesadaran sejarah baru, bahwa kekayaan sumber daya alam daerah sedang“dijajah” oleh bangsanya sendiri, karena kita tak menyadari, bahwa bangsa yang besar dimulai dengan sebuah kesadaran sejarah, penulis sangat kuatir  bahwa gerakan-gerakan radikalisme sekarang ini disebabkan ketidak sadaran sejarah terhadap apa yang sudah dirintis dan sumbangsih oleh para pendiri bangsa ini.
  Sebagai bangsa yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia telah memilih lambang negara yang berbentuk Elang Rajawali Garuda Pancasila kemudian publik menyebutnya Garuda Pancasila. Soekarno dalam Pidato kenegaran 22 Juli 1958 menyatakan “Saudara-saudara,  Lihatlah Lambang Negara kita dibelakang ini alangkah  megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.  Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, ekor yang berelar 8 buah, tanggal  17, bulan 8 dan  berkalungkan  perisai yang diatas  perisai itu tergambar Pancasila  ...lambang yang demikian telah terpaku didalamnya kalbu rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikakalau dasar negara kita itu dirobah, jika dasar negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh rakyat Indonesia sampai pelosok-pelosok desa adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari  dasar negara membawa perobahan dari lambang negara”
Pidato Soekarno diatas menegaskan bahwa lambang negara Indonesia sangat   megah, hebat dan indah yang merupakan lambang negara yang berdasarkan pada Pancasila, tetapi siapakah sang perancang gambar lambang negara yang sangat megah, indah dan hebat itu, maka sebagian besar anak bangsa “semua membisu”, alangkah ironisnya ketika ditanya siapakah pencipta lagu Indonesia Raya? semua menjawab W.R Supratman, siapakah penjahit bendera pusaka sangsaka merah putih? Semua menjawab Ibu Fatmawati, siapakah pencipta lagu garuda Pancasila? semua menjawab Sudharnoto, tetapi mengapa ketika ditanya siapakah perancang gambar Lambang Negara Indonesia?, generasi bangsa ini “diam membisu” atau bangsa ini “sengaja mendiamkan” dan atau bangsa ini “menyembunyikan” sang perancang, oleh karena itu harus ada sebuah pelurusan sejarah untuk mengungkapkan dengan jujur, kebenaran dan fakta sejarah secara transparan dan obyektif  siapakah sang perancang gambar lambang negara Republik Indonesia dan bagaimana kronologis sejarah hukum perancangannya, apakah lambang negara Indonesia yang bentuk gambarnya  seperti sekarang ini secara sisi semiotika mengambil figur Garuda atau Elang Rajawali dan bagaimana membaca ideologi Pancasila berdasarkan Lambang Negara? Marilah kita luruskan penulisan buku sejarah untuk generasi penerus jangan membodohi generasi penerus dengan “Kebohongan sejarah”.mudah “earli warning” ini menjadi bahan pendalaman lebih lanjut. (Penulis adalah Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara RI, UI, Tahun 1999, dan saat adalah akademisi UNTAN Pontianak Kal-Bar, email qitriaincenter@yahoo.co.id, HP 08125695414)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alqadrie, Dian Roossandra. 2004. Pola Perkembangan Ruang Kota Pontianak. Tesis Magister Sains Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Gajah Mada (UGM). Yogyakarta: Fakultas Teknik, UGM. 

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1979. Kesultanan Pontianak di Kalimatan Barat: Dinasti dan Pengaruhnya di Nusantara. Hasil Penelitian Sejarah didanai oleh (sponsored by) Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP3M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), RI. Jakarta – Pontianak: DP3M dan UNTAN.

------------------------. 1984. Sejarah Sosial Kota Pontianak. Kota Pontianak dari Perspektif Sejarah Sosial. Hasil Penelitian diselenggarakan atas kerjasama LIPI dengan UNTAN. Jakarta: LIPI.

-----------------------. 1993. Propinsi Yunan dan Penjelajahan Laksamana Cheng Ho. Makalah disampaikan kepada para peserta Seminar Internasional diselenggarakan di Kunming, Yunan, Cina Selatan, 15 – 18 Juli 1993 atas kerjasama Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Malaysia, dan Institute Studi Kebudayaa Asia Tenggara Yunan.

-----------------------. 1998. Otonomi Daerah dan Konsep Putera Daerah. Seminar disampaikan kepada para peserta Seminar Nasional

-----------------------.  2000.  “Pengaruh Bugis Dalam Pembinaan Dunia Melayu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.”  Dalam Abdul Latif Abu Bakar dan Othman Puteh (Penyt.). Globalisme dan Patriotisme Dalam Sastra Melayu. Kumpulan kertas kerja Hari Sastera 2000. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
  
 Effendy, Mahrus. 1998. Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat. Pontianak: Romeo Grafika
 ffEffFREDICT BARTH. JAKARTA. PENERBIT UI
 Fakih, Mansor. 2001. Sesat Fikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.  

 Haji Yahya, Mahayudin. 1999. Islam di Pontianak Berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri. Proceedings of Seminar Papers on Brunei Malay Sultanate in Nusantara, Vol. I:13-17, Nov. 1999. Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.

 Hetnne, Bjorn. 1990. Development Theory and The Three Worlds. London: Longman Group Limited.

 Ibrahim, Jimmy M. 1971. Dua Ratus Tahun Kota Pontianak. Pontianak: Pemda Kotamadya Pontianak.

 Iskandar, Dodi. 1993. Ilmu Pengetahuan Sosial – Sejarah. Jakarta: Penerbit Erlangga.

----------------------- dan Dedi Persada. 1987. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Bandung: Armico.

  Mas’oed, Mohtar.  1994. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta:  Penerbit Pustaka Pelajar.

 Persaja. 1955. Proses Peristiwa Sultan Hamid II. Jakarta: Fasco.

 Rahman, Ansar, Ja’Achmad, dkk. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika atas nama Pemkot Pontianak.

 Rivai, Mawardi. 1995. Peristiwa Mandor. Pontianak:  Romeo Grafika.

 Sahar, Muhammad Yusuf. 1983. Sejarah Hari Jadi Kota Mempawah. Mempawah: Pemda Kabuaten Pontianak.

  Shahab, Alwi. 2000. “Melacak Imigran Hadramaut.”  Dalam Media Indonesia. 16 Januari, hal. 7.

 So, Alvin Y. 1990. Social Change and Development. Newbury Park, California: Sage Publication.

 Suwardi, M.S. 1983. Raja Haji Marhum Teluk Ketapang Malaka. Pakanbaru: Universitas Riau.

 Turiman, 2000. Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia: Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan. Tesis Magister Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Wallerstein, Emmanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the sixteenth Century. New York: Academic Press.

-----------------------.  1979.  The Capitalist World Economy. New York: Cambridge Univeristy Press.

 Yanis, Muhammad. 1983. Kapal Terbang Sembilan. Pontianak – Jakarta: Yayasan Universitas Panca Bahti – PT. Inti Daya Press.

  Bebera catatan:
·      Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan.  Menurut Catatan Alwi bin Ahmad bin IsmaiI Al-Qadrie (dalam Haji Yahya, 1999:221), Habib Hussein adalah penganut mazhab Syafi’i , termasuk ulama tasawuf dan ayah dari pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak.  
·       Nusantara adalah sebuah kata untuk menggambarkan wilayah seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang hingga ke Marauke. Wilayah Nusantara juga untuk menunjukkan kawasan yang pernah dikuasai oleh  Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit melalui tangan Mahapati Gajah Mada berdasarkan cita-cita mereka untuk mewujudkan kawasan kekusaan mereka seluas apa yang disebut sekarang dengan wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei sampai ke Madagaskar dan Irian seluruhnya. Oleh karena itu orang-orang Malaysia dan Brunei Darussalam secara social dan budaya sebagai bangsa serumpun juga dengan bangga menyebut negara mereka adalah bagian daari Nusantara.
·     Versi lain menyebutkan bahwa isteri Habib Husin adalah seorang dayang-dayang puteri asli   keturunan Dayak Kalbar (Enthoven dalam Rahman, 2000:24).
·      Suatu kawasan yang sekarang menjadi areal pemakaman keluarga Panembahan Mempawah terletak sekitar 10 km dari pusat kota Mempawah masuk ke kawasan pedalaman. Galah Herang terletak di dekat muara Sungai Mempawah, sekarang kawasan ini dikenal dengan Kuala Mempawah yang terletak sekitar 5 km dari Kota Mempawah arah ke Ponianak. Galah Herang diambil atau berasal dari kata galah dari bamboo yang dipakai oleh para pendatang untuk mendorong dan menambat perahu-perahu mereka ke tempat kediamana Habib Hussein dan keluarganya. 
·     Istilah penjelajahan sangat berbeda dengan penjajahan. Istilah pertama lebih dikaitkan dengan kegiatan individu atau kelompok dalam melakukan kunjungan kesuatu tempat dalam melaksanakan jihad dalam arti luas yaitu melaksanakan syiar keagamaan, menyebarkan atau menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta berbuat kebajikan bagi masyarakat yang memerlukan di tempat itu, seperti antara lain tindakan yang dilakukan para penyebar ajaran Islam yang  dilakukan dengan damai bersamaan dengan usaha perdagangan sebagaimana dilakukan oleh Habib Hussein dan penyebar Islam lainnya dari Arab, termasuk, menurut [Alqadrie, 1993], Laksamana Cheng Ho. Sedangkan istilah kedua lebih berhubungan dengan tindakan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin melalui Kolonialisme dan Imperialisme.  
·       Dari nama hantu ini, Kuntilanak, kota yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang ini yang terletak di seberang Istana Kesultanan Qadriah, disebut Pontianak. Fenomena sosial dan sejarah sebenarnya, menurut Jimmy Ibrahim (1971:17), adalah bahwa gangguan itu berasal dari perompak atau bajak laut yang bersembunyi di persimpangan menjorok ke arah Sungai Landak.
·       Penobatan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dilakukan oleh Sultan Raja Haji dari Kerajaan Riau, karena tidak saja Kerajaan Riau merupakan kerajaan Melayu yang tergolong besar, kuat, berwibawa dan memiliki pengaruh besar di Nusantara yang pengaruhnya dikenal sampai di luar kawasan Kalimantan dan Malaysia, tetapi, menurut catatan sejarah (Suwardi, 1983) juga hubungan pribadi dan pemerintahan Kesultanan Riau dan Pontianak sangat dekat. Sultan Syarif Abdurrahman dengan Sultan Raja Haji memiliki hubungan ipar sepupu sekali (first Cousin in law). Abdurrahman adalah menantu Opu Daeng Manambon, Raja Haji adalah putera Daeng Celak , sedangkan Daeng Menambon dan Daeng Celak adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka. Tiga saudara lainnya adalah Daeng Perani, Daeng Marewa dan Daeng Kemasi. Jadi keduanya masih merupakan keluarga besar dari dinasti Opu Daeng Relaka, bangsawan Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan sekarang.
·       Benteng tersebut, yang dinamai  Marianne, tampaknya diambil dari nama puteri Raja Willem I dari Kerajaan Belanda, yang kemudian boleh jadi ini merupakan awal dari nama kampung Mariana di kawasan kampung Tengah di depan Pelabuhan Pontianak, Kecamatan Pontianak Kota.
·      Globalisasi dalam berbagai bidang dan sektor yang lebih luas telah mulai berproses jauh sebelum awal abad ke 17 ketika bangsa-bangsa Barat mulai berfikir bahwa hubungan dagang antara mereka dengan bangsa-bangsa dan rakyat di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin (AAA societies) perlu diubah menjadi hubungan kolonialistis dan imperialistis yang tidak adil, tetapi akan sangat menguntungkan mereka. Hubungan eksploitatif seperti itu menempatkan bangsa-bangsa Eropah Barat, khususnya Belanda, Portugis, Spanyol, Perancis, Inggeris, Belgia, dan Jerman, sebagai disinyalir oleh Emmanuel Wallerstein (1974; 1979), menjadi bangsa atau masyarakat “inti” (core societies) atau metropolis/center yang menarik surplus ekonomi dari bangsa/masyarakat AAA sebagai masyarakat pinggiran (periphery) atau pengikut “setia” (satellites). “Interaksi” tidak seimbang antara dua bagian dari sistem dunia tersebut sampai sekarang  menciptakan fragmentasi, marginalisasi dan monopolisasi bagi  bangsa-bangsa AAA atau negara sedang berkembang (NSB) (Mas’oed, 1999; Faqih, 2000;  Hettne, 1990:134-201, 242-452; Wallerstein dalam So, 1990: 234).
·       Status Daerah Istimewa Kalbar bukanlah Negera Bagian sebagai perwujudan negara Federasi.. Daerah Istimewa Kalbar, yang diresmikan Belanda tanggal 12 Mei 1947, tetap menjadi bagian R.I. yang kemudian disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut pemikiran politik Sultan Hamid II yang diperjuangkannya dengan secara konsekuen, Daerah Kalbar tidak akan semaju Jawa dan daerah lain, dan akan sering termarginalkan seperti Aceh, Papua, Kalteng, dan lain sebagainya tanpa status Daerah Istimewa (D.I.). Pemikiran ini baru disadari oleh rakyat Kalbar  jauh setelah itu, setelah daerah ini terpenggirkan.    
·       Bahkan setelah Lambang Garuda Pancasila itu jadi dan menjadi Lambang Negara resmi yang diagung-agungkan oleh seluruh rakyat Indonesia, namanya sebagai penciptanya, malah sebagai perencana pun, tidak pernah disebut-sebut. Ironisnya, menurut Turiman (2000) berdasarkan hasil penelitian tesis Magisternya, Muhammad Yamin disebut-sebut sebagai penciptanya, padahal dosen Universitas Tanjungpura itu menemukan banyak bukti tertulis tentang siapa pencipta dan perancang Lambang Garuda Pancasila itu. Yamin hanya ketua Panitia Pembuatan Lambang, sedangkan semua pekerjaan merancang dan membuatnya  diserahkan kepada Sultan Hamid II.
·       Komposisi APRIS berdasarkan hasil konferensi Antar Indonesia dan KMB,  akan  terdiri dari TNI sebagai inti kekuatan ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, KM,VB, dan sebagainya. Untuk itu Sultan Hamid II telah mempersiapkan satu kompi unsur  KNIL dan satu kompi anggota kelompok etnis Dayak dari Kalbar yang telah dilatih untuk memperkuat TNI yang akan dikirim ke Kalbar (Rahman, 2000:179). Mengapa unsur Dayak harus masuk?  Pertama, anggota kelompok etnis ini berasal dari daerah Kalbar dan mereka lebih kenal daerah mereka sendiri; kedua, Dayak dan Melayu memiliki hubungan historis dan psikologis, karena Dayak adalah saudara ibu yang dilambangkan sebagai hutan terletak di belakang, sedangkan Melayu adalah saudara ayah yang dilambangkan sebagai laut terletak di depan.  
»»  Baca Selengkapnya...