Selasa, 15 Juli 2014

ASAS, PRINSIP DAN DOGMA PENGATURAN


ASAS, PRINSIP DAN DOGMA PENGATURAN

   Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Asas (prinsip) merupakan suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan. Asas-asas muncul dari hasil penelitian dan tindakan.serta pemetaan.
Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan, maka dapat dipetakan asas-asas peraturatan perundang-undangan secara normatif dibagi dua, yaitu pertama asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu untuk memahami kedua asas tersebut, perlu dipahami dahulu apa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang dan  peraturan perundang-undangan ?
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. (pasal 1 angka 1 UU No 12 Tahun 2011)
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. (pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011)
Adapun yang dikategorikan sebagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, bahwa  dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.     kejelasan tujuan;
b.    kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.     kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.    dapat dilaksanakan;
e.     kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.     kejelasan rumusan; dan
g.    keterbukaan.
Pengertian satu persatu dari masing-masing asas tersebut adalah dijelasakan pada penjelasan pasal 5 yaitu:
1.      Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2.      Pasal 5 Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
3.      Pasal 5 Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
4.      Pasal 5 Huruf d Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5.      Pasal 5 Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6.      Pasal 5 Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7.      Pasal 5 Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara menentukan, bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang? Maka yang perlu dipahami adalah Jenis Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga negara apa saja? Dan siapa yang dimaksud pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan ?
Jawaban atas pertanyaan diatas adalah berkaitan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 12 Tahun 2011). Dari jawaban atas pertanyaan di atas, maka perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan?
Berdasarkan Pasal 4  UU No 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.  (Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011)
Mengacu pada Pasal 4 di atas dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011. Walaupun dibedakan keduanya namun secara bentuk maka undang-undang termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
Hal ini juga sejalan dengan pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkab oleh  Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun daerah, yang juga mengikat secara umum.
Prinsip Peraturan Perundang-Undangan salah satunya adalah prinsip hirarki. Untuk memahami hirarki peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
     g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pertanyaan apakah  jenis peraturan perundangan hanya yang terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ?  UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas menyatakan pada Pasal 8 ayat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat  (2)       Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal  8 ayat (2) memberikan kekuatan hukum  terhadap peraturan perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1), yakni sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pernyataan ini memberikan pemahaman, bahwa apabila didalam peraturan perundang-undangan apakah berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah  terdapat pasal yang teks normatifnya terdapat klasul, misalnya “lebih lanjut diatur atau ditetapkan dengan peraturan menteri”, maka keberadaan peraturan menteri tersebut mengikat secara hukum. Artinya keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apakah yang dimaksud peraturan menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Yang menjadi persoalan dalam tataran pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12 Tahun 2011 masih ada Ketetapan Menteri tetapi materi muatannya bersifat mengatur, bagaimana kekuatan hukumnya. Pasal 100 UU Nomor 12 menyatakan, bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Kemudian pada pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa yang dimaksudkan berdasarkan kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Berkaitan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan peraturan kewenangan bukan berarti kewenangan yang lepas dari dasar hukumnya, karena didalam doktrin hukum administrasi negara dikenal namanya instrumen pemerintahan dan salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu adalah ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan Kebijakan. Rencana, Perizinan.
 Yang sering belum terbangun kesepahaman dipublik adalah peraturan kebijakan. Oleh karena itu untuk membangun kesepahaman perlu dipaparkan masalah ini. Mengapa demikian, karena keberadaan peraturan kebijakan secara hukum tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan  bebas dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freis ermessen.           
Secara bahasa Frei yang artinya bebas, tidak terikat, dan merdeka. Freis artinya, orang yang bebas, tidak terikat, merdeka. Ermesen artinya mempertimbangkan, menilai, memperkirakan. Pengertian Freis Ermesen, yakni kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yakni kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan kefektifan tercapainya suatu tujuan dan berpegang teguh pada ketentuan hukum.           
Penggunaan freis Ermesen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan penggunaan freis Ermesen hanya ditujukan untuk kepentingan umum. Menurut  Indroharto, pembuatan peraturan kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[1]
1.      Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan.
2.      Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3.      Ia harus dipersiapkan dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4.      Isi dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5.      Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas.
6.      Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material artinya hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena  harus dihormati kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Berkaitan dengan enam hal diatas, maka sebenarnya diskresi yang berdasarkan konsep freis Emersen tidak terlepas dari materi muatan peraturan perundangan-undangan yang akan dijadikan sumber wewenangnya.
Materi muatan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dijabarkan pada:
Pasal 10
(1)Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kemudian biasanya yang menjadi pertanyaan publik adalah bagaimana kedudukan surat edaran ? Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen Nomor 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.
Selanjutnya dalam Permendagri  Nomor 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan :
·                Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
·                Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
·                Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
Pasal 6 ayat (1)  Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a.            pengayoman; b.kemanusiaan;c. kebangsaan; e.kenusantaraan;  f.      bhinneka tunggal ika;  g.         keadilan; h.kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i.ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau  j.            keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2)Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Penjelasan masing-masing asas materi muatan pada Pasal 6 Ayat (1)Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Penjelasan Pasal 6          ayat (1) Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjelasan pasal 6 ayat (1)Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)Huruf i Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)        Huruf j Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Penjelasan pasal 6 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a.dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b.   dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas yang paling terpenting adalah ketika materi muatan peraturan perundang-undangan dibidang hukum khusus, misalnya seperti dalam lingkungan hidup, maka yang perlu dicari oleh perancang adalah asas-asas hukum dibidang hukum lingkungan.
Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu dipahami adalah materi muatan masing-masing peraturan perundang-undangan
Berkaitan dengan materi muatan, maka yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
         (2)Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 11 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 14   Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi..
Pasal 15 ayat   (1)          Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a.  Undang-Undang;
b.  Peraturan Daerah Provinsi; atau
Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:
a.    perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    perintah Undang-Undang lainnya;
d.    sistem perencanaan pembangunan nasional;
e.    rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f.     rencana pembangunan jangka menengah;
g.    rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
h.    aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pasal 19 ayat  (1)           Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program  pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2)   Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a.  latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.  sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c.  jangkauan dan arah pengaturan.
(3)Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Berkaitan dengan materi muatan Peraturan Daerah, maka yang perlu dipahami adalah beberapa konsep berikut ini sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Daerah, yaitu sebagai berikut:
   a. Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah pembuatan peraturan perundang- undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan, dan penyebarluasan.
b.      Produk Hukum Daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, Perkada, PB KDH, Peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD.
c.       Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam Rancangan Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Kemudian apa bentuk produk hukum daerah, yaitu :
a. Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
b.      Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.
c.       Peraturan Bersama Kepala Daerah yang selanjutnya disingkat PB KDH adalah peraturan yang ditetapkan oleh dua atau lebih kepala daerah.
d.      Peraturan DPRD adalah peraturan yang ditetapkan oleh Pimpinan DPRD Provinsi dan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.
e.       Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD adalah penetapan yang bersifat konkrit, individual, dan final.
Yang terpenting dalam hal asas, prinsip pengaturan adalah dilakukan pemetaan lebih dahulu terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun caranya fokuskan dahulu jenis peraturan perundang-undangan yang akan dipetakan, misalnya Undang-Undang, apa yang dilakukan terlebih dahulu pastikan bahwa apakah undang-undang tersebut undang-undang organik, atau undang-undang yang melaksanakan ketentuan undang-undang atau undang-undang yang melaksanakan perjanjian internasional.
Petakan dahulu pasal-pasal yang mengandung prinsip delegated legislation, yaitu pasal-pasal dalam undang-undang yang terdapat klasul “lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah” . Setelah terpetakan maka selanjutnya dipetakn Peraturan Pemerintah dimaksud, dari sekian peraturan pemerintah fokuskan dahulu dalam bidang apa yang hendak menjadi perhatian.
Setelah mendapatkan Peraturan Pemerintah dimaksud, maka selanjutnya petakan pasal-pasal yang mengandung prinsip delegated legislation, misal klasul “lebih lanjut diatur dengan peraturan menteri. Jika semua sudah dipetakan, maka selanjutnya disusun konstruksi hukumnya dengan prinsip hirarki. Kemudian petakan semua istilah yang ada dalam kententuan BAB I Ketentuan Umum, yaitu konsep-konsep yang berupa definisi operasional sebagai pedoman. Buatlah tabulasi definisi yang sudah dipetakan dari peratauran perundang-undangan.
Petakan asas-asas peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Lingkungan Hidup petakan asas-asasnya, sedangkan untuk memahami prinsip maka perlu dipahami dahulu mengapa undang-undang tersebut dikeluarkan. Caranya buka penjelasan umum Undanhg-Undang Tersebut, jika undang-undang tersebut terkait dengan undang-undang yang lain, maka petakan semua penjelasan umum. Untuk apa   hal ini dilakukan agar mudah ketika merancang naskah akademik ketika merumuskan latar belakang pengaturan dan ruang lingkup pengaturan.
Jika langkah-langkah diatas sudah dilakukan akan mudah menyusun konstruksi hukum yang akan digunakan sebagai materi muatan, karena antara pasal-pasal dalam materi muatan peraturan perundang-undangan tidak berdiri sendiri saling terkait oleh karena itu perlu dipetakan dalam bentuk bagan alur lebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan  cara membuat tabulasi pasal antara jenis peraturan perundang-undangan,misal diurut berdasarkan prinsip hirarki mulai dari UUD, UU, PP, PERMEN, PERDA , oleh karena itu kuncinya adalah pahami konsep hirarki peraturan perundang-undangan lenih dahulu secara dogmatik.

Contoh Konstruksi Hukum UU No 6 Tahun  2014 Tentang Desa
             Pemerintah pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.  Dalam konsideran UU tersebut diisampaikan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
              Kemudian bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
              Jika kita pahami dari konstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan desa, sebenarnya masih menggunakan konstruksi hukum yang diterapkan selama ini. Hal ini dapat kita telusuri dari teks hukum pada pasal 1 angka UU No 6 Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, karena disini ada dua konsep, yakni pertama, penyelenggaraan urusan pemerintahan, kedua, kepentingan masyarakat setempat.
             Untuk memahami ini, harus dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan desa, apabila memperhatikan secara cermat teks hukum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang desa berikut ini.
             Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
             Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah, bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat.
           Dasar yang digunakan adalah berdasarkan (1) prakarsa masyarakat, (2) berdasarkan hak asal usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat ? Pertanyaan ini dijawab dalam rumusan pada Pasal 1 angka 3 yang menyatakan, bahwa  Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
        Jadi yang berwenang adalah pemerintah desa, yakni Kepala Desa dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan desa. Ini artinya disamping Kepala desa dan perangkat desa ada unsur lain penyelenggara pemerintahan desa. Siapakah unsur lain dimaksud dalam UU No 6 Tahun 2014 ?
        Pasal 1 angka 4 UU No 6 Tahun 2014 menjawab yang dimaksudkan unsur lain, yakni  Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
          Kata kuncinya adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Pertanyaannya adalah karena kedua lembaga Kepala desa dan BPD sama-sama melaksanakan fungsi pemerintahan, yakni pemerintahan desa, maka perlu diajukan siapakah yang dimaksud PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DESA  berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 ?
         Pasal 23 UU No 6 Tahun 2014 memberikan penegasan, yakni Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa. Jelas terjawab siapakah yang dimaksud pemerintah desa, maka dikembalikan pada pasal 1 angka 3 UU No 6 Tahun 2014, yakni  Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Jika demikian BPD kedudukannya adalah hanya lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis . Hal ini ditegaskan juga pada Pemerintah Desa
           Pasal 25 bahwa Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain
          Berdasarkan konstruksi hukum yang demikian, jelas Kepala Desa memiliki kedudukan yang strategis sebagai PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DESA. Namun ketika melaksanakan kewenangan desa dua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sama, yakni Kepala Desa dan BPD.
         Untuk memahami, perlu dipahami konstruksi hukum terhadap  KEWENANGAN DESA sebagaimana dimaksud  Pasal 18 UU no 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
        Pasal 19  Kewenangan Desa meliputi:
a.  kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.  kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah  Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     Pasal 20 :
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
       Pasal 21 :
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.
         Pada teks hukum Pasal 19 perlu dipahami konstruksi  hukumnya, bahwa ada kewenangan yang diurus oleh desa dan ada kewenangan yang berasal dari penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan kabupaten/ kota.
         Pertanyaannya kewenangan yang berasal dari penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan kabupaten/ kota meliputi apa saja ?        Jika kita mengacu pada UU No 6 Tahun 2014, hal tersebut ditegaskan pada pasal  Pasal 22 yang menyatakan:
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)  Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.
      Berdasarkan Pasal 22 ada empat penugasan yang bisa datang dari pemerintah, dan atau pemerintah daerah (bisa Pemerintaha Daerah Provinsi, bisa Pemerintah daerah Kabupaten Kota) yakni;
Pertama, penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Kedua , pelaksanaan Pembangunan Desa
Ketiga, pembinaan kemasyarakatan Desa
Keempat, pemberdayaan masyarakat Desa.
        Keempat hal tersebut penugasaan disertai biaya, pertanyaannya dari mana biayanya ? Untuk memahami perlu dipahami oleh Kepala desa dan pembantu serta BPD apa yang dimaksud keempat penugasan tersebut diatas konsepnya? Berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 hanya ada dua konsep yang diberikan batasan dalan Ketentuan Umum Pasal 1, yakni: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa sebagaimana pernyataan berikut ini: Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12)
         Siapa yang melaksanakan keempat hal tersebut di atas, berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 pada Pasal 26  ayat (1) Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
         Pertanyaaan selanjutnya kewenangan apa yang dimiliki oleh Kepala Desa dalam menyelenggaraka  keempat hal tersebut diatas ? Pasal 26 ayat (2) menyatakan, bahwa Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.  mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l.  memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
           Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa, maka secara hukum memiliki tanggung jawab yang besar, oleh karena itu untuk efektif harus ada pendelegasian kewenangan kepada para pembantunya atau memberikan mandat. Oleh karena itu dalam melaksanakan kewenangan Kepala Desa diberikan sebagaimana ditegaskan pada pasal 26 ayat (3) UU No 6 Tahun 2014, yaitu : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
             Patut disadari, bahwa disamping kewenangan dan hak yang dimiliki Kepala Desa memilki kewajiban yang ditegaskan dalam UU No 6 Tahun 2014 pada pasal 26 ayat (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f.melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
              Kewenangan, hak, Kewajiban Kepala Desa masih dibebani sebuah kewajiban kepada pemerintahan Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 27 Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Pasal 28
(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
            Agar Kepala Desa tidak “terjebak pada pelanggaran hukum” maka Kepala Desa diberikan larangan sebagaimana ditegaskan, Pasal 29 UU no 6 Tahun 2014. Kepala Desa dilarang:
a.       merugikan kepentingan umum;
b.      membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c.       menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.      melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.       melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.       melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.      menjadi pengurus partai politik;
h.      menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i.        merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
j.        ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.      melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l.        meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 30
(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
            Berdasarkan kewenangan, hak dan kewajiban serta larangan, maka perlu dipahamidan dilaksanakan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan desa yang ditegaskan oleh UU No 6 Tahun 2014 pada  Pasal 24  Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
              Agar penyelenggaran Pemerintahan desa terlaksana secara demokratis di desa trerdapat forum yang kemudian dinamakan musyawarah desa. Didalam UU No 6 Tahun 2014 diberikan batasan yang tegas apa yang dimaksud musyawarah desa, yakni pada Pasal 1 angka 5 yang menayatkan, bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
            Yang berperanan strategis pada musyawarah desa adalah BPD, karena musyawarah desa diselenggarakan oleh BPD. Oleh karena itu perlu pula dipahami apa tugas BPD berdasarkan UU No 6 Tahun 2014  pada Pasal 55  Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a.       membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.      menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c.       melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut BPD diberikan hak pada pasal 61  Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a.       mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b.       menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c.       mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Sedangkan anggota diberikan hak dan kewajiban dan larangan sebagai berikut:
Pasal 62 Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. memilih dan dipilih; dan
e. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 63 Anggota Badan Permusyawaratan Desa wajib:
a.       memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.      penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c.       menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d.      mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e.       menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan
f.       menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal 64 Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
a.       merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat Desa;
b.      melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
c.       menyalahgunakan wewenang;
d.      melanggar sumpah/janji jabatan;
e.       merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
f.       merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g.      sebagai pelaksana proyek Desa;
h.      ]menjadi pengurus partai politik; dan/atau
i.        menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Hal yang penting adalah berkaitan dengan keuangan desa ada pertanyaan yang pentingan adalah dari mana penghasilan desa  berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 ?   Pasal 66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
        Berkiatan dengan Keungan desa UU NO 6 Tahun  2014 memberikan penegasan tersendiri pada BAB VIII KEUANGAN DESA DAN ASET DESA, mulai pasa. 71 s/d 74
Pasal 71
(1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal 72
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d.alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3) Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6) Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pasal 73
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(3) Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Pasal 74
(1) Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
(2) Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
         Yang menjadi pertanyaan siapakah pemegang keuanghan desa Pasal 75 UU No 6 Tahun 2014 menyatakan secara tegas  (1) Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.  (2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.  (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
         Bagaimana dengan segala peraturan perundangan yang berlaku selama ini, UU No 6 Tahun 2014 memberikan batasan berikut ini, Pasal 119  Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 120  ayat (1) Semua peraturan pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ayat (2) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 121  Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.










































Model dan Proses Dalam Penyusunan Kebijakan Publik.

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Model-Model Kebijakan Publik menurut hasil dan dampak:

1. Model Rasional,
Model rasional adalah model yang mana di dalam pengambilan keputusan melalui prosedur nya akan mengajak pada pilihan alternatif yang paling efisien dari pencapaian tujuan kebijakan, yang ditekankan pada penerapan rasionalisme dan positivisme.

Contoh kasus:
Pada saat bulan puasa tahun 2009 kemarin harga gula pasir di pasar jawa tengah, khususnya di semarang melambung tinggi, dengan melihat kondisi tersebut maka pemerintah provinsi jawa tengah melakukan kebijakan untuk melakukan “operasi pasar”, sehingga memberikan alternatif kepada masyarakat yang merasa dirugikan atas kenaikan harga tersebut untuk membeli gula pasir di pasar yang disediakan pemprov tersebut, tentu saja masyarakat sangat merasakan dampak dari kebijakan tersebut, karna perbedaan yang signifikan antara harga gula pasir di pasar milik pemprov dan di pasar-pasar biasa.

2. Model Incremental
Model incremental adalah pembuatan kebijakan yang melalui proses politisi dimana didalamnya ada tawar menar dan kompromi untuk kepentingan para pembuat keputusan sendiri.

Contoh kasus:
Pemerintah berencana menaikkan gaji presiden, menteri, dan para pejabat negara pada tahun 2001. Kebijakan ini di berlakukan untuk menyesuaikan kebutuhan dan kinerja para pejabat negara. Melalui Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara intrsumen yang akan dijadikan dasar untuk mengatur kenaikan gaji tersebut telah disiapkan. Namun penentuan besarnya nominal gaji akan ditentukan oleh Departemen Keuangan, adapun beberapa pertimbang yang dijadikan dasar kenaikan gaji presiden, menteri, dan para pejabat negara yakni, kenaikan gaji berkala yang sudah sejak lama tidak diberikan kepada presiden dan pejabat negara. Sejak lima tahun lalu, gaji presiden dan pejabat negara tidak pernah mengalami kenaikan padahal kebutuhan semakin meningkat, selain itu kenaikan juga dipertimbangkan dari kinerja masing-masing pejabat negara. Karena itu Kemeneg PAN telah menyusun pedoman berdasarkan kinerja.

3. Model Mixed Scanning
Pada dasarnya model ini adalah usaha-usaha yang menggabungkan model rasional dan incremental. Model ini disusun berdasarkan cara kerja metafora observasi situasi dan kondisi yang menggunakan dua pandangan. Pertama melakukan observasi kondisi seluruh kawasan dengan pengamatan secara terus menerus sehingga diperoleh hasil penganalisaan apa yang menjadi potensi yang detail dan menyeluruh dari kondisi suatu daerah observasi. Yang kedua memperhatikan pada daerah observasi tersebut bagaimana kondisi masyarakatnya yang sama dengan observasi terakhir atau hasil yang lalu dan akan membuat analisa gabungan dengan pandangan pertama apabila terdapat ketidaklaziman pada potensi yang dimiliki daerah observasi tersebut.

Contoh kasus:
Proses penyusunan RAPBD 2010 jateng sudah dimulai sebelum pelantikan anggota DPRD 2009 – 2014, yakni dengan pengajuan kebijakan umum anggaran dan plafon prioritas anggaran sementara (KUA PPAS) oleh pemprov jateng, dalam pembahasannya RAPBD 2010 akan memprioritaskan peningkatan perekonomian rakyat dengan pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Diharapkan hal ini dapat berdampak langsung pada peningkatan perekonomian rakyat dan bisa menjadikan masyarakat lebih sejahtera sesuai dengan program gubernur. Tahun depan (2010) akan dimulai tahapan Program Bali Ndeso Mbangun Deso. Pemprov tentunya berupaya memfokuskan anggaran bagi program yang berdampak langsung atas peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Kalau nilainya berapa, belum bisa di sampaikan karena RAPBD belum mulai dibahas, yang jelas akan meningkatkan anggaran dari tahun sebelumnya untuk hasil yg lebih signifikan. Tidak hanya di bidang anggaran, bagian kelembagaan juga harus di bangun kapasitasnya, fraksi harus mampu melihat persoalan di jateng dan mencari jalan keluarnya, khususnya pada fraksi yang mengusung gubernur-wagub, akan sangat aneh jika dalam realisasinya malah menjadi penghalang program pemerintah, atau sama sekali tidak tahu visi dan misi program gubernur.

4. Model Garbage Can
Model ini mengusulkan alternatif kebijakan, menyeleksi, menilia dan memilih alternatif kebijakan dalam pembuatan keputusan kebijakan publik dengan fokus pada elemen-elemen irasional sikap para pembuat kebijakan publik, dengan memperhatikan irasional kepentingan publik dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat.

Contoh kasus:
Pada masa orde baru, pemerintah membuat kebijakan hak siar berita. Jadi pemerintah melakukan penyaringan terlebih dahulu sebelum berita di tayangkan atau dijejalkan ke masyarakat, walaupun sebenarnya rakyat perlu atau membutuhkan berita tersebut tapi apabila pemerintah tidak memberikan izin untuk berita itu dijejalkan ke masyrakat maka berita itu akan tersimpan rapi, atau pecah diperut pemerintah itu sendiri.

Model Proses
1. Model Institusional
Dalam proses pembuatan kebijakan model ini masih merupajan model tradisional, dimana fokus model ini terletak pada struktur organisasi pemerintahan. Jadi yang sangat berpengaruh di dalam model ini hanyalah lembaga-lembaga pemerintah dari tingkat pusat atau daerah, sedang. Adapun aktor eksternal pada model ini seperti media massa, kelompok think-thank (LSM, Kelompok budayawan, kelompok mahasiswa, cendikiawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain,) serta masyarakat hanya berfungsi memberikan pengaruh dalam batas kewenangannya. Jadi kebijakan yang telah dibuat akan dijalankan dahulu oleh aktor internal, yaitu lembaga-lembaga pemerintahan tersebut.

Contoh kasus:
Di kota salatiga, belasan pedagang ayam yang biasa mangkal di jalan taman pahlawan sekitar eks pertokoan hasil, mendatangi komisi II DPRD Kota Salatiga, pertemuan tersebut dalam rangka audiensi dan dihadiri Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM yang mana dinas tersebutlah yang mengurusi aktivitas pedagang di pasar. Para pedagang mengungkapkan keluh kesahnya kegiatan berjualan di tempat mereka mangkal dengan mengantongi perizinan usaha, sementara aktivitas mereka tidak diakui secara sah oleh dinas terkait. Para pedagang tersebut meminta agar tetap dapat berjualan di pinggir jalan Taman Pahlawan dekat eks pertokoan hasil, karena memiliki izin usaha. Namun permintaan pedagang tersebut tidak disetujui oleh Disperindagkop, sebab pasar sudah ditata berdasarkan lokasi jenis dagangan, yang mana kebijakan pemerintah setempat telah membangun pasar-pasar tersebut untuk pedagang ayam, daging, dan lain sebagainya, di daerah pasara raya I.(suara merdeka)

2. Model Elit-Massa
Model ini menggambarkan pembuatan kebijakan publik dalam bentuk piramida, dimana masyarakat berada pada tingkat paling bawah, elit pada ujung piramida dan aktor internal birokrasi pembuat kebijakan publik (dalam hal ini adalah pemerintah) berada ditengah-tengah antara masyarakat dan elit.

Contoh kasus:

Contoh Kenaikan BBM bersuibsidi

3. Model Kelompok
Pada model ini pemerintah membuat kebijakan karena adanya tekanan dari berbagai kelompok. Kebijakan publik merupakan hasil perimbangan (equilibrium) dari berbagai tekanan kepada pemerintah dari berbagai kelompok kepentingan. Besar kecil tingkat pengaruh dari suatu kelompok kepentingan ditentukan oleh jumlah anggotanya, harta kekayaannya, kekuatan, dan kebaikan organisasi, kepemimpinan, hubungannya yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggotanya.

Contoh kasus:
Pemerintah Kabutpaten Kebumen, melalui bupati KH. M. Nashirudin Al Mansyur menyatakan status “quo”, yakni kembali pada keadaan semula atas permasalahan tanah dinas penelitian pengembangan (Dislitbang) TNI AD dengan Masyarakat wilayah Urut Sewu Kebumen. Artinya penggunaan lahan untuk kegiatan dilaksanakan seperti sebelum ada permasalahan. “TNI dapat melaksanakan latihan seperti sedia kala. Sedangkan para petani dapat melaksanakan kegiatan bercocok tanam,” selanjutnya penyelesaian permasalahan tanah selanjutnya akan diadakan peninjauan di lapangan oleh TNI, Pemerintah daerah, serta masyarakat. Hal itu dalam rangka penentuan batas kepemilikan tanah.(suara merdeka)

4. Model Sistem Politik
Model ini didasarkan pada konsep-konsep kekuatan-kekuatan lingkunang, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis, dan sebagainya yang ada disekitarnya. Kebijakan publik merupakan hasil (output) dari sistem politik. Kebijakan model ini juga melihat dari tuntutan-tuntutan, dukungan, masukan yang selanjutnya di ubah menjadi kebijakan punlik yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat. Intinya sistem politik berfungsi mengubah inputs menjadi outputs.

Contoh kasus:
Setelah batik mendapat sertifikat dari UNESCO sebagai warisan budaya indonesia, kini pemerintah membuat kebijakan untuk mendaftarkan angklung ke UNESCO agar alat musik khas daerah tersebut tidak diklaim oleh pihak lain. Melalui tahap verifikasi akan terbukti bahwa angklung sangat berperan dalam kelangsungan suku bangsa khusunya di indonesia, jika lolos verifikasi, UNESCO akan mengeluarkan sertifikat dan angklung akan diakui sebagai warisan ahli budaya asli indonesia. Kesenian dan kebudayaan Jawa Barat yang berbahan dasar bambu tengah dihadapkan pada percepatan dunia industri yang membutuhkan inovasi dan kreativitas. Sepanjang tahun 2008, angklung juga berfungsi sebagai alat promosi budaya dengan berbagai inovasi dalam seni pertunjukkan. Angklung telah menjadi salah satu kekuatan diplomasi budaya serta komunikasi nonverbal lintas sektoral yang cukup efektif. Bermain musik bambu juga bermain dengan menggunakan rasa, yang menimbulkan kepekaan dan solidaritas yang menciptakan harmoni sehingga perlu ditanamkan di kalangan generasi pelajar indonesia. Dengan begitu sangat pantaslah pemerintah mengambil kebijakan untuk mendaftarkan angklung sebagai salah satu warisan budaya asli indonesia, yang mana bangsa ini memiliki solidaritas dan kepekaan yang tinggi.

Proses Perumusan Kebijakan Publik

1.      Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.
2.      Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
3.      Charles Lindblom (Budi Winarno:2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta, bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi : warganegara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.
4.      Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan.
5.      Bagaimana masalah publik tersebut akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan.
6.      Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam tulisan James Anderson, Charles Lindblom, maupun James Lester dan Joseph Stewart, Jr. (Budi Winarno:2002) disebutkan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau pemeran serta, yaitu : a. Pemeran serta resmi, meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. b. Pemeran serta tidak resmi, meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu.
7.      Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena dari sinilah akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Tidak semua isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan.Budi Winarno (2002) menyimpulkan dari pendapat beberapa ahli bahwa dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara sistematis, yaitu :
8.      Tahap pertama, perumusan masalah. Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik.
9.      Kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan masalah dalam masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman dalam Dunn (2003:80), perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yang berbeda namun saling bergantung, yaitu 1) konseptualisasi masalah (2)spesifikasi masalah (3) pengenalan masalah.
10.  roses perumusan masalah dapat dimulai dari tahap manapun di antara ketiga tahap tersebut, namun suatu prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari keberadaan situasi problematis.
11.  Untuk bergerak dari situasi problematis ke masalah substantif, analis kebijakan perlu mengkonsepsikan masalah, yaitu mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah substantif dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses memindahkan dari masalah substantif ke masalah formal diselenggarakan melalui spesifikasi masalah (problem spesification).
12.  Tahap kedua, agenda kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah publik yang masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif, agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif.
13.  Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk diselesaikan.Menurut Abidin (2006:127), agenda kebijakan adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis.
14.  Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah (1) perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis; (2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda; (3) bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah; dan (4) partisipasi masyarakat.
15.  Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
16.  Tahap keempat, penetapan kebijakan. Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam permbuatan kebijakan tersebut.
17.  William Dunn (Budi Winarno:2002) menyebutkan, dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap yang dilaluinya adalah :
a.         Tahap penyusunan agenda. Masalah-masalah akan berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.
b.         Tahap formulasi kebijakan. Masalah yang masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Dalam tahap perumusan kebijakan ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
c.         Tahap implementasi kebijakan. Suatu program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
d.        Tahap penilaian kebijakan. Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Oleh karena itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

 Contoh Konstruksi Hukum Terhadap Kebijakan Publik Di Bidang Lingkungan Hidup

Berikut ini Konstruksi Hukum Terhadap formulasi Kebijakan Publik

Tahap Pertama Telusuri dahulu Proposisi Konstitusional tentang  Kebijakan Pembangunan Berwawasan Lingkunganb Hidup

Rumusan misalnya sebagai berikut:

            Pentingnya pelestarian lingkungan hidup telah diperkuat dengan ditetapkannya amandemen UUD 1945 pasal 33 ayat 4 yang berbunyi: ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan dan kesatuan ekonomi nasional”.
             Amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut, secara tegas mengkaitkan antara pembangunan ekonomi nasional dengan lingkungan hidup. Jadi prinsip dasar pembangunan yang dianut sekarang ini harus dapat menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, maupun lingkungan secara baik dan harmonis.




Tahap Kedua Telusuri Konsep Kebijakan Pembangunan Lingkungan dengan menggunakan Undang-Undang  (DAS SOLLEN)

Rumusan misalnya sebagai berikut:
           Falsafah dan makna yang terkandung dalam pasal 33 UUD 45 sungguh amat dalam, yaitu adanya filosofi “ transgenerasi ”. Bumi, air dan kekayaan alam yang menjadi dasar pembangunan bangsa Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya akan tercapai apabila dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan    kini dan dapat dinikmati generasi mendatang apabila kekayaan alam tidak mengalami kerusakan dan pencemaran yang diakibatkan oleh eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan dan tidak terencana serta melanggar ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
          Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, telah didukung oleh peraturan perundang-undangan sektor seperti misalnya bidang perindustrian, kehutanan, pertambangan, pertanian, pengairan, perhubungan dan kepariwisataan, yang didalamnya telah mengakomodir prinsip-prinsip kehati-hatian dalam memanfaatkan sumber daya alam. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih banyak  menimbulkan persoalan kerusakan dan pencemaran. Untuk itu, diperlukan suatu perlindungan bagi sumber daya alam agar tidak terus menerus mengalami degradasi akibat pelaksanaan kegiatan dan atau usaha oleh sektor tersebut. Tekanan kerusakan dan pencemaran terhadap sumber daya alam, tidak hanya berasal dari kegiatan dan atau usaha skala besar, tetapi juga berasal dari kegiatan sehari-hari orang-perorangan, rumah tangga dan kegiatan skala kecil  lainnya.
           Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada dasarnya mengatur dan melaksanakan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam, yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan dan atau pencemaran dari pelaksanaan kegiatan dan atau usaha, baik skala kecil maupun skala besar. Jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap orang, untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, merupakan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
           Seiring dengan waktu, dibentuklah UU No 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang merubah paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik ke desentralisasi kepada Pemerintah Propinsi dan Kota/kabupaten. Ada suatu filosofi yang hendak dicapai dalam konteks pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada prinsip Otonomi Daerah, yaitu bahwa masyarakat di daerah harus mendapatkan manfaat yang nyata dari keberadaan sumber daya alam di daerahnya. Hal ini hanya dapat terwujud apabila tanggung jawab pengelolaaan lingkungan hidup berdasarkan prinsip otonomi daerah dapat dilaksanakan oleh seluruh komponen Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha.

Tahap Ketiga Telusuri Kendala Mengapa Prinsip Kebijakan Publik Tersebut belum terwujud (DAS SEIN)

Contoh rumusannya sebagai berikut:
1.            Banyak kendala yang dihadapi oleh Daerah untuk mewujudkan hal tersebut seperti :
a.         Peruntukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber yang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, akibatnya sumber daya alam dieksploitasi secara besar-besaran tanpa mengindahkan prinsip transgenerasi yang diamanatkan oleh UUD 1945.
b.         Penguatan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup memerlukan biaya yang mahal, akibatnya membebani APBD.
c.         Lemahnya kemampuan dan kemauan para birokrasi untuk melaksanakan Pengelolan Lingkungan Hidup.
d.        Peran masyarakat sebagai penghasil limbah cair dan padat (sampah rumah tangga) yang masih sangat kurang (budaya dan kesadaran hidup bersih dan sehat).
e.         Kurangnya kemampuan dan kemauan aparat penegak hukum di pusat dan daerah.

2.            Sehubungan dengan hal tersebut, status lingkungan hidup dan usaha pelestariannya secara makro dalam garis besarnya adalah sebagai berikut :
1.         Status dan kecenderungan kualitas lingkungan hidup dan SDA dalam keadaan buruk dan terus menerus menurun, serta dalam keadaan yang membahayakan berbagai aspek kehidupan manusia.
2.         Walaupun dalam retorika, pelestarian lingkungan hidup cukup mendapat tempat yang baik, tetapi pada tingkat pengambilan keputusan, prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup tidak mendapatkan tempat yang layak. Pelestarian lingkungan hidup tetap menjadi “ isu pinggiran ” dalam proses pengambilan keputusan.
3.         Kelembagaan pelestarian lingkungan hidup selama ini telah berkembang cukup baik. Berbagai peraturan, institusi di tingkat pusat dan daerah, serta pengembangan SDM sudah cukup memadai. Walaupun demikian, kelengkapan kelembagaan ini tidak mampu untuk menghadapi tantangan yang dihadapi.
4.         Kesadaran lingkungan yang sejak dahulu dikembangkan sudah cukup memadai.  Pada umumnya, masyarakat memahami hak dan kewajibannya dalam pelestarian lingkungan hidup. Walaupun demikian secara umum, kesadaran ini masih bersifat pasif. Beberapa perkecualian timbul, khususnya pada kantong-kantong dimana masyarakat secara langsung menderita karena pencemaran lingkungan hidup. Dalam kantong-kantong ini berkembang kesadaran aktif yang tinggi dan militan.
5.         Beberapa perkembangan baru yang perlu dicatat dan dipertimbangkan dalam usaha pelestarian adalah masih belum berlalunya multi krisis di masyarakat kita, berlangsungnya proses otonomi daerah dan munculnya masalah lingkungan hidup yang relatif baru seperti pencemaran di Teluk Buyat, banjir di kota-kota besar.

Tahap Keempat, Telaah Kerangka Pemikiran Terhadap Kebijakan Publik pada tataran negara dan pemahaman referensi (tinjauan Literatur)

I.             Kebijakan Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup


Rumusannya sebagai berikut :
             Kebijakan pemerintah (negara) dalam kepustakaan internasional disebut sebagai public policy. Kebijakan publik tetap ada dan terus ada sepanjang masih ada negara yang mengatur kehidupan bersama. Dalam refleksi para pemikir seperti Hobbes dan Smith dalam Priyono (2003), misalnya, kondisi asli kita berupa konflik tak berkesudahan antar individu (manusia ialah serigala bagi sesamanya). Inilah yang disebut “masalah Hobbesian tentang tatanan”. Jadi di satu pihak, orang ingin berbuat sesukanya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain. Di lain pihak, hidup bersama hanya mungkin berdiri di atas tatanan yang mengakomodasi kebutuhan banyak orang. Mengelola tegangan keduanya merupakan alasan keberadaan  kebijakan publik.
              Kebijakan pemerintah (negara) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Menurut konsep demokrasi modern, kebijaksanaan pemerintah (negara) tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) yang mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan  (tercermin) dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Setiap kebijakan harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (Islami, 2003).
            Menurut jenisnya, kebijakan pemerintah (public policy) dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut sebagai konvensi-konvensi (Nugroho, 2002). Kebijakan pemerintah ini juga mencakup rencana aksi, yang meliputi program dan kegiatan untuk mencapai tujuan-t        tujuan yang telah ditentukan.
           Perumusan kebijakan mempunyai persamaan dan perbedaan dengan pengambilan  keputusan. Pembentukan kebijakan dilakukan dengan pemilihan alternatif-alternatif yang bersifat terus menerus dan tidak pernah selesai, atau dengan kata lain meliputi banyak pengambilan keputusan (Tjokroamidjojo, 1981).
            Meskipun telah banyak kebijakan pemerintah Indonesia, rencana dan program maupun peran serta berbagai pihak, namun ternyata permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup tetap terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup telah terdorong untuk melengkapi kebijakan, rencana dan program yang telah ada, dengan dilandasi cara pandang bahwa pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus berkelanjutan.

Tahap Kelima Telusuri Program-Program Pada Tataran Kelembagaan melalui dokumen Kebijakan Publik Yang telah disepakati leh Negara.

Contoh Rumusannya misalnya berikut ini:
            Dalam menyusun kebijakan ini digunakan perangkat Kajian Lingkungan Strategis (KLS) terhadap kebijakan, rencana dan program yang telah ada dan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Secara substansial, KLS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan.
            Dari beberapa kebijakan pemerintah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, terdapat kebijakan di bidang air dan energi, yang dapat dipedomani dan disinergikan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan lingkungan hidup di daerah.
           Adapun pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bidang air adalah:
1.             Kebijakan pelestarian air perlu menempatkan subsistem produksi air, distribusi ar, dan konsumsi air dalam satu kesatuan yang meyeluruh dan terkait untuk menuju pada pencapaian pola keseimbangan antar sub sistem tersebut
2.             Kebijakan sub sistem Produksi Air, meliputi (1) Konservasi ekosistem DAS dan sumber air untuk menjamin pasokan air; (2) Mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan terutama pada ekosistem DAS, (3) Mengendalikan pencemaran untuk menjaga dan meningkatkan mutu air; (4) Optimalisasi pemanfaatan air hujan.
3.             Kebijakan konsumsi air yang hemat dan efisien untuk mendukung pelestarian air
4.             Kebijakan sub sistem distribusi air, meliputi (1) merencanakan peruntukan air permukaan dan air tanah (2) meningkatkan infrastruktur yang memadai.
5.             Kebijakan penataan ruang, meliputi (1) Menetapkan rencana tata ruang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan (2) Konsistensi pemanfaatan ruang; (3) pengawasan penataan ruang, (4) Meningkatkan akses informasi
6.             Kebijakan kelembagaan, meliputi (1) membentuk lembaga pengelola air, (2) mekanisme penyelesaian sengketa air (3) Valuasi ekonomi, (4) insentif ekonomi.
Pokok-pokok kebijakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di bidang energi adalah:
1.             Kebijakan pencegahan pencemaran; Baku Mutu Limbah Cair penambangan batu bara, Baku Mutu kualitas udara ambient dan emisi gas buang kendaraan bermotor, dan pelaksanaan AMDAL pada setiap kegiatan penambangan
2.             Kebijakan produksi dan penyediaan energi yang ramah lingkungan
3.             Kebijakan penguatan security of supply, dengan upaya penyediaan bahan bakar campuran BBM seperti gahosol, biodisel, dll.
4.             Kebijakan pemanfaatan energi yang ramah lingkungan
5.             Kebijakan pemanfaatan energi tak terbarukan dengan efisien dan hemat
6.             Kebijakan pemenfaatan energi terbarukan, dengan dorongan investasi dan inovasi teknologi.
            Dengan kondisi dan status lingkungan hidup di Indonesia, Pemerintah juga telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, dengan sasaran yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi (kontribusi sektor perikanan, kehutanan, pertambangan dan mineral terhadap PBD) dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan.
           Untuk itu, pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah, menjadi suatu keharusan. Yang dimaksud dengan sustainable development adalah upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally sound). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan maupun investasi pembangunan jangka menengah (2005-2009) di seluruh sektor dan bidang yang terkait dengan sasaran pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti di bawah ini:
             Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: (1) Meningkatnya kualitas air sungai khususnya di seluruh DAS kritis disertai pengendalian dan pemantauan secara kontinyu; (2) terjaganya danau dan situ, khususnya di Jabodetabek, dengan kualitas air yang memenuhi syarat; (3) Berkurangnya pencemaran air dan tanah di kota kota besar disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; (4) Terkendalinya kualitas air laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi wilayah darat dan laut; (5) membaiknya kualitas udara perkotaan khususnya di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; (6) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (ODS/Ozone Depleting Substances) secara bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; (7) Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim  global; (8) Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan); (9) meningkatnya upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam manajemen persampahan untuk mengurangi beban TPA; (10) regionalisasi pengelolaan TPA secara profesional untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya; (11) mengupayakan berdirinya satu fasilitas pengelolaan limbah B3 yang baru di sekitar pusat kegiatan induatri; (12) tersusunya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; (13) sosialisasi berbagai perjanjian internasional kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah; (14) membaiknya sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional; dan (15) meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup.
            Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang kehutanan adalah: (1) Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal loging dan penyelundupan kayu; (2) Pengukuhan kawasan hutan dalam tata ruang seluruh propinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang telah ditata batas; (3) Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan dan kayu; (4) Meningkatnya hasil hutan non kayu sebesar 30 persen dari produksi tahun 2004; (5) Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), seluas 3 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi hutan; (6) Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 141 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dari sistem penopang kehidupan lainnya; (7) Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang dan tangghung jawab yang disepakati oleh Pusat dan Daerah; (8) berkembangnya kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; dan (9) Penerapan iptek yang inovatif pada sektor kehutanan.
            Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang kelautan adalah; (1) Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya kelautan; (2) Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu; (3) Selesainya batas laut dengan negara tetangga; dan (4) Serasinya peraturan perundang di bidang kelautan.
             Sasaran pembangunan lingkungan hidup di bidang pertambangan dan sumber daya mineral adalah: (1) Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi; (2) meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas; (3) Terjaminnya pasokan migas dan [produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; (4) terselesaikannya Undang undang Pertambangan sebagai pengganti Undang undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Pertambangan; (5) Meningkatnya investasi pertambangan dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (6) Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk pertambangan; (7) terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; (8) Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber daya mineral, (9) Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; dan (10) Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI).
             Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dan sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Sasaran pembangunan di atas dibuat agar sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk:
1.        Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan;
2.        Koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah
3.        Meningkatkan upaya penegakan hukum secara konsisten kepada pencemar lingkungan
4.        Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah; dan
5.        Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup.
           Untuk menterjemahkan sasaran pembangunan dan arah kebijakan di atas, maka pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup jangka menengah 2009-2014 akan mencakup program-program sebagai berikut:
1.    Program Pemantapan dan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
2.    Program Pengelolaan Sumber Daya Hutan
3.    Program Pembinaan Usaha Pertambangan Migas
4.    Program Pembinaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara
5.    Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam
6.    Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam
7.    Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
8.    Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
9.    Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup
          Dari kesembilan program tersebut, dijabarkan menjadi kegiatan-kegiatan yang merupakan rencana aksi, yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan dari pilihan kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yang diantaranya adalah:
       1.  Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup melalui tata kelola yang baik (good environmental government) berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
Kegiatan pokoknya meliputi:
  1. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan
  2. Peningkatan kapasitas kelembagaan serta aparatur pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah
  3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pola kemitraan
  4. Pengembangan sitem pengendalian dan pengawasan sumber daya alam
  5. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup
  6. Peningkatan koordinasi antar lembaga baik di pusat maupun di daerah
  7. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas kasus perusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup
  8. Penerapan perjanjian internasional yang telah disepakati
  9. Upaya pembentukan Komisis Naional Pembangunan Berkelanjutan
  10. Pendirian Komisis Kenaekaragaman Hayati yang didahului dengan pendirian sekretariat bersama tim terpadu keanekaragaman hayati nasional, dan
  11. Penyempurnaan prosedur dan sistem perwakilan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional bidang lingkungan hidup.

2.      Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk mningkatkan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka mendukung perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan fungsi lingkungan hidup.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
  1. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulau-pulau kecil
  2. Pengembangan valuasi sumber daya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan cadangan mineral
  3. Penyusunan neraca sumber daya alam nasional dan neraca lingkungan hidup
  4. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB) Hijau)
  5. Penyusunan neraca sumber daya hutan (NSDH)
  6. Pendataan dan penyelesaian tata batas hutan dan kawasan perbatasan dengan negara tetangga
  7. Penyusunan indikator keberhasilan pengeloaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
  8. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kpada masyarakat
  9. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan dinamika global dan perubahan kondis alam, seperti banjir dan kekeringan
  10. Pengembangan sistem informasi terpadu antara sistem jaringan pemantauan kualitas lingkungan hidup naional dan daerah, dan
  11. Sosialisasi hasil konvensi internasional bidang lingkungan kepada para pengambil keputusan di tingkat nasional dan daerah.
 
  3.   Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini meliputi:
  1. Pemantauan kualitas udara dan badan air secara kontinyu dan terkoordinasi antar daerah dan antar sektor;
  2. Peningkatan fasilitas laboratorium lingkungan di tingkat propinsi
  3. Penyelesaian kasus pencemaran lingkungan secara hukum
  4. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor transportasi dan energi dalam upaya megurangi polusi udara perkotaan
  5. Spsialisasi penggunaan teknologi bersih dan ekoefisiensi di berbagai kegiatan manufaktur dan transportasi
  6. Perbaikan sistem perdagangan dan impor bahan perusak lapisan ozon (ODS) hingga akhir tahu 2007 dan penghapusan ODS pada tahun 2010
  7. Pengkajian mendalam terhadap dampak perubahan iklim global pada sektor sektor tertentu
  8. Adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan daerah
  9. Peningkatan produksi dan penggunaan pupuk kompos yang berasal dari sampah perkotaan
  10. Peningkatan peran sektor informal khsususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah dan 3 R
  11. Pengkajian pendirian perusahaan TPA regional di beberapa kota besar, khususnya Jabodetabek dan Bandung
  12. Upaya pendirian satu fasilitas pengelola B3 baru
  13. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan seperti industri dan pertambangan
  14. Penetapan dana alokasi khsus (DAK) sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan lindung
  15. Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya produksi termasuk pengembangan pajak progresif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
  16. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan limbah, dan teknlogi industri yang ramah lingkungan, serta
  17. Perumusan aturan dan mekanisme pelaksanaan tentang alternatif pendanaan lingkungan seperti DNS (Debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya.

Tahap Keenam telusuri prinsip-prinsip pembangunan berwawasan  lingkungan

Misalnya rumusan  sebagai berikut:

Prinsip-prinsip Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Program lingkungan PBB (UNEP) mengidentifikasikan lima tujuan pokok pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a.    Membantu kaum miskin karena konon, maka tak punya pilihan untuk bertahan selain merusak lingkungan
b.    Pembangunan atas kekuatan sendiri yang dipagari oleh daya dukung lingkungan
c.    Pembangunan dengan biaya efektif dan menggunakan parameter ekonomi non konvensional
d.   Perbaikan lingkungan kesehatan, penyediaan air bersih dan tempat tinggal untuk setiap manusia
e.    Pembangunan yang bersifat pada inisiatif rakyat (people centered development).
          Agenda 21, program aksi PBB yang dihasilkan KTT Bumi Rio De Janeiro 1992, pernyataan tentang prinsio-prinsip kehutanan, konvensi tentang perubahan iklim dan konvensi tentang kekanekaragaman hayati. Sustainable development dalam terminologi ekonomi, diartikan sebagai suatu pembangunan yang tidak pernah punah – development that last, pearce and barbier (Adiningsih, 2002:5). Secara lebih spesifik dapat diartikan sebagai suatu pembangunan ekonomi yang memakimumkan kualitas kehidupan generasi sekarang yang tidak menyebabkan penurunan kualitas kehidupan generasi mendatang. Kualitas hidup tidak hanya mencakup aspek kebutuhan ekonomi namun juga kebutuhan akan alam yang bersih, sehat dan tingkat kehidupan sosial yang diinginkan. Dapatlah dikatakan pembangunan yang berindikator pada keberhasilan eknomi, social, budaya dan kesehatan saja adalah sebuah kegagalan sebab harus di ukur dari keberhasilan pelestarian lingkungan hidup yang menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang untuk dapat disebut sebagai pembangunan yang berhasil.
            Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Lingkungan Hidup di Rio De Janeiro Brasil tahun 1992 menghasilkan sejumlah prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang harus bisa dilaksanakan oleh setiap negara peserta dan penandatanganan Deklarai Bumi terdapat 5 (lima) prinsip yang sangat penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, yaitu :
1.        Prinsip keadilan inter dan antar generasi
2.        Prinsip kehati-hatian
3.        Prinsip internalisasi dampak lingkungan eksternal yang ditimbulkan
4.        Prinsip keberlanjutan pemanfaatan
5.        Prinsip pencemar membayar

Tahap ketujuh telusuri kebijakan Publik dalam konteks Daerah Otonom

Misalnya rumusan sebagai berikut:
  

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah


            Undang- undang No 32 Tahun 2004  terbit menggantikan Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU 32/2004 ini diharapkan dapat semakin memperkokoh kebijakan publik di Indonesia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang ini merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaran pemerintahan di Indonesia.

           Berbagai fenomena “unproductive” dalam masa UU 22/1999 yang telah memberikan kewenangan yang besar kepada Pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyelenggaran pemerintahannya, termasuk dalam pengendalian dampak lingkungan, diharapkan dapat segera diatasi. Penyerahan kewenangan dalam pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah kabupaten/kota, di berbagai daerah ternyata tidak memberikan dukungan yang memperkuat upaya pelestarian lingkungan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya Peraturan Daerah yang cenderung “kebablasan”, tidak sejalan dengan sistem peraturan perundang-undangan di atasnya. Namun di sisi lain, ada juga beberapa daerah yang lebih memperhatikan kelestarian lingkungan di daerahnya. Pada umumnya daerah tersebut telah dapat menempatkan lingkungan hidup sebagai faktor pendukung pembangunan di daerahnya. Sebagai contoh kota-kota di Bali, dengan lingkungan hidup yang baik, maka pembangunan menjadi daerah wisata lebih terdukung.

           Lahirnya Undang-undang No 32/2004 telah memberikan keseimbangan dalam system pemerintahan di Indonesia, termasuk di bidang lingkungan hidup. UU ini telah memberikan porsi kewenangan yang cukup kepada pemerintah Pemerintah Propinsi, yakni sebagai koordinator penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerahnya. Dengan demikian diharapkan terdapat keseimbangan dan sinergitas antara level pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

           Sebagaimana diatur dalam pasal 13  UU 32/2004 yang menjadi urusan wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

a.    perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.    perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d.   penyediaan sarana dan prasarana umum
e.    penanganan bidang kesehatan
f.     penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g.    penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h.    pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.      fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j.     pengendalian lingkungan hidup
k.    pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l.      pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.    pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o.    penyelenggaraan  pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.    urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
            Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, seprti halnya pertambangan, pertanian, kehutanan, pariwisata dan lain sebagainya. Sedangkan yang menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota adalah urusan yang berskala kabupaten dan kota, dengan komponen yang sama dengan urusan wajib propinsi.
            Dalam hal pengendalian dampak lingkungan adalah merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Rincian lebih lanjut mengenai urusan wajib ini akan ditaungkan dalam peraturan pemerintah.
            Keputusan Menteri LH No 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup di Daerah, mengatur jenis-jenis pelayanan yang harus diselenggarakan pemerintah daerah, dalam hal ini lembaga lingkungan di daerah adalah:
1.    Pelayanan perlindungan sumber air
a.    Jumlah sumber air di hutan yang dilindungi (100%)
b.    Jumlah mata air di luar hutan lindung yang dilindungi (100%)
c.    Jumlah kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan penyangga (1 kawasan)
2.    Pelayanan pencegahan pencemaran air
Jumlah usaha dan atau kegiatan mentaati persyaratan administrasi dan teknis pengendalian pencemaran air (100%)
3.    Pelayanan pemulihan pencemaran air pada sumber air
Jumlah sumber air yang telah dipulihkan akibat pencemaran air (50%)
4.    Pelayanan pencegahan pencemaran udara
a.    10 % Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lokasi pemukiman, industri, pusat perdagangan dan lokasi padat lalu lintas (100%)
b.    Jumlah kendaraan wajib yang secara administrasi terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dipantau emisinya (100%)
c.    Jumlah kendaraan tidak wajib uji yang secara administrasi  terdaftar di Kabupeten/Kota yang bersangkutan dipantau emisinya (5%)
d.   Jumlah usaha dan atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis pengendalian pencemaran udara (100%)
e.    Kualitas udara yang memenuhi baku mutu udara ambient sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (100%).
5.    Pelayanan pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan akibat sampah Jumlah TPS dan TPA dioperasikan sesuai persyaratan teknis dan lingkungan (100%)
     Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan wajib di bidang pengendalian dampak lingkungan dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah provinsi selaku wakil pemerintah. Pembinaan dalam bentuk pemberian fasilitas berupa pemberian standar teknis, pedoman, bimbingan teknis, pelatihan, percontohan dan sebagainya.
Realitasnya  adalah sumber daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural resources stock), seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, dll. atau dalam bentuk komoditas seperti kayu, rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
            Hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia adalah terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia (Kantor MENLH, 1990; Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya di dunia, yang melipufi 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril, 65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis (More, 1994). Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
            Perairan yang luas menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan. Potensi maksimum perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Terumbu karang dengan 70 genus yang ada merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia (Choi & Hutagalung, 1998). Demikian pula, sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah, bauksit, dll. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara (Kantor MENLH, 2000; Bachriadi, 1998).
            Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber dayaalam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya alam, yang meliputi : (a) laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi & Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
               Dari sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa negara juga menimbulkan implika sosial dan budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak konflik uiengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia. Kemiskinan juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula, berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992; Reppeto & Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).
           Jika dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia. Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat „ serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss)', dari segi sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2000).
               Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari anutan paradigma seperti di atas secara jelas dapat dicermati dari substansi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti undang-undang agraria (1960), undang-undang pertambangan (1967), undang-undang pengairan (1974), undang-undang perikanan (1985), undang-undang konservasi sumber daya alam hayati (1990), dan undang-undang kehutanan (1999), yang diproduk pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 3 dasa warsa terakhir ini.
            Paparan ini mencoba untuk mengkaji secara kritis karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan hukum nasional, diskusi dan rekomendasi untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam . 
             Instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; (2) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; (3) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; (4) UU No. 9 Talum 1985 tentang Perikanan; dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti berikut:
  1. Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
  2. Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
  3. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
  4. Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
  5. Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
  6. Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
             Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan membuat undang-undang baru seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; dan (3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
  1. Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);
  2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemali; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
  3. Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
  4. Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan
  5. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik  dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.
    
DAFTAR PUSTAKA
                                              
Gunningham, N., 1998. Smart  Regulation; Designing Environmental Policy. Oxford University Press.

Islami, M.I, 2003, Prinsip Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup RI, 2003. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta

Nugroho, R.D., 2003, Kebijakan Publik;  Formulasi, Impelentasi dan Evaluasi, Elek Media Komputindo, Jakarta

Rauf, M., 2002. Pemerintah Daerah dan Konflik Horizontal, Jurnal Ilmu Politik, 18: 27 - 35

Ratnawati, T., 2002. Desentralisasi dalam Konsep dan Implementasi di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogya

Santosa, M, A. 2004. Undang-undang Lingkungan, Sebuah Tantangan. Majalah Serasi.

Soekanto, S. dan Mamudji, S. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers. Jakarta.

Topatimasang, R., dkk, 2000, Merubah Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Jakarta

Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekretariat Negara RI, Jakarta

Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup RI. Jakarta


















[1] Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut hukum publik dan hukum Perdata, Jakarta, 1992, halaman 45-46.
»»  Baca Selengkapnya...