MEMAHAMI KONSEP KOORDINASI DALAM
PEMERINTAHAN DAERAH
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Salah
satu hal penting dalam kegiatan pemerintahan daerah adalah masalah koordinasi
pemerintahap dan hal yang berpengaruh terhadap terlaksananya koordinasi
adalah kesiapan
sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah dalam pelaksanaan wewenang dari
Daerah merupakan suatu tuntutan profesionalitas aparatur pemerintah yang
berarti memiliki kemampuan pelaksanaan tugas, adanya komitmen terhadap kualitas
kerja, dedikasi terhadap kepentingan masyarakat sebagai pihak yang dilayani
oleh pemerintah daerah.
Pernyataan di atas selaras dengan
pandangan Dr. M. Irfan Islamy bahwa : Kalau kepentingan publik adalah sentral,
maka menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah
mutlak, yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan
responsibilitas obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi
dirinya. ( Dr. M. Irfan Islamy, 2000 : 12 ).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka menjadi sangat
mendesak perlunya profesionalitas aparatur pemerintah daerah di samping
kesiapan aspek lainnya dalam melaksanakan kewenangan pemerintah daerah, sehingga menarik
untuk dikaji apakah dari aspek sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah
telah siap melaksanakan paradigma baru penerapan otonomi daerah tersebut. Atau
apa kriteria profesionalitas aparatur pemerintah daerah yang sangat didambakan
semua orang, agar penyelenggaraan wewenang pemerintah daerah di dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat memuaskan sesuai dengan pesan
agenda reformasi.
Untuk fokusnya tulisan ini membatasi pada aspek perubahan mendasar “sikap” dan “karakter”
Aparatur Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Paradigma Baru Otonomi Daerah,
sebagai salah satu cerminan kriteria profesionalisme dalam pelaksanaan wewenang
pemerintah daerah, mengingat profesionalisme merupakan perwujudan sikap atau
karakter seseorang. Hal ini merujuk pernyataan
David H. Maister : “Real professionalism is about attitudes, and perhaps even
about character” ( Maister, David H., Internet, 1997 : 3 ).
Pembahasan tentang
aparatur pemerintah tidak terlepas dari bahasan peranan birokrasi pemerintah.
Dapat dikatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh
aparatur pemerintah adalah apa dan bagaimana peranan birokrasi pemerintah.
Hakekat terdalam dari esensi pengertian birokrasi menurut teori
Max Weber dalam karyanya “The theory of Economic and Social Organization” pada dasarnya adalah sebagai sebuah
organisasi yang disusun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang
tertib, teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja
atau prosedur kerja yang jelas.
Dengan demikian makna birokrasi pada sektor
pemerintahan mencakup bidang tugas yang sangat luas, kompleks dan melibatkan
bentuk organisasi yang berskala besar dengan jumlah personil yang banyak untuk
melaksanakan penyelenggaraan negara, pemerintahan, termasuk pelayananan umum
dan pembangunan.
Dengan lebih tegas lagi, bahwa peran birokrasi pemerintah dipandang sebagai yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pembangunan suatu negara, maupun untuk memenuhi segala
kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Pada kenyataan dalam praktek
sering terdapat pandangan bahwa birokrasi pemerintah atau setiap berhubungan
dengan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan suatu pelayanan menunjukkan
gejala yang mengecewakan, berbelit-belit, lama, mahal dan tidak memuaskan termasuk kurangnya koordinasi. Mengapa
terjadi demikian salah satu kelemahan adalah masalah koordinasi. Penyakit yang
masih belum berkurang pada jajaran birokrasi yakni jika terjadi “ego sektoral”
Untuk memahami konsep koordinasi,
berikut ini dipaparkan pengertin koordinasi Koordinasi. Menurut Handoko
(2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan
komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan
bermacam-macam satuan pelaksanaannya. Hal ini juga ditegaskan oleh
Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa
koordinasi dan kepemimpinan (lendership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
Koordinasi
adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar kegiatan daripada bagian-bagian
itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan
usahanya secara maksimal, agar memperoleh hasil secara keseluruhan. Koordinasi
terhadap sejumlah bagian-bagian yang besar pada setiap usaha yang luas daripada
organisasi demikian pentingnya sehingga beberapa kalangan menempatkannya di
dalam pusat analisis.
Koordinasi
yang efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai administrasi /
manajemen yang baik dan merupakan tanggungjawab yang langsung dari pimpinan.
Koordinasi dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan satu sama lain oleh karena
itu satu sama lain saling mempengaruhi. Kepemimpinan yang efektif akan menjamin
koordinasi yang baik sebab pemimpin berperan sebagai koordinator.
Menurut G.R.
Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk
menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk
menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah
ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah
mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan
yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan
dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan,
2007:85).
Menurut Mc.
Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses
di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara
bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu,
Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination)
sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada
satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko
(2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan
komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan
bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat
(1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat
dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan
kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu
sama lain saling mempengaruhi.
Pertanyaan yang diajukan apa yang menjadi Masalah – Masalah Dalam Koordinasi ? Jawaban atas pertanyaan ini
dijawab dengan pernyataan, bahwa peningkatan
spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar
derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan
Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam
sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:
1.
Perbedaan dalam orientasi terhadap
tujuan tertentu;
2. Perbedaan
dalam orientasi waktu;
3. Perbedaan dalam
orientasi antar-pribadi;
4. Perbedaan dalam
formalitas struktur.
Perbedaan di atas memberikan
pemahaman tentang Tipe – Tipe
Koordinasi,
yakni: Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:
pertama, Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang
dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatauan kerja
yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya. Kedua Koordinasi
horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan
penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan,
pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi
(aparat) yang setingkat.
Berdasarka kedua tipe koordinasi di atas, maka dapat
ditelusuri Sifat – Sifat
Koordinasi , yakni: Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3
(tiga) sifat koordinasi, yaitu: (1) Koordinasi adalah dinamis bukan
statis; (2) Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh
seorang koordinator (manajer) dalam
rangka mencapai sasaran; (3) Koordinasi hanya meninjau suatu
pekerjaan secara keseluruhan.
Pertanyaan yang diajukan
jika demikian apa Syarat
– Syarat Koordinasi, menurut
Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: (1) Sense of cooperation
(perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per-bagian
bidang pekerjaan, bukan orang per-orang; (2) Rivalry, dalam
perusahan-perusahan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar
bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai tujuan; (3) Team spirit,
artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; (4) Esprit de corps,
artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah
kegiatan yang bersemangat.
Dengan demikian sebuah
konsep koordinasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Menurut
Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Bahwa
tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. (2) Adanya
proses (continues process). (3) Pengaturan secara teratur usaha kelompok. (4) Konsep kesatuan
tindakan. (5) Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama.
Pertanyaan bagaimana realitasnya apakah
koordinasi sudah terlaksana atau hal apa yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
koordinasi ? Secara realitas dapat
diamati, bahwa aparat birokrasi pemerintah sering juga dianggap belum mampu menyesuaikan diri dengan modernisasi,
perilakunya tidak inovatif dan sering pula melakukan korup. Kondisi ini semakin
diperparah adanya kecenderungan dari birokrasi pemerintah yang menerapkan pola
otokratik dan otoriter.
Patut disadari, bahwa merubah
pandangan ini tidaklah mudah, perlu adanya pembuktian pelaksanaan peran
birokrasi pemerintah yang berpihak pada masyarakat yang dilayani dengan
dilandasi semangat pembaharuan yang mendasar sebagai identitas baru birokrasi
pemerintah.
Pada era saat ini penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan paradigma baru otonomi daerah merupakan salah satu
bagian pesan reformasi terhadap aktualisasi peran pemerintah daerah dalam
penerapan fungsinya untuk memberikan pelayanan atas kepentingan masyarakat ( public interest ) dan menyelesaikan
masalah – masalah dalam masyarakat ( public
affairs ). Dua hal tersebut selaras
dengan locus Administrasi Negara yang dikemukakan oleh
Nicholas Hendry dalam bukunya “Public Administration and Public Affairs”
sebagaimana dinyatakan oleh Dr.M. Irfan Islamy : ……. Focus administrasi negara
adalah teori organisasi ( organization theory ) dan ilmu
management ( management science ) dan
locusnya adalah kepentingan publik ( public
interest ) dan masalah – masalah publik ( public affairs ) ( 2000 : 8 ).
Pada satu sisi kita ketahui bersama,
bahwa kegiatan pelayanan publik yang berorientasi pada
kepentingan publik dan masalah – masalah publik, kegiatan birokrasi pemerintah
( daerah ) juga melaksanakan kegiatan
lainnya berupa kegiatan yang
dapat mendatangkan hasil (funding
outcomes), sehingga dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan kegiatan
pelayanan publik. Misalnya melaksakan kegiatan pembangunan infra struktur dasar seperti jalan/jembatan/rumah sakit/gedung sekolah/kegiatan pelayananan
bantuan penanggulangan korban bencana serta pelayanan umum lainnya untuk
memenuhi kepentingan/masalah publik. Di sisi yang lain, bahwa pihak melaksanakan kegiatan
membangun obyek wisata/mendirikan suatu BUMD dan lain sebagainya untuk
mendapatkan hasil sebagai sumber pendapatan daerah untuk meningkatkan kemampuan
pembiayaan pelaksanaan wewenang dan kewajiban pemerintah daerah.
Dengan
demikian pada tataran praktis dapat dibedakan, kegiatan
pelayanan publik oleh pemerintah (daerah ) guna memberikan pelayanan pemenuhan
kepentingan publik maupun masalah-masalah publik, tidak dimaksudkan untuk meningkatan pendapatan daerah. Sekalipun
dimungkinkan terjadinya peningkatan sumber pendapatan daerah yang signifikan
dengan kegiatan pelayanan publik tersebut. Saat ini ada kecenderungan di samping itu melakukan
kegiatan sebagai usaha pemerintah ( daerah ) guna meningkatkan pendapatan
daerah dengan mulai mencari alternatif perluasan sumber – sumber pendapatan dan
pembiayaan pembangunan daerah, baik yang berasal dari potensi daerah, pasar
modal di tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah membiayai pelaksanaan kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipaparkan, bahwa ada perubahan sikap yang harus ditunjukkan oleh aparatur pemerintah
daerah dalam praktek sebagai
penyelenggara pemerintahan, penyelenggara pelayanan umum dan pembangunan yaitu
perubahan atau pembaharuan sikap dan karakter aparatur pemerintah yang
berorientasi pada fungsi fundamental pemerintah dan sesuai dengan paradigma
baru Administrasi Negara.
Hal ini
selaras dengan paradigma baru Administrasi Negara yaitu
memandang Birokrasi Pemerintah tidak lagi hanya semata-mata melaksanakan
Pelayanan Publik yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa publik ( kepentingan
publik ) serta memecahkan masalah – masalah publik, tetapi sekaligus sebagai
pendorong dan fasilitator tumbuhnya partisipasi masyarakat.
Artinya
secara realistik, bahwa fenomena ini merupakan
konsekuensi logis ketidak mampuan birokrasi pemerintah ( di negara manapun )
untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan serta memecahkan masalah –
masalah masyarakatnya tanpa keikutsertaan masyarakat sendiri. Dalam hubungan
ini diperlukan pembaharuan pendekatan manajemen pemerintahan dalam
mempraktekkan peran birokrasi pemerintah. Pandangan David Osborne dan Ted Gaebler tokoh
Reinventing Government yang dikutip dari “Etika Birokrasi” ( Drs. Gering Supriyadi, MM, 1998 : 32 )
menyatakan, penyempurnaan dan pembaharuan manajemen pemerintahan dilakukan
dengan penerapan beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Catalytic Government :
Steering
Rather Than Rowing (Mengemudi lebih baik dari pada Mendayung). Karena itu
lepaskan pekerjaan pelaksanaan yang sekiranya dapat dikerjakan masyarakat,
Pemerintah cukup melakukan pengaturan dan pengendalian.
2. Community-Owned Government
:
Empowring
Rather Than Serving ( berikan wewenang kepada masyarakat ketimbang pemerintah
yang melayani ). Apabila masyarakat
sudah mengatur sendiri, biarkan dan tingkatkan kemampuan untuk mengatur
sendiri ( mem berdayakan masyarakat ) ketimbang tugas pelayanan seluruhnya
dibebankan kepada Pemerintah.
3. Competitive Government :
Injecting
Competition into Service Delivery ( Lembaga – Lembaga Pemerintah bersainglah dalam memberikan
pelayanan). Antar Instansi Pemerintah hendaknya berlomba-lomba melayani
masyarakat dengan sebaik-baiknya dengan tanpamelupakan koordinasi antara
mereka.
4. Mission-Driven Government :
Transforming
Rule – Driven Organizations (
Organisasi yang melaksana- kan aturan, perlu diubah menjadi organisasi yang
mempunyai Missi ). Karenanya buatlah organisasi yang mempunyai orientasi missi
dan tinggalkan organisasi pelaksana yang orientasinya menjalankan tugas saja
sesuai dengan aturan yang ada.
5. Results Oriented Government
:
Funding
Outcomes, Not Inputs ( Biaya/Dana yang menghasilkan sesuatu, jangan sebaliknya
– bukan sesuatu yang menghasilkan biaya /dana ).
6. Customer-Driven Government
:
Meeting the
needs of the customer, not the bureaucracy ( Perhatikan kebutuhan
pelanggan/masyarakat dan bukan kebutuhan Birokrasi ). Mengutamakan kepentingan
masyarakat.
7.
Enterprising Government : Earning Rather
than Spending ( mendapatkan biaya dan bukan memboroskan biaya) Karenanya
mengutamakan mendapatkan uang ketimbang membelanjakannya.
8. Antisipatory Government :
Prevention
Rather Than Cure ( Mencegah lebih baik daripada mengobati ). Mengutamakan
perencanaan dan peramalan supaya mengurangi resiko kegagalan dalam
pelaksanaannya.
9. Decentralized Government :
From Hierarchy
to Participation and Teamwork ( Jauhkan
hierarkhi dan kembangkan partisipasi serta kerja Tim ). Hilangkan hambatan yang
timbul pada hierarkhi melalui partisipasi dan Tim Kerja.
10. Market Oriented Government
:
Leveraging
change through the market ( Perubahan sesuaikan dengan keadaan pasar). Lakukan
perubahan sesuai yang dikehendaki pasar.
Penerapan
sepuluh prinsip dalam pembaharuan manajemen pemerintahan harus tercermin dalam
sikap aparatur pemerintah daerah di dalam pelaksanaan wewenang daerah.
Perubahan ini membutuhkan waktu panjang, di samping perlu adanya Tiga Faktor
penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pembaharuan tersebut, yaitu
: Adanya Pemerintah yang Stabil / Sah – Demokrasi yang mantap dan Komitmen
semua pihak mulai dari Pelaku Birokrasi – Pelaku Penyelenggara Negara sampai
pada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan pembaharuan tersebut.
Dengan
penerapan pembaharuan itu yang disesuaikan dengan kondisi internal pemerintah
dan masyarakat di suatu daerah, diharapkan dapat mewujudkan Clean Government dan Good Governance yang pada gilirannya
diharapkan meningkatkan partisipasi
masyarakat.
Siapa yang melakukan koordinasi
Pemerintahan di daerah pada tataran Provinsi bukankah tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan itu menjadi Tugas
Gubernur berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan Pasal 37 ayat (1) Gubernur
yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Ayat (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Kemudian Pasal 38
ayat (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
memiliki tugas dan wewenang: a pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b koordinasi
penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;
c koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di
daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. Ayat (3) Kedudukan
keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Ayat (4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud Pasal 38 ayat
(4) UU No 32 Tahun 2004 adalah PP No 19 Tahun 2010, sebagaimana dinyatakan konsideran Menimbang PP No 19 Tahun 2004 : bahwa untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta
Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 1980. Fungsi Koordinasi dan Integrasi dalam Administrasi Negara, paper
dalam seminar Efisiensi Administrasi
Manajemen. Jakarta.
______. 2004. Undang- undang Otonomi Derah
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Berikut Penjelasannya. Bandung:
Penerbit Fermana.
______.
2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 2006. PPRI Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Bandung: Fokusmedia.
Arikunto, Suharsmi. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta.
Care Internasional Indonesia. 2004. Pedoman Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa. Samarinda: Care
Internasional Indonesia.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Malayu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Institute For Research and Empowerment.
2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Miles, Mathew B. dan A.
Michael Huberman. 2007. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Musanef. 2004. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Nawawi, H.
Hadari. 2005.Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University.
Rachman, Maman. 1999. Strategi
dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Siagian, P. Sondang. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simanjuntak, Hasurungan. 2000. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap
Efektivitas dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Subagyo, Joko. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukasmanto, dkk. 2004. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Usman,
Husaini dan Setiady Akbar, Purnomo. 2006. Metoodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara.
Widjaja,
HAW. 1996. Otonomi Desa. Jakarta: Rajawali Pers
Sumber
Internet :
adimdamp.blogspot.com/2012/01/pengertian-koordinasi.
html
http://vivitardyansah.blogspot.com/2011/01/pengertian-koordinasi.html
sobatbaru.blogspot.com/2010/12/pengertian-kepala-desa.
html
Gering Supriyadi, Drs. MM., Etika
Birokrasi, LAN – RI, 1998
Irfan Islamy, M. Dr., Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara, Jakarta, Bumi Aksara,
2000
Krishna D. Darumurti & Umbu Rauta, Otonomi Daerah – Perkembangan,
Pemikiran dan Pelaksanaan,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
Maister, David H., True Professionalism : The
Courage to Care About Your People, Your Clients and Your Career, Internet
– 1997
M. Ryaas Rasyid, Reformasi Politik & Ekonomi,
Widyapraja no. 30, Jakarta, 1998
Riggs, Fred, W, Administrasi Pembangunan, Sistem
Administrasi dan Birokrasi, Jakarta, Rajawali, 1989
Soedjadi, F.X., Analisis Manajemen Modern, Jakarta,
Gunung Agung, 1997
Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi, Konsep, Dimensi dan
Strategi, Jakarta, Bumi Aksara, 1996
Susanto, H.M. Dr., Pengembangan
SDM Pemerintahan Daerah, LAN RI, Jakarta, 2000
Thoha, Miftah, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi,
Bogor, Pusdiklat Depdikbud, 1995