Jumat, 10 Juni 2011

PRO DAN KONTRA ASAS LEGALITAS DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) INDONESIA


Oleh : Turiman Fachturahman Nur


A.    Konstruksi  Korelasi Antara Asas Legalitas  dengan Asas Praduga Tak bersalah
             Mengacu pada  pandangan Karl Popper, bahwa suatu ucapan atau teori belum bisa dikatakan ilmiah hanya karena sudah dibuktikan, melainkan karena sudah dapat diuji. Ucapan "semua logam akan memuai jika dipanaskan" dapat dianggap ilmiah kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistimatis untuk menyangkalnya. Kalau suatu teori setelah diuji tetap tahan, berarti kebenarannya semakin kokoh (corroboratium). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal teori, makin kokoh pula kebenarannya. Inilah yang kemudian disebut Popper sebagai the thesis of refutability, suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Berdasarkan pendapat tradisional, cara kerja ilmu didasarkan pada prinsip verifiabilitas, yakni bahwa suatu pernyataan dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris. Karl Popper, menawarkan suatu perspektif yang berbeda. Dengan mengajukan prinsip falfiabilitas ia mengatakan bahwa segala ungkapan atau pernyataan pada dasarnya dapat dibuktikan salah. Bagi Karl Popper, prinsip ini menjadi penentu untuk membedakan suatu ungkapan ilmiah dengan ungkapan non ilmiah, essay ini mencoba menganalisis teori "Asas Praduga Tak bersalah"  sebagai sebuah ungkapan/proposisi ilmiah dalam penerapan peradilan perkara pidana dengan satu pertanyaan kunci, betulkah dengan penerapan asas Praduga Tak Bersalah perlu direnkonsepsi terlebih dahulu untuk memungkinkan korelasnya terhadapi penerapan peradilan perkara pidana dengan sistem Juri dan dengan Common Law Model Anglo Saxon atau tanpa sistem juri tetapi tetap menggunakan prinsip Common Law model Anglo Saxon atau tanpa sistem juri tetapi melakukan kolaborasi  Civil Law dengan Common Law.
          Jawaban atas pertanyaan itu membawa pada analisis filsafat ilmu hukum yang disebut progressivisme, yaitu penganut paham yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu terjadi melalui akumulasi pengetahuan yang semakin baru dan maju setiap kali tanpa meninggalkan teori induknya, sehingga membentuk semacam "sabuk pengaman" Teori Asas Praduga Tak bersalah dalam penegakan hukum pada sistem peradilan perkara pidana dianggap teori induk, yang berasumsi "tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali dengan kekuatan undang-undang" pada tataran ini ada korelasi dnegan Asas Legalitas, jadi harus ada teks rumusan pasal yang terlebih dahulu yang terformulasi dalam undang-undang mengenai perbuatan yang akan dikenakan pada seseorang dan jika tidak maka seseorang harus dibebaskan dari tuntutan hukum, misalnya "barang siapa dengan sengaja mengambil barang orang lain sebagian atau seluruhnya untuk dimiliki, maka diancam hukuman setinggi-tingginya lima tahun penjara" (pasal 362 KUHP tentang pencurian) jadi harus memenuhi subtansi rumusan pasal tersebut baik unsur obyetif (barang siapa) maupun unsur subyektif (dengan sengaja), jika tidak maka tetap berlaku asas praduga tak bersalah, artinya belum dikatagorikan sebagai telah terjadi tindak pidana pencurian.
         Mungkin ada pertanyaan filosofis mengapa  essay  ini menggunakan konsep  filsafat Karl Popper  yang menyatakan, bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenaranya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana dianut oleh kaum positivistik. Menurut teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara) tidak ada kebenaran terakhir. Setiap teori yang bersaing dipilihlah teori yang lebih baik, ratah (simple), saksama (accutate), rampat (general) dan apik (elegant) – dialektis –kritis, oleh karena itulah Karl Popper disebut filosof rasional- kritis dan terpilih dalam analisis essay ini.
         Berdasarkan pandangan Karl Popper pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana merekonseptualisasi  asas praduga tak bersalah sehingga memungkinkan penerapan terhadap peradilan perkara pidana dengan sistem juri dan dengan common law model Anglo Saxon bisa diterapkan di Indonesia,  atau bisa  jadi jawaban itu tidak perlu sistem juri, karena dengan adanya jaksa dan hakim sudah cukup, karena ada kewajiban hakim  wajib menggali hukum yang hidup dalam  masyarakat walaupun dimungkinkan secara subtansial konsepnya yang digunakan common law model Anglo Saxon dan itulah kenyataannya yang sedang berlangsung di Indonesia seperti berbagai kasus yang  telah terjadi  selama ini, contohnya kasus Prita Mulyasari yang dituntut menggunakan pasal penghinaan (Pasal 310 ayat (1),(2) dan ayat (3), 311, 312 KUHP, UU ITE pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat (1)) padahal  ibu ini hanya curhat atas informasi pelayanan sebuah rumah sakit melalui E-mailnya kepada teman sejawatnya yang dijamin secara konstitusional UUD 1945 pasal 28 F.dan Pasal 19 DUHAM
             Merujuk kepada filosofis dan substansi ketentuan pasal 28 J UUD 1945, yang menyatakan: "Ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat  (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".  Berdasarkan rumusan pasal di atas ternyata konsep HAM Indonesia tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain  semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak individu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engkau”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran asas praduga tak bersalah, di dalam bingkai negara hukum kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang asas ”praduga tak bersalah” tersebut, maka sepatutnya asas  ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan sesuai dengan logika hukum baik yang menggunakan pola pikir deduktif maupun induktif, oleh karena sesuai dengan konsep hukum yang progressif, maka tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah adalah negara wajib memberikan perlindungan hukum dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding, yaitu seseorang baru dianggap bersalah dimata hukum jika sudah ada keputusan hukum yang mengikat yang dikuatkan dengan putusan pengadilan. Artinya asas Praduga Tak bersalah tersebut selanjutnya baru berhenti  seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge atau saksi yang memberatkan dan a de-charge atau saksi yang meringankan) telah memunculkan keyakinan majelis hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang  telah  mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian  materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun  terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi..
          Penegasan asas praduga tak bersalah ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan Ulen, yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law, dan sistem hukum, Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakanya bahwa, sistem hukum yang pertama (Common Law) menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian, sedangkan sistem hukum kedua (Civil Law) tampak moderat dalam hal tersebut. Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan bahwa, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa. Sebaliknya sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan bahwa, prinsipnya tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah bahwa, negara (dalam hal ini diwakili oleh jaksa penuntut umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka. Secara lebih jelas, dikatakannya,”the rationale for the presumption of guilt is that the state would not bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa,”the Court acknowledge its confidence in the prosecutor by proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless the defendant prove otherwise”.[1]
Berangkat dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka rekonseptualisasi prinsip  praduga tak bersalah yang disarankan penulis di atas masuk akal, proporsional, serta  sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.[2] Di Belanda sendiri, perhatian terhadap korban kejahatan, selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[3]
            Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tersebut, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi[4] untuk mencegah seseorang tersangka  kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 (enam) tahun.  Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan yang bersangkutan atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan  atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[5] oleh  karena itu sistem juri sebenarnya tidak diperlukan lagi, karena majelis hakim sudah bertindak sebagai tim juri dan bisa menggunakan alternatif sanksi yang telah disediakan oleh peraturan perundang-undangan dalam mengambil keputusan, walaupun secara filosofis peradilan perkara pidana secara subtansi dan kenyataannya saat ini telah terpengaruh  menggunakan konsep Common Law Model Anglo Saxon, mengapa demikian ? karena di Indonesia Hakim diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan dan atau menggali nilai-nilai hukum yang  hidup dalam masyarakat atau memperhatikan rasa keadilan hukum yang hidup dalam sanubari masyarakat dan yang terpenting serta mendasar sebenarnya, bahwa penegakan hukum dalam sistem peradilan perkara pidana  apapun konsepnya apakah sistem common law atau civil law baik model Anglo Saxon maupun Eropah Kontinental  di Indonesia baik dengan menggunakan sistem juri atau tanpa sistem juri  sebenarnya dimungkinkan secara yuridis, filosofis dan sosiologis untuk mencapai  tujuan penegakan hukum itu sendiri baik itu tujuan hukum untuk kepastian hukum, keadilan atau kemanfaatan tergantung  dari  paradigma[6] yang digunakan oleh para  penegak hukum  dan juga  bagi  para penstudi hukum, artinya selama paradigmanya belum bergeser dari aliran Logico Positivisme  yang ditokohi Wiener Kreis, John Austin, Hans Kelsen pada abad 19 yang menyatakan, bahwa pengetahuan yang sah adalah pengetahuan yang didasarkan pada empiris-logis, artinya, hanya kenyataan yang dapat diobservasi panca inderalah (yang  sensual) yang dapat dijadi obyek ilmu, oleh karena itu asas yang berlaku disini adalah asas verifikasi. Berdasarkan asas ini, putusan ilmiah atau putusan hakim adalah benar hanya apabila putusan itu dapat diverifikasi secara empiris, yakni diuji pada kenyataan. Produknya berupa teori ilmiah atau keputusan hakim di pengadilan sekaligus juga hipotesis yang terbuka diuji kembali pada kenyataan (eksaminasi putusan), jadi dengan demikian kemungkinan penerapan terhadap peradilan perkara pidana dengan sistem juri dan dengan Common Law Model Anglo Saxon masih merupakan hipotetico-deducto-verikatif.
          Selanjutnya berdasarkan analisis Rasional kritis yang ditokohi Karl Popper  mensyaratkan bahwa pengetahuan ilmiah harus obyektif dan teoritikal, dan pada analisis terakhir merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Dengan demikian paham ini tidak mengakui spekulasi-apriori, tetapi menganut asas korespondensi tentang kebenaran, artinya rasionalisme kritis justru bertitik tolak dari proposisi ilmiah untuk kemudian dibuktikan kesalahannya dalam tataran empiris. Inilah falsifikasi ala Karl Popper,  dengan demikian kemungkinan penerapan  terhadap peradilan perkara pidana dengan sistem Juri  dan dengan Common Law Model Anglo Saxon adalah sebuah keniscayaan tetapi perlu diuji menggunakan falsifikasi ala Karl Popper. Jadi juga merupakan hipotetico-deducto-rasional kritis yang dijadikan searchlight dan harus disorot kembali untuk menemukan data yang menyangkal hipotesis tersebut  melalui metode deduksi.
          Analisis terhadap kemungkinan Penerapan Peradilan perkara Pidana dengan Sistem Juri  dan dengan Common Law Model Anglo Saxon sesungguhnya berbanding lurus dan berkorelasi dengan  rekonseptualisasi asas praduga tak bersalah yang seharusnya harus dirubah dahulu sehingga berbunyi: ”seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya", mengapa demikian karena, sistem hukum Common Law model Anglo Saxon menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian. Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan bahwa, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa, tetapi kenyataannya bahwa sistem peradilan perkara pidana  apapun konsepnya apakah sistem common law atau civil law  di Indonesia dengan menggunakan sistem juri atau tanpa sistem juri  sebenarnya dimungkinkan  untuk mencapai  tujuan penegakan hukum itu sendiri baik itu tujuan hukum untuk kepastian hukum, keadilan atau kemanfaatan/kemaslahatan tergantung  dari  paradigma yang digunakan oleh para  penegak hukum, karena misalnya hakim diwajibkan menggali hukum yang hidup di masyarakat dan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang dan hidup di dalam sanubari masyarakat  serta  juga secara keilmuan perubahan paradigma kajian hukum bagi  para penstudi hukum di Indonesia baik pada program magister maupun program doktor ilmu hukum secara filsafat ilmu perlu menjadi perhatian.

B.Pengertian Asas Legalitas
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas.[7] Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat).[8]
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa.Sehingga
terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.[9] Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) di samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.[10]
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.[11] Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.[12] Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang  memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.[13] Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.[14]

1.Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan padam undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.

Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang tersebut.

2.. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes)[15] Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.[16]
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.[17]

3.Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).
Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.
Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.[18].

4..Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.[19] Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.[20]
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi[21] telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi.[22] Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untukn tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.[23] Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya, bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan.[24] Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi[25], timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.[26]


C.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).[27]
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.[28]
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundangundangan.

D. Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia
Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.[29]
Sebagai peraturan peninggalan Belanda[30], menurut Mudzakkir,32 asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen.33 KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.[31]
Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam
praktek di Indonesia tidak[32] diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.[33]
Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan Belanda.[34] Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang
dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda.[35] Di awal-awal kemerdekaan,[36] peradilanperadilan
adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum.[37] UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut.[38] Namun, secara historis sejak diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,[39] peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain,
seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, menurut Mudzakkir,[40] yang menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai penyimpangan[41] asas legalitas.
Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukumhukum yang tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis.[42] Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hukum yang ‘hidup dalam masyarakat’ ini tercakup juga hukum agama, misalnya hukum Islam -- yang berlaku di NAD – yang berbeda karena tertulis dalam Kitab dan Hadist.
Hukum hidup dalam masyarakat ini dicantumkan dalam RKUHP pada Pasal 1 ayat (3). Otomatis yang dimaksud dalam RKUHP adalah ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’yang berkaitan dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana Islam. Tentu saja pencantuman itu menimbulkan kontroversi di kalangan yuris, termasuk di antaranya yuris mancanegara, Prof. Schaffmeister yang menyebutkan pasal tersebut sebagai pasal akrobatik.
Kontroversi itu timbul tidak lain karena karakter hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat berbeda dengan karakter hukum pidana. Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana.[43] Asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat. Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat. Menurut I Gede
A.B. Wiranata, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat.[44]47
Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.[45]
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke
Masa (2005), I Gede A.B. Wiranata menyimpulkan pelanggaran adat adalah, (i) suatu peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan semula.[46] Sementara tugas penegakan hukum dan pelanggarannya ada pada kepala persekutuan hukum adat tersebut. Berbeda dengan pengaturan RKUHP yang menghendaki penegakannya tetap melalui aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara.[47] Di antaranya tetap melalui polisi, jaksa, dan diperiksa melalui pengadilan. Hal ini tersirat dalam bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan “Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.”

E.Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP
Seperti disebutkan dalam bagian pertama, asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam
RKUHP analogi telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak berbeda seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan
bahwa:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.

Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.

Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.

Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan penafsiran analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang. ‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di antaranya adalah: (i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;[48] (ii) penggunaan frase “peraturan perundang-undangan” yang berarti bukan hanya undang-undang;[49] (iii) larangan penggunaan analogi;[50] dan (iv) berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting mengenai berlakunya hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa tindak pidana akan dirumuskan secara legitimit.[51]54 Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan diantaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.[52]
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang dimaksud harus ada
sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa hanya perbuatan yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan saja yang dapat dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi Pasal 1 ayat (2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya pengenaan sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan. Dengan kata lain, menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan’. Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan umum hukum pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana. Oleh sebab itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk penguatan doktrin hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum tersebut.
Dalam pengaturan Pasal 1 RKUHP tidak ada larangan penafsiran ekstensif. Kembali menurut Mudzakkir, hal ini karena ada perbedaan utama antara penafsiran analogi dengan ekstensif, yaitu: produk penafsiran analogi menambah "hukum pidana baru" yang memuat perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) yang semula tidak dilarang atau dibolehkan, sedangkan produk penafsiran ekstensif adalah memperluas makna atau pengertian yang tercakup dari suatu undang-undang. Oleh karenanya penafsiran ekstensif tidak dilarang.
Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut, RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu gesetz analogi maupun recht analogi. Dengan demikian, sebenarnya pasal ini melarang penerapan Pasal 1 ayat (3) yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.

F. Munculnya Hukum Hidup yang dalam Masyarakat dalam RKUHP
Seperti diketahui bahwa usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak ntahun 60-an. Saat itu disadari bahwa KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang bahwa: Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.[53]
Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan
memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi butir (iv) disebutkan bahwa: Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.[54]
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain bahwa: (i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.
Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.[55]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa munculnya pengaturan asas legalitas dalam RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu semangat itu begitu menggebu namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas -- dan penerapan sanksi adat  dalam RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.
\\\                     Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan. Dalam artian apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa
depan. Saat ini, disadari bahwa Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan yang dilarang dan tidak dilarang mesti di sesuai dengan konteks ini. Pengaturan asas legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana sebabai berikut:
                
1.   Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Menjadi Hukum Formal
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas legalitas. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Jadi, dapat diketahui salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi rasa keadilan.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak tertulis) ini tidak lain menarik hukum yang tidak tertulis ini menjadi hukum formal. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP yang menyatakan:
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya. Jika terjadi pelanggaran akan ditegakkan oleh pengadilan, pelakunya akan diproses melalui proses formal, baik itu penangkapan, penyidikan, maupun pemidanaan.
Pertanyaannya adalah apakah dengan menjadikan hukum yang hidup dalam masyarat menjadi hukum formal (hukum pidana) dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu disadari bahwa hukum pidana sangatlah berbeda dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat. Dalam hukum adat tidak dikenal pembagian hukum yang berupa hukum pidana, tetapi pelanggaran adat. Lagi pula, walaupun tanpa harus ditarik ke dalam hukum formal, seperti
KUHP, hukum yang hidup dalam masyarakat ini tetap eksis. Rasa keadilan bagi masyarakat dapat terpenuhi dengan membiarkan masyarakat menegakkan hukumnya sendiri tanpa campur tangan pengadilan.
Alasan lain tim perumus memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP di antaranya adalah adanya anggapan bahwa masih banyak perbuatan lain yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan jahat tetapi belum tertampung dalam RKUHP. Pemikiran demikian ini dapat dipersamakan dengan anggapan masih terdapat criminal extra ordinaria dalam konsep jaman Romawi Kuno. Dengan kata lain, masih banyak crimina stellionatus (perbuatan jahat/durjana) yang tidak tertampung KUHP.
Padahal, dalam RKUHP sudah banyak muncul jenis-jenis tindak pidana yang baru, yang proses kriminalisasinya berdasarkan praktek pengadilan dan dinamika masyarakat. Lalu pertanyaannya, perbuatan jahat apa yang masih tersisa? Lagi pula, politik kriminal yang mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan orang melakukan tindak pidana akan rentan terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi[56]. Dengan demikian akan melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalkan.

2.   Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Pasal 1 ayat (3) ini tidak memberikan pengertian yang sangat jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketidakjelasan ini akan berakibat penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena. Sehingga dikhawatirkan muncul gejala premanisme hukum adat seperti yang diungkapkan Prof. Tambun Anyang yang terjadi di Kalimantan Barat.
Apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat, RKUHP tidak memberikan batasan yang jelas hukum yang mana yang diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas mempunyai hukum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Apabila dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu tercakup juga hukum adat, RKUHP tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat, tidak ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan setiap orang bisa saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat menolak atau mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya.
RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diterapkan kecuali: (i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan (ii) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Tetapi, batasan yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang diberikan masih bersifat multiinterpretasi.

3.   Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berbeda dengan Hukum Pidana
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan (lex scripta), dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak diberlakukan surut (non-retroaktif), dan larangan analogi. Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula, pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang dimaksudkannya adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu.
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP bahwa pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang sudah ada dalam KUHP. Sebagai contoh, misalnya perbuatan incest, pemerkosaan, pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya.[57]
Dalam RKUHP, jika terjadi tindak pidana maka pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidana tidak selalu pertanggungjawaban individu. Tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan pada orang lain yang bukan pelaku, di antaranya kepada keluarga pelaku.
Pemberian sanksi dalam hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai perbuatan yang disengaja atau tidak (kelalaian), melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana.

4.   Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat adalah Analogi
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) RKUHP disebutkan bahwa larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkanketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.
Melalui penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan tidak pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu analogi. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur dalam ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam ini merupakan suatu bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi. Padahal telah secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) terdapat larangan analogi. Dengan demikian, telah terdapat pertentangan antara Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) RKUHP.

5.   Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi Pluralisme
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain merupakan suatu bentuk untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara melalui rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kenyataannya memang masih ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut. Pertimbangan diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan pragmatis untuk mengakomodasi pluralitas budaya Indonesia.
Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang diatur dalam RKUHP ini masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan sendirinya melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan pengadilan pidana. Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan dibandingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum negara. Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah.[58]
Dalam artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh. Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dengan dominannya hukum negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut diduga pengaturan dalam RKUHP adalah sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.
6.   Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat Menghilangkan Esensi Hukum Adat
Seperti yang disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk juga hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat adat. Penegakan hukum adat, tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas masyarakat adat yang menerapkannya. Sehingga berkaitan pula dengan ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan keseimbangan jika terdapat pelanggaran.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP tidak lain adalah suatu pengambilalihan fungsi penegakan hukum adat. Dengan kata lain, pencantuman itu telah menjadikan hukum adat sebagai hukum negara, sehingga penegakannya pun melalui hukum negara. Dengan demikian, esensi hukum adat telah bergeser maknanya.
Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah sebagai bentuk penaklukan, dan ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya terjadi positifisasi hukum adat. Padahal hukum adat sangat berbeda karakternya dengan hukum tertulis (positif). Lagi pula, menurut John
Griffiths[59], pemahaman asas kepastian hukum dalam hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat) tidak sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum negara. Bagi para penggerak sentralisme hukum beranggapan bahwa upaya membentuk suatu sistem hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian melalui pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat di mana masyarakat primitif heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan modern.[60]

7.   Beberapa Permasalahan yang Mungkin Timbul dari Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu perbuatan. Seperti disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat pada dasarnya bukanlah hukum yang tertulis. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, pengakuan secara formal hukum yang hidup dalam masyarakat oleh RKUHP ini akan menambah keruwetan sistem hukum negara yang pada dasarnya menginginkan adanya keseragaman.[61]
Dalam penerapannya, hukum pidana memerlukan peradilan. Jika hukum yang hidup dalam masyarakat ini diajukan pengadilan akan ditemui suatu hambatan bagi jaksa (penuntut umum) untuk merumuskan delik dalam surat dakwaan. Element of crimes yang terdapat pada hukum yang hidup dalam masyarakat tidak begitu rinci seperti halnya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan. Lagi pula, tanpa memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat perkara di pengadilan sudah menumpuk. Sehingga dapat menghambat prinsip peradilan cepat dan biaya murah. Penyelesaian perkara oleh masyarakat adat sendiri jauh lebih murah ketimbang diselesaikan oleh pengadilan.


Persoalan krusial lain di antaranya adalah mengenai proses dan cara memeriksa perkara jika pelaku pelanggaran merupakan orang yang bukan kelompok persekutuan masyarakat adat bersangkutan. Akibatnya, dibutuhkan hakim yang mengerti dengan baik karakteristik
hukum adat yang akan dijadikan dasar putusannya. Selain itu, persoalan ne bis in idem yang oleh hukum pidana pelakunya telah dibebaskan, sementara hukum adat menganggap tetap menyatakan hal tersebut adalah pelanggaran, tentu saja akan terjadi proses peradilan yang berulang-ulang. Hal tersebut tidak lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Kesimpulan
Pasal 1 ayat (1) RKUHP menghendaki agar hukum pidana harus ditentukan terlebih dahulu melalui peraturan perundang-undangan. Barulah kemudian seseorang bisa dimintai pertanggungjawabannya terhadap perbuatan yang dilakukannya setelah ada peraturan tentang itu. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut tidak lain adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang diakui negara. Dengan kata lain adalah hukum tertulis.
Sementara, hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hukum yang dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, tidak tertulis, dan bukan sebagai peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, hukum yang hidup dalam masyarakat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Dengan kata lain, terjadi pertentangan satu sama lainnya.
Secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) RKUHP terdapat larangan penggunaan analogi. Tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) ini merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi. Dengan demikian, terjadi pertentangan lagi di antara aturan Pasal 1 RKUHP.
Hukum pidana menghendaki adanya pengaturan yang bersifat rinci dan cermat, prinsip ini dikenal sebagai prinsip lex certa. Hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hukum yang dituliskan. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin perumusan delik yang diatur dalam hukum yang hidup dalam masyarakat dibuat secara rinci.
Pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini merupakan sisa-sisa semangat me- Indonesia-kan hukum pidana. Pengakuan masyarakat adat melalui penerapan pidana adat bukanlah pada tempatnya dalam RKUHP, karena hukum adat tidak sejalan dengan nafas hukum pidana yang menghendaki adanya kodifikasi dan unifikasi.
Pengakomodasian hukum yang hidup dalam masyarakat ini, yang penegakannya masih melalui pengadilan dapat menghilangkan esensi hukum adat yang syarat dengan unsur ritual dan religius.

Rekomendasi
Telah terjadi pertentangan secara konseptual pengaturan antara asas legalitas dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengaturan Pasal 1 RKUHP perlu dirumuskan ulang dengan tetap konsisten mengenai asas legalitas, yaitu penerapan asas legalitas secara murni.
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) RKUHP bukanlah suatu bentuk perluasan asas legalitas, tetapi sebagai kemunduran dan penghilangan makna asas legalitas. Oleh karena itu, pemberian kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat perlu dihilangkan dalam pengaturan ketentuan hukum pidana.
Pencantuman pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat telah bertentangan dengan prinsip hukum pidana lex certa yang menghendaki perumusan yang rinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta menimbulkan kesewenangwenangan dalam penegakan hukum pidana.
Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP sebenarnya bukanlah tempat yang pas. Hukum pidana menghendaki kodifikasi dan unifikasi, sementara hukum yang hidup dalam masyarakat sangat plural dan tergantung pada komunitas tertentu. Seharusnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini ditempatkan pada sarana hukum yang lain selain hukum pidana. Lagi pula, pengakomodasian hukum yang hidup dalam masyarakat pada RKUHP dapat berakibat terhadap hilangnya esensi hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Seharusnya hukum yang hidup dalam masyarakat ditempatkan pada penafsiran unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi dalam praktek selama ini, bukan menempatkannya sebagai dasar menghukum seseorang. Biarkanlah hukum yang hidup dalam masyarakat tumbuh dan berkembang sendiri dalam masyarakat adat tanpa harus ditarik menjadi hukum yang formal. Justru rasa keadilan masyarakat dapat lebih dirasakan apabila penegakannya diserahkan pada komunitasnya masing-masing.


DAFTAR BACAAN
Ahmad Ubbe, “Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan Dalam Lintas Sejarah”, dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, 2000
Artidjo Alkostar, Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP, http://www.kompas.com Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkanan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2002
Bassiouni, M Cherif, Subtantive Criminal Law, 1978
Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 Apr 2003, www.pemantauperadilan.com
ELSAM, Background Paper: Timjauan Umum Terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005
Gilisen, John dan Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung, Januari 2005
Heveman, Roelof H., The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tatanusa,
Jakarta, 2002
H Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang di adakan ELSAM di Hotel Ibis Tamarim, 22 Agustus 2005.
Abdurrahman, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003
I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 2005
Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”
Lie Wilardjo, Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu, Makalah Dalam Simposium Hukum Nasional Tentang Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, Semarang , tanggal 10-2-1998
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000
M. Karfawi, Asas Legalitas Dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya,
Jurnal Arena Hukum, Juli 1987 hlm 9 – 15
Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas Dalam RUU KUHP, Makalah dalam Focus Group Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas Dalam RKUHP yang diadakan ELSAM, Hotel Ibis Tamarim Jakarta, 22 Agustus 2005
Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003
Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction  of Law and  Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana, Armica Bandung, 1995


[1] Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction  of Law and  Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000; page 431
[2] Konsep Keadilan Aristoteles, yang menerangkan kesetaraan absolut,  antara “damage” dan “compensation”, yang disebut olehnya sebagai “Commutative Justice”; dan kesetaraan relatif antara ”reward and punishment”, sebagai ”Distributive Justice”.(Dikutip dari, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin”; Harvard University Press; 1950; page 74).
[3] P.J.P.Tak, op.cit, p.21
[4] Diskresi ialah kebebasan memilih yang diberikan kepada hakim atau penuntut umum untuk memilih alternatif  sanksi hukum yang tersedia didalam peraturan perundang-undangan, misalnya didalam undang-undang ada berbagai pilihan sanksi hukuman seperti dihukum kurungan atau denda atau diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak hormat dan pilihan lain misalnya dimutasikan, maka pejabat yang berwenang memilih salah satu alternatif yang  telah disediakan oleh peraturan perundang-undangan, diskresi ini disebut diskresi terikat, jika peraturan perundang-undangan tidak menyediakan sejumlah alternatif  atau pilihan sanksi hukum, maka pejabat yang berwenang  memutuskan sesuai dengan semangat dari tujuan peaturan perundang-undangan itu dibentuk, yaitu  untuk keadilan atau kemanfaatan,  diskresi seperti ini disebut diskresi bebas.
[5] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.
[6] Lie Wilardjo, Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu, Makalah Dalam Simposium Hukum Nasional Tentang Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, Semarang , tanggal 10-2-1998, hal 1. Sesuai dengan makna deigma atau exemplar, paradigma merupakan semacam model yang dijadikan contoh oleh para ilmuwan yang melakukan kegiatan keilmuannya dalam paradigma itu. Dengan  pula, selaras dengan matriks dan disiplin, paradigma merupakan kerangka keyakinan (belief of framework) atau komitmen intelektual yang memberi batasan tentang masalah dan prosedur serta metode penyelesaiannnya, artinya kemungkinan penerapan peradilan perkara pidana dengan sistem juri dan dengan common law model Anglo Saxon tergantung dari dari kejayaan paradigma Civil law model Eropah Kontinental yang sedang  berlangsung di Indonesia saat ini, tetapi kenyataannya akhir-akhir ini konsep hukum Indonesia pada beberapa bagian tertentu sedang bergeser menuju kepada common law model Anglo Saxon, walaupun tanpa sistem juri  dan apabila dipenghujung periode normal science, ketika sudah terlalu"teka-teki" yang tak terpecahkan dengan, metode, teknik dan prosedur yang bertumpu pada paradigma hukum konsep Civil law model Eropah Kontinental atau Paradigma positivisme  yang masih bertahan, maka lompatan paradigma baru yang terjadi ditengah-tegah krisis hukum yang sesudah memuncak yang dibarengi oleh tergusurnya paradigma lama, itulah sistem peradilan perkara pidana dengan sistem juri dan dengan common law model Anglo saxon menjadi kemungkinan alternatif  pilihan sistem peradilan perkara pidana di Indonesia, sekalilagi pergeseran paradigmatiklah yang memungkinkan peradilan perkara  pidana dengan sistem juri dan dengan common law model Anglo Saxon diterapkan di Indonesia, tetapi itu masih merupakan hipotetico-deducto-verikatif atau hipotetico deducto rasional kritis.
[7] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000, hlm. 23.
[8] Ibid, hlm. 23-24.
[9] Ibid, hlm. 24.
[10] Dalam perumusan surat dakwaan, seperti yang diatur dalam KUHAP, locus delicti dan tempus delicti sangat penting untuk dicantumkan. Tanpa kedua hal ini, surat dakwaan Jaksa dapat dinyatakan batal demi hukum dan prematur
[11]Lihat: M. Karfawi, “Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya”, Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit. hlm. 25.

[12] Lihat: Ibid, hlm 355
[13] Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50.
[14] Ibid.
[15] Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan kejahatan, kedua istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana
[16] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm. 358

[17] Lihat: Ibid. Jan Remmelink mencontohkan mengenai culpa yang diterjemahkan lebih lanjut berdasarkan kebiasaan. Begitu pula garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks ‘tidak berbuat/melalaikan’ (nalaten). Juga mengenai penyertaan dan percobaan yang mengalami perluasan ruang lingkup. Perlu juga dicatat mengenai kebebasan Hakim menggunakan interpretasi teleologis dan fungsional.
[18] Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”.
[19] Di dalam ilmu hukum pidana mengenai penafsiran undang-undang hukum pidana merupakan hal yang sangat penting, demikian pula bagi para penegak hukum, terutama hakim. Penafsiran penting juga untuk kepastian hukum. Lihat: Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 67.
[20] Lihat: Ibid, hlm 68-72.
[21] Baik Mulyatno dalam bukunya “Asas-Asas Legalitas”, maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi dipadankan dengan kata ‘kiyas’.
[22] Kelompok penerima di antaranya Taverne, Pompe, dan Jonkers. Kelompok penentang di antaranya Scholten, van Hattum, termasuk yuris sekarang Jan Remmelink. Yuris Indonesia sebagian besar menentang penerapan analogi, di antaranya Moeljatno dan Roeslan Saleh. Sementara dalam praktek peradilan, penafsiran analogi kerap digunakan, misalnya pengertian barang (goed) telah diperluas termasuk aliran listrik pada tahun1921. Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, Hakim Bismar Siregar dalam Kasus “Perayu Gombal” pada Pengadilan Tinggi Medan Reg.: 144/PID/1983/PT.Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk pula kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman
Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www.pemantauperadilan.com.  “kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www.pemantauperadilan.com.
[23] Beberapa negara, seperti Denmark, sudah menerima penafsiran analogi, namun negara-negara daratan Eropa masih keberatan terhadap penerapan penafsiran ini. Lihat: Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.
[24] Ibid. Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa, sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan hukum (perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan untuk tetap dapat menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan secara emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun non-instansi) lainnya; dan (iv) Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh UU tahun 1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran analogis. Lihat: Ibid. hlm 360.
[25] Pada saat pemerintahan Nazi telah terjadi penggunaan analogi secara serampangan sehingga menimbulkan trauma yang mendalam di Eropa
[26] Ibid.
[27] Beberapa yuris menerangkan juga bahwa sebenarnya dalam Pasal 1 KUHP tersebut terdapat larangan analogi. Dengan demikian, dalam Pasal 1 KUHP terkandung tiga hal penting dengan memasukkan larangan menggunakan analogi dalam menentukan adanya tindak pidana.
[28] Tetapi sayangnya, penegakan hukum pidana di Indonesia acap kali dihadapkan pada jenis kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat. Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistensi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau sebaliknya. Lihat: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www. pemantauperadilan.com.
[29]Lihat: Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas dalam RUU KUH. Makalah dalam Focus Group Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan ELSAM, Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, 22 Agustus 2005.
[30]Seperti kita ketahui, sistem hukum Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontinental yang diwariskan ke Indonesia. Beberapa ahli memandang bahwa sistem ini kurang cocok untuk masyarakat Indonesia yang heterogen.

[31] Menurut Mudzakkir, ini merupakan suatu kondisi kelemahan hukum tertulis yang selalu tidak bisa membuat rumusan hukum yang sempurna yang sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat yang dinamik, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Ibid.
[32] Menurut saya, asas legalitas bukan tidak diterapkan secara murni, tetapi pernah diterapkan secara tidak murni sampai berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
[33] Pernyataan ini terungkap dalam Focus Group Discussion Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan ELSAM pada tanggal 22 Agustus 2005
[34] Sejarah peradilan adat di Indonesia dapat dilihat pada: Sekilas Mengenai Peradilan Adat, yang disusun oleh Tim Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), sebagai materi penunjang bagi wartawan pada kegiatan Seminar Peradilan Adat pada tanggal 10 Desember 2003, di Sanggau, Kalimantan Barat. Lihat juga: Abdurrahman Saleh, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003.
[35] Di antaranya Staatsblad (Stb.) 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 Nomor 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb 1906 Nomor 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb 1908 Nomor 231 untuk daerah Hulu Mahakam (Kalimantan Selatan dan Timur), Stb 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat, serta Stb 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir (Kalimantan Selatan dan Timur). Tanggal 18 Februari 1932, Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak (peradilan pribumi) diterbitkan. Pengaturan ini kemudian dicabut dan diganti dengan Stb 1932 Nomor 80. Peraturan itu diberlakukan secara bertahap melalui berbagai peraturan untuk masing-masing daerah. Lihat: Ibid.
[36] Pada awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah menyatakan diri untuk membuat sistem hukum yang lebih “asli”, tetapi kenyataannya sekarang ini tetap mengarah pada unifikasi hukum seperti yang telah dirintis Hindia Belanda. Keebet von Bendabeckmann, op.cit.
[37] Sehingga, menurut Moeljatno, terdapat kejanggalan dalam penerapan hukum pidana. Oleh karenanya UUDS 1950 dalam Pasal 14 ayat (2) menyebutkan ‘tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya’. Kembali menurut Moeljatno, dalam bunyi pasal itu termaktub aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk hukum adat sehingga peradilan adat tetap eksis.Lihat: Moeljatno, op.cit. hlm 26.
[38] Beberapa yuris Indonesia sering merujuk pada dua ketentuan tersebut mengenai eksistensi peradilan adat.
[39] Undang-undang ini dengan tegas menyebutkan, bahwa peradilan adat dihapuskan. Hanya empat nperadilan di Indonesia yang diakui sebagai pengadilan resmi, yaitu: pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.

[40] Lihat: Mudzakkir, op.cit.
[41] Mudzakkir berpendapat bahwa pencantuman ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah suatu pengecualian dari asas legalitas, op.cit.
[42] Dalam sejarahnya, hukum yang tertulis berawal dari hukum yang hidup dalam masyarakat ini. Kerabat yang sangat dekat dapat dilihat pada sistem hukum common law yang diterapkan Inggris serta bekas koloni-koloni dan jajahannya. Untuk lebih jelas mengenai sejarah hukum ini dapat dilihat: John Gilisen dan Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung, Januari 2005.
[43] Lihat bunyi Pasal 67 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang menyatakan: Pidana tambahan terdiri atas: (a) pencabutan hak tertentu; (b) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; (c) pengumuman putusan hakim; (d) pembayaran ganti kerugian; dan (e) pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Lihat juga bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang menyebutkan: Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4), hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
[44] Lihat: I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, hlm 206.

[45] I Gede A.B. Wiranata, Ibid. hlm 206. Lihat juga pengertian delik adat menurut Soepomo,Van Vollenhoven, dan Ter Haar, dalam I Gede A.B. Wiranata, Ibid.
[46] Ibid, hlm 207-208.
[47] Lihat: Bunyi Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005).
[48] Adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana sebelumnya tidak ada. Ketentuan ini sebagai konsekuensi memasukkan pengenaan “tindakan” kepada orang yang terbukti melanggar hukum pidana, pelanggar hukum pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak terbukti adanya kesalahan atau masih tergolong anak (di bawah umur) ke dalam Buku I RKUHP. Tindakan bukanlah pidana dan tidak sama dengan pidana, tetapi mengandung unsur “paksaan” hukum, misalnya keharusan untuk masuk rumah sakit. Lihat: Mudzakkir, op.cit.
[49] Ibid.
[50] Munculnya pengaturan larangan analogi dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan pendapat dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakan hukum pidana
[51] Lihat: Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 358.
[52] Asas ini dikenal dengan asas lex certa atau dikenal juga sebagai bestimmheitsgebot
[53] Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 31
[54] Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 79.
[55] Ibid, hlm. 80.

[56] Lihat: M Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, 1978, hlm 82-84.

[57] Lihat: Ahmad Ubbe, Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan dalam Lintas Sejarah. Dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 123-

[58] John Griffith membedakan pluralisme hukum lemah dan pluralisme hukum kuat. Lihat: Pluralisme Hukum, Huma, Januari 2005.

[59] John Griffiths, Ibid.
[60]Ibid
[61] Lihat: Ibid.

»»  Baca Selengkapnya...