Kamis, 17 Desember 2015

ANALISIS SUBTANSI UU NOMOR 30 TAHUN 2014 (Studi Semiotika Hukum Sumber Wewenang Atribusi, Delegasi, Mandat Administrasi Pemerintahan)

                           ANALISIS SUBTANSI  UU NOMOR 30 TAHUN 2014
(Studi Semiotika Hukum Sumber Wewenang Atribusi, Delegasi, Mandat
Administrasi Pemerintahan)

Oleh: Turiman Fachturahman Nur
HP 081310651414
Email:turiman-fachturahmannur@gmail.com

A.Konsep Dasar Administrasi Pemerintahan
            Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. (pasal 1 UU No 30 Tahun 2014).
           Apa yang dimaksud dengan Tindak Administarsi Pemerintahan yakni perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (pasal 1 angka 8)
            Kata kuncinya adalah penyelenggaraan Pemerintahan, pertanyaan dengan apa penyelenggaraaan pemerinatahan ? Tentunya dengan wewenang. Dalam Undang-Undan Nomorb 30 Tahun 2014 dibedakan dua konsep, yaitu wewenang dan kewenangan.
           Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. (pasal 1 angka 5) dan Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik (pasal 1 nagka 6)
     Produk dari administrasi Pemerintahan adalah keputusan Adminitrasi Pemerintahan. Yang dimaksud  Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.(pasal 1 angka 7 UU Nomor 30 Tahun 2014)
             Untuk mengeluarkan Keputusan Administrasi Pmerintahan ada tiga sumber  wewenang, yaitu (1) atribusi), (Mandat (3) Delegasi.
             Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. (Pasal 1 angka 22 )
             Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. (pasal 1 angka 23)
             Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. (Pasal 1 angka 24)
             Secara teoritis pengertian wewenang , jika kita menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
            Menurut Ibrahim (1:2011) dalam “Penggunaan Wewenang Menurut Hukum” menjelaskan bahwa wewenang adalah kekuasaan hukum untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup menjalankan kebijakan publik. Sedangkan menurut Sutarto (2001:141) berpendapat wewenang adalah hak seseorang untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.
Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif, diberikan oleh Undang-Undang, atau dari kekuasaan eksekutif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap golongan tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu hal tertentu saja, wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.
Menurut SF, Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik yakni kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas bahwa wewenang tersebut adalah sah.
 Menurut H.Muladi, merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata  Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat  menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan  tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi  Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara  dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang  diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.

B. Sifat Sumber Kewenangan Admnistrasi Pemerintahan
Kewenangan memiliki sifat 2 (dua) macam, yakni kewenangan yang bersifat atributif dan kewenangan yang bersifat distributif.
Kewenangan yang bersifat atributif adalah kewenangan yang melekat yang langsung diberikan oleh undang-undang, sedangkan kewenangan yang bersifat non-atributif adalah kewenangan yang misalnya diberikan oleh atasan kepada bawahannya dan hanya bersifat sementara.
Terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan, yakni: 1) Sumber atribusi, pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Contoh: Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR membentuk Undang-Undang. 2) Sumber delegasi, adalah penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsukuensi tanggung jawab beralih pada penerima. Contoh: Pelaksanaan Persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepala daerah. 3) Sumber mandat, adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh Pemberi Mandat. Contoh: tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh Menteri dimandatkan kepada bawahannya.
Kewenangan yang Bersifat Atributif Wewenang yang bersifat atributif adalah wewenang yang langsung diberikan oleh Undang-Undang. Penulis ambil contoh dalam hal Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jelas diatur mengenai tugas dan wewenang lembaga DPR dalam pasal 71. Dalam Pasal 71 huruf (a) membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang jika terjadi kegentingan yang memaksa.
Dalam Pasal  7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 terlihat bahwa bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur oleh kelompok berkualifikasi wewenang, baik dari lembaga yang berwenang membentuknya ataupun sumber wewenangnya. Hal ini sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yakni organ pembentuk yang tepat diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum jika dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Menurut Philipus M.Hadjon (1994), kewenangan yang dimilki oleh lembaga pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata untuk mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi atau mandat. Dalam Bab II Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 mengatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dengan ketentuan bahwa harus menyebut dengan tegas ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-undanganya.
Polanya mengandung beberapa alternatif, yakni materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang telah mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau sub-delegasi. Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 juga mengatur bahwa pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang kepada Menteri, pimpinan lembaga pemerintah non kementrian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri namun dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
Kewenangan yang Bersifat Non-Atributif Kewenangan non-atributif adalah kewenangan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan yang bersifat sementara. Kewenangan non-atributif terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggungjawaban, yakni: 1. Mandat Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh atasan kepada bawahan dimana letak pertanggungjawabannya tetap melekat kepada si pemberi mandat. Hal tersebut dimaksudkan agar bawahan dapat membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat. Dalam pemberian mandat, pemberi mandat dapat menggunakan kewenangan yang telah diberikannya itu setiap saat. Penerima mandat atau mandataris tidak dapat memberikan mandat kepada orang lain.
Jika Penerima mandat telah melaksanakan maka secara otomatis mandat tersebut berakhir tanpa harus diberikan surat penarikan mandat. Contohnya adalah jika Gubernur berhalangan hadir karena harus ke luar daerah, dan pada saat bersamaan harus memberikan persetujuan untuk sesuatu hal, maka Gubernur tersebut dapat memberikan mandat kepada Wakil Gubernur atau Sekretaris Daerahnya untuk mendandatangani persetujuan tersebut. Apabila terjadi permasalahan dengan keputusan tersebut maka Gubernur yang bertanggung jawab. Dalam hal mandat tidak ada pemindahan kewenangan, tetapi pemberian mandat memberiakn kewenangan kepada organ lain untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Misalnya antara Menteri dengan Diretkur Jenderal, Menteri sebagai pemberi mandat menugaskan Direktur Jenderal untuk dan atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputsan Tata Usaha Negara tertentu. Secara yuridis tetap Menteri yang berwenang karena sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab.
Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh  pemberi  mandat, dan  tidak terjadi  peralihan tanggung jawab. Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu dari  redaksi pasal-pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan.
Penerima dapat  menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada  penerima wewenang (atributaris) 2. Delegasi Menurut Maria Farida ( 2000 : 55-56 ), delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas mamupun tidak dinyatakan dengan tegas.
Pada kewenangan delegasi tidak diberikan, melainkan bersifat semetara, kewenangan dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Hal tersebut berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang menerima delegasi. Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum, contohnya adalah ketika Pemerintah Pusat mendelegasikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk membuat Peraturan Daerah di daerah masing-masing sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya. Menurut Philipus M.Hadjon, pada dasarnya terdapat perbedaan antara delegasi dan mandat.
Dalam hal delegasi, mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab gugat beralih kepada delegatataris/penerima delegasi. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang asas contarius actus, artinya setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setingkat atau yang lebih tinggi.
Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggun jawab dan tanggng gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu. Syarat-syarat delegasi antara lain: a) Delegasi harus definitif, artinya pemberi delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d) Kewajiban memberi keterangan/penjelasan, artinya pemberi delegasi/delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e) Peraturan kebijakan artinya pemberi delegasi memberikan instruksi/petunjuk tentang penggunaan wewenang tersebut Misalnya, ketika Bupati pergi Haji/Umroh, maka Bupati mendelegasikan kepada Wakil Bupati semua kewenangan yang dimiliki Bupati.
Stroink  dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan  yang berbeda, sebagai berikut : “Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan.
Syarat Sah atau Tidaknya Ketetapan Ketetapan Sah (rechtgelidge beschiking) Syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan itu bersifat sah menurut Van der Pot adalah Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa (bevoged) membuatnya. Dalam pembentukan kehendak dari alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapan, tidak boleh ada kekurangan yuridis, kekurangan yuridis dapat disebabkan karena salah kira (dwaling), paksaan (dwang), dan tipuan (bedrog). Ketetapan yang dimaksud adalah harus diberi bentuk yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatan keputusan tersebut harus juga memperhatikan cara/prosedur pembuatan keputusan/ketetapan yang dimaksud. Isi dan tujuan dari ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan dalam peraturan dasarnya. Ketetapan tidak sah ( niet- rechtsgeldige beschikking). Kewenangan Non-Atributif Bersifat Insidental Kewenangan non-atributif bersifat insidental, tidak permanen.
Dalam wewenangnya aparat penegak hukum tidak berwenang membentuk suatu produk hukum. Penyebab aparat tidak berwenang atau disebut onbevoegheid ada 3, yakni: Ratione Material, aparat Pemerintah tidak berwenang karena isi/materi kewenangan tersebut. Misalkan: Wakil Presiden membuat Keputusan Wakil Presiden, hal tersebut adalah tidak sah, karena hanya Presiden yang dapat membuat Keputusan. Ratione Loccus, aparat pemerintah tidak berwenang kaitannya dengan wilayah hukum. Misalnya, Keputusan Walikota Yogyakarta tidak sah jika diberlakukan di wilayah Kulonprogo. Ratione Temporis, aparat Pemerintah tidak berwenang karena daluwarsa atau telah lewat waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Misalkan, kewengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mempunyai jangka waktu 40 hari. Dalam Hukum Tata Negara, terdapat 3 (tiga) teori tentang teori kebatalan, yakni batal mutlak, batal demi hukum, dan dapat dibatalkan. Ke-3 (tiga) teori ini memiliki perbedaan berdasarkan 2 (dua) aspek, yakni: 1)
Berdasarkan akibat hukum yang ditimbulkan, yakni akibat-akibat hukum yang mengikuti jika terjadi pembatalan. Hal tersebut adalah konsekuensi logis yang muncul dan tidak dapat dihindari. 2) Lembaga atau Pejabat yang berhak menyatakan batal, yakni mengenai kewenangan pembatalan dalam arti pejabat yang berhak untuk melakukan proses pembatalan tersebut. Teori Batal Mutlak Batal mutlak berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan, dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak pernah ada tersebut, berlaku prinsip semua orang atau subjek hukum dianggap tahu hukum. Dalam hal batal mutlak ini, yang berhak menyatakan batal mutlak hanyalah peradilan dalam Undang-Undang Kehakiman.
Batal Demi Hukum Akibat hukumnya ada 2 (dua) alternatif. Alternatif pertama adalah perbuatan yang sah dilakukan, dianggap tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan alternatif kedua adalah perbuatan yang dilakukan sebagaian dianggap sah, dan sebagian lagi dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang berhak menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan eksekutif. Dapat Dibatalkan Dalam hal dapat dibatalkan, memiliki konsekuensi hukum dimana keseluruhan dari perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya ,tetap dianggap sah. Artinya keseluruhan perbuatan di masa silam tetap menjadi kekuatan hukum yang tidak dapat dibatalkan atau tetap berlaku pada masa itu. Adapun pejabat yang berhak membatalkan adalah pihak yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Konsekuensi yuridis kewenangan yang tidak sah adalah batal demi hukum, sama halnya dengan konsekuensi yuridis perbuatan hukum aparat pemerintah yang dinyatakan batal demi hukum pada mulanya didasari dengan kewenangan yang tidak sah dan tidak memenuhi syarat ketentuan yang harus terpenuhi agar suatu perbuatan aparat pemerintah dinyatakan sah. 

C. Konstruksi Hukum Politik Hukum UU Nomor 30 Tahun 2014
Pertanyaannya adalah bagaimana konstruksi hukum UU Nomor 30 Tahun 2014?  Untuk menjawab ini kita melihat latar belakang politik  hukum terbitnya UU Nomor 30 tahun 2014
Jika kita baca secara cermat Penjelasan Umum dijelaskan, bahwa dasar konstitusional mengacu kepada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
Konsekuensi logis, maka berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara.
Hal ini maknanya adalah tindakan administrasi pemerintahan  tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek.
Pertanyaan dengan dasar apa tindakan administrasi pemerintahan terhadap warga masyarakat? Artinya keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Atas adasar itu perlu adanya pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
Pandangan di atas, karena sekaras dengan cara pandang yang didasarkan , bahwa tugas pemerintahan adalah untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas.
Dengan demikian cakupan sangat luas, oleh karena itu diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.
Atas dasar itu, maka ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Apa jaminan keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ?
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini  menjamin hakhak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Konsekuensi hukumnya Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka UndangUndang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan.
           Jadi secara kontruksi hukum UU No 30 tahun 2014 adalah hukum materil dari Hukum Tata Usaha Negara. Artinya warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena UndangUndang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
           Secara hak konsutusional keberadaan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ini adalah mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat.
            Jika dilihat dari sisi hukum Admnisitrasi Negara, maka pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan.
           Dengan demikian keberadaan UU No 30 Tahun 2014 hakekatnya adalah
merupakan implementasi nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. artinya penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya Mengapa demikian ?, karena undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Artinya warga masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 adalah  merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat. AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang ini berpijak pada asasasas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang Nomor 30 Taghun 2014i menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apa yang diharapkan dengan adanya UU Nomor 30 Tahun 2014? Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
Secara konsepsional, bahwa pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Selain itu Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014  merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Secara konstruksi hukum kebradaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
Kemudian bagaimana konstruksi hukumnya UU No 30 Tahun 2014 ?
Untuk membahas penulis melakukan pemetaan norma dengan pendekatan konstruksi hukum melalui semiotika hukum, yaitu sebuah metode untuk memahami makna yang tersirat dan tersurat dari sebuah norma hukum, karena hakekat sebauh formalasi pasal adalah simbol yang perlu diberikan makna yang sesuai dengan maksud atau semangat dari politik hukum peraturan perundang-undangan. Dalam konstek ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, sebagai berikut:
1.       Apa dasar pertimbangan hukum dikeluarkan UU No 30 tahun 2014?.
Ada tiga pertimbanga hukum, yaitu:
1.       bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.       bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
3.       bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;

2.Apa tujuan UU No 30 Tahun 2014 ?
Tujuan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan adalah :
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
f.  melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.

3.Bagaimana Ruang Lingkup  UU Nomor 30  Tahun 2014 ?
   Pasal 4 (1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas:
a.     Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
b.    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
c.     Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
d.    Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undangundang.
Pasal 4 ayat (2) Pengaturan Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tentang hak dan kewajiban pejabat pemerintahan, kewenangan pemerintahan, diskresi, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan, keputusan pemerintahan, upaya administratif, pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan sanksi administratif.
Berdasarkan ketentuan pasal 4 lingkup tindak hanya lembaga eksekutif, tetpai yudikatif dan legislatif, tetapi juga fungsi pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undangundang.\
4.Apa yang menjadi asas UU Nomor 30 Tahun 2014 ?
Pasal 5 Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan  c. AUPB.
Yang dimaksud dengan “asas legalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas perlindungan terhadap hak asasi manusia” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar Warga Masyarakat sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
5.Apakah Pejabat Pemerintahan Memiliki hak untuk menggunakan kewenangan?
    Pasal 6 (1) Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
   a.  melaksanakan Kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
b.  menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki;
c. menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan;
d. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
e. menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;
f. mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan;
h. menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
i.  memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya;
j.  memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;
k.  menyelesaikan Sengketa Kewenangan di lingkungan atau wilayah kewenangannya;
l.  menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya; dan
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

6. Apa yang menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan ?
Pasal 7 (1) Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB. (2) Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
a.      membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya;
b.      mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.       mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
d.      mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan Diskresi;
e.        memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu;
f.       memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g.      memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
h.       menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; i. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undangundang;
i.        menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding;
j.        melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan
k.      mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

D.Implikasi Hukum diterbitkan UU Nomor 30 tahun 2014?
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa UU No 30 Tahun 2014 sangat mendasar dan memperluas administrasi Pemrintahan, karena lingkup tidak hanya di eskekutif, tetapi lingkup yudikatif dan legislatif (Pasal 4 UU Nomor 30 Tahun 2014). Salah satu contoh:[1]  adalah gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu. Hal ini aeiring telah diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 yang lalu juga memancing diskursus tentang gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu.    Apakah benar demikian adanya?Setidaknya orang-orang yang berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
              Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara.Frasa menyalahgunakan kewenangan/ penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukanperbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :
  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
  2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
  3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikaninstrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu” dalam peririsan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana.
Untuk memberi kesimpulan yang jelas bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004 yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut : Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya;
Makalah pembanding:

RUANG LINGKUP KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(Berdasarkan  Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan)[2]

                           Oleh : BAMBANG HERIYANTO.,SH MH.

A.   Pengantar.
 Kompetensi   (kewenangan)   suatu   badan   pengadilan   untuk mengadili suatu perkaradapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi  absolut.  Kompetensi  relatif  berhubungan  dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.[1] Sedangkan menurut Soedikno Mertokusumo, Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.[2] Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini memberi jawaban atas pertanyaan,: peradilan apa yang berwenang mengadili suatu perkara tertentu. 
Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana terakhir diubah dengan UU  No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata melawan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, kewenangan atau kompetensi absolut terbatas pada mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis yang bersifat konkrit individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[3]
Kehadiran Undang-undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, karena kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yang semula terbatas, menjadi diperluas.  Pengertian Keputusan dan cakupan Keputusan dalam UU No. 30 Tahun 2014 lebih luas dari Keputusan sebagai obyek sengketa PERATUN menurut UU PERATUN.[4]
Berdasarkan pengantar diatas, maka dalam tulisan ini  akan di  diuraikan lebih lanjut, mengenai, bagaimana kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebelum dan sesudah diundangkannya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

B.   Kompetensi Peradilan Tata Usaha  menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut ketentuan pasal 47 UU Peradilan Tata Usaha Negara, kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Dan yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dibidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata akibat diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara. [5] 
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN.)
Penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi, bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah pejabat di pusat dan diadaerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan Hukum TUN adalah perbuatan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu hukum Tata Usaha Negara yang dapat  menimbulkan hak atau kewajiban bagi orang lain. Bersifat konkrit artinya obyek yang diputuskan tidak abstrak  tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keptusan TUN tidak ditujukan kepada umum tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif, dan karenanya sudah dapat menimbulkan akibat hukum.
Dilihat dari uraian diatas, keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menjadi obyek sengketa  Tata Usaha Negara, sangat luas. Namun apabila dilihat dari pembatasan yang diberikan Undang-undang Peradilan Tata Usaha itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Peradilan TUN,maka kompetensi Peradilan TUN dalam mengadili Keputusan TUN adalah terbatas.
Pasal 2 UU Peratun : “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :
a.   Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.   Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.   Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.   Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.   Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-un­dangan yang berlaku;
f.    Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g.   Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

Selanjutnya pasal 49 UU Peratun juga masih memberikan pengecualian sebagai berikut : 
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menye­lesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.        dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
b.       dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasar­kan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Disamping pembatasan/pengecualian tersebut diatas, dalam Undang-undang peratun mengatur adanya kewenangan tambahan, yakni sebagaimna diatur dalam pasal 3 UU Peratun :

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak menge­luarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan kepu­tusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Ne­gara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan kepu­tusan penolakan.

Badan atau Pejabat TUN yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut (keputusan fictif positif ) apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan. Apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),  maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Disamping kewenangan diatas, berdasar UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), maka Peradilan Tata Usaha juga diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa informasi publik. Yakni sengketa informasi publik yang subyek sengketanya menyangkut Badan Publik Negara.(pasal 47 UU KIP).


C.   KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA PEMBERLAKUAN UU NO.30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.
Pemberlakukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah membawa perubahan besar terhadap kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan yang terjadi dengan diundangkannya UU Administarsi Pemerintahan, adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1.       Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN. (pasal 1 angka 7 UU AP)
2.    Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan  /tindakan factual pejabat TUN.  (pasal 1 angka 8 UUAP).
3.    Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara  terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara. ( Pasal 21 UU AP.)
4.    Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu.
5.    Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negata Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca Upaya Administratif .
6.    Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan terhadap obyek sengketa fiktif positif.  (Pasal 53 UU AP.)

Ad. 1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN .
UU Peratun dalam pasal 1 angka 9 mengatur bahwa, Keputusan TUN ( Obyek sengketa Tata Usaha Neggara) adalah penetapan tertulis yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Ketentuan tersebut mengandung unsur :
1.    Penetapan tertulis.
2.    Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
3.    yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
4.    bersifat konkrit,
5.    individual dan
6.     final
7.    yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
Sementara itu pasal 1 angka 7 Undang-undang AP mengatur, Keputusan TUN /Keputusan Administrasi Pemerintahan, (yang dapat menjadi Obyek Sengketa TUN) adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh  Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan  pemerintahan.
Pasal 1 angka 7 UU AP tersebut terkandung unsur :
1.    Ketetapan tertulis
2.    dikeluarkan oleh  Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan.

3.    dalam penyelenggaraan  pemerintahan.

Dari kedua pengaturan tersebut tergambar bahwa berdasar Undang-Undang Peratun memberikan pemaknaan, Keputusan Tata Usaha Negara ( Obyek Sengketa TUN) lebih sempit dibandingkan pemaknaan Keputusan TUN menurut UU AP. Karena semakin banyak unsur suatu pasal, maka semakin sempit cakupannya. Semakin sedikit unsur suatu pasal, maka cakupan pengertiannya akan lebih luas.
Dengan pemaknaan tersebut, maka terlihat kompetensi peradilan TUN  menurut Undang-undang  Peratun, adalah lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi Peradilan TUN menurut UU Administrasi Pemerintahan.[6]

Ad.2. Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan /tindakan factual pejabat TUN. (pasal 1 angka 8 UUAP).
Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, :
Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/ atau Tindakan  dapat mengajukan Upaya Administratif      kepada  Pejabat Pemerintahan  atau  Atasan  Pejabat  yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.”
Pasal 76 ayat (3) UU AP :
“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat    mengajukan    gugatan    ke Pengadilan.”
Pasal 1 angka 8, UU AP:
“Tindakan     Administrasi     Pemerintahan     yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya       untuk    melakukan    dan/atau    tidak melakukan perbuatan   konkret   dalam   rangka penyelenggaraan pemerintahan.”

Dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU Administrasi Pemerintahan tersebut, memberikan perluasan kompetensi   Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja, tetapi berdasarkan UU Administarsi Pemerintahan   Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan   adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overhaitdaad). Jadi Peradilan TUN berwenang mengadili,  tidak hanya tidakan hukum (rechtelijke handeling) tetapi termasuk tindakan faktual (feitelijke handeling).

Ad.3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya unsus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan. ( Pasal 21 UU AP.)  
Pasal 21 UU AP.
“(1)  Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan     ada   atau    tidak    ada    unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
(2)    Badan dan/atau   Pejabat   Pemerintahan   dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.”

Sesuai ketentuan tersebut, maka kewenangan /  kompetensii Peradilan TUN menjadi diperluas, yakni berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan   ada    atau   tidak    ada    unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
Kewenangan ini bertitik singgung dengan kewenangan peradilan umum, khususnya peradilan pidana. Karena selama ini mengenai unsur ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam kasus pidana adalah menjadi kewenangan hakim pidana.

            Ad. 4. Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Sebagaimana diuraikan diatas, dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU AP, telah memberikan perluasan kompetensi   Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN  hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja, tetapi berdasarkan ketentuan tersebut Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual  administrasi Pemerintahan   adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overhaitdaad).
          Perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya menyangkut obyek Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan, membawa konskwensi logis terhadap besaran tuntutan ganti rugi di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelumnya menurut   Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Pradilan Tata Usaha Negara menentukan ganti rugi dibatasi minimum Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) dan maksimal Rp 5.000.000  (Lima Juta  Rupiah)14.  

            Ad. 5. Kewenangan Peradilan TUN tingkat pertama, mengadili gugatan  pasca upaya administratif (administratief beroep).
Pasal 1 angka 16 :
Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketayang    dilakukan    dalam    lingkungan Administrasi          Pemerintahan      sebagai      akibat dikeluarkannya        Keputusan   dan/atau   Tindakan yang merugikan.

Berbeda dengan pengaturan pada UU peratun, yang memberikan kewenangan Pengadilan Tinggi/Banding untuk mengadili sengketa TUN yang berasal dari Upaya Administratif. Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) UU Peratun.
Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, tentang AP, maka seluruh Gugatan yang berasal dari Upaya Administratif (baik prosedur keberatan maupun banding administratif,), adalah menjadi kewenangan Peradilan TUN Tingkat Pertama.
Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, :
Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan  dan/atau Tindakan  dapat mengajukan Upaya Administratif      kepada  Pejabat Pemerintahan  atau  Atasan  Pejabat  yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.”
Pasal 76 ayat (3) UU AP :
“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding olehAtasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat    mengajukan    gugatan    ke Pengadilan.”
Yang dimaksud dengan Pengadilan, menurut pasal 1 angka 18 UU Administrasi Pemerintahan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.

            Ad. 6. Kompetensi Peradilan TUN untuk memutuskan terhadap obyek  Keputusan Fiktif Positif.  (Pasal 53 UU AP.).

Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan anggapan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan permohonan, dikarenakan tidak ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh pemohon sampai dengan batas waktu yang ditentukan atau apabila tidak ditentukan telah lewat sepuluh hari setelah permohonan yang sudah lengkap diterima. 
Berdasarkan Permohonan Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memutuskan mengenai penerimaan permohonan yang diajukan pemohon.
Ketentuan dalam UU AP tersebut adalah berbeda dengan ketentuan pasal 3 UU Peratun yang menganut rezim fiktif negative. Artinya , Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan terhadap Sikap diam Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon atau yang menjadi kewajibannya, sikap diam mana adalah  dipersamakan sebagai Keputusan Penolakan (fiktif negative).Berdasarkan ketentuan pasal 53 UU Administrasi
Pemerintahan, Apabila dalambatas waktu sebagaimana ditentukan undang-undang, Badan     dan/atau    Pejabat Pemerintahan      tidak menetapkan  dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut  dianggap dikabulkan secara hukum.





[1] S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003, hal:59.
[2] Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1988.  Hal 79.
[3] Dr. Imam Soebechi, SH. MH dkk. Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Genta Press. Yogyakarta, 2014. Hal.5.
[4] Ibid hal. 7.
[5] Pasal 1 angka 10 UU Peradilan TUN, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul da­lam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Kepu­tusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6)Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan.:
Dengan  berlakunya  Undang-Undang  ini,  Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang  Nomor  51  Tahun  2009     harus  dimaknai sebagai:
a.   penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.   Keputusan  Badan  dan/atau  Pejabat  Tata  Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c.    berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d.    bersifat final dalam arti lebih luas;
e.   Keputusan yang   berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f.     Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.


»»  Baca Selengkapnya...