Selasa, 14 Januari 2014

Membaca Cerdas dibalik Kewajiban Melakukan Pengolahan dan Pemurnian Hasil Penambangan Di Dalam negeri (SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?)


Membaca Cerdas dibalik Kewajiban Melakukan Pengolahan dan Pemurnian Hasil Penambangan Di Dalam negeri
(SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?)

Oleh;Turiman Fachturahman Nur
                      
          Aturan mengenai kewajiban agar perusahaan-perusahaan tambang wajib mengolah dan memurnikan biji mineral di dalam negeri sudah sangat jelas dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
            Pasal 103 UU yang diteken Presiden Susolo Bambang Yudhoyono pada 12 Januari 2009 itu menegaskan : "Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri."
           Di bagian penjelasannya disebutkan : "Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam mengeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara."
         Jika kita membaca penjelasan Pasal 103 UU No 4 Tahun 2009 memberikan harapan, namun apakah harapan perancang undang-undang dan pelaksanan undang-undang dalam hal ini pemerintah memenuhi harapan tersebut, dan kapan Pasal 103 UU No  4 Tahun 2009 dieksekusi.
         UU ini memberikan tenggat waktu sampai 12 Januari 2014 kepada para penambang untuk menjalankan kewajiban ini. Pertanyaannya sudah siapkah perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia mengimplementasikan amanat mulia ini? Sejauh ini mayoritas perusahaan-perusahaan tambang baru merencanakan pembangunan smelter. Ada juga yang sudah dalam tahap konstruksi. Tapi yang pasti, smelter mereka belum bisa beroperasi penuh pada tahun 2014.
         Pemerintah untuk melaksanakan Pasal 103 UU Nomor 4 Tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral. Ada beberapa alasan dikeluarkan permen ini, yakni:
Pertama, UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara mengamanatkan agar ada komoditas pertambangan wajib diolah di dalam negeri sebelum diekspor. UU ini memberikan pengecualian kepada perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk menjalankan kewajiban tersebut paling labat tahun 2014 nanti.
          Sedangkan untuk perusahaan pemegang IUP operasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat wajib menjalankan kewajiban tersebut sejak diterbitkan UU ini. Namun, meski sudah sekitar empat tahun (tahun 2013 lalu) UU Minerba berlaku, tetapi kegiatan pengolahan dan permuniran di dalam negeri belum menunjukan peningkatan signifikan, malah sebaliknya kegiatan ekspor bahan mentah (raw material) pertambangan mineral terus menunjukan peningkatan.
           Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengungkapkan ada sejumlah komoditas mineral yang saat ini sama sekali belum memiliki smleter di dalam negeri sehingga sebagian besar produksinya diekspor. Misalnya, biji nikel. Tahun 2011 lalu total produksinya mencapai 32,9 juta ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor mencapai 32,6 juta ton.
            Demikian juga bauksit. Produksi tahun 2011 mencapai 40,7 juta ton. Dari jumlah tersebut total ekspor mencapai 39,7 juta ton sedang yang diolah di dalam negeri hanya 0,03 juta ton.
           Alasanya kedua, karena sejak tahun 2009, ada tren produksi mineral dilakukan secara masif. Mangan misalnya, produksinya meningkat delapan kali lipat sejak 2008, tembaga bahkan 11 kali lipat dari 2008 ke tahun 2011.
          Tetapi terbitnya Permen No 7 Tahun 2012 ini memicu penolakan dari sejumlah perusahaan tambang yang tergabung dalam asosiasi perusahaan tambang mineral. Pemerintah pun ciut nyalinya. Maka belum sempat diterapkan, Permen No 7 tahun 2012 itu pun direvisi lagi dengan Permen No 11 tahun 2012. Isinya, pemegang IUP operasi produksi masih boleh melalukan ekspor mineral dengan sejumlah catatan yaitu:
Pertama menandatangai pakta integritas untuk mengembangkan hilirisasi melaui pembangunan smelter dalam rangka peningkatan nilai tambah.
Kedua,  ada kewajiban-kewajiban untuk menjaga lingkungan dan hal-hal yang berkaitan dengan tata niaga.
Ketiga, IUP dari perusahaan-perusahaan tambang harus sudah dinyatakan clear and clean (CNC).
Apabila semua persyaratan terpenuhi, perusahaan tambang mineral tetap boleh melakukan ekspor sampai tahun 2014 asal membayar bea keluar.
          Tahun 2013, karena alasan kinerja ekspor Indonesia melemah, pemerintah lantas merelaksasi ekspor mineral yang sudah diketatkan sejak 2012 lalu.
.      Mulai tanggal, 12 Januari 2014, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara diberlakukan. Ini artinya, mulai hari ini, perusahaan tambang berkewajiban melakukan hilirisasi minerba dan dilarang mengekspor bahan mineral mentah (ore). Selain itu, perusahaan tambang juga wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Namun jangan senang dulu. Sebab, di balik pengesahan itu, pemerintah juga menerbitkan dua aturan baru, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
           PP Nomor 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 ini akan menjadi payung hukum pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sayangnya, Menteri ESDM Jero Wacik belum mau mengungkapkan berapa persen kadar minimum pengolahan dan pemurnian bahan mineral mentah yang boleh diekspor.
          Sejumlah kalangan menduga, rincian persentase kadar minimum sengaja disembunyikan pemerintah. Tujuannya, agar tidak menimbulkan perlawanan keras dari para penggiat pencinta tambang nasional. Betul, masalah inilah yang kerap mengundang pro dan kontra tajam. Namun, dari berbagai pemberitaan sebelumnya, konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus memiliki kadar Cu minimal 15%. Padahal, sebelum Permen ESDM No 20 Tahun 2013 direvisi, konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus memiliki kadar minimal Cu 99,9%.
         Dengan penurunan ini, PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan pemegang IUP lolos dari larangan ekspor. Sebab, Freeport dan Newmont hingga kini baru dapat memproduksi konsentrat tembaga dengan kadar 20% sampai 30%.
          Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang intinya melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Imbas dari pelarangan ini tampaknya perlu diantisipasi sejak dini.
         Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman menilai kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral merupakan bom waktu bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
         Berdasarkan PP tersebut, kata dia, terdapat enam bijih mineral yang akan dilarang ekspor, yaitu emas, tembaga, bauksit, nikel, bijih besi, dan batu bara. Penambang yang bisa ekspor harus terlebih dahulu membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri.Berapa kadar pengolahan dan pemurnian yang diwajibkan untuk masing-masing bijih mineral, Pemerintah menyatakan akan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM. Demikian pula, terkait bea ekspor dan kuota akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan.
          Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi (Indonesia Mining and Energy Studies/IMES) memandang pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral itu akan membawa dampak pada tiga hal, yakni pertama, ribuan perusahaan pertambangan tutup akibat tidak ada produksi/ekspor.
          Sebagai catatan, berdasarkan data ESDM, hingga 2013 terdapat 10.600 izin usaha pertambangan (IUP). Tutupnya penambang ini membawa dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap pekerjanya.
         Dampak ikutan lainnya adalah usaha kecil menengah penyokong sektor pertambangan ini, seperti warung-warung, indekos, transportasi darat dan laut pendukung, koperasi rakyat penyuplai bahan makanan dan logistik tentu akan ikut terkena dampak. Rakyat di wilayah pertambangan---yang umumnya berada di wilayah terpencil dan sulit akses infrastruktur--menjadi yang paling terpukul secara ekonomi dan sosial atas kebijakan tersebut.
           Kehidupan satu juta buruh tambang (termasuk keluarganya) dan ribuan sektor ikutan yang kehilangan mata pencaharian utama, dan belum tentu segera dapat pekerjaan pengganti, tampaknya luput dari perhatian Pemerintah.
          Pemerintah yang selama ini, menurut IMES, telah gagal menyiapkan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, bisa dengan mudah berkata-kata. Akan tetapi, warga yang susah payah menopang kehidupan keluarganya di akar rumput, yang paling merasakan kondisi riil. Pengganguran (layoff) akibat PHK massal bukan masalah sosial yang sepele.
         Keadaan ini juga rentan dengan meningkatnya tindakan kriminalitas akibat frustasi warga di lapangan. Ancaman buruh tambang untuk aksi ke Jakarta menduduki istana dan lakukan pemogokan nasional di wilayah pertambangan patut diperhatikan serius.
          Imbas kedua terkait dengan pelarangan ekspor bijih mineral, yakni negara kehilangan pendapatan sebesar Rp12 triliun--Rp13 triliun yang terdiri atas pendapatan pajak sebesar Rp5 triliun--Rp6 triliun dan bea keluar sebesar Rp6 triliun--Rp7 triliun per tahun.
          Walaupun Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyatakan jumlah itu tidak siginifikan memengaruhi ekonomi nasional, menurut Erwin Usman, di tengah kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang belum stabil, potensi "lost income" tersebut cukup berpengaruh pada neraca perdagangan. "Di tengah seruan Pemerintah untuk menggalakkan ekspor, untuk meningkatkan neraca perdagangan, kebijakan pelarangan ekspor ini terasa ganjil,"
           Sebagai catatan, kata Erwin Usman, rata-rata sumbangan pertambangan umum bagi devisa negara pada periode (2005--2012) Rp70 triliun per tahun. Angka ini menjadi kecil dibanding sektor migas (Rp225,71 triliun). Salah satu penyebabnya karena tidak efektifnya pengawasan sektor pertambangan ini, di samping terjadinya praktik korupsi.
          "Ingat, KPK pernah menyatakan, pada tahun 2013, bahwa dari sektor pertambangan umum, negara (seharusnya) bisa mendapatkan pendapatan Rp7.000 tiliun per tahun," kata Erwin Usman.
           Ketidakadilan Imbas ketiga, situasi akan menjadi tidak adil jika kebijakan pelarangan ekspor ini hanya berlaku bagi perusahaan nasional (pemegang IUP), sementara pertambangan raksasa pemegang kontrak karya (KK), seperti Freeport, Newmont, dan Vale-INCO, tetap dapat melakukan ekspor dengan sejumlah kebijakan, di antaranya kadar pengolahan dan pemurnian bijih mineral, dapat ditoleransi tidak 100 persen di dalam negeri. Ini yang nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Permen ESDM (revisi Permen Nomor 20 Tahun 2013).
        Pengusaha tambang yang tergabung dalam Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) mendukung keputusan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral. "ATEI menilai keputusan pemerintah dengan menerbitkan PP No. 1/2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian sudah tepat," kata Ketua ATEI Natsir Mansyur di Jakarta, Senin (13/1).Menurut Natsir, kebijakan itu dinilai sudah tepat karena telah mengakomodasi semua kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah.Selain itu, lanjut dia, kepentingan lainnya yang telah diakomodasi adalah pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) serta kontrak karya (KK) untuk mineral tembaga."Keputusan pemerintah ini tepat, ekspor hasil olahan konsentrat tembaga 15 persen tetap berjalan," katanya. Ia juga berpendapat bahwa kebijakan pemerintah tersebut juga bakal menghindarkan terjadinya PHK besar-besaran sehingga ekonomi daerah tetap bergerak dan tujuan program hilirisasi minerba juga tetap berjalan. Natsir mengatakan bahwa, khusus penetapan bea keluar (BK), pihaknya meminta Kementerian Keuangan untuk membahasnya bersama-sama dengan Kadin, ATEI, dan Asosiasi Mining Indonesia (AMI) karena ada pertimbangan teknis dalam penetapannya. "Kami berharap Kemenkeu tidak sepihak menetapkan BK. Semangat PP No. 1/2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 sudah tepat mengajak pelaku dunia usaha dalam penetapannya," ujarnya. Sebelumnya, ATEI menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi mineral yang akan dilaksanakan awal 2014 merupakan hal bagus, tetapi pengusaha tambang membutuhkan waktu lama untuk membangun "smelter". "Pengusaha tambang tembaga mendukung kebijakan program hilirisasi mineral. Namun, membutuhkan waktu empat tahun untuk pembangunan smelter," kata Natsir Mansyur.
           Pertanyaannya siapa yang diuntungkan dengan kebijakan ini ? Patut diketahui, bahwa “Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”yang memuat substansi klausul intensifikasi UU No. 4 tahun 2009 tentang PertambanganMineral dan Batubara untuk mencegah dampak pengimplementasi negatif sekaligus mendukungpenerapan secara holistik UU Minerba. Peraturan Pemerintah ini terlihat kurangbermakna. Pasalnya produk turunan sebagai payung hukum dalam komitmenhilirisasi usaha eksplorasi Tambang Mineral dan Batu Bara harus kembaliberpihak pada Asing, sebab tidak semua perusahan harus menerima konsekuensiyang sama sebagai implementasi PP ini.
          Beberapa detail dalam PP tersebut menyatakan memperbolehkan ekspor bentuk konsentrat,seperti komoditas tembaga, selama telah diolah hingga kadar Cu 15%, walhasil PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia yang mayoritas produknya berupakonsentrat dalam kadar 30% aman dari larangan ekspor tersebut. Semestinya jika  ingin lebih ketat dalam aturan ini harus juga membedakan pengolahan berdasarkankategori dan pemurnian setiap komoditas tambang. Sungguh menjadi sebuah tandatanya besar, syarat yang dijadikan landasan penetapan keputusan yakni besarankadar konsentrat pengolahan baru akan direncanakan penetapannya dalam PermenESDM mendatang setelah diketuk dahulu Peraturan Pemerintah ini. Hal inimemungkinkan berdampak terjadinya kompromitas policy dalam substansi Permen ESDM yang notabene seharusnyamemperjelas pada kemaslahatan rakyat, namun hal ini justru terhadang oleh tingkattata perundangan yang lebih tinggi karena criteria mandul yang telah disepakatisebelumnya.
         Pemerintah seharusnya adil dan tidak memberi perlakuan khusus terhadap perusahaanpertambangan skala besar pemegang kontrak karya! Jika mau dipakai prinsipegaliter dan moderat, seharusnya peraturan khusus ini juga mengatur soal IzinUsaha Pertambangan (IUP/IUPR) bagi pengusaha Nasional yang baru-baru ini tumbuhsekitar 3-6 tahun belakangan, untuk melakukan ekspor dengan beberapa syaratyang disepakati dan sebanding (termasuk komitmen hilirisasi dengan membangun Smelter). Hal ini dimaksudkan agar usaha kecil hingga menengah di sektorpertambangan yang modalnya tidak sebesar perusahaan pemegang Kontrak Karya danPKP2B dapat tumbuh dan bersaing dari segi ekonomi.
           Selainitu, dengan berbagai tekanan dan kepentingan asing di dalamnya, baikdikarenakan kekhawatiran akan melemahnya perekonomian sektor tambang Indonesia danjuga karena ancaman PHK yang didengungkan oleh perusahaan asing, pemerintahmulai untuk mencarikan jalan dan kemudian memanipulasi tafsir/substansi dari UUMinerba tersebut, beberapa PP dan Permen yang telah ditindak revisi (manipulatif),yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta  Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM)Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Mineral.
          Jika dianalogikan, kita ini buntung! Kita lari pada kompetisi dan jenis pertandingan yang sama, namun kaki tangan kita diikat sedemikian hingga potensi yang seharunya maksimal, seolah sia-sia.Semenjak Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 diketuk, telah digadangkan bahwa setiap perusahaan harus merancang Smelter (alat pemurnian) sebagai salah satu kompensasi manfaat ekonomi bagi daerah atau masyarakat sekitar perusahaan. Namun ternyata niat baik tersebut bersambutpepesan kosong hingga saat ini, bukannya dirancang mulai ditetapkan pertama kali saat ditetapkan UU Minerba, ternyata baru dimulai pasca Penetapan PP dan tidak semua perusahaan akan membangun. Kekhawatiran pada PP ini juga tentu beralasan seiring komparasi pada UU Minerba yang merupakan tata perundanganyang lebih tinggi, yang juga telah beberapa kali menelurkan Permen-permen dalam menjelaskan substansinya.
             Untuk membaca secara cerdas kebijakan Pelaksanaan Pasal 103 jo pasal 170 simak siaran Pers berikut ini:
        
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
NOMOR: 03/PUSKOM KESDM/2014
Tanggal: 13 Januari 2014

PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DI DALAM NEGERI

  1. Sesuai amanat Pasal 103 dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka pemegang IUP Operasi Produksi dan pemegang kontrak karya wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
  2. Untuk menindaklanjuti amanat UU No. 4 Tahun 2009 khususnya terkait dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral, maka Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
  3.  Pokok-pokok penting dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014:
    • Pemegang kontrak karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan permurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
    • Pemegang IUP Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
    • Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
  4. Sebagai tindak lanjut PP No. 1 Tahun 2014 telah ditetapkan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, yang pada intinya mengatur batasan waktu pelaksanaan penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri dalam jumlah tertentu dan batasan minimum pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.
  5. Batasan minimum pengolahan dan pemurnian dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut telah dikonsultasikan dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, dan kementerian serta lembaga terkait.
  6. Komoditas mineral utama seperti nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium didorong untuk dilakukan pemurnian karena sudah dilakukan pemurnian jauh sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, untuk mendorong industri berbasis mineral dalam negeri dan tidak ada produk intermediate (produk antara).
  7. Hasil pengolahan dalam bentuk konsentrat tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan diperbolehkan dijual ke luar negeri sampai fasilitas pemurnian selesai paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 diundangkan.
  8. Sejak 12 Januari 2014 pemegang IUP Operasi Produksi dan pemegang kontrak karya dilarang melakukan penjualan bijih (raw material/ore) ke luar negeri.

»»  Baca Selengkapnya...