(Studi Kritis Pembangunan Berwawasan
HAM)
Turiman Fachturahman Nur
Email:qitriaincenter@yahoo.co.id
Blog: Rajawali Garuda Pancasila.
Blogspot.Com
HP: 08125695414
1. Pada hakekatnya, bahwa pembangunan yang berwawasan HAM merupakan
perencanaan pembangunan sampai dengan perwujudan pembangunan dengan menjadikan
nilai-nilai HAM sebagai rambu-rambu dalam proses pembangunan. HAM harus
dipatuhi oleh negara atau pemerintah
dalam menjalankan misinya sehingga tidak menjadikan pembangunan sebagai tujuan
dengan mengorbankan manusia demi pembangunan, melainkan sebagai alat untuk
mencapai tujuan penegakkan hak atas pembangunan.
2. Jika dianalisis dari sisi
pembangunan hukum, hukum yang relevan untuk dikembangkan sejalan dengan
nilai-nilai HAM adalah model humanis partisipatoris. Manifestasi dari model
pembangunan hukum ini adalah memberi perhatian pada aspek dan dimensi manusiawi
sebagai tujuanutama pembangunan yang memberi akses kepada warga negara untuk
ikut serta dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan. Hukum
memberi alokasi wewenang yang lebih besar kepada warga negara untuk menentukan
realisasi dirinya sebagai subjek, bukan objek yang dibentuk dan dikontrol oleh
subjek lain.
3. Menelusuri perjalanan sejarah
panjang perjuangan kemanusiaan di berbagai kawasan menunjukkan bahwa untuk
membangun peradaban barudengan dasar kemanusiaan tidaklah mudah. Pelanggaran
terhadap hak asasi masih terus terjadi di berbagai belahan dunia karena adanya
pihak-pihak yang bekerja sama dengan para pelaku, baik langsung maupun tidak
langsung. Struktur yang ada, baik lokal, nasional maupun internasional belum
benar-benar menjadikan prinsip hak asasi sebagai dasar yang ditaati secara
konsisten.
4. Apabila kita berpedoman dari berbagai
instrumen hak asasi manusia (HAM) telah disepakati sebagai panduan bersama
penegakkan HAM. Perkembangan wacana konsep HAM melalui instrumen-instrumen
tersebut kadangkala memunculkan isu-isu sulit, seperti kedaulatan nasional,
universalisme dan partikularisme, gender, hak anak sampai pada isu tentang mana
yang lebih penting antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
5. Sesungguhnya pencarian konsep hak
asasi manusia mengalami perdebatan yang panjang disebabkan oleh adanya
polarisasi pemikiran di antara para penganjur hak asasi manusia,
yaitu antara yang berpaham liberalis dan sosialis. Paham liberalis (konsep
Barat) lebih menekankan pada hak-hak individu, yaitu hak-hak sipil dan politik
(kepemilikan dan kemerdekaan), sedangkan paham sosialis lebih mengedepankan
hak-hak masyarakat atau kewajiban individu terhadap masyarakat, seperti
dianjurkan oleh Karl Marx dengan mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak-hak
sipil dan politik.
6. Apabila kita analisis di
negara-negara dunia ketiga, menurut Gros (Masyhur Effendi, 1994: 23) terdapat
tiga kelompok pendukung konsep hak asasi manusia, yaitu kelompok pertama yang
dipengaruhi oleh konsep sosialis dan marxisme; kelompok kedua yang dipengaruhi
oleh konsep Barat; dan ketiga adalah negara-negara yang karena filsafat hidup,
ideologi dan latar belakang sejarahnya merumuskan konsep tersendiri tentang hak
asasi manusia.
7. Sebenarnya bangsa Indonesia memiliki
pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari nilai agama,
nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan
Pancasiladan UUD 1945. Bangsa Indonesia mengakui bahwa setiap individu merupakan
bagiandari masyarakat dan sebaliknya, masyarakat terdiri dari individu-individu
yang masing-masing memiliki hak dasar.
8. Sebagaimana kita pahami,bahwa setiap
individu, disamping mempunyai hak asasi juga kewajiban dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi individu lain atau komunitas masyarakat lain. Dalam
istilah Baramuli (1994), dilihat dari sejarahnya, HAM di Indonesia merupakan
pembauran antara hak kolektif dan hak orang per orang (Baramuli,1994:3).
9. Secara normatif, substansi hak asasi
manusia telah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia,
baik implisit maupun eksplisit. Peraturan perundang-undangan yang secara tegas
(eksplisit) mengatur hak asasi manusia adalah Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27
– 34, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Peradilan HAM.
10. Definisi secara yuridis dalam UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM merumuskan hak asasi manusia sebagai berikut. Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia
(Pasal 1 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999).
11. Mengacu pandangan Adnan Buyung
Nasution (Adnan Buyung Nasution 2003: 7), bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh
tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini
untuk melindungi HAM. Sejumlah produk politik yang penting tentang HAM, seperti
dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit
sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU
No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM. Setelah amandemen, dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah
dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan
perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM merupakan
perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau
sebaliknya, penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM.
12. Realitasnya hingga kini peristiwa
pelanggaran terhadap HAM masih terus terjadi, bahkan mengalami peningkatan
dalam polanya. Penggusuran pedagang kaki lima di hampir semua daerah di
Indonesia dengan menggunakan kekerasan, kekerasan terhadap
kepercayaan/keyakinan kelompok keagamaan, teror dan kekerasan di Poso, adalah
sebagian dari persoalan yang menuntut analisis mendalam tentang penegakkan HAM.
13. Jika kita mengacu pada pandangan Soegianto
(2001:47-54) bahwa melihat kondisi hak asasi manusia di Indonesia dari tiga
hal, yaitu pengaduan yang masuk keKomnas HAM, catatan kondisi yang menonjol
sepanjang tahun, dan beberapa kemajuan legislasi dalam bidang hak asasi
manusia.
14. Data Pengaduan ke Komnas HAM
berjumlah 1085 kasus terdiri dari kasus baru dan lama yang diadukan kembali.
Kasus tertinggi adalah hak atas keadilan (459 kasus atau 42,30%). Juliantara
(1999:149) mencatat beberapa masalah yang dihadapi dalam penegakan HAM, yaitu:
tuduhan bahwa hak asasi akan mengarah pada kebebasan tanpa batas, suatu kondisi
dimana norma-norma diabaikan sehingga muncul anarki sosial; hak asasi adalah
produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran, di dalamnya
terdapat masalah individualisme dan liberalisme; dan hak asasi akan menghambat
proses pembangunan sehingga akan menghalangi pencapaian kemakmuran rakyat.
15. Apabila ditilik persoalan HAM dan
Pembangunan di Indonesia Di antara berbagai persoalan terkait dengan HAM, maka
persoalan pembangunan menjadi masalah yang krusial. Di samping itu, di dalam
teori pembangunan sendiri banyak isu yang kontroversial. Clements (1997:4)
mencatat, bahwa secara umum hal tersebut mencerminkan ketidakpastian politik
dan ekonomi mengenai kegunaan dan atau penerimaan politis terhadap teori-teori
pembangunan dalam memecahkan masalah-masalah mendasar, seperti pertambahan
angka pengangguran produktif, kemiskinan urban dan pedesaan, penurunan
ketimpangan ekonomi dan sosial.
16. Jika kita analisis alam perkembangan
mutakhir, pengaitan HAM dengan pembangunan menjadi isu yang semakin berkembang
sejak akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an. Persoalan-persoalan pembangunan
yang berkaitan dengan penegakkan HAM dirasakan menjadi semakin serius dan
mendesak, tidak saja di negara-negara berkembang, melainkan juga di
negara-negara industri maju.
17. Adalah tantangan yang dihadapi dan
sangat mengganggu adalah cara pandang sebagian kalangan yang menganggap bahwa
HAM merupakan konsep yang menghalangi proses pembangunan. Pihak-pihak yang
mengedepankan HAM dianggap mengabaikan kepentingan umumdan kepentingan nasional
yang lebih besar. Dalam pembangunan, pengingkaran hak-hak individu dimungkinkan
menurut cara pandang ini. Pembangunan harus dikawal dengan stabilitas politik
yang secara konkret bermakna pembatasan hak-hak individu. Cara pandang yang
mempertentangkan tersebut berakibat padaterjadinya berbagai pelanggaran HAM
yang disebabkan oleh praktek-praktek represif, pembatasan partisipasi rakyat,
dan eksploitasi, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
18. Pertanyaannya adalah apakah pembangunan
merupakan bagian dari hak asasi manusia?. Jawaban atas pertanyaan itu dapat
kita telusuri, bahwa upaya pengakuan internasional atas status pembangunan
sebagai HAM yang bersifat kolektif telah dilakukan oleh negara-negara
berkembang sejak tahun 1970-an. Upaya tersebut menuai hasilnya pada saat Sidang
PBB pada tahun 1986 mengeluarkan Deklarasi HAM atas Pembangunan. Herry Priyono
(1992:4) mencatat bahwa Deklarasi tersebut antara lain berisi pengakuan HAM
sebagai alat sekaligus tujuan pembangunan, tuntutan atas perluasan partisipasi
rakyat sebagai manifestasi HAM atas pembangunan, dan kewajiban
badan-badan pembangunan nasional serta internasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus utama dalam pembangunan.
19. Pada dasarnya keterkaitan HAM dengan
pembangunan menjadi semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya gerakan
demokratisasi pada era tahun 1990-an. Pemerintahan di berbagai belahan dunia
menjadikan HAM sebagai salah satu prioritas penanganan permasalahan pembangunan
domestik dalam upaya mengadaptasi gejala pluralisme di tingkat global.
Keterkaitan HAM dengan pembangunan merupakan kebutuhan domestik dan sekaligus
desakan kebutuhan objektif internasional. Pembangunan semestinya bisa selaras
dengan penegakan HAM, baik di tingkat perencanaan maupun pelaksanaan, karena
pembangunan itu sendiri merupakan bagian dari manifestasi HAM.
20. Mengaca dengan hal perencanaan
pembangunan, bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pengalaman panjang dan
beberapa kali perubahan. Rencana pembangunan yang tertua dalam sejarah
perencanaan pembangunan Indonesia adalah rumusan perencanaan pembangunan “Dasar
Pokok Daripada Plan Mengatur Ekonomi” pada tanggal 12 April 1947 yang dipimpin
olehMohammad Hatta.
21. Fakta historis bahwa beberapa bulan
berikutnya pada Juli 1947, I.J. Kasimo menyusun rencana pembangunanyang disebut
dengan “Plan Produksi Tiga Tahun RI”. Selanjutnya pada tahun 1961-1969 mulai
disusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang diketuai oleh Mr.
Muhammad Yamin. Rencana pembangunan tersebut kemudian dilanjutkan oleh
pemerintahan Orde Baru yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu rencana encana
pembangunan jangka panjang 25 tahun, jangka menengah lima tahun dan jangka
pendek 1 tahun.
22. Pada dasarnya berbagai pengalaman
perencanaan pembangunan di Indonesia di masa lampau, serta perkembangan di
tingkat domestik dan global dewasa ini meniscayakan suatu perubahan dalam
perencanaan pembangunan. Perkembangan di tingkat domestik (nasional) terkait
dengan dicanangkannyaotonomi daerah yang memberi peluang yang lebih besar
kepada daerah-dearah dalam menentukan arah pembangunan di daerahnya, sementara
perkembangan di tingkat global adalah berbagai perubahan pada aspek-aspek
kehidupan yang bersifat mondial, spektakuler,dan seringkali tidak memberi
kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk meresponnya.
23. Apa dampak suatu perubahan orientasi
pembangunan ? bahwa perubahan yang sangat cepat dan didukung oleh meningkatnya
globalisasi mengakibatkan beberapa perubahan, yaitu: pertama, perekonomian akan
semakin terbuka; kedua, pergeseran pengendalian dan penguasaan modal dari
pemerintah kepada swasta semakin meningkat; dan ketiga,peranan pemerintah
daerah semakin besar dengan semakin kuatnya desentralisasi.
24. Perubahan-perubahan tersebut menurut
Tirta Hidayat (1996) mempengaruhi peran dan fungsi perencanaan pembangunan.
Indonesia ke depan memerlukan perencanaan pembangunan yang semakin bersifat
kualitatif; perencanaan akan semakin mengarah ke perencanaan parsial untuk
bidang dan sektor tertentu yang menjadi prioritas;dan partisipasi, serta suara
rakyat akan semakin menentukan dalam perencanaan seiring dengan peningkatan
otonomi daerah dan perkembangan demokrasi.
25. Artikel ini secara khusus akan membahas perencanan
pembangunan yang berwawasan HAM. Konsep Ideal Perencanaan Pembangunan yang
Berwawasan HAM Pembangunan pada hakekatnya adalahsebuah proses perubahan menuju
perbaikan kualitas kehidupan masyarakat secara kultural dan struktural.
26. Pada dasarnya pembangunan bukan
semata-mata melaksanakan proyek-proyek, melainkan dinamik dan gerak majunya
suatu sistem sosial keseluruhan (Soedjatmoko, 1996: 208). Hal ini berarti bahwa
usaha pembangunan tidaklah dipandang dari segi peningkatan kesejahteraan
material semata, melainkan pembangunan manusia seutuhnya sebagai tujuan utama
pembangunan.
27. Pembangunan dalam konteks pengertian
tersebut bukan merupakan kata benda netral yang menjelaskan proses dan usaha
untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur
masyarakat, dan sebagainya, melainkan sebuah wacana, suatu pendirian, bahkan
merupakan suatu ideologi dan teori tentang perubahan sosial. Menurut Fakih
(2001:10), katapembangunan dalam konteks tersebut merupakan suatu “aliran” dan
keyakinan ideologis, teoretis serta praktik mengenai perubahan sosial.
28. Hak atas pembangunan merupakan hak
asasi manusia. Selain Deklarasi HAM atas Pembangunan pada Sidang PBB padatahun
1986, Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993 secara tegas
menyebutkan hak pembangunan sebagai hak yang universal dan tidak
dapat dicabut (Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, 2002:9).
Hal ini berarti bahwa setiap tindakan dan kondisi yang tidak memungkinkan
manusia untuk mendapatkan hak-haknya atas pembangunan merupakan suatu bentuk
pelanggaran hak asasi. Dueck, dkk. (M.M. Billah, 2003:7) mencatat bahwa
konferensi tersebut mengembangkan satu perspektif yang lebih luas atas hak
asasi manusia yang akibatnya juga pada pelanggaran hak asasi manusia.
29. Pengakuan kuat atas hak asasi
manusia yang terdiri dari hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial
yang tidak bisadipilah-pilah, saling berkaitan dan saling bergantungan juga
ditujukan pada tanggung jawab dari berbagai pelaku swasta, bukan hanya negara.
30. Pasal 1 Deklarasi Universal Tentang
Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak kebebasan dan persamaan dalam derajat
yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya; dan karena manusia
merupakan mahluk rasional dan bermoral, berbeda dengan mahluk lainnyadi bumi,
dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak dan kebebasan tertentu yang tidak
dinikmati mahluk lain (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan The British
Council,2000:15).
31. Menurut James W. Nickel (1996:4-5),
ciri menonjol pemahaman hak asasi yang muncul pada abad ke-20 tersebut adalah:
pertama, hak asasi manusia adalah hak yang menunjukkan norma-norma yang pasti
dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib; kedua, bersifat
universal; ketiga, ada dengan sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan
dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara tertentu;
keempat, merupakan norma-norma penting yang cukup kuat kedudukannya sebagai
pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma
nasional yang bertentangan dan untuk membenarkan aksi internasional demi hak
asasi manusia; kelima, mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah untuk tidak melanggar hak seseorang; dan keenam, menetapkan standar
minimal praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak.
32. HAM kini tidak lagi dipandang
sekadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberalisme. Hak asasi
manusia lebih dipahami secara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan
harkat martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna
kulit, jenis kelamin dan pekerjaan. Dengan pemahaman seperti ini, konsep HAM
disifatkan sebagai tolok ukur bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu
dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia, sebagaimana terkandung di
dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
33. Deklarasi tentang hak asasi manusia
ini sebagai suatu standar pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara,
dengan tujuan bahwa setiap orang dan badan dalam masyarakat dengan senantiasa
mengingat pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik
untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan ini dan dengan
jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional,
menjaminpengakuan dan pelaksanaannya yang umum dan efektif, baik oleh
bangsa-bangsa dari Negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari
daerah-daerah yang berada di kekuasaan hukum mereka (Ian Brownlie,1993: 28).
34. HAM merupakan isu strategis abad
ini, disamping isu-isu lain seperti penegakan kedaulatan hukum dan
demokratisasi, lingkungan hidup, gender, dan ikhtiar antarbudaya. Seperti
dicatat olehDavid Korten (1993:28), HAM merupakan salah satu isu yang menembus
agama, varian ideologis, kewilayahan, Timur-Barat, Utara-Selatan. Penegakan HAM
merupakan salah satu ius cogen atau standar normatif manusia beradab dewasa
ini.
35. Dalam konteks pembangunan, HAM
menjadi rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh negara atau pemerintahdalam
menjalankan misinya agar tidak menjadikan pembangunan sebagai tujuan dengan
mengorbankan manusia demi pembangunan. Sistem-sistem hukum harus mampu
mendorong dan mengembangkan pembangunan secara seimbang sambil melindungi dan
memajukan keadilan sosial.
36. Melalui konsep HAM akan dapat
diketahui segi-segi kebutuhan dasar manusia yang belum terpenuhi, sehingga
argumen dan arah pembangunan dapat dikembangkan. Tanpa rambu-rambu kemanusiaan,
pembangunan akan terasa sebagai tindakan yang memuliakan benda dan merendahkan
martabat manusia. Sebagai rambu-rambu, HAM menjadi acuan, tidak
saja dalam pelaksanaan pembangunan, melainkan sejak perencanaan pembangunan.
37. Secata perencanaan menurut Kunarjo
(1996) merupakan suatu proses penyiapan seperangkatkeputusan untuk dilaksanakanpada
waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu.
Unsur-unsur perencanaan menurut pengertian tersebut adalah: (1) berhubungan
dengan masa depan; (2) menyusun seperangkat kegiatan secara sistematis; dan (3)
dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan disusun karena situasi
tertentu dan untuk memecahkan suatu masalah dalam jangka waktu tertentu pula.
38. Terkait dengan perencanaan
pembangunan, menurut Bintoro (1980), unsur-unsur pokok yang harus tercakup
dalam perencanaan adalah: (1) adanya kebijaksanaan atau strategi dasar rencana
pembangunan atau sering disebut dengan tujuan, arah, prioritas dan sasaran
pembangunan; (2) adanya kerangka rencana atau kerangka makro rencana; (3)
perkiraan sumber-sumber pembangunan, khususnya yang digunakan untuk pembiayaan
pembangunan; dan (4) kerangkakebijakan yang konsisten. Berbagai kebijakan perlu
dirumuskan dan kemudian dilaksanakan. Dalam konteks Indonesia, perencanaan
pembangunan menjadi penting mengingat sumber-sumber ekonomi yang semakin
terbatas dan akan menjadi habis, jumlah penduduk yang sangat besar dan beragam,
tingkat pendidikan dan kemampuan manajerial yang masih rendah.
39. Dalam perencanaan pembangunan,
menurut Arthur Lewis (1986:185), harus ada rencana jangka pendek, rencana
jangka menengah, dan rencana perspektif jangka panjang. Rencana jangka pendek
adalah rencana tahunan, jangka menengah antara tiga hingga tujuh tahun, dengan
lima tahun sebagai pilihan yang paling terkenal, dan jangka panjang sepuluh
sampai dua puluh tahun. Rencana tahunan bukan pengganti rencana lainnya,
melainkan sebagai pengontrol, artinya bahwa tahun demi tahun menyesuaikan
sumber-sumber daya dengan hasilyang diperoleh. Rencana tahunan dipengaruhi oleh
rencana jangka menengah dan jangka panjang yang menentukan arahnya secara
operasional.
40. Menurut Sondang P. Siagian
(1985:92-95), paling sedikit ada tiga sifat perencanaan yang perlu mendapat
perhatian dalam pembangunan nasional, yaitu: pertama,
perencanaan yang bersifat alokatif. Dalamrencana pembangunan terlihat jelas
distribusi dana dan daya sehingga seluruh segi pembangunan nasional mendapat
porsi yang wajar sesuai dengan skala prioritas. Kedua, perencanaan yang
bersifat inovatif, yakni menghasilkan perubahan struktural dalam suatu sistem
hubungan kemasyarakatan yang memungkinkan masyarakat menemukan bentuk masa
depan yang diinginkan; dan ketiga, pendekatan yang bersifat multifungsional dan
interdisipliner. Pendekatan ini penting untuk memecahkan masalah persaingan
yang timbul antarsektor dan program untuk mendapatkan porsi yang lebih besar.
41. Zudan Arif (2007) mencatat beberapa
pendekatan dalam perencanaan pembangunan, yaitu pendekatan politik,
teknokratik, partisipatif, atas-bawah dan bawah-atas. Pendekatan politik
memandang bahwa pemilihan presiden/gubernur/bupati secara langsung adalah
bagian dari proses penyusunan rencana, karena rakyat memilih mereka berdasarkan
program-program pembangunan yang ditawarkan. Oleh karena itu, rencana
pembangunan adalah penjabaran agenda pembangunan yang ditawarkan pada saat
kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.
42. Perencanaan dengan pendekatan
teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka pikir
ilmiaholeh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif berarti melibatkan semua
stakeholderspembangunan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa
memiliki, sedangkan pendekatan bawah-atas dan atas bawah dilaksanakan menurut
jenjang pemerintahan; rencana pembangunan diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan ditingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
43. Secara ringkas, Friedmann
(1981:250)mencatat dua pendekatan dalam perencanaan pembangunan, yaitu
pendekatan “cetak biru” dan pendekatan belajar sosial. Pendekatan cetak biru
berarti membuat suatu rancangan masa depan yang dilaksanakan oleh suatu
otoritas terpusat menurut suatu program yang khusus.
44. Penyimpangan-penyimpangan formal
dari rancangan tersebut diperbolehkan, tetapi harus ditemukan dalam rencana itu
sendiri yang dalam bagian lain disesuaikan untuk mempertahankan struktur
pokoknya sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
45. Perencanaan cetak biru cenderung
memisahkan dari pelaksanaan kegiatan dan paling tidak rencana-rencana jangka
pendek. Bentuk perencanaan disesuaikan dengan persyaratan dan kecenderungan
kesatuan-kesatuan birokratis seperti negara.
46. Sementara pada pendekatan belajar
sosial, perencanaan bukan sekedar sebagai pembuatan rencana, melainkan lebih
sebagai proses “belajar bersama”, tidak menekankan pada dokumen, tetapi pada
dialog dan hasilnya lebih tergantung pada hubungan timbal balik pribadi-pribadi
menurut latar belakang khususnya, bukan pada lembaga-lembaga.
47. Friedmann (1981:250) juga mencatat
bahwa dewasa ini gagasan-gagasan tentang perencanaan telah mengalami perubahan,
yaitu dari perencanaan “cetak biru” menuju pendekatan belajar sosial
48. Menjelang akhir tahun 1960,
pendekatan cetak biru tergoncang hebat. Di Amerika, berbagai peristiwa sejarah
telah menimbulkan keraguan terhadap kemampuan model ini dalam menghadapi
masalah-masalah utama yang menimpa kota-kota besar di Amerika.
49. Perencanaan pembangunan dengan
pendekatan belajar sosial memungkinkan pengetahuan ilmiah dan teknis
digabungkan dengan kegiatan-kegiatan yang terorganisasi. Belajar sosial
merupakan pendekatan untuk perencanaan dimana praktek akan digabungkan dengan
teori di dalam suatu gerakan. Dalam pendekatan belajar sosial, kerangka umum
diberikan kepada masyarakat. Kegiatan masyarakat diperlakukan sebagai gejala
primer, teori menangggapi dan dibentuk oleh praktek, bahkan bisa juga berfungsi
memberi informasi kepada praktek. Jika hasilnya tidak sebagaimana yang
diharapkan, maka harus dilakukan pengkajian ulang.
50. Dalam kegiatan pembangunan,
perencanaan belajar sosial paling efektif bila dilaksanakan melalui dialog yang
melibatkan hubungan yang saling mempercayai antara dua pihak atau lebih. Dialog
merupakan proses komunikasi yang berkembang dalam kelompok-kelompok kecil yang
jumlah optimal anggotanya tujuh hingga sembilan orang. Dalam kelompok-kelompok
kecil, setiap anggota memiliki andil yang diperhitungkan. Dengan demikian, perencanaan
pembangunan dengan pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya struktur sel
bagi organisasi-organisasi yang bermaksud melakukan praktek inovatif.
51. Para perencana tampil sebagai
pembantudan penengah dari kegiatan masing-masing kelompok. Mereka menerapkan
keahlian khusus dalam pelaksanaan kerja bersama. Mereka tidak hanya harus
mempunyai tujuan-tujuan yang sama dengan kelompok-kelompok yang dibantu,
melainkan terjun melibatkan diri dalam cara-cara yang akan meminimalisasi
perbedaan-perbedaan status akibat perbedaan pengetahuan formal.
52. Dalam lingkup negara, perencanaan
pembangunan dengan pendekatan belajar sosial atau pendekatan partisipatif
terjadi dalam konteks masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-haknya sebagai
warga negara. Dengan demikian, pendekatan belajar sosial merupakan model
perencanaanyang bermakna politik. Pendekatan ini juga merupakan cara-cara
mewujudkan perubahan yang inovatif dari bawah.
53. Pola pendekatannya
terdesentralisasi, seringkali tidak terkoordinasi dan dengan dukungan finansial
yang minimal sehingga tampak lemah dan kurang efektif. Namun demikian,
faktor-faktor tersebut tidak dapat dijadikan alasan yang kuat untuk
mempertahankan pendapat bahwa semua perubahan sosial yang penting berasal dari
atas. Pendekatan ini dapat memberi sumbangan besar karenamenuju ke arah
tranformasi struktur kekuasaan politik pemerintah. Gagasan utama dari
perencanaan dari bawah ini dapat mencerminkan secara tepat kepentingan
sesungguhnya dari rakyat.
54. Perencanaan pembangunan dengan
pendekatan belajar sosial adalah perencanaan yang berpusat pada rakyat.
Perencanaan ini berimplikasi pada model pembangunan yang berpusat pada rakyat
(people centered-development), yaitu model pembangunan yang memandang inisiatif
kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang
kesejahteraan material dan non material mereka sebagai tujuan yang ingin
dicapai.
55. Martabat manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan diwujudkan dalam proses pembangunan. Menurut David C. Korten dan
George Carner (1988:270), pembangunan yang berpusat pada rakyat menempatkan
manusia dan lingkungan sebagai variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik
tolak dalam perencanaan pembangunan.
56. Perspektif dasar dan metode
analisisnya adalah ekologi manusia atau kajian mengenai interaksi antara sistem
manusia dengan sistem ekologi.
57. Dari sisi hukum, menurut Zudan Arif
(2007:59-60), hukum yang dikembangkan adalah model humanis partisipatoris.
Model ini merupakan perwujudan hukum yang mendasarkan pada martabat manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan melalui pemberian prakarsa dan kesempatan kepada
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya; dimensi kemanusiaan sebagai tujuan pembangunan; dan memberikan
alokasi wewenang yang lebih besar kepada warga negara untuk menentukan
realisasi dirinya sebagai subjek dalam kehidupan.
58. Hukum bertujuan untuk mewujudkan
keadilan sosial, sehingga penghormatan HAM dan pola demokratisasi merupakan
unsur dalam proses pembangunan. Hal ini pula yang ditegaskandalam Kongres
Kejahatan pada tanggal 26 Agustus – 6 September 1985di Milan Italia yang
didukung oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 40/32, bahwa sistem-sistem hukum
harus mampu mendorong dan mengembangkan pembangunan secara seimbang dan
bermanfaat sambil melindungi HAM dan memajukan keadilan sosial (Kunarto, 1996:
94).
59. Wujud hukum yang humanis
partisipatoris akan menampakkan wujudnya apabila negara memberi perhatian pada
aspek dan dimensi manusiawi sebagai tujuan utama pembangunan yang memberi akses
kepada warga negara untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan di berbagai
bidang kehidupan. Wajah hukum lebih bersifat antropomorfis. Hukum memberi
alokasi wewenang yang lebih besar kepada warga negara untuk menentukan
realisasi dirinya sebagai subjek dalam kehidupan, bukan objek yang dibentuk dan
dikontrol oleh subjek lain. Hukum mampu memberdayakan warga negara sehingga
dapat menempatkan posisinya secara mandiri.
60. Pendekatan belajar sosial dalam
perencanaan pembangunan merupakan prasyarat bagi model pembangunan yang
berpusat pada rakyat. Pendekatan dan model ini relevan dengan nilai-nilai HAM.
Keduanya memungkinkan keterlibatan aktif warga negara dalam proses pembangunan.
61. Pendekatan dan model tersebut,
selain sebagai manifestasi hak asasi sebagai warga negara dalam pembangunan,
juga untuk menjamin hak-hak asasi warga negara atas pembangunan, baik secara
individual maupun kolektif. Dari aspek hukum, perencanaan pembangunan yang
berwawasan HAM harus didukung dengan model hukum yang partisipatoris.
62. Bagan konsep perencanaan pembangunan
berwawasan HAM menuju model pembangunan berpusat pada rakyatPerencanaan
pembangunan berwawasan HAM Pengalaman pembangunan di masa lalu (model
pertumbuhan GNP, model pemerataan dan pemenuhan Perkembangan di tingkat
nasional (otonomi Pendekatan belajar sosial (partisipatif): - Kerangka umum
oleh masyarakat - Dialog praktik dan teoraetik - Perencana sebagai Pembangunan
hukum humanis partisipatoris: Mendasarkan pada martabat manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan -Dimensi kemanusiaan sebagai tujuan
pembangunan -Memberikan alokasi wewenang yang
lebih besar kepada warga negara untuk menentukanrealisasi dirinya sebagai
subjek Model pembangunan berpusat pada rakyat Perkembangan di tingkatglobal(globalisasi,demokratisasi,
HAM)
63. Dari bahasan di atas ada tiga
kesimpulan yang dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, Perencanaan pembangunan
yang berwawasan HAM merupakan perencanaan pembangunan yang menjadikannilai-nilai
HAM sebagai rambu-rambu dalam perencanaan pembangunan. HAM harus dipatuhi oleh
negara atau pemerintah dalam menjalankan misinya sehingga tidak menjadikan
pembangunan sebagai tujuan dengan mengorbankan manusia demi pembangunan,
melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan penegakkan hak atas pembangunan.
64. Kedua, Pendekatan belajar sosial
dalam perencanaan pembangunan merupakan pendekatan yang relevan bagi perencanaan
pembangunan yang berwawasan HAM. Pendekatan ini memungkinkan keterlibatanaktif
warga negara dalam proses pembangunan karena selain sebagai manifestasi hak asasi
sebagai warga negara, juga untuk menjamin hak-hak asasi warga negara atas
pembangunan, baik secara individual maupun kolektifPendekatan ini merupakan
prasyarat bagi model pembangunan yang berpusat pada rakyat.
65. Ketiga, Dari sisi pembangunan hukum,
hukum yang relevan untuk dikembangkan sejalan dengan nilai-nilai HAMadalah
model humanis partisipatoris. Manifestasi dari model pembangunan hukumini
adalah memberi perhatian pada aspek dan dimensi manusiawi sebagai tujuan utama
pembangunan yang memberi akses kepada warga negara untuk ikutserta dalam
pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan. Hukum memberi alokasi
wewenang yang lebih besar kepada warga negara untuk menentukan realisasi dirinya
sebagai subjek, bukan objek yang dibentuk dan dikontrol oleh subjek lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Baramuli,
A.A.,1994. ”Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Sosial Ekonomi dan Kemanusiaan,”
Makalah, disampaikan dalam Lokakarya Nasional II tentang Hak Asasi Manusia di
Jakarta, 24-26 Oktober.
Tjokroamidjojo,
Bintoro, 1980. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT Gunung Agung.Brownlie,
Ian.1993.
Dokumen-dokumen
Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia Terjemah Beriansyah. Jakarta: UI Press.
Clements,
Kevin P. 1997. Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan, terjemah Endi
Haryono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Juliantara,Dadang,
1999. Jalan Kemanusiaan Panduan Untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia.Yogyakarta:
Lapera Pustaka Utama.
Saefulloh
Fatah,Eep, 2000. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya).
Priyono,Herry,
1992,“Hak Asasi Manusia dan Pembangunan,” Kompas, Edisi
Kamis, 10
Desember.
Djoko
Soegianto, H.R.2002, ”Kondisi Hak Asasi Manusia Di Indonesia Saat ini”,dalamDiseminasi
Rencana Aksi Nasional(RAN) HAM Bidang Pendidikan, Biro Hukum dan Organisasi
Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan The British CouncilJakarta. 2000. Lembar 02
Fakta HAM, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas
HAM.
Korten,
David C. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Harapan..
Korten,
David C. dan Sjahrir (peny.). 1998. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan.
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Kunarjo,
”Sejarah Perencanaan Pembangunan,” dalam Prisma Nomor Khusus 25 Tahun1971-1996.
Kunarto
(terj.). 1996. Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan
Hukum.
Jakarta: PT Cipta Manunggal.
W. Arthur,
Lewis. 1986. Perencanaan Pembangunan Dasar-dasar Kebijakan Ekonomi.Jakarta:
Aksara Baru.
Fakih,Mansour,
2001.
Sesat Pikir
Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: INSIST.
Effendi,Mansyur,
1994. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional.
Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Budiarjo,
Miriam, 1990. Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global.Jurnal Ilmu Politik 10.
M.M. Billah, “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”,
Makalah, Disampaikan
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi ManusiaRI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Nasution,
Adnan Buyung,2003, “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi
Hukum,” Makalah, Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan
Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan oleh
Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI,
Denpasar, 14 - 18 Juli.
Nickel,
James W.1996. Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sekretariat
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Diseminasi Rencana Aksi Nasional
(RAN) HAM Bidang Pendidikan. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi.
Siagian,
Sondang P. 1985. Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung
Agung.
Soedjatmoko.
1996. Etika Pembebasan. Jakarta: Yayasan Obor.
Hidayat,Tirta,
”Model Perencanaan Pembangunan Nasional Masa Depan,” dalam PrismaNomor Khusus
25 Tahun 1971-1996.
Undang-Undang
RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Fakrulloh,
Zudan Arif ,“Hukum Sumber Daya Alam dan Perencanaan Pembangunan,” Bahan
Perkuliahan, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus (UNTAG)
Surabaya, tidak diterbitkan.