Minggu, 08 Mei 2011

SULITNYA MENGURUS NEGARA INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG DEMOKRASI BERDASARKAN TEOKRASI DI ERA REFORMASI

SULITNYA MENGURUS NEGARA INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG DEMOKRASI BERDASARKAN TEOKRASI DI ERA REFORMASI

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Saat ini ada anggapan, bahwa mengurus negara itu tidak mudah dan siapapun yang akan menjadi Presiden, maka harus siap untuk dicerca dan didemo serta dikritik oleh publik baik didunia nyata maupun di dunia maya, mengapa demikian, karena di era infromasi yang menglobal ini siapapun dapat mengomentari secara bebas jalan penyelenggaraan negara dalam mengurus negara, sepertinya reformasi ini sedang menuju titik kulminasi kehidupan hukum dan kenegaraan. Hal ini dikarenakan tiga konsep kenegaraan sekaligus diterapkan oleh Indonesia, yaitu Konsep negara hukum, konsep negara demokrasi, dan sekaligus konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD 1945) inilah negara hukum yang demokrasi berdasarkan teokrasi.

Salah satu ahli ketatanegaraan Indonesia Jimlly memberikan pandangan, bahwa mengurus negara berarti mengurusi organisasi negara agar berfungsi dalam upaya mencapai tujuan negara melindungi, mencerdaskan, dan meningkatkan kesejahteraan segenap warga negara, serta membuat mereka bergaul bebas dan aktif dalam hubungan antar bangsa. Dengan perkataan lain, para penyelenggara negara adalah pengurus negara yang harus mengurusi negara dan rakyatnya dalam mencapai dan mewujudkan tujuan bersama. Para penyelenggara negara itu tidaklah diangkat atau dipilih untuk tujuan mengurusi dirinya masing-masing secara sendiri-sendiri.[1]

Pada tataran ini secara konsepsional menjadi pejabat penyelenggara negara tidak identik dengan menjadi pemerintah. Apalagi perkataan pemerintah itu sendiri berasal dari kata perintah, memerintah, dan pemerintah yang merupakan terjemahan yang tidak tetap untuk perkataan “to govern” dan “government” dari bahasa Inggeris, atau “gouvernemen” dari bahasa Belanda.

Pengertian sebenarnya, “to govern” dapat diartikan sebagai “direct or strongly influence the behavior of”. Misalnya, dikatakan "His belief in God will govern his conduct". “To govern” merupakan satu cara atau jalan “to control, command” atau “to exercise authoritative control or power.[2]. Meskipun tidak tepat, kadang-kadang “to govern” juga disamakan dengan “to rule” dalam arti “to exercise authority”. Misalnya, "The country is governed by the ruling party. Terkait dengan istilah “to govern” dan “to rule” ini ada pula beberapa istilah, seperti[3]:

· throne, seperti “sit on the throne as a ruler”;

· misgovern, dalam arti “to govern badly”;

· dictate, seperti “to rule as a dictator”; dan

· reign, seperti “to have sovereign power”.

Secara teoritis, government itu sendiri merupakan “a system or form by which a community or other political unit is governed”. “Government” merupakan suatu sistim aturan (system of rules), yaitu “a complex of methods or rules governing behavior”. Dalam pengertian “governing” itu juga terkandung makna “responsible for making and enforcing rules and laws”, seperti dalam "governing bodies".Governing juga serupa dengan “dominant exercising influence or control”. “The act of governing, exercising authority”, seperti dalam kalimat "regulations for the governing of state prisons", atau pun dalam kalimat "he had considerable experience of government". Yang juga serumpun dengan perkataan “government”, “governing”, dan “governance”, umpamanya adalah[4]:

· misgovernment” dan “misrule”, seperti dalam pengertian “mismanagement” yang berarti “government that is inefficient or dishonest”;

· legislation”, “legislating”, dan “lawmaking”, yaitu “the act of making or enacting laws”.

Jika diperhatikan sekilas istilah-istilah itu memiliki pengertian yang mirip, tetapi kadang-kadang pemaknaan-pemaknaan yang terkandung di dalamnya tergantung pula kepada konteksnya. Karena itu, kata “to govern” juga mengandung nuansa pengertian yang berbeda dari “Penguasa” yang sarat dengan makna kekuasaan yang bersifat memaksa (coersive power). Menurut Wikipedia[5],

A government is a body that has the authority to make and the power to enforce laws within a civil, corporate, religious, academic, or other organization or group. In its broadest sense, ‘to govern’ means to administer or supervise, whether over a state, a set group of people, or a collection of assets. The word government is ultimately derived from the Greek κυβερνν (kybernan), which means "to steer".

Government” merupakan suatu badan yang memiliki kewenangan untuk membuat dan kekuasaan untuk menegakkan hukum dalam suatu organisasi atau kelompok orang civil, corporate, agama, akademisi, atau lain-lain bentuk-bentuk organisasi atau kelompok lainnya. Dalam arti luas, “to govern” berarti “to administer” (melaksanakan), “to rule” (mengatur), atau “to supervise” (mengawasi) dalam suatu negara, atas suatu kelompok orang tertentu atau kelompok kekayaan tertentu. Akar kata “government” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, “Kybernan” yang berarti “to steer” atau mengemudi[6]. Karena itu, sungguh merupakan kekeliruan yang fatal jika kata “government” dari bahasa Inggeris dan “gouvernemen” dari bahasa Belanda diterjemahkan menjadi pemerintah yang berasal dari kata “perintah” dan “memerintah”.

Dalam khasanah bahasa Jawa, memang ada kata “pangreh” dan “pangrehpraja” yang kurang lebih berarti pejabat pemerintahan. Tetapi, istilah ini baru berkembang setelah bangsa Indonesia mengenal konsep pemerintahan dari bangsa Eropah melalui istilah “gubernemen” dalam bahasa Belanda dan “government” dalam bahasa Inggeris. Untuk pengertian mengenai suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dikembangkan istilah “swapraja” yang berarti daerah otonom. Ada pula perkataan “pamonpraja” yang menunjuk kepada pengertian pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan tersebut dengan semangat pelayanan yang bersifat mengemong dan melayani. Semua ini berkembang di zaman penjajahan Hindia Belanda. Sebelumnya, belum dikenal adanya istilah-istilah yang dapat disetarakan dengan pengertian pemerintah dan pemerintahan seperti diuraikan di atas.

Secara historis di zaman kerajaan Sriwijaya, meskipun wilayah kekuasaan sangat luas, penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan dapat dikatakan masih sederhana, sehingga belum ada perkataan khusus yang digunakan untuk menyebut pengertian pemerintahan seperti yang dipahami dewasa ini. Di sekitar Raja dan para anggota keluarganya yang masing-masing memainkan kekuasaannya sendiri-sendiri di bawah Raja, terdapat administrasi kerajaan yang terdiri atas Prataya, Hayaka, dan Dandanayaka, serta Murdhaka. Prataya mengurus harta benda milik Raja dan karena itu dipandang paling penting kedudukannya. Hayaka bertindak sebagai pejabat pemungut pajak dari rakyat. Dandanayaka adalah pejabat hakim yang mengadili. Sedangkan Murdhaka bertanggungjawab dalam wilayah milik Raja di sekitar ibukota kerajaan yang menjadi basis kehidupan ekonomi keluarga Raja.

Di samping mereka berempat, terdapat pula para bangsawan yang bukan keluarga Raja setingkat menteri, yaitu Kumara-matya, Kayastha (juru tulis), dan Sthapaka (rohaniawan), serta Tuha an Vatakvurah (pengawas perdagangan), dan Puhawang yang mengawasi pengangkutan atau transportasi. Pasukan keamanan dipimpin oleh seorang Parvvanda yang bertanggungjawab langsung kepada Raja dan membawahkan Pratisara yang memimpin balatentara dari sekitar ibukota dan Senapati yang memimpin balatentara dari daerah-daerah[7]. Nampak jelas bahwa sesuai sifatnya sebagai kerajaan perdagangan, fungsi birokrasi pemerintahan Sriwijaya di bidang ekonomi sangat menonjol. Fungsi pejabat pemerintahan memang bukan untuk mengurus kepentingan rakyat, melainkan hanya membantu Raja untuk mengumpulkan kekayaan yang diperlukan untuk membiayai kepentingan kekuasaannya itu sendiri.

Fakta sejarah yang sama juga terjadi di zaman Majapahit. Raja disebut Prabhu yang di samping sebagai kepala negara juga dianggap sebagai titisan dewa. Di samping Sang Prabhu, terdapat suatu dewan keluarga yang disebut Pahom Narendra yang terdiri atas ayah, ibu, saudara-saudari dan para ipar Raja. Para pejabat tinggi yang membantu Sang Prabhu ada tiga orang Mahamantri atau Sang Mantri Katrini, yaitu Rakryan Mahamantri i Hino, Rakryan Mahamantri Sirikan, dan Rakryan Mahamantri i Halu. Mereka bertiga ini lah yang menjadi perantara antara Sang Prabhu dengan para pejabat eksekutif yang dipimpin oleh Mahapatih atau Apatih Mangkubumi, semacam Perdana Menteri di zaman sekarang. Para pejabat pemerintahan lainnya adalah Tumenggung (Panglima), Demung (Pengurus Rumah Tangga Raja), Kanuruhan yang mengatur urusan protokoler, Juru Pengalasan, Rangga, dan Dharmadhyaksa yang dibantu oleh Upapatti (rohaniawan).

Di kerajaan Mataram, corak pemerintahannya juga berbeda lagi. Dapat dikatakan, di masa Sultan Agung lah, kerajaan Mataram dianggap paling kuat dan luas pengaruhnya di Jawa. Kerajaan Mataram di masa Sultan Agung mempunyai birokrasi pemerintahan yang paling kuat. Namun, ketika itu, istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” juga belum lazim dipakai. Sultan Agung sebagai kepala negara dibantu oleh seorang Tumenggung yang disebut Patih dan 4 orang Penasihat. Masing-masing 2 orang di kanan dan 2 orang di kiri yang hanya dapat berbicara dengan Sultan melalui wakilnya, yaitu seorang Tumenggung di kanan dan seorang Tumenggung lagi di sebelah kiri. Kelima orang kepercayaan kepala negara itulah yang dapat disebut sebagai pejabat tinggi kerajaan Mataram di zaman Sultan Agung.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya, birokrasi pemerintahan pusat dibagi ke dalam pemerintahan dalam keraton dan luar keraton. Urusan dalam keraton diurus oleh wedana gedong kiwa dan wedana gedong tengen untuk urusan keuangan dan perbendaharaan negara; wedana keparak kiwa dan wedana keparak tengen untuk urusan keprajuritan dan pengadilan. Keempat wedana ini dikoordinasikan oleh Patih Lebet[8]. Setiap wedana ini dibantu oleh seorang Kliwon, seorang kebayan, dan empat puluh mantri jajar. Untuk mengurusi pemerintahan di Kuthagara, Raja mengangkat dua Tumenggung yang langsung berada di bawah perintah Raja. Mereka ini bersama keempat wedana tersebut di atas merupakan dewan tertinggi kerajaan.

Di samping mereka itu, masih ada pejabat lain yang juga tergolong tinggi kedudukannya, yaitu pejabat keagamaan, pejabat militer, dan pejabat penegak hukum. Rohaniawan keraton disebut Penghulu Agung yang diikuti oleh Katib, Modin, Naib, dan Suranata. Sedangkan pejabat militer dipimpin oleh Senapati, Panji, Lurah, dan rakyat[9]. Di bidang penegakan hukum ada pejabat semacam jaksa di bawah koordinasi wedana keparak. Untuk membantu tugas jaksa dan pengadilan, ada pula Tumenggung Redi atau Kliwon Redi yang menjalankan tugas kepolisian[10]. Sidang Pengadilan diadakan di bangsal pancaniti di keraton untuk mendengarkan dakwaan jaksa dan bukti-bukti kesalahan terdakwa. Setelah mendengar pembelaan terdakwa dan pendapat para pangeran, Raja melakukan semedi untuk akhirnya menjatuhkan putusan[11]. Dari sini tampak jelas bahwa di kerajaan Mataram ketika itu belum dikenal adanya konsep tentang pemisahan kekuasaan judikatif seperti yang dikenal dewasa ini (independence of the judiciary).

Sepertinya istilah pemerintah dan pemerintahan itu baru tumbuh dalam kosakata bahasa Indonesia setelah bangsa Indonesia berkenalan dengan konsep bangsa Eropah dengan perkataan “gouvernemen” dalam bahasa Belanda dan “government” dalam bahasa Inggeris. Karena padanan yang tepat untuk mengartikan perkataan ini belum lazim, maka dikembangkanlah dalam praktik istilah “pangreh” yang berarti aparat pemerintah dan pemerintahan. ‘Pengreh’ berasal dari “reh” yang berarti perintah, dan kata “Pemerintah” berasal dari kata “perintah” atau “prentah” dan “pamerentah” dari bahasa Jawa. Dalam praktik budaya politik yang feodalistis dan paternalistis seperti di Jawa, kata pangrehpraja pernah diperhalus dengan diperkenalkannya istilah “pamongpraja”, yang lebih bersifat pengayoman dan mengemong serta melayani. Akan tetapi, dalam praktik yang justru berkembang adalah kata pemerintah dan pemerintahan yang berasal dari kata perintah. Konsepsi yang terkadung di dalamnya semakin jauh berkembang dari ide “to govern” yang berasal dari perkataan Yunani “kybernan” yang berarti “steering” atau mengemudi. Esensi kegiatan pemerintahan menjadi terpusat pada kekuasaan untuk memberi perintah yang bersifat memaksa.

Konsekuensinya, semua pejabat yang menduduki posisi-posisi dalam pemerintahan sangat menikmati kedudukannya sebagai penguasa. Menjadi pejabat berarti menjadi penguasa yang memegang kekuasaan untuk memaksa dan memberi perintah-perintah kepada rakyat dan siapa saja yang menjadi bawahannya. Semua jabatan dalam kegiatan bernegara dan berpemerintahan cenderung diperlakukan dengan asumsi yang serupa ini, yaitu sebagai posisi yang memberikan privelege, hak-hak khusus kepada siapa saja yang mendudukinya. Semua orang berusaha dan bahkan berjuang keras untuk sesegera mungkin mendapatkan kedudukan-kedudukan atau jabatan-jabatan itu untuk selanjutnya menikmati perlakuan-perlakuan khusus yang terdapat di dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi dan keluarga serta golongannya sendiri-sendiri.

Bagi mereka yang terbelenggu dari pandangan pragmatis mudah sekali terperangkap dalam pengertian yang sederhana bahwa kedudukan berisi hak-hak yang dapat dinikmati. Oleh karena itu, jabatan dan kedudukan kurang dipandang sebagai persoalan tanggungjawab yang berisi beban-beban kewajiban yang mesti dipenuhi dengan ketulusan dan keikhlasan pengabdian. Kebanyakan orang cenderung lebih mengutamakan kedudukan (status) daripada peranan (role). Kebanyakan orang lebih berorientasi mengambil daripada memberi.

Terhadap adanya kecenderungan yang demikian itu, sudah tentu paradigma berpikirnya harus diubah secara mendasar. Kata kuncinya adalah falsafah dasar penyelenggaraan fungsi-fungsi negara itu haruslah bukan didasarkan atas kekuasaan untuk memberi perintah, melainkan delegasi kewenangan dari segenap rakyat untuk melayani kepentingan rakyat melalui peran masing dalam kepengurusan organisasi-organisasi negara. Ada orang yang menjadi pengurus di cabang eksekutif, ada yang di cabang legislatif, dan ada pula yang mengurusi cabang kekuasaan judikatif. Jika organisasi masyarakat ada pengurusnya dan badan-badan perusahaan juga mempunyai pengurusnya sendiri-sendiri, maka organisasi negara beserta organ-organnya mestilah juga mempunyai pengurusnya sendiri-sendiri.

Hal itulah yang diamati oleh Bung Hatta dengan menyebut konsepsi negara kita sebagai “Negara Pengurus”. Istilah negara pengurus dipakai oleh Mohammad Hatta untuk maksud menerjemahkan istilah welfare state atau welvaart-staat yang dikenal di barat sejak awal abad ke-20. Tetapi, istilah negara pengurus itu bagi saya dapat dikaitkan dengan pengertian yang lebih dari sekedar penamaan atas konsepsi welfare state itu. Istilah itu sesungguhnya memang jauh lebih tepat untuk dipakai daripada istilah memerintah dan pemerintah yang berasal dari akar kata perintah. Para pejabat penyelenggara negara tidak semestinya mengidentifikasikan diri dan diidentifikasikan sebagai pemerintah dalam arti pihak yang memberi perintah. Menjadi pejabat negara atau pejabat negeri seharusnya dipersepsikan sebagai pengurus, seperti halnya pengurus partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat lainnya. Dengan demikian, konotasi maknanya tidak bernuansa kekuasaan, tetapi hanya terkait dengan soal pengelolaan atau manajemen bernegara.

II. Konsep Penyelenggaraan dan Pengurusan Negara

1. Pengertian Pemerintahan

Teori ketatanegaraan mencatat, bahwa khususnya dalam sistim kabinet pada sistim pemerintahan parlementer, kata "government" dikaitkan dengan pengertian pemerintahan eksekutif (executive function). Di banyak negara yang menganut sistim demikian, “the government refers to the executive branch of government or a specifically named executive, such as the Blair government[12]. Di negara-negara yang dipengaruhi atau yang menggunakan Westminster System, partai politik yang memerintah (the governing party) biasanya juga mengendalikan parlemen (legislature). Bahkan di Wales, pemerintahan eksekutif resminya disebut “the Welsh Assembly Government", sedangkan perkataan "the Scottish government" merupakan sebutan tidak resmi untuk menggambarkan “the Scottish Executive[13].

Hal ini berbeda di Amerika Serikat, seperti tercermin dalam konstitusinya, istilah “the Government of the United States of America” justru menunjuk kepada pengertian yang lebih luas, yaitu mencakup pemerintahan eksekutif dan legislatif. “The Congress of the United States” juga tercakup dalam pengertian “the Government of the United States” yang dimaksud di atas. Akan tetapi, “the Judiciary”, yaitu “the Supreme Court of the United States” tidak termasuk ke dalam pengertian “the Government” tersebut. Oleh sebab itu, jika kita menerjemahkan kata “government” ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggeris British berbeda muatan maknanya, jika perkataan yang sama itu diambil dari tradisi Amerika Serikat. Itu sebabnya, UUD 1945 dan juga UU tentang Pemerintahan Daerah yang disusun di Indonesia sejak dulu selalu tidak konsisten dalam memberikan makna yang pasti untuk perkataan “pemerintah” dan “pemerintahan” dalam ketentuan pasal-pasal yang dirumuskan.

Mengapa demikian? sangat boleh jadi hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber referensi yang dipakai bersifat campur aduk, dari mana-mana, sehingga orang Indonesia memakaikan begitu saja satu perkataan di semua tempat tanpa sungguh-sungguh menyadari konteks makna yang dimaksud. Misalnya, judul Bab III UUD 1945 menggunakan perkataan “Kekuasaan Pemerintahan Negara”. Tetapi dalam Penjelasan atas pasal-pasal dalam bab ini diuraikan pengertian yang dimaksud, yaitu mengenai “Kekuasaan Pemerintah”, bukan mengenai “Kekuasaan Pemerintahan”. Tetapi, pada Bab VI, perkataan yang dipakai dalam judul adalah “Pemerintah Daerah”, bukan “Pemerintahan Daerah”. Sedangkan dalam penjelasannya diuraikan mengenai “pemerintahan daerah” yang mencakup juga pengertian pemerintahan eksekutif dan legislatif, yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota serta DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

Mencermati UUD 1945 setelah diubah oleh MPR sampai tahun 2002, kekurangan tersebut di atas juga tidak diperbaiki sebagaimana mestinya. Bab III masih menggunakan judul “Kekuasaan Pemerintahan Negara”, bukan “Kekuasaan Pemerintah Negara”, tetapi materi yang diatur dalam pasal-pasalnya, yaitu Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 hanya berkenaan dengan kekuasaan Presiden saja. Sedangkan Bab VI juga tetap menggunakan judul “Pemerintah Daerah”, bukan “Pemerintahan Daerah”, tetapi materi yang diatur di dalamnya, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B tidak hanya mengatur kekuasaan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Ketiga pasal ini, terutama Pasal 18 ayat (3) mengatur pula mengenai DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPRD Kota dengan menyatakan, “Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

Di samping itu, dari rumusan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas, dapat pula diketahui bahwa istilah “Pemerintahan Daerah” itu diartikan dalam makna gabungan antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif di daerah. Dari kalimat “Pemerintahan Daerah .... memiliki DPRD” menunjukkan bahwa perkataan “pemerintahan” itu bukan dalam arti proses, melainkan subjek gabungan antara kedua cabang kekuasaan itu sekaligus. Padahal judul Bab VI adalah “Pemerintah Daerah”. Berarti, pengertian pemerintah dan pemerintahan yang digunakan dalam Bab VI ini mirip dengan pengertian “Government” dalam bahasa Inggeris Amerika yang mencakup makna pemerintahan eksekutif dan sekaligus kekuasan kongres seperti sudah dikemukakan di atas. Hal ini sangat kontras dengan perumusan judul Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara” yang menggunakan istilah “pemerintahan” tetapi isinya hanya berkenaan dengan kekuasaan Presiden saja. Karena itu, kita dapat menyatakan bahwa pengertian kata “pemerintahan” dalam Bab III UUD 1945 itu mengandung arti sebagai proses atau mekanisme pemerintahan.

Kata “pemerintahan” itu sendiri memang lazim dipahami dalam 2 (dua) pengertian, yaitu (i) sebagai proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan, dan (ii) sebagai sistem penyelenggaraan fungsi eksekutif dan legislatif dalam makna gabungan. Pengertian pertama biasanya dipahami dalam konteks yang terbatas pada fungsi eksekutif saja, sedangkan pengertian yang kedua dipahami dalam konteks yang lebih luas. Jika penggunaan kata-kata pemerintah dan pemerintahan itu konsisten dalam UUD 1945, tentu harus dibedakan dengan konsisten apakah (i) kata “pemerintahan” itu dipakai untuk menggambarkan makna yang lebih luas dari sekedar Pemerintah dalam arti eksekutif belaka, atau (ii) kata “pemerintahan” itu hanya dimaknai untuk menggambarkan suatu proses penyelenggaraan pemerintahan eksekutif saja. Oleh karena UUD saja sebagai hukum yang paling tinggi tidak konsisten menggunakan perkataan “pemerintah” dan “pemerintahan” itu, maka tentu saja peraturan yang lebih rendah mengikuti saja yang berlaku dalam rumusan hukum tertinggi.

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dari dulu sampai sekarang juga tidak konsisten dan cenderung menimbulkan perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya di lapangan. Misalnya, apakah DPRD sesungguhnya merupakan bagian dari pengertian pemerintahan daerah atau bukan? Pertanyaan ini berkaitan pula dengan persoalan apakah DPRD itu pada hakikatnya memang merupakan lembaga legislatif daerah atau bukan? Beberapa sarjana masih terus berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sebabnya ialah karena pemberian makna terhadap kata pemerintah dan pemerintahan itu sendiri belum mencapai kesepakatan yang luas, belum menjadi “ius comminis opinio doctorum”. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran konstitusional yang tepat mengenai soal ini, sehingga apa yang diatur dalam UUD 1945 dapat benar-benar menjadi sumber rujukan yang pasti yang tentunya akan mengalirkan kepastian pengertian pula kepada peraturan-peraturan yang berada di bawahnya. Untuk itu, pada saatnya nanti, Mahkamah Konstitusi tentu sangat diharapkan menyelesaikan persoalan ini melalui putusannya yang bersifat final dan mengikat, sehingga dapat dijadikan rujukan yang luas dan pasti.

Namun demikian, sebelum itu, dari apa yang diuraikan di atas, kita sudah dapat mengembangkan pengertian bahwa sebenarnya harus lah ada pembedaan antara konsep kegiatan yang menyangkut fungsi eksekutif, fungsi legislatif, fungsi judikatif, dan fungsi yang dapat menggambarkan ketiga pengertian itu sekaligus. Bahkan sangat boleh jadi, di samping keempat pengertian itu, kita memerlukan juga istilah tertentu yang dapat mencakup pengertian fungsi eksekutif dan legislatif sekaligus seperti yang tercermin dalam kata “government” dalam bahasa Inggeris Amerika, pengertian yang mencakup fungsi legislatif dan judikatif, serta pengertian yang mencakup fungsi eksekutif dan judikatif. Dalam praktik inilah yang kita maksud sebagai penyelenggaraan negara sebagai suatu keseluruhan.

2. Trias Politica

Secara konvensional, konsep trias politica biasa kita kaitkan dengan pengertian eksekutif, legislatif dan judikatif. Pengertian ini terkait dengan keseluruhan makna yang mencakup penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif dalam pengertian yang lazim. Untuk pengertian yang pertama ini, kiranya sudah tepat disebut sebagai kegiatan penyelenggaraan negara. Lagi pula, dalam banyak peraturan perundang-undangan, istilah penyelenggara negara itu sendiri juga sudah biasa dipakai sebagai subjek yang melakukan kegiatan penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan negara (governing functions) dalam arti luas. Oleh karena itu, kegiatan “menyelenggarakan negara” atau “menyelenggarakan kegiatan negara” mencakup kegiatan menyelenggarakan fungsi-fungsi kekuasaan kenegaraan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif maupun judikatif; dan dengan demikian pula para pejabat yang melakukan kegiatan penyelenggaraan itu disebut sebagai penyelenggara negara.

Di zaman sekarang, muncul aspek lain dalam kehidupan bernegara yang juga mempunyai ciri-ciri dan mengandung dimensi-dimensi kekuasaan tersendiri, yaitu civil society dan market. Karena itu, sering dikembangkan pengertian akan adanya trias politica baru dalam peradaban manusia modern, yaitu triad negara, masyarakat, dan pasar. Di dalam ketiganya terdapat pilar-pilar kelembagaan yang memiliki dinamika kekuasaannya sendiri. Peradaban diidealkan apabila ketiga ranah negara, civil society, dan market itu berada dalam posisi yang seimbang dan sama-sama kuat, sehingga yang satu tidak mengkooptasi yang lain.

Jika digambarkan, ketiganya sama-sama berperan sepertiga dalam membangun peradaban suatu bangsa. Namun demikian, meskipun ketiganya dapat dikatakan sama kuat, tetapi peran negara tetaplah lebih besar, yaitu sebagai dirigent dalam mekanisme hubungan di antara ketiganya. Kurang lebih dapat dikatakan bahwa civil society berperan 30%, pasar berperan 30%, dan negara berperan 40% atau lebih besar 10% saja daripada peran market dan civil society. Kekuatan 10 persen itulah yang menyebabkan negara dapat bertindak sebagai konduktor atau sebagai dirigent dalam hubungan di antara ketiganya. Oleh karena itu, semua pengurus atau penyelenggara negara perlu diingatkan mengenai perannya sebagai konduktor atau dirigent itu, tidak boleh berlebihan, tetapi tidak boleh kurang.

3. Keseimbangan antar Fungsi Kekuasaan

Pada pokoknya, sistem kekuasaan yang baik adalah sistem yang menempatkan semua pelaku kekuasaan secara seimbang satu sama lain. Untuk menjamin keseimbangan itu, diperlukan mekanisme ‘checks and balances’ antar cabang, antar institusi dan pelaku, antara peran negara, civil society, dan kekuatan pasar. Keseimbangan itu penting untuk menghadapi tantangan gejalan globalisme versus lokalisme, dan dinamika gelombang pasca sosialisme versus paska liberalisme-kapitalisme.

Keseimbangan dan prinsip ‘checks and balances’ yang demikian itu lah yang tercermin dalam pengertian konvensional tentang mekanisme ‘checks and balances’ antar cabang kekuasaan yang dipahami selama ini. Prinsip ‘checks and balances’ itu, tercermin tidak saja dalam keseimbangan antar cabang kekuasaan dan dalam mekanisme hubungan antar lembaga-lembaga negara, tetapi juga antar kekuatan-kekuatan riel dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, para pengurus negara harus mampu menempatkan diri secara tepat dalam bidang tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya masing-masing. Seorang anggota DPR dan DPRD harus mampu menempatkan DPR dan DPRD pada tempatnya yang tepat, dan dalam posisi kelembagaan yang tepat itu pula seorang anggota DPR dan DPRD bergerak kreatif, produktif, dan dinamis dalam rangka melembagakan fungsi-fungsi lembaga perwakilan rakyat dalam hubungannya dengan rakyat dan dalam hubungan antar lembaga negara.

III. UUD 1945 Sebagai Kontrak Sosial dan Hukum Negara Tertinggi

Segala dinamika kekuasaan, hubungan antar cabang kekuasaan, mekanisme hubungan antara negara, civil society, dan pasar sebagaimana telah diuraikan di atas, diikat dan tersimpul dalam suatu dokumen yang disepakati sebagai sumber hukum tertinggi yang biasa disebut sebagai konstitusi, yaitu UUD 1945. Konstitusi negara kita telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Sejak kemerdekaan, bangsa kita telah menetapkan 8 kali undang-undang dasar, yaitu (i) UUD 1945, (ii) Konstitusi RIS 1949, (iii) UUDS 1950, (iv) UUD 1945 versi Dekrit 5 Juli 1959, (v) Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, (vi) Perubahan Kedua tahun 2000, (vii) Perubahan Ketiga tahun 2001, dan (viii) Perubahan Keempat pada tahun 2002, dengan nama yang dipertegas, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun (NRIT) 1945.

Di samping UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis, dalam teori dan praktik, dikenal juga adanya pengertian mengenai konstitusi yang tidak tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan, interpretasi konstitusional oleh pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi), dan prinsip-prinsip kenegaraan yang hidup dan dipandang ideal dalam masyarakat. Misalnya, ada pengertian yang hidup dalam masyarakat kita bahwa empat pilar kebangsaan Indonesia yang mencakup (i) Pancasila, (ii) UUD 1945, (iii) NKRI, dan (iv) Semboyan Bhinneka-Tunggal-Ika. Karena itu, keempat pilar tersebut juga dapat dipandang berlaku sebagai isi konstitusi Indonesia dalam pengertiannya yang tidak tertulis. Maksudnya, UUD 1945 sendiri tidak menyebut bahwa keempat hal tersebut merupakan pilar kebangsaan, kecuali dalam Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa mengenai bentuk NKRI tidak dapat diadakan perubahan sama sekali.

UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi, dan bahkan sosial. Karena itu, saya sering menyebut bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan sekaligus konstitusi sosial. UUD 1945 adalah konstitusi yang harus dijadikan referensi tertinggi dalam dinamika kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam dinamika ekonomi pasar (market economy). Di samping soal-soal politik, UUD 1945 juga mengatur tentang sosial-soal ekonomi dan sosial atau yang terkait dengan keduanya, yaitu (i) hal keuangan negara, seperti kebijakan keuangan (moneter) dan fiskal, (ii) bank sentral, (iii) soal Badan Pemeriksa Keuangan Negara hal kebijakan pengelolaan dan pemeriksaan tanggungjawab keuangan negara, (iv) soal perekonomian nasional, seperti mengenai prinsip-prinsip hak ekonomi, konsep kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif, serta penguasaan negara atas kekayaan sumberdaya alam yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, serta (vi) mengenai kesejahteraan sosial, seperti sistem jaminan sosial, pelayanan umum dan pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan fakir, miskin, dan anak terlantar oleh negara.

Oleh karena itu, UUD 1945 haruslah dijadikan referensi tertinggi dalam merumuskan setiap kebijakan kenegaraan dan pemerintahan di semua bidang dan sektor. Lagi pula, sekarang kita telah membentuk Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji konstitusionalitas setiap kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, para anggota DPR sebagai anggota lembaga yang bertindak sebagai policy maker, pembentuk undang-undang, perlu menghayati tugasnya dengan berpedoman kepada UUD 1945.

UUD 1945 pasca reformasi memuat 171 butir ketentuan, 174 di antaranya merupakan ketentuan-ketentuan baru yang belum ada sebelumnya. Dari UUD 1945 asli, hanya 25 butir ketentuan saja yang tidak mengalami perubahan, selebihnya, yaitu 174 butir ketentuan adalah ketentuan baru sama sekali. Karena ‘mind-set’ atau paradigma berpikir setiap anggota DPR dan DPRD harus berubah ke alam sistem konstitusional yang baru, dan jangan lagi berpikir dalam konteks pengertian-pengertian lama. Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, bersifat sangat mendasar. Struktur kelembagaan negara berubah, mekanisme hubungan antar cabang kekuasaan dan antar lembaga negara berubah, dan makanisme hubungan antara organ-organ negara dengan warga negara juga mengalami perubahan mendasar. Untuk itu, saya menganjurkan kepada para calon anggota DPR-RI terpilih dari Partai Demokrat untuk mempelajari perubahan-perubahan itu dengan cara yang seksama[14].

IV. Perlunya Konsolidasi dan Pemantapan Demokrasi

Salah satu tema mendasar yang harus diperhatikan oleh para penyelenggara negara saat ini adalah mengenai pentingnya konsolidasi sistem ketatanegaraan kita pasca refromasi. Tanpa disadari dan dikehendaki, sistem politik dan ketatanegaraan kita pasca reformasi telah berkembang dinamis sedemikian rupa sehingga menjadi suatu egara demokrasi yang tidak efisien. Untuk mengatasi hal itu, perlu dilakukan konsolidasi sistemik yang dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat yang lebih berkembang dalam ruang kebebasan yang teratur dan keadilan yang lebih pasti. Beberapa soal yang dapat dipertimbangkan dan didiskusikan mengenai kebutuhan untuk konsolidasi sistem ketatanegaraan dan demokrasi kita melalui penelahaan kritis atas UUD 1945 pasca perubahan adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

A. STRUKTUR DAN MEKANISME KERJA MPR, DPR, DPD, PRESIDEN

1. MPR, DPR, dan DPD: penyatuan pimpinan dan sekjen

a. Pimpinan MPR diusulkan agar dirangkap oleh Ketua DPR dan Ketua DPD masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua MPR.

b. Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan DPD disatukan dengan terdiri atas seorang Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh seorang Wakil Sekjen bidang DPR, seorang Wakil Sekjen bidang DPD/MPR, dan seorang Wakil Sekjen bidang Umum.

2. DPR dengan dua barisan fraksi

a. Sistem multi-partai tidak dapat disederhanakan hanya dengan kebijakan parliamentary threshold. Karena itu, anggota DPR dibagi dua kubu saja, yaitu kubu gabungan fraksi pemerintahan dan kubu fraksi oposisi;

b. Komposisi kepemimpinan di semua level juga didasarkan konfigurasi gabungan fraksi tersebut, yaitu gabungan fraksi mayoritas dan minoritas.

c. Untuk memperkuat dan meningkatkan mutu pelembagaan DPR, jumlah anggota diusulkan dibatasi paling banyak 360 orang, dan setiap anggota dilengkapi dengan dan didukung oleh asisten, staf ahli dan perangkat pendukung lainnya yang tersendiri

3. DPD diberi kewenangan turut menyetujui pembentukan UU tertentu.

a. Agar lembaga DPD benar-benar dirasakan bermanfaat oleh seluruh rakyat, maka dalam pembentukan undang-undang pada umumnya, apabila RUU yang bersangkutan tidak mendapat persetujuan bersama dari Presiden atau dari DPR, maka Presiden atau DPR dapat mengajukannya untuk mendapatkan persetujuan dari DPD.

b. Khusus untuk pembentukan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPD sebaiknya diberi kewenangan untuk mengajukan rancangan UU, dan untuk ikut membahas serta memberikan persetujuan atau penolakan melalui forum komite bersama (conference committee) antara komite bersama yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD dengan jumlah yang sama bersama-sama dengan pemerintah.

c. Untuk memperkuat dan meningkatkan mutu pelembagaan DPD, diusulkan dibatasi paling banyak 120 orang, dan setiap anggota dilengkapi dan didukung oleh asisten, staf ahli, dan perangkat pendukung lainnya yang tersendiri.

4. Pidato Kenegaraan Tahunan Presiden

a. MPR mengadakan sidang setidaknya sekali setahun.

b. Presiden menyampaikan pidato kenegaraan tahunan kepada seluruh rakyat dalam sidang MPR pada setiap ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

B. PEMERINTAHAN DAERAH

1. Pemusatan otonomi di provinsi dan kota

a. Agar pemerintahan daerah efisien dan efektif, otonomi daerah dipusatkan di provinsi dan di kota saja yang bersifat urban, tidak di kabupaten yang bersifat rural.

b. Bupati tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD Kabupaten.

c. Negara hanya mengakui dan menghormati pemerintahan daerah provinsi yang sudah ada, tetapi terbuka kemungkinan bagi pemerintahan daerah kota untuk juga dikembangkan sebagai daerah otonomi khusus.

2. Pemerintahan daerah kabupaten dan pemerintahan daerah provinsi;

a. Kewenangan pengaturan oleh provinsi dan kota dapat langsung menjalankan kebijakan pusat, sedangkan peraturan daerah kabupaten hanya melaksanakan peraturan daerah provinsi.

b. Pemerintahan daerah kabupaten tidak dapat dikembangkan sebagai daerah otonomi khusus.

3. Jabatan Wakil Kepala Daerah yang dipilih (elected official), yaitu Wakil Gubernur, Wakil Walikota, dan Wakil Bupati, ditiadakan. Jika diperlukan, wakil kepala daerah cukup diangkat (appointed officials).

C. PEMILIHAN UMUM

1. Pemilu Nasional

a. Pemilu nasional diadakan sekaligus untuk memilih calon anggota DPR dan DPD, serta calon Presiden dan Wakil Presiden.

b. Peserta pemilu presiden adalah perseorangan pasangan calon, bukan partai politik, tetapi untuk pendaftaran dipersyarakatkan adanya rekomendasi atau dukungan tunggal dari partai politik peserta pemilu nasional.

2. Pemilu Lokal atau Pemilukada

a. Pemilukada terdiri atas pemilihan gubernur dan pemilihan Walikota, sedangkan pemilihan Bupati dilakukan melalui DPRD Kabupaten.

b. Yang mendaftarkan diri sebagai calon peserta pemilu adalah perseorangan calon kepala daerah, bukan partai, tetapi untuk pendaftaran dipersyaratkan adanya rekomendasi atau dukungan tunggal dari partai atau gabungan partai politik yang mempunyai wakil di DPRD yang bersangkutan.

D. KEKUASAAN KEHAKIMAN

1. Mahkamah Agung

a. Untuk menjamin mutu putusan, perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung harus dibatasi, yaitu di bidang pidana yang ancaman pidananya 5 tahun ke atas, di bidang perdata yang nilai gugatannya Rp. 10 milyar ke atas, atau di bidang lain yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.

b. Mahkamah Agung mempunyai tiga majelis yang masing-masing bersidang secara penuh (full bench), yaitu dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tatausaha negara.

c. Kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ditiadakan, dan dialihkan ke Pengadilan Tinggi yang bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tingkat terakhir untuk menguji konstitusionalitas peraturan yang diuji itu terhadap undang-undang dasar.

2. Komisi Yudisial

a. Agar lembaga ini berguna, kewenangannya ditambah untuk mengusulkan pengangkatan hakim dan hakim agung;

b. Agar kemitraannya dengan Mahkamah Agung terjamin, maka Ketua Komisi Yudisial, seperti di banyak Negara, dijabatkan rangkap oleh Ketua Mahkamah Agung (misalnya di Australia).

3. Mahkamah Konstitusi

a. Untuk menjami keadilan dan kepastian hukum, pengujian norma hukum diusulkan agar diintegrasikan penangannya di Mahkamah Konstitusi dengan menambah kewenangan mengadili pada tingkat terakhir untuk menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah diuji oleh Pengadilan Tinggi.

b. Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Mahkamah Agung secara bersama-sama menjadi saksi dalam upacara pengucapan sumpah atau janji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden di hadapan pimpinan MPR, apabila MPR ternyata tidak dapat bersidang.

E. MEKANISME PERUBAHAN UUD 1945

1. Tahapan atau Proses Perubahan

a. Mekanisme perubahan UUD 1945 menurut Pasal 37 yang ada sekarang, sulit dilaksanakan, karena tidak dibedakan antara tindakan pengusulan dengan pengambilan untuk mengagendakan usul, dan pengambilan keputusan untuk persetujuan atas rancangan Perubahan UUD 1945. Karena itu, Pasal 37 perlu disempurnakan dengan menentukan adanya (i) mekanisme pengusulan, (ii) mekanisme pembahasan, dan (iii) mekanisme pengambilan putusan akhir.

b. Usulan yang diterima oleh MPR harus disidangkan dulu untuk dinyatakan diterima atau tidak sebagai agenda resmi MPR.

c. Sesudah agenda disepakati, MPR membentuk Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945;

d. Dalam waktu paling lambat satu tahun, Panitia Adhoc melaporkan hasil kerjanya dalam Sidang MPR untuk diambil putusan.

e. Sidang MPR mengambil putusan atas rancangan Perubahan UUD 1945 itu sebagaimana mestinya.

2. Proses Pengusulan

a. Yang berhak mengajukan usul perubahan sebaiknya ditentukan dengan tegas, yaitu (i) partai politik atau partai-partai politik yang wakil-wakilnya duduk di DPR, (ii) DPD, dan/atau (iii) Presiden sebagai Kepala Negara.

b. Pimpinan MPR hanya menerima pendaftaran dan tidak dapat memutuskan sendiri apakah usul perubahan tersebut ditetapkan sebagai agenda resmi MPR atau tidak, melainkan melaporkannya dalam sidang MPR yang diadakan khusus untuk itu.

F. DAN LAIN-LAIN, yaitu:

1. Penerimaan Duta Besar asing

Ketentuan bahwa pertimbangan DPR harus didengarkan oleh Presiden dalam menerima Duta Besar Negara lain, harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan tata karma diplomasi internasional.

2. Hak Asasi Manusia

Pasal 28 yang asli harus dicoret karena tidak relevan lagi dan bertentangandengan pasal lain yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

3. Penetapan macam danharga mata uang

Macam dan harga mata uang tidak mungkin ditetapkan dengan UU, melainkan cukup diatur dengan undang-undang. Jika hal ini tidak segera diperbaiki, pada suatu hari dapat saja timbul masalah apabila ada yang menguji konstitusionalitas kebijakan tentang macam dan harga atau kurs mata uang rupiah yang tidak ditetapkan oleh pemerintah.

4. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden

Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR dan pembelaan diri Presiden dan/atau Wakil dalam sidang Mahkamah Konstitusi.



[1] Jimlly Assidiqi, “Mengurus Negara” , 2009.

[2] http://www.answers.com/topic/government-governing-governance-government-activity#after_ad1.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Government.

[6] Ibid.

[7] Kenneth R.Hall, “State and Statecraft in Early Sriwijaya” dalam Hall and Whitmore, eds., Explorations in Early Southeast Asian History: The Origins of Southeast Asian Statecraft, Center for South and Southeast Asian Studies, The University of Michigan, 1976, hal. 69-78. Lihat juga P.J. Suwarno, Tatanegara Indonesia: Dari Sriwijaya sampai Indonesia Modern, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2003, hal.21-23.

[8] Satono Kartodirdjo et.al., Sejarah Nasional IV, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1977, hal. 3.

[9] Ibid. hal. 10-11.

[10] Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 102.

[11] Sartono Kartodirdjo, Op.Cit., hal. 9.

[12] Bandingkan dengan istilah “administration” yang biasa dipakai di Amerika Serikat, seperti dengan perkataan “Clinton administration” atau “Bush administration”.

[13] http://en.wikipedia.org/wiki/Government.

[14] Uraian-uraian mengenao soal ini, misalnya, dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BPI-Gramedia, Jakarta, 2007; dan Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Reformasi, MKRI-Konpres, Jakarta, 2006/2007.

»»  Baca Selengkapnya...

STRATEGI PENGEMBANGAN PERBATASAN WILAYAH KEDAULATAN NKRI DARI BERBAGAI DIMENSI

STRATEGI PENGEMBANGAN PERBATASAN WILAYAH KEDAULATAN NKRI DARI BERBAGAI DIMENSI

oleh :

TURIMAN FACHTURAHMAN NUR

Email: qitriaincenter@yahoo.co,id HP 08125695414

1. Aspek Hukum

Kawasan perbatasan didalam UU No 32 Tahun 2004 dimaknai sebagai kawasan khusus, Pasal 1 angka 19 menyatakan : Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.? Passwordnya : Kawasan Perbatasan adalah kawasan khusus.

Apa yang dimaksud kawasan Perbatasan ? Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan : “Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Passwordnya: Kawasan Perbatasan berada di kecamatan

UU No 32 Tahun 2004 lebih lanjut BAB II PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS Bagian Kedua Kawasan Khusus, Pasal 19 ayat : (1) Untuk menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. (2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang. (3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan. (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah. (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Jika kawasan perbatasan darat ada di wilayah Kecamatan, maka desa-desa yang berada pada kawasan perbatasan menjadi stressing kebijakan pembangunan pengelolaan kawasan perbatasan.

Jika kita menggunakan UU No 32 Tahun 2004 BAB XI
DESA Bagian Pertama Umum Pasal 206 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Berdasarkan Pasal 206 UU No 32 Tahun 2004, maka desa hanya mendapat kewenangan yang bersifat delegasi dari Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi dalam bentuk tugas pembantuan, hal ini berarti “prinsip Top Down Planing” atau menunggu kebijakan dari pemerintahan Provinsi atau Kabupaten hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan kawasan perbatasan bagi desa-desa yang berada di wilayah perbatasan darat dengan mengacu pada UU no 43 Tahun 2008 yang menyatakan: dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan (Pasal 1 angka 6).

Bagaimana Pemerintah menjalankan tugas pembantuan tersebut di wilayah desa, apabila mengacu UU no 32 tahun 2004 pada Pasal 207 menyatakan: “Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Hanya bagaimana jika desa –desa yang dijadikan kebijakan pembangunan kawasan perbatasan” dan berdasarkan Pasal 214 (1) Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat.(2)Kerja sama antar desa dan desa dengan pihak ketiga,

Pasal 215 ayat (1)Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. (2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perda, dengan memperhatikan: a. kepentingan masyarakat desa; b. kewenangan desa;c. kelancaran pelaksanaan investasi; d. kelestarian lingkungan hidup; d. keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.

Pertanyaaan apakah desa berhak terhadap pengeloan keuangan daerah dari provinsi atau pemerintah Kabupaten, pada Pasal 212 UU No 32 Tahun 2004 ayat (3) menyatakan : Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pendapatan asli desa; b. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; d. bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

UU No 43 Tahun 2008 BAB V KEWENANGAN pada Pasal 9 meyatakan Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Kewenangan dimaksud dinyatakan secara tegas pada Pasal 10 (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang antara lain : a. menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; b. mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; dan j. menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan. (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan. (3) Dalam rangka menjalankan kewenangannya, Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan: ayat (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Provinsi berwenang: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan; b. melakukan koordinasi pembangunan di Kawasan Perbatasan; c. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga; dan d. melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota. ayat (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.

Pasal 12 ayat (1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan; b. menjaga dan memelihara tanda batas; c. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di Kawasan Perbatasan di wilayahnya; dan d. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga. (2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.

Secara kelembagaan Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk membentuk institusi yang menangani kawasan perbatasan, diatur pada Pasal 13 UU no 43 Tahun 2008: Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI KELEMBAGAAN Pasal 14 ayat (1) Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah. ayat (2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. ayat (3) Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah Negara.

Pasal 15 ayat (1) Badan Pengelola bertugas: a. menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan; b. menetapkan rencana kebutuhan anggaran; c. mengoordinasikan pelaksanaan; dan d. melaksanakan evaluasi dan pengawasan. ayat (2) Pelaksana teknis pembangunan dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pasal 16 Hubungan kerja antara Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah merupakan hubungan koordinatif. Pasal 17 Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh sekretariat tetap yang berkedudukan di kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 18 ayat (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola dan sekretariat tetap di tingkat pusat diatur dengan Peraturan Presiden. ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan PBerdasarkan konstruksi legal formal di atas, maka secara struktural, ”payung hukum” kawasan Perbatasan memiliki dasar hukum yang kuat baik di UU No 32 Tahun 2004 maupun pada UU No 43 Tahun 2008, hanya secara yuridis formal tetap terbentur dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu: penentuan kawasan Perbatasan, sebagai kawasan khusus harus ditetapkan dengan UU, dan UU No 43 Tahun 2008 bisa menjadi dasar hukum pada masa transisi, hanya masalah tetap menunggu Peraturan Pemerintah yang memberikan acuan pelaksanaan kedua UU tersebut khususnya berkaitan dengan Kawasan Perbatasan sebagai Kawasan Khusus, walaupun pada sisi lain Pemerintah daerah bisa mengusulkan Kawasan Perbatasan menjadi kawasan khusus, tetapi hal itu mekanisme tetap diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang bisa dilakukan saat ini adalah membentuk adalah membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan daerah, hal inipun harus ada yang menstressing percepatan perancangan Perda dan harus juga diperhatikan harus mengacu kepada Peraturan Presiden yang mengatur Badan Pengelola Nasional terhadap kawasan perbatasan pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan daerah.

Jika menunggu adanya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan PERDA jelas prosesnya terlalu lama dan membutuhkan birokrasi panjang, maka solusi kebijakan mempercepat pembangunan kawasan perbatasan adalah pemerintah pusat memberikan melalui berbagaikan kebijakan dalam bentuk special treatment (kebijakan khusus perbidang pembangunan di kawasan perbatasan) dan kebijakan khsusus ini akan memberikan multiplayer efek pada bidang pertahanan dan keamanan serta dapat mengakomodasi harapan masyarakat perbatasan saat ini

2. Perlunya strategi kewilayahan untuk kawasan Perbatasan

Mengacu pada Tata Ruang Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara (Pasal 1 PP RTRWN). PKSN ditetapkan dengan kriteria (Pasal 15 PP RTRWN) : a. pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; b. pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga;c. pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/ataud. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara (penjelasan pasal 13 ayat 1 PP RTRWN)

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan (Pasal 9), dengan membentuk Badan Pengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah

• Keanggotaan berasal dari unsur pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan perbatasan wilayah negara (Pasal 14),

• Hubungan keduanya bersifat koordinatif (Pasal 16).

• Tugas Badan Pengelola (Pasal 16) :

– Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan

– Menetapkan rencana kebutuhan anggaran

– Mengkoordinasikan pelaksanaan

– Melaksanakan evaluasi dan pengawasan

• Pada pelaksanaan teknis pembangunan dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tupoksinya (Pasal 16)

• Badan Pengelola di tingkat pusat dibantu oleh suatu sekretariat tetap (Pasal 17)

Berdasarkan pemetataan diatas maka perlunya peran Koordinatif:

1. Merupakan lembaga yang memainstream/ mengarusutamakan

Sector- sektor terhadap : 1.pengembangan wilayah perbatasan : (i) pembukaan akses jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan desa; (ii) penyediaan akses pasar, (iii) akses energi, telekomunikasi, air bersih 2.membangun pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan 3.penyediaan pelayanan dasar bagi masyarakat perbatasan di perbatasan (PKSN, KPE

2. Mengkoordinasikan pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi

Peran Eksekusi Program/Kegiatan: 1. Program yang dieksekusi sendiri bukan program yang sudah menjadi kewenangan Departemen/ Lembaga/ Dinas. 2. Membangun Database (statistik, spasial) dengan penginventarisan data primer maupun sekunder 3. Menyusun rencana induk dan rencana aksi pembangunan perbatasan secara keseluruhan sebagai instrument mengkoordinasikan sektor, dunia usaha, dan masyarakat 4. Melakukan perundingan dan kerjasama dengan negara tetangga (misal : Sosek Malindo, dll). 5. Mengkoordinasikan penetapan garis batas (melibatkan Bakosurtanal, BPN, Dephan, Deplu, Depdagri) 6. Pengadaan dan Pemeliharaan tanda batas negara pada segmen yang sudah disepakati 7. Penilaian dan penentuan pembangunan Pos Lintas Batas (kapan dan dimana dibangunan PLB Internasional dan PLB tradisional)

Dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang bahwa kawasan perbatasan merupakan salah satu kawasan tertentu, yaitu kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruang diprioritaskan. Fungsi kawasan yang terwujud kawasan tertentu meliputi tempat pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan kriteria sebagai berikut : (1) kegiatan dalam suatu bidang tertentu mempunyai dampak terhadap kegiatan berbagai bidang lainnya; (2) kegiatan bidang yang bersangkutan secara umum mempunyai pengaruh yang besar terhadap upayapengembangan tata ruang di wilayah sekitarnya dan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wilayah perbatasan menurut buku utama rencana induk pengelolaan perbatasan negara disebutkan, bahwa wilayah perbatasan merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan batasbatas wilayahnya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Wilayah perbatasan di Indonesia secara umum dicirikan antara lain oleh : (1) letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara lain, bias propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan yang memiliki bagian wilayahnya langsung bersinggungan dengan garis batas negara. (2) kawasan perbatasan umumnya masih relatif terpencil, miskin, kurangnya sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi serta (3) kondisi pertumbuhan ekonomi wilayahnya relatif terlambat dibandingkan dengan wilayah lain di negara lain.

Yang perlu diterobos secara hukum adalah:

1.Meningkatkan sosialisasi pengembangan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang negara, khususnya bagi instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan; 2. Meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya pengembangan kawasan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional, terutama bagi biro perencanaan masingmasing sektor pelaksana program pengambangan

kawasan perbatasan;3. Meningkatkan sosialisasi rencana induk (grand strategy) pengembangan kawasan perbatasan, terutama bagi biro perencanaan masingmasing sektor pelaksana program pengambangan kawasan perbatasan;4. Meningkatkan sosialisasi dan koordinasi terhadap instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan, baik dari aspek perencanaannya maupun aspek pelaksanaannya;5. Membentuk bank pusat data/ informasi secara lengkap mengenai perkembangan kondisi kawasan perbatasan dalam satu lembaga/ instansi tertentu;6. Mempercepat terbentuknya kelembagaan penanganan kawasan perbatasan;7. Mempercepat terselesaikannya persoalan demarkasi/ deliminasi garis batas, terutama di matra laut melalaui peningkatan diplomasi yang lebih progresif;8. Dan untuk memperkuat pelaksanaan program pengembangan kawasan perbatasan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional secara

komprehensif

3.Masalah Kawasan Perbatasan dari berbagai aspek

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.

Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :

a. Mempunyai dampak pentingbagi kedaulatan negara.

b. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

c. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.

d. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.

Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.

Keamanan wilayah perbatasan mulai menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighbourhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Sabarno, 2001) .

Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari kurangnya sarana prasarana pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans nasional (transnational crimes). Kondisi umum daerah perbatasan dapat dilihat dari aspek Pancagatra yaitu :

  • Aspek Ideologi.

Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pada saat ini penghayatan dan peng-amalan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi, karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.

  • Aspek Politik.

Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang ke-rawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai

ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan.

  • Aspek Ekonomi.

Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang) disebabkan antara lain :

1) Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.

2) Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.

3) Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal).

4) Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah perbatasan (blank spot).

Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris.

  • Aspek Sosial Budaya.

Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan negara tetangga.

  • Aspek Pertahanan dan Keamanan.

Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK, penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam penanganannya.

4.Permasalahan Yang Dihadapi

Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat saja, pemerintah daerahpun menyampaikan keluhannya, karena merasa tidak pernah diajak serta masyarakatnya tidak mendapat perhatian. Merekapun bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan ? Siapa yang harus menyediakan, memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sementara mereka tidak tahu dimana batas-batas fisik negaranya ?

Kenyataan di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing, kompabilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara tetangga.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Dengan adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut :

a) Pendekatan keamanan yang diterapkan Mabes TNI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan.

b) Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan (interface) dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integrative dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo.

c) Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbatasan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.

Isu pengembangan daerah perbatasan lainnya secara umum diilustrasikan sebagai berikut :

1) Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001).

2) Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal lodging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001).

3) Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan hutan dengan sistem tebang pilih . Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.

4) Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.

5) Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan Serawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada.

6) Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang untuk memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian Malaysia lebih berkembang.

7) Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.

8) Tidak tercipta keterkaitan antar kluster social ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun kluster binaan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, baik keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.

9) Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek ke-amanan dan politis, maupun pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas negara, baik sumber daya alam darat maupun laut.

Berdasarkan isu strategis dalam pengelolaan daerah perbatasan negara selama ini, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang menonjol di daerah perbatasan sebagai berikut :

a) Belum adanya kepastian secara lengkap garis batas laut maupun darat.

b) Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih tertinggal, baik sumber daya manusia, ekonomi maupun komunitasnya.

c)Beberapa pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan kayu/illegal lodging, tenaga kerja dan lain-lain.

d)Pengelolahan perbatasan belum optimal, meliputi kelembagaan, kewenangan maupun program.

e) Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, terutama hasil hutan dan kekayaan laut.

f) Munculnya pos-pos lintas batas secara ilegal yang memperbesar terjadinya out migration, “economic asset” secara ilegal.

g) Mental dan professional aparat (stake holders di pusat dan daerah serta aparat keamanan di pos perbatasan).

5. Analisis Perkembangan Lingkungan Strategis

Masalah perbatasan tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik internasional, regional maupun nasional. Dalam era globalisasi, dunia makin terorganisasi dan makin tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan. Konsep saling keterkaitan dan ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamananan. Berbagai negara sambil tetap mempertahankan identitas serta batas-batas teritorial negaranya, mereka membuka semua hambatan fisik, administrasi dan fiskal yang membatasi gerak lalu lintas barang dan orang.

Perkembangan kerjasama ASEAN diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari sudut sosial budaya maupun ekonomi. Dalam era reformasi dan dengan kondisi kritis yang masih berkepenjangan, penanganan masalah perbatasan belum dapat dilakukan secara optimal.

6. Strategi Pengembangan Daerah Perbatasan

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Konsepsi pengelolaan perbatasan negara merupakan “titik temu” dari tiga hal penting yang harus saling bersinergi, yaitu:

1) Politik Pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam wadah NKRI.

2)Pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama masyarakat di daerah-daerah.

3) Politik luar negeri yang bebas-aktif dalam rangka mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh sebab itu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan dan berdasarkan tiga hal tersebut di atas.

Pembentukan Kelembagaan Khusus menangani Masalah Perbatasan. Persoalan pengelolaan perbatasan negara sangat kompleks dan urgensinya terhadap integritas negara kesatuan RI,sehingga perlu perhatian penuh pemerintah terhadap penanganan hal-hal yang terkait dengan masalah perbatasan, baik antar negara maupun antar daerah. Pengelolaan perbatasan antar negara masih bersifat sementara (ad-hoc) dengan leading sektor dari berbagai instansi terkait.

Pada saat ini, lembaga-lembaga yang menangani masalah perbatasan antar negara tetangga adalah:

1) General Border Committee RI-PNG diketuai oleh Panglima TNI.

2) Join Border Committee RI-PNG (JBC) diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.

3) Join Border Committee RI-UNTAET (Timtim) diketuai oleh Dirjen Pemerintah Umum Departemen Dalam Negeri.

4) Join Commisison Meeting RI – Malaysia (JCM) diketuai oleh Departemen Luar Negeri yang sifatnya kerjasama bilateral.

Dalam penanganan masalah perbatasan agar dapat berjalan secara optimal perlu dibentuk lembaga yang dapat berbentuk :

Forum/setingkatDewan dengan keanggotaan terdiri dari pimpinan Institusi terkait. Dewan dibantu oleh sekretariat Dewan. Bentuk ini mempunyai kelebihan dan penyelesaian masalah lebih terpadu dan hasilnya lebih maksimal, karena didukung oleh instansi terkait. Sedangkan kelemahannya tidak operasional, keanggotaan se-ring berganti-ganti, sehingga kurang terjadi adanya kesinambungan kegiatan.

Badan (LPND) yang mandiri terlepas dari institusi lain dan langsung di bawah presiden. Bentuk ini mempunyai kelebihan bersifat otonom, hasil kebijakannya bersifat operasional dan personil terdiri dari sumber daya manusia yang sesuai dengan bidang kerjanya. Sedangkan kelemahannya dapat terjadi pengambil-alihan sektor, sehingga kebijakan yang ditetapkan kurang didukung oleh sektor terkait.

Mewujudkan sabuk pengaman (koridor). Dalam menjaga kedaulatan Negara dan keamanan. Untuk lebih mewujudkan keamanan negara RI Khususnya di wilayah perbatasan dengan negara tetangga perlu diciptakan sabuk pengaman yang berfungsi sebagai sarana kontrol dimulai dari titik koordinat ke arah tertentu sepanjang perbatasan.

Penyusunan Program Secara Komprehensif dan Integral. Penyusunan program secara integral dan komprahensif dalam hal ini melibatkan sektor-sektor yang terkait dalam masalah penanganan perbatasan, seperti masalah kependudukan, lalu lintas barang/perdagangan, kesehatan, ke-amanan, konservasi sumber daya alam.

Penataan batas negara dalam upaya memperkokoh keutuhan integritas NKRI. Penataan batas seperti yang telah diuraikan di atas berupa batas fisik baik batas alamiah ataupun buatan. Dengan kejelasan batas-batas tersebut akan memperjelas kedaulatan fisik wilayah negara RI.

Pembangunan Ekonomi dan Percepatan Pertumbuhan Perekonomian Perbatasan Berbasis Kerakyatan. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan ketahanan di daerah perbatasan. Kualitas sumber daya manusia ataupun tingkat kesejahteraan yang rendah akan mengakibatkan kerawanan terutama dalam hal yang menyangkut masalah sosial dan pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas nasional secara keseluruhan. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha pertumbuhan perekonomian perbatasan yang berbasis kerakyatan antara lain:

1) Potensi sumber daya alam setempat

2) Kelompok swadaya masyarakat.

Sedangkan bentuk usaha percepatan pertumbuhan perekonomian perbatasan yang berbasis kerakyatan antara lain:

Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat adat/kelompok-kelompok swadaya masyarakt yang sudak ada.

Pemberdayaan, pendam-pingan dan penguatan peran serta perempuan dalam kegiatan perekonomian atau sosial.

Pengembangan wawasan kebangsaan masyarakat di kawasan perbatasan.

Menghidupkan peran lembaga keungan mikro dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian.

Identifikasi potensi dan pengembangan sektor-sektor unggulan di daerah perbatasan.

7. Sistem Keamanan Perbatasan

Sistem keamanan perbatasan dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penataan sistem ke-amanan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga antara lain adalah Geografi, letak geografi Indonesia sangat strategis, karena berada di jalur perdagangan internasional. Hal-hal penting yang berkaitan dengan letak geografi antara lain :

Di wilayah laut, berbatasan dengan 10 negara (India,Malaysia, Singapura,Thailand, ietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia,Timor Lorosae).

Di wilayah darat, berbatasan dengan 3 negara (Malaysia,PNG dan Timor Lorosae).

Jumlah pulau 17.508, panjang pantai 80.791 Km, luas wilayah termasuk ZEE 7,7 juta Km lautan 5,8 juta Km.

Perbandingan luas wilayah darat dan laut adalah 1 : 3.

b. Sumber kekayaan alam di perbatasan perlu mendapatkan pe-ngamanan/perhatian serius yang meliputi :

1) Potensi pertambangan umum/migas

2) Potensi kehutanan

3) Potensi kehutanan/perkebunan

4) Potensi perikanan

Daerah perbatasan merupakan kawasan khusus sehingga dalam penangannya memerlukan pendekatan yang khusus pula. Hal ini disebabkan karena semua bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada didarah perbatasan apabila tidak dikelola akan mem-punyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, ditingkat regional maupun internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Permasalahan yang timbul sering dikarenakan adanya kesan jenjang sosial di dalam masyarakat, hal semacam inilah yang perlu untuk dihindari terutama bagi masyarakat di daerah perbatasan. Pena-nganan yang mungkin dilakukan adalah secara adat, tetapi apabila sudah menyangkut stabilitas dan keamanan nasional maka hal tersebut akan menjadi urusan pemerintah.

Daftar Pustaka

1. Depkimpraswil,2002, Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara. Jakarta.

2. Mickael Andjioe, 2001, Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat, http: //www. perbatasan. com

3. Pellindou P. Jack A., Ir., MM., 2002. Peningkatan Kerjasama Perbatasan Antar Negara Guna Memperlancar Arus Perdagangan di Daerah Frontier Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional. Lemhanas. Jakarta.

4. Pontianak Post, edisi 3 Juli 2002, Sehari, 200 Truk Kayu Ke Serawak via PLB Entikong, Pontianak.

5.Sabarno Hari, 2001, Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan Wilayah Perbatasan, http: //www. perbatasan.com

IMPLEMENTASI STRATEGI PERTAHANAN WILAYAH PERBATASAN RI-MALAYSIA DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR GUNA MENDUKUNG PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA MENJAGA KEUTUHAN NKRI

Oleh : Tim Puslitbang Strahan Balitbang Dephan


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang berciri nusantara, memiliki wilayah yang berbatasan dengan 3 (tiga) negara didarat dan 10 (sepuluh) negara dilaut, salah satu dari Negara tetangga yang mempunyai wilayah berbatasan dengan RI baik didarat maupun dilaut adalah Malaysia.

Wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur sampai dengan saat ini masih merupakan wilayah yang terabaikan, tertinggal dan terisolir sehingga tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Pemerintah telah memberikan perhatian dan melakukan percepatan pembangunan untuk daerah-daerah tertinggal termasuk perbatasan, namun hasilnya belum terlihat nyata dan dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut. Disisi lain, masih maraknya kegiatan-kegiatan illegal dan pelanggaran wilayah kedaulatan baik oleh aparat keamanan ataupun oleh pihak sipil Negara tetangga, menunjukkan masih lemahnya pertahanan dan keamanan Negara.

PENDAHULUAN

Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) dengan jumlah pulau " 17.504 dan panjang garis pantai " 80.290 km serta 2/3 luas wilayah terdiri dari laut, memiliki wilayah yang berbatasan dengan 3 (tiga) negara tetangga yaitu : Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste, sedangkan di kawasan laut Indonesia memiliki wilayah yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu : India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur kembali menghangat dan menjadi pusat perhatian serta pembicaraan, setelah Malaysia belakangan ini kembali menunjukkan manouver dan ingin menguasai suatu wilayah perairan dilaut Sulawesi, yaitu : Takat (Karang) Unarang dan Blok Ambalat yang kaya akan minyak dan gas bumi. Mengabaikan masalah pertahanan untuk daerah perbatasan antar negara, berarti mengabaikan terhadap eksistensi, kelangsungan hidup bangsa dan keutuhan NKRI. Oleh karenanya tidak ada alasan bagi Indonesia yang mempunyai karakteristik geografi sebagai negara kepulauan untuk menjaga keutuhan NKRI dan membangun serta mengelola wilayah perbatasan antar negara dengan cara menetapkan strategi pertahanan yang tepat.

Peluang dan Kendala

Pengaruh-pengaruh lingkungan strategis global, regional dan nasional akan memberikan dampak terhadap berbagai aspek kebijaksanaan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan strategi pertahanan di wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur. Dari perkembangan lingkungan strategis ini didapatkan peluang dan kendala sebagai berikut :

1. Peluang

a Globalisasi disegala bidang kehidupan, menyebabkan saling ketergantungan antar negara-negara didunia, hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai negara di dunia khususnya dibidang pertahanan.

b Posisi geografis NKRI yang terletak pada posisi silang antar dua benua dan dua samudera serta menempatkan Indonesia pada jalur perhubungan yang sangat strategis.

c Jumlah penduduk dengan angkatan kerja yang besar merupakan salah satu modal kekuatan pertahanan negara.

d Sumber kekayaan alam yang dimiliki dapat mensejahterakan masyarakat dan mendukung pertahanan negara.

e. Hubungan bilateral yang baik antar negara-negara dikawasan, akan meningkatkan ketahanan regional, serta mendukung pelaksanaan pertahanan dalam menghadapi kemungkinan timbulnya berbagai ancaman.

2. Kendala

a Penetapan batas-batas wilayah NKRI dengan negara tetangga baik didarat maupun dilaut yang belum selesai secara keseluruhan, dapat menimbulkan permasalahan bahkan konflik dengan negara tetangga.

b Pengaruh globalisasi di segala bidang menyebabkan kaburnya fungsi dan batas negara memudahkan masuknya berbagai pengaruh dari luar.

c Jumlah penduduk yang besar dan belum merata persebarannya serta belum mempunyai tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang memadai, akan menyulitkan di dalam mendukung pelaksanaan pertahanan negara, karena masing-masing individu masih harus memikirkan dan berbuat bagaimana mempertahankan hidupnya.

d Maraknya penyelundupan, kegiatan-kegiatan illegal baik di atau lewat darat, laut dan udara, perdagangan gelap, perompakan dilaut yang terjadi di daerah perbatasan antar negara dalam hal ini perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur serta perairan perbatasan, sangat merugikan negara dan dapat menimbulkan kerawanan bagi keutuhan, kedaulatan dan eksistensi NKRI serta pemicu konflik.

Implikasi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI Malaysia.

Pembangunan serta pertahanan negara baik di darat, maupun di laut, di wilayah perbatasan RI- Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur pada kondisi saat ini, belum dapat dilaksanakan secara efektif walaupun telah ada perhatian serius dari pemerintah seperti adanya Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Badan Koordinasi Keamanan Laut dan lain-lain. Pada dasarnya implikasi yang ditimbulkan dapat dicapai dengan dilaksanakan pertahanan negara secara optimal dan mantap, sehingga secara langsung dapat mendukung pembangunan nasional. Pertahanan negara yang optimal dan mantap apabila dapat berjalan dengan baik akan menjadikan wilayah perbatasan RI Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur aman dari berbagai ancaman dan gangguan, selanjutnya dapat mendukung jalannya pembangunan serta menjaga keutuhan NKRI.

Oleh karena itu implikasi pertahanan negara diwilayah perbatasan RI Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur secara rinci dapat dibagi atas dua hal yaitu :

1. Implikasi langsung. Implikasi langsung dari adanya pertahanan negara yang optimal dan mantap terhadap wilayah perbatasan RIMalaysia di Propinsi Kalimantan Timur, wilayah perbatasan baik darat maupun laut di Propinsi Kalimantan Timur akan bebas dari ancaman kekerasan yaitu segala ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi dan dinilai mempunyai kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan kedaulatan negara baik berupa ancaman militer dan non militer, pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital maupun aksi teror bersenjata sehingga pembangunan daerah dapat dilaksanakan dengan aman.

2. Implikasi tidak langsung. Dengan terbebasnya wilayah perbatasan RI - Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur dari berbagai bentuk dan jenis ancaman, maka akan tercipta kondisi yang aman dan kondusif. Dengan adanya kondisi yang aman dan kondusif, baik pemerintah, pihak terkait/swasta dan masyarakat akan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya secara optimal untuk membangun dan mengelola daerahnya, yang selanjutnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, akan meningkatkan pula pendapatan pemerintah.

Implikasi tidak langsung yang akan terjadi apabila wilayah perbatasan Propinsi Kalimantan Timur sudah terbebas dari berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik yang datang dari luar maupun dalam negeri, baik dalam bentuk ancaman militer maupun non militer dan yang dapat mengancam kehidupan negara dan bangsa.

Permasalahan Perbatasan RI-Malaysia

Dalam mewujudkan pertahanan negara wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur, bukanlah persoalan yang mudah. Walaupun kondisi negara dan bangsa relatif cukup baik, perekonomian juga menunjukkan adanya peningkatan, kemajuan dan perkembangan teknologi serta informasi terus meningkat, berbagai peraturan perundang-undangan telah dibuat, aparatur pemerintahan terus dibenahi, tetapi masih terdapat beberapa permasalahan dalam meningkatkan dan mengembangkan pertahanan negara wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur yaitu :

1. Peraturan Perundang-undangan. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pengawasan yang melibatkan seluruh potensi dalam satu pengendalian terpadu.

2. Penetapan batas wilayah. Belum adanya kesepakatan penetapan batas wilayah RI Malaysia di darat (melintas di Propinsi Kalimantan Barat dan di Propinsi Kalimantan Timur) yang meliputi 10 (sepuluh) segmen dan dilaut yang meliputi batas laut teritorial, ZEE dan landas Kontinen, sehingga beberapa aktivitas terhambat.

3. Kemampuan ekonomi. Kondisi ekonomi nasional yang masih terpuruk sebagai akibat dari adanya krisis moneter beberapa waktu yang lalu, merupakan kendala yang menyebabkan adanya keterbatasan dalam penyediaan dana guna menyediakan sarana dan prasarana pertahanan negara.

4. Sarana dan Prasarana. Sarana dan prasarana dasar untuk masyarakat masih belum memadai sesuai yang dibutuhkan, namun demikian pelaksanaan pertahanan negara wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur telah dilakukan walaupun belum mencapai hasil yang optimal.

5. Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia yang masih rendah.

6. Pertahanan dan Keamanan. Masih adanya pelanggaran wilayah kedaulatan baik yang dilakukan oleh pihak militer asing maupun pihak sipil, baik di darat, laut maupun udara.

Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur

Wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimatan Timur sampai dengan saat ini masih banyak didapati daerah-daerah yang terisolir dan tertinggal, hal ini disebabkan karena perhatian pembangunan terhadap daerah-daerah di wilayah perbatasan masih sangat rendah. Disisi lain, hal ini juga menyebabkan wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur dikatakan tanpa pagar yang begitu mudah dapat dimasuki berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik berkaitan dengan geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan di tengah-tengah derasnya arus perubahan lingkungan global, regional dan nasional. Dari perkembangan lingkungan nasional yang mempengaruhi kebijaksanaan pembangunan, adalah disebabkan karena banyak permasalahan-permasalahan dari dalam negeri yang timbul, antara lain : bencana alam, konflik antara kelompok di daerah, berkembangnya wabah penyakit, pemilihan kepala daerah sampai dengan ancaman terorisme dan disisi lain pemerintah masih dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan yang ada sehingga perhatian pembangunan untuk wilayah perbatasan RI-Malaysia khususnya di Propinsi Kalimantan Timur menjadi tidak fokus

Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Bab I Pasal nomor 2 menyatakan bahwa “Sistem pertahanan negara adalah sistem yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”. Dengan demikian, strategi pertahanan wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur harus didasarkan pada kondisi geografi, demografi, sumber kekayaan alam, politik, ekonomi, sosial budaya serta kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan yang ada di wilayah perbatasan disamping dukungan dari daerah-daerah lain yang ada di tanah air khususnya dari pusat.

Pertahanan dan Keamanan. Keadaan geografi khususnya topografi yang berbukit-bukit di beberapa daerah dengan kemiringan terjal, serta banyaknya sungai-sungai dan belum adanya sarana jalan yang memadai di wilayah perbatasan darat RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur sepanjang 1.038 Km, menyebabkan wilayah tersebut sulit untuk diawasi dan dijangkau. Ditambah lagi, belum selesainya 10 segmen batas antar negara yang masih menjadi masalah, terbatasnya personel, pos-pos pengawas, peralatan serta masih minimnya sarana dan prasarana pendukung, mengakibatkan pelaksanaan pertahanan negara di wilayah perbatasan darat RI-Malaysia belum optimal.

Demikian juga penetapan batas laut, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) yang belum dapat diselesaikan secara keseluruhan, mengakibatkan rancu dan tidak optimalnya upaya penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Disisi lain, pelanggaran wilayah kedaulatan baik darat, khususnya laut dan udara yang dilakukan oleh negara tetangga menunjukkan masih lemahnya pertahanan negara di laut dan udara. Hal yang paling penting berkaitan dengan pertahanan negara adalah adanya keinginan negara tetangga setelah memiliki dan berdaulat atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, ingin kembali menguasai Blok Ambalat yang kaya akan minyak dan gas bumi, sehingga hal ini merupakan ancaman nyata yang sudah ada di depan mata, perlu adanya perhatian khusus, serta kesiap siagaan negara dan bangsa.

KEBIJAKSANAAN.

Dalam rangka mewujudkan pertahanan yang mampu menghadapi, menolak bahkan mengusir serta menanggulangi berbagai bentuk dan jenis ancaman serta dampak yang dapat ditimbulkan maka perlu dirumuskan kebijaksanaan sebagai berikut : “Terwujudnya pertahanan wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur melalui Revitalisasi peraturan perundang-undangan, penyelesaian penetapan batas wilayah antar negara, peningkatan kemampuan ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana dasar, peningkatan kualitas SDM, peningkatan kekuatan serta kemampuan pertahanan dan keamanan guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka menjaga keutuhan NKRI”.

STRATEGI.

Berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pertahanan wilayah perbatasan Ri-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, maka strategi yang perlu diterapkan adalah :

1. Strategi I. Revitalisasi peraturan dan perundang-undangan melalui inventarisasi, koordinasi, penyempurnaan dan pembuatan (Regulasi), sosialisasi, implementasi, pengawasan dan penindakan untuk penegakkan kedaulatan dan hukum.

2. Strategi II. Penyelesaian penetapan batas wilayah negara melalui koordinasi, inventarisasi, penetapan batas wilayah darat dan laut, perundingan, ratifikasi dan sosialisasi untuk memberikan ketegasan dan kejelasan wilayah sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan wilayah.

3. Strategi III. Peningkatan kemampuan ekonomi melalui edukasi, inventarisasi, regulasi, sosialisasi agar sistem ekonomi kerakyatan dapat diwujudkan dan mampu menggerakkan roda perekonomian daerah serta mendukung perekonomian nasional.

4. Strategi IV. Pembangunan sarana dan prasarana dasar melalui inventarisasi, koordinasi, penyediaan, pengawasan dan pemeliharaan serta perbaikan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat agar tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat dan masyarakat dapat mandiri.

5. Strategi V. Peningkatan kualitas SDM melalui edukasi, training untuk menjadikan masyarakat yang profesional dan mampu bersaing dengan tenaga-tenaga asing atau dari luar negeri dan semakin mantapnya kesadaran akan bela negara.

6. Strategi VI. Peningkatan kekuatan serta kemampuan pertahanan dan keamanan baik darat, laut maupun udara melalui inventarisasi, penyediaan personel dan peralatan yang memadai, pembangunan pos-pos lintas batas, pangkalan dengan memanfaatkan keunggulan geografi sehingga mampu melaksanakan pengawasan, penegakan kedaulatan dan hukum secara optimal serta menindak setiap pelanggaran yang terjadi.

UPAYA.

Berikut ini diuraikan upaya-upaya yang diusulkan sebagai penjabaran dari strategi-strategi yang telah ditetapkan sebagai berikut :

a. Upaya dari Strategi I. Revitalisasi peraturan dan perundang-undangan melalui inventarisasi, koordinasi, penyempurnaan dan pembuatan (regulasi), sosialisasi, implementasi, pengawasan dan penindakan untuk penegakkan kedaulatan dan hukum, melalui upaya sebagai berikut :

1. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Markas Besar TNI, Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Hukum dan Ham, Departemen Pertanian serta institusi terkait lainnya menginventarisasi kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wilayah perbatasan antar negara antara lain Undang-Undang Perbatasan, RUTR Wilayah Perbatasan, Pengelolaan Hutan, Pertanian, Pertambangan dan lain sebagainya.

2. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri dan institusi yang terkait dan berwenang, mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat, baik melalui jalan formal maupun informal.

3. Aparat pemerintah, swasta berikut investor dan masyarakat mengawasi serta mengontrol pelaksanaan implementasi peraturan perundang-undangan.

4. Aparat pemerintah dalam hal ini TNI, Polri serta aparat pemerintah lainnya yang berwenang dan terkait, menindak para pelanggar tanpa pandang bulu dan memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera.

b. Upaya dari Strategi II. Penyelesaian penetapan batas wilayah negara melalui koordinasi, inventarisasi, penetapan batas wilayah darat dan laut, perundingan, ratifikasi, dan sosialisasi untuk memberikan ketegasan dan kejelasan wilayah sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan wilayah, dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut :

1. Departemen Pertahanan, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Markas Besar TNI dalam hal ini Staf Operasi Markas Besar TNI, Direktorat Topografi Angkatan Darat dan Dinas Hidro-oseanografi TNI AL menetapkan batas wilayah antar negara.

2. Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pertahan, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Direktorat Topografi Angkatan Darat, Dinas Hidro-oseanografi, dan institusi terkait lainnya dengan dasar Titik-Titik Dasar yang baru, merevisi PP No. 38 tahun 2002 serta meregulasi peraturan perundangan lain.

c. Upaya dari strategi III. Peningkatan kemampuan ekonomi melalui edukasi, inventarisasi, regulasi, sosialisasi agar sistem ekonomi kerakyatan dapat diwujudkan dan mampu menggerakkan roda perekonomian daerah serta mendukung perekonomian nasional, dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut :

1. Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian serta institusi terkait lainnya memberikan subsidi, ataupun solusi sistem pendistribusian bahan-bahan pokok, bahan-bahan keperluan pembangunan, termasuk BBM, sehingga harga barang-barang dimaksud sama dengan harga barang-barang didaerah-daerah lain.

2. Departemen Pertahanan, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Mabes TNI dapat memberikan dukungan transportasi untuk sementara waktu, dengan menggunakan kekuatan armada kapal-kapal perang dan pesawat udara pada saat tidak beroperasi untuk membantu pendistribusian kebutuhan bahan-bahan pokok, bahan-bahan keperluan pembangunan, BBM dengan cara seperti Mobile Market dan lain-lain, dengan tujuan agar pasokan barang-barang tersebut tidak terlambat dan harga barang-barang tetap stabil.

3. Pihak swasta mengambil alih dan melaksanakan pendistribusian barang-barang tersebut diatas dan sebaliknya untuk keperluan pemasaran setelah keadaan kondusif dan pemerintah memfasilitasi serta mengawasi pelaksanaannya.

4. Departemen Sosial, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian serta institusi-institusi lainnya yang terkait, membangun pasar, sarana dan prasarana perhubungan yang memadai sehingga hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan serta pertambangan dan produk-produk masyarakat lainnya dapat dipasarkan keluar daerah maupun ke negara tetangga secara optimal.

d. Upaya Strategi IV. Pembangunan sarana dan prasarana dasar melalui inventarisasi, koordinasi, penyediaan, pengawasan dan pemeliharaan serta perbaikan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat agar tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat dan masyarakat dapat mandiri, dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:

1. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk membangun jalan-jalan yang menghubungkan antar Propinsi-Kabupaten dan desa-desa sampai dengan jalan antar desa serta jalan sepanjang garis batas wilayah kedua negara.

2. Departemen Sosial, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal bekerjasama dengan Pemerintah Daerah serta institusi lain terkait serta pihak swasta membangun tempat tinggal/perumahan yang layak huni, membangun pasar-pasar, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat rekreasi dan tempat-tempat olah raga.

3. Departemen Kesehatan bekerja sama dengan pemerintah daerah, Departemen Pertahanan, TNI dan Polri, serta pihak lain yang terkait dan Swasta membangun rumah sakit, Puskesmas dan tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya, selanjutnya menyiapkan peralatan sesuai dengan kebutuhan, tenaga-tenaga medis yang terampil dan berkompeten dibidangnya, serta menyiapkan obat-obatan sesuai kebutuhan dan memadai.

e. Upaya Strategi V. Peningkatan kualitas SDM melalui edukasi, trainning untuk menjadikan masyarakat yang profesional, dan mampu bersaing dengan tenaga-tenaga asing atau dari luar negeri dan semakin mantapnya kesadaran akan bela negara, ditempuh melalui :

1. Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Departemen/institusi lain yang terkait dan pemerintah daerah serta swasta, menginventarisasi sarana dan prasarana pendidikan, baik yang telah ada untuk ditingkatkan dan dikembangkan, serta yang belum ada dan dibutuhkan untuk dibangun seperti sekolahan, perpustakaan, laboratorium dan lain sebagainya.

2. Menyiapkan tenaga-tenaga pendidik/pengajar yang berkompeten sesuai dengan bidang studinya.

3. Menyiapkan buku-buku pelajaran, alat penolong instruksi, yang memadai sesuai kebutuhan.

4. Memasukan mata pelajaran/bidang studi Kewarganegaraan, Kewiraan, PPKN sebagai mata pelajaran utama.

5. Mengadakan kerjasama dengan institusi-institusi lain maupun swasta berkaitan dengan upaya meningkatkan/menambah pengetahuan, wacana dan cakrawala pandang anak-anak didik.

f. Upaya dari Strategi VI. Peningkatan kekuatan serta kemampuan pertahanan dan keamanan baik darat, laut maupun udara melalui inventarisasi, penyediaan personel dan peralatan yang memadai, pembangunan pos-pos lintas batas, membangun pangkalan dengan memanfaatkan keunggulan geografi sehingga mampu melaksanakan pengawasan, penegakkan kedaulatan dan hukum secara optimal serta menindak setiap pelanggaran yang terjadi, ditempuh melalui :

1. Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI, Polri, Departemen Kehutanan, dan institusi-institusi lain yang terkait baik pemerintah maupun swasta, menginventarisasi Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pengawas Lintas Batas (PPLB) yang ada serta merencanakan penyempurnaan PLB/PPLB yang lama, membangun PLB/PPLB yang baru, ideal sesuai keadaan geografi serta kebutuhan.

2. Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI dan institusi pemerintah lainnya yang terkait, membangun pangkalan-pangkalan Angkatan Laut dan Udara sesuai keadaan geografi yang ada serta memadai dan dapat mengakomodir kebutuhan 4 R yaitu ; Rest, Repair, Replenishment dan Recreation.

3. Departemen Pertahanan, dan Markas Besar TNI mengadakan Alut Sista sesuai ancaman yang akan dihadapi, sesuai keadaan geografi dan sesuai kebutuhan.

4. Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI menempatkan kapal-kapal perang, pesawat-pesawat udara organik di pangkalan-pangkalan Angkatan Laut, dan Udara serta melakukan operasi/patroli secara periodik di daerah-daerah tertentu ataupun daerah-daerah yang dianggap rawan.

5. Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Sosial dan institusi-institusi pemerintah lain yang terkait, melaksanakan koordinasi dan tindak lanjut pemberdayaan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan upaya bela negara.

PENUTUP

Kesimpulan.

Pelaksanaan implementasi strategi pertahanan yang tepat, mantap, dan kuat di wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur, akan dapat mendukung pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional, selanjutnya keberhasilan pembangunan nasional akan memberikan kepada masyarakat, kehidupan yang sejahtera, aman dan damai. Dengan adanya masyarakat yang hidup sejahtera, aman dan damai, akan dapat dengan mudah turut serta menjaga keutuhan NKRI.

Belum kuat dan mampunya pertahanan negara wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur sesuai yang diharapkan adalah disebabkan oleh masih adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pembangunan, utamanya pembangunan infrastruktur dasar sehingga wilayah perbatasan RI- Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur masih terisolir, tertinggal, tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat umumnya masih rendah, demikian pula tingkat sumber daya manusianya. Disisi lain, kepentingan pribadi atau kelompok lebih mengemuka dan menonjol dari pada kepentingan nasional.

Belum selesainya penetapan batas wilayah antar negara baik di darat maupun dilaut mengakibatkan upaya pertahanan negara dan pengelolaan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat menjadi tidak optimal, hal ini dikarenakan adanya kerancuan dan keragu-raguan aparat maupun masyarakat.

Saran.

a. Perlu adanya keberpihakan, perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah agar pembangunan wilayah perbatasan RI-Malaysia di Propinsi Kalimantan Timur, berjalan dengan tepat, cepat, menyeluruh, aman dan lancar, sehingga dengan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan dapat memberikan kontribusi nyata khususnya bidang pertahanan negara.

b. Perlu pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara khususnya bagi wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur yang ideal berikut pangkalan-pangkalan, pos-pos pengawasan Pos Lintas Batas dan Pos Pengawas Lintas Batas (PLB dan PPLB), serta personel yang didukung dengan persenjataan dan alat peralatan yang memadai.

c. Disarankan perlu segera dibangun jalan darat yang menghubungkan antar desa atau daerah, daerah dengan pusat pemerintahan serta disepanjang wilayah perbatasan yang dapat mengakomodir baik kepentingan ekonomi masyarakat maupun kepentingan pertahanan negara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bappedal Kalimantan Timur, 2002, Program Pembangunan Kawasan

2. Perbatasan Kalimantan Timur 2003-2008, Bappedal Kaltim, Samarinda.

3. Balitbangda Propinsi Kalimantan Timur, 2003, Memperkuat Fungsi Kawasan Perbatasan di Kalimantan Timur Melalui Pengembangan Sosial Perekonomian Masyarakat, Balitbangda Propinsi Kalimantan Timur Samarinda.

4. Depkimpraswil, 2002, Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara. Jakarta.

5. Dittopad, Maret 2005, Titik-Titik Koordinat Batas Wilayah Darat RI-Malaysia di Kalimantan dan Permasalahannya.

6. Dishidros TNI AL, Nopember 2003, Batas Maritim RI Dengan Negara Tetangga.

7. Karim Hings Abdillah., Ir., MBA., 2000, Mendayagunakan Wilayah Perbatasan Dengan Meningkatkan Peran dan Mekanisme Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraannya Guna Pemantapan Integritas Bangsa. Lemhanas. Jakarta.

8. Kompas Cyber Media, edisi 23 April 2002, Masalah Perbatasan dan Profesionalisme Tentara, http://www.kompas.com

9. Mickael Andjioe, 2001, Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat, http: //www.perbatasan .com

10.Nurbaya Siti, DR., Ir., MSc., 2001, Pengelolaan Perbatasan Negara. http://www.perbatasan.com

11. Pellindou P. Jack A., Ir., MM., 2002. Peningkatan Kerjasama Antar Negara Perbatasan Guna Memperlancar Arus Perdagangan di Daerah Frontier Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional. Lemhanas. Jakarta.

12. Sabarno Hari, 2001, Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan Wilayah Perbatasan, http: //www.perbatasan.com.

CARUT MARUT PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN

(KALIMANTAN BARAT – SARAWAK)

Oleh :

Rusnawir Hamid

E-mail: rusnd@bima.ipb.ac.id

1. Pendahuluan

Terdapat empat propinsi di Indonesia yang memiliki perbatasan darat langsung dengan negara lain, yaitu Kalimantan Barat dengan Sarawak – Malaysia, Kalimantan Timur (Sarawak dan Sabah – Malaysia), Nusa Tenggara Timur (Timor Timur), dan Papua dengan PNG.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan dan kenapa kawasan perbatasan perlu mendapat perhatian dalam pembangunannya ? Dapatkah kawasan perbatasan dianggap sama dengan kawasan lain yang bukan terletak di perbatasan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang sebenarnya masih banyak lagi lainnya senantiasa mengusik kita untuk mengkaji secara lebih cermat kenapa pembangunan kawasan perbatasan menjadi penting.

Kawasan perbatasan sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini sama saja dengan kawasan yang terletak di inland lainnya, yang mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah bawahnya, kecuali kawasan ini mempunyai ciri-ciri :

A. Merupakan daerah dengan batas-batas administrasi atau teritorial negara yang tidak jelas, sehingga menjadi kawasan ini tak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat dilakukan kedua masyarakat negara tanpa mengindahkan batas-batas negara. Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua negara telah menafikan batas-batas negara.

B. Tempat berlangsungnya kegiatan ilegal (pencurian, penyelundupan, dsb).

C. Masyarakat negara yang tingkat kesejahteraannya lebih rendah cenderung lebih menghargai masyarakat, negara, dan pimpinannya yang mempunyai tingkat kesejahteraan lebih tinggi.

D. Orientasi pembangungan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya lebih baik.

E. Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat perhatian, bahkan ada ‘image’ wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak menyisakan “kue” yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan hidup mereka (khususnya perbatasan Kalbar).

F. Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua negara maupun oleh kekuatan-kekuatan “sempalan” lainnya yang dikenal dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

G. Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan nasional dan daerah, yang berarti meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara. Kalau daerah perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan mencerminkan kesemrawutan wajah negara secara keseluruhan.

H. Merupakan kawasan bagi berlakunya hukum-hukum internasional, berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, karantina, dst.

Apa yang kemudian dapat dirumuskan dari penjelasan-penjelasan di atas adalah, kawasan perbatasan memang bukan merupakan daerah yang terlalu istimewa untuk diperhatikan, walaupun mungkin kemudian kita “terhenyak” oleh hilangnya pulau Sepadan dan Ligitan, meski dengan alasan sebenarnya kita bukan kehilangan tetapi gagal menambah kedua pulau tersebut menjadi bagian dari NKRI.

Jika dengan pengalaman hilangnya pulau Ligitan dan Sepadan dari peta nasional, perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan tetap seperti biasa-biasa saja, maka pertanyaannya kemudian adalah apakah kita masih perlu daerah perbatasan, atau memiliki daerah yang berbatasan dengan negara lain ?.

Nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa adalah dua hal yang mungkin dapat menjadi landasan mendasar bagi perlunya diberikan perhatian lebih kepada kawasan perbatasan. Sebab jika kedua rasa tersebut sudah memudar, maka konsep berbangsa dan bernegara Indonesia mungkin perlu ditinjau kembali.

Menjawab pertanyaan di atas, maka setelah setengah abad merdeka, pemerintah pusat (RI) baru mengeluarkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam, dan tiga tahun kemudian (tahun 1997) disusul dengan penetapan Peraturan Pemerintah No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang antara lain menetapkan kawasan-kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) diantaranya di Kalimantan Barat dan salah satunya adalah kawasan perbatasan Kalbar.

Ironinya kedua aturan perundangan tersebut terkesan mandul. Keppres 44 misalnya tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Dengan kata lain, eksistensi tim atau badan ini tidak berpengaruh apa-apa pada pembangunan kawasan perbatasan. Keberadaan Keppres ini justru digunakan sebagai alat legitimasi kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan.

Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997, hanya sebatas PP tidak ditindak lanjuti dengan aturan-aturan yang lebih operasional. Semua terkesan melupakan kawasan perbatasan, semua sibuk dengan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri, sampai tibanya masa reformasi. Dan ironinya setelah lima tahun masa reformasi pun perhatian terhadap kawasan perbatasan masih belum terasa, sampai munculnya kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang memulangkan “pendatang haram” dari Indonesia, yang diantaranya melalui pintu-pintu perbatasan di Kalbar dan Kaltim.

Momen ini meskpun terlambat, kemudian menjadi titik balik mulai seriusnya perhatian pemerintah pusat kepada pengelolaan kawasan perbatasan. Namun, upaya yang terkesan terseok-seok ini pun masih menghadapi banyak hambatan internal. Hampir semua instansi merasa mempunyai kewenangan dan tanggung jawab mengelola kawasan perbatasan, demikian pula antar tingkat pemerintahan – yang masing-masing dengan kepentingannya. Persoalan lain menyangkut ketiadaaan konsepsi pengembangan yang tergantung pula pada sistem data base yang juga tidak tersedia. Pengelolaan kawasan perbatasan kemudian meskipun memasuki era baru – tetapi persoalan mulai dari konsepsi pengembangan, mekanisme, sampai dengan tanggung jawab pengelolaan tetap belum jelas.

Carut marut pembangunan kawasan perbatasan semakin lengkap dengan berjalannya sendiri-sendiri elemen-elemen pembangunan, mulai dari masyarakat, departemen sektor, dan setiap tingkatan pemerintah – baik dalam hubungan dengan masyarakat dan pemerintah Sarawak, maupun dengan pemerintah pusat yang diwakili departemen-departemen teknis.

Makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak, dengan pertimbangan pemahaman penulis tentang kawasan dimaksud, dan kemungkinan menjadikannya sebagai salah satu bahan komparasi melihat permasalahan kawasan perbatasan lainnya yang ada di Indonesia.

2. Deskipsi Singkat Kawasan Perbatasan Kalbar – Sarawak

Kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau hampir seluas propinsi Nusa Tenggara Barat, atau propinsi Sulawesi Utara. Secara administratif, kawasan ini meliputi 5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa, dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000 orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per kilometer persegi Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2000

Terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak, sementara yang disepakati kedua negara 10 buah desa di Kalbar dan 7 buah kampung di Sarawak - sedang yang ditetapkan sebagai pos lintas batas hanya satu buah, yaitu Entekong (Kalbar) – Tebedu (Sarawak).

Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Sarawak, karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik. Secara fisik kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak ini dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Secara topografis relatif bergelombang.

b. Merupakan hulu dari banyak sungai baik di Kalbar maupun Sarawak.

c. Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka erosi.

Kondisi di atas jika digabung dengan curah hujan yang tinggi menjadikan kawasan ini rawan erosi, longsor, dst – dan sekaligus sebagai kawasan konservasi atau pendukung deposit sumber air tanah kawasan bawahannya.

Kawasan perbatasan Kalbar memiliki sejarah perkembangan / pembangunan yang kurang menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat ajang konflik antara Pemerintah Indonesia – Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya orde lama, kawasan ini menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK (Paraku/PGRS). Selanjutnya pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola hutannya (melalui HPH – sejak tahun 1967). Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Berdasarkan perjalanan pembangunan selama ini, potret kawasan perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Potensi sumber daya alam : hutan (virgin forest di areal Yamaker, semula sekitar 800.000 Ha – saat ini tinggal sekitar 80.000 Ha atau hanya 10% dan terletak sporadis), Taman Nasional Bentung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang potensial untuk kegiatan wisata alam dan penelitian, tambang (batu bara) belum dimanfaatkan, dll.

b. Terbelakang dan terisolir (indikator desa tertinggal dan aksesibilitas rendah).

c. Menjadi hinterland Sarawak.

Kondisi di atas lebih sebagai implikasi dari belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas (yang bersifat komprehensif dan integratif). Kalaupun ada biasanya berupa rencana pembangunan parsial dengan pendekatan sangat sektoral (misalnya kehutanan : Yamaker). Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi kawasan hutan (legal dan ilegal) dengan sasaran pokok pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (atau dari pada dicuri “tetangga”). Ini didukung lagi oleh perbedaan kesejahteraan yang menyolok antara Kalbar – Sarawak (tahun 1987 pendapatan per kapita Sarawak 3.640 US$ sedang Kalbar 250 US$), pasar dan aksesibilitas yang tinggi ke Sarawak, sampai dengan lemahnya pengawasan / pengamanan kawasan perbatasan. Padahal sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung – dengan hulu-hulu sungai yang sangat penting bagi daerah bawahnya (catchment areas).

Ketiadaan konsep, menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana dengan baik – dengan implikasi degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan, serta tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terjadinya proses dehumanisasi (peminggiran masyarakat), dan dekulturisasi, serta secara makro mengarah pada disintegrasi wilayah – (terutama secara ekonomi).

Tabel berikut menunjukkan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara Kalbar dan Sarawak.

3. Kebijaksanaan Pembangunan

1. Tingkat Nasional

Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan pembangunannya secara nasional.

Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam.

Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar.

Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998 dengan nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke).

Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2 (tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). Selain itu pemberian HPH kepada Jamaker (1967), dan diperpanjang tahun 1989 (SK Menhut No. 1355/Menhut-VI/89).

Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya, Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan apa-apa.

Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.

Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan, awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik, pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%, sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.

Memasuki era globalisasi yang semakin deras melanda seluruh belahan dunia termasuk Indonesia dengan isu sentral demokrasi dan keadilan, pendekatan keamanan dalam arti militer semakin berkurang perannya diganti dengan pendekatan prosperity. Demikian halnya dalam mengantisipasi pembangunan di kawasan perbatasan.

Pengalaman-pengalaman di atas, juga menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang sangat sentralistis dan sektoral – ternyata tidak banyak memberi manfaat bagi perkembangan suatu wilayah, dan kiranya harus segera ditinggalkan. Pemberdayaan pemerintah daerah (apalagi dengan terbitnya UU tentang pemda yang baru) dan masyarakat harus dikedepankan (pendekatan kewilayahan).

Dalam konteks lebih luas benturan kepentingan dalam pengelolaan kawasan perbatasan kiranya masih akan terus berlanjut seandainya tidak dipertegas dalam suatu aturan main yang jelas tentang peran masing-masing lembaga dalam mengelola kawasan dimaksud, misalnya antara Badan Pelaksana Kapet (yang kebetulan wilayahnya juga mencakup kawasan perbatasan) – dengan Perhutani, Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten) dan masyarakat setempat. Hal ini didukung dengan terbitnya Peraturan Menteri Agraria / Ketua BPN No. 5 tahun 1999, tanggal 24 Juni 1999 – tentang pedoman penyelesaian masalah ulayat adat masyarakat hukum adat.

2.Tingkat Daerah

Perda No. 1 tahun 1995 tentang RTRWP Dati I Kalbar : penetapan kawasan perbatasan sebagai kawasan tertentu / strategis yang diprioritaskan pengembangannya – diimbangi dengan penetapan fungsi kawasan sesuai potensi / karakteristik fisik wilayah.

Meskipun tidak atau belum ada rencana detail pemanfaatan ruang di kawasan perbatasan – namun di dalam RTRWP yang sudah dipaduserasikan dengan TGHK, kawasan perbatasan sudah ditata sedemikian rupa, sehingga ada kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan hutan produksi, dan kawasan non hutan – yang juga sudah diperuntukkan pemda bagi kegiatan non kehutanan.

4. Rumusan Potensi dan Masalah

Potensi

Sumber daya alam tambang, wisata (TNBK dan TNDS), dan hutan (walau sudah menipis / berkurang), ketersediaan lahan (sisi suplai).

Letak strategis, didukung eksistensi Jalan Lintas Kalimantan (sisi akses ke pemasaran).

Kebijaksanaan pembangunan : kawasan strategis yang diprioritaskan pengembangannya secara nasional dan rencana pemanfaatan ruang – hasil paduserasi RTRWP – TGHK (sisi dukungan pemerintah).

Kearifan tradisional masyarakat adat yang masih belum digali tetapi dirasakan pada struktur bawah.

Permasalahan

Ketiadaan konsep pengembangan (komprehensif dan integratif).

Kelembagaan dalam pengelolaan (tumpang tindih) :

- Departemen Hankam : keamanan dan stabilitas dalam dan luar negeri menggunakan PT. Yamaker – tetapi dengan dicabutnya konsesi HPH PT. Yamaker dan pengembangan pendekatan prosperity – kedudukan Dephankam hanya sebagai penunjang (?).

- Departemen Kehutanan : sebagian besar kawasan hutan (eks Jamaker) rencana mau diserahkan kepada Perum Perhutani (?).

- BP Kapet : merupakan bagian wilayah Kapet.

- Pemda propinsi telah mengalokasi beberapa kegiatan perkebunan pada kawasan non hutan.

- Pemda kabupaten : semangat otonomi (UU Pemda).

- Forum Sosek Malindo (kerjasama sosial ekonomi Malaysia – Indonesia), yang diantaranya mengatur secara bersama rencana pembangunan di kawasan dimaksud.

Disintegrasi wilayah ekonomi :

- Kecenderungan orientasi kegiatan ekonomi ke Sarawak (termasuk menanam komoditas perkebunan untuk kebutuhan industri Sarawak).

- Kecenderungan masyarakat perbatasan Kalbar mendapatkan fasilitas pelayanan sosial (juga ekonomi) di Sarawak, karena lebih akses.

Secara keseluruhan kawasan perbatasan Kalbar menjadi hinterland wilayah Sarawak.

Degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan :

- Pencurian kayu dan hasil hutan lainnya.

- Indikasi intrusi penambangan batu bara di Senaning (kabupaten Sintang) oleh mitra perusahaan Malaysia dan Korea.

- Eksploitasi kawasan lindung (TN Gunung Niut dsk).

Dapat menjadi ancaman kawasan bawahannya (air baku, banjir,longsor, dll).

Keterbatasan fasilitas :

- Letak strategis tetapi kurang didukung fasilitas sosial ekonomi.

- Di Sarawak terdapat sistem jaringan jalan horizontal perbatasan

sedang di Kalbar berupa jaringan jalan vertikal (Jagoi Babang, Entekong, dan Nanga Badau).

Peran masyarakat yang terpinggirkan selama ini (proses dehumanisasi).

5. Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan Kalbar – Sarawak memiliki potensi sumber daya alam dan letak strategis yang sangat menguntungkan. Ketiadaan konsep dan lembaga pengelolaan (yang tumpang tindih) menjadikan upaya pembangunan di daerah ini menjadi sangat tidak efisien. Pendekatan sektoral yang sangat eksploitatif dan sangat kurang / miskin mempertimbangkan kepentingan daerah – menyebabkan kawasan ini mengalami proses degradasi (penurunan) kualitas dan kuantitas sumber daya alam serta lingkungan, maupun sumber daya manusianya.

“Potret” kawasan perbatasan saat ini adalah, kesejahteraan penduduk rendah, kegiatan ekonomi tradisional, dampak positip terhadap pembangunan daerah yang lebih luas (misalnya dalam memberi kontribusi) dapat dikatakan tidak ada, sedang dilain sisi kualitas dan kuantitas sumber daya alam, lingkungan, dan sumber daya manusia mengalami penurunan.

Solusi dari permasalahan ini, adalah perlunya disusun segera rancangbangun pembangunan kawasan perbatasan dengan pendekatan komprehensif, integratif, dan partisipatif yang mengedepankan asas keadilan, demokrasi, dan kelestarian berdasarkan rencana tata ruang yang disusun dengan pendekatan kombinasi regional dan sektoral – yang disusun dari tingkat paling rendah (desa). Akumulasi dari perencanaan yang disusun dari bawah akan menjadi rancangbangun yang diharapkan akan menghasilkan dan menjadi rencana kerja (framework) yang jelas, mulai dari apa yang akan dibangun, kapan dibangun, siapa yang melaksanakan, sampai dengan sumber dananya. Berkaitan dengan pertanyaan siapa, maka beberapa hal berikut harus diklarifikasi, yaitu :

- Siapa memiliki akses terhadap sumber daya alam dan jenis aturan apa yang berlaku.

- Siapa yang memegang hak-hak atas SDA – dan apa artinya bagi orang lain yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya.

- Siapa yang berperan dalam pemanfaatan SDA tersebut.

- Siapa yang menjadi pengelola SDA.

- dst.

Selanjutnya keseluruhan proses pembangunan di atas mulai dari perencanaannya – harus dikoordinasikan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah – siapa atau lembaga apa yang paling pas bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan di atas – apakah Pemerintah Pusat (Departemen Hankam ? Departemen Kehutanan ? Bappenas ? Departemen Dalam Negeri ? dst), atau Pemerintah Daerah, atau swasta ? BUMN – misalnya Perum Perhutani ? – atau ada alternatif lain ? Atau diperlukan pembagian kewenangan yang jelas antara seluruh pelaku pembangunan tersebut. Tetapi yang jelas itu semua seperti benang kusut, yang bahkan untuk mencari ujungnya saja sulit – apalagi mencoba menguraikannya, karena begitu banyak konflik kepentingan – atau sebaliknya keengganan mengurus/bertanggung jawab. However, everything is change but change……


DAFTAR PUSTAKA

1. Bendavid-Val, Avron, 1983, “Regional and Local Economic Analysis for Practitions”, Preager Publisher, New York.

2. Dunn, William N, 1981, “An Introduction: Public Policy Analysis”, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs.

3. Mahbub ul Haq, 1995, Tirai Kemiskinan : Tantangan untuk Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia.

4. Mubyarto, 1991, “Perekonomian Rakyat Kalimantan­”, Aitya Media, Yogyakarta.

5. Prof. Dr. Moeljarto T., MPA, 1993, Politik Pembangunan, Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya.

6. Rondinelli, Dennis, 1983, “Applied Methods of Regional Planning : the Urban Functions in Rural Development Approach”, Clark Univer - sity, Worcester.

7. Sadli, Moh, dan Tjiptoherijanto, Prijono, 1987, “Prespektif Daerah Pembangunan Nasional”, Lembaga Penelitian UI, Jakarta.

8. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

10.Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan.

11.Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 1998 – 2000.

»»  Baca Selengkapnya...