Minggu, 13 Desember 2015

PEMETAAN REGULASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UU NO 32 TAHUN 2009

PEMETAAN  REGULASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN 
UU NO 32 TAHUN 2009

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

            Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat.
           Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
          Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.
        Tiga asas dari Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas, yakni (1) kearifan lokal;  (2) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (3) otonomi daerah. (pasal 2 UU  32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lebih lanjut Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ditujukan antara lain menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan globla. (Pasal 3)
        Untuk mewujudkan asas dan tujuan tersebut, maka Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: (Pasal 4)
a.      perencanaan;
b.      pemanfaatan;
c.      pengendalian;
d.      pemeliharaan;
e.      pengawasan; dan
f.       penegakan hukum.
Berkaitan dengan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: (pasal 5)
a.      inventarisasi lingkungan hidup;
b.      penetapan wilayah ekoregion; dan
c.      penyusunan RPPLH.
           Inventarisasi lingkungan hidup terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup: (Pasal 6)
a.     tingkat nasional;
b.     tingkat pulau/kepulauan; dan
c.      tingkat wilayah ekoregion.
 Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:
a.     potensi dan ketersediaan;
b.     jenis yang dimanfaatkan;
c.      bentuk penguasaan;
d.     pengetahuan pengelolaan;
e.     bentuk kerusakan; dan
f.       konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan
        Inventarisasi lingkungan hidup huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait, sedangkan untuk huruf c (tingkat wilayah ekoregion). dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam
         Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berdasarkan  Pasal 9 UU No32 Tahun  2009, yaitu dengan menyusun Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
(1)    RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a.              RPPLH nasional;
b.              inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c.              inventarisasi tingkat ekoregion.
(2)   RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:
a.              RPPLH provinsi;
b.              inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c.              inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10
      RPPLH disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan dalam penyusunannya memperhatikan:
a.  keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c.  sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e.  aspirasi masyarakat; dan
f.    perubahan iklim.
       Selanjutnya secara atributif RPPLH diatur dengan: peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota (pasal 10 ayat 2 dan 3 UU No 32 Tahun 2009) patut  diperhatikan, bahwa RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Derngan demikian implementasinya harus masuk dalam RPJMD Prov/Kab/Kota, dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (pasal 11 UU No 32 Tahun 2009)
          Pada tataran ini ada penetapan, yakni RPPLH yang kemudian  menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah, bagaimana jika belum tersusun RPPLH, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: (a) keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;  (b) keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
           Kemudian siapa yang menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkunga hidup, yakni: ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan;b, gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau  c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota dan tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan diatur dalam peraturan pemerintah.(pasal 12 UU No 32 tahun 2009)
          Berkaitan dengan Pengendalian, bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi: a.             pencegahan;, b. penanggulangan; dan c. pemulihan. Untuk pengendalian ini dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
         Selanjutnya berkaitan dengan Pencegahan digunakan  Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas pasal 14 UU No 32 Tahun 2009)
a.      KLHS;
b.      tata ruang;
c.      baku mutu lingkungan hidup; 
d.      kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e.      amdal;
f.       UKL-UPL;
g.      perizinan;
h.     instrumen ekonomi lingkungan hidup;  
i.       peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j.        anggaran berbasis lingkungan hidup;
k.      analisis risiko lingkungan hidup;
l.       audit lingkungan hidup; dan
m.    instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan
            Untuk memberikan informasi tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungam Hidup terdapat mandat dari UU No 32 Tahun 2009, yakni m,embuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis, sebagaimana diamanahkan  Pasal 15
(1)    Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2)    Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:
a.     rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b.     kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3)   KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a.     pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;
b.     perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program;  dan
c.      rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
        Yang dimaksud KLHS, Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
         Materi muatan KLHS menurut Pasal 16 UU No 32 T^ahun 2009 memuat kajian antara lain:
a.      kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b.     perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c.      kinerja layanan/jasa ekosistem;
d.      efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e.      tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f.       tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
        Hasil KLHS menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dan tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. (Pasal 18 UU No 32 Tahun 2009)
          Dalam penyusunan tata ruang ada yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLH dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. (pasal 19 UU No 32 Tahun 2009)
          Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup, yakni melalui baku mutu lingkungan hidup, yang dimaksud Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup
       Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a.     baku mutu air;
b.     baku mutu air limbah;
c.      baku mutu air laut;
d.     baku mutu udara ambien;
e.     baku mutu emisi;
f.       baku mutu gangguan; dan
g.     baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
      Baku Mutu Lingkungan  Hidup pada  huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri (pasal 20 ayat 3 , 4 UU no 32 Tahun 2004)
       Apakah boleh Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a.  memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b.  mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
        Berkaitan dengan Sistem Informasi  dalam UU No 32 Tahun 2009 diatur secara khsuus pada BAB VIII SISTEM INFORMASI yang diatur dalam  Pasal 62
(1)    Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)    Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3)    Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
              Selain itu  persoalan yang menjadi kendala dan bisa menjadi bias penafsiran, yakni jika kita melihat penjelasan pasal 66 dalam dokumen UU 32 tahun 2009, maka yang dikategorikan sebagai orang yang “memperjuangkan” haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah orang perorang atau badan usaha yang statusnya sebagai saksi dan/ atau pelapor, artinya pihak-pihak tersebut akan bebas dari tuntutan balik dari pihak terlapor atau gugatan balik dari pihak tergugat.
 Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dengan masyarakat atau kelompok masyarakat yang mempertahankan lingkungan hidup disekitarnya dari ancaman kerusakan..?? juga kepada pemerhati atau aktifis lingkungan hidup yang menjalankan tugas-tugas advokasinya secara langsung dilapangan..??.
Padahal tujuan yang ingin dicapai adalah sama tetapi perlindungan hukumnya berbeda, meski dari beberapa kasus yang didampingi oleh oleh lembaga pemangku kepentingan dan peduli lingkungann  hidup, meski bisa saja dimungkinkan  sudah berstatus sebagai pelapor atau penggugat juga tak lepas dari tindakan kriminalisasi dan gugatan balik. Seolah tak ada manfaatnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dikategorikan sebagai hak asasi manusia (hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara).
              Mengajak beberapa organisasi masyarakat sipil yang sepaham dan sepakat untuk melakukan pembaruan tafsir pasal tersebut adalah strategi awal untuk membangun diskusi terfokus dan kemudian dilanjutkan dengan menjalin pihak-pihak yang berkompoten, seperti dunia kampus untuk kemudian bisa mendapatkan dukungan yang lebih besar.
Harapan kedepan bahwa usulan-usulan perubahan ini terus digulirkan dan dikampanyekan agar kemudian bisa segera diketahui oleh semua pihak, mengajak pihak yang lebih banyak untuk berdiskusi, bekerja sama dan tentu mebedah pasal tersebut secara mendalam hingga menghasilkan upaya-upaya konkrit untuk pembaruan tafsir pasal tersebut. Upaya yang akan dilakukan bisa dengan mengusulkan ke DPR RI untuk memperbarui tafsir pasal tersebut atau dengan menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Pemetaan UU No 32 tahun 2009  Yang Wajib Dijabarkan Ke dalam Peraturan Perundang-Undangan Pelaksaanaan

No
Pasal  Imperatif
Nomenklatur
Bentuk  Peraturan  Perundang-undangan
1.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

inventarisasi lingkungan hidup  dan penetapan ekoregion
Peraturan Pemerintah
2
Pasal 12 ayat 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.


tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
Peraturan Pemerintah
3
Pasal 18 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.


tata cara penyelenggaraan KLHS
Peraturan Pemerintah
4
Pasal 20 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.

baku mutu lingkungan hidup
a.      baku mutu air;
c.      baku mutu air laut;
d.          baku mutu udara    ambien
g.  baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peraturan Pemerintah
5
Pasal 20 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.

baku mutu lingkungan hidup
h.         baku mutu air limbah;
e.     baku mutu emisi;
f.         baku mutu gangguan
Peraturan Menteri
6
Pasal 21 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Peraturan Pemerintah

Pasal 23 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal
Peraturan  Menteri
7
Pasal 28 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.


sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal
Peraturan  Menteri
8
Pasal 29 ayat (3)
Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Persyaratan dan tatacara lisensi  dari Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi
Peraturan Menteri
9
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah
Amdal
Peraturan  Pemerintah
10
Pasal 35 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri
UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Peraturan  Menteri
11
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Izin Lingkungan Dari Pelaku Kegiatan Usaha
Peraturan Pemerintah
12
Pasal  43 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


instrumen ekonomi lingkungan hidup
Peraturan  Pemerintah
13
Pasal 47 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.


analisis risiko lingkungan hidup
Peraturan Pemerintah
14
Pasal 53 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Peraturan  Pemerintah
15.
Pasal 54 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup
Peraturan  Pemerintah
16
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Peraturan  Pemerintah
17
Pasal 57 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer
Peraturan  Pemerintah
18
Pasal 58 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


pengelolaan B3
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.

Peraturan Pemerintah
19
Pasal 59 ayat (7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


pengelolaan limbah B3
Peraturan Pemerintah
20
Pasal 61 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah
tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan
Peraturan  Pemerintah
21
Pasal 62 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri
sistem informasi lingkungan hidup
Peraturan Pemerintah
22
Pasal 65 ayat (6)
Ket Kentuan lebih lanjut mengenai  tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.



Tata cara Pengaduan dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Peraturan Menteri
23
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah
tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan
Peraturan Pemerintah
24
Pasal 86 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.

lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup
Peraturan  Pemerintah
25
Pasal 90 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Mengajukan Kerugian Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
1
Pasal 16 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.


penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
Peraturan Pemerintah
2
Pasal 17 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemeritah
kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

Peraturan  Pemerintah
3
Pasal 18 ayat (2)
Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagai biosfer
Peraturan Pemerintah
4
Pasal 20 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi digolongkan dalam :
a.tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b.tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.

Peraturan Pemerintah
5
Pasal 22 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

Peraturan Pemerin tah
6
Pasal 23 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
Peraturan  Pemerintah
7.
Pasal 25 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk
Peraturan  Pemerintah
8
Pasal 29 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.


penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
Peraturan Pemerintah
9
Pasal 34 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan dan kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat
Peraturan Pemerintah
10
Pasal 36 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
Peraturan Pemerintah
11
Pasal 33 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Peraturan Pemerintah
12
Pasal 38 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
Peraturan Pemerintah



»»  Baca Selengkapnya...