PEMETAAN REGULASI
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN
UU NO 32 TAHUN 2009
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara
dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang
terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya
alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu
keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya
alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab
itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara
lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat.
Ada
kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya,
sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.
Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan
aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air.
Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan
sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak
ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran
udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya
tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia
itu sendiri.
Pembangunan
yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat
terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam
yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan
merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan
kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari
pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara
umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya
dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.
Tiga asas dari Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas, yakni (1) kearifan lokal; (2) tata kelola
pemerintahan yang baik; dan (3)
otonomi daerah. (pasal 2 UU 32/2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lebih lanjut Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup ditujukan antara lain menjamin kelangsungan
kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; mewujudkan pembangunan
berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan globla. (Pasal 3)
Untuk mewujudkan asas dan tujuan tersebut, maka Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup meliputi: (Pasal 4)
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f.
penegakan hukum.
Berkaitan dengan perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:
(pasal 5)
a.
inventarisasi lingkungan hidup;
b.
penetapan wilayah ekoregion; dan
c.
penyusunan RPPLH.
Inventarisasi lingkungan hidup terdiri atas inventarisasi
lingkungan hidup: (Pasal 6)
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c.
tingkat wilayah ekoregion.
Inventarisasi lingkungan hidup
dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang
meliputi:
a.
potensi dan ketersediaan;
b.
jenis yang dimanfaatkan;
c.
bentuk penguasaan;
d.
pengetahuan pengelolaan;
e.
bentuk kerusakan; dan
f.
konflik dan penyebab
konflik yang timbul akibat pengelolaan
Inventarisasi lingkungan
hidup huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah
ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri
setelah berkoordinasi dengan instansi terkait, sedangkan untuk huruf c (tingkat wilayah
ekoregion). dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan
sumber daya alam
Penyusunan Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, berdasarkan
Pasal 9 UU No32 Tahun 2009, yaitu
dengan menyusun Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
(1) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disusun berdasarkan:
a. RPPLH
nasional;
b. inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi
tingkat ekoregion.
(2) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:
a. RPPLH
provinsi;
b.
inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10
RPPLH disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya. Dan dalam penyusunannya memperhatikan:
a.
keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e.
aspirasi masyarakat;
dan
f.
perubahan iklim.
Selanjutnya
secara atributif RPPLH diatur dengan: peraturan pemerintah untuk RPPLH
nasional; peraturan daerah provinsi
untuk RPPLH provinsi; dan peraturan
daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota (pasal 10 ayat 2 dan 3 UU
No 32 Tahun 2009) patut diperhatikan,
bahwa RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan
jangka panjang dan rencana pembangunan
jangka menengah. Derngan demikian implementasinya harus masuk dalam RPJMD
Prov/Kab/Kota, dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (pasal 11 UU No 32
Tahun 2009)
Pada tataran ini ada penetapan, yakni RPPLH yang kemudian
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka
panjang dan rencana pembangunan jangka menengah, bagaimana jika belum tersusun
RPPLH, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup dengan memperhatikan: (a) keberlanjutan
proses dan fungsi lingkungan hidup; (b) keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan keselamatan,
mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Kemudian
siapa yang menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkunga hidup, yakni: ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup nasional
dan pulau/kepulauan;b, gubernur
untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion
lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota untuk daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah
kabupaten/kota dan tata cara penetapan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan diatur dalam peraturan pemerintah.(pasal 12 UU No 32 tahun 2009)
Berkaitan dengan Pengendalian, bahwa pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi: a. pencegahan;,
b. penanggulangan; dan c. pemulihan. Untuk pengendalian ini dilaksanakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Selanjutnya berkaitan
dengan Pencegahan digunakan Instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas pasal 14 UU No 32 Tahun 2009)
a.
KLHS;
b.
tata ruang;
c.
baku mutu lingkungan
hidup;
d.
kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup;
e.
amdal;
f.
UKL-UPL;
g.
perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i.
peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j.
anggaran berbasis
lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan
Untuk memberikan informasi tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungam Hidup terdapat mandat dari UU No 32
Tahun 2009, yakni m,embuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis, sebagaimana diamanahkan Pasal 15
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam
penyusunan atau evaluasi:
a.
rencana tata ruang
wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3)
KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a.
pengkajian pengaruh kebijakan,
rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu
wilayah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan,
rencana, dan/atau program; dan
c.
rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Yang dimaksud KLHS, Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS,
adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program.
Materi muatan KLHS menurut Pasal 16 UU No 32 T^ahun 2009 memuat kajian antara lain:
a.
kapasitas daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b.
perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d.
efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam;
e.
tingkat kerentanan dan
kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f.
tingkat ketahanan dan
potensi keanekaragaman hayati.
Hasil
KLHS menjadi dasar bagi kebijakan,
rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan dan tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. (Pasal 18 UU No 32
Tahun 2009)
Dalam
penyusunan tata ruang ada yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang
wilayah wajib didasarkan pada KLH
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. (pasal 19
UU No 32 Tahun 2009)
Pertanyaannya adalah bagaimana
mengukur penentuan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup, yakni melalui baku mutu lingkungan hidup, yang dimaksud Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup
Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b.
baku mutu air limbah;
c.
baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e.
baku mutu emisi;
f.
baku mutu gangguan; dan
g.
baku mutu lain sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Baku Mutu Lingkungan Hidup
pada huruf a, huruf c, huruf d, dan
huruf g diatur dalam Peraturan
Pemerintah, sedangkan huruf b, huruf
e, dan huruf f diatur dalam peraturan
menteri (pasal 20 ayat 3 , 4 UU no 32 Tahun 2004)
Apakah boleh Setiap orang diperbolehkan
untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Berkaitan dengan Sistem Informasi dalam UU No 32 Tahun 2009 diatur secara
khsuus pada BAB VIII SISTEM
INFORMASI yang diatur dalam Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah
mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)
Sistem
informasi lingkungan hidup dilakukan secara
terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup
paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem informasi
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain itu
persoalan yang menjadi kendala dan bisa menjadi bias penafsiran, yakni
jika kita melihat penjelasan pasal 66 dalam dokumen UU 32 tahun
2009, maka yang dikategorikan sebagai orang yang “memperjuangkan” haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah orang perorang atau badan usaha
yang statusnya sebagai saksi dan/ atau pelapor, artinya pihak-pihak tersebut
akan bebas dari tuntutan balik dari pihak terlapor atau gugatan balik dari
pihak tergugat.
Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah, bagaimana dengan masyarakat atau kelompok masyarakat
yang mempertahankan lingkungan hidup disekitarnya dari ancaman kerusakan..??
juga kepada pemerhati atau aktifis lingkungan hidup yang menjalankan
tugas-tugas advokasinya secara langsung dilapangan..??.
Padahal tujuan yang ingin dicapai adalah sama tetapi
perlindungan hukumnya berbeda, meski dari beberapa kasus yang didampingi oleh oleh
lembaga pemangku kepentingan dan peduli lingkungann hidup, meski bisa saja dimungkinkan sudah berstatus sebagai pelapor atau penggugat
juga tak lepas dari tindakan kriminalisasi dan gugatan balik. Seolah tak ada manfaatnya
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dikategorikan sebagai hak
asasi manusia (hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara).
Mengajak beberapa organisasi masyarakat sipil yang sepaham dan sepakat
untuk melakukan pembaruan tafsir pasal tersebut adalah strategi awal untuk
membangun diskusi terfokus dan kemudian dilanjutkan dengan menjalin pihak-pihak
yang berkompoten, seperti dunia kampus untuk kemudian bisa mendapatkan dukungan
yang lebih besar.
Harapan
kedepan bahwa usulan-usulan perubahan ini terus digulirkan dan dikampanyekan
agar kemudian bisa segera diketahui oleh semua pihak, mengajak pihak yang lebih
banyak untuk berdiskusi, bekerja sama dan tentu mebedah pasal tersebut secara
mendalam hingga menghasilkan upaya-upaya konkrit untuk pembaruan tafsir pasal
tersebut. Upaya yang akan dilakukan bisa dengan mengusulkan ke DPR RI untuk
memperbarui tafsir pasal tersebut atau dengan menempuh judicial review di
Mahkamah Konstitusi.
Pemetaan UU No 32 tahun 2009 Yang Wajib Dijabarkan Ke dalam Peraturan
Perundang-Undangan Pelaksaanaan
No
|
Pasal Imperatif
|
Nomenklatur
|
Bentuk Peraturan
Perundang-undangan
|
1.
|
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
inventarisasi lingkungan hidup dan penetapan ekoregion
|
Peraturan Pemerintah
|
2
|
Pasal 12 ayat 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
|
tata cara penetapan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
|
Peraturan Pemerintah
|
3
|
Pasal
18 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
tata cara penyelenggaraan KLHS
|
Peraturan Pemerintah
|
4
|
Pasal 20 ayat (4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf
g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
baku mutu lingkungan hidup
a. baku mutu air;
c.
baku
mutu air laut;
d.
baku mutu udara ambien
g. baku mutu
lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
|
Peraturan Pemerintah
|
5
|
Pasal 20 ayat (5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
|
baku mutu lingkungan
hidup
h.
baku mutu air limbah;
e.
baku mutu emisi;
f.
baku mutu gangguan
|
Peraturan
Menteri
|
6
|
Pasal 21 ayat (5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|
kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup
|
Peraturan Pemerintah
|
|
Pasal 23 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
|
jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan amdal
|
Peraturan Menteri
|
7
|
Pasal 28 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi
penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.
|
sertifikasi dan
kriteria kompetensi penyusun amdal
|
Peraturan Menteri
|
8
|
Pasal 29 ayat (3)
Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
|
Persyaratan dan
tatacara lisensi dari Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi
|
Peraturan
Menteri
|
9
|
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah
|
Amdal
|
Peraturan
Pemerintah
|
10
|
Pasal 35 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan
surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur
dengan peraturan Menteri
|
UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
|
Peraturan Menteri
|
11
|
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
|
Izin Lingkungan
Dari Pelaku Kegiatan Usaha
|
Peraturan Pemerintah
|
12
|
Pasal 43 ayat (4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
|
instrumen ekonomi lingkungan hidup
|
Peraturan
Pemerintah
|
13
|
Pasal 47 ayat
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
|
analisis risiko lingkungan hidup
|
Peraturan Pemerintah
|
14
|
Pasal 53 ayat
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
|
tata cara penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
|
Peraturan
Pemerintah
|
15.
|
Pasal 54 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
tata cara pemulihan
fungsi lingkungan hidup
|
Peraturan
Pemerintah
|
16
|
Pasal 56
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
|
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup
|
Peraturan
Pemerintah
|
17
|
Pasal 57 ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi
dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
|
konservasi dan pencadangan sumber daya alam
serta pelestarian fungsi atmosfer
|
Peraturan
Pemerintah
|
18
|
Pasal 58 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
|
pengelolaan B3
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib
melakukan pengelolaan B3.
|
Peraturan Pemerintah
|
19
|
Pasal 59 ayat (7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
pengelolaan limbah B3
|
Peraturan Pemerintah
|
20
|
Pasal 61 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan
Pemerintah
|
tata cara dan
persyaratan dumping limbah atau bahan
|
Peraturan
Pemerintah
|
21
|
Pasal 62 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri
|
sistem informasi lingkungan hidup
|
Peraturan Pemerintah
|
22
|
Pasal 65 ayat (6)
Ket Kentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
Tata cara Pengaduan dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
|
Peraturan
Menteri
|
23
|
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas
lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah
|
tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara
pelaksanaan pengawasan
|
Peraturan Pemerintah
|
24
|
Pasal 86 ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup
|
Peraturan
Pemerintah
|
25
|
Pasal 90 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
|
Mengajukan Kerugian Lingkungan Hidup
|
Peraturan
Menteri
|
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
1
|
Pasal 16 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan
dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan
wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
penetapan dan pemanfaatan
suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
|
Peraturan
Pemerintah
|
2
|
Pasal 17 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemeritah
|
kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata
terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
|
Peraturan Pemerintah
|
3
|
Pasal 18 ayat (2)
Penetapan suatu
kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagai biosfer diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penetapan suatu kawasan suaka
alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagai biosfer
|
Peraturan
Pemerintah
|
4
|
Pasal 20 ayat (3)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi digolongkan dalam :
a.tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b.tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
|
Peraturan
Pemerintah
|
5
|
Pasal 22 ayat (4)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
pemberian atau
penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan
izin Pemerintah.
|
Peraturan
Pemerin tah
|
6
|
Pasal 23 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
pemasukan tumbuhan
dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
|
Peraturan Pemerintah
|
7.
|
Pasal 25 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
|
Pengawasan jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk
pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk
|
Peraturan Pemerintah
|
8
|
Pasal 29 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan
penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
penetapan suatu
wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
|
Peraturan
Pemerintah
|
9
|
Pasal 34 ayat (4)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pengelolaan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, zona pemanfaatan taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan
berdasarkan rencana pengelolaan dan kegiatan kepariwisataan dan rekreasi,
Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan
rakyat
|
Peraturan
Pemerintah
|
10
|
Pasal 36 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar
|
Peraturan Pemerintah
|
11
|
Pasal 33 ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Peranserta rakyat
dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
|
Peraturan
Pemerintah
|
12
|
Pasal 38 ayat (2)
Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
pelaksanaan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
|
Peraturan
Pemerintah
|