Sabtu, 09 April 2011

MEMAHAMI PENDEKATAN SEJARAH HUKUM DALAM PENELITIAN HUKUM NORMATIF

MEMAHAMI PENDEKATAN SEJARAH HUKUM DALAM PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Oleh; Turiman Facturahman Nur

A. Kilas Balik Pendekatan Sejarah Hukum

Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum” telah menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Berkaitan dengan masalah ini Soedjono, D., menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. (Sudarsono, hal. 261).

Demikian juga hal yang senada diungkapkan oleh Menteri Kehakiman dalam pidato sambutan dan pengarahan pada simposium Sejarah Hukum (Jakarta 1-3 April 1975) dimana dinyatakan bahwa “Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita” (Soerjono Soekanto hal, 9).

Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain dari pada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.

Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perobahan dan stabilitas. Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.

Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417).

Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Koesno tentang hukum adat setelah Perang Dunia II melalui beberapa pentahapan (periodisasi).

Secara kronologi perkembangan tersebut dibaginya dalam beberapa tahap, yaitu :

1. Masa 1945-1950

2. Masa Undang-undang Dasar Sementara 1950

3. Masa 1959-1966

4. Masa 1966 – 1998

5. Masa 1998 – hingga sekarang

Penetapan tersebut disertai analisis yang mendalam tentang kedudukan dan peranan hukum adat pada masa-masa tersebut.

Mempelajari sejarah hukum memang bermanfaat, demikian yang dikatakan Macauly bahwa dengan mempelajari sejarah, sama faedahnya dengan membuat perjalanan ke negeri-negeri yang jauh : ia meluaskan penglihatan, memperbesar pandangan hidup kita. Juga dengan membuat perjalanan di negeri-negeri asing, sejarah mengenalkan kita dengan keadaan-keadaan yang sangat berlainan dari pada yang biasa kita kenal dan dengan demikian melihat, bahwa apa yang kini terdapat pada kita bukanlah satu satunya yang mungkin. (Sudarsono, hal. 254).

Sebagai contoh adalah “ Misi Rahasia Tsar Peter”. Banyak sedikit, kita manusia semuanya condong menerima yang ada sebagai yang sewajarnya, juga dengan tiada kita sadari kita semua dikuasai oleh waktu yang lalu. Karena dilahirkan dalam sesuatu waktu, dalam sesuatu negara dan dalam sesuatu lingkungan, sedari kecil kita sama sekali biasa pada pelbagai pandangan dan pada pelbagai keadaan, sehingga biasanya timbul pada kita pertanyaan, apakah hal-hal tersebut ada sebagai mestinya? (Van Apeldroon, hal. 420).

Penyelidikan sejarah membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai hal yang demikian melainkan menghadapinya secara kritis. Makin sedikit kita mengenal waktu yang lalu, makin besar bahayanya kita dikuasainya. (Van Apeldroon, hal. 421). Sebagai contoh : “Tinjauan ulang sejarah serangan umum 1 Maret dan G. 30 S. PKI (Waspada, 3 Oktober 2000).

Penelitian sejarah pada umumnya dilakukan terhadap bahan-bahan tertulis maupun tidak tertulis yang biasanya dibedakan antara bahan-bahan primer, sekunder dan tersier.

Bahan-bahan primer, antara lain :

1. Dokumen, yaitu arsip, surat-surat, memoranda, pidato, laporan, pernyataan dari lembaga-lembaga resmi.

2. Bahan tertulis lain seperti catatan harian, laporan-laporan hasil wawancara yang dilakukan dan dibuat oleh wartawan.

3. Gambar-gambar atau potret

4. Rekaman.

Data suplementer pada bahan-bahan primer adalah antara lain : Oral Story dan Folk Story (khususnya yang tidak tertulis), kemudian benda-benda hasil penemuan arkeologis, bekas kota dan lain sebagainya.

Kemudian bahan-bahan sekunder :

1. Monograp

2. Bahan tertulis yang berupa bahan referensi

3. Ilmu-ilmu pembantu terhadap sejarah, misal : kajian antropologi hukum, semiotika hukum , hermeneutic hukum.

Bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan melalui beberapa tahap sebelum benar-benar menjadi sumber data sejarah.

Penggolongan bukti-bukti tersebut tidak mutlak, bukti-bukti tersebut harus dilihat dengan kritis. Peneliti harus bertanya apakah bukti tersebut asli dan isinya dapat dipercayai, karena metode sejarah menggunakan akal yang teratur dan sistematis.

Sebagai ilmu sosial dan ilmu budaya, sejarah menelaah aktivitas manusia dan peristiwa-peristiwanya yang terjadi pada masa lalu dalam keitannya dengan masa kini. Sebagai ahli sejarah, tidak harus puas dengan deskripsi saja dan harus berusaha untuk memakainya serta bagaimana prosesnya yang pusat perhatiannya adalah uniknya dan khasnya peristiwa –peritiswa tersebut.

Pada sejarah hukum umum yang menjadi ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari suatu hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan hukum atau pengaruh dari sumber-sumber hukum dalam arti formil pada peraturan-peraturan tertentu.

Paradigma yang digunakan sebagai kerangka dasar penelitian adalah sumber-sumber hukum dalam arti formil yang mencakup :

1. Perundang-undangan.

2. Hukum kebiasaan.

3. Yurisprudensi.

4. Traktat.

5. Doktrin.

Masing-masing sumber tersebut ditelaah perkembangannya serta pengaruhnya terhadap pembentukan hukum (rechtvorming). Penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh dan juga dapat dibatasi pada suatu sumber tertentu. Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa salah satu kegunaan sejarah hukum adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa kini.

Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan yang diahadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi yang kuat.

Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukum akan dapat melengkapi pengetahuan kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut.

B. Pengertian Penelitian Historis

Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian historis merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Atau dapat dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian dilakukan. Penelitian historis di dalam pendidikan hukum merupakan penelitian yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian historis bermaksud membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi.

Menurut Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, 1990 : 411 dalam Yatim Riyanto, 1996: 22 dalam Nurul Zuriah, 2005: 51 penelitian sejarah adalah penelitian yang secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari data dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Sementara menurut Donald Ary dkk (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) dalam Nurul Zuriah , 2005: 51 juga menyatakan bahwa penelitian historis adalah untuk menetapkan fakta dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengvaluasi dan menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.

Berdasarkan pendangan yang disampaikan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian penelitian sejarah mengandung beberapa unsur pokok, yaitu

  • Adanya proses pengkajian peristiwa atau kejadian masa lalu (berorientasi pada masa lalu);
  • Usaha dilakukan secara sistematis dan objektif;
  • Merupakan serentetan gambaran masa lalu yang integrative antar manusia, peristiwa, ruang dan waktu;
  • Dilakukan secara interktif dengan gagasan, gerakan dan intuiasi yang hidup pada zamannya (tidak dapat dilakukan secara parsial).

C. Tujuan Penelitian Historis

Adapun yang menjadi tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk memahami masa lalu, dan mencoba memahami masa kini atas dasar persitiwa atau perkembangan di masa lampau (Jhon W. Best, 1977 dalam Yatim Riyanto, 1996: 23 dalam Nurul Zuriah 2005: 52). Sedangkan Donal Ary (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 23) dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyatakan bahwa penelitian historis untuk memperkaya pengetahuan peneliti tentang bagaimana dan mengapa suatu kejadian masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu menjadi masa kini, pada akhirnya, diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini serta memperolehnya dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan di masa kini.

Berikutnya Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wellen (1990) dalam Yatim Riyanto (1996: 23) dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyertakan bahwa para peneliti sejarah hukum melakukan penelitian sejarah dengan tujuan untuk :

  • Membuat orang menyadari apa yang terjadi peristiwa hukum pada masa lalu sehingga mereka mungkin mempelajari dari kegagalan dan keberhasilan konsep hukum masa lampau;
  • Mempelajari bagaimana sesuatu telah dilakukan system hukum pada masa lalu, untuk melihat jika mereka dapat mengaplikasikan masalahnya pada sistem hukum masa sekarang;
  • Membantu memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang; ius contituedum
  • Membantu menguji hipotesis yang berkenaan dengan hubungan atau kecendrungan. Misalnya masih dominankah paham positivisme abad 19 dalam penegakan hukum saat ini
  • Memahami praktik dan arah politik hukum sekarang secara lebih lengkap.

Dengan demikian, tujuan penelitian sejarah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan masa kini dan masa mendatang.

D. Sumber-Sumber Data dalam Penelitian Historis

Objek penelitian sejarah adalah peristiwa atau kehidupan masyarakat pada masa lampau maka yang menjadi sumber informasi harus mempunyai karakteristik yang berbeda dengan metode penelitian lainnya. Beberapa sumber tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

Sumber-sumber primer, yaitu data yang diperoleh dari cerita para pelaku perisriwa itu sendiri, dan atau saksi mata yang mengalami atau mengetahui peristiwa tersebut. Contoh sumber-sumber primer lainnya yang sering menjadi perhatian perhatian para peneliti di lapangan atau situs di anataranya seperti, dokumen asli, relief dan benda-benda peninggalan masyarakat zaman lampu.

Sumber informasi sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari sumber lain yang mungkin tidak berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Sumber sekunder ini dapat berupa para ahli yang mendalami atau mengetahui peristiwa yang dibahas dan dari buku atau catatan yang berkaitan dengan peristiwa, buku sejarah, artikel dalam ensiklopedia, dan review penelitian.Dari adanya sumber primer dan sekunder ini, sebaiknya peneliti apabila mungkin lebih memberikan bobot sumber-sumber data primer lebih dahulu, baru kemudian data sekunder, data tersier, dan seterusnya.

E . Tahapan Penelitian Sejarah Hukum

Pertama yang harus dilakukan adalah menentukan topik penelitian dengan tujuan agar dalam melakaukan pencarian sumber-sumber sejarah dpat terarah dan tepat sasaran.Pemilihan topik penelitian dapat didasarakan pada unsur-unsur berikut ini

1.Bernilai
Peristiwa sejarah hukum yang diungkap tersebut harus bersifat unik, kekal, abadi.

2.Keaslian (Orisinalitas)

Peristiwa sejarah hukum yang diungkap hendaknya berupa upaya pembuktian baru atau ada pandanganbaru akibat munculnya teori dan metode baru

3.Praktis dan Efesien

Peristiwa sejarah hukum yang diungkap terjangkau dalam mencari sumbernya dan mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa itu.

4.Kesatuan
Unsur-unsur yang dijadikan bahan penelitian itu mempunyai satu kesatuan ide.

F. Langkah –Langkah Penelitianb Sejarah

Setelah menentukan topik penelitian selanjutnya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.HEURISTIK (Pengumpulan Data)

Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti.misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah.

2.KRITIK (VERIFIKASI)

Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah meliputi kritik ekstern dan kritik intern.

a.Kritik Ekstern

kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya

b.Kritik Intern

Kritik Intern merupakan penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.

3.INTERPRETASI (penafsiran)

Interfretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Dari berbagi fakta yang ada kemudian perlu disusun agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga ditemukan struktur logisnya berdasarkan fakta yang ada, untuk menghindari suatu penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit. Bagi sejarawan akademis, interfretasi yang bersifat deskriptif sajabelum cukup. Dalam perkembangan terakhir, sejarawan masih dituntut untuk mencari landasan penafsiran yang digunakan.

4.HISTORIOGRAFY (Penulisan Sejarah)

Historiogray adalah oses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibavca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.

G. Teknik pengumpulan data dengan wawancara terbagi menjadi tiga macam:

1.Poll Type Interview

Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan dengan jawabannyang telah ditentukan, narasumber tinggal memilih jawaban yang ada.

2.Open Type Interview

Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ditentukan terlebih dahulu, sedangkan narasumber dapat menjawab bebas.

3.Nonstructured Interview

Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ataupun jawaban tidak ditentukan sebelumnya. Teknik wawancara merupakan teknik yang bersifat pelengkap artinya wawancara digunakan untuk melengkapi data atau informasi yang berasal dari sumber dokumen. amun apabila dumber dokumen tidak ada barulah informasi hasil wawancara dapat dianggap sebagai bahan pokok penelitian.

Beberapa persiapan sebelum melakukan wawancara antara lain:

1.seleksi individu untuk diwawancarai, yang benar -benar nara sumber

2.pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai, empati

3.mengembangkan suasana lancar dalam wawancara misalnya terekam

4. mempersiapkan pokok masalah yang akan dikemukakan (ditanyakan), berupa dafatra pertanyaan yang bersifat terbuka memenuhi lima prinsip 5 + 1 H (What, When, Why, Who, Where, How)

DAFTAR PUSTAKA

Subana, M. dkk. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung : Pustaka Setia.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Usman, Husaini, dkk. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung, Alumni.

Sudarsono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta

Usman, Husaini, dkk. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : PT. Bumi Aksara Van Apeldroon, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.

Warsani, 2001, Bahan Kuliah Sejarah .

Zuriah, Nurul. 2005.Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

»»  Baca Selengkapnya...

MASALAH SUBTANSI PP NO 19 TAHUN 2010 DAN KEWENANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

MASALAH SUBTANSI PP NO 19 TAHUN 2010 DAN KEWENANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

Salah satu subtansi yang diatur dalam PP No 19 Tahun 2010 adalah berkaitan dengan SEKDA, sebagai diketahui, bahwa Sekretariat daerah (disingkat setda) adalah unsur pembantu pimpinan pemerintah daerah, yang dipimpin oleh sekretaris daerah (disingkat sekda). Sekretaris daerah bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan paling puncak dalam pola karier PNS di Daerah.

Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota bertugas membantu Bupati dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Sekretaris Daerah untuk kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari sebanyak-banyaknya 4 bagian.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2010 dijelaskan bahwa gubernur diberi mandat sebagai wakil pemerintah pusat. Di dalam PP ini dijelaskan, gubernur mempunyai kewenangan penuh terhadap kelangsungan pemerintahan kabupaten/kota dan sekaligus berhak memberikan reward dan sanksi pada kabupaten/kota. Jika di pusat ada menteri yang menjadi tangan kanan presiden, maka gubernur adalah tangan kiri presiden untuk menjadi pelaksana sektor di daerah. Ini artinya, posisi gubernur setara dengan menteri, pandangan seperti ini adalah salah satu penafsiran sebagian Gubernur di daerah terhadap subtansi PP No 19 Tahun 2010.

Selain itu, gubernur juga memiliki wewenang mengundang rapat bupati-wali kota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal serta memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati-wali kota atas kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah atau janji.

Kehadiran Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2010 tentang kewenangan gubernur, membuat tugas gubernur akan lebih berat. Gubernur tidak hanya sebagai kepala daerah provinsi namun juga sebagai pembina, pengawas hingga motivator pemerintah kabupaten/kota dengan tujuan mengkoordinasi atau mensingkronkan program-program pembangunan.Tidak hanya itu, gubernur harus siap melaporkan kegiatan-kegiatan pembangunan selama tiga kali dalam setahun kepada presiden. Oleh karenanya, dalam tugasnya nanti gubernur akan dibantu oleh sekretariat.

PP ini merupakan hasil evaluasi dari UU 32 tahun 2004 berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, utamanya dalam Pasal 38 tentang tugas gubernur. Tujuan PP No 19 Tahun 2010 ini tidak membuat daerah menjadi arogan kekuasaan khususnya menyangkut kewenangan kabupaten/kota dan provinsi, melainkan fokus untuk menumbuh pesatkan ekonomi. Ini artinya, sudah jelas jika PP 19 tahun 2010 hanya untuk mempertegas kewenangan dan tugas gubernur, sebab dalam UU 32 tahun 2004 sebenarnya kewenangan dan tugas gubernur sudah diatur secara tersirat, hanya masing-masing walikota dan bupati kurang memahami akan hal ini.

Keberadaan PP No 19 Tahun 2010 sekarang menjadi multi tafsir karena ditafsirkan oleh sebagian Gubernur, bahwa Gubernur dapat memberhentikan Bupati atau Walikota yang tidak taat dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah kepada Presiden melalui Mendagri, dan diketahui bahwa PP No 19 Tahun 2010 secara yuridis normative adalah melaksanakan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan jika dipahami normative dari Pasal 38 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004 adalah Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/Kota; b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; ckoordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2)Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. (3)Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (4)Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 38 ayat (3) diatas, maka keberadaan PP No 19 Tahun 2010 dimaksudkan dalam kaitannya dengan tugas sebagai Koordinator dan Auditor bukan Eksekutor. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pertanyaannya dapatkah atau adakah kewenangan Gubernur dengan PP No 19 Tahun 2010 dapat memberhentikan Bupati/Walikota, sedangkan pada posisi lain Bupati dan Wakilokta dipilih melalui PILKADA, jika hanya memberikan sanksi administratif masih dapat diterima secara logis secara hukum, tetapi jika sampai memberhentikan Bupati/walikota adalah penafsiran yang meluas dan perlu parameter yang jelas secara hukum dan jika ditafsirkan demikian akan menimbulkan friksi politik antara bupati/walikota dengan gubernur, karena bisa jadi antara Gubernur dan Bupati/walikota kendaraan politiknya berbeda ketika menjadi kandidat pada PILKADA bisa menjadi crucial politik, oleh karena itu paradigmanya harus dirubah, bahwa ketika bupati/walikota atau Gubernur terpilih bukan wakilnya Partai Politik tertentu tetapi secara etika pemerintahan mewakili masyarakat di daerah otonom masing-masing dan menjadi bias penafsiran ketika mengimplementasikan PP No 19 Tahun 2010 dengan kepentingan politik tertentu.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, tetapi hanya menambah kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. PP 19 Tahun 2010 tidak sedikit pun mengeliminasi pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, tapi bobot kewenangan gubernur diperkuat dan titik otonomi daerah tetap di kabupaten/kota .Dalam PP itu diatur, ada sebagian kewenangan pemerintah pusat yang akan dijalankan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah.,

Secara filosofis ada pesan etika pemerintahan dengan mendasarkan, bahwa ada tiga tingkatan dalam kehidupan yakni etika yang menyangkut hubungan antara orang dengan orang lain, moral (sosial kemasyarakatan) atau bila moral terlanggar maka pelaku terkena sanksi sosial dan sanksi hukum. Kalau etika dan moral tidak jalan sehingga harus hukum yang dijalankan lagi, maka perlu dituangkan dalam Undang-undang, walaupun saat ini ada acuan dalam hal tata cara pemberhentian bupati/walikota, PP No 6 Tahun 2005 jo PP No 17 Tahun 2009.

Selain itu, apakah ada bupati dan wali kota yang tidak loyal terhadap Keppres, dan tingkat provinsi apakah boleh kabupaten/kota tak setuju dengan Perda provinsi, tentu tidak mungkin. Oleh karena itu, harus ada produk hukum turunan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Kalau sekarang ada satu kabupaten atau kota tidak mau menjalankan, apakah cukup dengan sanksi moral saja. Itu tata kelola bernegara dan berpemerintahan baik yang belum berjalan berdasarkan supremasi hukum. PP itu merupakan produk hukum administrasi pemerintahan tetapi menjadi sumber hukum formal hukum tata negara pada tata pemerintahan di daerah, bukan moral administrasi pemerintahan, sebab hukum administrasi dan moral administrasi juga berbedah, walaupun keduanya tak terpisahkan, karena esensi Good Governance dan Clean Government adalah pemerintahan yang berbasis moral. Oleh karena itu, ada para penstudi hukum tata negara yang mendukung adanya sanksi bagi mereka yang tidak menjalankannya sebagaimana dituangkan dalam PP 19 Tahun 2010, tetapi ada juga yang menilai PP No 19 Tahun 2010 adalah kontra produktif, karena bisa ditafsirkan dengan meluas berdasarkan kepentingan politik Gubernur.

. Dengan mendasarkan pada PP Nomor 19 Tahun 2010, dipastikan tidak akan ada lagi bupati/wali kota “potong kompas” mengganti sekretaris daerah tanpa berkonsultasi dulu ke gubernur. Peran ganda gubernur menjadi lebih jelas dan tegas batasnya, bahkan bisa disebut lebih bergigi sekaligus ”bergizi”, sehingga ke depan diharapkan pelaksanaan otonomi di kabupaten/kota akan menjadi lebih efektif dan efisien. Para bupati dan wali kota nantinya tak bisa seenaknya menolak undangan ataupun panggilan gubernur untuk rapat koordinasi atau rapat lain karena terhitung sejak 28 Januari 2010 ada ”senjata” yang membuat gubernur berwenang memberi hukuman ataupun penghargaan kepada para kepala daerah.

Melalui Pasal 4 PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, ada kewenangan baru yang secara tegas melekat pada jabatan gubernur.

Kewenangan itu yakni mengundang rapat bupati/ wali kota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal, serta meminta kepada bupati/ wali kota berserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat.

Kewenangan lain yang diatur dalam peraturan itu yakni memberi penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji; menetapkan sekretaris daerah (sekda) kabupaten/ kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; mengevaluasi raperda tentang APBD; serta memberi persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota.

Sebagai pembina sekaligus pengawas, gubernur dalam kasus tertentu berhak memberi peringatan atau teguran tertulis, yang tembusannya disampaikan ke DPRD kabupaten/kota. Kewenangan tersebut, bisa sampai pada kondisi ekstrem, yakni memberhentikan bupati/wali kota jika melanggar UU dan ketentuan turunannya.

Begitu pula dengan APBD yang semula pemerintah provinsi (dalam hal ini gubernur) hanya dilewati, sekarang memiliki peran sangat jelas. Pertimbangan dan catatan yang diberikan oleh gubernur akan menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam konteks kedekatan dan pemahamannya tentang bagian wilayah yang dipimpinnya. Termasuk menahan persetujuan APBD kabupaten/kota sampai tiga bulan jika diperlukan.

Hal lain yang membuat gubernur lebih ”bergigi” adalah kewenangannya memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Semula kewenangan tersebut ada di tangan presiden dan didelegasikan kepada mendagri. Dengan begitu, birokrasi penyidikan terhadap wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota menjadi lebih ringkas dan sederhana, dan langkah ini sejalan dengan mulai dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di tiap ibu kota provinsi.

Memang bertambahnya kewenangan yang ada di tangan gubernur di satu sisi bisa berdampak positif terhadap efektivitas otonomi daerah kabupaten/kota, namun di sisi lain berpeluang memunculkan kesewenang-wenangan yang merupakan dampak negatif dari kekuasaan mengingat pertanggungjawaban gubernur atas kewenangannya selaku wakil pemerintah pusat disampaikan kepada presiden selaku atasan langsungnya.

Dalam konteks kewenangan sebagai wakil pemerintah (pusat), lembaga legislatif dalam hal ini DPRD provinsi, tidak bisa berperan sebagai lembaga pengawas ataupun pengontrol langsung karena sesuai yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004, peran DPRD provinsi hanya berkait dengan kebijakan di lingkungan pemerintahan daerah provinsi.

Hal luar biasa yang diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2010 adalah penetapan bahwa pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah untuk mengurusi urusan pemerintah di wilayahnya, dibebankan pada APBN melalui mekanisme dana dekonsentrasi. Pasal 10 PP itu tentang Kedudukan Keuangan, secara rinci menyebutkan dana dekonsentrasi tersebut dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.

Urusan pemerintah yang ditangani gubernur akan didanai APBN melalui Kementerian Dalam Negeri meliputi koordinasi antarpenyelenggaraan pemerintahan, pembinaan dan pengawasan, penjagaan keutuhan NKRI, penjagaan kehidupan demokrasi, pemeliharaan stabilitas politik sampai penjagaan etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penyediaan anggaran memang merupakan konsekuensi riil dari tugas yang diberikan, dan langkah ini sangat realistis karena sangat tidak efektif kalau mendagri harus mengawasi dan membina 524 kabupaten dan kota di Indonesia. Pastilah akan lebih efektif dan berdaya guna jika pengawasan dan pembinaan kabupaten/kota diserahkan kepada 33 gubernur yang ada.Yang lebih menarik lagi, untuk tugas di luar urusan yang disebut itu, gubernur juga bisa mengajukan pendanaan dari APBN melalui anggaran kementerian di luar Kementerian Dalam Negeri dan lembaga pemerintah nonkementerian.

Artinya, banyak tugas gubernur yang pembiayaannya disangga APBN, sehingga lembaga gubernur dalam kacamata kedudukan keuangannya menjadi lebih ‘’bergizi’’ karena ada sumber dana di luar APBD provinsi yang bisa digunakan.

Demikian juga dalam pelantikan gubernur juga akan dilakukan oleh presiden, bukan lagi oleh mendagri. Pasal 2 Ayat (3) PP itu secara jelas menyebut,’’Gubernur dilantik oleh Presidenî. Kalaupun Presiden berhalangan melantik gubernur, Menteri Dalam Negeri akan melantik Gubernur atas nama Presiden.

Patut dicatat pula, tugas gubernur sebagai wakil pemerintah juga didukung organisasi yang jelas dan secara tertulis diatur dalam PP tersebut. Pasal 17 menyebutkan dalam melaksanakan tugas sebagai wakil pemerintah, gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur. Posisi sekgub secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah, dibantu oleh (petugas) sekretariat dan tenaga ahli.

Dengan begitu, bukan hanya posisi gubernur yang makin berwibawa di depan para bupati/wali kota, posisi sekda provinsi pun menjadi semakin penting dalam posisi koordinator sekretaris daerah kabupaten/kota. Dan, sekretariat yang dimaksud untuk membantu tugas gubernur sebagai wakil pemerintah, memiliki kepala sekretariat sendiri. Pembentukan serta tata organisasinya sekretariat gubernur bahkan akan diatur tersendiri oleh peraturan mendagri.

Artinya dengan “senjata” PP Nomor 19 Tahun 2010 melihat selama berlakunya otonomi daerah, fungsi koordinasi antara gubernur dan bupati/ wali kota tak berjalan baik. Banyak bupati/wali kota yang mengabaikan panggilan atau undangan gubernur karena tidak ada sanksinya. Namun hadirnya PP itu juga perlu kita cermati dan awasi bersama, agar tidak memunculkan dualisme pertanggungjawaban dan kewenangan yang berlebihan pada jabatan gubernur, tetapi bisakan dengan PP No 19 Tahun 2010 Gubernur memberhentikan Bupati/Walikota terpilih dalam PILKADA, jika bisa bagaimana mekanismenya, apakah tidak menabrak peraturan yang subtansi mengatur khusus tentang tata cara pemberhentian bupati/walikota, atau bagaimana mekanisme pemberian sanksi sepertinya harus masih menunggu permendagri mengaturnya, oleh karena sebelum ada permendagri, ada baiknya Gubernur jangan sampai menafsirkan PP No 19 Tahun 2010 menjadi sesuatu yang kontra produktif dari maksud diterbitkannya PP No 19 Tahun 2010 itu sendiri, bisa dimungkinkan menjadi “otoriterisme” atau “sentralisme” baru didaerah.(Penulis adalah Expert Hukum Tata Negara UNTAN)



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2010

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Wilayah provinsi adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja gubernur.

5. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal tingkat provinsi, antara instansi vertikal dengan satuan kerja perangkat daerah tingkat provinsi, antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan, serta antara provinsi dan kabupaten/kota agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.

6. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.

7. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien, efektif, berkesinambungan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II

KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG

Pasal 2

(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi.

(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(3) Gubernur dilantik oleh Presiden.

(4) Dalam hal Presiden berhalangan melantik gubernur, Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden melantik gubernur.

Pasal 3

(1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi:

  1. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  2. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  3. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  4. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
  5. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  6. menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi;
  7. memelihara stabilitas politik;
  8. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan
  9. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Selain melaksanakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi:

a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal;

b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat;

c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji;

d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;

g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi;

dan

h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan.

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 5

(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antarinstansi vertical di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a melalui:

  1. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan
  2. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi, serta penyelesaian berbagai permasalahan.

(2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 6

(1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas gubernur dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta stabilitas daerah bagi kelancaran pembangunan daerah dibentuk forum koordinasi pimpinan daerah.

(2) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(3) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas Gubernur, Wali Nanggroe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(4) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(5) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Provinsi Papua Barat terdiri atas Gubernur, Ketua Majelis Rakyat Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, panglima daerah militer, kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

(6) Forum koordinasi pimpinan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diketuai oleh gubernur.

Pasal 7

(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b melalui:

a. musyawarah perencanaan pembangunan provinsi; dan

b. rapat kerja pelaksanaan program/kegiatan, monitoring dan evaluasi serta penyelesaian berbagai permasalahan.

(2) Musyawarah perencanaan pembangunan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.

(3) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun.

(4) Pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut serta dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

(1) Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c melalui rapat kerja yang mencakup:

a. penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota;

b. pelaksanaan kerja sama antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan

c. penyelesaian perselisihan antarkabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

(2) Rapat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan.

Pasal 9

(1) Gubernur dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:

  1. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  2. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
  3. penyelesaian perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
  4. upaya penyetaraan kualitas pelayanan public antarkabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

(2) Gubernur dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d melalui:

a. pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;

b. pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;

c. usul pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri; dan

d. pengawasan kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pasal 10

(1) Dalam menyelesaikan perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c gubernur melakukan langkah antara lain:

  1. persuasi dan negosiasi; dan
  2. membangun kerja sama antardaerah.

(2) Perselisihan antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup antara lain:

  1. perbatasan antarkabupaten/kota;
  2. sumber daya alam antarkabupaten/kota;
  3. aset;
  4. transportasi;
  5. persampahan; dan
  6. tata ruang.

Pasal 11

Dalam menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, gubernur melakukan:

a. penetapan kriteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah;

b. pemantauan situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;

c. evaluasi situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;

d. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan;

dan

e. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah dengan criteria ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.

f.

Pasal 12

Dalam menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan membangun kehidupan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, gubernur melakukan upaya:

a. memelihara dan mempertahankan ideologi Pancasila;

b. pengembangan demokrasi;

c. menjaga kerukunan antarumat beragama; dan

d. melestarikan nilai sosial budaya.

Pasal 13

Dalam memelihara stabilitas politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g, gubernur melakukan:

a. penetapan kriteria stabilitas politik sesuai dengan situasi dan kondisi daerah;

b. pemantauan situasi dan kondisi daerah sesuai dengan kriteria stabilitas politik;

c. evaluasi situasi dan kondisi daerah sesuai dengan criteria stabilitas politik;

d. koordinasi dengan aparat keamanan yang terkait untuk memelihara stabilitas politik; dan

e. pelaporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengenai situasi dan kondisi daerah sesuai dengan criteria stabilitas politik.

Pasal 14

Dalam menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, gubernur melakukan:

a. identifikasi etika dan norma yang hidup, berkembang, dan perlu dipertahankan di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan

b. membangun etos kerja penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan etika dan norma sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pasal 15

Dalam melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf i, gubernur melakukan:

a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan kepada pemerintah daerah provinsi;

b. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan

c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintah daerah provinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.

Pasal 16

Gubernur sebagai wakil Pemerintah memberikan informasi tentang kebijakan Pemerintah dan instansi vertikal di provinsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi.

Pasal 17

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), secara operasional gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur.

(2) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah provinsi.

(3) Sekretaris gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh sekretariat dan tenaga ahli.

Pasal 18

(1) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dipimpin oleh kepala sekretariat.

(2) Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat persetujuan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB IV

KEDUDUKAN KEUANGAN

Pasal 19

(1) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi.

(2) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.

(3) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dilimpahkan, dibebankan pada anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan melalui mekanisme dana dekonsentrasi.

(4) Pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

(5) Pengelolaan dana dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

BAB V

PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 20

(1) Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(2) Pertanggungjawaban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir dalam bentuk laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah.

(3) Pedoman laporan pelaksanaan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

(4) Evaluasi mengenai laporan gubernur sebagai wakil Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden setiap tahun dengan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 25


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2010

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR

SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah dilaksanakan melalui asas dekonsentrasi.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah memiliki peran yang sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional dan Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan nasional dapat dilaksanakan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengikuti norma, standar, prosedur, dan criteria yang ditentukan oleh Pemerintah. Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian besar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota menuntut Pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan tersebut sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan posisi gubernur selaku kepala daerah provinsi sekaligus berkedudukan sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi.

Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, gubernur memiliki tugas dan wewenang: a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; dan c) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Di samping pelaksanaan tugas tersebut gubernur sebagai wakil Pemerintah mempunyai tugas: a) menjaga kehidupan berbangsa, bernegara dalam rangka memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi; c) memelihara stabilitas politik; dan d) menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pengaturan mengenai tata cara yang lebih jelas dalam memperkuat peran gubernur sebagai wakil Pemerintah untuk melaksanakan pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini sering terjadi pada hubungan antara bupati/walikota dan gubernur di daerah. Perbedaan dalam memahami pola hubungan antarkedua tingkatan pemerintahan di daerah tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Pengaturan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah juga diperlukan agar gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penguatan fungsi gubernur sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi juga dimaksudkan memperkuat hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah, maka hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya bupati/walikota dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antarkabupaten/kota. Di samping itu penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “mengevaluasi” adalah melakukan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah apakah rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Fasilitasi dan konsultasi dilakukan dalam rangka untuk keserasian program pengembangan kapasitas pegawai antardaerah dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5107

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR 16 TAHUN 2003

TENTANG

TATA CARA KONSULTASI PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI, SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA

SERTA PEJABAT STRUKTURAL ESELON II DI LINGKUNGAN

PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang:

bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negerl Sipil, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota Serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota;

Mengingat :

1. Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok‑pokok Kepegawalan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);

2. Undang‑undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4018), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4194);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4262 );

7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang. Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4263);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG TATA CARA KONSULTASI PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN SEKRETARIS DAERAH PROPINSI, SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA SERTA PEJABAT STRUKTURAL ESELON II DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah;

2. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota;

3. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Provinsi atau Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;

4. Konsultasi adalah suatu upaya untuk mewujudkan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil secara Nasional dan menjamin kesetaraan kualitas sumber Daya Manusia Aparatur berdasarkan norma, standar dan prosedur perundang‑undangan dibidang kepegawaian;

5. Jabatan Struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara;

6. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil sesuai peraturan Perundang‑undangan;

7. Baperjakat adalah Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan sesuai peraturan Perundang‑undangan;

BAB II

TATA CARA KONSULTASI

Pasal 2

(1) Gubernur mengkonsultasikan secara tertulis sekurang‑kurangnya 3 (tiga) calon Sekretaris Daerah Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Baperjakat Instansi Daerah Provinsi, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran I.A Keputusan ini;

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum dimintakan persetujuan tertulis Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;

(3) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Menteri Dalam Negeri secara tertulis kepada Gubernur, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran I.B keputusan ini;

(4) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan konsultasi tertulis tidak ada jawaban secara tertulis dari Menteri Dalam Negeri, maka usul Gubernur tersebut dianggap telah dikonsultasikan;

Pasal 3

(1) Bupati/Walikota mengkonsultasikan secara tertulis sekurang‑kurangnya 3 (tiga) calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota kepada Gubernur setelah mendapat pertimbangan Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran II.A Keputusan ini;

(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum dimintakan persetujuan tertulis kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

(3) Hasil Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Gubernur secara tertulis kepada Bupati/Walikota, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam Iampiran II.B keputusan ini;

(4) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan konsultasi tertulis tidak ada jawaban secara tertulis dari Gubernur, maka usul Bupati/Walikota tersebut dianggap telah dikonsultasikan;

Pasal 4

(1) Bupati/Walikota mengkonsultasikan secara tertulis calon Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat pertimbangan dari Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran III.A Keputusan ini;

(2) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Gubernur secara tertulis kepada Bupati/Walikota, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran III.B keputusan ini;

(3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan konsultasi tertulis tidak ada jawaban secara tertulis dari Gubernur, maka usul Bupati/Walikota tersebut dianggap telah dikonsultasikan;

Pasal 5

(1) Konsultasi secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3 dan 4 dilengkapi dengan biodata masing‑masing Pegawai Negeri Sipil yang di konsultasikan dan ditanda tangani Calon Pejabat yang bersangkutan;

(2) Bentuk biodata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran IV keputusan ini.

Pasal 6

(1) Gubernur sebelum menetapkan pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, terlebih dahulu mendapat persetujuan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;

(2) Bupati/Walikota, menetapkan pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, atas persetujuan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, setelah di konsultasikan secara tertulis kepada Gubernur, dalam bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran II.A dan II.B Keputusan ini.

Pasal 7

Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon II.b di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota dan akan dipindahkan dalam Jabatan struktural lain yang tingkat eselonnya sama, tidak dikonsultasikan kepada Gubernur.

BAB III

PENILAIAN

Pasal 8

(1) Dalam pelaksanaan konsultasi tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, Menteri Dalam Negeri melakukan Penilaian dengan dibantu oleh Tim Penilai, berdasarkan pembobotan tercantum dalam lampiran V.A keputusan ini;

(2) Tim Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Departemen Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Negara yang keanggotaannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri;

(3) Untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, apabila dipandang perlu calon Sekretaris Daerah Provinsi memaparkan rencana strategis Jabatan yang akan diduduki;

(4) Berdasarkan hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur mengajukan permintaan persetujuan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dari calon peringkat tertinggi yang telah di konsultasikan kepada Menteri Dalam Negeri;

(5) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis terhadap usul Gubernur selambat‑lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan persetujuan secara tertulis dari Gubernur;

(6) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada jawaban secara tertulis dari Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, maka usul Gubernur tersebut dianggap disetujui;

(7) Atas Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur mengajukan calon lain peringkat berikutnya yang telah dikonsultasikan kepada Menteri Dalam Negeri.

Pasal 9

(1) Dalam pelaksanaan konsultasi tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Gubernur melakukan penilaian dengan dibantu oleh Baperjakat Instansi Daerah Provinsi, berdasarkan pembobotan tercantum dalam lampiran V.B keputusan ini;

(2) Untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, apabila dipandang perlu calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota memaparkan rencana strategis Jabatan yang akan diduduki;

(3) Berdasarkan hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bupati/Walikota mengajukan permintaan persetujuan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari calon peringkat tertinggi yang telah di konsultasikan kepada Gubernur;

(4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis terhadap usul Bupati/Walikota selambat‑lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan persetujuan secara tertulis dari Bupati/Walikota;

(5) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sebagalmana dimaksud pada ayat (4) tidak ada jawaban secara tertulis dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, maka usul Bupati/Walikota tersebut dianggap disetujui;

(6) Atas penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Bupati/Walikota mengajukan calon lain peringkat‑berikutnya dari Pegawai Negeri Sipil yang telah dikonsultasikan kepada Gubernur.

Pasal 10

(1) Dalam pelaksanaan konsultasi secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, Gubernur melakukan Penilaian dengan dibantu oleh Baperjakat Instansi Daerah Provinsi, berdasarkan pembobotan tercantum dalam lampiran V.C keputusan ini;

(2) Gubernur menyampaikan hasil penilaian secara tertulis kepada Bupati/Walikota.

Pasal 11

(1) Persyaratan pengangkatan Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, ditetapkan berdasarkan Peraturan perundang‑undangan dan syarat lainnya;

(2) Syarat lainnya sebagalmana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari, persyaratan Administratif dan Wawasan Kebangsaan;

(3) Persyaratan Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. Calon Sekretaris Daerah Provinsi yaitu :

1) Sekurang‑kurangnya pernah menduduki 2 (dua) jabatan struktural Eselon II yang berbeda;

2) Sekurang‑kurangnya memiliki Ijazah Sarjana Strata 1 (S1) atau yang sederajat;

3) Berusia setinggi‑tingginya 3 tahun sebelum mencapai batas usia pensiun;

4) Semua unsur‑penilaian prestasi kerja (DP3) sekurang‑kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

b. Calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota yaitu :

1) Sekurang‑kurangnya pernah menduduki 2 (dua) jabatan struktural Eselon II b yang berbeda;

2) Sekurang‑kurangnya memiliki ijazah Sarjana (S1) atau yang sederajat;

3) Berusia setinggi‑tingginya 2 tahun sebelum mencapai batas usia pensiun;

4) Semua unsur penilalan prestasi kerja (DP3) sekurang‑kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

(4) Persyaratan Wawasan Kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pandangan yang dimiliki Calon Sekretaris Daerah dalam mewujudkan persatuan dalam kebhinekaan, yang mengutamakan kepentingan Nasional diatas kepentingan lokal atau Daerah, meliputi :

a. Keragaman wilayah penugasan dalam jabatan;

1) Jabatan dilingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota

2) Jabatan dilingkungan Pemerintah Provinsi dan

3) Jabatan dilingkungan Departemen/Lembaga Departemen Tingkat Pusat

b. Keragaman tugas sebagai pembicara/narasumber dalam seminar/lokakarya/diskusi tingkat regional, Dalam Negeri dan Luar Negeri meliputi substansi :

1) Manajemen Pemerintahan Umum

a) Pemerintahan Umum

b) Pengawasan

c) Kependudukan

d) Sumber Daya Aparatur

2) Manajemen Pemerintahan Daerah

a) Otonomi Daerah

b) Pembangunan Daerah

c) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

d) Keuangan Daerah

3) Pokok‑pokok pikiran strategis Politik Dalam Negeri, berupa :

a. Buku

b. Karya Tulis/Makalah.

(5) Syarat lainnya sebagalmana dimaksud pada ayat (1) bagi pejabat struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu :

a. Sekurang‑kurangnya pernah menduduki dua jabatan struktural Eselon III yang berbeda;

b. Sekurang‑kurangnya memiliki ijazah Sarjana (S1) atau yang sederajat;

c. Berusia setinggi‑tingginya 2 tahun sebelum mencapai batas usia pensiun;

d. Semua unsur penilaian prestasi kerja (DP3) sekurang‑kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.

(6) Pembobotan penilaian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) tercantum dalam lampiran V.A, V.B dan V.C keputusan ini.

BAB IV

PEMBERHENTIAN

Pasal 12

Sekretaris Daerah Provinsi dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta pejabat struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat diberhentikan dari jabatannya tanpa konsultasi lebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur, apabila:

a. mengundurkan diri dari jabatannya;

b. mengajukan permohonan berhenti sebagal Pegawai Negeri Sipil;

c. mencapai batas usia pensiun;

d. tidak sehat jasmani atau rohani yang dinyatakan oleh dokter;

e. adanya perampingan organisasi;

f. cuti diluar tanggungan negara; atau

g. diangkat menjadi pejabat negara.

Pasal 13

(1) Sekretaris Daerah Provinsi yang akan diberhentikan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 harus dikonsultasikan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri dengan memberikan alasan‑alasannya dan sekaligus menyampaikan Calon pengganti, bentuk naskah dinas konsultasi pemberhentian tercantum dalam lampiran VI.A Keputusan ini;

(2) Hasil konsultasi sebagaimana tersebut pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, dengan menggunakan bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran VI.B dan VI.C Keputusan ini;

(3) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dan pejabat struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota yang akan diberhentikan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 harus dikonsultasikan secara tertulis kepada Gubernur dengan memberikan alasan‑alasannya, bentuk naskah dinas konsultasi pemberhentian tercantum dalam lampiran VII.A Keputusan ini;

(4) Hasil konsultasi sebagaimana tersebut pada ayat (3) disampaikan secara tertulis oleh Gubernur kepada Bupati/Wallkota, dengan menggunakan bentuk naskah dinas tercantum dalam lampiran VII,B dan VII,C Keputusan ini;

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri ini, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1993 tentang Persyaratan Pengangkatan Sekretaris Wilayah/Daerah Tingkat II dan Nomor 14 Tahun 1993 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Persyaratan, Tata Cara Pengajuan Usul Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2003

MENTERI DALAM NEGERI,

ttd.

HARI SABARNO

LAMPIRAN I.A KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

BENTUK NASKAH DINAS KONSULTASI TERTULIS

CALON SEKRETARIS DAERAH PROVINSI

GUBERNUR.

Kepada

Nomor :

Sifat : Yth. MENTERI DALAM NEGERI

Lampiran : di

Perihal : Konsultasi pengangkatan Jakarta

Sekretaris Daerah Provinsi

..........................

Sesuai ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negera Sipil dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor .... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Strukturai Eselon II di Iingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama ini dikonsultasikan Calon Sekretaris Daerah Provinsi ......., sebagai berikut :

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/Gol. Ruang :

4) Jabatan :

Hasil konsultasi dimaksud kami perlukan sebagai bahan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi ....................................................

Demikian untuk maklum.

GUBERNUR

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARNO

LAMPIRAN I.B KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

BENTUK NASKAH DINAS HASIL KONSULTASI TERTULIS

CALON SEKRETARIS DAERAH PROVINSI

MENTERI DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA

Jakarta,

Nomor : Kepada:

Sifat : Yth. Gubernur

Lampiran : di

Perihal : Konsultasi pengangkatan

Sekretaris Daerah Provinsi

Memperhatikan surat Saudara Nomor..... tanggal ...... Perihal tersebut di atas, dengan hormat diberitahukan sebagai berikut :

1. Menindaklanjuti ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor ... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, telah dilakukan penilaian kompetensi terhadap Pegawai Negeri SipiI yang Saudara konsultasikan sebagai Calon Sekretaris Daerah Provinsi..................

2. Berdasarkan penilalan dimaksud butir 1 di atas, bobot masing‑masing calon sesual urutan peringkat sebagai berikut

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang:

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang:

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang:

4) Jabatan :

3. Selanjutnya, calon pada urutan pertama dapat diprioritaskan untuk diproses lebih lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Demikian untuk maklum.

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARN0

LAMPIRAN II.A KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

BENTUK NASKAH DINAS KONSULTASI TERTULIS CALON SEKRETARIS DAERAH

KABUPATEN/KOTA/SEKRETARIS DEWAN PERWAKILAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

BUPATI/WALIKOTA.

Kepada :

Nomor :

Sifat : Yth. GUBERNUR .........

Lampiran : di

Perihal : Konsultasi pengangkatan

Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota/Sekretaris

DPRD Kabupaten/Kota

Sesuai ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor ... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama ini dikonsultasikan Calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota/Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota ...., sebagai berikut :

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

Konsultasi dimaksud diperlukan sebagai bahan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota ..........................

Demikian untuk maklum.

BUPATI/WALIKOTA

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARNO

LAMPIRAN II.B KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

TANGGAL:

BENTUK NASKAH DINAS HASIL KONSULTASI TERTULIS

CALON SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA

GUBERNUR.

Kepada :

Nomor :

Sifat : Yth. Bupati/Walikota .......

Lampiran : di

Perihai :Konsultasi pengangkatan

Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota

Memperhatikan surat Saudara Nomor ..... Tanggal ..... Perihal tersebut di atas, dengan harmat diberitahukan sebagai berikut :

1. Menindaklanjuti ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor ... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, telah dilakukan penilaian kompetensi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Saudara konsultasikan sebagai Calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

2. Berdasarkan penilaian dimaksud butlr 1 di atas, bobot masing‑masing calon sesuai urutan peringkat sebagal berikut:

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) angkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

3. Selanjutnya, calon tersebut pada urutan pertama dapat diprioritaskan untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang‑undangan.

GUBERNUR

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARNO

LAMPIRAN III.A KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

BENTUK NASKAH DINAS KONSULTASI TERTULIS CALON PEJABAT STRUKTURAL

ESELON II DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

BUPATI/WALIKOTA

Kepada

Nomor:

Slfat: Yth. GUBERNUR.............

Lampiran: di

Perihal : Konsultasi Pengangkatan

Pejabat Strukturai eselon II

di lingkungan Pemerintah

Kabupaten/Kota/ ........

Sesuai ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemirtdahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Slpü dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor ... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktura) Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama ini dikonsultasikan Calon Pejabat Struktural eselon II di lingkungan *1837 Pemerintah Kabupaten/Kota ......., sebagai berlkut :

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang:

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang:

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol, Ruang:

4) Jabatan :

Konsultasi dimaksud diperlukan sebagai bahan pengangkatan pejabat yang bersangkutan.

Demikian untuk maklum.

BUPATI/WALIKOTA

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARNO

LAMPIRAN III.B KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

BENTUK NASKAH DINAS HASIL KONSULTASI TERTULIS

CALON PEJABAT STRUKTURAL ESELON II

DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

GUBERNUR ...................

Kepada :

Nomor : Yth. Bupati/Walikota....

Sifat : di

Lampiran :

Perihal : Konsultasi pengangkatan

Pejabat Struktural Eselon II

di lingkungan Pemerintah

Kabupaten/Kota ................

Memperhatikan surat Saudara Nomor ..... tanggal ..... Perihal tersebut di atas, dengan hormat diberitahukan sebagai berikut :

1. Menindaklanjuti ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawal Negeri Sipil dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor ... Tahun 2003 tentang Tata cara Konsultasi Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, telah dilakukan penilaian kompetensi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang saudara Konsultasikan untuk diangkat dalam Jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota .

2. Berdasarkan penllaian dimaksud butir 1 di atas, bobot masing‑masing calon sesuai urutan peringkat sebagai berlkut:

I. Calon.

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol, Ruang :

4) Jabatan :

II. Calon.

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol, Ruang :

4) Jabatan :

III. Calon.

A. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

B. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol. Ruang :

4) Jabatan :

C. 1) Nama :

2) NIP :

3) Pangkat/

Gol, Ruang :

4) Jabatan :

Konsultasi dimaksud diperlukan sebagai bahan pengangkatan pejabat yang bersangkutan.

Demikian untuk maklum.

BUPATI/WALIKOTA

TTD

NAMA JELAS

MENTERI DALAM NEGERI

TTD

HARI SABARNO

LAMPIRAN IV KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR:

LAMPIRAN V.A KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR : 16 Tahun 2003

TANGGAL : 21 April 2003

A.PENILAIAN PERSYARATAN ADMINISTRATIF CALON SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BERDASARKAN PEMBOBOTAN

1. Kepangkatan

Pengamatan ini didasarkan pada ketentuan peraturan perundang‑Undangan yang berlaku yakni PP Nomor 100 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 13 Tahun 2002, makin tinggi dan memenuhi syarat pangkat yang dimiliki, makin tinggi nilainya.

---------------------------------------------------------------

No. Pangkat Golongan Ruang Nilai

---------------------------------------------------------------

1. Pembina Utama (IV/e) 100

2. Pembina Utama Mad a (IV/d) 80

3. Pembina Utama Muda (IV/c) 60

4. Pembina Tingkat I (IV/b) 40

---------------------------------------------------------------

2. Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan

Pengamatan didasarkan pada Dlkiat Kepemimpinan yang dimiliki.

---------------------------------------------------------------

No Diklat Kepemimpinan Nilai

---------------------------------------------------------------

1. Diklatpim Tk I /SPATI/SESPA 100

2. Diklatpim Tk II /SPAMEN 80

---------------------------------------------------------------

3. Pendidikan

Penilaian didasarkan pads pendidikan formal yang dimiliki.

---------------------------------------------------------------

No. Ijazah Nilai

---------------------------------------------------------------

1. Doktor (S3) 100

2. Magister (S2) 80

3. Sarjana (S1)/D IV 60

---------------------------------------------------------------

4. Riwayat dan Relevansi Jabatan

Dinilai berdasarkan pada banyaknya riwayat Jabatan struktural maupun non struktural, pads unit organisasl yang berbeda.

---------------------------------------------------------------

No. Pernah menduduki Nilai

---------------------------------------------------------------

1. 4 Jabatan struktural Eselon II atau lebih 100

2. 3 jabatan struktural Eselon II 80

3. 2 jabatan struktural Eselon II 60

4. 2 jabatan struktural Eselon II sejenis 40

---------------------------------------------------------------

5. Pendidikan dan Pelatihan Teknis

Pendidikan didasarkan pada Diklat Teknis yang dimfiìk! dengan total jam peiajaran minimal 30 jam.

---------------------------------------------------------------

No. Teknis Nilai

---------------------------------------------------------------

1. 5 kali mengikuti diklat teknis yang berbeda

atau lebih 100

2. 4 kali mengikuti diklat teknis yang berbeda 80

3. 3 kali mengikuti diklat teknis yang berbeda 60

4. 2 kali mengikuti diklat teknis yang berbeda 40

---------------------------------------------------------------

6. Pendidikan dan Pelatihan Fungsional

Pendidikan didasarkan pada Diklat Fungsional yang dimiliki dengan total pelajaran minimal 30 jam.

---------------------------------------------------------------

No. Fungsional Nilai

---------------------------------------------------------------

1. 5 kali mengikuti diklat Fungsional atau lebih 100

2. 4 kali mengikuti diklat Fungsional 80

3. 3 kali mengikuti diklat Fungsional 60

4. 2 kali mengikuti diklat Fungsional 40

---------------------------------------------------------------

B.PENILAIAN PERSYARATAN WAWASAN KEBANGSAAN CALON SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BERDASARKAN PEMBOBOTAN

1. Ruang Lingkup Tour Of Area Dalam Perjalanan Karier

No. Ruang Lingkup Tour Of Area Nilai

1. Dua atau lebih di tingkat Provinsi Pusat 100

2. Tiga atau lebih Kabupaten/Kota dalam satu

Provinsi dan atau Provinsi Lain 80

3. Tiga Kabupaten Kota dalam satu Provinsi 60

4. Dua Kabupaten Kota dalam satu Provinsi 40

5. Hanya dalam satu Kabupaten Kota 20

2.Pengalaman Diklat Dalam Negeri/Luar Negeri Mengenai Wawasan:

a. Manajemen Pemerintahan Umum meliputi substansi pembinaan Pemerintahan Umum, Pengawasan, Kependudukan dan Sumber Daya Aparatur

b. Manajemen Pemerintahan Daerah meliputi substansi Otonomi Daerah, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

No. Jumlah Diklat Dalam Negeri/Luar Negeri Yang Diikuti Nilai

1. Lebih dari 8/Lemhanas (KRA) 100

2. 6 ‑ 8 Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 80

3. 3 ‑ 5 Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 60

4. 1 ‑ 2 Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 40

5. 1 ‑ 2 Dalam Negeri 20

3. Pengalaman Sebagai Penyaji Seminar/Lokakarya/Diskusi Tingkat Regional, Dalam Negeri dan Luar Negeri mengenal wawasan :

a. Manajemen Pemerintahan Umum meliputi substansi pembinaan Pemerintahan Umum, Pengawasan, Kependudukan dan Sumber Daya Aparatur.

b. Manajemen Pemerintahan Daerah meliputi substansi Otonomi Daerah, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

No. Penyaji Seminar/Lokakarya/Diskusi Regional Dalam Nilai

Negeri Dan Luar Negeri

19 atau lebih Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 100

26 ‑ 8 Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 80

33 ‑ 5 Dalam Negeri dan atau Luar Negeri 60

41 ‑ 2 Dalam Negeri 40

Untuk pembobotan penilaian, makalah seminar/bahan yang di sajikan harus disertakan sebagai lampiran biodata.

4. Pokok‑pokok pikiran strategis politik Dalam Negeri

No. Buku/Karya Tulis/Makalah Nilai

1. 5 ‑ 10 Buku/Karya Tulis/Makalah 100

2. 1 ‑ 4 Buku/Karya Tulis/ Makalah 80

C. INSTRUMEN PENILAIAN CALON SEKRETARIS DAERAH PROVINSI

(TIDAK DICANTUMKAN)

LAMPIRAN V.B KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI

NOMOR : 16 Tahun 2003

A. PENILAIAN PERSYARATAN ADMINISTRATIF CALON SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN PEMBOBOTAN

1. Kepangkatan

Pengamatan ini didasarkan pada ketentuan peraturan perundang‑Undangan yang berlaku yakni PP Nomor 100 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 13 Tahun 2002, makin tinggi dan memenuhi syarat pangkat yang dimiliki, makin

tinggi nilainya.

No. Pangkat Golongan Ruang Nilai

1. Pembina Utama Madya (IV/d) 100

2. Pembina Utama Muda (IV/c) 80

3. Pembina Tk. I (IV/b) 60

2. Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan

Pengamatan didasarkan pada Diklat Kepemimpinan yang dimiliki.

No Diklat Kepemimpinan Nilai

1 Diklatpim Tk I Spati Sespa 100

2 Diklatpim Tk II Spamen 80

3 Diklatpim Tk III Spama 60

3. Pendidikan

Penilaian didasarkan pada pendidikan formal yang dimiliki.

No. Ijazah Nilai

1. Doktor S3 100

2. Magister S2 80

3. Sarjana S1 / D IV 60

4. Riwayat dan relevansi jabatan

Dinilai berdasarkan pada banyaknya riwayat Jabatan struktural maupun non struktural, pada unit organisasi yang berbeda.

No. Pernah menduduki Nilai

1. 3 Jabatan struktural Eselon II

atau lebih 100

2. 2 Jabatan struktural Eselon II 80

3. 1 Jabatan struktural Eselon II 60

4. Jabatan struktural Eselon III 40

5. 3 Jabatan struktural Eselon III

sejenis 20

5. Pendidikan dan Pelatihan Teknis

Pendidikan didasarkan pada Diklat Teknis yang dimiliki dengan total pelajaran minimal 30 jam.

No Teknis Nilai

1. 5 kali mengikuti diklat teknis 100

yang berbeda atau leblh

2. 4 kali mengikuti diklat teknis 80

Yang berbeda

3. 3 kali mengikuti diklat teknis 60

Yang berbeda

4. 2 kali mengikuti diklat teknis

yang berbeda 40

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG
WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan salah satu fungsi manajemen kepegawaian dan dalam upaya meningkatkan hubungan antara Pemerintah dengan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, serta untuk mendorong peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai salah satu unsur perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan mengenai wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara 3890);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.

2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

3. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen.

4. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi adalah Gubernur.
5. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota.

6. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan adalah Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di luar instansi induknya yang gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan.

8. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.

9. Golongan ruang adalah golongan ruang gaji pokok sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang gaji Pegawai Negeri Sipil.

10. Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara.

11. Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsi keahlian dan/atau keterampilan untuk mencapai tujuan organisasi.

BAB II
PENGANGKATAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 2

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan:

a. pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya; dan

b. pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya, kecuali yang tewas atau cacat karena dinas.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 3

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi atau Kabupaten/ Kota menetapkan:

a. pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya;

b. pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya, kecuali yang tewas atau cacat karena dinas.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 4

(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah yang tewas atau cacat karena dinas.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan atau memberi kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB III
KENAIKAN PANGKAT

Pasal 5

(1) Presiden menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk menjadi Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d, dan Pembina Utama golongan ruang IV/e setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(2) Kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Presiden, oleh:

a. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi; dan

b. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota melalui Gubernur.

(3) Pengajuan kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tembusannya disampaikan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 6

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 7

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.

(2) Gubernur menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota untuk menjadi Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.

(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 8

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Penata Tingkat I golongan ruang III/d.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendele-gasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

Pasal 9

Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dikecualikan dalam penetapan kenaikan pangkat anumerta dan kenaikan pangkat pengabdian.

Pasal 10

(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan kenaikan pangkat anumerta dan kenaikan pangkat pengabdian bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB IV
PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN
PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN

Pasal 11

Presiden menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, kecuali pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.

Pasal 12

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 13

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan:

a. pengangkatan Sekretaris Daerah Propinsi setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi;

b. pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi;

c. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.

(2) Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, dilakukan setelah berkonsultasi secara tertulis dengan Menteri Dalam Negeri.

(3) Calon Sekretaris Daerah Propinsi yang akan dikonsultasikan untuk diangkat dalam jabatan Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.

(4) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sebelum Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi mengajukan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(5) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan secara tertulis dengan mengajukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang calon dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(6) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (4) disampaikan secara tertulis oleh Menteri Dalam Negeri.

(7) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di Propinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 14

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan:

a. pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

b. pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;

c. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

d. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan jabatan struktural eselon II ke bawah di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota dan pejabat struktural eselon II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilakukan setelah berkonsultasi secara tertulis dengan Gubernur.

(3) Calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota yang akan dikonsultasikan untuk diangkat dalam jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.

(4) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sebelum Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota mengajukan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

(5) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dan pengangkatan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan secara tertulis dengan mengajukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang calon dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(6) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (5) disampaikan secara tertulis oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi.

(7) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota dalam dan dari jabatan struktural eselon IV ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 15

Tata cara konsultasi pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota serta tata cara konsultasi pengangkatan dan pemberhentian pejabat struktural eselon II Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

BAB V
PEMINDAHAN ANTAR INSTANSI

Pasal 16

(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pemindahan:

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat antar Departemen/Lembaga;

b. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Propinsi/Kabupaten/Kota dan Departemen/ Lembaga;

c. Pegawai Negeri Sipil Daerah antar Daerah Propinsi; dan

d. Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Kabupaten/Kota Propinsi lainnya.

(2) Penetapan oleh Badan Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas permintaan dan persetujuan dari instansi yang bersangkutan.

(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya.

Pasal 17

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan pemindahan:

a. Pegawai Negeri Sipil Daerah antar Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi; dan
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi.

(2) Penetapan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan atas permintaan dan persetujuan dari Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang bersangkutan.

(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya.

BAB VI
PEMBERHENTIAN SEMENTARA
DARI JABATAN NEGERI

Pasal 18

Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, kecuali pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.

Pasal 19

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 20

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan:

a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Propinsi;

b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah, dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mende-legasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 21

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan:

a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota;

b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan struktural eselon IV dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

BAB VII
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
ATAU CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 22

Presiden menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d dan Pembina Utama golongan ruang IV/e.

Pasal 23

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan:

a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya; dan

b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah di lingkungannya.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Pusat yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah.

Pasal 24

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan:

a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya; dan

b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah di lingkungannya.

(2) Gubernur menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.

(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungan Propinsi, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi dan Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah.

Pasal 25

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan:

a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya;

b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/ Kota yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah di lingkungannya.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota dan Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Pengatur Tingkat I golongan ruang II/d ke bawah.

Pasal 26

Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 dikecualikan dalam penetapan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas, atau mencapai batas usia pensiun.

Pasal 27

(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pemberhentian dan pemberian pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas, dan mencapai batas usia pensiun.

(2) Penetapan pemberhentian dan pemberian pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk pemberian pensiun janda/duda dalam hal pensiunan Pegawai Negeri Sipil meninggal dunia.

(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberi kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 28

(1) Presiden melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

(2) Untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Presiden dibantu oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(3) Kepala Badan Kepegawaian Negara dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berkoordinasi dengan:

a. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat untuk Instansi Pusat;
b. Gubernur untuk Instansi Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota di wilayahnya.

Pasal 29

Dalam rangka penyelenggaraan dan pemeliharaan manajemen informasi kepegawaian, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah wajib menyampaikan setiap jenis mutasi kepegawaian kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara mengenai pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 30

(1) Pelanggaran atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dapat dikenakan tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:

a. peringatan;
b. teguran;
c. pencabutan keputusan atas pengangkatan, pemindahan, atau pemberhentian.

(3) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

(4) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara, kecuali terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Presiden.

(5) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat mendelegasikan atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk melakukan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kecuali atas keputusan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Kewenangan penjatuhan hukuman disiplin dan penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil serta kewenangan lain dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 32

Pendelegasian wewenang atau pemberian kuasa untuk pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan dengan Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat atau Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33

Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 35

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dinyatakan tidak berlaku.

b. Ketentuan pelaksanaan mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ada sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 36

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Pebruari 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Pebruari 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 15


P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG
WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN,
DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL


I. UMUM

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 antara lain ditegaskan bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil berada pada Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Sesuai dengan Pasal 25 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Presiden. Untuk kelancaran pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan menyerahkan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut di atas, maka perlu menyempurnakan kembali ketentuan mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Untuk kepentingan kedinasan dan sebagai salah satu usaha untuk memperluas pengalaman, wawasan, dan kemampuan, maka diadakan perpindahan jabatan, tugas, dan wilayah kerja bagi Pegawai Negeri Sipil terutama bagi yang menjabat pimpinan dengan tidak merugikan hak kepegawaiannya.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang antara lain menegaskan bahwa untuk dapat lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, maka sistem pembinaan karier yang harus dilaksanakan adalah sistem pembinaan karier tertutup dalam arti negara.

Dengan sistem karier tertutup dalam arti negara, maka dimungkinkan perpindahan Pegawai Negeri Sipil dari Departemen/Lembaga/Propinsi/Kabu-paten/Kota yang satu ke Departemen/Lembaga/Propinsi/Kabupaten/Kota yang lain atau sebaliknya, terutama untuk menduduki jabatan-jabatan yang bersifat manajerial. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh Pegawai Negeri Sipil merupakan satu kesatuan, hanya tempat pekerjaannya yang berbeda.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mekanisme konsultasi pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota serta pejabat struktural eselon II pada Kabupaten/Kota kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi. Pengaturan mekanisme konsultasi ini dimaksudkan dalam rangka mewujudkan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil secara nasional dan menjamin kesetaraan kualitas sumber daya manusia aparatur agar sesuai dengan persyaratan jabatan.

Dalam Peraturan Pemerintah ini juga diberikan kewenangan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil Daerah secara berjenjang khususnya pembinaan karier kenaikan pangkatnya. Dengan demikian tetap terdapat hubungan yang sinergi antara Pemerintah dengan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota.

Pada prinsipnya pembinaan kenaikan pangkat dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induk. Namun demikian, dalam hal terdapat Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di luar instansi induknya, maka gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi yang menerima perbantuan.

Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di luar instansi induknya, maka gajinya tetap menjadi beban instansi induknya dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induknya.

Sebagai pelaksanaan ketentuan dimaksud serta untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu diatur dan ditetapkan kembali pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil.

Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil oleh pejabat yang berwenang harus dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini yang merupakan norma, standar, dan prosedur dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.


II.PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas


Pasal 2

Ayat (1)

Dalam hal pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kesekretariatan lembaga kepresidenan, Pejabat Pembina Kepegawaiannya adalah Sekretaris Negara. Pada saat ini, kesekretariatan lembaga kepresidenan dimaksud yaitu Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Presiden, Sekretariat Militer, dan Sekretariat Wakil Presiden.
Dengan ketentuan ini, maka kesekretariatan lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, misalnya Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berwenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya masing-masing.
Penjelasan ini berlaku selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang terkait.

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Gubernur dalam mengajukan usul kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Gubernur dalam menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 9

Cukup jelas


Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 11

Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan jabatan struktural eselon I antara lain Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Jabatan lain yang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden antara lain Hakim dan Panitera Mahkamah Agung.


Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Menteri Dalam Negeri menyampaikan keputusan hasil konsultasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi berdasarkan pertimbangan dari Tim yang antara lain terdiri dari unsur Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Negara.

Ayat (7)

Cukup jelas


Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukuip jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menyampaikan keputusan hasil konsultasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Instansi Daerah Propinsi.

Ayat (7)

Cukup jelas


Pasal 15

Cukup jelas


Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 18

Cukup jelas


Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 22

Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/dudanya.
Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena:
a. atas permintaan sendiri;
b. meninggal dunia;
c. hukuman disiplin;
d. perampingan organisasi pemerintah;
e. menjadi anggota partai politik;
f. dipidana penjara;
g. dinyatakan hilang;
h. keuzuran jasmani;
i. cacat karena dinas;
j. tewas;
k. mencapai batas usia pensiun.


Pasal 23

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.
Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena:
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.
Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena:
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.
Gubernur dalam menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 25

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.
Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena:
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 26

Cukup jelas


Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam menetapkan keputusan pemberhentian dan pemberian pensiun yang dimaksud dalam ketentuan ini, sekaligus ditetapkan pemberian pensiun janda/dudanya.

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Mekanisme pengawasan dan pengendalian administrasi kepega-waian dan karier pegawai di wilayah Propinsi diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.


Pasal 29

Cukup jelas


Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Keputusan pencabutan atas pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak berlaku surut.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas


Pasal 31

Cukup jelas


Pasal 32

Pejabat yang diberi delegasi wewenang untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, menandatangani surat keputusan tersebut untuk atas namanya sendiri, tidak atas nama pejabat yang memberi delegasi wewenang.
Pejabat yang diberi delegasi wewenang dapat memberi kuasa kepada pejabat lain.
Pejabat yang diberi kuasa untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, menandatangani surat keputusan tersebut tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan.
Pejabat yang diberi kuasa untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dimaksud, tidak dapat memberikan kuasa lagi kepada pejabat lain.


Pasal 33

Cukup jelas


Pasal 34

Cukup jelas


Pasal 35

Cukup jelas


Pasal 36

Cukup jelas




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4263

»»  Baca Selengkapnya...