NEGARA HARUS KELUAR DARI “JEBAKAN PAHAM LIBERALISME”
Mengapa tak membuat
“Arisan Nasional”
Oleh; Turiman Fachturahman Nur
HP 08125695414
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id
Negara “terjebak” Paham Ekonomi
Liberal”
Sebuah catatan menarik dibalik
kenaikan BBM 2013, yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
menilai pemerintah lebih menjaga citra di mata dunia Internasional dibanding
memperhatikan nasib warganya. Hal ini diungkapkan setelah melihat data
penyaluran dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar
Rp 9,3 triliun.
Menurut Direktur Investigasi dan
Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi, dana BLSM jauh di bawah dana yang dibayarkan
Indonesia pada lembaga moneter internasional (IMF) sebagai penyertaan modal
sekitar Rp 38,1 triliun. Dana sebesar itu digunakan pemerintah untuk kenaikan
kuota suara keanggotaan Indonesia di lembaga tersebut. "Pemerintah lebih
peduli dan memberikan 'karpet merah' kepada IMF daripada orang-orang
miskin," dalam keterangan tertulis yang diterima merdeka.com di Jakarta,
Minggu (16/6).
Pemerintah melalui surat Menteri
Keuangan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012 tertanggal 12 april 2013,
akan tetap membayar kenaikan kuota ke 14 ini. Saat Ini, pemerintah c.q.
Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) sedang melakukan
revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi dasar hukum bagi bank sentral untuk
melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut.
Pelaksanaan Revisi PP No.1 Tahun
1967 telah mendapat persetujuan presiden, sesuai dengan surat menteri
sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/2012 tanggal 23 Juli 2012
dan pernyataan BI mengejutkan, bahwa "Pembayaran
kouta ke 14 sebesar Rp 38,1 triliun akan dilakukan oleh BI dengan menggunakan
cadangan devisa dan tidak akan membebani APBN,"
Pembayaran
kepada IMF adalah anggaran siluman karena belum mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Jika hal ini tetap dilaksanakan, berarti pemerintah dinilai sengaja
menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan anggota dewan atas
pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Ini artinya "Pemerintah juga telah
membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF" Jika pembayaran itu tetap dilaksanakan, maka
pemerintah sengaja menginjak-nginjak hak budget DPR. Sebab mereka tidak meminta
persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selain itu,
pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF dan kegengsian semata dalam
pergaulan internasional dengan mendapatkan kuota ke 14
Walaupun belum ada pembayaran melalui APBN, tetapi pemerintah
melalui surat menteri keuangaan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012
tertanggal 12 april 2013, akan tetap membayar kenaikan kuota ke 14 ini.
Dimana pembayaran kouta ke 14 sebesar Rp.38.1 Triliun akan dilakukan oleh BI
dengan menggunakan cadangan divisa. Dan penggunaan cadangaan divisa untuk
membayar sebesar Rp 38.1 Triliun kepada IMF. Menurut versi pemerintah tidak
akan membebani APBN. Dan, saat ini pemerintah c.q. Kementerian keuangaan
bekerjasama dengan BI sedang melakukan revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi
dasar hukum bagi BI untuk melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut.
Pelaksanaan Revisi PP no.1 Tahun 1967 telah mendapat persetujuan presiden,
sesuai dengan surat menteri sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/ 2012 tanggal
23 Juli 2012.
Dari gambaran diatas, mengkonfirmasikan kepada publik bahwa
pembayaran sebesar Rp.38.1 Triliun ke IMF adalah anggaran siluman karena belum
mendapat persetujuan dari DPR. Kalau hal ini tetap dilaksanakan, berarti
Pemerintah sengaja menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan
anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selanjut, pemerintah
juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingaan IMF, dan demi
gaya gengsi-gengsian dalam pergaulan International hanya untuk mendapatkan
kuota ke 14 saja dan Negara dalam ha ini
DPR dan Pemerintah elah “Terjebak paham Ekonomi Liberal”
Berdasarkan data Koalisi Anti
Utang (KAU), dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), menyebutkan
penyertaan modal pemerintah tidak hanya kepada IMF tapi juga kepada lembaga
keuangan internasional yang lain, misalnya ADB, Bank Dunia. Penyertaan Modal
Pemerintah Indonesia dalam rangka keanggotaan pada beberapa organisasi atau
lembaga keuangan internasional atau regional baik yang telah disetor maupun
yang masih dalam bentuk promissory notes.
Jumlah penyertaan modal
pemerintah pada tahun 2010 mencapai Rp 34,65 triliun (LKPP 2010), meningkat
sebesar Rp 840 miliar dalam satu tahun menjadi Rp 35,49 triliun (LKPP 2011),
kemudian meningkat lagi sebesar Rp 1,21 triliun menjadi Rp 36,70 triliun (Juni
2012, LKPP semester I 2012). Dari total Rp 36,70 triliun pada tahun 2012, porsi
penyertaan modal pemerintah kepada IMF merupakan yang terbesar sejumlah Rp 25,8
triliun.
Pemerintah
terpaksa “Mati Rasa”
Membaca cerdasr tehadap penyertaan modal pemerintah
Indonesia kepada IMF sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keanggotaan
Indonesia di lembaga tersebutRentetan
peristiwa realita didalam kehidupan semakin nyata mendera siapa saja. peristiwa
sosial ekonomi, lingkungan dan berbagai peristiwa politik kian merajai setiap
detik sendi kehidupan yang lupa atau sengaja lupa dengan sebuah rasa.
Peristiwa kenaikan BBM akan
berlnajut, dan harus dimaknai sebagai peristiwa dan carut marut yang menyentak
terhadap keberadaan sosial ekonomi dan berbagai rentetan peristiwa lainnya
seakan menjadi satu terkait situasi saat ini yang tanpaknya sudah mulai lupa
atau sengaja lupa dengan sebuah gambaran tentang “mati rasa”. Persoalan ini
muncul sebuah “mati rasa” Pemerintah
yang “harus terpaksa mengambil kebijakan yang sebenarnya telah menjebak dirinya
sendiri, yaki ketika rasa keadilan,
kenyamanan, menjadi realita sosial saat ini. Keadaan sosial struku ekonomi
masyarakat dengan bermacam ragam kondisi, persoalan dan janji-janji yang
menyertai peristiwa politik semakin sering terjadi dan terus akan bergulir
menjadi sekelumit beban kaum terpinggirkan dan kebanyakan masyarakat dikalangan
“akar rumput”.
Menadi jelaslah, bahwa realitas
sosial berbicara, kebijakan para petinggi terkadang banyak yang tidak
berbanding lurus dengan makna keadilan social bagi seluruh rakat Indonesia.
Coba perhatikan, berapa banyak masyarakat mengeluhkan, tidak mampu, tidak
berdaya dan pasrah dengan keadaan yang terjadi. Melambunnya harga kebutuhan
sehari-hari melonjak selangit dan semakin meroket bias dari kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM). Hanya terbatas itukah, tertanyata tidak hanya itu,
teriak, jerit tangis dan situasi yang tidak kunjung henti menerpa. Dimana letak
sebuah rasa keadilan, demokrasi, kejujuran seakan tidak memiliki nilai lagi di
negeri ini. Apapun yang diargumnetasi dan dengan dalih apapun dengan kenaikan
harga BBM masih mencari korelasi antara kenaikan BBM dengan subsidi bantuan
BLSM. Sebuah kesadaran kolektif menghujam, bahwa ternyata bantuaan tersebut
tidaklah sebanding dengan kebutuhan masyarakat saat ini, uang Rp.150.000
dianggap tidak sebanding dengan harga dan kebutuhan saat ini. Bahkan, ada benarnya
dari masyarakat mengatakan bahwa uang bantuan tersebut hanya bisa untuk
memenuhi kebutuhan hanya satu minggu saja. memang, kesannya dan pesan yang
terkemas adalah pemerintah begitu baik dengan membantu masyarakat, namun
sesungguhnya sebuah dilemma baru yang harus diterima terpaksa.
Dibalik ini ada sebuah
pertanyaan terselip dari fakta ini, pertanyaan yang seharusnya menjadi renungan bersama:
Pertama, Saat ini “Negara”,
tanpaknya, lupa dengan realita yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat.
Bayangkan saja, bunyi dari sila ke lima Pancasila. “Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”, pertanyaannya benar sudah adil kah?. Dibagian Timur Indonesia
“Seorang teman bergumam nun jauh dari Papua berkata; Uang BLSM sebesar Rp
150.000 bagi mereka hanya cukup untuk membeli gula-gula (jajanan anak mereka). “
Realita ini akan memunculkan kesadaran
kolektif, bahwa resiko bernegara dengan sentralistik, dan resiko jangkauan,
jarak, sarana transportasi menjadi faktor mengapa harga begitu sangat mahal di
wilayah-wilayah yang sulit di jangkau seperti di Papua, Kalimantan dan mungkin
juga terjadi di daerah-daerah lainnya di tanah air. Apakah “luar Jawa harus
menghidupi pulau Jawa”, karena selama ini menyetor kepusat eih besar, sedangkan
yang dkembalikan diukur jumlah penduduk”. Pemberian subsidi BLSM juga terkesan
memanjakan namun sejatinya sebagai sebuah senjata boomerang perang ketika
pemerataan yang berhak mendapatkan subsidi malah luput dari bantuan tersebut. Apaka ni juga sudah mematikan rasa ! atau sudah adil kah ini?.
Kedua, Ada “penyakit” mata rasa”
karena sengaja lupa dapat dikatakan hampir-hampir terjadi dan mungkin saja
terjadi disemua lini pengambil keputusan. Mengapa demikian?. Lihat saja, kita “dihadapkan
dengan realitas yang mati rasa”, betapa seringnya kita dipertontonkan dengan
pola prilaku tatanan kehidupan yang mengelitik, menyeruak dan menjadi fenomena
baru setiap hari. Ada sebuah perlombaan yang asat mata, yakni berlomba menjadi
para penguasa dan menjadi wakil rakyat tidak kunjung henti dan selalu menjadi
isu-isu terseksi di ranah politik Versus masyarakat yang semakin melarat,
sekarat tidak berdaya karena situasi dan keadaan. Hal ini akan menimbulkan
sebuah kesadaran kolektif “ada duit ada suara” atau “kami sipa menrima
serangan fajar” diaknitkan, karena janji
untuk membela kaum akar rumput tinggal sebuah janji seakan hilang tidak
berbekas dikala telah dan sudah duduk manis menjadi wakil rakyat baik di
tingkat pusat maupun di daerah. Ibarat teriakan dan jerit tangis seolah menjadi
pribahasa anjing menggonggong kafilah berlalu. Ada lagi kesadaran kolektif yang
“mati rasa dan terpaksa”, yakni bagi-bagi rejeki tidak halal tidak kunjung
berhenti terjadi di setiap sudut, ruang terbuka dan tertutup, para penjelma
penguasa tanpa ragu dan malu.
Ketiga, Secara semotika ada bahasa
baru tentang “mati rasa” adalah siapa yang berkuasa dan siapa yang berjaya maka
dia menguasai seluruh penjuru negeri. Ini juga akan menimbulkan kesadaran
kolektif, yakni, penguasa begitu berjaya dengan segala kelimpahan, dengan
segala harta dan tahta menggerus menjerumus kaum terpinggirkan, tetapi tak
mampu melawan. Ada selogan yang sering menggema dan selalu menjadi tameng,
mensejahterakan masyarakat, menyiapkan lapangan pekerjaan, memanfaatkan
kekayaan alam untuk kemakmuran dan mengurangi angka kemiskinan serta
memberdayakan masyarakat agar mandiri. Pertanyaannya benarkah seperti itu kah?.
Bandingkan dengan cerita dan berita dan fakta yang ada, hamparan rimbunnya
hutan berganti padang gersang, berubah dan di sulap menjadi berhektar-hektar
perkebunan kelapa sawit dan selanjutnya juga pertambangan.
Argumenpun dibangun, ini
semua untuk mensejahterakan, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan
memberikan lapangan pekerjaan. Tetapi faktanya sesungguhnya, tidak sedikit
masyarakat menjerit kesakitan, terhimpit dan terjepit dengan persoalan ini.
Kelimpahan dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir saja, sisanya
menjadi kuli di negeri sendiri. Jeritanpun terjadi dikala bencana tiba mendera,
para penguasa sibuk dengan segala bantuan dan blusukan dan mencoba mencoba atau
pura-pura mencari solusi. Demikian juga menjelang ingin mencalonkan menjadi
petinggi para penguasa.
Matirasa itu dikemas dengan
sederhana, bahwa jerih payah, upaya, langkah, solusi, fenomena dan realita
terlampau menjadi sebuah pertentangan yang tidak ada akhir dikala semua tidak
lagi selaras dan seiring sejalan. Apakah sudah semakin kendurnya nilai,
penghargaan terhadap semua dan sesama, sudah semakin seringnya menelik telinga rakyat, bahwa umbar-umbar janji menjadi kekuasaan semu bagi
realisasi bersama, keadilan dan pemerataan hanya terbatas pada elit-elit,
kekurangan dan keterbatasan terus menerpa para rakyat jelata yang terus didera
dan menderita, kebijakan menjadi harga mati dan membuat mati rasa bagi semua
yang menderita dan sengsara.
Kondisi ini hampir sudah
pasti, lupa atau sengaja lupa dan menjadi penyakit “matirasa” mengelilingi
negeri ini. Masyarakat hanya berdoa semoga saja ada ada obat racikan baru bagi
para semua yang lupa, sengaja lupa dengan penyakit “matirasa”, apakah konsep Negara
ini perlu install ulang atau cukup dilakukan dengan anti virus “matirasa”.
Kebijakan Khas Indonesia
untuk keluar dari jeratan Liberalisme
Berita Pemerintah menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Premium naik Rp2.000 menjadi Rp6.500 per liter dan
harga solar naik Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter.
Seiring kenaikan ini pemerintah akan menyiapkan
15,5 juta kartu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin penerima Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Seperti yang dilansir media massa,
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Armida Alisjahbana
akan membagikan 15,5 juta kartu tersebut ke rumah tangga yang mendapatkan dana
kompensasi BBM.
Kartu khusus ini akan dicetak dan
dibagikan kepada semua masyarakat yang berhak mendapatkan dana kompensasi.
Kartu ini akan digunakan untuk mendapatkan bantuan, baik Beras untuk Rakyat
Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH),
dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Saat ini kartu pembagian
kompensasi itu masih dalam proses percetakan dan akan dibagikan saat pemerintah
mulai menyalurkan dana kompensasi.
Siapakah yang menjadi koordinator keseluruhan
dalam pembagian dana kompensasi ini, berdasarkan kewenangannya maka menteri
koordinator bidang kesejahteraan rakyat (menko kesra). Program bantuan sosial
ini akan terus berlanjut hingga 2014, kecuali program khusus seperti BLSM yang
rencananya cukup dilaksanakan empat sampai lima bulan pascakenaikan harga BBM.
Terkait dana kompensasi harga BBM, pemerintah mengusulkan dana kompensasi
kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini sebesar Rp30,1 triliun. Jumlah tersebut
melonjak dari perkiraan semula yang hanya Rp20 triliun.
Hingga saat ini, pemerintah sudah mendistribusikan 5 juta kartu
perlindungan sosial dari 15,5 juta yang ditargetkan. Kartu itu, akan siap
hingga akhir Juni mendatang dan pembagian dana tahap pertama akan selesai pada
Juli mendatang.
Bagaimana bagi
warga apabila, warga terkait berhalangan hadir bisa diwakili oleh anggota
keluarga dengan menunjukkan surat kuasa, KTP, kartu keluarga atau kartu
domisili. Apabila terus berhalangan, pemerintah memberi waktu hingga tanggal 2
Desember 2013 untuk diambil jatahnya.
Pemerintah begitu yakin, bahwa pembagian dana ini tidak akan terjadi
penyimpangan seperti ada oknum yang mencoba mengambil dana BLSM
lebih dari sekali. Ada kebijakan dengan melengkapi kartu dengan barcode, jadi akan terdata langsung jika
diambil. Ia tidak bisa mengambil lebih dari hak-nya
Inilah sebuah
gambaran, bahwa “kebijakan yang tersentralisir” sehingga semua daerah provinsi,
kabupaten/kota harus measakan apa yang diambil oleh “elit birokrasi pemerintah
pusat”. Hanya menjadi kuatir, “kelas menengah dan akademisi cerdas akan
berpikir ulang, atau timbul kesadaranh kolektif apakah kebijakan yang
sentralistik ini sebuah resiko NKRI, karena ketakutan terhadap bentuk negara Republik
Indonesia menjadi federal kembali”, masihkah para walikota/bupati atau gubernur
yang dipilih oleh rakyat daerah berani melawan kebijakan “mati rasa” dari
negara atau ikut-ikut matirasa.
Mengapa tidak
terpikirkan untuk membangun “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
sebagai salah satu wujud implementasi sila
kelima Pancasila, maka negara ini mengambil kebijakan untuk arisan nasional, setiap provinsi setor
2 milyar dan cabut undi untuk pertama kali di Istana negara dan seterusnya
dipusatkan disatu provinsi dan dikaitkan dengan pameran produksi daerah
ditempat provinsi yang menjadi tuan rumah arisan nasional dan setiap cabut
undi ada lima provinsi yang dapat dan
buat aturan kebijakan oleh Presiden yang tegas, bahwa uang tersebut hanya diperuntukan
membangun infra strukur daerah, diluar itu berarti tindakan “mengkhianati
rakyat”, sehingga jiwa gotong royong terbangun, bahwa kita masih NKRI, jika ada 33 Provinsi, maka bagi lima (5), maka
lima tahun kebijakan arisan nasional ini diadakan ada sekian proyek infra
strukur di daerah yang terbangun dari kebijakan “ndeso” ini, maka pikiran
kolektif untuk mengatakan “ketidak adilan antara jawa dan luar jawa akan semakin
redup. Jika di desa, di kota ada arisan masyarakat, mengapa negara tak bisa bikin
“arisan nasional” untuk membangun negara ini sebagai salah satu implementasi kongkrit sila kelima
dari Pancasila dan memperekat Bhinneka
Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kebangsaan Indonesia, itulah makna
persatuan Indonesia, bukan persatuan “mati rasa” untuk rakyat Indonesia.