Senin, 24 Juni 2013

NEGARA HARUS KELUAR DARI “JEBAKAN PAHAM LIBERALISME” Mengapa tak membuat “Arisan Nasional”


      NEGARA HARUS KELUAR DARI “JEBAKAN PAHAM LIBERALISME”
                            Mengapa tak membuat “Arisan Nasional”

Oleh; Turiman Fachturahman Nur
HP 08125695414
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

Negara “terjebak” Paham Ekonomi Liberal”
Sebuah catatan menarik dibalik kenaikan BBM 2013, yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pemerintah lebih menjaga citra di mata dunia Internasional dibanding memperhatikan nasib warganya. Hal ini diungkapkan setelah melihat data penyaluran dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 9,3 triliun.
Menurut Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi, dana BLSM jauh di bawah dana yang dibayarkan Indonesia pada lembaga moneter internasional (IMF) sebagai penyertaan modal sekitar Rp 38,1 triliun. Dana sebesar itu digunakan pemerintah untuk kenaikan kuota suara keanggotaan Indonesia di lembaga tersebut. "Pemerintah lebih peduli dan memberikan 'karpet merah' kepada IMF daripada orang-orang miskin," dalam keterangan tertulis yang diterima merdeka.com di Jakarta, Minggu (16/6).
Pemerintah melalui surat Menteri Keuangan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012 tertanggal 12 april 2013, akan tetap membayar kenaikan kuota ke 14 ini. Saat Ini, pemerintah c.q. Kementerian Keuangan bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) sedang melakukan revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi dasar hukum bagi bank sentral untuk melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut.
Pelaksanaan Revisi PP No.1 Tahun 1967 telah mendapat persetujuan presiden, sesuai dengan surat menteri sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/2012 tanggal 23 Juli 2012 dan pernyataan BI  mengejutkan, bahwa "Pembayaran kouta ke 14 sebesar Rp 38,1 triliun akan dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan devisa dan tidak akan membebani APBN,"
Pembayaran kepada IMF adalah anggaran siluman karena belum mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika hal ini tetap dilaksanakan, berarti pemerintah dinilai sengaja menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Ini artinya "Pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF" Jika pembayaran itu tetap dilaksanakan, maka pemerintah sengaja menginjak-nginjak hak budget DPR. Sebab mereka tidak meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selain itu, pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingan IMF dan kegengsian semata dalam pergaulan internasional dengan mendapatkan kuota ke 14
Walaupun belum ada pembayaran melalui APBN, tetapi pemerintah melalui surat menteri keuangaan kepada Gubernur BI Nomor S-303/MK.01/2012 tertanggal 12 april 2013, akan tetap  membayar kenaikan kuota ke 14 ini. Dimana pembayaran kouta ke 14 sebesar Rp.38.1 Triliun akan dilakukan oleh BI dengan menggunakan cadangan divisa. Dan penggunaan cadangaan divisa untuk membayar sebesar Rp 38.1 Triliun kepada IMF. Menurut versi pemerintah tidak akan membebani APBN. Dan, saat ini pemerintah c.q. Kementerian keuangaan bekerjasama dengan BI sedang melakukan revisi PP No.1 tahun 1967, guna menjadi dasar hukum bagi BI untuk melakukan pembayaran atas kenaikan kuota tersebut. Pelaksanaan Revisi PP no.1 Tahun 1967 telah mendapat persetujuan presiden, sesuai dengan surat menteri sekretaris negara Nomor B-958/M.Sesneg/D-4/PU.02/07/2012 tanggal 23 Juli 2012.
Dari gambaran diatas, mengkonfirmasikan kepada publik bahwa pembayaran sebesar Rp.38.1 Triliun ke IMF adalah anggaran siluman karena belum mendapat persetujuan dari DPR. Kalau hal ini tetap dilaksanakan, berarti Pemerintah sengaja menginjak-injak hak budget DPR tanpa mau meminta persetujuan anggota dewan atas pembayaran kenaikan kuota ke 14 ini. Selanjut, pemerintah juga telah membajak cadangan devisa negara untuk kepentingaan IMF, dan demi gaya gengsi-gengsian dalam pergaulan International hanya untuk mendapatkan kuota ke 14 saja  dan Negara dalam ha ini DPR dan Pemerintah elah “Terjebak paham Ekonomi Liberal”
Berdasarkan data Koalisi Anti Utang (KAU), dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), menyebutkan penyertaan modal pemerintah tidak hanya kepada IMF tapi juga kepada lembaga keuangan internasional yang lain, misalnya ADB, Bank Dunia. Penyertaan Modal Pemerintah Indonesia dalam rangka keanggotaan pada beberapa organisasi atau lembaga keuangan internasional atau regional baik yang telah disetor maupun yang masih dalam bentuk promissory notes.
Jumlah penyertaan modal pemerintah pada tahun 2010 mencapai Rp 34,65 triliun (LKPP 2010), meningkat sebesar Rp 840 miliar dalam satu tahun menjadi Rp 35,49 triliun (LKPP 2011), kemudian meningkat lagi sebesar Rp 1,21 triliun menjadi Rp 36,70 triliun (Juni 2012, LKPP semester I 2012). Dari total Rp 36,70 triliun pada tahun 2012, porsi penyertaan modal pemerintah kepada IMF merupakan yang terbesar sejumlah Rp 25,8 triliun.

 
 Pemerintah terpaksa “Mati Rasa”
Membaca  cerdasr tehadap penyertaan modal pemerintah Indonesia kepada IMF sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di lembaga tersebutRentetan peristiwa realita didalam kehidupan semakin nyata mendera siapa saja. peristiwa sosial ekonomi, lingkungan dan berbagai peristiwa politik kian merajai setiap detik sendi kehidupan yang lupa atau sengaja lupa dengan sebuah rasa.
Peristiwa kenaikan BBM akan berlnajut, dan harus dimaknai sebagai peristiwa dan carut marut yang menyentak terhadap keberadaan sosial ekonomi dan berbagai rentetan peristiwa lainnya seakan menjadi satu terkait situasi saat ini yang tanpaknya sudah mulai lupa atau sengaja lupa dengan sebuah gambaran tentang “mati rasa”. Persoalan ini muncul  sebuah “mati rasa” Pemerintah yang “harus terpaksa mengambil kebijakan yang sebenarnya telah menjebak dirinya sendiri, yaki  ketika rasa keadilan, kenyamanan, menjadi realita sosial saat ini. Keadaan sosial struku ekonomi masyarakat dengan bermacam ragam kondisi, persoalan dan janji-janji yang menyertai peristiwa politik semakin sering terjadi dan terus akan bergulir menjadi sekelumit beban kaum terpinggirkan dan kebanyakan masyarakat dikalangan “akar rumput”.
Menadi jelaslah, bahwa realitas sosial berbicara, kebijakan para petinggi terkadang banyak yang tidak berbanding lurus dengan makna keadilan social bagi seluruh rakat Indonesia. Coba perhatikan, berapa banyak masyarakat mengeluhkan, tidak mampu, tidak berdaya dan pasrah dengan keadaan yang terjadi. Melambunnya harga kebutuhan sehari-hari melonjak selangit dan semakin meroket bias dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hanya terbatas itukah, tertanyata tidak hanya itu, teriak, jerit tangis dan situasi yang tidak kunjung henti menerpa. Dimana letak sebuah rasa keadilan, demokrasi, kejujuran seakan tidak memiliki nilai lagi di negeri ini. Apapun yang diargumnetasi dan dengan dalih apapun dengan kenaikan harga BBM masih mencari korelasi antara kenaikan BBM dengan subsidi bantuan BLSM. Sebuah kesadaran kolektif menghujam, bahwa ternyata bantuaan tersebut tidaklah sebanding dengan kebutuhan masyarakat saat ini, uang Rp.150.000 dianggap tidak sebanding dengan harga dan kebutuhan saat ini. Bahkan, ada benarnya dari masyarakat mengatakan bahwa uang bantuan tersebut hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hanya satu minggu saja. memang, kesannya dan pesan yang terkemas adalah pemerintah begitu baik dengan membantu masyarakat, namun sesungguhnya sebuah dilemma baru yang harus diterima terpaksa.  
Dibalik ini ada sebuah pertanyaan terselip dari fakta ini, pertanyaan yang seharusnya menjadi  renungan bersama:
Pertama, Saat ini “Negara”, tanpaknya, lupa dengan realita yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat. Bayangkan saja, bunyi dari sila ke lima Pancasila. “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, pertanyaannya benar sudah adil kah?. Dibagian Timur Indonesia “Seorang teman bergumam nun jauh dari Papua berkata; Uang BLSM sebesar Rp 150.000 bagi mereka hanya cukup untuk membeli gula-gula (jajanan anak mereka). “ Realita ini akan memunculkan kesadaran  kolektif, bahwa resiko bernegara dengan sentralistik, dan resiko jangkauan, jarak, sarana transportasi menjadi faktor mengapa harga begitu sangat mahal di wilayah-wilayah yang sulit di jangkau seperti di Papua, Kalimantan dan mungkin juga terjadi di daerah-daerah lainnya di tanah air. Apakah “luar Jawa harus menghidupi pulau Jawa”, karena selama ini menyetor kepusat eih besar, sedangkan yang dkembalikan diukur jumlah penduduk”. Pemberian subsidi BLSM juga terkesan memanjakan namun sejatinya sebagai sebuah senjata boomerang perang ketika pemerataan yang berhak mendapatkan subsidi malah luput dari bantuan tersebut.  Apaka ni juga sudah mematikan  rasa ! atau sudah adil kah ini?.
Kedua, Ada “penyakit” mata rasa” karena sengaja lupa dapat dikatakan hampir-hampir terjadi dan mungkin saja terjadi disemua lini pengambil keputusan. Mengapa demikian?. Lihat saja, kita “dihadapkan dengan realitas yang mati rasa”, betapa seringnya kita dipertontonkan dengan pola prilaku tatanan kehidupan yang mengelitik, menyeruak dan menjadi fenomena baru setiap hari. Ada sebuah perlombaan yang asat mata, yakni berlomba menjadi para penguasa dan menjadi wakil rakyat tidak kunjung henti dan selalu menjadi isu-isu terseksi di ranah politik Versus masyarakat yang semakin melarat, sekarat tidak berdaya karena situasi dan keadaan. Hal ini akan menimbulkan sebuah kesadaran kolektif “ada duit ada suara” atau “kami sipa menrima serangan  fajar” diaknitkan, karena janji untuk membela kaum akar rumput tinggal sebuah janji seakan hilang tidak berbekas dikala telah dan sudah duduk manis menjadi wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun di daerah. Ibarat teriakan dan jerit tangis seolah menjadi pribahasa anjing menggonggong kafilah berlalu. Ada lagi kesadaran kolektif yang “mati rasa dan terpaksa”, yakni bagi-bagi rejeki tidak halal tidak kunjung berhenti terjadi di setiap sudut, ruang terbuka dan tertutup, para penjelma penguasa tanpa ragu dan malu.
Ketiga, Secara semotika ada bahasa baru tentang “mati rasa” adalah siapa yang berkuasa dan siapa yang berjaya maka dia menguasai seluruh penjuru negeri. Ini juga akan menimbulkan kesadaran kolektif, yakni, penguasa begitu berjaya dengan segala kelimpahan, dengan segala harta dan tahta menggerus menjerumus kaum terpinggirkan, tetapi tak mampu melawan. Ada selogan yang sering menggema dan selalu menjadi tameng, mensejahterakan masyarakat, menyiapkan lapangan pekerjaan, memanfaatkan kekayaan alam untuk kemakmuran dan mengurangi angka kemiskinan serta memberdayakan masyarakat agar mandiri. Pertanyaannya benarkah seperti itu kah?. Bandingkan dengan cerita dan berita dan fakta yang ada, hamparan rimbunnya hutan berganti padang gersang, berubah dan di sulap menjadi berhektar-hektar perkebunan kelapa sawit dan selanjutnya juga pertambangan.
Argumenpun dibangun, ini semua untuk mensejahterakan, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan memberikan lapangan pekerjaan. Tetapi faktanya sesungguhnya, tidak sedikit masyarakat menjerit kesakitan, terhimpit dan terjepit dengan persoalan ini. Kelimpahan dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir saja, sisanya menjadi kuli di negeri sendiri. Jeritanpun terjadi dikala bencana tiba mendera, para penguasa sibuk dengan segala bantuan dan blusukan dan mencoba mencoba atau pura-pura mencari solusi. Demikian juga menjelang ingin mencalonkan menjadi petinggi para penguasa.
Matirasa itu dikemas dengan sederhana, bahwa jerih payah, upaya, langkah, solusi, fenomena dan realita terlampau menjadi sebuah pertentangan yang tidak ada akhir dikala semua tidak lagi selaras dan seiring sejalan. Apakah sudah semakin kendurnya nilai, penghargaan terhadap semua dan sesama, sudah semakin seringnya menelik  telinga rakyat, bahwa  umbar-umbar janji menjadi kekuasaan semu bagi realisasi bersama, keadilan dan pemerataan hanya terbatas pada elit-elit, kekurangan dan keterbatasan terus menerpa para rakyat jelata yang terus didera dan menderita, kebijakan menjadi harga mati dan membuat mati rasa bagi semua yang menderita dan sengsara.
Kondisi ini hampir sudah pasti, lupa atau sengaja lupa dan menjadi penyakit “matirasa” mengelilingi negeri ini. Masyarakat hanya berdoa semoga saja ada ada obat racikan baru bagi para semua yang lupa, sengaja lupa dengan penyakit “matirasa”, apakah konsep Negara ini perlu install ulang atau cukup dilakukan dengan anti virus “matirasa”.

Kebijakan Khas Indonesia untuk keluar dari jeratan Liberalisme
          Berita Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Premium naik Rp2.000 menjadi Rp6.500 per liter dan harga solar naik Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter.
         Seiring kenaikan ini pemerintah akan menyiapkan 15,5 juta kartu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Seperti yang dilansir media massa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Armida Alisjahbana akan membagikan 15,5 juta kartu tersebut ke rumah tangga yang mendapatkan dana kompensasi BBM.
          Kartu khusus ini akan dicetak dan dibagikan kepada semua masyarakat yang berhak mendapatkan dana kompensasi. Kartu ini akan digunakan untuk mendapatkan bantuan, baik Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Saat ini kartu pembagian kompensasi itu masih dalam proses percetakan dan akan dibagikan saat pemerintah mulai menyalurkan dana kompensasi.
          Siapakah yang menjadi koordinator keseluruhan dalam pembagian dana kompensasi ini, berdasarkan kewenangannya maka menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat (menko kesra). Program bantuan sosial ini akan terus berlanjut hingga 2014, kecuali program khusus seperti BLSM yang rencananya cukup dilaksanakan empat sampai lima bulan pascakenaikan harga BBM. Terkait dana kompensasi harga BBM, pemerintah mengusulkan dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini sebesar Rp30,1 triliun. Jumlah tersebut melonjak dari perkiraan semula yang hanya Rp20 triliun.
         Hingga saat ini, pemerintah sudah mendistribusikan 5 juta kartu perlindungan sosial dari 15,5 juta yang ditargetkan. Kartu itu, akan siap hingga akhir Juni mendatang dan pembagian dana tahap pertama akan selesai pada Juli mendatang.
         Bagaimana bagi warga apabila, warga terkait berhalangan hadir bisa diwakili oleh anggota keluarga dengan menunjukkan surat kuasa, KTP, kartu keluarga atau kartu domisili. Apabila terus berhalangan, pemerintah memberi waktu hingga tanggal 2 Desember 2013 untuk diambil jatahnya.
        Pemerintah begitu yakin, bahwa pembagian dana ini tidak akan terjadi penyimpangan seperti ada oknum yang mencoba mengambil dana BLSM lebih dari sekali. Ada kebijakan dengan melengkapi kartu dengan barcode, jadi akan terdata langsung jika diambil. Ia tidak bisa mengambil lebih dari hak-nya
       Inilah sebuah gambaran, bahwa “kebijakan yang tersentralisir” sehingga semua daerah provinsi, kabupaten/kota harus measakan apa yang diambil oleh “elit birokrasi pemerintah pusat”. Hanya menjadi kuatir, “kelas menengah dan akademisi cerdas akan berpikir ulang, atau timbul kesadaranh kolektif apakah kebijakan yang sentralistik ini sebuah resiko NKRI, karena ketakutan terhadap bentuk negara Republik Indonesia menjadi federal kembali”, masihkah para walikota/bupati atau gubernur yang dipilih oleh rakyat daerah berani melawan kebijakan “mati rasa” dari negara atau ikut-ikut matirasa.
          Mengapa tidak terpikirkan untuk membangun “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai salah satu wujud implementasi  sila kelima Pancasila, maka negara ini mengambil kebijakan untuk arisan nasional, setiap provinsi setor 2 milyar dan cabut undi untuk pertama kali di Istana negara dan seterusnya dipusatkan disatu provinsi dan dikaitkan dengan pameran produksi daerah ditempat provinsi yang menjadi tuan rumah arisan nasional dan setiap cabut undi  ada lima provinsi yang dapat dan buat aturan kebijakan oleh Presiden yang tegas, bahwa uang tersebut hanya diperuntukan membangun infra strukur daerah, diluar itu berarti tindakan “mengkhianati rakyat”, sehingga jiwa gotong royong terbangun, bahwa kita masih NKRI,  jika ada 33 Provinsi, maka bagi lima (5), maka lima tahun kebijakan arisan nasional ini diadakan ada sekian proyek infra strukur di daerah yang terbangun dari kebijakan “ndeso” ini, maka pikiran kolektif untuk mengatakan “ketidak adilan antara jawa dan luar jawa akan semakin redup. Jika di desa, di kota ada arisan masyarakat, mengapa negara tak bisa bikin “arisan nasional” untuk membangun negara ini sebagai  salah satu implementasi kongkrit sila kelima dari Pancasila  dan memperekat Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kebangsaan Indonesia, itulah makna persatuan Indonesia, bukan persatuan “mati rasa” untuk rakyat Indonesia.

»»  Baca Selengkapnya...