Sabtu, 23 Juli 2011

KEBERADAAN STAF AHLI DAN HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN TERHADAP KEBIJAKAN DAERAH/PUBLIK DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH


KEBERADAAN STAF AHLI DAN HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN  TERHADAP KEBIJAKAN DAERAH/PUBLIK
DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id

 1.   Apakah Pengertian Staf Ahli Walikota/Bupati  ?
             Sebutan sebagai staf ahli kepala daerah sebenarnya cukup mentereng, namun ternyata masih banyak yang enggan menyandangnya bahkan malah dianggap sebagai jabatan yang harus dihindari. Di banyak daerah menempati posisi ini malah dianggap sebagai akhir dari segalanya.
Ada anggapan yang berkembang, bahwa jadi staf ahli berarti masuk kotak. Namun ada juga yang menganggap jadi staf ahli artinya sedang diparkir sementara, sambil menunggu jabatan SKPD yang lowong. Setelah ada jabatan yang lowong, maka pejabat yang bersangkutan dikembalikan ke SKPD kembali.          
Sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, karena staf ahli memiliki peranan penting dalam memberikan masukan terhadap kebijakan daerah seorang walikota/bupati, Merujuk pada PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Pasal 36 ayat (3) PP Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil.
         Mereka dikoordinir oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Secara struktural, staf ahli gubernur masuk eselon II a, sedangkan staf ahli bupati/walikota masuk eselon II b. Tugas dan fungsi staf ahli sepenuhnya diserahkan kepada kepala daerah. Syaratnya, tugas dan fungsi mereka harus di luar tugas dan fungsi perangkat daerah yang ada.  Staf ahli berperan mengurai jalur birokrasi yang berbelit-belit jika seorang kepala daerah ingin menjalankan program. Jika semata-mata mengandalkan birokrat, bisa saja program kepala daerah tidak terlaksana dengan baik.
          Kehadiran staf ahli membuat terang sesuatu bagi kepala daerah.
Secara teoritis, staf ahli adalah jabatan yang sangat strategis, karena merupakan "otak" atau "konsultan" Kepala Daerah dibidang tertentu atau bisa disebut juga tim kreator di pemerintah daerah. Tetapi praktiknya sesungguhnya sangat tergantung kepada kepala daerah dan staf ahli tersebut.  Kalau kepala daerah tidak memilih berdasarkan keyakinan ia mampu dan mempunyai keahlian dibidangnya, tentu kepala daerah tersebut sudah apriori terlebih dahulu, sehingga tidak akan memperhatikan masukan dari yang bersangkutan. Seharusnya memang hal yang demikian tidak perlu terjadi kalau kepala daerah objektif dalam memilih orang yang diangkat.
      Sementara pada sisi lain, juga tergantung bagaimana para staf ahli sendiri menyikapinya. Kalau mereka menyikapi jabatan staf ahli adalah suatu amanah dan cocok dengan keahliannya, ia bisa bekerja mereka akan tenang sebagai staf ahli. Sebaliknya kalau yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan sebagai staf ahli, masih merasa pejabat struktural yang punya power, anak buah, berbagai fasilitas ; tidak mampu segera beradaptasi dengan jabatan baru atau frustasi sepanjang hari, tidak produktif dan pastilah akan semakin jauh dengan kepala daerah.
      Jadi tinggal memilih, ingin jadi staf ahli yang duduk manis toh gaji dan tunjangan tetap cair sambil menunggu-nunggu siapa tahu ada 'remisi' bisa kembali ke SKPD ataukah tetap berikhtiar mengabdikan keahlian yang dimilikinya dan menikmati apa yang telah diraihnya. Mudah bukan?

2.   Mengapa perlu kehadiran Staf Ahli  dalam penyelenggaraan  Pemerintahan Daerah ?
Staf ahli, pada level lembaga atau organisasi macam apapun memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan penyediaan informasi dan analisis yang perlu dilakukan guna pembuatan keputusan tertentu.
Dalam perspektif kebijakan publik, staf ahli merupakan seorang analisis kebijakan yang berfungsi memberikan masukan atau rekomendasi (policy  adviser) yang biasanya dalam bentuk policy paper, kepada top manager  atau pada tataran pemerintah daerah peran staf ahli adalah sebagai  policy adviser bagi Kepala Daerah.
Paling tidak ada 3 (tiga) alasan mengapa keberadaan staf ahli  pemerintah daerah diperlukan : (1) Meningkatnya kompleksitas persoalan  yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah; (2) Adopsi nilai-nilai  demokrasi yang membuat pemerintah daerah harus makin transparan,  responsif dan partisipatif di dalam membuat kebijakan; (3) Makin  terbatasnya berbagai sumberdaya yang menuntut penggunaan sumberdaya  tersebut secara bijak dengan perumusan kebijakan yang akurat.
Oleh karena salah satu peran dan fungsi penting staf ahli adalah policy  advis bagi pimpinan daerah, maka kemampuan, ketrampilan dan kompetensi  seorang staf ahli untuk mampu mengidentifikasi dan menganalisa isu-isu  strategis daerah serta mempunyai kompetensi kebijakan tingkat daerah,  menjadi sangat sangat penting untuk dikuasai bagi seorang staf ahli.
Dengan demikian penguatan kapasitas staf ahli ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi staf ahli pemerintah daerah dalam konteks analisis  kebijakan daerah, dan sekaligus menepis opini negatif kelembagaan staf  ahli yang dianggap sebagai pelengkap penderita yang tidak jelas job  deskripsinya, dan bahkan ada pula yang mengatakan sebagai korban  politik, adalah pendapat yang sangat tidak tepat dan keliru.
Staf Ahli sebagai Analis Kebijakan Publik? Walaupun tidak secara langsung mengkalim bahwa analis kebijakan adalah  orang-orang tertentu atau lembaga-lembaga tertentu, tetapi secara umum  dapat dikatakan bahwa analis kebijakan publik adalah pihak yang  melakukan kajian, pembahasan dan pertimbangan secara detail terhadap  sebuah persoalan atau rumusan hasil kajian yang akan dijadikan sebagai  sebuah kebijakan publik. Jadi analis kebijakan adalah semacam lembaga  atau media yang mempunyai tugas pokok mengkaji, mendalami, menimbang dan memberikan sumbang saran terhadap sebuah rumusan kebijakan publik.

3.   Bagaimana Pentingnya Analisis Kebijakan publik oleh Staf Ahli?
         Analisis kebijakan adalah sebuah seni di dalam memahami sebuah rencana  kebijakan publik yang akan diterapkan oleh sebuah otoritas publik.
Analisis kebijakan publik memerlukan sebuah uraian tentang data,  informasi dan berbagai alternatif yang mungkin ditempuh untuk menentukan sebuah kebijakan publik. Seorang analisis kebijakan yang profesional  akan dengan cekatan mampu memberikan sebuah deskripsi ataupun uraian  yang runtut jelas dan lengkap serta menimbang berbagai kemungkinan yang  akan terjadi jika sebuah alternatif kebijakan diambil.
Perlu diketahui bahwa analisis kebijakan bukanlah sebuah keputusan,  tetapi lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuatan  kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang  mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah  tersebut, dan juga berbagai alternatif dan kemungkinan rencana kebijakan yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada  pihak pembuat kebijakan yang legitimate.
Setidak-tidaknya ada lima argumen tentang arti penting analisis  kebijakan publik, yaitu:
         (1). Dengan analisis kebijakan maka  pertimbangan yang scientifik, rasional dan obyektif diharapkan dijadikan dasar bagi semua pembuatan kebijakan publik. Ini artinya bahwa  kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan ilmiah yang rasional  dan obyektif bukan semata-mata pertimbangan sempit seperti misalnya  pertimbangan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan politik tertentu.
(2). Analisis kebijakan yang baik dan komprehensif memungkinkan sebuah kebijakan didesain secara sempurna dalam rangka merealisasikan tujuan  mewujudkan kesejahteraan umum (public welfare). Hal ini karena analisis  kebijakan harus mendasarkan diri pada visi dan misi yang jelas yaitu  mengatur sebuah persoalan agar tercipta tertib sosial menuju masyarakat  yang sejahtera.
         (3). Analisis kebijakan menjadi sangat penting oleh  karena persoalan bersifat multidimensional, saling terkait  (interdependent) dan berkorelasi satu dengan lainnya. Oleh karena  kenyataan ini maka pihak analis kebijakan mestinya berupa sebuah tim  nyang multidisiplin yang meliputi berbagai bidang keahlian (expertise).  
        (4). Analisis kebijakan memungkinkan tersedianya panduan yang  komprehensif bagi pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Hal ini disebabkan analisis kebijakan juga mencakup dua hal pokok yaitu hal-hal yang  bersifat substansial saat ini dan hal-hal strategik yang mungkin akan  terjadi pada masa yang akan datang.
        (5). Analisis kebijakan memberikan  peluang yang lebih besar untuk meningkatkan partisipasi publik. Hal ini  dikarenakan dalam metode analisis kebijakan mesti melibatkan aspirasi  masyarakat. Aspirasi masyarakat ini dapat diperoleh dari berbagai  mekanisme seperti misalnya melalui konsultasi publik, debat publik,  curah fikir bersama berbagai pihak yang terkait (stakeholders),  deliberasi publik dan sebagainya.

4.   Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Publik ?
    Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
         Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
           Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
          Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
            Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)  bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
           Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

5.   Apakah semua kebijakan Publik/ Kebijakan Pemerintah Daerah perlu dianalisis ?
           Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
  1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
  2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
  3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
  4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
  5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
  6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
            Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
  1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
  2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
  3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
  4. Adil
  5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.

6.  Bagaimana klasifikasi Staf Ahli berdasarkan PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI  NOMOR 57 TAHUN 2007  Tentang PETUNJUK TEKNIS  PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH ?
              Dalam Lampiran Pemendagri pada huruf  G. Staf Ahli, terbagi:
1. Staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya.
2. Dalam pelaksanaan tugas Staf Ahli dikoordinasikan oleh sekretaris daerah.
3. Nomenklatur jabatan Staf Ahli dapat terdiri dari :
a. Staf Ahli bidang Hukum dan Politik;
b. Staf Ahli bidang Pemerintahan;
c. Staf Ahli bidang Pembangunan;
d. Staf Ahli bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia;
e. Staf Ahli bidang Ekonomi dan Keuangan.

4. Tugas Staf ahli :
a. Staf Ahli bidang Hukum dan Politik mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai hukum dan politik.
b. Staf Ahli bidang Pemerintahan mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pemerintahan.
c. Staf Ahli bidang Pembangunan mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pembangunan.
d. Staf Ahli bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia.
e. Staf Ahli bidang Ekonomi dan Keuangan mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai ekonomi dan keuangan.

5. Jumlah dan nomenklatur jabatan staf ahli dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan kemampuan daerah  masing-masing.
6.  Hubungan kerja Staf Ahli dengan SKPD bersifat konsultasi dan koordinasi.
           
7.   Apakah yang perlu dipahami oleh Staf Ahli bidang Hukum dan Politik yang mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai hukum dan politik ?
       Yang perlu dipahami adalah pengertian peraturan perundang-undangan, berdasarkan UU No 10 Tahun 2004, pada pasal 1 angka 2 menyatakan: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
       Berdasarkan rumusan normatif di ata, maka yang perlu dipahami adalah, bahwa pernyataan “pejabat yang berwenang”  pada tataran ini maka semua peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat walaupun dalam bentuk keputusan atau surat edaran dapat dikatagorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
       Hal lain yang perlu dipahami adalah hirarki peraturan perundang-undangan, pada Pasal 7 ayat (1) UU No 10 Tahun 2004 diatur jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan: a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, c Peraturan Pemerintah; d Peraturan Presiden, e Peraturan Daerah.
      Pertanyaaannya dimana letak peraturan menteri, mengapa tidak ada dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam rangka otonomi daerah banyak mengacu kepada peraturan menteri khususnya permendagri.
      Hal ini dapat diacu kepada pasal 7 ayat (4) yang menyatakan : Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagai dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
       Kemudian pada penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No 10 Tahun 2004 menyatakan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan nini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Kekuangan, Bank Indonesia, Menteri, dst
        Berdasarkan pelenjelasan pasal 7 ayat (4) tersebut disebutkan peraturan yang dikeluarkanj Menteri, bentuknya adalah Peraturan Menteri, atau Surat Edaran Menteri.
       Berkaitan dengan Politik yang perlu dipahami adalah politik yang dimaksudkan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah dan atau otonomi daerah, adalah kebijakan-kebijakan publik yang diambil oleh Kepala Daerah, untuk memahami ini perlu dikaitkan dengan tugas Kepala Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004  sebagaimana diatur dalam Pasal 25 : bahwa Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, b.mengajukan rancangan Perda,c Menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD, menyusun dan mengajukan rancangan PERDA tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Mengupayakan terlaksananya kewajiban Daerah (lihat pasal 22), f mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
       Sedangkan tugas wakil kepala Daerah (lihat Pasal 26 UU No 32 Tahun 2004)
      Untuk memahami salah satu bidang kebijakan politik dapat dilihat dalam PP No 38 Tahun 2007 yang perlu diberikan masukan adalah pada ranah kebijakan daerah/publik sebagai berikut :
1.        Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara,  wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
2.        Pelaksanaan kegiatan di bidang   ketahanan ideologi negara,  wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
3.        Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara,  wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
4.        Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang  ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. 
5.        Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
6.        Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini,  kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
7.        Pelaksanaan kegiatan di bidang  ketahanan ideologi negara,  wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
8.        Pembinaan dan penyelenggaraan  pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang  kewaspadaan dini,  kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
9.        Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini,  kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
10.     Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
11.     Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota
12.     Pelaksanaan kegiatan di bidang  ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
13.     Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
14.     Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
15.     Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
16.     Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
17.     Pelaksanaan kegiatan di bidang  sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota
18.     Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
19.     Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang  sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
20.     ]Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
21.     Koordinasi penetapan kebijakan   operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota
22.     Pelaksanaan kegiatan di bidang  kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
23.     Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
24.     Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang  kebijakan  ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
25.     Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota. 


8.     Bidang Kebijakan apa yang menjadi perhatian Staf Ahli bidang Pemerintahan yang mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pemerintahan ?

         Adapun yang menjadi perhatian berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu :
1.            Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.
2.            ]Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
3.            Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota.
4.            Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5.            Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.
6.            Penyusunan LPPD kabupaten/kota
7.            Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
8.            Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.
9.            Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota. 
10.         Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah.
11.         Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
12.         Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
13.         Pembentukan kecamatan.
14.         Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.
15.         Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten.
16.         Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.
17.         Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
18.         Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
19.         Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
20.         Pembangunan dan pengelolaan database  penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota.
21.         Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.
22.         Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.
23.         Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota.
24.         Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
25.         Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.
26.         Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD.
27.         Penyusunan Perda kabupaten/kota.
28.         Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur.
29.         Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
30.         Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah
31.         Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM  skala kabupaten/kota.
32.         Penerapan SPM kabupaten/ kota.
33.         Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
34.         Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.
35.         Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.’
36.         Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota.
37.         Koordinasi pengembangan    kapasitas kabupaten/kota
38.         Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.
39.         Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota
40.         Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
41.         Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
42.         Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota.
43.         Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.
44.         Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.
45.         Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
46.         Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
47.         Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.
48.         Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.
49.         Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.
50.         Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.
51.         Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
52.         Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
53.         Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.
54.         Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.
55.         Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota. Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: a.Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.b.Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. c. Kepolisipamongprajaan dan PPNS. d Perlindungan masyarakat.
56.         Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.
57.         Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota.
58.         Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota.
59.         ]Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.
60.         Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.
61.         Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
62.         Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain.
63.         Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.
64.         Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota.
65.         Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.
66.         Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota.
67.         Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
68.         Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
69.         Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.
70.         Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
71.         Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.
72.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.
73.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota.
74.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.
75.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.
76.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota.
77.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi  penanganan bencana skala kabupaten/kota.
78.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi  penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.
79.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan  penanganan bencana skala kabupaten/ kota.
80.         Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota.
81.         Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota
82.         Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
83.         Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.
84.         Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota.
85.         Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
86.         Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah. 
87.         Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.
88.         Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. (urusan concurrent) antara kabupaten/kota dan desa.
89.         Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.
90.         Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa.
91.         Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
92.         Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama
93.         Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota.
94.         Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa.
95.         Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota.
96.         Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya.
97.         Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
98.         Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
99.         Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
100.      Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota.
101.      Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
102.      Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
103.      Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
104.      Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.\
105.      Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
106.      Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
107.      Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
108.      Pengelolaan DAU kabupaten/ kota.
109.      Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.
110.      Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.
111.      Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).
112.      Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
113.      Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.
114.      Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.
115.      Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.
116.      Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.
117.      Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa
118.      Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent). 
119.      Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa.
120.      Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota.
121.      Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota. 
122.      Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.
123.      Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.
124.      Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota.
125.      Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
126.      Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
127.      Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
128.      Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
129.      Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.
130.      Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
131.      Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
132.      Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
133.      Pelaksanaan pengadaan PNSD  kabupaten/kota
134.      Usulan penetapan NIP
135.      Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota
136.      Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota.
137.      Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
138.      Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.
139.      Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.
140.      Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.
141.      Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.
142.      Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d.
143.      Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
144.      Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian  PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon
145.      b II atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
146.      usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
147.      Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota
148.      Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota.
149.      Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.
150.      Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.
151.      Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota
152.      Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.
153.      Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota
154.      Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.
155.      Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.
156.      Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.
157.      Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.
158.      Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.
159.      Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota.
160.      Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
161.      Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.
162.      Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.
163.      Pemeliharaan palsan  tingkat Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.
»»  Baca Selengkapnya...