PANCASILA DAN GLOBALISASI
Oleh: : Turiman Fachturahman Nur
Prof Paulus Hadisuprapto,
bahwa secara singkat dapat dinyatakan: (1) Konsep HAM berkembang melalui jalan
panjang hingga terbentuknya konsep HAM sekarang ini; (2) Konsep HAM bermula
dari "Natural rights". Hak-hal alam yang bersumber dari hukum
alam, (3) Konsep HAM berkembang mulai dari konsep-konsep yang berlandaskan
hukum alam, dengan segala aspek pemahaman dan penjabarannya menuju
konsep-konsep yang lebih kongkrit berdasarkan hukum buatan manusia.(4) Konsep
HAM pada alhirnya mengkristal menjadi berbagai dokumen HAM –Bill of Right – Universal Declaration of Human Right. (5) Konsep HAM yang sudah
mengkristal itu ternyata dalam penerapannya masih harus menghadapi dua
kutup pandang teori universalisme dan teori relatifvisme budaya.
Menarik dipaparkan pada butir kelima
rangkuman tersebut, beliau menyimpulkan bahwa salah satu perbantahan sekitar
universalisme versus cultular relalitifvisme merupakan kenyataan yang tak dapat
dibantah. Hal terpenting yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini ialah,
bagaimana upaya merekonsialisasi perbedaan-perbedaan antara universalisme dan
relativisme budaya[20]
Pada sisi lain Globalisasi lebih dekat ke arah universalisme, tetapi apa
sebenarnya Globalisasi, jika kita terjemahkan dengan konsep Indonesia, mungkin
yang paling mendekati adalah diartikan "mendunia" dan bila dicermati,
maka globalisasi ternyata memiliki karakteristik yang secara tidak langsung
dapat dijadikan para meter kapan telah terjadi globalisasi. Adapun ciri-ciri
atau karakterstik globalisasi adalah: [1]
a. Perubahan konsep ruang dan waktu- internet komunikasi global super cepat.
b. Pasar dan Produk ekonomi saling bergantung akibat pertumbuhan perdagangan
internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional & dominasi
World Trade Organization (WTO).
c. Peningkatan interaksi kultural, perkembangan media massa (berkat teknologi
komunikasi) melintas ragam budaya (Fashion, literatus, kuliner)
d. Peningkatan masalah bersama, lingkungan hidup (Global warming), krisis
multi nasional (krisis keuangan Amerika dampaknya kemana-mana), Peter Duker
menyatakan " Globalisasi adalah jaman transformasi sosial"
Kemudian dalam rangkuman Prof Paulus menyatakan beberapa pokok pikiran: (1)
Globalisasi merupakan fakta sekaligus proses, (2) Fakta karena orang penghuni
bumi dan bangsa-bangsa di bumi merasa saling ketergantungan satu
sama lain dibandingkan era-era sebelumnya, (3) Proses, karena diera Globalisasi
terjadi proses teknologi dan kemanusiaan, (4) Teknologi, sistem informasi
global dan komunikasi global membentuk dan menghubungkan agen-agen globalisasi,
(5) Kemansian, globalisasi ditarik oleh kehendak konsumen dan didorong oleh
kehendak manager untuk melayanani pelanggannya dan memperoleh kekuasaan
(6) Globalisasi memberikan janji-janji
efisiensi dalam penyebarluasan barang-barang kebutuhan hidup bagi mereka yang
dulunya sulit menjangkaunya. (7) Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika
global perlu karena pada hakekatnya globalisasi memiliki dua wajah sekaligus
"convergence" and "integration" namun juga
"conflik and integration"
Konsep Pancasila dalam bernegara hukum tentunya difungsikan sebagai
Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum tentunya harus didasarkan pada suatu nilai sebagai
landasan operasionalnya, Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi bangsa
Indonesia bagi sistem kenegaraan adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi
Bangsa Indonesia, yaitu Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi : "......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia."
Rumusan pada pembukaan itulah kemudian dipahami sebagai konteks tatanan
nilai paradigmatik ideologis Pancasila yang penulis tawarkan
dengan konsep "Thawaf"[2] bukan hirarkis piramida seperti
pandangan Hans Kelsen yang banyak diacu oleh para penstudi hukum di Indonesia,
konsep ini dipertegas dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam peraturan
perundang-undangan, bahwa Pancasila merupakan sumber dari
sumber hukum negara, Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila [3]
Ada tiga konsep Pertama,
Pancasila sebagai dasar negara, kedua, Pancasila sebagai
ideologi negara, Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa
dan negara. Terhadap ketiga konsep Pancasila ini
diharapkan materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. teks hukum
kenegaraan diatas masih terpengaruh pada pola pikir
positivisme, masih perlu merekonstruksi kembali agar membumi.
Mengapa
dalam wacana publik sejarang ini, orang leluasa untuk memaknai kembali
Pancasila dengan sudut pandangnya masing-masing tetapi kemudian berhenti ketika
sampai pada bagaimana Pancasila itu dilaksanakan? Ternyata sebagai suatu konsep
teoritik, Pancasila seakan tiada habis untuk dibicarakan, namun selanjutnya
dalam tataran praktis, publik sulit untuk melanjutkan. Akhirnya timbul kesan
bahwa Pancasila memang hanya untuk disuarakan, bergema sebatas dalam wacana
saja yang ujung-ujungnya menjadi retorika ulangan.
Menanggapi hal ini,
Saafroedin Bahar [4] mengakui
bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila di era
globalisasi. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran
Pancasila itu. Pertama,
oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung
dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan
agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua,
oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila
Pancasila itu. Ketiga,
justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada
bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara
fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab pertama dapat
kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam memaknai Pancasila. Telah terjadi
proses ideologisasi terhadap Pancasila selama masa Orde baru. Pancasila yang
pada mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau platform demokratis bagi
semua golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar
komprehensif integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain [5] Dalam masa Orde Baru terjadi mistifikasi
Pancasila [26] atau Pancasila
dipahami sebagai sebuah mitos.[6]
Sebab kedua,
adalah dengan dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik maka pemaknaan
Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan argumentasi
akademiknya masing- masing. Pancasila bagi para ahli filsafat misal Notonagoro,
Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi filsafatnya bangsa
Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru. Pancasila telah
dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya dengan bangunan
kenegaraaan Indonesia.
Sebab ketiga
adalah benar adanya bahwa banyak sekali wacana publik terutama akademik yang
berbicara tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan
mereka tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan
Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna Pancasila,
keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Sebab pertama dan
kedua saling bertautan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai konsep filsafat
sesungguhnya telah membawa Pancasila pada tataran filsafati, metafisika,
teologis bahkan tataran mitos yang semakin abstrak dan tidak ada titik temu.
Pancasila semakin terpisah dari bangun negara Indonesia dan sulit dicarikan core valuesesungguhnya dalam konteks bernegara. Akibatnya muncul sebab yang ketiga
yaitu orang menikmati saja perdebatan dalam makna Pancasila yang berbeda-beda
itu dan segan untuk membicarakan cara pelaksanaannya karena hal yang abstrak
itu memang sulit untuk diturunkan. Oleh karena itu Saafroedin Bahar [7] menyarankan bahwa upaya menemukan konsepsi dasar dari
Pancasila dan penjabarannya tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari
keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian lima sila Pancasila tetap terkait
langsung dengan konteks kehidupan bernegara Indonesia. Berdasar hal itu maka
pemaknaan Pancasila tidak bisa lepas dari pemaknaan sejarah (interpretasi
historis) yaitu pada kata “proses perumusan” dan pemaknaan secara yuridis
(interpretasi yuridis) merujuk pada kata “pasal-pasal yang tercantum”.
Dari sisi
historis, Pancasila berisikan gagasan atau ide untuk menjawab sejumlah
persoalan dasar sebuah bangsa yang hendak merdeka.Sekaligus pula gagasan yang
berhasil dirumuskan ini menjadi gagasan bersama dalam arti diterima sebagai
bentuk kesepakatan di atas gagasan-gagasan lain tentang kehidupan berbangsa.
Dalam kaitan ini oleh sebagian kalangan, Pancasila merupakan suatu common platform atau platform
bersama bagi berbagai ideologi politik yang berkembang saat itu di Indonesia
atau titik temu seluruh segmen masyarakat Indonesia untuk saling bertemu dan
bekerjasama, Ismail 1999. Pancasila merupakan kontrak sosial, [8].Pancasila merupakan konsepsi politik.[9]
Isi dari gagasan
atau ide mengenai Pancasila sesungguhnya merupakan jawaban prinsipal atas
persoalan dasar kebangsaan Indonesia kala itu sebagai berikut:
1. Masalah
pertama apa negara itu?. Masalah ini dijawab dengan prinsip kebangsaan
Indonesia
2. Masalah
kedua, bagaimana hubungan antar bangsa – antar negara ? Masalah ini dijawab
dengan prinsip perikemanusiaan
3. Masalah
ketiga siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara ? Masalah ini dijawab
dengan prinsip demokrasi.
4. Masalah keempat, apa
tujuan negara ? Masalah
ini dijawab dengan prinsip negara kesejahteraan.
5. Masalah kelima,
bagaimana hubungan antar agama dan negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa.[10]
Pancasila dalam
interpretasi yuridis merupakan norma-norma dasar bernegara. Dalam ilmu hukum
disebut Grundnorm atau Staatfundamentalnorm. Dan selalu dihubungkan dengan
teori jenjang norma (stufentheorie) dari Hans Nawiasky, norma-norma dasar
tentang kehidupan bernegara itu dijabarkan secara konsisten dan koheren ke
dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang , peraturan pelaksanaan
serta kebijakan pemerintahan lainnya. Dengan demikian penjabaran Pancasila dan
upaya menjabarkan gagasan dasar Pancasila secara yuridis adalah kedalam
konstitusi negara dalam hal ini pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal itu
selanjutnya dijabarkan ke dalam pelbagai undang-undang termasuk di dalamnya
PERDA. Jadi norma dasar Pancasila dijabarkan ke dalam norma hukum negara yaitu
UUD 1945. Oleh
karena pada tataran ini seharus perancangan PERDA jangan sampai menimbulkan
primordial daerah dan menghambat investasi sehingga tugas negara yang
dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat di daerahnya menjadi terhambat, karena semua masalah yang sebenarnya
sudah jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi masih dijabarkan
lebih lanjut dengan PERDA dan akhirnya secara subtansi
menabrak berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, oleh karena itu perlu
naskah akademik rancangan PERDA sebelum dibahas di DPRD bersama eksekutif,
tentunya ini perlu pelibatan perguruan tinggi setempat dalam pembuatan naskah
akademik, sehingga tidak terkesan PERDA copy
paste dari
daerah lain sebagai output hasil studi banding,
walaupun ada yang berpendapat, bahwa naskah akademik tidak wajib tetapi akan
lebih baik ada panduan ketika merancang PERDA.
[1]
Paulus
Hadisuprapto, "Globalisasi Nilai-Nilai dan Etikanya", 2010, hlm 12.
[2]
UU No
24 Tahun 2009 Pasal 48 ayat (2) dan Simbolisasi Pancasila dalam Lambang Negara
Republik Indonesia, menggunakan konsep thawaf, seperti Rancangan Sultan Hamid
II, 1950
[3]
Penjelsasan Pasal 2 UU No 12 tahun 2011
[4]
Saafroedin Bahar . 2007. "Bagaimana
Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional". www.setwapres.go.id diunduh 1 Juni 2014
[5]
Adnan
Buyung Nasution. 1993. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia :
Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta; Pustaka Utama Grafiti,hal
110
[6]
Gumilar
Rusliwa Somantri. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial Politik Indonesia Modern. Makalah dalam Simposium Nasional Restorasi Pancasila :
Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas . Jakarta : FISIP UI
[7]
Saafroedin
Bahar . 2007. Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui
Paradigma Fungsional. www.setwapres.go.id
[8]
Onghokham,
Kompas. 6 Desember 2001: Pancasila sebagai Kontrak Sosial.
[9]
Agus
Wahyudi . Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?
dalam http://filsafat.ugm.ac.id/aw
[10]
Syahrial Syarbaini. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi. Jakarta; Ghalia Indonesia