Jumat, 09 Mei 2014

MEMAHAMI SUBTANSI UU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN & BERBAGAI ANALISIS BEBERAPA RUMUSAN PASAL.


MEMAHAMI SUBTANSI  UU  NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN & BERBAGAI ANALISIS BEBERAPA RUMUSAN PASAL.

Oleh; Turiman Fachturahman Nur

          Salah satu paradigma baru UU ASN (UU Nomor 5 Tahun 2014) adalah berkaitan dengan Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit, yang berdasarkan pada kualifkasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN ini meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretariat jendral/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah/provinsi dan kabupaten/kota.
        Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing. “Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing,” bunyi Pasal 54 Ayat (4) UU ini. Manajemen PNS pada Instansi Pusat, menurut UU No. 5/2014 ini, dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
           Pasal 56 UU ini menegaskan, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan    jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan. Berdasarkan penyusunan kebutuhan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional. Adapun dalam hal pengadaan, ditegaskan Pasal 58 UU No.5/2014 ini, bahwa pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemeirntah, yang dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri PAN-RB. “Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 58 Ayat (4) UU No. 5/2014 ini.
Disebutkan dalam UU ini, setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS, dan setiap Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.
Adapun penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS harus dilakukan melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan. Penyelenggaraan seleksi sebagaimana dimaksud terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang “Peserta yang lolos seleksi diangkat menjadi calon PNS, dan pengangkatan calon PNS ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian,” bunyi Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
         Selain itu UU ini menegaskan, calon PNS wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi, untuk membangunan integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetenti bidang.“Masa percobaan sebagaimana dimaksud bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, dan selama masa percobaan, Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS,” b unyi Pasal 64 Ayat (1,2) UU ini.
           Menurut UU No. 5/2014 ini, Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan: a. Lulus pendidikan dan pelatihan; dan b. Sehat jasmani dan rohani. Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, dan calon PNS yang tidak memenuhi diberhentikan sebagai calon PNS.
           Berkaitan dengan Pangkat dan Jabatan Pasal 68 UU ini menegaskan, PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. PNS juga dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan pangkat atau jabatan yang disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
         Adapun pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kulifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah, yang dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. Sementara promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan. “Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi, yang dilakukan oleh Pejabat pembina Kepegawaian setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah,” bunyi Pasal 72 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu.
           Patut disadari, bahwa  UU ASN merupakan produk hukum yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang komprehensif.  Oleh karena itu dengan terbitnya UU ASN, yakni UU No 5 Tahun 2014 diharapkan.dalam penjabaran peraturan pelaksanaannya jangan sampai multitafsir, oleh karena itulah, dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN, yang nantinya termanifestasi dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran atau jauh dari harapan kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.
           Jika kita membaca nomenklatur judul UU ini adalah, yaitu aparatur sipil negara. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa aparatur sipil negara adalah “profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah”. Sementara itu, pada butir 2 disebutkan bahwa pegawai ASN adalah "PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
         Pada ketentuan umumnya secara umum peraturan perundang-undangan memuat definisi umum dan sebuah definisi terdiri dari definiendum (objek yang dijelaskan, yang dalam definisi di atas saya cetak miring dan bergaris bawah) dan definiens (penjelasan dari objek tersebut). Definisi haruslah memenuhi kaidah 1) kecukupan penjelasan; 2) ditulis dalam format baku; 3) memuat karakteristik esensial dari objek yang didefinisikan; 4) tidak berbentuk metafora; 5) tidak bersifat sirkuler (dapat dibalik-balik antara definiendum dan definiens); dan umumnya 6) tidak dalam bentuk kalimat negatif. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa definisi yang diberikan pada konsep “ASN” dan “pegawai ASN” belum memenuhi kecukupan penjelasan dan kurang memberikan karakteristik esensial dari objek yang didefinisikan.
        Mengacu pada definisi konsep “ASN” akan semakin membingungkan apabila dihadapkan dengan konsep “aparatur negara” yang  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang didefinisikan sebagai ‘alat kelengkapan negara, terutama yang meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari’. Hanya dengan penyelipan kata “sipil” di tengah-tengah frasa “aparatur negara”, objek alat kelengkapan negara berubah menjadi profesi dan penjelasan yang meliputi aspek yang luas (kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian) tiba-tiba berubah menjadi sangat sempit berupa hanya kepegawaian (PNS dan PPPK). Penjelasan atas hal ini tentu sangat rumit dan hanya dapat ditelusuri dari risalah rapat-rapat pembahasan UU ASN.
            Sebuah kata kunci dari subtansi UU ASN ini adalah “kinerja”. Inilah yang harus menjadi benang merah dari keseluruhan fungsi dalam manajemen SDM aparatur pascadiberlakukannya UU ASN kelak. Meskipun terminologi ini tidak muncul secara eksplisit dalam bagian awal UU ASN, namun semangat “kinerja” dapat ditangkap dari asas kebijakan dan manajemen ASN (Pasal 2), prinsip dasar ASN (Pasal 3), nilai dasar ASN (Pasal 4), dan perilaku pegawai ASN (Pasal 5 ayat 2). Ini merupakan hal yang positif karena hampir semua best practices manajemen SDM aparatur di negara lain juga dibangun dalam kerangka manajemen kinerja. Oleh karena itu, manajemen ASN juga selayaknya dibangun atas dasar manajemen kinerja. Penjabaran masukan saya adalah sebagai berikut dan ringkasan atas masukan tersebut dapat dilihat pada akhir tulisan.
            Yang menjadi menarik adalah hubungan antara Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional
Dan mari kita perhatikan adanya tingkatan dalam jabatan administrasi (Pasal 14) dan hubungannya kelak dengan jabatan fungsional (Pasal 18). Memisahkan antara alur tugas dan alur akuntabilitas antara pejabat struktural eselon III ke bawah dengan pejabat fungsional tertentu (JFT). Oleh karena itu diharapkan, bahwa kedua PP yang diamanatkan pada Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (4) harus dapat memberikan gambaran peta hubungan yang jelas antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional dalam sebuah organisasi. Meskipun nantinya kedua jenis jabatan tersebut diatur dalam PP terpisah, kerancuan hubungan antara keduanya harus dapat diminimasi. Jangan sampai kedua PP seakan berdiri sendiri dan kembali membiarkan instansi menerjemahkannya dalam organigram masing-masing. Untuk itu, pembangunan jiwa fungsional menjadi wajib dilakukan oleh setiap instansi. Dengan jiwa fungsional, maka mutasi jabatan fungsional ke administrasi dan sebaliknya bukan menjadi persoalan pelik. Hubungan antara pemangku kedua jenis jabatan juga akan berlangsung lebih profesional karena pemangku jabatan administrasi (terutama di tingkat administrator dan pengawas) juga memahami pola kerja para pemangku jabatan fungsional.
              Secara teoretik, bahwa filosofi awal pembentukan jabatan pimpinan tinggi adalah mengadaptasi (jika enggan disebut mengadopsi) pola senior executive services (SES) yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju terutama sejak berkembangnya paradigma New Public Management (NPM). Di Amerika Serikat, pembentukan sistem SES adalah untuk menjembatani pola dualisme jabatan karir dan jabatan politik yang telah mereka adopsi sejak akhir abad ke-19. Di Australia, pembentukan sistem SES dilakukan sebagai bagian dari paket reformasi sektor publik yang dilakukan Perdana Menteri Bob Hawke pada tahun 1984. Pola ini juga kemudian diikuti banyak negara lainnya termasuk Korea Selatan karena dianggap mampu menjadi katalisator kinerja birokrasi. Kesamaan praktik SES di kedua negara adalah bahwa setiap pemangku SES berperan sebagai penasihat utama (senior advisor) kepada pejabat politik (menteri dan kepala pemerintahan), penghubung antara sistem politik murni dan sistem birokrasi murni, pemersatu (aktor utama) dalam koordinasi antarinstansi, dan panutan (role model) bagi birokrat dalam hal kode etik birokrat. Kesamaan lain adalah dibutuhkannya keahlian tertentu untuk dan selama menjadi SES (melalui diklat), diberikannya tunjangan khusus SES, dan diterapkannya sanksi yang lebih berat bagi SES yang melakukan pelanggaran dan/atau berkinerja buruk. Dalam UU ASN, sebagian besar karakteristik ini tidak muncul secara eksplisit, sehingga saya katakan bahwa JPT sebenarnya hanya perubahan nama saja dari eselon I dan II yang berlaku saat ini.  Oleh karena itu, untuk menjadikan JPT sebagai sebuah katalisator kinerja birokrasi, maka RPP yang diamanatkan Pasal 19 ayat 4 perlu mengatur tidak hanya syarat untuk menduduki JPT, namun juga syarat selama menduduki JPT. Sebagian syarat dalam kelompok kedua ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116-118, namun masih belum sepenuhnya menggambarkan sebuah sistem SES yang utuh. RPP mengenai JPT perlu mengatur adanya pendidikan dan pelatihan (diklat) yang wajib diikuti oleh setiap pemangku JPT (dapat dibuat bergiliran sesuai capaian kinerja). Hal ini bisa diintegrasikan dengan diklat yang disebutkan dalam Pasal 70 ayat 5 dan 6, yaitu diklat yang berupa kesempatan magang di instansi lain atau di perusahaan swasta selama paling lama 1 (satu) tahun. Diklat lainnya juga dapat dibuat dengan pola yang inovatif (misalnya pendekatan 70/20/10 yang digunakan SES Australia) dan berbasis target kinerja masing-masing pemangku JPT.[1]
        Selain diklat, setiap pemangku JPT juga perlu diberikan tanggung jawab khusus berupa pembangunan manajemen pengetahuan (knowledge management) lintas unit organisasi. Sebagai contoh, setiap JPT pratama di Kementerian X diwajibkan memaparkan progres kerjanya kepada unit-unit kerja lain di kementerian tersebut melalui sebuah forum semi-formal secara bergiliran setiap bulan. Sementara itu, setiap JPT madya diwajibkan melakukan hal yang sama dalam forum JPT madya setiap bulan secara bergiliran. Dengan demikian, fungsi JPT sebagai aktor utama dalam koordinasi antarinstansi dapat berjalan secara sistemis. Ini juga akan mendorong organisasi pemerintah menjadi organisasi pembelajar (learning organisation).
          Tentunya bagi banyak pemangku JPT (atau eselon I dan II) saat ini, mengikuti diklat atau melakukan diskusi semacam itu dianggap sebagai kegiatan sia-sia. Pola pikir ini perlu diubah dengan merancang diklat dan pembangunan knowledge management sebagai bagian dari penilaian kelayakan setiap JPT. Tentu saja harus diiringi dengan catatan agar diklat tersebut tidak menjadi “proyek mainan” instansi yang bertanggung  jawab dalam bidang diklat ini. Dengan sistem yang terbangun sedemikian rupa, maka setiap JPT akan memiliki kesadaran akan pentingnya koordinasi dan organisasi pembelajar, selain juga kinerja yang tentunya akan mengiringi kedua hal tersebut.
          Yang sangat penting adalah tidak kalah penting adalah RPP mengenai JPT ini nanti perlu pula mengatur sanksi kepada pemangku JPT. Pasal 118 ayat 4 sudah memfasilitasi sebagian dari hal ini dengan adanya ketentuan bahwa pegawai JPT yang gagal memenuhi kompetensi jabatannya dapat dipindahkan pada jabatan yang lebih rendah. Istilah “jabatan yang lebih rendah” dapat diartikan sebagai “JPT madya turun menjadi JPT pratama”, sementara “JPT pratama turun menjadi jabatan fungsional”. Tentu ini tidak dimaksudkan untuk menekankan pada pendekatan sanksi, namun menjadi penting untuk memastikan elemen diklat dan pembangunan organisasi pembelajar sebagai pendamping dari kinerja dalam uji kompetensi JPT, dan sanksi dapat mendorong itu. Akan tetapi, tanpa adanya penghargaan, sistem ini akan menjadi tidak adil. Oleh karenanya, RPP nanti juga sebaiknya memberikan sistem penghargaan (finansial maupun non-finansial) kepada JPT yang berhasil memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dan mencapai kinerja yang baik. Hanya dengan pembangunan sistem JPT yang komprehensif-lah maka filosofi dasar pembentukan JPT dapat terlaksana dengan baik.
         Berkaitan dengan Pengembangan, Pola Karier, Promosi, Mutasi, dan Penilaian Kinerja. Keempat hal pertama yang menjadi subjudul di atas sebenarnya harus jalin berkelindan dengan perencanaan dan pengadaan PNS. Seluruh aktivitas ini disatukan oleh manajemen kinerja yang menjadi simpulnya. Artinya, keputusan untuk merencanakan, mengadakan, mengembangkan membentuk pola karier, mempromosi/mutasi PNS di setiap organisasi harus berlandaskan kebutuhan manajemen kinerja organisasi dan individu. Hal ini untuk menghindari adanya rekrutmen pegawai atas dasar kepentingan politik atau pengembangan pegawai dan promosi yang berdasarkan kekerabatan. RPP yang diamanatkan Pasal 57, Pasal 67, dan Pasal 74 harus disusun dengan mempertautkannya pada RPP yang diamanatkan pada Pasal 78.
             Manajemen kinerja sendiri tidak semata-mata penilaian kinerja. Manajemen kinerja meliputi keseluruhan siklus kinerja yang setidaknya terdiri dari perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, dan evaluasi kinerja. Keempat fungsi manajemen kinerja ini harus pula didesain selaras antara level organisasi, unit organisasi, dan individu. Ilustrasi sederhana dari prinsip tersebut adalah sebagai berikut. Setiap organisasi seharusnya tidak hanya diwajibkan menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan (Pasal 70 ayat 4), tetapi itu harus menjadi bagian dari rencana jangka menengah pengembangan SDM aparatur, misalnya selama 5 tahun atau sama dengan rentang waktu perencanaan kebutuhan SDM. Kedua perencanaan ini dibangun dengan berpedoman pada tujuan dan sasaran organisasi selama rentang waktu tersebut, yang didapat dari dokumen renstra kementerian/lembaga atau RPJMD untuk pemerintah daerah.
            Artinya, PNS yang akan direkrut selama periode tersebut adalah yang diharapkan dapat mendukung pencapaian kinerja organisasi. Demikian pula dengan pengembangan kompetensi PNS, dilakukan untuk mendukung pencapaian dan perbaikan berkelanjutan dari kinerja organisasi. Bagaimana jika diperlukan perbaikan yang bersifat mendesak? Dalam hal ini, organisasi dapat melakukan mutasi pegawai, baik lintas unit organisasi maupun lintas organisasi lainnya. Apabila tidak dimungkinkan, maka dapat dilakukan rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada posisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian kinerja sampai dengan PNS yang ada siap untuk mengisi peran tersebut melalui promosi. Semua ini tetap berdasarkan pada manajemen kinerja. Perlu menjadi catatan, bahwa khusus untuk penilaian kinerja adalah agar RPP yang disusun kelak bukan hanya memberikan baseline, tetapi juga mendorong inovasi dalam penilaian kinerja pegawai. Apabila ada instansi yang berinisiatif menerapkan sistem penilaian 360° (penilaian diri sendiri, atasan, rekan setingkat, dan bawahan) misalnya, maka RPP tersebut harus dapat memberikan apresiasi. Jika perlu, inovasi  semacam itu dapat difasilitasi dalam RPP tersebut.
       Secara subtansi yang menarik adalah adanya  Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Patut diketahui,  bahwa  keberadaan aturan mengenai PPPK dalam UU ASN merupakan angin segar karena membuka pintu kepastian hukum atas praktik pegawai kontrak atau honorer yang selama ini banyak diterapkan di instansi pemerintah. Dengan adanya pengaturan terkait PPPK, maka pegawai dimaksud tidak diatur dalam rezim UU Ketenagakerjaan tetapi dalam UU ASN dan peraturan pelaksananya kelak. Oleh karena ini menyangkut hubungan industrial yang tidak sederhana, maka PP yang diamanatkan dalam Pasal 107 haruslah merupakan PP yang komprehensif agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Saya belum memiliki keahlian dalam bidang hubungan industrial, sehingga tidak bisa memberikan banyak masukan di bidang tersebut. Akan tetapi, seperti halnya manajemen PNS, manajemen PPPK juga harus dibangun atas dasar manajemen kinerja, baik pada tingkat organisasi, unit organisasi, maupun individu.
          Juga ada catatan lain adalah RPP tentang PPPK ini harus secara tegas memuat masa kontrak maksimum seorang PPPK, karena dalam Pasal 98 hanya memuat durasi minimum kontrak, yaitu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Terkait ini, sebaiknya ditetapkan durasi maksimum kontrak adalah 2 (tahun) untuk kemudian dapat diperpanjang lagi. Hal ini untuk meminimasi potensi politisasi rekrutmen PPPK oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, terutama pejabat pembina kepegawaian (PPK) dan pejabat yang berwenang. Meskipun telah ada KASN sebagai pengawas sistem merit nasional, namun dengan banyaknya jumlah PNS (saat ini sekitar 4,7 juta) dan belum dapat diprediksinya kebutuhan atas PPPK di kemudian hari, tentu akan lebih baik apabila celah penyelewengan dapat ditutup sejak dini.
           Selain itu, diperlukan pula pengaturan perihal jabatan apa saja yang dapat diisi oleh PPPK. Sebagai sebuah UU yang memiliki semangat perubahan, sebenarnya UU ASN dapat saja memberikan peluang agar PPPK dapat mengisi seluruh jenis jabatan administrasi, termasuk administrator (alias eselon III saat ini). Tentunya dengan catatan bahwa posisi tersebut memang tidak dapat diisi secara optimal oleh PNS yang ada. Yang tidak kalah penting adalah pengaturan perihal siapa yang dapat menjadi PPPK. Saya pikir peluang rekrutmen PNS yang sudah pensiun untuk bekerja kembali sebagai PPPK patut diminimasi karena akan menghambat regenerasi di tubuh instansi maupun PNS secara keseluruhan.
           Jika dibaca secara cermat subtansi Pasal 108-110 disusun sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa JPT memang didesain sebagai mesin utama penggerak perubahan birokrasi secara nasional melalui proses pengisiannya yang dilakukan terbuka dan nasional (bisa lintasinstansi). Akan tetapi, saya sesali juga karena Pasal 111 kemudian memberikan pengecualian proses pengisian yang terbuka itu bagi “instansi yang telah menerapkan sistem merit”. Frasa “telah menerapkan sistem merit” ini akan menimbulkan dualisme dalam sistem pengisian JPT, karena instansi yang tidak menyukai pengisian JPT secara nasional akan berusaha “terlihat merit” untuk memperoleh pengecualian yang dimungkinkan oleh Pasal 111.
           Yang menjadi persoalan menjadi dalam JPT, karena tidak ada atribusi dari UU ASN untuk menyusun PP khusus mengenai pengisian JPT. Oleh karena itu, terkait hal ini perlu dimasukkan dalam PP mengenai JPT yang diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 4 dan/atau pengaturan lebih lanjut mengenai KASN melalui Perpres sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 42. Dalam PP yang menjadi amanat Pasal 19 ayat 4, kiranya perlu diatur agar meskipun instansi tidak melakukan seleksi terbuka secara nasional, namun seluruh proses yang dilakukan di internal organisasinya tetap harus diumumkan kepada publik dan memperoleh masukan publik. Pada sisi lain sementara itu, dalam Perpres yang menjadi amanat Pasal 42, saya berpendapat bahwa diperlukan adanya prasyarat yang ketat bagi sebuah organisasi untuk dapat dikatakan “telah menerapkan sistem merit”. Prasyarat ini tidak boleh sekadar kelengkapan dokumen semata, karena ini akan mereduksi makna sistem merit. Hal yang dapat dijadikan prasyarat misalnya instansi diharuskan untuk melakukan survey internal kepada para pegawai dan eksternal kepada pengguna layanan. Selain itu, KASN juga melakukan verifikasi lapangan dan pengumpulan data primer ke instansi yang bersangkutan. Bahkan, dapat pula dilakukan audit oleh pihak ketiga yang disetujui oleh KASN.
            Berkaitan dengan  keterbukaan dan cakupan nasional dalam pengisian JPT, salah satu catatan yang menjadi kekhawatiran sebagian PNS adalah aturan dalam Pasal 109 ayat 1 yang membolehkan JPT diisi oleh non-PNS dengan persetujuan Presiden. Secara pribadi saya menyetujui bunyi pasal tersebut, namun kekhawatiran adanya politisasi dengan masuknya calon pemangku JPT yang memiliki afiliasi politik harus dapat diantisipasi dengan membuat syarat yang tegas, misalnya calon non-PNS tidak boleh menjadi kader parpol apapun selama 5 tahun sebelum melamar posisi JPT. Contoh lainnya adalah agar keluarga inti hingga tingkat ke-2 dari pejabat pembina kepegawaian dan pejabat yang berwenang dilarang melamar posisi JPT non-PNS. Di sisi hilir, manajemen kinerja tentu juga harus diterapkan kepada setiap JPT, sehingga apabila pemangku JPT non-PNS ini tidak berkinerja baik, maka mereka dapat dikenakan sanksi yang tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah diperlukan kerangka manajemen kinerja yang andal, sehingga potensi politisasi seperti ini dapat dimitigasi.
        Secara historis, bahwa  Undang-undang ini berawal dari adanya harapan untuk melakukan perubahan pada sistem kepegawaian yang berlaku, yaitu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999. Harapan ini diapungkan pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) oleh Menneg PAN saat itu Taufiq Efendy dan telah disampaikan kepada Presiden agar menjadi RUU inisiatif pemerintah. Namun, atas sejumlah pertimbangan, Presiden saat itu memutuskan untuk menunda pembahasan RUU tersebut. Pada saat Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) terbentuk, dengan penambahan nomenklatur “reformasi birokrasi” bagi Kementerian PAN, usul ini semakin tenggelam karena dianggap tidak diperlukan. Taufiq Efendy yang ketika itu menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR justru berpandangan bahwa jika pemerintah tidak ingin membahas RUU tersebut sebagai inisiatif pemerintah, maka biarkan itu menjadi inisiatif DPR.
            Maka, pada akhir 2010, dibentuklah tim pakar yang terdiri atas beberapa guru besar di bidang ilmu administrasi publik dan Ekonomi, yaitu Mifthah Thoha, Sofian Effendi (UGM), Prijono Tjiptoherijanto, dan Eko Prasojo (UI), untuk membantu DPR merumuskan RUU yang kemudian dikenal sebagai UU ASN ini. Sejak saat itu, RUU ASN bergulir seperti bola panas, terutama kepada pemerintah, karena terdapat sejumlah ide progresif yang dianggap kontroversial, seperti pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara yang berwenang melakukan seleksi pejabat eselon I dan II, pengisian jabatan eselon I dan II dari non-PNS, pengalihan peran Pejabat Pembina Kepegawaian kepada pejabat karir tertinggi, penghapusan eselon III ke bawah, pemberhentian PNS atas dasar kinerja yang buruk, hingga sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melakukan kecurangan dalam pengadaan CPNS dan promosi PNS.
         Secara subtansi ada beberapa perubahan signifikan dijelaskan sebagai berikut,[2]
Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS alias honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal KIB I.
Setelahnya, banyak pula instansi yang merekrut pegawai kontrak dengan mekanisme yang terkesan mengada-ada (seperti seakan-akan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan manuver melalui manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan menjadi lex specialis dari masalah ini.
Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama Jabatan Administrasi. Jabatan Administrasi terdiri atas administrator (ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen dengan eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen dengan eselon V dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya).
Pesan implisit ini membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan berpotensi ambigu. Misalnya, apakah seluruh jabatan eselon III memang akan dialihkan sebagai administrator? Jika demikian, bagaimana dengan wacana pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang sebetulnya berkarakteristik fungsional? Hal ini baru akan terjawab dalam peraturan pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.
Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan kepada pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan RUU ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang telah menganut New Public Management (NPM).
Pada umumnya, setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi karena dia akan menjadi penghubung antara birokrasi dengan politisi, panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi pejabat politik. Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima tunjangan tambahan, pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi yang lebih berat apabila melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak ada penjelasan terkait ketiga hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya penjelasan ini, sebenarnya JPT tidak dapat dikategorikan sebagai praktik SES.
Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut saja Menpan J) dan menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J) sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang.
Kewenangan penuh berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus menghapuskan Bab V “Kepegawaian” dari UU 32/2004. Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan sebuah komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengaturan ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan Pasal 48 huruf e). Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak bekerja sama dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain di negara, yaitu masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta.
Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak berfungsi secara efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran negara, namun saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih berkuasa dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik.
Oleh karena itu, tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi oleh PNS maupun non-PNS.
Namun demikian, tentunya dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi proses pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan pengisian jabatan ini berjalan efektif?
Apabila 15.000-an jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang yang berkualitas dan berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang tinggi, karena mereka ini nantinya akan memimpin sekitar 4,4 juta PNS di seluruh Indonesia. Tentu ini merupakan pengungkit yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan sejumlah LNS lain yang seakan sia-sia.
Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan bentuk pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun (Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini mengingatkan saya pada gagasan reform leaders academy yang dicetuskan oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia yang juga salah seorang anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional.
Dalam penjelasan ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat membuka kesempatan kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun. Ini merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca adanya ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak dibutuhkan.
Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal 80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi untuk membangun sistem manajemen kinerja yang komprehensif.
Kedelapan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).
Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya, setiap PNS yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar pada lowongan JPT yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh, seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X. Ketentuan lain adalah dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.
Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini menimbulkan ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini “dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”.
Pengecualian ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif. Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di instansi untuk mengembangkan sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri, atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian, pengecualian ini juga akan memunculkan ambivalensi manakala instansi yang dikatakan sudah menerapkan “sistem merit” ini tidak ingin membuka diri kepada PNS dari instansi lain.
Dualisme ini dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya instansi akan cenderung melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus “sistem merit” yang izinnya dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih tepat sebagai Surat Izin Merit). Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan bahwa dalam birokrasi pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat menangkap instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya.
Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki setiap pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan pengecualian atas nama “sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki JPT di pusat dan sebaliknya.
Kesembilan, UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT, yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia, yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang. Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur. Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya nanti.
Sembilan butir tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan lain-lain, namun dalam pandangan saya pribadi tidak terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas.
Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3 Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih tergantung pemisahan materinya).
          Adakah sebuah diskriminasi dalam UU ASN ? [3] bahwasannya Pegawai Negeri Sipil, adalah sebuah profesi dan sebuah pekerjaan. PNS sama halnya dengan profesi lainnya seperti pengacara, akuntan publik, notaris, pengusaha, konsultan, artis, wartawan, petani, buruh pabrik dan sebagainya.
Sebagaimana pengertian ASN yang termaktub dalam  UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwasanya ASN itu adalah sebuah profesi yang menyatakan bahwa : “Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”
Karena PNS adalah profesi maka PNS selaku warga negara berhak untuk mendapatkan perlindungan profesi dari negara, dan ini dijamin oleh konstitusi UUD 1945 yakni; pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28 D ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Oleh sebab itu,  PNS sebagai sebuah profesi, maka segala hak dan kewajiban PNS haruslah sama, adil dan setara dengan segala macam jenis pekerjaan dan profesi yang ada di Indonesia.
Profesi PNS dalam kaitannya dengan pengejewantahan UUD 1945 yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dan Pasal 28 (D) ayat (3) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Maka profesi PNS  untuk menduduki jabatan negara adalah hak azazi mereka yang tidak boleh dibatasi dan diamputasi.
Namun akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pasal 119 dan 123 ayat (3) tersebut, menimbulkan konsekuensi diskriminasi terhadap persamaan hak didepan hukum dan pemerintahan bagi PNS. Dimana PNS jika mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (sebagaimana yang disebutkan diawal), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi keberadaan profesi PNS, mengapa bagiPNS jika mereka mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara tersebut, mereka harus mengundurkan diri sejak pencalonannya ? disini sangat kentara terlihat perlakuan yang tidak adil dan tidak sama perlakuannya dengan profesi lainnya. Mengapa hak azazi mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan diamputasi dan  didiskriminasi ?
Jika kita bandingkan dengan profesi lainnya, maka sangat terlihat dengan jelas betapa diskriminasi profesi sangat kentara dililitkan pada profesi PNS. Diantaranya dapat kita bandingkan dengan beberapa profesi yang telah memiliki kekuatan hukum, seperti profesi advokat yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003, bagi advokat jika mereka menjabat dalam jabatan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal (20) ayat (3)  bahwa “Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.”
Dalam UU ini jika advokat mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi pejabat negara tidak ada aturan yang mewajibkan advokat untuk berhenti dari profesi keadvokatannya. Hanya tidak boleh melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan negara, artinya jika tidak menjadi pejabat negara lagi mereka bisa otomatis kembali menjadi advokat.
Begitupun halnya dengan profesi notaris, yang dikuatkan dengan UU nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 11 ayat (1) “Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.”Ayat (2) “Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.” Ayat (6) “Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya.”
Dalam UU tentang jabatan notaris ini, diakui dan dilindungi hak warga negara dalam menjalankan profesinya dan hak politiknya untuk menduduki jabatan negara. Tidak ada klausal yang mewajibkan profesi notaris untuk menyatakan pengunduran diri dari profesinya secara tertulis jika mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara. Tetapi diwajibkan cuti selama memangku jabatan negara, dan dipulihkan kembali profesi notarisnya jika sudah tidak mengabdi lagi di jabatan negara, sangat adil dan fair.
Begitupun dengan profesi lainya, seperti profesi akuntan publik, profesi dokter, profesi guru dan dosen yang bukan PNS dan berbagai profesi lainnya.
Beberapa contoh perbandingan profesi diatas yang ada di Indonesia, yang sudah jelas diatur dalam UU,  berbeda sekali perlakuan yang disematkan bagi profesi PNS yang mana jenis, materi dan subjek hukumnya sangat sama yakni untuk menduduki jabatan negara.
Perbandingan jenis profesi ini akan sangat panjang dan akan semakin kelihatan diskriminasinya jika kita tambah perbandingannya dengan berbagai macam jenis profesi lainnya yang tidak atau belum diatur oleh Undang Undang, seperti profesi pengusaha, profesi buruh, profesi petani, profesi wartawan, profesi artis dan sebagainya. Mereka bebas mencalonkan dirinya dalam jabatan negara apapun dan apabila tidak terpilih atau telah selesai pengabdiannya sebagai pejabat negara mereka bisa kembali menekuni profesi awalnya. Sehingga hak azazi mereka untuk kembali beraktifitas pada jenis pekerjaan/profesi mereka semula tidak hilang dan dilindungi.
Adanya diskriminasi terhadap jenis profesi ini, maka bagi PNS menimbulkan akibat hukum yakni terjadinya pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak azazi PNS sebagai warga negara sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 yakni, Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Karena itu seyogyanya UU ASN ini dikaji kembali oleh segenap elemen bangsa terutama PNS sendiri jika ingin membangun bangsa ini dalam koridor keadilan, kesetaraan dan kebersamaan.


Matriks Ringkasan Masukan atas PP/Perpres UU ASN

Nomor Pasal
Perihal
Masukan
Keterkaitan dengan Pasal Lain
17
Jabatan administrasi dan jabatan fungsional
    Perlu memuat hubungan antara jabatan fungsional dan jabatan administrasi
    Perlu mendorong uji kompetensi jabatan fungsional bagi seluruh pemangku jabatan eselon III dan IV saat ini
    Perlu mendorong pola kerja gugus tugas (cluster/task force), pertukarang pengetahuan (knowledge sharing), dan rotasi subkelompok dalam kelompok jabatan fungsional

19 ayat 4
Jabatan pimpinan tinggi
    Perlu mengatur peran pemangku JPT sebagai senior advisor, penghubung antara birokrasi dan politik, pemersatu dalam koordinasi lintas instansi, dan role model dalam penerapan kode etik dan kode perilaku.
    Perlu mengatur bukan hanya syarat untuk menjadi JPT, tetapi juga syarat selama menjadi JPT, termasuk diklat khusus dan pengembangan manajemen pengetahuan.
    Perlu dibangun sistem sanksi bagi JPT yang gagal memenuhi syarat jabatannya.
    Perlu aturan untuk meminimasi peluang seleksi internal dalam pengisian JPT, yaitu dengan mengharuskan “instansi yang telah menerapkan sistem merit” mengumumkan kepada publik setiap proses seleksi JPT-nya dan membuka kesempatan publik memberi masukan.
    Perlu ada pembatasan non-PNS yang akan menduduki JPT, misalnya berupa:
o Minimal 5 tahun terakhir tidak menjadi kader parpol
o Bukan merupakan keluarga inti dan tingkatan kedua dari pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang berwenang
o Manajemen kinerja yang jelas dan tegas untuk JPT non-PNS yang tidak berkinerja baik.
Pasal 70 ayat 5 dan 6 (terkait diklat khusus)

Pasal 118 ayat 4 (terkait sanksi)

Pasal 111 (terkait pengisian JPT)

Pasal 109 ayat 1 (terkait JPT non-PNS)
Pasal 42
KASN à Pengisian JPT
·    Perlu ada prasyarat yang ketat bagi instansi untuk dikatakan “telah menerapkan sistem merit”
·    Contoh prasyarat:
o Melakukan survey internal dan eksternal
o Verifikasi lapangan dari KASN
o Audit oleh pihak ketiga yang ditunjuk atau disetujui KASN
Pasal 111 (pengecualian dalam pengisian JPT)
Pasal 57
Pasal 67
Pasal 74


Pasal 78
Penyusunan kebutuhan CPNS
Pengadaan CPNS
Pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, mutasi
Penilaian kinerja
·    Keempat PP perlu memiliki benang merah berupa manajemen kinerja
·    Perencanaan pengembangan pegawai sebaiknya selaras dengan perencanaan kebutuhan pegawai yaitu 5 tahun. Keduanya merupakan turunan dari renstra K/L atau RPJMD Pemda
·    PP terkait penilaian kinerja perlu mendorong inovasi dalam manajemen kinerja, sehingga tidak semata-mata menjadi baseline
Seluruh pasal terkait PPPK dan JPT
Pasal 107
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
·    Perlu memerhatikan komprehensivitas hubungan industrial (dapat mencontoh pola yang dikembangkan dalam UU Ketenagakerjaan tapi tidak sepenuhnya meniru)
·    Keberadaan PPPK tetap dalam koridor manajemen kinerja, sehingga perencanaan kebutuhan PPPK juga terintegrasi dengan perencanaan kebutuhan PNS dan perencanaan pengembangan pegawai, yaitu berlandaskan renstra K/L dan RPJMD pemda.
·    Perlu ada penegasan durasi maksimum setiap termin kontrak, misalnya 2 (dua) tahun
·    Perlu memuat jenis jabatan yang dapat diduduki PPPK (sebaiknya bukan fungsional keahlian)
·    Perlu dipertimbangkan agar PPPK dapat menduduki jabatan administrator dengan syarat tertentu
·    Perlu diatur agar PNS yang telah pensiun tidak dapat menjadi PPPK







Substansi UU ASN  tentang Pangkat, Jabatan, Pengembangan Karier, Pola Karier dan Promosi.[4]

Salah satu yang paling menarik dalam substansi UU ASN adalah berkenaan dengan Pangkat dan Jabatan., Pengembangan Karier, Pola Karier dan Promosi. Pembahasan terhadap keempat materi tersebut disusun secara berurutan yakni pasal 68, 69, 70 dan 71 UU Aparatur Sipil Negara.

      1.     PANGKAT DAN JABATAN (Pasal 68)
      Jabatan pemerintahan adalah salah satu poin penting yang sangat diperhatikan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. permasalahan jabatan yang kerap kali ditemukan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya sepertinya memberikan sudut pandang yang berbeda dari pemerintah dan DPR untuk dapat lebih mengoptimalkan kinerja dan efektifitas para pejabat pemerintah.

Permasalahan seperti penempatan pegawai ke dalam jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi dan latar belakang pendidikan, sitem merit yang belum sepenuhnya berjalan secara obyektif serta lekatnya kepentingan para pejabat politik dalam penempatan pegawai dalam jabatan terutama jabatan struktural terbukti sangat mempengaruhi materi penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini.

Pakta-pakta seperti jabatan pengelola keuangan yang diisi oleh pegawai dengan latar belakang pendidikan non keuangan, pejabat bidang pemerintahan yang berasal dari seorang sarjana ekonomi, atau bahkan seorang dokter gigi yang ditempatkan untuk mengelola bidang ketentraman dan ketertiban adalah beberapa contoh nyata carut marut mutasi dan promosi jabatan pada instansi pemerintahan. 

Hal ini menyebabkan dalam UU terbaru ini ditegaskan keharusan jabatan disesuaikan dengan kompetensi, kualifikasi dan persyaratan yang dimiliki seorang pegawai, Pasal 68 ayat 2 yang berbunyi : “Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.”

Pasal tersebut mengisyarakat bahwa ketentuan pertama dalam menempatkan pegawai ke dalam jabatan tertentu adalah dengan membandingkan antara kompetensi, kualifikasi dan persyaratan pegawai dengan komptensi, kualifikasi dan persyaratan jabatan.

Jika kompetensi, kualifikasi dan peryaratan saya artikan sebagai mutu pegawai dan kompetensi, kualifikasi dan peryaratan saya artikan sebagai standar jabatan maka tabelnya adalah sebagai berikut


Perbandingan
Hasil
Mutu pegawai = standar jabatan
Layak
Mutu pegawai > standar jabatan
Layak
Mutu pegawai < standar jabatan
Tidak Layak
  

Selain ketentuan tersebut di atas Pasal 68 ayat 3 berbunyi :
“Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola kerja.”

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sebelum menentukan pengangkatan pegawai dalam jabatan tertentu maka perlu disusun sebuah pedoman tentang klasifikasi jabatan yang disesuaikan dengan karakteristik, mekanisme dan pola kerja.

Hal ini saya nilai merupakan langkah yang cemerlang, karena dengan melakukan pengklasifikasian jabatan maka pegawai akan memiliki kepastian apakah ia sesuai dengan jabatan tertentu atau sebaliknya. Dengan kepastian ini maka ia memiliki jaminan terhadap masa depan karirnya yang akan menuntut dia ke dalam proses pelaksanaan tugas yang efektif.

Hanya yang perlu diperhatikan di sini adalah akurasi pengklasifikasian. Dengan pengklasifikasian yang tepat maka penempatan pegawai dalam jabatan tertentu akan sesuai dengan kompetensinya, akan tetapi jika pengklasifikasian tersebut tidak tepat maka masih akan tetap terjadi penempatan yang orang salah dalam jabatan yang salah “wrong man in the wrong place”.

Selain berkenaan dengan beberapa hal di atas ketentuan tentang pangkat dan jabatan dalam UU ASN ini juga memberikan peluang bagi pegawai untuk dapat berpindah antara instansi daerah, propinsi maupun pusat, juga dimungkinkan adanya pengisian jabatan TNI dan Polri dari aparatur sipil.

Lebih lanjut berkenaan dengan pangkat dan jabatan ini akan kita lihat dalam peraturan pelaksanaannya yang akan disusun kemudian, semoga peraturan pelaksanaannya nanti mampu menjabarkan secara tepat substansi pasal 68 ini, sehingga tercipta mekanisme penempatan pegawai dalam jabatan yang lebih obyektif yang mampu memacu kinerja pegawai sipil negara.

Dengan akurasi yang optimal dalam pengklasifikasian maka saya yakin akan membawa perubahan nyata terhadap kinerja pegawai dan organisasi karena  

Lebih dari itu kita juga berharap dengan kehadiran KASN mampu mengawasi pelaksanaan ketentuan ini secara optimal sehingga kedepan tidak lagi kita temukan penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang dan kompetensinya.

    2.PENGEMBANGAN KARIER

Pengembangan karier dapat kita artikan sebagai sebuah pergerakan vertikal dari jabatan pegawai negara atau aparatur sipil, yakni naik atau turunnya seorang pegawai dalam pangkat maupun jabatannya.

Berkenaan dengan pengambangan karier ini UU ASN memberikan isyarat untuk diperhatikannya enam hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 Ayat 1 dan 2 yakni
1.      Kualifikasi:
2.      Kompetensi:
3.      Kinerja;
4.      Kebutuhan organisasi;
5.      Mempertimbangkan Integritas;
6.      Mempertimbangkan Moralitas.

Kualifikasi yang dimaksud meskipun tidak dijelaskan dalam ketentuan undang-undang ini, saya memandangnya sangat berkaitan erat dengan pengklasifikasian yang diamanatkan dalam Pasal 68. Setelah dilakukan pengklasifikasi jabatan maka tentunya akan mengerucut pada ketentuan jabatan tertentu yang hanya dapat diisi oleh pegawai dengan kualifikasi tertentu. Pegawai yang tidak sesuai dengan kualifikasi jabatan tersebut otomatis gugur dan tak dapat menempati jabatan tersebut. Kualifikasi ini dapat dilihat dari senioritas dan dafatar urut kepangkatan.

Kompetensi yang dimaksud di atas dijelaskan dalam ayat selanjutnya yakni ayat 3 pasal 69 berupa kompetensi teknis (pendidikan, diklat teknis dan pengalaman), kompetensi manajerial (tingkat pendidikan, diklat struktural dan pengalaman) dan kompetensi sosiokultural tentunya kompetensi terakhir ini sangat berkaitan dengan kemampuan pegawai dalam memahami kondisi masyarakat yang dilayani.

Berkenaan dengan kompetensi memang ada beberapa yang absurd seperti kompetensi sosiokultural yang memang sulit untuk diukur serta indikatornyapun akan dapat kita artikan secara berbeda antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Perbedaan pandangan terhadap komptensi ini akan sangat mungkin terjadi.

Akan tetapi untuk kompetensi teknis dan manajerial sesungguhnya kita dapat menyusun sebuah indikator yang terukur dan disepakati bersama, misal tentang pendidikan teknis ini tentunya dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, diklat teknis dan kursus-kursus yang pernah diikuti. Pun dengan kemampuan Manajerial ia dapat diukur dengan melihat pengalaman bekerja atau pengalaman menduduki jabatan tertentu, diklat struktural yang telah diikuti dan lain sebagainya.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini tataran pelaksanaan. jika saat ini masih banyak terjadi pegawai yang melaksanakan pendidikan setelah ia duduk dalam jabatan, maka sebaiknya hal tersebut tidak boleh terjadi lagi. Disinilah penting ketentuan pelaksanaan yang secara tepat menjabarkan substansi pasal ini dengan tegas. Jangan ada peluang untuk kemungkinan hal itu terjadi. Misalnya kenaikan pangkat pilihan dan istimewa, ini adalah beberapa peluang yang membuat ketentuan terdahulu tidak tegas. Jikapun harus ada kenaikan pangkat seperti itu maka indikatornya harus jelas dan terukur.

Berkenaan dengan kinerja, saya sangat konsern terhadap hal ini. Organisasi pemerintah tentunya bukanlah organisasi privat yang dapat relatif lebih mudah mengukur kinerja pegawainya. Jika dalam organisasi privat kita dapat mengukur kinerja dengan membandingkan input dengan output, melihat keuntungan perusahaan yang meningkat maka dalam organisasi pemerintah yang nirlaba maka kinerja tidak dapat diukur dari jumlah uang atau materi yang dihasilkan.
Oleh Karena itu perlu disusun sebuah indikator jelas dan terukur berkaitan dengan kinerja pegawai. Kehadiran Tim Penilai Kinerja sebagaimana amanat Pasal 72 Undang-Undang ini adalah merupakan langkah positif. Tentunya denga ketentuan pelaksanaan Tim ini harus obyektif. Tim harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, jujur dan transfaran melalui indikator pengukuran yang terukur.

Jangan sampai keberadaan tim Penilai ini serupa dengan keberadaan Baperjakat saat ini yang sarat dengan kepentingan politik.

Penempatan pegawai sesuai denga kompetensi tentunya bukan tanpa resiko, permasalahan yang akan muncul dengan penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi adalah kemungkinan terjadinya ketidak seimbangan jumlah pegawai.

Kita menyadari bahwa kondisi pegawai pemerintah saat ini berdasarkan kemampuan atau komeptensi sangatlah tidak seimbang. Pegawai dalam beberapa sektor yang bersifat teknis seperti sektor kesehatan, sektor keuangan serta sektor teknis lainya dirasakan masih jauh dari memadai baik kuantitas maupun kualitanyas.

Kebanyakan pegawai negeri saat ini memiliki latar belakang sarjana pemerintahan, manajemen maupun sarjana administrasi negara. sehingga jika kebijakan penempatan pegawai harus disesuaikan denga latar belakang pendidikan dan kompetensi maka kemungkinan Instansi pada bidang pemerintahan umum akan over kapasitas sementara pegawai pada instansi teknis akan kekurangan pegawai.

Akan tetapi hal tersebut saya kira akan mampu kita selesaikan dengan merancang sebuah metode pendidikan khusus untuk meningkatkan kompetensi pegawai dalam bidang tertentu. Pelaksanakan pendidikan pelatihan formal semisal pra jabatan, diklat pim serta kursus-kursus spesialisasi haruslah segera dirancang disesuaikan dengan bidang tugas pegawai masing-masing.

Pembagian jurusan ketika Prajabatan, diklat kepemimpinan maupun kursus-kursus yang dilaksanakan oleh pemerintah kedepan perlu disusun sedemikian rupa. Sehingga tentunya selain kemampuan manajerial yang coba ditanamkan dalam pendidikan tersebut pengetahuan-pengetahuan teknispun tidak luput untuk disampaikan sebagai bagian dari mata pelajaran pendidikan.

Dengan begitu meskipun latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan lingkungan pekerjaan akan tetapi akselerasi melalui diklat akan dapat membuat pegawai mengejar ketertinggalannya dari para pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang penugasannya tersebut.

Hal ini adalah tanggung jawab Lembaga Administrasi Negara sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam upaya pengembangan kompetensi pegawai sebagaiman tercantum dalam Pasal 43 dan 44 huruf b yakni “membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Pegawai ASN berbasis kompetensi”.

Pelatihan berbasis kompetensi ini saya maknai sebagai sebuah pendidikan yang dirancang untuk mengambangkan kemampuan pegawai disesuaikan dengan komptensi yang dimilikinya. Sehingga mengadakan jurusan dalam jenjang pendidikan karir serta pendidikan khusus harus senatiasa dilakukan secara terprogram sistematis dan baku.

Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya Lembaga Administasi Negara perlu menyusun sebuah metode baku tentang jenjang pengembangan kompetensi pegawai yang terprogram, sistematis, berbasis kompetensi, serta mendukung pengembangan karir para pegawai.

Jabatan bagaimanapun juga merupakan idaman dan keinginan dari setiap pegawai, oleh karena itu jaminan yang jelas terhadap pengembangan karir seorang pegawai adalah sebuah keniscayaan bagi terciptanya organisasi yang efektif.

Menciptakan organisasi yang efektif haruslah dimulai dari meningkatkan efektifitas pegawai. Tanpa ada jaminan terhadap pengembangan karir seorang pegawai maka peningkatan efektifitas organisasi adalah sebuah kemustahilan.

Hal itulah yang selama ini terjadi, tidak adanya pola pengembangan karir yang jelas menyebabkan pegawai tidak memiliki motivasi untuk berprestasi, hal ini menyebabkan organisasi berjalan di tempat atau paling tidak berjalan lambat.

Oleh karena itu pengembangan karier yang jelas dan terukur sangatlah penting untuk disusun.

Masih berkenaan dengan pengembangan Karir, UU ASN ini juga menciptakan sebuah terubusan baru dalam hal peningkatan Komptensi Pegawai Negeri yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 70 Ayat 2, yang pada intinya adalah tentang perlunya disusun sebuah rencana pengembangan kompetensi pegawai negeri per tahun Anggaran.

Pelaksanaan pengembangan potensi tersebut lebih rinci dijelaskan dalam pasal 70 ayat 3 dan 4 yakni melalui penempatan sementara (magang) di beberapa instansi baik pusat maupun daerah paling lama 1 tahun serta melalui pertukaran dengan instansi swasta dengan jangka waktu paling lama satu Tahun.

Seluruh kegiatan tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN)

Meskipun ini terobosan yang sangat baik akan tetapi memang menjadi sebuah pertanyaan. Apakah cara lain dapat digunakan? Karena dengan ketentuan pasal 70 ayat 3 dan 4, maka seolah-olah upaya pengembangan kompetensi pegawai dibatasi kepada dua cara tersebut. Padahal sesungguhnya masih banyak upaya lain untuk mengembangkan kompetensi pegawai, seperti melalui kursus dan pelatihan oleh lembaga-lembaga profesional.

  
    3.   POLA KARIER

Pola Karier seyogyanya sangat berhubungan erat dengan pengembangan Karier. Isi Pasal 71 Ayat 1 dan 2 UU ASN  yang membahas tentang pola karier menunjukkan tentang pentingnya disusun sebuah pola karier yang terintegrasi dan bersifat nasional (Pasal 1) dan penyusunan tersebut dilaksanakan oleh masing-masing instansi pemerintah (2).

Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa pola karier meskipun disusun oleh masing-masing instansi baik pemerintah pusat (kementerian, non kementerian dan lembaga negara lainnya) pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota, akan tetapi harus terintegrasi secara nasional.

Jika Pengembangan karier menunjuk pada pegawai, yakni upaya meningkatkan karier pegawai, maka pola karier adalah cetak biru atau pedoman terhadap kemungkinan jenjang karier yang akan dilalui oleh seorang pegawai.

Pola karier ini juga selain berfungsi untuk sebagai pedoman penjenganjang karir pegawai berfungsi juga sebagai alat memotovasi pegawai dalam bekerja. Pola karir yang baik akan memberikan kepastian kepada pegawai tentang pelaksanaan tugasnya yang akan menentukan masa depannya dalam organisasi.

Kepastian seperti promosi dalam jabatan, sanksi terhadap pelanggaran sebagai akibat dari pekerjaanya akan memacu pegawai untuk senantiasa bekerja secara maksimal. Oleh karena itu pola karir yang jelas sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang akan berujung kepada kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Pola karier ini meskipun belum dijelaskan dalam Undang-Undang ini, menurut saya di dalamnya harus mencakup pembagian jabatan berdasarkan kompetensi, karakteristik, mekanisme dan pola kerja sebagaimana ketentuan pasal 68, persyaratan untuk mendudukinya berdasarkan kualifikasi, kompetensi, Moralitas dan integritas pegawai serta kebutuhan instansi sebagaimana ketentuan pasal 69, Alur promosi, mutasi dan demosi pegawai yang pasti serta rewards dan punishment yang konsisten bagi pegawai.

Selain berkenaan dengan jabatan pola karier juga harus mencakup tentang kemungkinan peningkatan dan penurunan pangkat baik reguler, pilihan maupun istimewa yang dilaksanakan secara terukur dan dengan indikator yang jelas dan disepakati bersama oleh pegawai.

Pola karier ini harus disusun secara transparan dan diketahui oleh khalayak umum terutama para pegawai. Sehingga setiap pegawai memahami konsekuensi dari setiap pelaksanaan pekerjaan terhadap karier organisasinya di masa yang akan datang.

Lebih lanjut dari itu semua pedoman pola karier yang telah disusun tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan ditegakkan setegak-tegaknya.

Berkenaan dengan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) yang ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tidak sedikitpun pasal yang membahasnya. Penulis belum bisa menarik kesimpulan karena tidak adanya ketentuan yang secara jelas membubarkan atau menetapkan keberadaan organisasi ini. Hal tersebut kemungkinan akan lebih jelas dijabarkan dalam peraturan pelaksana karena dalam undang-undang sebelumnya tersebut Baperjakat dibentuk berdasarkan PP Nomor 100 Tahun 2002. Tapi jika kita mengambil kesimpulan sementara maka Fungsi Baperjakat ini telah diambil alih oleh tim penilai kinerja pegawai yang dibentuk oleh pejabat berwenang.

4.    PROMOSI (Pasal 71)

Promosi sesungguhnya sangat terkait erat dengan jabatan, pengembangan karier dan pola karier sehingga pembahasannyapun saya kira telah secara komprehensif tersampaikan pada pembahasan di atas.

Mungkin yang dapat ditambahkan disini adalah berkenaan dengan amanat dibentuknya Tim Penilai Kinerja PNS, yang bertugas memberikan pertimbangan terhadap usulan penempatan pegawai dalam sebuah jabatan promosi.

Tim Penilai ini dibentuk oleh Pejabat Berwenang. Pejabat berwenang adalah Sekretaris Daerah di lingkungan Pemerintah daerah dan untuk instansi pemerintah lainnya silahkan lihat artikel saya sebelumnya tentang Substansi UU ASN (1).


5.PERSEPSI DINI TENTANG JABATAN DALAM UU ASN

Sebelum UU ASN ini disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah yang kemudian akan disahkan sebagai Undang-Undang, terdapat beberapa persepsi yang berkembang di kalangan pegawai negeri terutama menyangkut jabatan pegawai. Persepsi tersebut diantaranya :
1.      Hilangnya Jabatan Struktural setingkat Esselon III ke bawah;
2.      Jabatan Esselon III ke bawah berubah menjadi jabatan fungsional;
3.      Adanya kemungkinan jabatan struktural yang diisi oleh Pegawai dengan Perjanjian Kontrak.

Berdasarkan analisis penulis yang serba terbatas terhadap substansi Pasal 68 – 71 Undang-Undang ASN ini maka beberapa persepsi tersebut dapat dikatakan tidak sepenuhnya benar.

1.    Berkenaan dengan hilangnya jabatan struktural esselon III ke bawah, maka persepsi tersebut dapat dikatakan benar jika yang kita bicarakan adalah nomenklatur esselonering. Akan tetapi hal tersebut tidak berarti hilangnya jabatan struktural itu. Jabatan esselon III ke bawah akan tetap ada hanya yang berubah adalah nomenklaturnya yakni :
No
Jabatan struktural Menurut UU 43 Tahun 1999
Jabatan Struktural Menurut UU ASN 5 Tahun 2014
1.
Esselon I dan II
Pejabat Pimpinan Tinggi
2
Esselon III
Administrator
3.
Esselon IV
Pengawas
4.
Esselon V dan Pelaksana
Pelaksana
Pasal (131)

1.      Berkenaan dengan Persepsi bahwa jabatan esselon III ke bawah berubah menjadi jabatan fungsional hal ini juga terbukti tidak tepat, karena UU ASN tidak mengkelompokkan jabatan administrator, pengawas dan pelaksana ke dalam golongan jabatan fungsional melainkan mengkategorikannya sebagai jabatan administrasi.(Pasal 13)

2.   Berkenaan dengan persepsi bahwa jabatan ASN dapat diisi oleh PPPK (pegawai kontrak) itu juga relatif tidak benar karena sebagaimana ketentuan Pasal 93, yakni bahwa manajemen PPPK hanya meliputi:
·         penetapan kebutuhan;
·         pengadaan;
·         penilaian kinerja;
·         gaji dan tunjangan;
·         pengembangan kompetensi;
·          pemberian penghargaan;
·         disiplin;
·         pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan
·         perlindungan.

Sehingga di dalamnya tidak meliputi kemungkinan pangkat dan jabatan, pengembangan karier serta promosi dan mutasi sebagaimana ditemukan dalam manajemen  PNS.

Kesimpulan Penulis

Berkenaan dengan Pangkat dan Jabatan, UU ASN sedemikian rupa telah membentuk sebuah mekanisme ideal untuk menciptakan organisasi pemerintah yang profesional. Penempatan pegawai berdasarkan kualifikasi, kompetensi, moralitas dan integritas pegawai serta kebutuhan organisasi adalah salah satu bentuk idealisme tersebut.

Pembagian jabatan berdasarkan kompetensi teknis, karakteristik dan pola kerja juga merupakan bentuk lain dari upaya pemerintah menciptakan kondisi “right man on the right place” yang selama ini seperti hanya mimpi belaka.

Selain itu ketentuan tentang pengembangan dan pola karier yang harus disusun secara jelas oleh seluruh instansi pemerintah yang terintegrasi secara nasional juga adalah sesuatu yang selama ini didam-idamkan oleh para pegawai pada tataran implementasi.

Didukukung dengan keberadaan KASN dan Tim penilai kinerja sebagai lembaga pengawas kebijakan kepegawaian dan lembaga pengukur efektifitas kinerja pegawai maka menurut saya sistem kepegawaian ini sudah cukup ideal.

Akan tetapi diantara berbagai keunggulan tersebut yang terpenting adalah tataran pelaksanaan. Konsistensi dalam aturan pelaksanaan yang akan disusun ke depan, penjabaran yang tepat terhadap substansi undang-undang serta pelaksanaan konsisten dari seluruh stakeholder pelaksanalah yang akan menentukan tingkat efektifitas Undang-Undang ini terhadap peningkatan mutu kinerja pegawai negeri di masa yang akan datang.

Pengalaman membuktikan berbagai upaya penciptaan kondisi efektif organisasi pemerintah terbentur pada dua hal yakni mindset pegawai negeri yang masih terbelakang (negatif) dan budaya organisasi yang negatif.

Mindset pegawai negeri sebagai pekerjaan aman tanpa resiko pemecatan, PHK dan lain sebagainya begitu mendarah daging dalam diri pegawai negeri dan budaya organisasi yang masih permisif terhadap berbagai pelanggaran adalah dua hal penting yang harus segera diperhatikan.

Dan menurut saya Undang-Undang ini belum menyentuh ke arah sana. Semoga saja pandangan saya ini salah.

Tapi tak mengapa karena menurut saya upaya ke arah sana masih dapat dilakukan dalam tataran operasional. Melakukan perubahan terhadap mindset dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan pra jabatan dan dalam jabatan. Bisa pula dilakukan melalui “magang” di instansi swasta dan lain sebagainya dan hal tersebut bisa dijabarkan dalam aturan operasional seperti PP dan peraturan menteri.

Peningkatan budaya organisasi positif dapat dilakukan melalui penegakan rewards dan punishment yang konsisten. Dalam tataran operasional dapat diwujudkan dengan disertai political will pimpinan.
Penegakan aturan haruslah dimulai dari level pejabat pimpinan tinggi karena itu akan menciptakan efek domino terhadap seluruh pegawai di bawahnya. Berbeda halnya dengan jika itu dimulai dari bawah karena sangat kecil kemungkinan dapat mempengaruhi level yang lebih tinggi.




[1]Alfie Syarien, Memastikan Perubahan yang Nyata dari UU ASN, imamalfie.blogspot.com, diakses 10 Januari 2014

[2] Imam Alfie, Catatan atas UU Aparatur Sipil Negara, Kompasiana, 20 Desember 2013

[3] Empi Muslin, Diskriminasi Profesi Dalam UU ASN,  PNS pada Setjen DPD RI, Purna Praja, Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Perancis, www.catatan Pamong.blog.com, diakses 10 April 2014.

[4] Muhammad Badar, Substansi UU ASN  tentang Pangkat, Jabatan, Pengembangan Karier, Pola Karier dan Promosi, menujupnsparipurna.blogspot.com.diakses 8 Mei 2014
»»  Baca Selengkapnya...