MENGKRITISI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
SECARA BERKESINAMBUNGAN
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
1. Pengertian Sumber Daya Alam
Pertanyaan
yang perlu diajukan apa yang dimaksud sumber daya alam? Sumber Daya Alam adalah
semua bahan yang ditemukan manusia dalam alam yang dapat digunakan untuk
kepentingan hidupnya. Bagi manusia, hakikat sumber daya alam sangat penting
baik sumber daya alam yang berupa benda hidup (hayati) maupun yang berupa benda
mati (non hayati). Kedua macam sumber daya alam tersebut dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Suatu negara yang banyak sumber daya
alamnya maka negara tersebut akan menjadi negara yang kaya.
Pemanfaatan
sumber daya alam ditentukan berdasarkan kegunaan sumber daya alam tersebut bagi
manusia. Oleh karena itu, nilai suatu sumber daya alam juga ditentukan oleh
nilai kemanfaatannya bagi manusia. Misalnya lahan pertanian yang subur dapat
dijadikan daerah pertanian yang potensial.
Manusia
(penduduk) suatu negara merupakan sumber daya bagi negara tersebut karena
manusia dapat memberikan manfaat bagi negaranya, seperti tenaga kerja, kemajuan
ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dapat meningkatkan ekonomi negara.
2. Penggolongan Sumber Daya alam
Sumber daya alam dapat digolongkan sebagai berikut.
a. Sumber Daya Alam Berdasarkan Asalnya
1) Sumber daya alam organik (biotik), yaitu sumber
daya alam yang berasal dari kehidupan.
Contoh: batu bara, minyak bumi.
Contoh: batu bara, minyak bumi.
2) Sumber daya alam anorganik (abiotik), yaitu sumber
daya alam yang bukan dari kehidupan.Contoh: timah, bauksit, besi, dan gas alam.
b. Sumber Daya Alam Berdasarkan Sifat Kelestariannya
1) Sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable
resource), yaitu
sumber daya alam yang tidak akan habis karena bagian-bagian yang telah terpakai dapat diganti dengan yang baru.
sumber daya alam yang tidak akan habis karena bagian-bagian yang telah terpakai dapat diganti dengan yang baru.
Contoh: udara, angin, tenaga air terjun, sinar
matahari, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources), yaitu sumber daya alam yang akan habis karena tidak dapat dibuat yang baru.
Contoh: timah, besi, bauksit, batu bara, dan minyak bumi.
2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources), yaitu sumber daya alam yang akan habis karena tidak dapat dibuat yang baru.
Contoh: timah, besi, bauksit, batu bara, dan minyak bumi.
c. Sumber Daya Alam Berdasarkan Pemanfaatannya
1) Sumber daya alam ruang, yaitu tempat yang
diperlukan manusia dalam hidupnya. Makin besar kenaikan jumlah penduduk maka
sumber daya alam ruang makin sempit dan sulit diperoleh. Ruang dalam hal ini
dapat berarti ruang untuk areal peternakan, pertanian, perikanan, ruang tempat
tinggal, ruang arena bermain anak-anak, dan sebagainya.
2) Sumber daya alam materi, yaitu bila yang dimanfaatkan
oleh manusia adalah materi sumber daya alam itu sendiri.
Contoh: Mineral magnetit, hematit, limonit, siderit,
dan pasir kuarsa
dapat dilebur menjadi besi/baja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, di antaranya untuk kerangka beton, kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
dapat dilebur menjadi besi/baja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, di antaranya untuk kerangka beton, kendaraan, alat rumah tangga, dan lain-lain.
3) Sumber daya alam energi, yaitu energi yang
terkandung dalam sumber daya alam. Bahan bakar minyak (bensin, solar, minyak
tanah), batu bara, gas alam, dan kayu bakar merupakan sumber daya alam energi
karena manusia menggunakan energinya untuk memasak, menggerakkan kendaraan, dan
mesin industri.
4) Sumber daya alam hayati, yaitu sumber daya alam
berbentuk makhluk hidup, yaitu hewan dan tumbuhan. Sumber daya alam
tumbuh-tumbuhan disebut sumber daya alam nabati,
sedang kan sumber daya hewan disebut sumber daya
hewani.
3.Permasalahan Yang Dihadapi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam
Setelah kebijakan otonomi daerah yang
dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagaimana tertuang pada Undang Undang (UU) no.
22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan
sistem tata-kelola pemerintahan (governance
system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi
pengelolaan wilayah secara nasional di Indonesia. Hal tersebut juga menimbulkan
adanya perubahan sikap masyarakat dan berbagai kalangan yang menaruh perhatian
pada pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana mereka berharap otonomi
daerah dapat membangun dan merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam
sehingga pemanfaatan sumberdaya alam benarbenar dapat mensejahterakan seluruh
rakyat.
Realitasnya saat ini pengelolaan
sumberdaya alam selama penerapan UU No 32 Tahun 2004 terakhir menunjukkan
kenyataan bahwa telah banyak inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam menindaklanjuti otonomi daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di
daerahnya masing-masing.
Terdapat beberapa kelemahan yang dapat
dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masih minimnya
pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia atas
sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan sebagai salah satu sumber penting pembiayaan pembangunan, sumber
daya alam yang ada dewasa ini masih belum dirasakan manfaatnya secara nyata
oleh sebagian besar masyarakat.
Pengelolaan sumber daya alam tersebut
belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Selain itu
lingkungan hidup juga menerima beban pencemaran yang tinggi akibat pemanfaatan
sumber daya alam dan aktivitas manusia lainnya yang tidak memperhatikan
pelestarian lingkungan.
Dalam konsepnya, otonomi daerah (sesuai
UU 22/1999 dan penyempurnaannya pada UU 32/2004) secara eksplisit ataupun
implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi
(kesetaraan, kesejajaran, etikaegalitarianisme), keunggulan lokal,
keberagaman, prinsip bottom-up, desentralisme administratif yang elegan dan
berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di
lapangan, penghargaan pada prakarsa serta hak-hak politik masyarakat lokal,
kemandirian dan kedaulatan sistem sosial-ekonomi lokal serta pembebasan dari
segala bentuk ketergantungan sosial-politik pada semua pihak.
Dalam hal pengeloaan sumber daya alam,
maka asas transparansi tata-pemerintahan, akuntabilitas publik dan pengelolaan
sumberdaya alam juga menjadi salah satu maksud diundangkannya UU tersebut.
Konsep otonomi daerah juga memberikan platform bagi sistem administrasi
pembangunan yang memungkinkan setiap stakeholder mengaktualisasikan cita-cita
pencapaian derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic
standard of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang
berkelanjutan (sustainable natural resources and environment) secara aspiratif.
Realitasnya, bahwa pengelolaan
sumberdaya alam selama ini menunjukkan kenyataan bahwa telah banyak inisiatif
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menindaklanjuti otonomi daerah
dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di daerahnya masing-masing. Namun
inisiatif tersebut nampaknya belum merata ke seluruh daerah. Terdapat beberapa
kelemahan yang dapat dicatat dan pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah
masih minimnya pemahaman terhadap kepentingan seluruh komponen bangsa Indonesia
atas sumberdaya alam dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan.
Selaras dengan semangat otonomi daerah
yang muncul sejak 1999 membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut, dan
berusaha menata kembali pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada.
Arah pengelolaan yang hendak dicapai melalui visi baru tersebut sangat relevan
untuk dikaji mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia.
Identifikasi beberapa permasalahan pokok
dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertama
adalah keterbatasan data dan informasi dalam kuantitas maupun kualitasnya.
Keterbatasan data dan informasi yang akurat berpengaruh pada kegiatan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang belum dapat
berjalan dengan baik. Sementara itu, sistem pengelolaan informasi yang
transparan juga belum melembaga dengan baik sehingga masyarakat belum mendapat
akses terhadap data dan informasi secara memadai.
Lebih lanjut, permasalahan pokok lainnya
adalah kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber
daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Kondisi ini
ditandai dengan maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan,
perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta pertambangan tanpa izin.
Permasalahan lain adalah belum
jelasnya pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik (transgenik) yang
mengancam keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia, serta permasalahan
ketergantungan yang tinggi pada sumber daya fosil.
Pada sisi lain ternyata, tingkat
kualitas lingkungan hidup di darat, air, dan udara secara keseluruhan masih
rendah, seperti tingginya tingkat pencemaran lingkungan dari limbah industri
baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta kegiatan transportasi dan rumah
tangga baik berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) maupun non-B3.
Tingginya ketergantungan energi pada
sumber daya fosil, merupakan permasalahan penting yang mengakibatkan
peningkatan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada kenaikan permukaan laut,
perubahan iklim lokal dan pola curah hujan, serta terjadinya hujan asam; belum
tergantikannya bahan perusak lapisan ozon (BPO) seperti chloro fluoro carbon
(CFC), halon, dan metil bromida; serta kurangnya pemahaman dan penerapan
Agenda 21 di tingkat nasional dan lokal.
Selanjutnya,
prinsip keberlanjutan yang mengintegrasikan tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi
dan sosial budaya belum diterapkan di berbagai sektor pembangunan baik di pusat
maupun di daerah.
Biaya
lingkungan belum dihitung secara komprehensif ke dalam biaya produksi, di lain
pihak tidak diterapkannya sistem insentif bagi pemasaran produk yang akrab
lingkungan (produk hijau). Hal ini mengakibatkan produk hijau tidak dapat
bersaing, sementara di dalam negeri konsumen Indonesia dengan tingkat
kemiskinan masih tinggi, tidak mempunyai pilihan untuk mengkonsumsi
produk-produk hijau tersebut.
Program
sukarela yang ditawarkan seperti ISO 14000 dan ekolabeling juga masih belum
banyak diterapkan, bahkan dirasakan oleh industri bukan sebagai peningkatan
efisiensi perusahaan.
Apa yang menjadi faktor terjadinya permasalahan-permasalahan
tersebut diatas timbul antara lain karena faktor rendahnya kapasitas
kelembagaan, faktor belum mantapnya peraturan perundangan, serta faktor
lemahnya penataan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian lingkungan hidup.
Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah
daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sejalan dengan
otonomi daerah, masih belum sepenuhnya jelas, karena peraturan pelaksanaan yang
merinci fungsi dan kewenangan Pemerintah Daerah belum lengkap. Selain
itu, terdapat permasalahan dalam hal kualitas sumber daya manusia untuk
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Pada sisi lain sementara itu, masih
rendahnya akses masyarakat terhadap data dan informasi sumber daya alam
berakibat pula pada terbatasnya peran serta
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan
hidup. Lemahnya kontrol dan keterlibatan masyarakat, serta penegakan hukum
dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, juga
merupakan masalah penting lain yang menyebabkan hak-hak masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya alam menjadi terbatas dan sering menimbulkan konflik
antar pelaku.
4.Langkah-langkah
Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai
Dengan memperhatikan permasalahan dan
kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup seperti diuraikan diatas maka
strategi kebijakan yang ditempuh adalah: (1) Mengintegrasikan prinsip-prinsip
keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam;
(2) Menumbuhkan tanggung jawab sosial dan praktik ekoefisiensi di tingkat
perusahaan dengan mengintegrasikan biaya lingkungan dan biaya sosial terhadap
biaya produksi; (3) Menerapkan teknologi yang terbaik dan tersedia, termasuk
teknologi tradisional untuk kegiatan konservasi, rehabilitasi sumber daya alam;
(4) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang menjamin keseimbangan antara
pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam, yang didukung oleh kepastian hukum
atas kepemilikan dan pengelolaan; (5) Menata kelembagaan, termasuk
pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup secara bertahap kepada pemerintah daerah; (6) Melakukan pembenahan
terhadap sistem hukum yang ada menuju sistem hukum yang responsif yang didasari
prinsip-prinsip keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, serta
keseimbangan ekologis, ekonomis, dan pengarusutamaan gender; (7) Melakukan
reorientasi paradigma pembangunan yang mengakui hak-hak publik terhadap
pengelolaan sumber daya alam; serta (8) Mendorong budaya yang berwawasan
lingkungan melalui revitalisasi budaya lokal dan menumbuhkan etika lingkungan
dalam pendidikan dan lingkungan masyarakat; (9) Mengembangkan pola kemitraan dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Dalam melaksanakan strategi kebijakan
tersebut, langkah-langkah yang dilakukan mengacu pada program-program pokok yang telah ditetapkan,
yaitu: program pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup; program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan
rehabilitasi sumber daya alam; program pencegahan dan pengendalian kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup; program penataan kelembagaan dan penegakan
hukum pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup; dan
program peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian lingkungan hidup.
Program-program tersebut saling terkait
satu sama lain dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dari generasi ke generasi dengan kualitas lingkungan hidup yang
semakin baik.
Sesuai dengan paradigma baru pengelolaan
sumberdaya alam tersebut telah pula mendorong terbentuknya kebijakan makro
pemerintah Indonesia dalam bentuk TAP MPR No: IX/2001 tentang pembaharuan dan
pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan
sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini merupakan salah satu
bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di bawah
konsep pembangunan berkelanjutan.
Arah kebijakan pengelolaan sumberdaya
alam dalam TAP MPR No. IX/2001 ini dinyatakan sebagai berikut:
a. Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar
sektor.
b.
Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan
berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional.
c.
Memperluas pemberian akses informasi
kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong
terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan
termasuk teknologi tradisional.
d.
Memperhatikan sifat dan karakteristik
dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.
e.
Menyelesaikan konflik-konflik
pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum.
f.
Mengupayakan pemulihan ekosistem yang
telah rusak akibat eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan.
g. Menyusun
strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat
dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi
daerah maupun nasional.
TAP MPR NO. IX/MPR/2001 secara khusus
memberikan mandat kepada DPR bersama Presiden untuk mengatur lebih lanjut
pelaksanaan pembaruan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah
dan/atau mengganti semua peraturan yang ada di bawahnya.
Berikut ini adalah peraturan perundangundangan
pengelolaan sumberdaya alam di bidang konservasi dalam konteks otonomi daerah.
1.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2.
Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan
3.
Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman.
4.
Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang
Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan.
5.
Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keaneka-ragaman Hayati).
6.
Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
7.
Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian.
8.
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9.
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
10. Peraturan
Pemerintah No. 35 Tahun 1963 tentang Penyerahan Pengusahaan Hutan-hutan
tertentu kepada Perusahaan Negara
11. Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.
12. Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
13. Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
14. Peraturan
Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.
15. Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
5.Harapan Regulasi
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya
disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat
konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak
dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika
penyelenggaraan kehidupan bernegara tetap dalam sistem yang sentralistik.
Terdapat tiga manfaat yang umumnya
diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi :
pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga
masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat
diatasi; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan
perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang
partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah
sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Banyak pihak berharap pelaksanaan otonomi
daerah akan membawa perubahanperubahan mendasar, sehingga kebijakan dan
kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Namun pelaksanaan otonomi
daerah tidak seperti yang diharapkan, sehingga banyak pihak yang lalu memandang
otonomi daerah sebagai pemberi dampak buruk terhadap pengelolaan sumberdaya
alam di Indonesia.
Hal tersebut menurut Kartodiharjo dan
Jhamtani (2006) disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) adanya pertentangan
kebijakan pusat dan daerah yang salah satunya sebagai akibat tidak dilakukannya
sinkronisasi UU sektor dengan UU otonomi daerah, (2) persepsi mengenai otonomi
daerah yang beragam, dimana persepsi lembaga-lembaga pemerintah tidak cukup
tepat memaknai pelaksanaan otonomi daerah, dan di sisi lain masyarakat tidak
percaya terhadap apa yang dilakukan pemerintah, dan (3) kelemahan fungsi
pemerintahan daerah terutama kelemahan dalam perumusan kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam. Akibat dari otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya
alam dikemukakan oleh Nababan (2002) yang memandang bahwa otonomi daerah
sebagai pendorong pengrusakan sumberdaya alam yang semakin meningkat serta
pengrusakan sendi-sendi masyarakat adat yang umumnya berakar di wilayah
pedesaan.
UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah
dibentuk untuk mendukung dan menunjang penyelenggaraan otonomi daerah yang
bertanggung jawab dan berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi. Berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks otonomi daerah, dalam Pasal 10
UU ini dinyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerahnya. Adapun upaya
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut kiranya harus dilaksanakan
dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup secara bertanggung jawab
dan disesuaikan dengan potensi dan kenekaragaman daerah.
Hal ini menjadi mandat tersendiri bagi
pemerintah daerah untuk mampu membentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di
daerahnya dengan berorientasi pada potensi dan kemampuan daerah setempat. Namun
mandat tersebut seringkali kurang diimplementasikan, sehingga Peraturan Daerah
(Perda) Kabupaten yang merupakan turunan dari Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah umumnya tidak menyebutkan secara eksplisit kewenangan desa dalam
pengaturan sumberdaya alam.
Padahal PP No. 72/2005 menyebutkan
secara jelas menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berhak melakukan
identifikasi, pembahasan dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan
pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan,
dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan,
perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial,
pekerjaan umum, perhubungan dan lingkungan hidup, perikanan, politik dalam
negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas
pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan
perlindungan.
Namun dalam pengelolaan perlu juga
memperhatikan hak-hak masyarakat adat, sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 37 ayat 5 bahwa
pemanfaatan hutan adat adalah segala bentuk usaha yang menggunakan hutan adat
untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan adat yang berfungsi lindung dan
konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan
hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dikatakan bahwa
peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diarahkan dan digerakan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya
guna dan hasil guna. Konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH) adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya tetap terpelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati.
Konservasi sumber daya alam hayati dapat dikatakan
berhasil apabila dapat mewujudkan tiga sasaran konservasi, yaitu:
- Perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.
- Pengawetan sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat.
- Pemanfaatan secara lestari, yaitu mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga menjamin kelestariannya.
Pada tataran ini, maka perlu
ditempuh beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam hal
ini kehutanan yang perlu diperhatikan ketika mengambil kebijakan pengelolaan
sumber daya kehutanan, yakni :
1. Penetapan
kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian
alam, taman buru, dan areal perkebunan.
2. Penetapan
kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan,
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru.
3. Penetapan
kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya.
4. Penetapan
kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan taman buru.
5. Penyelenggaraan
pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk
daerah aliran sungai di dalamnya.
6. Penyusunan
rencana makro kehutanan dan perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi
lahan, konservasi tanah, dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian
lahan, dan industri primer perkebunan.
7. Penetapan
kriteria dan standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber
daya hutan, dana reboisasi, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
8. Penetapan
kriteria dan standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan
peredaran hasil hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida
tanaman kehutanan dan perkebunan.
9. Penetapan
kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan
pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam,
pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga
konservasi dan usaha perkebunan.
10. Penyelenggaraan
izin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna
yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyeleng-garaan pengelolaan
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran
sungai di dalamnya.
11. Penyelenggaraan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi dan pengusahaan pariwisata alam
lintas Propinsi.
12. Penetapan
kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi tata hutan dan rencana
pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan.
13. Penetapan
kriteria dan standar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari di bidang kehutanan dan
perkebunan.
14. Penetapan norma,
prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar termasuk
pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh.
15. Penyelenggaraan
izin pemanfaatan dan peredaran flora dan fauna yang dilindungi dan yang
terdaftar dalam apendiks Convention on International Trade in Endangered
Species (CITES) of Wild Fauna and Flora.
16. Penetapan
kriteria dan standar dan penyelenggaraan pengamanan dan penanggulangan bencana
pada kawasan hutan, dan areal perkebunan.
5.1. Program
Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup
Tujuan program ini adalah untuk
memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap dan handal mengenai
potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui
kegiatan inventarisasi, evaluasi, valuasi, dan penguatan sistem informasi yang
menjamin terbukanya akses masyarakat terhadap informasi yang ada.
Dalam pengembangan informasi lingkungan
hidup diperlukan data yang akurat, konsisten, dan terkini. Disamping itu, demi
kemudahan interpretasi dan pemahaman diperlukan standarisasi data yang dapat
digunakan secara nasional. Untuk itu dalam tahun 2000 telah dikembangkan disain
global basis data pengendalian pencemaran air, peta dasar lingkungan
se-Indonesia, dan aplikasi profil lingkungan untuk media air.
Dalam rangka pelaksanaan
kegiatan-kegiatan tersebut telah dihasilkan antara lain penyempurnaan data dan
informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, melalui pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh yang sangat berguna untuk pemantauan ekosistem bumi. Sejalan
dengan itu, telah dilakukan pula peningkatan akses masyarakat terhadap
informasi kegiatan dan kasus-kasus lingkungan melalui media internet yang didukung sistem layanan kesiagaan
dan tanggap darurat bencana lingkungan.
Untuk mendukung peningkatan kualitas
pelayanan informasi lingkungan dilakukan penyusunan Kualitas Lingkungan Hidup
Indonesia 2000 (State of the Environment Report, SoER) sebagai salah
satu pelaksanaan Agenda 21. Kegiatan lain yang dilakukan adalah upaya untuk
mengembangkan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah berdasarkan basis
data setahun sebelumnya; pengembangan Pusat Layanan Informasi di kantor
Bapedal, Jakarta, dan tiga kantor Bapedal Regional I; II; dan III,
masing-masing berpusat di Pekanbaru, Denpasar, dan Makassar. Sedangkan untuk
memperkaya dan mengelola berbagai jenis informasi lingkungan, dilaksanakan
kegiatan untuk mendukung Pusat Layanan Informasi yang terdiri dari perpustakaan
modern yang dilengkapi dengan koleksi sumber informasi dan sarana audio visual.
Selanjutnya, dalam kegiatan
inventarisasi sumber daya alam dan lingkungan hidup telah dilaksanakan
inventarisasi seluruh hutan bakau di Jawa, Kalimantan Timur, NTB, Bali,
Sulawesi Selatan, dan sebagian Irian Jaya; inventarisasi lahan potensi
pertanian di NTB; inventarisasi areal lahan sawah di Sumatera, Sulawesi, Bali,
NTB; serta inventarisasi terumbu karang di Sumatera Barat, Riau, dan wilayah
Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya). Disamping itu,
juga telah dilakukan penyusunan neraca sumber daya alam daerah di 10 (sepuluh)
Kabupaten di Kalimantan Selatan, dan penyusunan tata ruang wilayah Kabupaten
Bangka.
Program Nasional Pemantauan Lingkungan
Perairan Laut (Seawatch Indonesia) telah dilakukan dalam rangka
mengumpulkan data-data lingkungan kelautan yang paling mendekati akurat
khususnya untuk Teluk Jakarta, Masalembo, Batam, Belawan, dan Perairan Jepara.
Sementara itu, potensi ikan sebagai sumber daya alam laut yang bisa pulih,
potensi lestarinya diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun. Potensi lahan
untuk pengembangan budidaya laut jika dibatasi pada iso-depth 50 meter
dan daerah yang aman dari gelombang, luasnya diperkirakan mencapai 1,9 juta ha.
Sementara itu, dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi
Eksklusive Indonesia (ZEEI) sebesar 1,5 juta ton per tahun, saat ini baru
sekitar 83 persen yang telah dimanfaatkan.
Untuk mengetahui potensi sumber daya
hutan, pada tahun 2000 telah dilakukan rekalkulasi sumber daya hutan.
Rekalkulasi dilakukan pada hutan produksi seluas 46,8 juta Ha atau 70,5 persen
dari seluruh hutan produksi, serta hutan lindung dan konservasi seluas 29,8
juta Ha atau 55,14 persen dari seluruh hutan lindung dan konservasi. Dari hasil
rekalkulasi tersebut terlihat bahwa kawasan hutan yang perlu direhabilitasi
seluas 20,1 juta Ha, sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan adalah seluas
15,1 juta Ha.
Sementara itu, di bidang energi dan
sumber daya mineral telah dilakukan pengembangan pelayanan informasi data
spasial energi dan sumber daya mineral, serta membentuk sistem komunikasi data
antara pusat dan daerah. Data terbaru dari hasil penyelidikan dan penelitian
diinformasikan bahwa cadangan minyak bumi adalah 9,8 miliar barel, yang
meliputi cadangan terbukti 5,2 miliar barel dan cadangan potensial 4,6 miliar
barel. Sedangkan cadangan gas bumi adalah 158,26 triliun kaki kubik, yang
meliputi cadangan terbukti 92,48 triliun kaki kubik dan cadangan potensial
65,78 triliun kaki kubik. Cadangan panas bumi tidak kurang dari 20 ribu Mwe.
Cadangan tersebut termasuk yang berada di perairan laut yang tidak dapat
pulih.
Dalam pengkajian ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang informasi, dilakukan upaya untuk mendapatkan model atau
metode pemanfaatan teknologi dirgantara untuk mendukung pelayanan teknis kepada
masyarakat. Pada tahun 2000 dan 2001, telah dilakukan beberapa usaha antara
lain adalah: peningkatan dan pengembangan kemampuan sistem penerima dan
pengolah data satelit penginderaan jauh, melalui peningkatan kemampuan stasiun
bumi satelit penginderaan jauh di Parepare dan Biak, sehingga stasiun-stasiun
bumi tersebut dapat menyajikan data satelit penginderaan jauh dan informasi
yang diturunkan dari data tersebut.
5.2. Program
Peningkatan Efektivitas Pengelolaan, Konservasi, dan Rehabilitasi Sumber Daya
Alam
Program ini bertujuan untuk menjaga
keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup,
baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Dalam rangka
pelaksanaan program ini, telah dilakukan kegiatan konservasi melalui
pengelolaan kawasan konservasi darat dan laut. Sampai dengan April 2001,
kawasan konservasi yang telah ditunjuk sebanyak 1.077 unit dengan luas
keseluruhan sekitar 56,87 juta Ha, yang terdiri dari Taman Nasional sebanyak 40 unit dengan luas
14,82 juta Ha; Cagar Alam sebanyak 173 unit dengan luas 2,67 juta Ha; Suaka
Margasatwa sebanyak 50 unit dengan luas 3,62 juta Ha; Taman Wisata Alam
sebanyak 92 unit dengan luas 973,89 ribu Ha; Taman Hutan Rakyat sebanyak 16
unit dengan luas 257,49 ribu Ha; Taman Buru sebanyak 14 unit dengan luas 239,39
ribu Ha; dan Hutan Lindung sebanyak 692 unit dengan luas 34,31 juta Ha.
Dalam rangka pengamanan kawasan
konservasi lahan basah, selama tahun 2000 telah dilakukan sosialisasi penataan
batas Taman Nasional Teluk Cendrawasih yang berada pada wilayah administratif
Kabupaten Manokwari. Demikian pula upaya pelestarian keanekaragaman hayati
darat dan laut, perlindungan ekosistem yang rentan terhadap kerusakan, dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati terus dikembangkan. Untuk
mendukung strategi tersebut beberapa propinsi telah menyusun strategi
pengelolaan keanekaragaman hayati untuk wilayahnya.
Selanjutnya, beberapa langkah strategis
juga telah dilakukan dalam rangka menanggulangi penebangan kayu ilegal dalam
tahun 2000, yaitu melakukan operasi intelijen terhadap kegiatan penebangan kayu
ilegal dan melaksanakan operasi represif di wilayah rawan penebangan dan
peredaran hasil hutan ilegal secara terpadu, sampai dengan bulan Agustus 2001
telah ditangani 516 kasus dengan 360 tersangka, dan ditemukannya barang bukti
yaitu sitaan 54,28 ribu meter kubik kayu olahan dan bulat serta temuan 26,86 ribu
meter kubik kayu olahan dan bulat. Selanjutnya juga dilaksanakan Inpres Nomor 5
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil
Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting
Demikian pula dalam penyelenggaraan Ministerial
Conference on Forest Law Enforcement and Governance di Bali tanggal 11–13
September 2001, pertemuan tersebut telah
mengeluarkan deklarasi dan komitmen untuk memberantas penebangan liar,
perdagangan kayu liar dan kejahatan kehutanan lainnya.
Disamping itu, juga telah dilakukan
langkah preventif melalui pendekatan sosial budaya kepada masyarakat di sekitar
hutan, dengan berbagai kegiatan seperti program hutan kemasyarakatan, padat
karya, hutan rakyat, HPH bina desa, penempatan pos-pos penjagaan di sepanjang
perbatasan Indonesia – Malaysia, dan patroli bersama secara rutin oleh aparat
keamanan dan masyarakat. Penindakan hukum terhadap para pelaku penebangan kayu
ilegal juga telah dilakukan. Dalam tahun 2000 telah dilakukan pengusutan
terhadap 12 orang yang diduga kuat melakukan tindakan penebangan kayu ilegal di
berbagai propinsi.
Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan
tahun 2000 dan 2001 yang terjadi masing-masing mencakup areal seluas 29,6 ribu
Ha dan 14,6 ribu Ha. Dalam rangka menanggulangi kebakaran hutan dan lahan
tersebut, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah: memberikan peringatan
dini terhadap para pihak di wilayah rawan kebakaran yang sudah diaplikasikan di
Kalimantan Timur; memantau dan mensosialisasikan data titik api melalui
berbagai sarana komunikasi di Sumatera dan Kalimantan; meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan serta antisipasi musim
kemarau panjang melalui kampanye dan dialog; dan pemantapan brigade kebakaran
hutan dengan dilengkapinya sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
Disamping itu, pada tahun 2000 juga
telah dilakukan pelatihan tenaga terampil pemadam kebakaran sebanyak 16.680
orang, instruktur nasional sebanyak 58 orang, dan master trainers
sebanyak 305 orang. Dalam rangka pemenuhan sarana dan prasarana telah
disediakan peralatan tangan, semi mekanik dan mekanik, dan dua unit fire
fighting kits; pendirian stasiun penanggulangan kebakaran hutan di 10
lokasi Dinas Kehutanan dan di lima Taman Nasional yaitu Taman Nasional Kutai,
Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Gunung Palung,
dan di Taman Nasional Bukit 30. Selanjutnya, telah pula dilakukan penyempurnaan
prosedur tetap Fire Suppression Mobilisation (FSM) di Kalimantan Barat,
Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan
kritis dilakukan melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI),
penghijauan, serta pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Sampai
dengan Juni 2001, kawasan hutan produksi untuk Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI) telah mencapai 217 unit, dengan areal kerja seluas 8,64 juta
Ha, yang terdiri dari HTI Pulp sebanyak 27 unit (4,85 juta Ha), HTI Kayu
Perkakas sebanyak 89 unit (2,5 ribu Ha), HTI Trans sebanyak 68 unit (820,23 Ha)
dan HTI campuran/perkebunan sebanyak 33 unit (450,69 Ha).
Selanjutnya, kegiatan penghijauan yang
pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, dalam tahun 2000 dilakukan di
25 propinsi yang mencakup 220 Dati II. Hasil yang dilakukan meliputi penanaman
input langsung 42,43 ribu Ha, pemeliharaan pertama 12,38 ribu Ha, penghijauan
areal dampak 445,71 Ha, dan penghijauan swadaya 23,47 ribu Ha. Dalam rangka
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis tersebut juga telah dilakukan
rehabilitasi hutan bakau yang rusak yang mencakup areal seluas 3,12 ribu Ha,
dan bantuan bibit untuk areal dampak sebanyak 898 ribu batang; serta
penyelenggaraan Kredit Usaha Tani Konservasi (KUK DAS). Dalam rangka
pembangunan hutan kemasyarakatan telah dikeluarkan izin bagi kelompok
masyarakat yang tergabung dalam wadah koperasi, sebanyak 19 koperasi dengan
areal seluas 58,87 ribu Ha.
Untuk mendukung penyediaan pangan lokal
dan pemanfaatan lahan-lahan kosong, telah dikembangkan hutan cadangan pangan di
beberapa daerah. Dalam tahun 2000 pengembangan usaha hutan cadangan pangan dan
tanaman obat dilakukan melalui penyediaan bibit siap tanam sebanyak 6,84 juta
batang di 26 propinsi; pelaksanaan kegiatan pemanfaatan lahan dibawah tegakan
hutan melalui usaha tani wanafarma seluas 4.950 Ha di 16 propinsi; dan
pelaksanaan pelatihan kepada petani dibidang hutan cadangan pangan dan tanaman
obat sebanyak 780 orang di 26 propinsi.
Selanjutnya, kegiatan yang telah
dilakukan berkaitan dengan keanekaragaman dan keamanan hayati di antaranya
adalah penyiapan berbagai perangkat kebijakan dalam hal akses dan pembagian
keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik, tindak lanjut
protokol keamanan hayati (Cartagena Protocol) serta pengendalian invasi
jenis asing ke Indonesia. Sejalan dengan itu, dalam tahun 2000 telah dilakukan
penyusunan sejumlah peraturan, seperti: (1) Pedoman Teknis Pengendalian
Pemanfaatan Spesies Hasil Rekayasa Genetik; (2) Pedoman Teknis Pengendalian dan
Pemulihan Kerusakan Ekosistem Strategis; (3) Pedoman Teknis Pengendalian
Penurunan dan Pemulihan Populasi Elang Jawa, Buaya dan Rusa; (4) Pedoman Teknis
Pengendalian Penurunan dan Pemulihan Populasi Cendana, Tengkawang dan Bambu.
Selanjutnya, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa.
5.3. Program Pencegahan
dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan, dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan
sumber daya alam yang berlebihan, kegiatan industri perkotaan maupun domestik,
serta transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan
hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan.
Dalam upaya pengendalian pencemaran
air telah dilakukan langkah-langkah koordinasi untuk menyusun Rencana Induk
PROKASIH 2005; Pedoman Penyusunan Program Kerja Daerah PROKASIH 2005; masukan
revisi Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air; menyusun Panduan Kerja Teknis Kegiatan PROKASIH di daerah; dan memberikan
dukungan dan bimbingan teknis ke 17 propinsi, terutama untuk pengolahan data.
Pada tahun 2000 telah diadakan kegiatan
pemantauan ekosistem bumi khususnya kegiatan pemantauan kondisi sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk mencegah perusakan dan pencemaran lingkungan
hidup. Kegiatan tersebut termasuk pemantauan kondisi terumbu karang di Jawa,
Sumatera dan sebagian Sulawesi; kondisi hutan bakau di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Dalam rangka penyelamatan lingkungan dari limbah radioaktif, telah
diadakan upaya pengawasan langsung terhadap limbah radioaktif rumah sakit,
fasilitas kesehatan dan industri, serta penyusunan data dasar pengawasan
keselamatan radiasi.
Dalam rangka pengendalian pencemaran
limbah domestik dan perkotaan serta limbah pertanian dan perkebunan telah
dilakukan upaya memperbaiki konsep Pedoman Umum dan Pedoman Pelaksanaan Sistem
Evaluasi Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan, menyusun Pedoman Umum, Pedoman
Pelaksanaan, Kriteria Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan di kawasan perkotaan;
dan melakukan uji-coba sistem self-assesment
untuk kota-kota Surabaya, Bukittinggi, Denpasar, Bogor, Balikpapan dan
Samarinda terutama untuk Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam program
Adipura.
Selanjutnya, pengendalian pencemaran
udara telah dilakukan peningkatan Program Langit Biru dari sumber bergerak
(transportasi) dan tidak bergerak (industri). Pengurangan pencemaran timbal
dari kendaraan bermotor terus diupayakan dan untuk wilayah DKI Jakarta
pemasokan bensin tanpa timbal diberlakukan pada 1 Juli 2001 sedangkan untuk
wilayah lainnya pada tahun 2003. Dalam upaya pengendalian pencemaran udara dari
sumber tidak bergerak telah dilakukan pemantauan terhadap persyaratan teknis
alat pengendalian pencemaran udara bagi industri, pengukuran mutu emisi
cerobong industri dan pemantauan kualitas udara ambien di 10 kota besar. Selain
itu juga memberi masukan teknis untuk rancangan baku mutu emisi untuk industri
baru (minyak dan gas, pabrik pupuk fosfat, urea, amonium sulfat, asam fosfat
serta majemuk-NPK), dan memberi masukan teknis untuk rancangan peraturan
pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
Dalam kaitan dengan emisi gas rumah
kaca, terdapat dokumen strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Gas Rumah
Kaca terhadap lingkungan di Indonesia dan saat ini sedang dilakukan studi
strategi nasional Clean Development Mechanism (CDM) serta
alternatif-alternatif penggunaan bahan bakar selain fosil. Khusus deposisi asam
telah dilakukan persiapan Jaringan Kerjasama Pemantauan Deposisi Asam Asia
Timur (EANET=East Asia Network on Acid Deposition Monitoring). Untuk
mengganti bahan perusak lapisan ozon (BPO) telah dimanfaatkan dana hibah dari Multilateral
Fund (MF), dan terus dilakukan pengawasan penggunaan CFC tanpa izin.
Sebagai bagian dari penerapan pembangunan berkelanjutan, Agenda 21 sektoral
untuk bidang pertambangan, energi, permukiman dan pariwisata di tingkat
nasional telah diluncurkan dan pada saat ini dalam proses sosialisasi. Beberapa
daerah telah memiliki Agenda 21 lokal dan pemerintah terus melakukan bimbingan
teknis penyusunan Agenda 21 ini.
Untuk mendukung
upaya minimasi limbah telah dilakukan penggunaan prinsip-prinsip pencegahan
melalui teknologi produksi bersih dan daur ulang. Penerapan produksi bersih
telah dilakukan terutama untuk agroindustri melalui penyelenggaraan proyek
percontohan di beberapa industri gula sebagai demo proyek, serta penyusunan
buku panduan pelaksanaannya. Dalam rangka mendorong pemanfaatan limbah melalui
daur ulang telah dilakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam
kegiatan swakelola yang menerapkan prinsip 4R
(reuse, recovery, reduce dan recycle).
Dalam hal
pengintegrasian biaya lingkungan terhadap biaya produksi telah dilakukan
kegiatan sosialisasi internalisasi aspek lingkungan dalam perdagangan terutama
mengantisipasi diberlakukannya AFTA tahun 2003, penggunaan pendekatan instrumen
ekonomi, berupa retribusi, pajak atau denda bagi penghasil limbah yang
didasarkan pada prinsip pencemar bayar (poluter
pays principle). Selain itu,
juga sedang dilakukan kajian penerapan mekanisme instrumen pasar untuk
mendukung penggunaan produk hijau.
5.4. Program Penataan
Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian
Lingkungan
Program ini bertujuan untuk
mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan,
mengembangkan kelembagaan serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan.
Dalam aspek kelembagaan pengelolaan
lingkungan hidup tersebut, telah dilakukan pembentukan dan penguatan kelembagaan
lingkungan daerah serta pengembangan mekanisme kelembagaan lingkungan hidup
lintas sektoral. Hingga Agustus 2000 telah terbentuk 26 Bapedalda propinsi dan
163 Bapedalda kabupaten/kota. Kelembagaan Bapedalda propinsi telah diperkuat
dengan laboratorium lingkungan yang telah diadakan di 26 propinsi. Selain itu
telah dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan dan
pendidikan sumber daya manusia aparatur pemerintah pengelola lingkungan hidup.
Penyusunan rancangan undang-undang
(RUU) pengelolaan sumber daya alam berikut perangkat peraturannya, pada saat
ini telah sampai pada tahap penyelesaian Naskah Akademis. Untuk mendorong peran
serta masyarakat dalam penyusunan RUU tersebut, sejak awal tahap inisiasi telah
dikembangkan forum konsultasi publik baik secara nasional maupun lokal yang
keseluruhannya akan diselesaikan dalam tahun 2001.
Demikian pula dalam penyusunan rancangan
RUU Pengelolaan Kawasan Pesisir, pada saat ini sedang dalam proses konsultasi
publik, dan untuk putaran pertama telah dilakukan di Balikpapan, Manado, dan
Jakarta. Disamping itu, untuk melengkapi peraturan yang lebih operasional
terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL,
telah dikeluarkan Keputusan Meneg LH Nomor 40, 41, dan 42 Tahun 2000 sebagai
pedoman pelaksanaan di lapangan.
Selain itu, berkaitan dengan penebangan
kayu ilegal maka telah diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di
Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting. Untuk melindungi
kepunahan kayu ramin (gonystylus spp), telah dihentikan sementara
kegiatan penebangan dan perdagangan kayu ramin, hal itu telah dituangkan dalam
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 127/Kpts-V/2001 tanggal 11 April 2001.
Pedoman Umum Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
daerah untuk membangun masyarakat yang berada di daerah penyangga, juga telah
selesai disusun.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip
keadilan dan penerapan disinsentif bagi penggunaan sumber daya hutan, telah
dikembangkan tarif Iuran Hak Pengusahaan
Hutan (IHPH) Progresif untuk areal HPH dengan luas lebih dari 100 ribu Ha.
Dalam rangka pelaksanaan program-program
sukarela, seperti sistem manajemen dan kinerja lingkungan (ISO-14000 dan
ekolabeling) bagi perusahaan industri dan jasa agar dapat bersaing di tingkat
internasional, telah dilakukan penyusunan rancangan Pedoman Sertifikasi
Ekolabel bagi lembaga sertifikasi, serta rancangan Pembentukan Komite Ekolabel
Indonesia yang telah sampai pada tahap revisi di tingkat Badan Standardisasi
Nasional. Dalam pengembangan system
manajemen lingkungan telah dihimpun data dasar terhadap 71 perusahaan yang
telah mendapat sertifikat ISO 14001, 12 lembaga sertifikasi ISO 14001 yang
beroperasi di Indonesia, 30 personel auditor lingkungan baik yang bersertifikat
maupun yang hanya mengikuti kursus terakreditasi. Disamping itu, telah dihimpun
116 SNI (Standar Nasional Indonesia) yang berkaitan dengan lingkungan hidup,
yakni SNI Udara, pengujian kualitas air sumber dan limbah cair, kesehatan dan
keselamatan kerja, kecelakaan, alat kebakaran, perlindungan diri dan sampah,
sistem manajemen lingkungan dan audit.
Berkaitan
dengan penanganan kasus lingkungan hidup, pada saat ini telah dikelola dan
diproses 500 pengaduan atau pelaporan kasus lingkungan dari masyarakat. Dari
kasus-kasus tersebut telah ditindak-lanjuti sebanyak 80 persen diteruskan
kepada daerah bersangkutan, dan sisanya ditangani oleh pusat. Di samping itu
telah dilakukan penyusunan dan pembahasan berbagai pedoman penyelesaian
sengketa lingkungan di luar pengadilan meliputi pembentukan lembaga penyedia
jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan; pembentukan sekretariat
lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan; pengangkatan dan
pemberhentian arbiter dan mediator/pihak ketiga lainnya; serta pedoman tata
cara permohonan pengaduan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan.
Sementara itu, untuk menekan kerugian negara
yang disebabkan oleh pelanggaran kapal penangkap ikan asing yang berbendera
Indonesia, maka telah dibentuk Tim Terpadu Penanggulangan Penyalahgunaan
Perizinan Usaha Perikanan, yang keanggotaannya terdiri dari berbagai instansi.
Selanjutnya, untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian kapal-kapal ikan
juga telah direncanakan pengembangan Vessel Monitoring System/Monitoring
Controlling and Surveillance (VMS/MCS). Dalam rangka kerjasama regional
untuk pencegahan penangkapan ikan secara ilegal serta menegakkan ketaatan
terhadap ketentuan pengelolaan perikanan serta sistem pelaporan, pada tanggal 1
Maret 2001, Indonesia telah ikut menyepakati International Plan of Action on
Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.
5.5. Program
Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Lingkungan Hidup
Tujuan dari program ini adalah untuk
meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan program ini pada tahun
2000 adalah: peningkatan jumlah dan kualitas anggota masyarakat yang peduli dan
mampu terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan; serta pemberdayaan
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan
hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat
lokal telah diselenggarakan dan difasilitasi berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kepedulian lingkungan di kalangan masyarakat, seperti pelatihan
pengendalian kerusakan hutan bakau bagi LSM dari 8 propinsi di Sumatera; serta
pelatihan lingkungan hidup untuk para guru, mubaligh dan mubalighah di Riau dan
Sulawesi. Disamping itu, juga telah disiapkan modul-modul pendidikan dan
rencana pendidikan lingkungan hidup untuk 1.200 sekolah kejuruan negeri beserta
kegiatan monitoring, evaluasi pelaksanaan, serta penyuluhan bagi guru-guru
Sekolah Menengah Kejuruan.
Sejalan dengan upaya peningkatan peranan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam bidang kehutanan telah
dikembangkan kredit usaha hutan rakyat (KUHR) kepada masyarakat. Sampai tahun
2000 jumlah dana kredit yang telah disalurkan dalam rangka pengembangan hutan
rakyat pola kemitraan sebesar Rp 107,6 milyar untuk areal seluas 46,7 ribu Ha
dengan jumlah petani peserta sebanyak 45 ribu orang. Disamping itu, di beberapa
daerah penyangga taman nasional telah dikembangkan program-program pemberdayaan
masyarakat agar mereka mempunyai alternatif pendapatan yang diselaraskan dengan
kelestarian kawasan konservasi yang ada.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kawasan konservasi, dilakukan kegiatan
pengembangan bina cinta alam bagi para pemuda kader konservasi dengan tujuan agar
mereka dapat menyampaikan pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya kepada masyarakat. Pada tahun 2000 telah dilaksanakan pembentukan
kader konservasi sebanyak 92 orang di Jawa Tengah dan Jawa Barat; kader
konservasi tingkat pemula sebanyak 115 orang di Kepulauan Seribu dan Nusa
Tenggara Barat; kader konservasi tingkat madya sebanyak 60 orang di Sulawesi
Selatan; kader konservasi dan kelompok pecinta alam sebanyak 145 orang di Taman
Nasional Ujung Kulon dan Nusa Tenggara Barat; pembinaan generasi muda Saka Wana
Bakti sebanyak 40 orang di Sulawesi Selatan; pendidikan pembentukan kelompok
Bina Wisata Alam di Pulau Datok sebanyak 30 orang di Taman Nasional Gunung
Palung-Kalimantan Barat; pendidikan lingkungan bagi guru dan siswa SLTP dan SMU
sebanyak 126 orang di Taman Nasional Gunung Palung-Kalimantan Barat.
Dalam
pengembangan pola kemitraan dengan lembaga masyarakat dilakukan perintisan pola
kemitraan usaha kecil dan menengah untuk memanfaatkan bahan baku dan produk
ramah lingkungan, pengembangan kewirausahaan masyarakat rentan melalui
introduksi kegiatan usaha ramah lingkungan dan pemanfaatan limbah pertanian dan
hasil hutan non kayu, serta perumusan bahan-bahan kebijakan untuk perlindungan
dan pemberdayaan masyarakat rentan khususnya Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Untuk mempertahankan kearifan tradisional dalam melestarikan lingkungan telah
dilakukan inventarisasi dan dokumentasi dalam wujud buku "Bunga Rampai
Kearifan Lingkungan" dari berbagai kategori masyarakat yaitu pesisir, pedalaman
dan pertanian menetap. Untuk meningkatkan peran perempuan dan kesetaraan
gender, upaya yang dilakukan adalah penyebarluasan informasi peran, hak, dan
kesempatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kepada
masyarakat lokal.
6.Tindak Lanjut yang
Diperlukan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Untuk mencapai sasaran pembangunan di
bidang sumber daya alam yang telah ditetapkan dan sekaligus mengatasi
permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi yang ditempuh diarahkan
pada upaya: mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang
tidak dapat diperbarui; menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk
menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan;
mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memelihara kawasan
konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah
tertentu.
Strategi tersebut dijabarkan kedalam
langkah-langkah tindak lanjut berupa program-program pembangunan yang berisikan
kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun mendatang.
Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain ditujukan untuk mendukung upaya
pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan
hidup melalui: penyempurnaan data potensi sumber daya alam; pembentukan
mekanisme jaringan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan
daerah; pengembangan sistem informasi dan data monitoring kualitas lingkungan
hidup yang sahih dan berkesinambungan;
pengukuhan kawasan hutan dan penetapan kawasan-kawasan tertentu yang
dilindungi.
Kegiatan penyempurnaan data dan
informasi tersebut dibutuhkan untuk mendukung upaya peningkatan efektivitas
pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam. Untuk itu
diperlukan: penyusunan rencana pengelolaan sumber daya hutan dan air berdasarkan
Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas dan tata ruang; penyediaan insentif untuk
daerah konservasi sumber daya alam dan penyusunan peraturan disinsentif dalam
bentuk tarif dan user fee bagi penggunaan sumber daya alam yang tidak
terkendali; penyusunan mekanisme pemeliharaan kawasan konservasi yang
melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan swasta; pemulihan lingkungan hidup
yang kritis akibat kerusakan ekosistem.
Dalam rangka mendukung program
pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup akan
dilakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan teknologi
yang berwawasan lingkungan; pengembangan teknologi pengelolaan limbah rumah
tangga dan komunal; pengembangan dan sosialisasi teknologi produksi bersih;
pengendalian pencemaran air, tanah, dan udara; pengawasan dan pengelolaan
keselamatan radiasi dan limbah nuklir.
Dalam bidang penataan kelembagaan
dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan hidup, akan dilakukan langkah-langkah yang bertujuan untuk mendukung upaya:
penetapan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; penyusunan Undang-undang dan
perangkat hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
pembinaan terhadap industri yang menerapkan standar barang dan/atau jasa
(ISO-14000, ekolabeling dan hutan lestari) agar dapat bersaing di pasar
global; penegakan hukum yang tegas dan konsisten dalam kasus pelanggaran
ketentuan AMDAL, eksploitasi sumber daya alam tanpa izin, dan perusakan sumber
daya alam lainnya.
Sementara itu, peningkatan peranan dan
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan hidup harus terus ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
akan diarahkan kepada upaya: peningkatan dan pengakuan atas peran dan
kepemilikan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup; penyusunan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam penetapan kebijakan
dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengawasan
pengelolaan sumber daya alam dan pengendalian kualitas lingkungan hidup.
7.Stressing Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sebagai
kita ketahui, bhawa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber
daya alam Sumber daya alam
yang terbarukan (renewable) maupun yang tak terbarukan (non
renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural resources stock), seperti
daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, dll. atau dalam bentuk
komoditas seperti kayu, rotan, mineral dan gas bumi, ikan, dll. terdapat merata
hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data hutan tropis (tropical
rain forest) Indonesia adalah terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan
luasnya mencapai 144 juta hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia
(Kantor MENLH, 1990; Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan
keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya di dunia, yang melipufi
1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril, 65 jenis ikan air tawar,
dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis (More, 1994). Garis pantai Indonesia
sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia. Perairan yang luas menyediakan wadah yang
nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan. Potensi maksimum perikanan laut
Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Terumbu karang dengan 70
genus yang ada merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar di dunia (Choi
& Hutagalung, 1998). Demikian pula, sumber daya mineral yang terkandung di
dalam perut bumi Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara, perak, nikel,
timah, bauksit, dll. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara (Kantor MENLH,
2000; Bachriadi, 1998).
Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang
demikian itu dipahami pemerintah sebagai modal penting dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional. Karena itu, atas nama pembangunan yang diabdikan
pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi
peningkatan pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka
pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip
keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam.
Tentunya
dalam tahap implementasi kebijakan, tentunya menimbulkan implikasi. Implikasi yang ditimbulkan dari
praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan pencapaian
pertumbuhan ekonomi semata adalah secara perlahan tetapi pasti menirnbulkan
kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya alam, yang
meliputi : (a) laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan
sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya
hutan yang tak terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan
serius akibat endapan erosi. pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang
menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah
industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar
mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan
dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang dilakukan
secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah
juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya.
Lahan-lahan
bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah
menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan
limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi &
Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
Realitas
yang terjadi bahwa, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan
target peningkatan pendapatan dan devisa negara juga menimbulkan implika sosial
dan budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak konflik mengenai hak penguasaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah
atau pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan
Indonesia. Kemiskinan juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di
tempat-tempat di mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam. Demikian pula, berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia,
terutama hak-hak masyarakat adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan
sumber daya alam selama tiga dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger,
1990; Peluso, 1992; Reppeto & Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya,
2000).
Jika kita dicermati secara
substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya
dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma
pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based
resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan
perlindungan hak-hak asasi manusia.
Cara
pandang seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan
perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara
utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat serta mengabaikan hak-hak
masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan
masyarakat adat/lokal (economic resources loss)', dari segi
sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi,
institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari
segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas
sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi politik pembangunan
hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang
dalam masyarakat (Nurjaya, 2000).
Berdasarkan
perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari anutan cara pandang seperti
di atas secara jelas dapat dicermati dari substansi dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti
undang-undang agraria (1960), undang-undang pertambangan (1967), undang-undang
pengairan (1974), undang-undang perikanan (1985), undang-undang konservasi
sumber daya alam hayati (1990), dan undang-undang kehutanan (1999), yang
diproduk pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 3 dasa warsa terakhir ini.
Kajian ini mencoba untuk mengkaji
secara kritis karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai
instrumen hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip-prinsip global pengelolaan
sumberdaya alam dan implikasinya bagi politik pembangunan hukum nasional untuk
mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, demokratis, dan
berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
.
8.Karakteristik
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Sumber Daya Alam
Instrumen
hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia
pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial
seperti berikut:
- Berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
- Berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat adat/lokal;
- Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;
- Manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
- Corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
- Tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai
kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan
membuat undang-undang baru dalam mengelola sumber daya alam, namun demikian,
persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam
substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih
ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
- Pemerintah masih mendominasi peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);
- Keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemali; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif;
- Hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
- Ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas; dan
- Transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.
Sementara itu, beberapa
undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, mengatur
prinsip-prinsin penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil,
demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global pengelolaan
sumber daya alam antara lain seperti : konservasi dan keberlanjutan fungsi
sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak
masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.
Oleh karena itu, persoalan-persoalan
mendasar dalam pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi
mengancam keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa
perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda nasional yang mendesak untuk
direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya
alam, meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi dan mendukung proses
demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam, menciptakan koordinasi dan
keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya good environmental
governance, adalah membentuk undang-undang pengelolaan sumber daya alam
yang mencerminkan prinsip-pnnsip keadilan, demokratis, dan keberlanjutan
fiingsi sumber daya alam.
Landasan
konstitusional untuk mewujudkan agenda nasional membentuk undang-undang
pengelolaan sumber daya alam pada dasarnya adalah :
- Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan .............".
- Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 6 yang pada pokoknya menyatakan: "Menugaskan kepada DPR RI bersama Presiden untuk mengatur pelaksanaan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR RI ini".
9.Prinsip
–Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam
Seiring
dengan berkembangnya isu hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup,
dan kesetaraan gender dalam pergaulan hidup dunia internasional, maka sedikit
banyak telah mempengaruhi pemikiran pemenntah dan kalangan organisasi non
pemerintah (ornop) di negara-negara maju maupun negara-negara sedang
berkembang, untuk meningkatkan manajemen pengeiolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Prinsip keadilan merujuk pada kebijakan
pengelolaan sumber daya alam harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring,
dan dievaluasi secara berkelanjutan, agar dapat memenuhi kepentingan
pelestarian dan keberlanjutan fiugsi sumber daya alam dan
lingkungan hidup
dan juga kepentingan inter-antar generasi maupun untuk keadilan
gender.
Prinsip demokrasi mengacu pada kebijakan
pengelolaan sumber daya alam harus mengakomodasi kewenangan pengelolaan antar
pusat dan daerah, akses informasi bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam, partisipasi semua pihak terkait (stakeholders), transparansi dan
tidak diskriminatif dalam pembuatan dan implementasi kebijakan,
pertanggungjawaban kepada publik (public acountability), koordinasi dan
keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta pengakuan atas kemajemukan
hukum (legal pluralism) dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dalam kaitan ini, akses infonnasi
(information access) memberi jaminan kepada masyarakat untuk memberi
kepada dan menerima informasi dari pemerintah mengenai kebijakan pengelolaan
sumber daya alam. Transparansi (transparancy) memberi jaminan adanya
keterbukaan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan serta membuka ruang
bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan publik dalam pengelolaan sumber
daya alam. Partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk mengambil bagian secara aktif, mulai dari tahapan idenrifikasi dan inventarisasi,
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai kegiatan evaluasi implementasi
kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Akuntabilitas publik (public
accountability) menegaskan pentingnya arti pertanggungjawaban pemerintah
dalam pengelola sumber daya alam kepada rakyat, khususnya pada tahapan
perencanaan dan implementasi kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, atas
segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Koordinasi
dan keterpaduan antar sektor memberi ruang bagi pengelolaan sumberdaya alam
secara terintegrasi dengan saling memperhatikan kepentingan antar sektor,
sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang saling mendukung, dengan
menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam
di atas kepentingan sektoral.
Desentralisasi
merujuk pada penyerahan
kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan
sumber daya alam oleh pemerintah kepada daerah otonom,
sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik
wilayah masing-masing daerah otonom.
Perlindungan
hak-hak asasi manusia dan pengakuan atas kemajemukan hukum memberi jaminan bagi
pengakuan dan perlindungan pemerintah atas hak-hak masyarakat adat/lokal serta
kemajemukan sistem hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan, prinsip keberlanjutan
fungsi sumber daya alam adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus
mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam, baik manfaat
bagi negara maupun masyarakat secara seimbang dan proporsional serta manfaat
bagi generasi sekarang dan mendatang secara berkelanjutan.
Jika dicermati dari karakteristik
peraruran perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti
diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat dikritisi bahwa prinsip-prinsip
global pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil, demokratis, dan
berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan diintegrasikan dalam
kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam yang ada.
Ideologi penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan
masih bercorak sentralisrik dengan mengacu pada manajemen yang berpusat pada
negara/pemerintah (state-based resource management). mengedepankan
pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi dengan mengabaikan
kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam demi pencapaian
target pertumbuhan ekonomi (economic oriented), mengutamakan kepentingan
pemodal-pemodal besar (capital oriented), hak-hak asasi masyarakat belum
diakui dan dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi partisipasi masyarakat
dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak mengatur secara tegas
mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber daya alam, dan juga
mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal pluralism) yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
10.Rekonstruksi
Ulang UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
UUPA
adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam.
UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa
"seluruh bumi, air dan ruang angkasa lermasuk kekavaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan
YME adalah bumi, air dan niang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
national".
Berkaitan dengan cakupan
agraria ini, maka muncul pertanyaan, apakah sumber daya alam yang terdiri dari
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait
(ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang
bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang
tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan kesalingterkaitan antara
sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah membenkan
jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat 2 UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas
tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta
ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
UUPA lebih banyak
mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada safu pasal
yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasai 14 yang
menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam
(agraria) menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam (agrana)
dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya
dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan,
perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Sementara
itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya
menyebutkan di pasal 15 bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang,
badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu,
dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah. "
Namun demikian, realitas selama ini
kebijakan pertanahan selama pemerintahan
orde reformasi ternyata masih bercorak
sentralistik dan telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama
degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal
perumahan mewah (real astate), kawasan industri, dan bahkan menjadi
komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan
tanah diterlantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu.
Implikasi
sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal
maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat
dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak
masyarakat adat/Iokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
UUPA yang secara tegas menyatakan
berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam pasal 5
disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur
yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan untuk menjadikan
hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA
dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dan kesadaran hukum rakyat
banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dan rakyat Indonesia tunduk pada
hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena
dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik
dan masyarakat swapraja yang feodal.
Penyempurnaan
hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam
konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta
sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam
kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas. kepentingan bangsa dan negara acapkali
ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang
memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan
negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya agraria yang bersumber dari hukum
adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai
hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan
kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara
jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada
kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang
mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia,
cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16
UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas
hak: hak milik, hak guna bangunan. hak guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan
sebagainya.
UUPA menganut
pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat.
UUPA tidak mengatur secara ricni tentang kewenangan dan peran pemerintah
daerah. Kewenangan pemenntah daerah adalah pelaksanaan dan" tugas
pembantuan.
Pemerintah,
atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran srrategis dalam UUPA.
Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang
dalam undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UUPA utamanya
diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak
atas tanah, pendaftaran tanah pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat,
penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak
atas tanah.
UUPA
tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada
hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam
prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban
pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.
Penutup.
Indonesia adalah bagian dari
komunitas global yang memiliki kewajiban untuk mengkonservasi dan mengelola
sumber daya alam dan lingkungan hidupnya, selain untuk menjaga keberlanjutan
fungsi sumber daya alam bagi generasi sekarang maupun mendatang dan menjaga
kelangsungan hidup bangsa, juga untuk menjaga kestabilan iklim dan
keberlanjutan lingkungan global, seiring dengan runtutan perkembangan manajemen
pengelolaan sumber daya alam yang mengedepankan aspek-aspek keadilan,
demokrasi, dan keberlanjutan.
Dengan demikian, kebijakan
pengelolaan sumber daya alam perlu memperhatikan dan mengintegrasikan
prinsip-prinsip seperti berikut:
(1) Prinsip
pertama : sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke
generasi;
(2) Prinsip
kedua : sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan
demokratis di kalangan inter maupun antar generasi dalam kesetaraan gender:
(3) Prinsip
ketiga : pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam harus mampu memciptakan
kohesivitas masvarakat di berbagai lapisan dan kelompok serta mampu melindungi
dan mempertahankan eksistensi budaya lokal. termasuk sistem hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal;
(4) Prinsip
keetnpat : pengelolaan sumber daya alam hanis dilakukan dengan pendekatan
sistem (ecosystem) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik pengelolaan
yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, dan tidak terkoordinasi;
(5) Prinsip
kelima : kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumher dava alam harus
bersifat spesifik lokal ^dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan masyarakat
setempat.
Kelima prinsip dasar di atas satu
sama lain terkait dan saling mempengaruhi, sebagai satu kesatuan yang
mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dimaksudkan
untuk menggapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan
berkelanjutan, sesuai dengan amanat Konstitusi 1945, dengan berbasis pada
kemajemukan sosial-budaya dan keuruhan bangsa Indonesia. Inti dari
prinsip-prinsip di atas : kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak
berorientasi pada eksploitasi (use-oriented), tetapi mengacu pada
kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya alam (sustainable
resource-oriented); tidak bercorak sentralistik tetapi bersifat
desentralisasi; ridak mengedepankan pendekatan sektoral tetapi menggunakan
pendekatan holistik; memberi ruang bagi partisipasi pubjik; pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat; dan memberi ruang hidup bagi kebudayaan lokal
termasuk kemajemukan hukum (legal pluralism) yang secara nyata hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Dalam perspektif otonomi
daerah, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam di atas mencerminkan
adanya nuansa ke-otonomi-an masyarakat untuk mengelola sumber daya alam di
daerah. Karena itu, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam esensi atau
makna sesungguhnya dari kebijakan otonomi daerah seperti diatur dalam substansi
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bukan hanya sekadar
pengalihan wewenang urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi
lebih dari itu adalah penyerahan otonomi pengelolaan sumber daya alam kepada
masyarakat di daerah, terutama masyarakat adat/lokal sebagai manifestasi dari
paradigma pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community-hased
resource management).
Dalam
konteks ini, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berperan sebagai
administrator dan fasilitator yang berkewajiban untuk :
1.
Mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam
dan
lingkungan hidup;
2.
Menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat
adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya aiam;
3.
Menghormati dan melindungi modal sosial (social
capital), seperti etika sosiai, kearifan liugkungan, rehgi, sistem
teknologi, maupun pranata-pranata sosial di kalangan masyarakat; dan
4.
Mengakui dan mengakomodasi adanya kemajemukan hukum (legal
pluralism) yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, untuk mengakhiri
atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik pengelolaan sumber daya
alam yang bercorak sentralistik, eksploitatif, sektoral, dan bernuansa
fragmentaris, dalam rangka mewujudkan tata penyelenggaraan pengelolaan
lingkungan hidup yang baik (good environment governance), dan dalam
konteks pembangunan hukum nasional, maka pertama-tama haras dilakukan perubahan
paradigma politik hukum nasional yang semula bercorak sentralisme hukum (legal
centralism) ke anutan ideologi pluralisme hukum (legal pluralism), sehingga
memberi ruang secara proporsional bagi pengakuan terhadap kemajemukan sistem
hukum dalam masyarakat mengenai penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Hal ini karena :
The ideology of legal centralism, law
is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of
all other law, and administered by a single set of
state institutions...........Legal pluralism is die fact. Legal
centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the
name of a social state of affairs and iti is a characteristic which can be
predicted of a social group (Griffiths, 1986).
Jika prinsip-prinsip
global pengelolaan sumber daya alam seperti dimaksud pada uraian terdahulu
diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka
substansi peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup harus mengandung ciri-ciri seperti berikut:
- Orientasi pengelolaan ditujukan pada konservasi sumber daya alam (resources oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam bagi kepentingan inter dan antar generasi.
- Pendekatan yang digunakan bercorak komprehensif dan terintegrasi (komprehensif-integral), karena sumber daya alam merupakan satu kesatuan ekologi (ecosystem).
- Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam.
- Menganut ideologi pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat (community-based resource management).
- Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) dan transparansi pembuatan kebijakan sebagai wujud demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
- Memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
- Menyerahkan wewenang pengelolaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan prinsip desentralisasi (decentralisation principle), sehingga pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah.
- Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pengelola sumber daya alam kepada publik (public accountability)
- Mengakui dan mengakomodasi secara utuh kemajemukan hukum (legal pluralism} pengelolaan sumber daya alam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Untuk mencapai
tujuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang adil, demokratis,
dan berkelanjutan dengan karakteristik perundang-undangan yang mencerminkan
prinsip-prinsip di atas, maka direkomendasikan tahapan-tahapan kegiatan
akademik seperti berikut:
- Melakukan inventarisasi terhadap perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam;
- Melakukan kaji-ulang (review) atas perundang-undangan yang telah diinventarisasi dengan mengacu pada variabel-variabel keadilan, demokratis, dan berkelanjutan seperti diuraikan pada bagian terdahulu;
- Menyampaikan hasil kaji-ulang kepada pemerintah dan lembaga legislatif untuk melakukan revisi dan/atau penggantian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan berkelanjutan;
- Menyusun background paper dan naskah akademik untuk penyusunan rancangan undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan stakeholders dari masyarakat adat, organisasi nonpemerintah, organisasi pelaku dunia usaha, pemerintah (daerah), dan perguruan tinggi;
- Menyampaikan naskah akademik dan rancangan undang-undang tersebut kepada pemerintah dan legislatif untuk memperoleh bahasan, persetujuan dan pengesahan inenjadi produk hukum nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam.
DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi, Diaiito (1998), Merana
di Tengah Kelimpahan, Pelanggaran-pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di
Indonesia, ELSAM, Jakarta.
Choi. Cong Kee dan Saut Hutagalung
(1998), "Future Chalenge Fishiries Forum III : Country Report",
Makalah dipresentasikan dalam Seminar The Role of Fisheries in The Second
Long-Term Development Plan, Sukabumi, Indonesia.
Griffiths, John (1986), "What is
Legal Pluralism", dalam Journal a/Legal Pluralism and i Unofficial Law No.
2471986, pp. 1-56.
Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (1990), Laporan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia
1990, Jakarta.
Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup (2001), Agenda 21 Sektoral, Agenda Pertambangan untuk
Pengembangan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan, Proyek Agenda 21 Sektoral
Kerjasama Kantor MENLH dan UNDP, Jakarta.
Lynch. Owen J. and Kirk Talbott
(1995), Balancing Act, Community-Based Forest Management and National Law in
Asia and The Pacific, World Resources Institute, USA.
More. White (1994), Tropical Rain
Forest for The Fareast, Oxford University Press, USA.
Nurjaya. I Nyoman (Ed) (1993), Politik
Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta.
Nurjaya. I Nyoman (2000), "Proses Pemiskinan di Sektor Sumber Daya
Alam; Perspektif Politik Hukum", dalam ICRAF & JAPAMA, Masyarakat
Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam, Bogor.
Nurjaya. I Nyoman (2000), "Hukum
Orang Rimbo Versus Hukum Negara : Kasus Tetumbang di Kawasan Hutan Bukit Dua
Belas, Jambi", dalam E.K.M. Masinambow (Ed), Hukum dan Ksmajemukan
Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 208-226.
Poffenberger, Mark (1990), Keepers
of The Forest, Land Management Alternatives in Southeast Asia, Ateneo de
Manila University Press, The Philippines.
Poffenberger, Mark, Community and
Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999.