MEMAHAMI DAN MEWUJUDKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2014
Oleh: Turiman
Fachturahman Nur
A.Paradigma Administrasi Pemerintahan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya menurut ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas
prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Dalam Tataran dogma Hukum
Tata Negara adalah Negara Demokrasi
didalam wadah Negara Hukum yang berpaham
konstitusional.
Apa konsekuensi logisnya Negara Demokrasi didalam wadah Negara Hukum yang berpaham konstitusional ?
Konsekuensi logisnya adalah segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan
Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum
yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian
tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara
pemerintahan itu sendiri.
Penggunaan kekuasaan negara
terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak
dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Oleh karena itu Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pengawasan terhadap Keputusan
dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga
Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan
memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat
dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas
dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
Tugas pemerintahan untuk
mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas
yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan
sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan
Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan
landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan
tugas penyelenggaraan pemerintahan. Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan
tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada Warga
Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana
dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D
ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat,
maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan
banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat
mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini
merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara
negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam UndangUndang
merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi
lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui
Pengadilan.
Hal inilah yang merupakan
nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara
harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini diperlukan dalam rangka
memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara
hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Warga Masyarakat dalam
sebuah negara tidak dengan sendirinya—baik secara keseluruhan maupun
sebagian—dapat terwujud. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini
menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan
Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan
negara.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan transformasi AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik) yang
telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan
Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.
AUPB yang baik akan terus
berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah
negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini berpijak pada asas-asas yang
berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia selama ini.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk
mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ini harus mampu
menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
Pengaturan terhadap Administrasi
Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola
pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak
administrasi yang demokratis, objektif,
dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur
kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan
pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen
untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat
sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan
yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
B.Pengertian
Pokok Administrasi Pemerintahan
Untuk memberikan pemahaman
terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,
maka perlu dipahami konsep- konsep yang berkaitan dengan aspek hukum
administrasi pemerintahan, yaitu berikut ini.
1.
Administrasi
Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan
keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
2.
Fungsi
Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan
Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
3.
Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang
melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun
penyelenggara negara lainnya.
4.
Atasan Pejabat adalah atasan pejabat
langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan
yang lebih tinggi.
5.
Wewenang
adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6.
Kewenangan
Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak
dalam ranah hukum publik.
7.
Keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau
Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
8.
Tindakan
Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan
adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.
9.
Diskresi
adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundangundangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan.
10. Legalisasi
adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu
salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai
dengan aslinya.
11. Sengketa Kewenangan
adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat
Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya
Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
12.
Konflik
Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan
yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang
lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan
kualitas Keputusan dan/atau Tindakan
yang dibuat dan/atau dilakukannya.
13. Warga Masyarakat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan
dan/atau Tindakan.
14. Upaya Administratif
adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan
Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau
Tindakan yang merugikan.
15. Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik
yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan
penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan
dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
16. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha
Negara.
17. Izin adalah
Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas
permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
18. Konsesi
adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber
daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
19. Dispensasi
adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu
larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Atribusi
adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
21. Delegasi
adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi.
22. Mandat
adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
C.
Tujuan, Asas Administrasi Pemerintahan
Pertanyaan yang perlu
diajukan adalah apa tujuan administrasi
pemerintahan dari aspek hukum ?
Adapun
tujuan administarsi Pemerintahan adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan
Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah
terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan;
e.memberikan pelindungan hukum kepada
Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
f.melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan dan menerapkan
AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.
Apa
yang menjadi asas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan ? Penyelenggaraan
Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas
legalitas; b. asas pelindungan
terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB.
(pasal 5 UU nomor 30 tahun 2014)
D.
Hak dan Kewajiban Pejabat Administrasi Pemerintahan
Berdasarkan
tujuan dan asas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan, maka Pejabat
Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil
Keputusan dan/atau Tindakan.
Apa yang hak Pejabat Pemerintahan ?
1. melaksanakan Kewenangan
yang dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB;
2. menyelenggarakan
aktivitas pemerintahan berdasarkan
Kewenangan yang dimiliki;
3. menetapkan Keputusan berbentuk
tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan;
4. menerbitkan
atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau
membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
5. menggunakan Diskresi
sesuai dengan tujuannya;
6. mendelegasikan dan memberikan
Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundanganundangan
7. menunjuk pelaksana harian
atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif
berhalangan;
8. menerbitkan Izin, Dispensasi,
dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
9. memperoleh
perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya;
10. memperoleh bantuan hukum
dalam pelaksanaan tugasnya;
11. menyelesaikan Sengketa Kewenangan
di lingkungan atau wilayah kewenangannya;
12. menyelesaikan
Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau
Tindakan yang dibuatnya; dan
13. menjatuhkan sanksi administratif
kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ini.
Selanjutnya apa yang menjadi kewajiban
Pejabat Pemerintahan?
1.
membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai
dengan kewenangannya;
2.
mematuhi
AUPB
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.
mematuhi persyaratan dan prosedur
pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
4.
mematuhi Undang-Undang Nomor 30 Tahunn
2014 dalam menggunakan Diskresi;
5.
memberikan Bantuan Kedinasan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan tertentu;
6.
memberikan kesempatan kepada Warga
Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau
Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7.
memberitahukan kepada Warga Masyarakat
yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
8.
menyusun standar operasional prosedur
pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; i. memeriksa dan meneliti dokumen
Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi
Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang;
9.
menerbitkan Keputusan terhadap
permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam
keberatan/banding.
10. melaksanakan
Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak
sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan
Pejabat; dan l. mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
E.
Kewenangan Administrasi Pemerintahan: Atribusi, Delegasi dan Mandat
Tiga kata kunci kewenangan pejabat pemerintahan,
yaitu Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang. Dan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan
Wewenang wajib berdasarkan: a. peraturan
perundang-undangan; dan b. AUPB. serta Pejabat Administrasi Pemerintahan
dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan. (lihat Pasal 8 UU Nomor 30Tahun 2014)
Yang paling terpenting adalah
ketika pejabat pemerintahan melakukan perbuatan pemerintah atau melakukan
tindakan pemerintahan wajib memiliki alas hukum yakni peraturan
perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9 UU Nmor
30 Tahun 2014 yang menyatakan:
Pasal 9 ayat (1) Setiap Keputusan
dan/atau Tindakan wajib berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB. Pasal 9 ayat (2) Peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 9 ayat (3) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan
ketentuan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 9
ayat (4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak
menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan
umum dan sesuai dengan AUPB.
Atas
dasar kewenangan yang beralaskan peraturan perundang-undangan, maka pejabat
pemerintahan diberikan kewenangan yang diperoleh dari tiga konsep hukum
admistrasi negara, yaitu ATRIBUSI
Pasal 12 Ayat
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila:
a. diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
undang-undang;
b. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak
ada; dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
Pasal 12 ayat (2) Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
Pasal 12 ayat (3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali
diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau undang-undang
DELEGASI berkenaan dengan delegasi rule of law diatur sebagai berikut :
Pasal 13 ayat (1)
Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (2) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Delegasi apabila:
a. diberikan
oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lainnya;
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau
Peraturan Daerah; dan
c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
Pasal 13 ayat (3)
Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut,
kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (4) Dalam
hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensub delegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan lain dengan ketentuan:
a. dituangkan dalam
bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan;
b. dilakukan dalam
lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 13 ayat (5) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui
Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13 ayat (6) Dalam
hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan
penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan pendelegasian Kewenangan dapat
menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
Pasal 13 ayat (7) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada
penerima Delegasi
Bagaimana dengan kewenangan yang
diperoleh melalui MANDAT?
Pasal 14 ayat (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
memperoleh Mandat apabila:
a. ditugaskan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
Pasal 14 ayat (2)
Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri atas:
a. pelaksana harian yang
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Pasal 14 ayat (3) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat
memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi
bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 14 ayat (4) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
Pasal 14 ayat (5) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri
Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 ayat (6) Dalam
hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidakefektifan
penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Mandat dapat menarik kembali Wewenang
yang telah dimandatkan.
Pasal 14 ayat (7) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan
dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Pasal 14 ayat (8) Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada
pemberi Mandat.
F.
Tata cara Penggunaan Diskresi Oleh Pejabat Pemerintahan
Bagaimana jika Pejabat Pemerintahan menggunakan DISKRESI ?
Berkaitan dengan
diskresi di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tersendiri dalam BAB
VI DISKRESI yang pengaturan diatur sebagai berikut:
Pasal 22 ayat (1)
Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan yang berwenang.
Pasal 22 ayat (2)
Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan
dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Bagaimana Ruang Lingkup Diskresi ?
Pasal 23 Diskresi
Pejabat Pemerintahan meliputi:
a. pengambilan Keputusan dan/atau
Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau
Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan
karena peraturan perundang-undangan
tidak mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan
karena peraturan perundang-undangan
tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
adanya stagnasi pemerintahan guna
kepentingan yang lebih luas.
Apa
syarat syarat diskresi dapat digunakan
oleh pejabat Pemerintahan ?
Pasal 24 Pejabat
Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat ;
a.
sesuai dengan tujuan Diskresi, yakni:
1.
melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan;
2.
mengisi kekosongan hukum;
3.
memberikan kepastian hukum; dan
4.
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam
keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
b.tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang
objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik
Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Pasal 25 ayat (1)
Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh
persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a,
huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani
keuangan negara.
Pasal 25 ayat (3) Dalam
hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat,
mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat
sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah
penggunaan Diskresi.
Pasal 25 ayat (4)
Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23
huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 25 ayat (5)
Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23
huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi
bencana alam.
Bagaimana penggunaan prosedur
diskresi ?
Pasal 26 ayat (1)
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
dan ayat (2) wajib menguraikan maksud,
tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan
Pasal 26 ayat (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.
Pasal 26 ayat (3) Dalam
waktu 5 (lima) hari kerja setelah
berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.
Pasal 26 ayat (4) Apabila
Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara
tertulis.
Pasal 27 ayat (1)
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3)
dan ayat (4) wajib menguraikan maksud,
tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan
keuangan negara.
Pasal 27 ayat (2)
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau
tertulis kepada Atasan Pejabat.
Pasal 27 ayat (3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum penggunaan
Diskresi.
Pasal 28 ayat (1) Pejabat yang menggunakan Diskresi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang
ditimbulkan.
Pasal 28 ayat (2)
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan secara tertulis
kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
Psaal 28 ayat (3)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.
Pasal 29 Pejabat yang
menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal
28 dikecualikan dari ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.
Apa akibat hukum diskresi ?
Pasal 30 ayat (1)
Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:
a. bertindak melampaui batas waktu
berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. bertindak melampaui batas
wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28. (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak
sah.
Pasal 31 (1) Penggunaan
Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:
a. menggunakan Diskresi
tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan;
b. tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau
c. bertentangan dengan AUPB. (2)
Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibatalkan.
Pasal 32 ayat (1)
Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan
sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
Pasal 32 ayat (2)
Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tidak sah.