Sabtu, 05 April 2014

TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA


TEORI  HIRARKI DAN  KEBERLAKUAN  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA

Oleh; Turiman Fachturahman Nur
Prolog:
             Ilmu Hukum Indonesia saat ini sedang mencari “jatidiri” ditengah-tegah era globalisasi dan era penegakan HAM, sedangkan pada sisi lain bangsa ini ingin mewujudkan dasar negara atau ideologi bangsa Pancasila kedalam materi muatan peraturan perundangan-undangan agar nilai-nilai yang ada didalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi bagaimanakah penjabarannya, jika saja ilmu hukum Indonesia masih terbelenggu dengan paham positivisme hukum dengan mengeleminasi unsur-unsur non hukum, tentunya harus ada sebuah terobosan pendidikan Pancasila kembali di perguruan tinggi. Jika bangsa ini masih berkomitmen bahwa Pancasila adalah pilihan untuk bernegara hukum sekaligus sebagai cita hukum bagi pengembangan ilmu hukum yang selaras dengan jiwa bangsa Indonesia, mengapa kita harus memaksakan teori-teori “barat” yang sebenarnya di negara asalnya sudah masuk kotak atau masuk musium teori oleh para penstudi hukum di negara asalnya, mereka bahkan saat ini mulai menggali apa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, tetapi mengapa kita menjadi “terbelenggu” oleh konsep-konsep yang telah usang pada abad 19, sedangkan kita saat ini hidup di abad 21 atau abad globalisasi dan era penegakan HAM, adakah “benang merah antara Globalisasi, HAM dan Pancasila, tulisan memberikan paparan awal yang perlu diperdalam lebih lanjut para penstudi ilmu hukum di Indonesia.

1.      Membuka “belenggu” Kajian Ilmu Hukum
            Saat ini kajian hukum tidak bisa hanya dipahami sebagai kajian yuridis normatif semata, tetapi perlu pengkajian yang multidisiplin, mengapa demikian, karena tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh dari langit, tetapi ia dibuat oleh manusia dan selalu berada dalam lingkusp sosial tertentu. Itu artinya, hukum itu tidak hadir dan bergerak diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada dalam sebuah tatanan sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia hidup. Pemahaman yang demikian itulah yang menggugah sebagian pemikir dan penstudi hukum untuk melihat hukum tidak dalam sebuah tatanan norma an sich. Para penganut perspektif ini berpendirian, bahwa hanya dengan cara itulah kita dapat melihat “wajah” hukum secara sempurna. Demikian pernyataan Esmi Warassih salah satu penggiat hukum dari Universitas Diponegoro, dalam catatan pengantar buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis.
          Menarik untuk disimak, bahwa problematika hukum saat ini bukan hanya problematika normatif semata, artinya dalam konteks pemahaman artinya tidak cukup kalau hukum itu hanya dipahami secara yuridis normatif, yakni sebagai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Pada tataran inilah menurut penulis hukum juga diberi ruang untuk masuknya kajian-kajian dengan mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, sepertisejarah, psikologi, semiotika dan hermenuetika tanpa mengenyampingkan kajian yang yuridis normatif, bahkan dengan pendekatan seperti demikian sebenarnya memperkaya ilmu hukum itu sendiri.
         Jika dipertanyakan mengapa demikian ? karena campur tangan hukum saat ini sudah masuk keruang publik atau kedalam segala bidang kehidupan masyarakat, konsekuensi logis dari ini kompleksitas hubungan hukum dengan dimensi lain non hukum tak dapat dielakan, pada tataran ini dibutuhkan teori-teori sosial untuk memperluas wawasan para penstudi hukum ketika mengeksplorasi paradigma hukum yang begitu dominan terhadap para penstudi hukumyaitu paradigma positivisme hukum yang sebenarnya telaah abad 19, sedangkan saat ini kita hidup di abad 21 yang serba digital dan multi wajah hukum.
          Arus informasi tak bisa dibendung memasuki keranah privasi seseorang sehingga para penstudi hukum memasuki sebuah ranah yang disebut globalisasi dan era penegakan HAM, tetapi apa sebenarnya yang disebut Globalisasi dan HAM itu sendiri ? sebuah jawaban yang perlu jelas secara konsepsional dan adakah “benang merah: antara keduanya dengan Pancasila?.
           Perlu dianalisis dua konsep terlebih dahulu, yaitu HAM dan Globalisasi. Istilah Hak Azasi Manusia merupakan istilah yang relatif baru, khususnya semenjak perang dunia ke II dan melakukan perjalanan panjang dan menarik rangkuman yang disampaikan Prof Paulus Hadisuprapto, bahwa secara singkat dapat dinyatakan: (1) Konsep HAM berkembang melalui jalan panjang hingga terbentuknya konsep HAM sekarang ini; (2) Konsep HAM bermula dari "Natural rights". Hak-hal alam yang bersumber dari hukum alam, (3) Konsep HAM berkembang mulai dari konsep-konsep yang berlandaskan hukum alam, dengan segala aspek pemahaman dan penjabarannya menuju konsep-konsep yang lebih kongkrit berdasarkan hukum buatan manusia.(4) Konsep HAM pada alhirnya mengkristal menjadi berbagai dokumen HAM –Bill of Right – Universal Declaration of Human Right. (5) Konsep HAM yang sudah mengkristal itu ternyata dalam penerapannya masih harus menghadapidua kutup pandang teori universalisme dan teori relatifvisme budaya.
             Menarik dipaparkan pada butir kelima rangkuman tersebut, beliau menyimpulkan bahwa salah satu perbantahan sekitar universalisme versus cultular relalitifvisme merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Hal terpenting yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini ialah, bagaimana upaya merekonsialisasi perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya.
              Pada sisi lain Globalisasi lebih dekat ke arah universalisme, tetapi apa sebenarnya Globalisasi, jika kita terjemahkan dengan konsep Indonesia, mungkin yang paling mendekati adalah diartikan "mendunia" dan bila dicermati, maka globalisasi ternyata memiliki karakteristik yang secara tidak langsung dapat dijadikan para meter kapan telah terjadi globalisasi. Adapun ciri-ciri atau karakterstik globalisasi adalah: 
a. Perubahan konsep ruang dan waktu- internet komunikasi global super cepat.
b. Pasar dan Produk ekonomi saling bergantung akibat pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional & dominasi World Trade Organization (WTO).
c. Peningkatan interaksi kultural, perkembangan media massa (berkat teknologi komunikasi) melintas ragam budaya (Fashion, literatus, kuliner)
d. Peningkatan masalah bersama, lingkungan hidup (Global warming), krisis multi nasional (krisis keuangan Amerika dampaknya kemana-mana), Peter Duker menyatakan " Globalisasi adalah jaman transformasi sosial"
      Kemudian dalam rangkuman Prof Paulus menyatakan beberapa pokok pikiran: (1) Globalisasi merupakan fakta sekaligus proses, (2) Fakta karena orang penghuni bumi dan bangsa-bangsa di bumi merasa saling ketergantungan satu sama lain dibandingkan era-era sebelumnya, (3) Proses, karena diera Globalisasi terjadi proses teknologi dan kemanusiaan, (4) Teknologi, sistem informasi global dan komunikasi global membentuk dan menghubungkan agen-agen globalisasi, (5) Kemansian, globalisasi ditarik oleh kehendak konsumen dan didorong oleh kehendak manager untuk melayanani pelanggannya dan memperoleh kekuasaan (6)Globalisasi memberikan janji-janji efisiensi dalam penyebarluasan barang-barang kebutuhan hidup bagi mereka yang dulunya sulit menjangkaunya. (7) Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika global perlu karena pada hakekatnya globalisasi memiliki dua wajah sekaligus "convergence" and "integration" namun juga "conflik and integration".
            Ketika bangsa ini dihadapkan globalisasi, pada sisi lain ketika pembentukan peraturan perundang-undangan masih mengacu pada teori abad 19 yakni teori Hirarki Norma Hukum dari Hans Kelsen yang berparadigma positivisme. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya teori hirarki norma hukum samakah dengan hirarki peraturan perundang-undangan ?
2.Teori  Hirarki Hans Kelsen
 Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
 Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.[1]
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.[2]
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.
Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
1.  Kelompok I             :Staatsfundamentalnorm(Norma Fundamental Negara);
2.  Kelompok II            :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
3.  Kelompok III           :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
4.  Kelompok IV           :Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan otonom).[3]

Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.[4] Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara.
Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.[5]
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen  dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.       Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2.       Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3.       Formell Gesetz : Undang-Undang;
4.       Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.[6]

3.Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
 A.       Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:
1.   Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
2.   W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);
3.   J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya        
B.   Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori:
1.       Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
2.      Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
C.       Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[7]
  
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain:
1.      Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2.      Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3.      Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4.      Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5.      Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6.      Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.[8]
         
          Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang  baik meliputi:
a.   kejelasan tujuan;
b.   kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.  kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.  dapat dilaksanakan;
e.  kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.  kejelasan rumusan; dan keterbukaan.[9]

            Di samping itu materi muatan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f.  bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-an;
i.  ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. [10]

Dalam doktrin ilmu hukum, pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pernah disampaikan oleh I.C. Van Der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi. Menurut I.C. Van Der Vlies membaginya menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang material. Asas-asas yang formal meliputi:
1.      Asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling);
2.      Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
3.      Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4.      Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5.      Asas konsensus (het beginsel van consensus).[11]

Sedangkan asas-asas material antara lain meliputi:
1.  Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
2.  Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3.  Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk-heidsbeginsel);
4.  Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
5.  Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtbedeling).[12]

Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
1.  Cita Hukum Indonesia;
2.  Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan yang berdasar Konstitusi;
3.  Asas-asas lainnya.[13]
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan oleh :
a.    Cita Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai ”bintang pemandu”;
b.   Norma Fundamental Negara juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma);
 c.    (1) Asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);
      (2)   Asas-asas pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.[14]
Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:     
a.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.  Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.  Peraturan Pemerintah;
e.  Peraturan Presiden;
f.   Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.                      
            Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana  dimaksud  dalam  Pasal  7 ayat  (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan  Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah  Konstitusi, Badan  Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang  dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah  Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
(2)    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu dilakukan pengujian undang-undang. Baik di dalam kepustakaan maupun praktek dikenal adanya 2 (dua) macam hak menguji, yaitu hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji material (material toetsingsrecht).[15]
Adapun yang dimaksud dengan hak uji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.[16][16] Sedangkan hak uji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[17]
Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model pengujian undang-undang, yaitu executive review, legislatif review, dan judicial review. Dalam model executive review, mekanisme pembatalan ini dapat juga disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas. Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai ketentuan pembatalan peraturan daerah.[18]
Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang terkait dengan cabang kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis inilah yang diberi secara aktif menilai dan menguji konstititusionalitas undang-undang.[19] Sedangkan dalam model judicial review tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).[20]

4.Penalaran Hukum
Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).[21]
Penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut Berman ciri khas penalaran hukum adalah:
1.            Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2.           Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan prediktabili-tas;
3.        Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi.[22]
Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum. Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu:
1.       Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin,  biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law);
2.       Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3.       Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam   struktur yang koheren, yakni strukturmyang   mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah   aturan   umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure);
4.       Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5.       Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).[23]

Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1.       Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2.       Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3.       Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4.       Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5.       Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6.       Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7.       Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[24]
Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1.       Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2.       Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3.       Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4.       Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5.       Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6.       Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.[25]

Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.[26]
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[27] Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1.       Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2.        Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3.        Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang  baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.[28]
Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).[29][9] Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[30][10]
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[31][11] Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.[32][12] Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.[33]
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).[34] Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).[35] Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[36]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[37]
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan  konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[38]
 Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.[39] Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi hukum.[40]
Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.      Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.      Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.      Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.      Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5.      Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.       Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7.      Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;
8.      Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.      Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;
10.  Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11.  Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[41]

Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.            Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.            Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3.           Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;
4.            Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[42]

5.Metode Penemuan Hukum
Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[43]
Tujuan hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[44]
Dalam praktik peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.[45]

6.Pancasila sebagai sumber hukum Negara
            Untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
            Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
          Berdasarkan pernyataan di atas yang perlu dipahami adalah apakah yang dimaksud dengan materi muatan peraturan perundang-undangan ? Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 12 Tahun 2011). Dari jawaban atas pertanyaan di atas, maka perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan?
          Berdasarkan Pasal 4  UU No 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.  (Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011)
          Mengacu pada Pasal 4 di atas dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011. Walaupun dibedakan keduanya namun secara bentuk dan materi muatan, maka undang-undang termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
          Hal ini juga sejalan dengan pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkab oleh  Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun daerah, yang juga mengikat secara umum.
            Untuk memahami pernyataan, bahwa “sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Berikut ini pula dipahami, bahwa nilai nilai Pancasila secara normatif haruslah dihubungkan antara asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan dengan sila-sila dari Pancasila.
            Dengan kata lain klasul tersebut bisa dipahami melalui hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan atau pertanyaannya adalah apa hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan ? Sebagaimana diketahui, bahwa sila-sila Pancasila divisualisasikan secara semiotika hukum didalam lambang negara, yakni pada perisai Pancasila, maka diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan Pancasila sebagai cita hukum atau sebagai sumber segala sumber hukum negara berdasarkan lambang negara dengan pendekatan semiotika hukum.
             Berkaitan dengan ini teks hukum negara pada pasal 48  ayat (2) Undang-Undang Nomo 24 Tahun 2009, yang menyatakan “Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
            Terhadap konsep “berthawaf”  diatas penafsiran Sultan Hamid II  menyatakan : [46]
  ".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca NKRI) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.
    Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan  makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral. [47]
  Mengapa Sultan Hamid II menggunakan konsep thawaf dalam membaca Pancasila,  Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [48]
     "... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
   Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[49]
    " ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah  menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni  membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja”.
   Kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan  pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
   Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara  sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan  Yang Maha Esa. Dengan kata lain  negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut  dasar  kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan  atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan  memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
 Jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia,  tentunya mendjadi kuat dan  pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
            Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [50]
            Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan  dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini  Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan Pancasila berthawaf atau selaras dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II. Transformasinya pembacaan Pancasila berhawaf dapat menselaraskan dengan subtansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketika penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), sebagaimana paparan berikut ini.
             Filsafat Hukum (Pancasila) dengan konsep pembacaan Pancasila "berthawaf" secara ontologi adalah  berdasarkan hukum alam/yang berbasis spiritualis menawarkan cara-cara untuk melengkapi pandangan ilmuwan hukum yang ada sebelumnya yang membaca Pancasila dengan konsep hirarkis piramida, dengan menunjukan cara baru bagaimana  sejarah, semiotika dan filsafat perkembangan pemikiran hukum dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali pada satu titik tertentu masih belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang itulah ilmuwan perlu merekonstruksi konsep-konsep yang ditawarkan dalam tataran keilmuan, termasuk didalamnya ilmu hukum dan sekaligus termasuklah didalamnya adalah ilmu hukum tata negara Indonesia.
              Pada tataran yang demikian itu, maka model pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak yang berlawanan dengan arah jarum jam  atau gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila dalam lambang negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah hukum dan analisis semiotika hukum yang kemudian disebut sebagai konsep semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II  atau selaras dengan pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
            Adapun rumusannya adalah Sila Kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa merupakan sila yang menjadi basis utama yang menerangi/nur cahaya keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara bangsa–bangsa di dunia. Semangat Ketuhanan Yang  Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 
               Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka dalam kehidupan kenegaraan, berbangsa dan bermasyarakat tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang, karena setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan, karena kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dalam bingkai negara hukum dan pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha  Esa (pasal 29 ayat (1) UUD Neg RI 1945) yang berkedaulatan rakyat menurut paham konstitusionalisme (Pasal 1 ayat (2) UUD Neg RI 1945)  dalam wadah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Neg RI 1945) berdasarkan Pancasila (Alinea Keempat Pembukaan UUD Neg RI 1945) yang menjunjung tinggi nilai-nilai relegiositas yang berasal dari sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal (asmaul husna) yang diupayakan oleh manusia yang beraneka ragam suku bangsa tetapi berasal dari diri yang satu atau satu diri, yaitu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.(Qur’an Al Hujurat (49) ayat (13) dan Surah ke 4 Anisa ayat (1) atau dalam bahasa semiotika lambang negara adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhina Ika, Tunggal Ika, Beranekaragam itu dan satu itu beraneka ragam. Keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman.
              Adapun konsepnya secara epistemologinya adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf  j Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
              Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila.  Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f  Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h  Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya  bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
           Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semnagat demokrasi untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif  haruslah taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
              Kemudian Sila I menjadi  cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang  Nomor  12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i  Undang- Undang  Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum..
             Dengan demikian pada tataran perencanaan penyusunan UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum nasional[51] berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya Penempatan Pancasila sebagai cita hukum dengan menempatkan Pancasila merupakan sumber segala  sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat dan sekaligus menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga materi muatan Peraturan perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009), yaitu pembacaan Pancasila dengan logosentrisme berthawaf.
              Konstruksi hukum, bahwa  Pancasila bukan hanya staatfundalmentalnorm (kaidah fundamental negara), sebagai cita hukum (rechtidee) yang dijadikan sumber segala sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara (UUD Negara RI) 1945, tetapi menjadi bagian UUD Negara RI, 1945, sehingga Pancasila tidak menjadi mitos, terlalu abstrak dan tidak cair, sebagaimana Pembacaan Pancasila secara hirarkis piramida menurut pandangan Notonagoro dan dianut oleh para penstudi hukum di Indonesia ketika memberikan penafsiran filsafat hukum Pancasila.
               Konsep Pembacaan Pancasila secara hirarkis Piramida secara semiotika hukum harus diselaraskan dengan pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam Lambang Negara Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009). Sedangkan Penjabaran Pancasila sebagai cita hukum atau Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara, dapat  dijabarkan atau diwujudkan secara semiotika hukum dengan menghubungkan dengan penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Artinya antara Pasal 2 jo Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 selaras dan korelasi yang jelas dengan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
             Untuk menerapkan konsep Pembacaan Pancasila “berthawaf” berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia kedalam pemetaan suatu undang-undang akan lebih mudah untuk memetakan materi muatannya dengan cara menstruktur pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang sesuai jenis peraturan perundang-undangan yang diperintahkan/imperatif ke dalam bentuk peraturan perundangan dari sisi penjabarannya, misalnya dari Undang-Undang ke bentuk peraturan presiden. Memang kelihatan tidak hirarkis sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi dengan bantuan model pembacaan Pancasila berthawaf bisa dilacak keberadaannya, karena selama ini dalam hukum tata negara, bahwa undang-undang harus dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi bisa saja keberadaan Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah dari  undang-undang, atau dari  peraturan pemerintah yang secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya (pasal 13 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011). Artinya bisa jadi dalam satu Undang-Undang bisa dipetakan sekian konsep pembacaan dengan struktur pola pembacaan Pancasila  “berthawaf”.
            Kemudian untuk memahami hirarki peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
           Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
           Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
     g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
           Pertanyaan apakah  jenis peraturan perundangan hanya yang terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ?  UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas menyatakan pada Pasal 8
            (1)      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)        Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
            Pasal  8 ayat (2) di atas  memberikan penegasan tentang kekuatan hukum  terhadap peraturan perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
            Pernyataan ini memberikan pemahaman, bahwa apabila didalam peraturan perundang-undangan apakah berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah  terdapat pasal yang teks normatifnya terdapat klasul, misalnya “lebih lanjut diatur atau ditetapkan dengan peraturan menteri”, maka keberadaan peraturan menteri tersebut mengikat secara hukum. Artinya keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apakah yang dimaksud peraturan menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
          Yang menjadi persoalan dalam tataran pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12 Tahun 2011 masih ada Ketetapan Menteri tetapi materi muatannya bersifat mengatur, bagaimana kekuatan hukumnya. Pasal 100 UU Nomor 12 menyatakan, bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
            Kemudian pada pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 kedua menyatakan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa yang dimaksudkan berdasarkan kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
            Berkaitan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan peraturan kewenangan bukan berarti kewenangan yang lepas dari dasar hukumnya, karena didalam doktrin hukum administrasi negara dikenal namanya instrumen pemerintahan dan salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu adalah ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan Kebijakan. Rencana, Perizinan.
             Yang sering belum terbangun kesepahaman dipublik adalah peraturan kebijakan. Oleh karena itu untuk membangun kesepahaman perlu dipaparkan masalah ini. Mengapa demikian, karena keberadaan peraturan kebijakan secara hukum tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan  bebas dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freis ermessen.
             Secara bahasa Frei yang artinya bebas, tidak terikat, dan merdeka. Freis artinya, orang yang bebas, tidak terikat, merdeka. Ermesen artinya mempertimbangkan, menilai, memperkirakan. Pengertian Freis Ermessen, yakni kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yakni kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan kefektifan tercapainya suatu tujuan dan berpegang teguh pada ketentuan hukum.
           Penggunaan freis Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif) dan penggunaan freis Ermesen hanya ditujukan untuk kepentingan umum. Menurut  Indroharto, pembuatan peraturan kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[52]
1.      Ia tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkan.
2.      Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3.      Ia harus dipersiapkan dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4.      Isi dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5.      Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas.
6.      Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material artinya hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena  harus dihormati kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
       Berkaitan dengan enam hal diatas, maka sebenarnya diskresi yang berdasarkan konsep freis Emerssen tidak terlepas dari materi muatan peraturan perundangan-undangan yang akan dijadikan sumber wewenangnya.
       Untuk memahami sumber wewenang tersebut, maka perlu dikaitkan dengan materi muatan peraturan peraturan perundang-undangan sesuai dengan masing-masing jenis peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dijabarkan pada:
Pasal 10
(1)   Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada penjelasan pasal 10 Huruf c menyatakan: Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1)Huruf d, bahwa yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
           Materi muatan tidak  terlepas dari struktur masing-masing jenis peraturan perundang-undangan, oleh karena asas hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
        Jika kita menstruktur kembali  subtansi Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·         Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
·         UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
·         Setelah itu terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku kembali sampai dengan sekarang.
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
·         merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).
·         Pada masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
·         Contoh : TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000
c.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·         yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
·         Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
·         1)      Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
·         2)      Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
·         3)      DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
·         4)      Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Contoh: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
e.       Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f.       Peraturan Daerah Provinsi
·         Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
·         Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
            Kemudian dengan dikeluarkannya Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 produk hukum daerah dapat dikategorikan Pengaturan; dan Penetapan  (pasal 2) dan yang bersifat pengaturan terdiri dari Perda atau nama lainnya, Perkada; dan  Peraturan Bersama  KDH (pasal 3).
          Kemudian biasanya yang menjadi pertanyaan publik adalah bagaimana kedudukan surat edaran ? Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen Nomor 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.
          Selanjutnya dalam Permendagri  Nomor 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan:
  • Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
  • Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
  • Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.

Bahan Bacaan :
          Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.
          Ardhiwisastara, Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008.
          Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
          Asshiddiqie, Jimly & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
         Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010
         D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung.      
         Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009.

           Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008.
           Mertokusomo, Sudikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009.
           Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993.
           Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.  
           Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
           Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, . Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004.
            -----------, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, Medan, 2 - 5 Mei 2011.
           Shidarta, B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000.
           Soemantri, Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
           Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
           Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
          Soekanto, Soerjono & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993.
          Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
          Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.





[1] Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman 41.
[2]Ibid, halaman 42.
[3]Ibid, halaman 44-45.
[4] Ibid, halaman 46.
[5] Ibid, halaman 48.
[6]Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, halaman 171.
[7].Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, halaman 88-92.
[8]Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.
9.Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[10] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[11]Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, halaman 228.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, halaman 229.
[15] Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, halaman 6.
[16]Ibid.  
[17]Ibid,  halaman 11.
[18]Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 74.
[19]Ibid, halaman 71.
[20]Ibid, halaman 47.
[21]Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004), halaman 486.
[22]B. Arief Shidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000, halaman 166-167.
[23] Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011), halaman 3-4.
[24] Ibid, halaman 4.
[25]Ibid.
[26]Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 89.
[27]Ibid, halaman 90.
[28] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002, halaman 85-87.
[29] Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antarnorma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:
a.     Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
b.     Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
c.     Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP) ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.
Di Indonesia, dalam praktik peradilan, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers. 
d.     Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, halaman 31.
[30] Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, halaman 13.
[31] Ahmad Rifai, Op. Cit, halaman 74.
[32]Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, halaman 161.
 [33]Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, halaman 37.
 [34]Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman 106-107.
 [35]D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 11.      
[36]Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, halaman 81.  
[37]Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, halaman 7.
[38]Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit, halaman 26.
[39]Achmad Ali, Loc. Cit. halaman 121.
[40]Ibid, halaman 115.
[41]Ahmad Rifai, Loc. Cit, halaman 62-72.
[42]Ibid, halaman 74-85.  
[43]Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1.
[44]Ibid, halaman 1-2.
[45]Ahmad Rifai, Loc. Cit, halaman 89. 
[46] Transkrip Sultan Hamid II,  15 April 1967, op cit, halaman 7
[47] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[48] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 7
[49] Transkrip Sultan Hamid II,  15 April 1967, ibid, halaman 8
[50] Hatta, Panitia Lima, 1980  dalam  Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[51]Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[52] Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut hukum publik dan hukum Perdata, Jakarta, 1992, halaman 45-46.
»»  Baca Selengkapnya...