Rabu, 29 Maret 2017

KONSTRUKSI HUKUM EKS TANAH WARIS KERABAT KESULTANAN DAN TANAH BEKAS SWAPRAJA PEMERINTAHAN KERAJAAN/KESULTANAN DI KALIMANTAN BARAT

KONSTRUKSI HUKUM
EKS TANAH WARIS  KERABAT  KESULTANAN  DAN  TANAH BEKAS SWAPRAJA PEMERINTAHAN KERAJAAN/KESULTANAN                        DI KALIMANTAN BARAT BERDASARKAN 
 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960  DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH MHum
Web: Rajawali Garuda Pancasila
Email: fachturahmannur@gmail.com
HP 081310651414

A.      Memilah Kedudukan Status Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) Setelah Terbentuk Provinsi Kalimantan Barat. 1 Januari 1957         
                Jika kita membaca secara cermat, konsideran menimbang dari Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 24 September 1960 yang dikeluarkan oleh Presiden RI Soekarno, menyatakan, “bahwa sejak terbentuknya Negara Kesatuan,berhubung dengan telah diselenggarakannya pembentukan sementara dari daerah-daerah otonom Kabupaten dan yang setingkat dengan Kabupaten di beberapa wilayah di Kalimantan menurut Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14, demikian pula berhubung dengan desakan-desakan dari masyarakat, sekarang perlu segera dibentuk Propinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
              Secara historis Provinsi Kalimantan Barat, sebagai bagian provinsi di Kalimantan dibentuk dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 dan desakan desakan dari masyarakat agar segera dibentuk Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur  dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom), namun ada yang norma yang menegaskan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1953 pada pasal 1 menyatakan:
Pasal 1 ayat (1):  Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No. 21 tahun 1950, dan yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai daerah otonom "Propinsi Kalimantan", yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948, yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut "Propinsi".
               Jika kita menyitir Peraturan Pemerintah RIS No 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Provinsi yang ditetapkan  Pada Tanggal 16 Agustus 1950, dalam konsideran mengingat ada hal yang menarik dari sisi sejarah hukum dan hukum tata negara, yaitu:
“Mengingat: a. Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950, dalam hal mana Pemerintah Republik Indonesia Serikat bertindak juga dengan mandat penuh atas nama Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur; b. Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950
                Berdasarkan konsideran mengingat itu dapat ditelusuri jejak sejarah hukum pembentukan provinsi Kalimantan Barat,bahwa ternyata didasarkan pada tiga hal:
1.      Piagam-persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950
2.      Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950
3.      Ketetapan dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 8 Agustus 1950
  
             Menarik untuk mencermati subtansi Pasal 1 PP No 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: 1. Jawa - Barat 2. Jawa - Tengah 3. Jawa - Timur 4. Sumatera - Utara 5. Sumatera - Tengah 6. Sumatera - Selatan 7. Kalimantan 8. Sulawesi 9. Maluku
Jadi berdasarkan pasal  1  PP No 21 Tahun 1950 di atas subtansinya umum tidak menyebut provinsi Kalimantan Barat, tetapi Kalimantan secara umum, padahal  fakta sejarah/de fakto dan secara de jure Kalimantan Barat pada masa itu masih berbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sejak tahun 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri dibawah Konstitusi RIS, 1949 dan yang lebih menarik dari sisi hukum tata negara, bahwa PP No 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
  Pernyataan normatif pasal 3 tersebut diatas, secara tidak langsung secara diam-diam DIKB sebagai Satuan Negara yang berdiri sendiri dan berdaulat diberlakukan secara berlaku surut dengan PP No 21 Tahun 1950 pada tanggal 17 Agustus 1945, ini bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949, karena berdasarkan Undang-Undang 1949 No. 11 (11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Presiden Republik  Indonesia dalam konsideran menimbang : menyatakan, bahwa pada tanggal 29 Oktober 1949 dalam persidangan di kota Scheveningen, yang dilangsungkan oleh Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg); Kedua Delegasi itu telah membubuhkan tanda-tangan parap pada Piagam Persetujuan, menyetujui naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam itu.
  Pasal 1 Undang-Undang 1949 No. 11 (11/1949) Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Menyatakan: “Mengesahkan dan menerima baik Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang padanya termaktub mukadimmah, Pasal 197 bersama-sama Lampiran pokok-pokok penyelenggaraan Pemerintahan menurut pasal 51 Konstitusi itu.
 Pasal 2. Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan. Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 14 Desember 1949. Presiden RI Soekarno, dan Perdana Menteri RI  Mohammad Hatta.
Pasal 51 ayat (1) Konstitusi RIS, 1949:
 “Penjelenggaraan-pemerintahan tentang pokok-pokok jang terdaftar dalam lampiran Konstitusi ini dibebankan semata-mata kepada Republik Indonesia Serikat.
“Pasal 51 ayat (2) Konstitusi RIS, 1949
Konstitusi RIS 1949 Daftar lampiran penjelenggaraan-pemerintahan jang tersebut dalam ajat (1) diubah, baik atas permintaan daerah-bagian bersama-sama ataupun atas inisiatip Pemerintah federal sesudah mendapat persesuaian dengan daerah-daerah-bagian bersama-sama, menurut atjara jang ditetapkan dengan undang-undang federal
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949
Konstitusi ini mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan.
Naskahnya diumumkan pada hari itu dengan keluhuran menurut tjara jang akan ditentukan oleh Pemerintah.
Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949
 (2) Djikalau dan sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat (1), sudah dilakukan tindakan-tindakan untuk membentuk alat-alat -perlengkapan Republik Indonesia Serikat dan untuk menjiapkan penerimaan kedaulatan, sekaliannja atas dasar ketentuan-ketentuan Konstitusi ini, maka ketentuan-ketentuan itu berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
             Berdasarkan norma konstitusional Pasal 197 Konstitusi RIS 1949 secara yuridis konstitusional:
Pertama, Konstitusi RIS berlaku sejak pemulihan kedaulatan, berarti 27 Desember 1949
Kedua,  Pemberlakuan Surut ketentuan Peraturan Pemerintah RIS dalam hal ini PP No 21 Tahun 1950 diatas, berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
             Pertanyaannya kapan tindakan penyerahan kedaulatan RI ditanda tangani, yaitu sejak 27 Desember 1949 di KMB. Berarti secara logika hukum tata negara, pernyataan Pasal 1 PP No 21 tahun 1950 yang menyatakan: “Daerah Republik Indonesia Serikat, sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, terbagi atas daerah-daerah propinsi di bawah ini: yang salah satunya pada angka 7 yaitu Kalimantan. Jelas bertentangan dengan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan Satuan Kenegaran yang berdiri sendiri diluar Republik Indonesia, pasal 2 huruf a Konstitusi RIS 1949 ( Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945), yaitu DIKB.
  Demikian juga norma hukum tata negara dalam PP No 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan:
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
 Norma ini jelas menyimpang dari maksud Pasal 197 Konstitusi RIS itu sendiri. Kemudian berkaitan dengan Pasal 197 bersama-sama Lampiran pokok-pokok penyelenggaraan Pemerintahan menurut pasal 51 Konstitusi itu, maka dapat dilihat lampiran Pasal 51 mengatur tentang subtansi apa, apakah termasuk amanah pembentukan provinsi di Kalimantan.
             Lampiran. Pokok-Pokok Penjelenggaraan-Pemerintahan jang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat menurut Pasal 51 Konstitusi.
a.       Pengaturan kewarganegaraan dan kependudukan Republik Indonesia Serikat;
b.      Imigrasi dan emigrasi, dengan pengertian, bahwa undang-undang federal akan memuat, bahwa tentang banjaknja imigrasi jang diizinkan terhadap suatu daerah-bagian harus ada persesuaian dengan daerah bersangkutan;
c.       Pengaturan umum urusan kolonisasi dan transmigrasi, ketjuali djika kolonisasi dan transmigrasi itu terjadi didalam daerah suatu daerah-bagian dan dengan pengertian, bahwa dalam hal transmigrasi dari suatu daerah-bagian kedaerah-bagian lain, tentu harus ada persesuaian antara daerah-bagian bersangkutan tentang banjaknja transmigrasi jang akan dilakukan;
d.      Hak memberi ampun (grasi), amnesti dan abolisi;
e.       Pengaturan hak pengarang, milik industri, dan hak pembiak (kwekersrecht);
f.       Pengaturan asas-asas-pokok hukum sipil antarnegara dan hukum antargolongan;
g.      Pengaturan hukum sipil dan hukum dagang, sekadar hal itu masuk bilangan untuk diatur dari pusat, baik karena kepentingan sosial umum atau karena alasan-lasan ekonomi, maupun karena artinja jang chusus untuk bagian-bagian penduduk jang penting jang sebagai demikian tidak masuk kewargaan sesuatu daerah-bagian;
h.      Pengaturan asas-asas-pokok hukum-pidana;
i.        Pengaturan asas-asas-pokok hukum atjara perdata–termasuk dalamnja hukum bukti–dan hukum atjara pidana;
j.        Pengaturan susunan kehakiman federal;
k.      Pugas dan kekuasaan pendaftaran tanah;
l.        Pengembalian perhubungan-hukum ekonomi;
m.    Ganti-rugi kerugian perang;
n.      Mengatur dan mendjalankan tugas polisi bersangkutan dengan pokok-pokok penjelenggaraanpemerintahan federal; Pendidikan pegawai atasan polisi; Mengadakan persediaan2 untuk memadjukan ketjakapan teknik dan daja-guna kepolisian Republik Indonesia Serikat; Mengadakan tindakan2 untuk memadjukan kerdjasama jang tepat, dimana perlu, dalam pekerdjaan pelbagai alat-perlengkapan polisi;
o.      Hal mata-uang, hal uang dan hal bank, dan djuga pengaturan devisen;
p.      Pengaturan padjak perseroan;
q.      Pengaturan padjak kekajaan;
r.        Pengaturan padjak pendapatan untuk hal-hal istimewa jang ditentukan undang-undang federal;
s.       Pengaturan impor dari dan ekspor keluar negeri, termasuk bea-masuk dan bea-keluar dan djuga penentuan daerah-bea;
t.        Pengaturan bea meterai;
u.      Pengaturan tjukai, sekadar penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
v.      Monopoli-monopoli pemerintah;
w.    Hubungan-hubungan luar negeri, hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban terhadap pemerintah-pemerintah luar-negeri, dan djuga pada umumnja segala pokok jang mempunjai hubungan rapat dengan perhubungan dengan luar-negeri, (sedang dalam perhubungan itu Republik Indonesia Serikat harus seluruhnja bertindak);
x.      Pertahanan negeri, termasuk hal mengatur hukum pidana dan hukum patuh-taat ketentaraan, madi dan zahiri, dan susunan kehakiman jang bersangkutan dengan itu, dan djuga mengatur dan mengumumkan keadaan perang dan keadaan darurat perang;
y.      Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
z.       Pemeliharaan monumen dan perlindungan alam jang penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
     Berdasarkan subtansi lampiran tersebut diatas tidak ada satupun point pembentukan Provinsi di Kalimantan, tetapi point-point yang berkaitan dengan urusan yang menjadi urusan negara-negara bagian RIS atau berkaitan dengan pokok-pokok penjelenggaraan-pemerintahan jang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat.
             Kemudian perhatikan secara tegas Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 menyatakan:
“Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, jaitu daerah bersama:
a.       Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
b.      Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri; Djawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur; a. dan b. jalah daerah bagian jang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan jang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi c. daerah Indonesia selebihnja jang bukan daerah-daerah bagian”.
           Berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 huruf b Kalimantan Barat (Daerah istimewa) adalah Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri diluar dari persetujuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948 atau diluar Negara Republik Indonesia pada Pasal 2 huruf a. Fakta historis yuridis konstitusional ini yang sering tidak dipahami para peneliti sejarah hukum di Indonesia dan Kalimantan Barat.
            Dengan demikian pembentukan Provinsi Kalimantan Barat setelah DIKB diabaikan secara konstitusional adalah berhubung dengan perkembangan politik ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat Tahun 1953.
            Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan kota Dalam Lingkungan Provinsi Kalimantan yang menyatakan:
PENJELASAN UMUM
1.      Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom tersebut, maka sekarang mendesak waktunya untuk segera mengatur Pemerintahan daerah-daerah Kabupaten, Swapraja-Swapraja dan Kota-kota Banjarmasin dan Pontianak di Kalimantan dalam bentuk yang resmi, menurut dasar-dasar yang diletakkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia. Dan karena keadaan-keadaan yang mendesak itu, maka dianggap perlu menetapkan peraturan pembentukan Kabupaten-kabupaten otonom, Daerah-daerah Istimewa yang setingkat dengan Kabupaten dan Kota-kota Besar dalam lingkungan Propinsi Kalimantan itu dalam suatu Undang- undang Darurat.
                  Hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti sejarah hukum DIKB adalah pada point 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 yang menyatakan:
3.  Sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak. Oleh karena Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat. Walaupun demikian menurut pasal 4 sub II A Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia, perlu diusahakan dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia dilakukan juga di Kalimantan Barat. Berhubung kini masih belum dapat ditentukan Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat, maka salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
          Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tersebut ada hal yang menarik secara hukum tata negara, yaitu:
1.      bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak
2.      Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat
3.      Perlu diusahakan dimana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia (NKRI- penulis) dilakukan juga di Kalimantan Barat.
4.      Undang-Undang No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat.
5.      Salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Berdasarkan lima point itu, berkaitan dengan point 1 jika dihubungkan dengan penjelasan pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953, menyatakan:
Pasal 1
Pembagian wilayah Propinsi Kalimantan dalam Kabupaten, Daerah Istimewa tingkat Kabupaten dan Kota Besar adalah berdasarkan atas ketetapan dalam Keputusan - keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10.
              Adalah ironis, bahwa Keputusan - keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10, bisa membagi wilayah DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 dengan memaksakan UU No 22 Tahun 1948 sebagai pedoman, sedang Undang-Undang No. 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat dan inilah cara inkonstitusional menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat.
   UU No 22 Tahun 1948 Tentang Pokok –Pokok Pemerintahan Daerah Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948 adalah produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta, yang pada tanggal 27 Desember 1949 bergabung ke RI dan setara atau sejajar dengan DIKB 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (pasal 2 huruf b Konstitusi RIS, 1949)
 Pertanyaan sejak Kapan Provinsi Kalimantan Barat terbentuk secara hukum Tata Negara ?
             Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari 1957. Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada awal kemerdekaan, wilayah Kalimantan Barat merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan. Apa dasar hukum pembentukannya ?, yaitu diterbitkannya UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dalam konsideran menimbangnya menyatakan:
Menimbang:
a. bahwa, mengingat perkembangan ketatanegaraan serta hasrat rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Propinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang ini dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai daerah otonom Propinsi pula;
b. bahwa, berhubung dengan pertimbangan ad a materi yang diatur dalam Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 8) tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan perlu diganti dengan undang-undang dimaksud di bawah ini.
            Dasar hukumnya adalah:
1. Pasal-pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-undang Dasar sementara; 1950
2. Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia.
              Kemudian dengan Persetujuan DPR RI
I.                   Mencabut Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 8).
II.                Menetapkan: Undang-undang Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan-Barat, KalimantanSelatan Dan Kalimantan-Timur.
Jika kita baca secara cermat pada BAB I KETENTUAN UMUM :
Pasal 1 UU Nomor 25 Tahun 1956 Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 No. 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan batasbatas sebagai berikut: 1. Propinsi Kalimantan-Barat, yang wilayahnya meliputi daerah- daerah otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas-Hulu dan Kota Besar.
           Jadi ironis sekali secara hukum tata negara,bahwa UU Nomor 25 Tahun 1956  dengan berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 1948 yang merupakan produk negara RI 17 Agustus 1945 Yogyakarta, yang tidak berlaku di Kalimantan Barat dan status hukum sebagai pedoman yang menurut NKRI adalah salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
           Kemudian secara subtansi Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 No. 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, dan dengan mengabaikan keberadaan DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (Pasal 2 hurub b Kontitusi RIS 1949) yang secara de fakto dan de jure diluar Negara Republik Indonesia (Pasal 2 huruf a) Konstitusi RIS 1949 atau diluar Perjanjian Renville. Inilah politik hukum mengalahkan supremasi Konstitusional Keberadaan DIKB 1947 yang sejajar dengan NKRI 17 Agustus 1945 berdasarkan Akte Penyerahan Kedaulatan dan Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 di KMB.
           Pasal 2 (1) UU Nomor 25 Tahun 1956  Pemerintah daerah otonom: 1. Propinsi Kalimantan -Barat berkedudukan di Pontianak, 2. Propinsi Kalimantan-Selatan di Banjarmasin dan 3. Propinsi Kalimantan-Timur di Samarinda.
           Pasal 3 (1) UU Nomor 25 Tahun 1956  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota.
            Kemudian yang menarik adalah ketentuan Bab II Urusan Rumah Tangga dan Kewajiban-Kewajiban Provinsi dalam Bagian I Urusan Tata-Usaha Daerah  pada:  Pasal 4
Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 1956  Guna melancarkan jalannya pekerjaan maka Propinsi menjalankan atau mengusahakan supaya dijalankan semua petunjuk-petunjuk teknis yang diberikan oleh Menteri yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat (4) Dewan Pemerintah Daerah Propinsi mengusahakan agar Menteri yang bersangkutan masing-masing mengetahui jalannya hal-hal yang dilaksanakan oleh Propinsi, dengan mengirimkan laporan berkala kepada Menteri yang bersangkutan tentang hal-hal yang termasuk urusan rumah-tangga dan kewajiban Propinsi.
Pasal 4 ayat (5) UU Nomor 25 Tahun 1956  Dewan Pemerintah Daerah Propinsi mengusahakan supaya kepala atau pemimpin urusan Propinsi masing-masing memenuhi panggilan dari Menteri yang bersangkutan untuk mengadakan pembicaraan bersama tentang urusan-urusan teknis yang termasuk pekerjaan kepala atau pemimpin urusan Propinsi itu masing-masing.

B.       Status Hukum Eks Tanah bekas Swapraja Pemerintahan Kerajaan di Kalimantan Barat, khususnya Eks Tanah Bekas Swapraja Pemerintahan Kerajaan Pontianak.  
           Berdasarkan perjalanan sejarah hukum keberadaan provinsi Kalimantan Barat, tentu membawa akibat hukum bagi aset DIKB salah satunya adalah tanah bekas pemerintahan swapraja dan tanah-tanah waris kerabat kesultanan/kerajaaan di Kalimantan Barat serta juga tanah-tanah masyarakat hukum adat di desa-desa diwilayah kekuasaan temenggungan binua. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan urusan agraria atau pertanahan diwilayah bekas DIKB ?
           Untuk menjawab pertanyaan di atas, dapat dilihat pada bagian  II. UU Nomor 25 Tahun 1956 yang menyatakan:
II.Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1956 Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
            Berdasarkan pasal 85 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1956, tanah, khususnya tanah bekas swapraja yang ada di wilayah kalimantan barat  diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
Pasal 85 ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 1956 Untuk penyelenggaraan urusan atau kewajiban termaksud dalam undang-undang ini, Kementerian yang bersangkutan menyerahkan kepada Propinsi uang sejumlah yang ditetapkan dalam ketetapan Menteri yang bersangkutan, sekedar perbelanjaan urusan atau kewajiban yang dimaksud itu sebelum diselenggarakannya oleh Propinsi, termasuk dalam anggaran belanja Kementerian yang bersangkutan.
            Pertanyaannya adalah apakah termasuk tanah bekas swapraja yang hak atas tanahnya atau surat hak milik dikeluarkan Pemerintahan Kerajaan Pontianak ? dan apakah termasuk tanah-tanah milik ahli waris kerabat Kesultanan Pontianak yang belum memiliki surat hak milik dari Pemerintahan Kerajaan Pontianak ?
            Untuk menjawab pertanyaan itu perlu dipahami, bahwa status tanah bekas swapraja, berdasarkan UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang  pada bagian  III yang bernomenklatur Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) UU Nomor  27 Tahun 1959  menyatakan:
(1)      Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
  Berdasarkan Pasal 47 UU Nomor  27 Tahun 1959 diatas, maka tanah  bekas swapraja atau milik Pemerintahan Kerajaan di Kalimantan tidak dikuasai oleh Kementerian Pertanahan, termasuklah tanah-tanah bekas swapraja di swapraja di kabupaten/Kota di Kalimantan Barat oleh karena itu permasalahannya penguasaan tanah bekas swapraja didaerah dibawah kekuasaan siapa ? dikembalikan kepada Undang-Undang yang mengatur wilayah hukum daerah swapraja tersebut.
  Secara yuridis normatif yang menarik adalah klasul “menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai” Jadi tanah bekas swapraja Pemerintahan Kerajaaan Pontianak status hukumnya adalah hak pakai oleh daerah (Pemerintah Daerah).
 Pertanyaannya apa yang dimaksud dengan hak pakai dalam hukum Agaria ?
             Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), definisi atas Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
              Bagian VI Hak Pakai Pasal 41 ayat (2) UUPA menyatakan:
Hak pakai dapat diberikan:
a.       selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b.      dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
Pasal 41 ayat (3):
Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42:
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a. warga-negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43 UUPA:
a.    Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
b.    Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Jika kita membaca penjelasan Pasal 43 UUPA:
“Pasal 41 Hak pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan- badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.”
            Berdasarkan pengertian hak pakai dalam UUPA dalam kaitannya dengan tanah bekas diwilayah daerah swapraja, ketika menggunakan UU yang berkaitan dengan wilayah hukum dimana tanah tersebut berada, sejak berlakunya UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan, berdasarkan Pasal 47 ayat (2) status hak tanahnya adalah hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain.
           Pertanyaannya adalah apakah tanah bekas swapraja tersebut dikuasai langsung oleh negara berdasarkan UUPA terhapus haknya ? jika terhapus menjadi tanah dengan status hukum apa ?
            Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diatur dalam bagian kedua pada Diktum IV UUPA menyatakan bahwa: A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini (24 September 1960) hapus dan beralih kepada Negara. B.Hal-hal lain yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
           Jadi berdasarkan bagian kedua pada diktum IV UUPA, bahwa hak-hak dari swapraja dan bekas swapraja sejak berlakunya UUPA dihapus dan beralih kepada negara dan pengaturan lebih lanjut hak-hak dari swapraja dan bekas swapraja diatur dengan peraturan pemerintah.
           Beralih kepada negara, pertanyaan yang perlu diajukan adalah  tanah bekas swapraja beralih kepada negara sebagai tanah apa, apakah tanah negara atau tanah adat ?, karena pada diktum IV huruf memberikan amanah , bahwa hal-hal lain yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
           Pertanyaan Peraturan Pemerintah yang mana saat ini yang mengatur atau melaksanakan diktum IV UUPA tersebut ?
            Jika menelusuri jejak regulasi dibidang tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, maka akan didapatkan peraturan perundang-undangan, yaitu PP Nomor  8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, pada Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. 
            Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan yang menyatakan:
“Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan”
Berdasarkan penelusurannya status hukumnya, dapat direkonstruksi terhadap konstruksi hukum Agarianya sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1956 yang menyatakan:
II.Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 ayat (1) Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan Kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya.
Kedua, Berdasarkan  UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang  pada bagian  III yang bernomenklatur Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan//kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini (UU Nomor  27 Tahun 1959), oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai. Jadi status hukum tanah yang dikuasai oleh negara adalah berstatus hak pakai, sebagaimana pengertian UUPA pasal 41 yang menyatakan, bahwa hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.(UU No 5 Tahun 1960)
              Jadi dapat disimpulkan, bahwa ketika tanah bekas swapraja terhapus oleh UUPA berdasarkan bagian kedua DIKTUM IV yang menyatakan “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini (24 September 1960) hapus dan beralih kepada Negara”, ternyata fakta yuridisnya sejak disahkan UU Nomor 25 Tahun 1956, yaitu pada Tanggal 29 Nopember 1956, menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, pasal 85 ayat (2), diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, kemudian dengan diberlakukannya UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) berdasarkan pasal 47 ayat (2) yang menyatakan : “menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini (UU Nomor  27 Tahun 1959), oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai sejak Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1959 oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia (Sartono) dan  diundangkan tanggal 4 Juli 1959, maka status hukum tanah bekas swapraja di bekas Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, status hukumnya adalah hak pakai. Setelah berlakunya UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1950) berdasarkan bagian kedua DIKTUM IV yang menyatakan “Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini (24 September 1960) hapus dan beralih kepada Negara”.
              Permasalahannya adalah pernyataan hapus dan beralih kepada Negara, menimbulkan pertanyaaan secara hukum agraria, status hukum tanah bekas swapraja berubah menjadi status hukum apa ? apakah menjadi status tanah negara ? karena Dalam UUPA (UU No. 5/1960) yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 setelah 5 Juli 1959 secara yuridis normatif tidak ditemukan sama sekali istilah tanah negara. Hanya, menurut Pasal 2. UUPA : (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
 a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
             Jadi berdasarkan konstruksi hukum UUPA hanya memberikan kewenangan mengatur, tidak menetapkan, karena penetapan tanah negara yang dikuasai oleh negara akan diberikan beban hak milik diatas tanah negara tersebut adalah diatur lebih lanjut dengan penetapan Pemerintah berdasarkan bagian kedua diktum IV huruf, yaitu denagan Peraturan Pemerintah sebagaimana dinyatakan pada huruf B. Yang menyatakanHal-hal lain yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”
             Menjadi pertanyaan pula sebagaimana pertanyaan di atas, bagaimana status hukumnya terhadap tanah bekas swapraja yang telah dihapus tersebut atau yang dialihkan kepada negara ?
              Jika berlaku mundur berdasarkan istilah dialihkan kepada negara dan dikuasai oleh negara, maka berdasarkan PP Nomor  8 Tahun 1953  (( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362) Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, pada Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Jadi status hukum tanah bekas swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak adalah menjadi tanah negara.
              Pertanyaan hukum administrasi negaranya adalah dalam penguasaan siapa tanah bekas swapraja yang berstatus hukum sebagai tanah negara itu ?
               Berdasarkan Menurut Pasal 2 PP Nomor  8 Tahun 1953, menyatakan: “Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada dalam penguasaan Menteri Dalam Negeri.
               Jadi tanah negara bekas swapraja kewenangan penguasaannya ada dalam penguasaan Menteri Dalam Negeri. Hal ini artinya tidak dalam penguasaan Menteri Agraria atau Menteri Pertanahan atau saat ini adalah BPN, sampai dengan adanya pelimpahan kewenangan secara hukum administrasi negara, khususmnya hukum administrasi pertanahan.
               Kemudian hak apa yang dimiliki oleh menteri dalam negeri terhadap tanah negara bekas swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak ?
              Menurut Pasal 3, ayat  (1) PP Nomor  8 Tahun 1953 menyatakan;   “Di dalam hal penguasaan tersebut dalam Pasal 2 ada pada Menteri Dalam Negeri, maka ia (menteri dalam negeri) berhak:
a.       menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4;
   Menurut Pasal 4,  Penguasaan sebagai dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 sub a diserahkan kepada:
1.      sesuatu Kementrian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementrian atau Jawatan itu, sesuatu Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri
b.      mengawasi agar supaya tanah Negara tersebut dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut ketentuan tersebut dalam Pasal 8.
  Jika kita mencermati subtansi Pasal 8: “Setelah mendengar pihak yang bersangkutan, Menteri Dalam Negeri berhak mencabut penguasaan atas tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam hal:
a.    penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi;
b.   luas tanah yang diserahkan penguasaannya itu ternyata sangat melebihi keperluannya,
c.    tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagai mestinya.
  Menurut Pasal 3 ayat (2) PP Nomor  8 Tahun 1953 menyatakan:  “Di dalam hal penguasaan atas tanah Negara pada waktu mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8.
            Penjelasan Pasal 3 PP Nomor  8 Tahun 1953 menyatakan:
            “Pengawasan Menteri Dalam Negeri bukan sekali-kali bersifat mencampuri urusan intern penyelenggaraan teknis tugas sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra. Pada asasnya Kementrian, Jawatan/Daerah Swatantra bebas di dalam melaksanakan dan menyelenggarakan penguasaan tanah-tanah Negara yang telah diserahkan kepada mereka itu, demikian juga untuk memberi peruntukan pada tanah-tanah itu hingga sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Pengawasan Menteri Dalam Negeri terutama bermaksud, menjamin ketertiban administrasi dan menjaga jangan sampai ada tanah-tanah Negara yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (tinggal terlantar karena tidak atau belum dibutuhkan oleh Kementrian/Jawatan/Daerah Swatantra yang bersangkutan)
           Berdasarkan Pasal 8 dan penjelasan Pasal 3 PP Nomor 8 Tahun 1953, dapat direkontruksi status hukumnya, bahwa walaupun status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak adalah menjadi tanah negara atau menurut UUPA  dihapus haknya berdasarkan bagian kedua Diktum IV huruf a UUPA, dan diserahkan penguasaan kepada Menteri Dalam Negeri dan apabila telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor  8 Tahun 1953 dan pengawasan dimaksud adalah menjamin ketertiban administrasi dan menjaga jangan sampai ada tanah-tanah Negara yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (tinggal terlantar karena tidak atau belum dibutuhkan oleh Kementrian/Jawatan/Daerah Swatantra yang bersangkutan)(lihat penjelasan pasal 8)
            Bagaimana tindak lanjut ketika status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara, dalam hal ini diserahkan pengusaannya kepada Menteri Dalam Negeri ?
             Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Kementrian, Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah itu dalam waktu yang pendek.
            Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Perizinan untuk memakai tersebut dalam ayat 1 dari pasal ini bersifat sementara dan setiap waktu harus dapat dicabut kembali.
            Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang perizinan tersebut dalam ayat 2 di atas, Menteri Dalam Negeri perlu diberi tahu.
              Jadi berdasarkan Pasal 9 PP Nomor 8 Tahun 1953 jelas secara yuridis, dapat dikonstruksi secara hukum administrasi negara, yaitu:
Pertama, bahwa walaupun status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada Kementrian, Jawatan dan Daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah itu dalam waktu yang pendek. (Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953)
Kedua, bahwa status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara Perizinan untuk memakai tersebut dalam ayat 1 (Kementrian, Jawatan dan Daerah Swatantra) dari pasal ini (Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953) adalah bersifat sementara dan setiap waktu harus dapat dicabut kembali.
Ketiga, bahwa status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara, ketika perizinan tersebut diberikan kepada para pihak, maka Menteri Dalam Negeri perlu diberi tahu.
               Namun perlu diperhatikan subtansi Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 yang menyatakan, bahwa “Ketentuan-ketentuan termaktub dalam Pasal 3 ayat 2, dan Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan Pemerintah ini, tidak berlaku bagi tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang. Kemudian bagaimana jika status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara dibeli atau yang dibebaskan dari hak-hak rakyat oleh sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk penyelenggaraan/pelaksanaan kepentingannya ?
               Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1953  Tanah yang dibeli atau yang dibebaskan dari hak-hak rakyat oleh sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk penyelenggaraan/pelaksanaan kepentingannya, menjadi tanah Negara pada saat terjadinya pembelian/pembebasan tersebut, dengan pengertian, bahwa penguasaan atas tanah itu, oleh Menteri Dalam Negeri akan diserahkan kepada Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra yang bersangkutan, setelah diterimanya pemberitaan tentang pembelian/ pembebasan dan peruntukan tanah tersebut.
              Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 1953 menegaskan, bahwa “Menteri Dalam Negeri memberikan ketentuan-ketentuan umum tentang cara pembelian/ pembebasan hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
              Berkaitan dengan ketentuan Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 yang menyatakan, bahwa  “Ketentuan-ketentuan termaktub dalam Pasal 3 ayat 2, dan Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan Pemerintah ini, tidak berlaku bagi tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang”. Bagaimana status hukumnya terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara?
               Jika kita baca secara cermat penjelasan Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Sebagaimana diterangkan di dalam Penjelasan Umum No. 7 tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan Undang-undang, peruntukan dan penggunaannya sekarang ini sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan”, maka Penjelasan Umum Nomor 7  PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Penyerahan penguasaan atas tanah-tanah Negara hingga kini ada yang dilakukan dengan Undang-undang, ada yang dengan Peraturan Pemerintah. Penyerahan yang diselenggarakan dengan Undang-undang peruntukannya sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan, akan tetapi justru penguasaan yang diserahkan dengan Peraturan Pemerintah itu kini keadaannya kacau dan perlu diatur kembali. Oleh karena dahulu peraturan-peraturan yang dipakai sebagai dasar penyerahan penguasaan itu diletakkan di dalam Peraturan Pemerintah (Staatsblad 191 1 No. 110), maka peraturan-peraturan baru yang khusus mengatur penguasaan tanah-tanah Negara berbentuk Peraturan Pemerintah juga. Di dalam mempertimbangkan Peraturan Pemerintah itu yang menjadi titik berat ialah melenyapkan keragu-raguan perihal hak-hak penguasaan atas berbagai tanah Negara, untuk melancarkan dan menjamin pelaksanaan penguasaan tanah-tanah itu secara yang benar-benar mendatangkan faedah pertama-tama meletakkan pengawasan atas tanah-tanah Negara itu di dalam satu tangan, agar selanjutnya tanah-tanah yang tidak tegas status penguasaannya dapat mudah diatur kembali. Oleh karena Kementrian Dalam Negeri yang diserahi segala sesuatu mengenai urusan tanah, lagi pula hingga sekarang dianggap mempunyai tugas sebagai penguasa atas penggunaan tanah-tanah Negara itu diletakkan di tangan Menteri Dalam Negeri.
             Patut juga dipetakan secara hukum ketika status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra, yang saat ini menjadi daerah otonom Kabupaten/Kota dan menjadi Provinsi, bagaimana tata kelolanya administrasi negara pertanahannya?
             Berdasarkan PP No 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara dimaksudkan Presiden Republik Indonesia sebenarnya semangat hukumnya adalah berkehendak mengatur kembali penguasaan tanah-tanah Negara sebagai termaktub dalam surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33 (Staatsblad 1911 Nomor 110), hal ini mengingat: Pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan juga  mendengar: Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke-71 pada tanggal 13 Januari 1953. MEMUTUSKAN: Dengan menyampingkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam surat keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33 (Staatsblad 1911 Nomor 110), sebagai yang telah diubah dan ditambah, yang terakhir dengan surat keputusannya tertanggal 22 Agustus 1940 Nomor 30 (Staatsblad 1940 Nomor 430) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
            Kemudian dengan tidak tegas, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 pada prolog penjelasan pasal perpasal menyatakan, bahwa  Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Staatsblad 1911 No. 110 tidak dicabut seluruhnya, karena sebagaimana telah diterangkan di atas, ketentuan-ketentuan itu tidak hanya mengenai penguasaan tanah-tanah Negara saja, melainkan juga benda-benda tak bergerak lain-lainnya. Maka berhubung dengan itu hanyalah apa yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah ini saja yang dinyatakan tidak berlaku.
             Pertanyaannya adalah bagaimana status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra, yang saat ini menjadi daerah otonom Kabupaten/Kota dan menjadi Provinsi, bagaimana tata kelolanya administrasi negara pertanahannya? Sebagaimana pertanyaan sebelumnya.
           Berdasarkan PP No 8 Tahun 1953 pada BAB III TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN KHUSUS MENGENAI DAERAH SWATANTRA, diatur pada Pasal 12 yang menyatakan, bahwa “Kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan-ketentuan Menteri Dalam Negeri.
            Selanjutnya Pasal 13 Tiap-tiap tahun, selambat-lambatnya pada akhir triwulan pertama, Daerah Swatantra yang bersangkutan menyampaikan laporan lengkap tentang keadaan dan penggunaan tanah tersebut dalam Pasal 12 kepada Menteri Dalam Negeri.
             Berdasarkan Pasal 12 PP Nomor 8 Tahun 1953 dan berdasarkan penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini bermaksud memberi kemungkinan bagi Daerah-daerah Swatantra untuk berusaha memperbaiki perumahan rakyat. Dalam zaman sebelum perang dunia II beberapa Stadsgemeenten menyelenggarakan "perusahaan tanah", yang bermaksud, selain menambah pemasukan keuangan daerah, juga mengusahakan perumahan penduduknya. Daerah-daerah tersebut diberi tanah oleh Pemerintah Pusat dengan harga rendah untuk kemudian dijual atau disewakan kepada penduduk dengan perjanjian, bahwa di atas tanah itu akan didirikan rumah, sesuai dengan rencana pembangunan kota yang bersangkutan. Atau daerah Swatantra itu sendiri yang membuat perumahannya untuk selanjutnya dijual atau disewakan. Usaha sebagai tersebut di atas itu, yang pada umumnya kini belum diselenggarakan lagi, perlu dilanjutkan. Untuk itu sudah selayaknyalah, bahwa Kementrian Dalam Negeri sebagai instansi atasan dari daerah-daerah Swatantra, diserahi pimpinannya. Namun penyerahkan pengusaan tersebut berdasarkan Pasal 13 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Daerah Swatantra yang bersangkutan menyampaikan laporan lengkap tentang keadaan dan penggunaan tanah tersebut dalam Pasal 12 kepada Menteri Dalam Negeri”.
               Berdasarkan paparan di atas menjadi jelaslah, bahwa status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, hak atas tanah tersebut secara yuridis selama dikuasai oleh negara, ternyata status haknya berubah-berubah, oleh karena itu jika kita menggunakan pendekatan hukum tata negara dengan pendekatan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, dapat disimpulkan, bahwa status hukum terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara, adalah saat ini adalah HAK PAKAI, karena Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa “Sebagaimana diterangkan di dalam Penjelasan Umum No. 7 tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan Undang-undang, peruntukan dan penggunaannya sekarang ini sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan. Pasal 10 PP Nomor 8 Tahun 1953 menyatakan, bahwa Ketentuan-ketentuan termaktub dalam Pasal 3 ayat 2, dan Pasal-pasal 5, 6, 8 dan 9 dari Peraturan Pemerintah ini, tidak berlaku bagi tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan dengan undang-undang.
               Pertanyaannya adalah apakah ada tanah-tanah Negara yang penguasaannya telah diserahkan dengan undang-undang. Jika kita menggunakan pendekatan historis yuridis dalam hukum tata negara, maka sesuai analisis konstruksi hukum sebelumnya, yaitu :
Pertama, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. yang menyatakan:
II.Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 ayat (1) Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahana,
            Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan Kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya.
Kedua, Berdasarkan  UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang  pada bagian  III yang bernomenklatur Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya.
Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan HAK PAKAI, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan
Konstruksi hukumnya adalah status tanah bekas Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan//kesultanan-kesultanan di Kal-bar, khususnya di eks wilayah Pemerintahan Kerajaan Pontianak, tanah bekas swapraja menurut ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang ini (UU Nomor  27 Tahun 1959), oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai.
            Berdasarkan ketentuan  UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) yang secara hukum tata negara saat ini dijadikan landasan hukum pada konsideran mengingat Peraturan Daerah Provinsi Kalmantan Barat, yaitu pada angka 1:Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 1106); Pada Pasal Pasal 85 ayat (1)  menyatakan klasul Tanah, ....dst menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
             Kemudian berdasarkan UU Nomor  27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No 9) Sebagai Undang–Undang  pada bagian  III yang bernomenklatur Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya. Pasal 47 ayat (2) menyatakan:
“Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, oleh yang berwajib diserahkan kepada Daerah untuk dipergunakan, diurus dan dipelihara dengan hak-pakai, kecuali tanah, bangunan gedung dan lain-lain sebagainya yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan”
             Berdasarkan klasul tersebut Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 1956 dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor  27 Tahun 1959, maka dapat disimpulkan, bahwa status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, jika digunakan landasan hukum agraria (UUPA UU no 5 tahun 1960  status hukum tanah yang dikuasai oleh negara berdasarkan diktum IV adalah berstatus hak pakai, dan hak pakai  berdasarkan  pengertian UUPA pasal 41 yang menyatakan, bahwa hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.(UU No 5 Tahun 1960)

C.Prosedur Untuk Mendaftarkan Tanah Eks Bekas Swapraja Masa Pemerintahan Kerajaan di Kalimatan Barat, khususnya Tanah bekas Kesultanan Pontianak.
             Pertanyaannya  adalah siapa pejabat yang berwenang yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya  status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri yang saat ini menjadi tanah negara dengan status hukum hak pakai?
 Subyek hukum yang dapat memiliki tanah bekas swapraja atau tanah Pemerintah Kerajaan menurut UUPA (pasal 21 ayat (2) adalah badan hukum yang diatur oleh PP No 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah meliputi:
a) Badan hukum sosial,
b) Badan hukum keagamaan,
c) Koperasi pertanian, dan
d) Bank pemerintah.
            Bagaimana dengan Kesultanan apakah termasuk subyek hukum ?  Kesultanan adalah bukan subyek hukum atau subyek hak atas tanah hak milik menurut UUPA. Lebih lanjut, aturan pelaksanaan Diktum IV UUPA antara lain adalah:
           Terdapat dua ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti rugi ditetapkan 19 September 1961 (Pejabat Presiden RI –J.Leimena), dalam konsideran menimbang:bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform perlu diadakan peraturan tentang pembagian tanah serta soal-soal yang bersangkutan dengan itu.dan Memperhatikan: hasil-hasil kesimpulan Seminar Landreform di Pusat dan di Daerah-daerah.yaitu:
1.      Tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/ bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (Pasal 1 huruf c).
2.      Berdasarkan Pasal 4. ayat 1:
Tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A Undang-undang Pokok Agraria beralih kepada Negara, diberi peruntukan, sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 4 ayat 2. Tanah untuk kepentingan Pemerintah, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, ditetapkan menurut keperluannya oleh Menteri Agraria.
Pasal 4 ayat 3. Tanah yang diperuntukkan bagi mereka yang langsung dirugikan, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, letak dan luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
            Berkaitan dengan pelaksanaan 4 ayat 2 PP No. 224 Tahun 1961 secara historis yuridis dapat ditelusuri penetapan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1.      Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agraria; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60
2.      Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;
3.      Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;
4.      Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.
5.      PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.
6.      PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;
7.      Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;

            Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:
Didalam Pasal 2, disebutkan:
1)      dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten/kota madya
2)      pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;
3)       dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan menguasai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.

            Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut: Hak milik (pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
1)      pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih 2 ha
2)      pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
3)      pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
a. transmigrasi;
b. redistribusi;
c. Konsolidasi;
d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic
            Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
a.       pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;
b.      semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;
Hak Pakai (Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai:
a.       pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;
b.      pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
       c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
           Didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain; Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
      1.  pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2.      pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;
Pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.
Pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b.   Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2
kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;

Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan

Pasal 12  pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
a.       pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b.      pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:

(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III

(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
             Berdasarkan ketentuan di atas, maka tanah swapraja/bekas swapraja dibagi dengan konsep Land Reform kepada para penggarap salah satunya diatur  PEMBERIAN HAK MILIK DAN SYARAT-SYARATNYA Pasal 14 ayat 1 PP No 224 Tahun 1961. Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik secara definitip menurut ketentuan prioritet tersebut pada Pasal 8 ayat 1, maka para petani yang mengerjakan tanah-tanah yang disebut dalam pasal 1 huruf a, b dan c (bekas swapraja), diberi izin untuk mengerjakan tanah yang bersangkutan untuk paling lama dua tahun, dengan kewajiban membayar sewa kepada Pemerintah sebesar 1/3 (sepertiga) dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Kemudian dikenal dengan tanah garapan yang kemudian apabila penggarap selama ini tetap penguasaan fisik tanah dan digarap selama 20 Tahun atau lebih berturut berhak untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah tersebut (Pasal 24 ayat (2) PP No 24  Tahun 1997), dengan surat pernyataan pemohon dan biasanya didalam surat pernyataan itu  ada klasul hukum: “bahwa apabila kemudian hari ternyata diatas tanah tersebut sudah pernah diterbitkan sertifikat atas tanah baik atas nama diri sendiri maupun atas nama orang lain, maka saya bersedia mencabut dan membatalkan Surat Pernyataan ini” Tetapi apabila yang dimaksudkan adalah pembuktian hak baru, maka harus tunduk dengan prosedur Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pendaftaran untuk pertama kali menurut kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 atau PP No 24 Tahun  1997
            Untuk memberikan kewenangan yang jelas, maka berdasarkan BAGIAN XI UU No 25 Tahun 1956 Ketentuan Lain-lain
Pasal 80 Hal-hal lain yang dalam ketentuan-ketentuan undang-undang ini belum dapat dinyatakan sebagai tugas-tugas termasuk urusan rumah-tangga dan kewajiban Propinsi-propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan atau Kalimantan-Timur, seperti yang mengenai misalnya: 1. urusan agraria, 2. urusan perburuhan, 3. urusan penerangan dan seterusnya. pun pula yang mengenai urusan-urusan tersebut dalam Bagian-bagian II sampai dengan IX, Bab II Undang-undang ini, dan perubahan- perubahan ketentuan-ketentuan dalam Bagian-bagian tersebut tadi, dapat ditambahkan atau diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jadi delegasi legislation pengaturan kepada Peraturan Pemerintah.
Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai kepala keluarga kerajaan.
Pada Bagian II. Tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya
Pasal 85 (1) UU No 25 Tahun 1956 :Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Propinsi yang bersangkutan untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, diserahkan kepada Propinsi dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna kepentingannya, terkecuali tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya, yang dikuasai oleh Kementerian Pertahanan.
            Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 secara tataran undang-undang terhadap status hukum bekas swapraja yang sudah dihapus dan dikuasai oleh negara, maka kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah sesuai amanah Pasal 19, Pasal 26 dan Pasal 52 Undang-undang pokok Agraria;, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang berlaku sejak 23 Maret 1961.
           Pertanyaanaya adalah bagaimana jika status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, jika digunakan landasan hukum agraria (UUPA UU no 5 tahun 1960  status hukum tanah yang dikuasai oleh negara berdasarkan diktum IV adalah berstatus hak pakai kemudian akan dialihkan menjadi hak milik kembali sesuai peraturan perundang-undangan hukum agraria yang berlaku ?
           Berdasarkan Bagian II Pendaftaran Tanah Pasal 19 UUPA menyatakan:
Pasal 19 ayat (1);  Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19 ayat (1): Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 19 ayat (3): Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
Pasal 19 ayat (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
            Pertanyaaannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) UUPA apakah bisa digunakan untuk mendaftarkan  status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
            Berdasarkan hukum administrasi negara secara logika hukum, bahwa pendaftaran tanah berdasarkan prosedur PP Nomor 10 Tahun 1961 mulai berlaku sejak 23 Maret 1961 dan perpanjangan waktu yang kemudian berakhir pada tanggal 24 September  1980 sesuai pasal  1 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dengan kata lain status hukum tanah bekas swapraja terhapus kemudian berubah statusnya sebagai tanah negara.
          Dalam konsideran Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 bagian  menimbang huruf  a. bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah yang ditimbulkan karena berakhirnya jangka waktu hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat pada selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980, sebagaimana pada diktum IV yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, karena tanah bekas swaparaja dikatagorikan sebagai hak-hak tanah barat sebagai produk Pemerintah Kerajaan atau menurut wewenang Agrarische Ambtenaar, maka dipandang perlu untuk digariskan pokok-pokok kebijaksanaan yang mengarah kepada usaha untuk menunjang kegiatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan di bidang ekonomi khususnya.
           Kemudian ditegaskan lagi pada Pasal 1 ayat (1) Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah   dikuasai langsung oleh Negara.
           Namun perlu diperhatikan saat ini PP 10 Tahun 1961 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan dalam konsideran Peraturan Pemerintah pengganti PP No 10 Tahun 1961, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 menyatakan :
“Menimbang:
a.       bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan;
b.      bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan;
c.       bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.
  Berdasarkan  Pasal 64 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan, bahwa: “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah ada masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
            Pasal 64 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1997 menyatakan, bahwa “Hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah ini.
            Pasal 65 PP Nomor 27 Tahun 1997  Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171) dinyatakan tidak berlaku.          
    Pertanyaaannya, apakah PP No 27 Tahun 1997 membuka peluang untuk pendaftaran pertama kembali terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
   Berdasarkan Pasal 1 angka 9 PP No 27 Tahun 1997 menyatakan, bahwa “Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini.  
  Berdasarkan klasul    yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (PP No 27 Tahun 1997), maka  secara hukum administrasi negara tetap membuka peluang terbuka untuk pendaftaran pertama kembali terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara.
   Jika kita baca secara cermat penjelasan umum PP No 27 Tahun 1993 yang menyatakan, bahwa:
1.      “Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dimaksud di atas. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
2.      Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan.
3.      Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar.
4.      Dalam pada itu melalui pewarisan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar selama Pembangunan Jangka Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 juta.
5.      Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, di samping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah keadaan obyektif tanah tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya.
6.      Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.
7.      Sehubungan dengan itu maka dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak peraturan perundang-undangan.
8.      Dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undangundang Pokok Agraria (UUPA), yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
9.      Pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pertama-tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal.
10.  Penyempurnaan yang diadakan meliputi penegasan berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama, antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendiri, asas-asas dan tujuan penyelenggaraannya, yang di samping untuk memberi kepastian hukum sebagaimana disebut di atas juga dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.
11.  Prosedur pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta disederhanakan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan.
12.  Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah tidak benar. Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.
13.  Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik melalui Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan, penyajian dan penyimpanan data, pelaksanaan pengukuran dan pemetaan dapat dipakai di dalam pendaftaran tanah. Untuk mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang harus didaftar penggunaan teknologi modern, seperti Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data perlu dimungkinkan yang pengaturannya diserahkan kepada Menteri.
14.  Di samping pendaftaran tanah secara sistematik pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkat kegiatannya.
15.  Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan karena melalui cara ini akan mempercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar dari pada melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya datang dari Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu yang agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar.
16.  Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidangbidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah ini pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah yang demikian belum dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
17.  Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA.Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini), dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah besertifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat persetujuannya (Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini).
18.  Dengan demikian maka makna dari pernyataan, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguh pun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan atas namanya.
19.  Sengketa-sengketa dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah tetap pertama-tama diusahakan untuk diselesaikan melalui musyawarah antara pihak yang bersangkutan. Baru setelah usaha penyelesaian secara damai tidak membawa hasil, dipersilakan yang bersangkutan menyelesaikannya melalui Pengadilan.
20.  Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini.
21.  Tidak adanya sanksi bagi pihak yang berkepentingan untuk mendaftarkan perbuatan hukum yang telah dilakukan dan dibuktikan dengan akta PPAT, diatasi dengan diadakannya ketentuan, bahwa PPAT dalam waktu tertentu diwajibkan menyampaikan akta tanah yang dibuatnya beserta dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftarannya. Ketentuan ini diperlukan mengingat dalam praktek tidak selalu berkas yang bersangkutan sampai kepada Kantor Pertanahan.
22.  Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah, bahwa Peraturan Pemerintah yang baru mengenai pendaftaran tanah ini disamping tetap melaksanakan pokok-pokok yang digariskan oleh UUPA, memuat penyempurnaan dan penegasan yang diharapkan akan mampu untuk menjadi landasan hukum dan operasional bagi pelaksanaan pendaftaran tanah yang lebih cepat.
   Pertanyaannya adalah bahwa berdasarkan semangat yuridis sosiologis dari penjelasan PP No 27 tahun 1997 tersebut diatas, bagaimana prosedur hukum untuk mengurus terhadap status hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
    Pertanyaan di atas lebih spesifik lagi bagaimana prosedur peralihan hak pakai terhadap tanah negara yang berasal dari hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara ?
    Jawaban atas pertanyaaan ini menjadi penting, karena saat ini penguasaan hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak berada pada ahli waris kerabat  Kesultanan-kesultanan di Kalimantan Barat, khususnya eks ahli waris Kesultanan Pontianak.
     Hak Pakai pada prinsipnya adalah hak atas tanah yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok  Agraria  (“UUPA”). Selain Hak Pakai, ada juga misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha (“HGU”) dan Hak Guna Bangunan (“HGB”).
    Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA, Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Hak Pakai ini timbul berdasarkan keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
    Sementara berdasarkan Pasal 42 UUPA, Hak Pakai hanya bisa diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI), orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
     Subyek yang berhak mendapatkan Hak Pakai ini lalu ditambah lagi berdasarkan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai (“PP No. 40/1996”). Yaitu departemen (saat ini digunakan nomenklatur ‘kementerian’); lembaga departemen non pemerintah, danpemerintah daerah; badan-badan keagamaan dan sosial; serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
     Adapun yang bisa menjadi obyek Hak Pakai berdasarkan Pasal 41 PP No. 40/1996 adalah: Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Milik
1.     Mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Pakai
Ada dua jenis perpanjangan jangka waktu Hak Pakai, yaitu:
a.    Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan: jangka waktunya maksimal adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. (Pasal 45 PP No. 40/1996).
b.    Hak Pakai atas Tanah Milik perorangan: jangka waktunya maksimal adalah 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang (Pasal 49 PP No. 40/1996).
    Walaupun tak dapat diperpanjang, Hak Pakai atas tanah milik perorangan dapat diperbaharui berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Milik atas tanah tersebut. (Pasal 49 ayat (2) PP No. 40/1996).

2.    Bisakah Hak Pakai atas tanah dan bangunan di atasnya diperjualbelikan?
Bisa tidaknya diperjualbelikan sangat tergantung pada status obyek tanah. Untuk Hak Pakai di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan, jual beli Hak Pakai bisa dilakukan sesuai Pasal 54 ayat(1) jo. ayat (3) No. 40/1996. Sedangkan untuk tanah yang statusnya milik perseorangan, jual beli Hak Pakai hanya mungkin dilakukan bila sudah diatur terlebih dulu dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Pakai (lihat Pasal 54 ayat (2) PP No. 40/1996). Jika tidak ada pengaturan tersebut, maka pemegang Hak Pakai tidak bisa menjual Hak Pakainya kepada pihak ketiga.  Jual beli Hak Pakai dilakukan dengan Akta PPAT dan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 54 ayat (4) dan (5) PP No. 40/1996).

3.    Bisakah status Hak Pakai dinaikkan menjadi Hak Milik? Kalau bisa, apa saja persyaratannya? 
Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal (“Kepmen No. 6/1998”), Hak Milik dapat diberikan atas tanah Hak Pakai yang dijadikan rumah tinggal kepunyaan perseorangan WNI yang luasnya 600 m2 atau kurang atas permohonan dari yang bersangkutan (pemegang hak pakai tersebut).
Sesuai Pasal 1 ayat (2) Kepmen No. 6/1998, untuk pemberian Hak Milik tersebut, si penerima hak harus membayar uang pemasukan kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk meningkatkan status Hak Pakai menjadi Hak Milik adalah dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat disertai dengan lampiran sebagai berikut:
a.    sertifikat tanah yang bersangkutan;
b.    bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:
1) fotocopy Izin Mendirikan Bangunan yang mencantumkan bahwa  bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, atau
2)  surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, apabila izin Mendirikan Bangunan tersebut belum dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
c.    fotocopy SPPT PBB yang terakhir (khusus untuk tanah yang luasnya 200 m2 atau lebih);
d.   bukti identitas pemohon;
e.    pernyataan dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon pendaftarannya itu yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang tanah seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5000 (lima ribu) m2.
                  Namun ada aspek hukum lain selain hukum pertanahan yang harus diperhatikan dalam menjawab poin pertanyaan diatas. Yaitu mengenai aspek hukum waris. Ini penting karena berkaitan dengan Hak Pakai yang saat ini dalam penguasaan kementerian dalam negeri dan pemerintah swatantra (Kab/Kota/Provinsi) dengan status tanah negara  diwariskan oleh ahli waris eks kesultanan Pontianak.
              Sesuai Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan “PP 24/1997”), penguasaan fisik selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dapat diajukan permohonan pendaftaran tanahnya.
              Untuk mendapatkan/memperjelas status tanah,  maka dapat diajukan permohonan  pendaftaran tanah pada kantor Pertanahan setempat dengan sistem pendaftaran tanah secara sporadik sesuai dengan Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997
         Jadi, terhadap hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara. Ketika tanah tersebut statusnya adalah warisan, maka pendaftarannya  secara bersama-sama ataupun memberikan kuasa kepada salah satu ahli waris, dapat mengajukan permohonan pendaftaran tanah secara mandiri/sporadik ke Kantor BPN setempat dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Untuk penjelasannya bisa di lihat di Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik, termasuk persyaratan pembuktian mengenai adanya hak tersebut.
        Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat (Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997):
a.       Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagaimana yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh orang yang dapat dipercaya;
b.      Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 PP 24/1997 (60 hari) tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.
             Jika masa pengumuman berjalan mulus, maka Kepala BPN setempat akan mengesahkan berita acara yang memuat data fisik dan data yuridis atas tanah, jika ternyata masih ada kekurangan data fisik ataupun data yuridis, atau masih ada keberatan yang belum terselesaikan, maka pengesahan berita acara dilakukan dengan catatan mengenai apa-apa yang masih kurang. Berita acara menjadi dasar untuk pembukuan hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah ataupun pemberian hak atas tanah (Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PP 24/1997).
              Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa pada tataran dibuat sesuai Prosedur pendaftaran terhadap tanah-tanah bekas hak Barat termasuk didalam hak bekas tanah swapraja di kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, khusus di eks Pemerintahan Kerajaan Pontianak setelah berubah menjadi tanah negara atau dikuasai oleh negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah daerah swatantra maupun yang diserahkan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri dan saat ini menjadi hak pakai oleh negara, maka berdasarkan Bagian II Pendaftaran Pemindahan Hak, Pemberian Hak Baru, Penggadaian Hak, Pemberian Hak Tanggungan Dan Perwarisan
A. Kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan pendaftaran.
Pasal 19 PP No 10 Tahun 1961 Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : penjabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 BAB IV PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI
Pembuktian Hak Baru
Pasal 23  Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Untuk keperluan pendaftaran hak:
a.       hak atas tanah baru dibuktikan dengan :
1.      penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;
2.      asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima. hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
          b. hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;
          c. tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
          d. hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;
          e. pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.
Paragraf 2 Pembuktian Hak Lama
Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997  Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat, berupa:
Huruf c surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

Huruf f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini (maknanya adalah ketika masa berlakunya PP No 10 Tahun 1961) ; atau

Huruf g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau

Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
(1) Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 24 dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.
(2) Hasil penelitian alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri.
Peraturan KBPN No 3 Tahun 1997
Pasal 60 ayat (1)  Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah berupa alat bukti untuk pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pasal 60 ayat (2) Alat bukti tertulis yang digunakan untuk pendaftaran hak-hak lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan lengkap apabila dapat ditunjukkan kepada Panitia Ajudikasi dokumen-dokumen sebagai berikut: antara lain

Huruf c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang ber-sangkutan, atau

Huruf g. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan.

Huruf h akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau

Berdasarkan pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Kepala BPN No 3 tahun 1997
 Untuk tanah-tanah hak-hak lama seperti bekas tanah swapraja, apabila digunakan untuk Pendaftaran untuk Pertama kali (PP No 10 Tahun 1961) –pasal 1 angka 9 yang belum  didaftar berdasarkan PP No 10 Tahun 196, maka prosedurnya adalah :
1.      Tanda bukti hak yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang ber-sangkutan
2.      Jika sudah ada pemindahan hak atas tanah harus dibuat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997.
3.      Akta Pemindahan hak atas tanah harus dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan.
Apabila dilihat dari fakta yuridis, bahwa ternyata tanah bekas swapraja belum pernah terdaftar dan dikonversi berdasarkan PP No 10 Tahun 1961, maka sejak 24 September 1980 telah terhapus menjadi tanah negara, jika sebelumnya sudah ada pemindahan hak harus dibuat sebelum PP No 24 Tahun 1997 dan apabila belum dibukukan pada buku tanah harus dibuat oleh PPAT.
Jadi yang dimaksud pasal 23 dan 24 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah hak-hak lama yang sudah terdaftar pertama kali berdasarkan PP No 10 Tahun 1961, karena yang dimaksudkan Pendaftaran Pertama kali dalam PP Nomor 24 tahun 1997 adalah Pendaftaran untuk Pertama Kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang  BELUM didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini. (Pasal 1 angka 9 PP No 24 Tahun 1997), dan apabila kemudian ada pengembalian batas, maka yang dimaksudkan adakah pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendataranm daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang kemudian, (Pasal 1 angka 12 PP No 24 tahun 1997).

D.Sebuah Pemikiran Staretgis Untuk Memecahkan “Masalah Pertanahan Terhadap Tanah Bekas Swapraja Eks Kesultanan Di Kal-Bar”.
            Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintahan swapraja dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian menjadi daerah yang diperintah langsung oleh negara Republik Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa, misalnya menjadi Karesidenan. Bagaimana dengan Kalimantan Barat yang pernah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
            DIKB dalam Tataran Sejarah Hukum Ketatanegaraan RI, maka demi  kejujuran sejarah dan sikap serta kesadaran sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai berdirinya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat dan patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
            Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam bukunya “The Expansion Of England “History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event”, maknanya ialah “bahwa semua kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis dan terang Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama, tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.
            Berikut ini dipaparkan fakta obyektif terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran ketataranegasran Republik Indonesia, bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan bagaimana kedudukan wilayah Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang seluruh Kalimantan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Berneo Meinseibu Cokan 1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
            Khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan kedaulatan Para Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi Khatulistiwa yang kode areanya 0561 yang makna filosofisnya menurut para Ulama atau para wali Allah “bersihkan dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid”, dan semangat itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja, yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
            Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri berserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat.
            Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah Istimewa Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagai ditulis para sejarahwan, mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut perjanjian Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran Serawak Kucing Malaysyia Timur, tetapi Sultan Hamid II tidak mau, itulah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang tak pernah terungkap dalam tataran sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih Sultan Hamid II di KMB 1949 dan Perancang Lambang Negara RI, 1950.
            Berdasarkan KMB Sultan Hamid II sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda, apakah secara hukum internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta,  Jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis diplomatik” bagaimana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara Yuridis Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB.
            Mengapa, sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1 dan penjalasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Berneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
            Jadi secara Hukum Tata Negara DIKB tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada demo di Kota Pontianak kepada Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil demo itu DIKB menjadi bubar adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis ketatanegaraan, karena dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad pendidikan dan belum memahami mengapa Para Raja atau Sultan di Berneo Barat sepakat mendirikan DIKB yang didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak 1945-1976 dan sebagai Gubernur DIKB jika saat sekarang, karena berbagai kesultanan di Kalimantan Barat masih eksis dan berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat, dan patut disadari Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat ini baru kita merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan,bahwa Daerah Kami bekas Swapraja atau Neo Swapraja sebagai factor histories yang nota bene adalah bekas wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh sejarahwan.
            Alasan yang digunakan para pendemo Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak adalah, karena Sultan Hamid II beristeri Belanda keponakan Wihelmena, dan dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda, pertanyaannya untuk sejarahwan secara hukum tata negara, apakah secara yuridis DIKB yang didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di Kalimantan Barat berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja dan kemudian diakui secara konstitusional pada Pasal 2 huruf b Kontitusi RIS 1949 adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh sejarahwan tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang DIKB.
            Secara obyektif desakan demo kepada Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena perbedaan visi antara kaum muda dimotori kepentingan politis yang tak mengerti pandangan Para Raja atau Sultan saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II terhadap maksud didirikan DIKB, coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh sejarahwan, tulislah sejarah secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika akan mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah fakta sejartah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif.
            Apakah DIKB “pernah bubar” secara Hukum Tata Negara? Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu, maka berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, masing-masing nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun penjabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembubaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949.
            Selanjutnya untuk menampung ini Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950 No B. Z 17/2/47 ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status hukum belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Kontitusi RIS pasal 54.
            Pada Tahun 1950 keluarlah Peraturan Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative.  Dengan demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No 127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4 April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950 dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950 menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur, yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen Koordinator.
            Pertanyaan untuk sejarahwan, apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar dan fakta hal inilah yang dikonstruksi kembali oleh sejarahwan Kal-Bar dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih obyektif dan ilmiah .
            Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 hapus, karena pergantian Undang Undang Dasar/Konstitusi, sedangkan hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUDS 1950, tetapi Residen tinggal di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan, artinya para Pejabat dimasa DIKB berubah statusnya sebagai pegawai atau Pejabat Pemerintah Negara Kesatuan.
            Dengan demikian DIKB yang pernah dirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan dibawah UUDS 1950.
            Pada tahun 1951, keluarlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 yang menyatakan, bahwa yang mencakup segala ketentuan pembagian secara administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Berneo” dan menjadi Daerah Kalimantan Barat dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative, yakni 1 Kabupaten Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten Sintang, 5 Kabupaten Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota Administratif Pontianak.
            Berdasarkan ketentuan di atas, maka Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan “Residen Koordinator” dan hal ini tidak pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB. 
            Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Pada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan pedoman UU No 22 Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
            Pada Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat.
            Kemudian untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953 Pemerintah RI mengeluarkan UU Nomor 27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26 Juni 1959 dan patut diketahui, bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat No 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga Provinsi Otonom.
             Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan UU tersebut yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari 1957, secara Yuridis Formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi, oleh karena sangat tepat apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat tepat pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di Banjarnmasin diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas, Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun 1953 demikian yang dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.
            Mengacu pada paparan sejarah hukum ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, maka secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai dengan berlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950 bahkan sampai dengan  1 Januari 1957, tetapi terhapus, karena pergantian Konstitusi.
            Pertanyaannya bagaimana dengan nasib tanah-tanah eks kesultanan-kesultanan di Kalimantan Barat,  khususnya eks Kesultanan Pontianak. Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah dalam daerah pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai kepala keluarga kerajaan.
            Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi tersebut, pada hakikatnya adalah merupakan tanah milik pribadi seperti tanah-tanah hak milik di daerah lain. Pada waktu Sunan, Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut diwarisi oleh ahli warisnya
            Eks  Kesultanan Pontianak, adalah daerah-daerah bekas swapraja, masing-masing mempunyai wilayah tanah dan hutan, yang merupakan wilayah tanah dan hutan swapraja, dimana semuanya hapus sejak berlakunya Undang-Udang Pokok Agraria.
            Dalam pandangan Pemerintah, ternyata disamping daerah-daerah bekas swapraja tersebut diatas, masih ada daerah-daerah yang merupakan daerah swapraja dengan segala hak dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah swapraja, yaitu; (Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB)       
            Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan dengan berdasarkan kepada Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, yang berbunyi : “A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini (24 September 1960) hapus dan beralih kepada Negara. B.Hal-hal lain yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
            Berdasarkan bagian kedua Diktum IV UUPA, maka tanah-tanah yang dikuasai oleh eks Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimatan Barat, karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/ bekas swapraja, yang dilakukan melalui Panitia Landreform masing-masing Kota di Provinsi Kalimantan Barat.
             Sejak adanya keputusan itu, para ahli waris ke sultanan mengajukan keberatan dan menuntut agar seluruh tanah-tanah itu  dikembalikan kepada eks Kesultanan-Kesultanan di  Kalimatan Barat dengan pertimbangan bahwa, secara Historis Yuridis Konstitusional DIKB tidak pernah dibubarkan, tetapi diambil alih oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat ( Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945),  karena DIKB adalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949), namun tanah-tanah dihapus sebagaimana yang dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA, karena eks Kesultanan –Kesultanan di Kal-Bar bergabung dalam DIKB dan tidak bergabung lagi dengan negara Republik Indonesia (17 Agustus 1945) berdasarkan hasil KMB 27 Desember 1949. Faktas Historis yuridis ini akan menimbulkan “konflik pertanahan yang panjang” di Kalimantan Barat
            Pengertian Swapraja.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa” yang berarti; “sendiri” dan “Praja” yang berarti; “kota-negeri”, Swapraja, berarti daerah yang berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang memiliki Pemerintahan sendiri.
            Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65, bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui.
            Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengatur daerah itu dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang.
            UUPA dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas swapraja, namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus merupakan pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform. Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (sebagaimana juga dengan undang-undang lainnya), tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan swapraja dan bekas swapraja;
             Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda (Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja.
            Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya (dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri (dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.   
            Kerajaan-kerajaan itu disebut Landschap atau Zelfbestuur, sedangkan Rajanya disebut Zelfbestuurder. Lansdchap itu merupakan bagian dari daerah Kerajaan Hindia Belanda, serta semua Zelfbestuurder harus mengakui Raja Belanda sebagai kekuasaan pemerintah tertinggi yang sah.
            Tanah-tanah, termasuk hutan dalam wilayah Swapraja, merupakan tanah-tanah Swapraja, yang kewenangan penguasaan dan pemberian haknya kepada pihak lain, ada pada Pemerintah Swapraja yang bersangkutan. Ada tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata oleh Kepala Swapraja secara pribadi atau dalam kedudukannya sebagai Kepala Keluarga Kerajaan, misalnya adalah; tanah untuk istana, tempat peristirahatan dan keperluan pribadi lainnya. Sisanya adalah tanah-tanah, termasuk hutan yang dikuasai dengan hak yang bersifat Publik oleh pemerintah swapraja. Tanah-tanah inilah yang oleh pemerintah swapraja diberikan kepada pihak lain dengan hak-hak yang dikenal di swapraja yang bersangkutan.
             Pada tanggal 24 September 1961, berdasarkan Keputusan Menteri Agraria, dimulailah penguasaan tanah-tanah yang dikuasai dengan melebihi batas luas maksimum oleh negara. Pelaksanaannya dilakukan dengan berangsur-angsur, setelah ditetapkan bagian atau bagian-bagian mana yang tetap menjadi tanah hak pemilik dan mana yang akan dikuasai oleh Pemerintah.
            Jadi berdasarkan bagian kedua pada diktum IV Huruf A UUPA, bahwa hak-hak dari swapraja dan bekas swapraja sejak berlakunya UUPA dihapus dan beralih kepada negara dan pengaturan lebih lanjut hak hak dari swapraja dan bekas swapraja diatur dengan peraturan pemerintah.
Subyek hukum yang dapat memiliki tanah bekas swapraja atau tanah Pemerintah Kerajaan menurut UUPA (pasal 21 ayat (2) adalah badan hukum yang diatur oleh PP No 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah meliputi:
a) Badan hukum sosial,
b) Badan hukum keagamaan,
c) Koperasi pertanian, dan
d) Bank pemerintah.
Bagaimana dengan Kesultanan apakah termasuk subyek hukum ?  Kesultanan adalah dianggap oleh negara bukan subyek hukum atau subyek hak atas tanah hak milik menurut UUPA. Lebih lanjut, aturan pelaksanaan Diktum IV UUPA antara lain adalah:
Terdapat dua ketentuan penting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian ganti rugi ditetapkan 19 September 1961 (Pejabat Presiden RI –J.Leimena), dalam konsideran menimbang:bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform perlu diadakan peraturan tentang pembagian tanah serta soal-soal yang bersangkutan dengan itu.dan Memperhatikan: hasil-hasil kesimpulan Seminar Landreform di Pusat dan di Daerah-daerah.yaitu:
1.      Tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/ bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara (Pasal 1 huruf c).
2.      Berdasarkan Pasal 4. ayat 1:
Tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A Undang-undang Pokok Agraria beralih kepada Negara, diberi peruntukan, sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 4 ayat 2. Tanah untuk kepentingan Pemerintah, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, ditetapkan menurut keperluannya oleh Menteri Agraria.
Pasal 4 ayat 3. Tanah yang diperuntukkan bagi mereka yang langsung dirugikan, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, letak dan luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka tanah swapraja/ bekas swapraja dibagi dengan konsep Land Reform kepada para penggarap salah satunya diatur  PEMBERIAN HAK MILIK DAN SYARAT-SYARATNYA Pasal 14 ayat 1 PP No 224 Tahun 1961. Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik secara definitip menurut ketentuan prioritet tersebut pada Pasal 8 ayat 1, maka para petani yang mengerjakan tanah-tanah yang disebut dalam pasal 1 huruf a, b dan c (bekas swapraja), diberi izin untuk mengerjakan tanah yang bersangkutan untuk paling lama dua tahun, dengan kewajiban membayar sewa kepada Pemerintah sebesar 1/3 (sepertiga) dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Kemudian dikenal dengan tanah garapan yang kemudian apabila penggarap selama ini tetap penguasaan fisik tanah dan digarap selama 20 Tahun atau lebih berturut berhak untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah tersebut (Pasal 24 ayat (2) PP No 24  Tahun 1997), dengan surat pernyataan pemohon dan biasanya didalam surat pernyataan itu  ada klasul hukum: “bahwa apabila kemudian hari ternyata diatas tanah tersebut sudah pernah diterbitkan sertifiikat atas tanah baik atas nama diri sendiri mau[un atas nama orang lain, maka saya bersedia mencabut dan membatalkan Surat Pernyataan ini” Tetapi apabila yang dimaksudkan adalah pembuktian hak baru, maka harus tunduk dengan prosedur Pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan ketentuan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pendaftaran untuk pertama kali menurut kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 atau PP No 24 Tahun  1997.
Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada para petani yang membutuhkan itu, tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian ini merupakan perwujudan dari pada azas yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional kita, yang mengakui adanya hak milik perorangan atas tanah.
Peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 mencantumkan ketentuan-ketentuan mengenai ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA.
Pada pasal 7 UUPA menyatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
           Pasal 17 UUPA menyatakan: “
Pasal 17
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pemberian ganti kerugian kepada para bekas pemilik tanah yang diambil oleh Pemerintah, baik karena melebihi luas maksimum ataupun karena absentee, merupakan ciri pokok landreform Indonesia, demikian dikatakan oleh Prof. Boedi Harsono.
Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan Pasal 1 ketentuan ini diambil oleh Pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau di pergunakan oleh Pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian, yang besarnya ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Jadi redistribusi tanah yang menjadi objek Landreform adalah, pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah, karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja/bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah tersebut.      
Pasal 18 UUPA Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Pada sisi lain, pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 telah dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh ketentuan itu sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, terhadap tanah swapraja dan bekas swapraja yang beralih kepada negara, diberi peruntukan; sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian untuk kepentingan mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini.
Lebih lanjut ditentukan, bahwa; tanah yang diperuntukan bagi mereka yang langsung dirugikan, letak dan luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. 
Patut perlu diketahui, bahwa penguasaan tanah bekas swapraja berubah status hukumnya menjadi tanah negara sebenarnya sudah dilakukan secara sistimatis oleh negara RI 17 Agustus, yaitu sejak tahun 1953, dan faktanya tanah-tanah bekas swapraja sebagai hak-hak atas lama itu, kenyataanya oleh para ahli waris tidak pernah didaftarkan untuk pertama kali atau tidak pernah dikonversi setelah terbitnya PP Nomor 10 Tahun 1961.
Jadi sejak kapan berkembang Istilah dan pengertian tanah negara ? secara historis yuridis pertama kali diatur dalam PP Nomor  8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara, Pasal 1 huruf a. tanah negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. 
Menurut Pasal 2, Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah Negara ada dalam penguasaan Menteri Dalam Negeri.
Menurut Pasal 3, ayat  (1)  Di dalam hal penguasaan tersebut dalam Pasal 2 ada pada Menteri Dalam Negeri, maka ia berhak:
a.       menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4;
b.      mengawasi agar supaya tanah Negara tersebut dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut ketentuan tersebut dalam Pasal 8.
Menurut Pasal 3 ayat (2)  Di dalam hal penguasaan atas tanah Negara pada waktu mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada sesuatu Kementrian, Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8.
Menurut Pasal 4,  Penguasaan sebagai dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 sub a diserahkan kepada:
1.      sesuatu Kementrian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementrian atau Jawatan itu,
2.      sesuatu Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.
Dengan latar belakang seperti itu, serta dengan mengacu kepada pendapat Prof. Boedi Harsono, SH, mengenai syarat suatu daerah untuk dapat disebut sebagai daerah swparaja/bekas swapraja, juga Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 dan kemudian membandingkannya dengan pelaksanaan re-distribusi terhadap tanah-tanah itu, adalah wajar bila terjadi penolakan keras oleh pihak eks. Kesultanan- kesultanan di Indonesia atas tindakan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia terhadap tanah milik ahli waris Kesultanan.            
Jadi pelaksanaan ketentuan Diktum ke IV huruf A UUPA dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, mengenai tanah-tanah swapraja/bekas swapraja di wilayah Eks Kesultanan-kesultanan Di Kalimantan Barat, khususnya terhadap tanah-tanah eks Kesultanan Pontianak, telah menimbulkan “konflik pertanahan” yang berkepanjangan, kerena tidak adanya kejelasan mengenai status tanah tersebut, apalagi keberadaan tanah diluar kota Pontianak, seperti wilayah hukum daerah otonom Kabupaten Kubu Raya.
Hingga saat ini belum juga bisa diambil suatu kesimpulan yang tegas, apakah DIKB bubar  atau dibubarin  atau diambil alih oleh NKRI (Negara 17 Agustus 1945) Secara historis, politis maupun yuridis, Kesultanan Pontianak, sebagai bagian yang bergabung dalam DKIB dan sebagai daerah Swapraja atau bekas Swapraja sebenarnya tidak pernah dikuasai oleh Hindia Belanda, karena sepanjang sejarah berdirinya kekuasaan Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan Barat, khususnya Kesultan Pontianak merupakan suatu daerah yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya, karena tidak pernah disentuh oleh kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Mengingat konflik pertanahan ini telah berlangsung sangat lama, dan hingga kini tidak juga tercapai kesepakatan mengenai status tanah tersebut, maka perlu dibentuk suatu Team Peneliti Penyelesaian Kasus Tanah Eks Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan Barat, khususnya eks Kesultanan Pontianak. Team peneliti tersebut hendaknya, terdiri dari unsur-unsur Akademisi (Perguruan Tinggi) yang paham hukum agaria, Pemerintah Kota Pontianak dan Pemerintah Kab dimana tanah kesultanan Pontianak berada/Pusat, serta lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau Yayasan–yayasan dan avokad/pengacara/ dan notaris yang peduli dengan tanah-tanah bekas swapraja sehingga hasilnya akan benar-benar objektif dan adil.
Adalah tidak mungkin untuk mengembalikan tanah-tanah eks Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan Barat, mengingat keadaan dan kondisi tanah itu yang saat ini telah dihuni dan dimiliki oleh demikian banyak pihak yang notabene juga kesulitan untuk mengurus hak milik atas tanah tersebut, karena riwayat tanah adalah tanah bekas swapraja dan milik ahli waris Kesultanan Pontianak, oleh karena itu untuk kepastian hukum dan perlindungan hukum semua pihak secara adil, perlu ada tindakan hukum oleh BPN untuk melaksanakan tertib hukum pertanahan dan tertib administrasi pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adalah tidak adil “negara mengambil alih tanpa ganti rugi dan kepastian hukum atas tanah tersebut”.  Apabila telah didapat ketegasan mengenai status tanah itu oleh Team Peneliti,maka  terhadap pihak eks Kesultanan-Kesultanan di Kalimanatan Barat, khususnya eks ahli waris Kesultanan Pontianak, harus diberikan kompensasi sebagai ganti rugi yang telah dialaminya. Atau apabila kesimpulan Team Peneliti berbeda dengan kesimpulan ini, maka setidak-tidaknya, pihak eks Kesultanan-Kesultanan di Kalimantan-Barat, khususnya eks kesultanan Pontianak  tetap harus mendapatkan apa yang menjadi haknya, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961.
Disamping itu sampai dengan adanya ketegasan mengenai status tanah tersebut, sebaiknya tidak dilakukan tindakan apapun juga terhadap tanah itu, khususnya yang bersifat pemindah-tanganan ,kepemilikan ataupun pendaftarannya.
Penyelesaian yang diusulkan ini dilakukan semata-mata untuk mencari kebenaran dan memberikan rasa keadilan terhadap semua pihak, disamping itu juga agar ada predikat  Kalimantan Barat  “dirampok oleh NKRI”, dan tidak terciderai dengan “konflik pertanahan” yang tak kunjung berakhir antara Pemerintah dengan rakyatnya. Dengan adanya kejelasan mengenai status tanah-tanah itu, akan meningkatkan pula minat investor untuk melakukan investasi di Kalimantan Barat yang selama ini mungkin terhambat karena hal tersebut. Inilah salah satu sebab banyaknya terbit sertifikat “ganda” atau sertifikat tanah produk BPN melayang-melayang mencari tanah dan bermasalah ketika pengembalian batas atau rekonstruksi balik batas tanah setelah terjadi peralihan hak.
Hasil pemetaan Yayasan Sultan Hamid II saat ini bermunculan surat-surat dengan kop Pemerintahan Kerajaan Pontianak, karena Arsip Pemerintah Belanda setelah seratus tahun membuka dokumen-dokumen lama untuk bisa diakses oleh publik, oleh karena sebelum masalah ini menjadi “bumerang” bagi para pihak dan Pemerintah Daerah/Kab serta BPN di Kalimantan Barat, perlu diadakan Simposium atau Seminar Nasional/Daerah atau Team Riset yang komprehensif untuk mencari penyelesaian masalah pertanahan di daerah Kalimantan Barat.


                                                                                                  





»»  Baca Selengkapnya...