Kamis, 26 Desember 2013

MEMAHAMI KONSEP KOORDINASI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH

MEMAHAMI KONSEP KOORDINASI DALAM 
PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh Turiman Fachturahman Nur

           Salah satu hal penting dalam kegiatan pemerintahan daerah adalah masalah koordinasi pemerintahap dan hal yang berpengaruh terhadap terlaksananya koordinasi adalah  kesiapan sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah dalam pelaksanaan wewenang dari Daerah merupakan suatu tuntutan profesionalitas aparatur pemerintah yang berarti memiliki kemampuan pelaksanaan tugas, adanya komitmen terhadap kualitas kerja, dedikasi terhadap kepentingan masyarakat sebagai pihak yang dilayani oleh pemerintah daerah.
           Pernyataan di atas selaras dengan pandangan Dr. M. Irfan Islamy bahwa  : Kalau kepentingan publik adalah sentral, maka menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak, yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi dirinya. ( Dr. M. Irfan Islamy, 2000 : 12 ).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka menjadi sangat mendesak perlunya profesionalitas aparatur pemerintah daerah di samping kesiapan aspek lainnya dalam melaksanakan kewenangan pemerintah daerah, sehingga menarik untuk dikaji apakah dari aspek sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah telah siap melaksanakan paradigma baru penerapan otonomi daerah tersebut. Atau apa kriteria profesionalitas aparatur pemerintah daerah yang sangat didambakan semua orang, agar penyelenggaraan wewenang pemerintah daerah di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat memuaskan sesuai dengan pesan agenda reformasi.
           Untuk fokusnya tulisan ini membatasi pada aspek perubahan mendasar “sikap” dan “karakter” Aparatur Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Paradigma Baru Otonomi Daerah, sebagai salah satu cerminan kriteria profesionalisme dalam pelaksanaan wewenang pemerintah daerah, mengingat profesionalisme merupakan perwujudan sikap atau karakter seseorang.  Hal ini merujuk pernyataan David H. Maister : “Real professionalism is about attitudes, and perhaps even about character” ( Maister, David H., Internet, 1997 : 3 ).
            Pembahasan tentang aparatur pemerintah tidak terlepas dari bahasan peranan birokrasi pemerintah. Dapat dikatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah apa dan bagaimana peranan birokrasi pemerintah.
Hakekat terdalam dari esensi pengertian birokrasi menurut teori Max Weber dalam karyanya “The theory of Economic and Social Organization”  pada dasarnya adalah sebagai sebuah organisasi yang disusun atas dasar rasionalitas, bermakna pengorganisasian yang tertib, teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang berdasarkan tata kerja atau prosedur kerja yang jelas.
            Dengan demikian makna birokrasi pada sektor pemerintahan mencakup bidang tugas yang sangat luas, kompleks dan melibatkan bentuk organisasi yang berskala besar dengan jumlah personil yang banyak untuk melaksanakan penyelenggaraan negara, pemerintahan, termasuk pelayananan umum dan pembangunan.   
Dengan lebih tegas lagi, bahwa peran birokrasi pemerintah dipandang sebagai yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan suatu negara, maupun untuk memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
            Pada kenyataan dalam praktek sering terdapat pandangan bahwa birokrasi pemerintah atau setiap berhubungan dengan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan suatu pelayanan menunjukkan gejala yang mengecewakan, berbelit-belit, lama, mahal dan tidak memuaskan termasuk kurangnya koordinasi. Mengapa terjadi demikian salah satu kelemahan adalah masalah koordinasi. Penyakit yang masih belum berkurang pada jajaran birokrasi yakni  jika terjadi “ego sektoral”
           Untuk memahami konsep koordinasi, berikut ini dipaparkan pengertin koordinasi Koordinasi. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksanaannya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (lendership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.  
Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda, agar kegiatan daripada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal, agar memperoleh hasil secara keseluruhan. Koordinasi terhadap sejumlah bagian-bagian yang besar pada setiap usaha yang luas daripada organisasi demikian pentingnya sehingga beberapa kalangan menempatkannya di dalam pusat analisis.
Koordinasi yang efektif adalah suatu keharusan untuk mencapai administrasi / manajemen yang baik dan merupakan tanggungjawab yang langsung dari pimpinan. Koordinasi dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan satu sama lain oleh karena itu satu sama lain saling mempengaruhi. Kepemimpinan yang efektif akan menjamin koordinasi yang baik sebab pemimpin berperan sebagai koordinator.
Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).
Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
          Pertanyaan yang diajukan apa yang menjadi Masalah – Masalah Dalam Koordinasi ? Jawaban atas pertanyaan ini dijawab dengan pernyataan, bahwa peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu:
1.      Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu;
2.      Perbedaan dalam orientasi waktu;
3.      Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi;
4.      Perbedaan dalam formalitas struktur.
Perbedaan di atas memberikan pemahaman tentang Tipe – Tipe Koordinasi, yakni: Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: pertama, Koordinasi vertikal adalah  kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatauan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.  Kedua Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
          Berdasarka   kedua tipe koordinasi di atas, maka dapat ditelusuri Sifat – Sifat Koordinasi , yakni: Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu: (1) Koordinasi adalah dinamis bukan statis; (2) Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator  (manajer) dalam rangka mencapai sasaran; (3) Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.
          Pertanyaan yang diajukan jika demikian apa Syarat – Syarat Koordinasi, menurut Hasibuan (2007:88) terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: (1) Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per-bagian bidang pekerjaan, bukan orang per-orang; (2) Rivalry, dalam perusahan-perusahan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai tujuan; (3) Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; (4) Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
           Dengan demikian sebuah konsep koordinasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Menurut Handayaningrat (1985:89-90) koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. (2) Adanya proses (continues process). (3) Pengaturan secara teratur usaha kelompok. (4) Konsep kesatuan tindakan. (5) Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama.
          Pertanyaan bagaimana realitasnya apakah koordinasi sudah terlaksana atau hal apa yang berpengaruh terhadap pelaksanaan koordinasi ? Secara realitas dapat diamati, bahwa aparat birokrasi pemerintah sering juga  dianggap belum mampu menyesuaikan diri dengan modernisasi, perilakunya tidak inovatif dan sering pula melakukan korup. Kondisi ini semakin diperparah adanya kecenderungan dari birokrasi pemerintah yang menerapkan pola otokratik dan otoriter.
            Patut disadari, bahwa merubah pandangan ini tidaklah mudah, perlu adanya pembuktian pelaksanaan peran birokrasi pemerintah yang berpihak pada masyarakat yang dilayani dengan dilandasi semangat pembaharuan yang mendasar sebagai identitas baru birokrasi pemerintah.
            Pada era saat ini penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan paradigma baru otonomi daerah merupakan salah satu bagian pesan reformasi terhadap aktualisasi peran pemerintah daerah dalam penerapan fungsinya untuk memberikan pelayanan atas kepentingan masyarakat ( public interest ) dan menyelesaikan masalah – masalah dalam masyarakat ( public affairs ). Dua hal tersebut selaras dengan locus Administrasi Negara yang dikemukakan oleh Nicholas Hendry dalam bukunya “Public Administration and Public Affairs” sebagaimana dinyatakan oleh Dr.M. Irfan Islamy : ……. Focus administrasi negara adalah teori organisasi  ( organization theory ) dan ilmu management ( management science ) dan locusnya adalah kepentingan publik ( public interest ) dan masalah – masalah publik         ( public affairs ) ( 2000 : 8 ).
Pada satu sisi  kita ketahui bersama, bahwa kegiatan pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan publik dan masalah – masalah publik, kegiatan birokrasi pemerintah ( daerah ) juga melaksanakan kegiatan  lainnya  berupa kegiatan yang dapat mendatangkan hasil (funding outcomes), sehingga dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan kegiatan pelayanan publik. Misalnya melaksakan kegiatan pembangunan infra struktur dasar seperti jalan/jembatan/rumah sakit/gedung sekolah/kegiatan pelayananan bantuan penanggulangan korban bencana serta pelayanan umum lainnya untuk memenuhi kepentingan/masalah publik. Di sisi yang lain, bahwa pihak melaksanakan kegiatan membangun obyek wisata/mendirikan suatu BUMD dan lain sebagainya untuk mendapatkan hasil sebagai sumber pendapatan daerah untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pelaksanaan wewenang dan kewajiban pemerintah daerah.
Dengan demikian pada tataran praktis  dapat dibedakan, kegiatan pelayanan publik oleh pemerintah  (daerah ) guna memberikan pelayanan pemenuhan kepentingan publik maupun masalah-masalah publik, tidak dimaksudkan untuk meningkatan pendapatan daerah. Sekalipun dimungkinkan terjadinya peningkatan sumber pendapatan daerah yang signifikan dengan kegiatan pelayanan publik tersebut. Saat ini ada kecenderungan di samping itu melakukan kegiatan sebagai usaha pemerintah ( daerah ) guna meningkatkan pendapatan daerah dengan mulai mencari alternatif perluasan sumber – sumber pendapatan dan pembiayaan pembangunan daerah, baik yang berasal dari potensi daerah, pasar modal di tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah daerah membiayai pelaksanaan kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipaparkan, bahwa ada perubahan sikap yang harus ditunjukkan oleh aparatur pemerintah daerah  dalam praktek sebagai penyelenggara pemerintahan, penyelenggara pelayanan umum dan pembangunan yaitu perubahan atau pembaharuan sikap dan karakter aparatur pemerintah yang berorientasi pada fungsi fundamental pemerintah dan sesuai dengan paradigma baru Administrasi Negara.
             Hal ini selaras dengan paradigma baru Administrasi Negara yaitu memandang Birokrasi Pemerintah tidak lagi hanya semata-mata melaksanakan Pelayanan Publik yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa publik ( kepentingan publik ) serta memecahkan masalah – masalah publik, tetapi sekaligus sebagai pendorong dan fasilitator tumbuhnya partisipasi masyarakat.
             Artinya secara realistik, bahwa fenomena ini merupakan konsekuensi logis ketidak mampuan birokrasi pemerintah ( di negara manapun ) untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan serta memecahkan masalah – masalah masyarakatnya tanpa keikutsertaan masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini diperlukan pembaharuan pendekatan manajemen pemerintahan dalam mempraktekkan peran birokrasi pemerintah. Pandangan  David Osborne dan Ted Gaebler tokoh Reinventing Government yang dikutip dari “Etika Birokrasi”  ( Drs. Gering Supriyadi, MM, 1998 : 32 ) menyatakan, penyempurnaan dan pembaharuan manajemen pemerintahan dilakukan dengan penerapan beberapa prinsip sebagai berikut  :
1.      Catalytic Government :
Steering Rather Than Rowing (Mengemudi lebih baik dari pada Mendayung). Karena itu lepaskan pekerjaan pelaksanaan yang sekiranya dapat dikerjakan masyarakat, Pemerintah cukup melakukan pengaturan dan pengendalian.
2.      Community-Owned Government :
Empowring Rather Than Serving ( berikan wewenang kepada masyarakat ketimbang pemerintah yang melayani ). Apabila masyarakat  sudah mengatur sendiri, biarkan dan tingkatkan kemampuan untuk mengatur sendiri ( mem berdayakan masyarakat ) ketimbang tugas pelayanan seluruhnya dibebankan kepada Pemerintah.
3.      Competitive Government :
Injecting Competition into Service Delivery ( Lembaga – Lembaga  Pemerintah bersainglah dalam memberikan pelayanan). Antar Instansi Pemerintah hendaknya berlomba-lomba melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dengan tanpamelupakan koordinasi antara mereka.
4.      Mission-Driven Government :
Transforming Rule – Driven Organizations       ( Organisasi yang melaksana- kan aturan, perlu diubah menjadi organisasi yang mempunyai Missi ). Karenanya buatlah organisasi yang mempunyai orientasi missi dan tinggalkan organisasi pelaksana yang orientasinya menjalankan tugas saja sesuai dengan aturan yang ada.
5.      Results Oriented Government :
Funding Outcomes, Not Inputs ( Biaya/Dana yang menghasilkan sesuatu, jangan sebaliknya – bukan sesuatu yang menghasilkan biaya /dana ).
6.      Customer-Driven Government :
Meeting the needs of the customer, not the bureaucracy ( Perhatikan kebutuhan pelanggan/masyarakat dan bukan kebutuhan Birokrasi ). Mengutamakan kepentingan masyarakat.
7.      Enterprising Government : Earning Rather than Spending ( mendapatkan biaya dan bukan memboroskan biaya) Karenanya mengutamakan mendapatkan uang ketimbang membelanjakannya.
8.      Antisipatory Government :
Prevention Rather Than Cure ( Mencegah lebih baik daripada mengobati ). Mengutamakan perencanaan dan peramalan supaya mengurangi resiko kegagalan dalam pelaksanaannya.
9.      Decentralized Government :
From Hierarchy to Participation and Teamwork  ( Jauhkan hierarkhi dan kembangkan partisipasi serta kerja Tim ). Hilangkan hambatan yang timbul pada hierarkhi melalui partisipasi dan Tim Kerja.
10.  Market Oriented Government :
Leveraging change through the market ( Perubahan sesuaikan dengan keadaan pasar). Lakukan perubahan sesuai yang dikehendaki pasar.

Penerapan sepuluh prinsip dalam pembaharuan manajemen pemerintahan harus tercermin dalam sikap aparatur pemerintah daerah di dalam pelaksanaan wewenang daerah. Perubahan ini membutuhkan waktu panjang, di samping perlu adanya Tiga Faktor penting yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya pembaharuan tersebut, yaitu : Adanya Pemerintah yang Stabil / Sah – Demokrasi yang mantap dan Komitmen semua pihak mulai dari Pelaku Birokrasi – Pelaku Penyelenggara Negara sampai pada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan pembaharuan tersebut.
            Dengan penerapan pembaharuan itu yang disesuaikan dengan kondisi internal pemerintah dan masyarakat di suatu daerah, diharapkan dapat mewujudkan Clean Government dan Good Governance yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan partisipasi  masyarakat.
                  Siapa yang melakukan koordinasi Pemerintahan di daerah pada tataran Provinsi bukankah tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan itu menjadi Tugas Gubernur berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan Pasal 37 ayat (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Ayat (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Kemudian Pasal 38 ayat (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;  c koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. Ayat (3) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.  Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud Pasal 38 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 adalah PP No 19 Tahun 2010, sebagaimana dinyatakan konsideran Menimbang PP No 19 Tahun 2004 : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.



KEPUSTAKAAN

Anonim. 1980. Fungsi Koordinasi dan Integrasi dalam Administrasi Negara, paper dalam seminar Efisiensi Administrasi Manajemen. Jakarta.
______. 2004. Undang- undang Otonomi Derah  Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Berikut Penjelasannya. Bandung: Penerbit Fermana.
______. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 2006. PPRI Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Bandung: Fokusmedia.
Arikunto, Suharsmi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rhineka Cipta.
Care Internasional Indonesia. 2004. Pedoman Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa. Samarinda: Care Internasional Indonesia.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Malayu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Institute For Research and Empowerment. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Musanef. 2004. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.
Nawawi, H. Hadari. 2005.Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang:        IKIP Semarang Press.
Siagian, P. Sondang. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Simanjuntak, Hasurungan. 2000. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Efektivitas dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Subagyo, Joko. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukasmanto, dkk. 2004. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Usman, Husaini dan Setiady Akbar, Purnomo. 2006. Metoodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Widjaja, HAW. 1996. Otonomi Desa. Jakarta: Rajawali Pers

Sumber Internet :
adimdamp.blogspot.com/2012/01/pengertian-koordinasi. html
http://vivitardyansah.blogspot.com/2011/01/pengertian-koordinasi.html
sobatbaru.blogspot.com/2010/12/pengertian-kepala-desa. html
Gering Supriyadi, Drs. MM., Etika Birokrasi, LAN – RI, 1998
Irfan Islamy, M. Dr., Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2000
Krishna D. Darumurti & Umbu Rauta, Otonomi Daerah – Perkembangan, Pemikiran dan Pelaksanaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
Maister, David H., True Professionalism : The Courage to Care About Your People, Your Clients and Your Career,  Internet  – 1997 
M. Ryaas Rasyid, Reformasi Politik & Ekonomi, Widyapraja no. 30, Jakarta, 1998
Riggs, Fred, W, Administrasi Pembangunan, Sistem Administrasi dan Birokrasi, Jakarta, Rajawali, 1989
Soedjadi, F.X., Analisis Manajemen Modern, Jakarta, Gunung Agung, 1997
Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi, Konsep, Dimensi dan Strategi, Jakarta, Bumi Aksara, 1996
Susanto, H.M. Dr., Pengembangan SDM Pemerintahan Daerah, LAN RI, Jakarta, 2000
Thoha, Miftah, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi, Bogor, Pusdiklat Depdikbud, 1995














»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 24 Desember 2013

MEMAHAMI TEORI HUKUM DAN PILIHAN ANALISISNYA

MEMAHAMI TEORI HUKUM DAN PILIHAN ANALISISNYA 
Oleh: Turiman Fachturahman Nur 

1. Tiga Pilihan Analisis Terhadap Hukum Ketika mahasiswa fakultas huum memasuki ranah keilmuan hukum dan melibatkan diri di dalamnya sangatlah berbeda dengan memasuki alam maya melalui internet. Hukum penuh dengan keteraturan, sementara penolakan terhadap keteraturan ini sangat jarang dikumandangkan. Hal tersebut menuntut kita untuk bisa merubah dunia yang penuh keteraturan itu. Satjipto Rahardjo mengatakan, "mengajarkan keteraturan, menemukan ketidakteraturan (teaching order finding disorder)". 
Berdasarkan pada pandangan tersebut, dalam bagian ini, pada bagian ini penulis mengajak mahasiswa yang tertarik dengan ilmu hukum untuk memasuki dunia hukum secara teratur. Pada bagian selanjutnya akan dikemukakan dunia hukum yang penuh dengan ketidakteraturan. Inilah yang dijadikan langkah awal untuk memasuki dunia hukum. Apabila mahasiswa mau melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, pilihan tersebut akan membawa saudara kepada metode yang bersifat idealis.
Metode ini akan berusaha untuk menguji validitas hukum yang mau mewujudkan nilai-nilai tertentu. Di sisi lain, apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, perhatian saudara akan terfokus pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom, yaitu yang bisa kita bicarakan sebagai subjek tersendiri. Hal ini akan membawa saudara kepada metode normatif, sesuai dengan cara pembahasannya yang bersifat analitis. Sedangkan apabila saudara mau memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, metode yang digunakan bersifat sosiologis . 
Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman hukum dari kedua pendekatan yang pertama. Pendekatan terakhir ini mengaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkrit dalam masyarakat. Oleh karena itu, metoda itu memusatkan perhatiannya kepada pengamatan mengenai efektivitas hukum. Ketiga metode tersebut mendapatkan ruang gerak yang cukup kritis dalam pengkajian hukum dewasa ini. Sebagai langkah awal, maka saudara diajak untuk mengenal ketiga metode tersebut
 1.2 Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Kajian ini memandang dunia hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law in books. Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya. Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan dan salah satunya adalah undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian terhadap penelitian hukum normatif ini pada dasarnya adalah mengkaji hukum dalam kepustakaan, misalnya penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Kajian normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan regulasi dalam bidang-bidang tersebut. 
Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan suatu tatanan baru sehingga harus diformulasikan kedalam rumusan pasal-pasal dalam berbagai regulasi. Hal inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik dan legalistik, sehingga pendekatan sangat doktriner atau mengacu pada dogma hukum. Metode analitis dogmatis ini pada hakikatnya hanya merupakan konsekuensi dari fenomena the statutoriness of law saja. Metode tersebut muncul karena kebutuhan dari kehadiran hukum perundang-undangan yang semakin mendesak, guna mengisi kekosongan dalam dunia perdagangan dalam era revolusi industri. Metode ini sering disebut sebagai metode yuridis-dogmatis, yaitu metode yang cenderung mempertahankan peraturan hukum yang berlaku dan mempelajarinya secara rasional. Artinya teks pasal-pasal dibaca atau dianalisis dengan dogma hukum yang telah menjadi kesepakatan para pakar ilmu hukum. Metode ini digunakan oleh para peneliti hukum pada masa berlakunya anggapan, bahwa 'ilmu untuk ilmu' dan seni untuk seni, sehingga pada saat itu peneliti hukum berpandangan bahwa 'hukum untuk hukum dan bukan hukum untuk masyarakat. Metode ini tidak mengaitkan peranan hukum bagi masyarakat. Metode ini begitu kental dirasakan dalam ajaran Hans Kelsen, yang dikenal dengan `Ajaran Hukum Murni', maksudnya hukum dibersihkan dari pengaruh hukum alam & pengaruh ilmu lain yang bersifat empiris . Peneliti yang menggunakan metode ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan objek kajiannya. Baginya hukum yang berlaku sudah sangat melekat dengan dirinya dan tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi hukum yang berlaku tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo , metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini. 1 Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan. 2. Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device). 3. Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif. 4. Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif. Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal. berikut, yaitu adanya Inventarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum. Dogmatika hukum atau ajaran hukum (rechtsleer, rechtdogmatiek), sering pula disebut sebagai ilmu hukum (rechtwetenschap),dalam arti sempit, memiliki tujuan untuk memaparkan, mensistematisasikan dan menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku (vigerende positiefrecht). Dalam dogmatika hukum, orang tidak hanya mengatakan bagaimana hukum harus diinterpretasikan tetapi juga bagaimana hukum seharusnya diinterprestasikan. Hal tersebut merupakan inti dogmatika hukum. Tampak bahwa unsur subjektivitas dari ilmuwan hukum pada pemaparan dan sistematisasi hukum begitu kentara. Subjektivitas yang dimaksud adalah masuknya praanggapan yang dimiliki oleh penafsir ketika membaca teks hukum. Dogmatika hukum muncul dengan adanya kegiatan meneliti, mempelajari dan mengelompokan hukum positif, sejak runtuhnya imperium Roma. Pada waktu itu, keberadaan ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat universal atau internasional, kehilangan statusnya. Di Eropa, kegiatan ini disebut sebagai dogmatika hukum (rechtdogmatiek). Kiprah dogmatika hukum terbatas hanya pada suatu sistem hukum nasional, yang berlaku di suatu wilayah negara nasional tertentu. Pada dasarnya, pengembangan dogmatika hukum ini berintikan kegiatan mengkompilasikan dan menginterpretasi aturan-aturan hukum positif, serta mensistematisasikan keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Produk interpretasi tersebut kemudian disusun menjadi suatu tatanan hukum nasional yang relatif koheren. Dengan demikian, melalui sistematisasi dogmatika hukum, ilmuwan hukum mengarahkan penyelesaian masalah-masalah hukum, daya jangkaunya serta aturan-aturan hukum yang ada. Dalam dogmatika hukum, hermeneutika hukum menjadi proses penting dalam menafsirkan sebuah teks. Proses ini dimulai dari' merumuskan fakta-fakta hukum. Berdasarkan eksplorasi teoritis tertentu (praanggapan), kita dapat menafsirkan aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh penguasa. Hasil dari spiral hermeneutika itu adalah keputusan tertentu yang berpengaruh bagi praktek-praktek hukum. Yang menjadi objek utama dari dogmatika hukum adalah hukum positif. Di sini, seorang dogmatis hukum akan sering menempatkan dirinya, seolah-olah ia tengah melakukan kegiatan pembentukan hukum atau penemuan hukum. D.H.M Meuwissen Brugink (1979), mengatakan, bahwa dogmatika hukum adalah kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasikan hukum yang berlaku atau hukum positif. Sementara itu, M. Van Hoecke (1982) mengatakan bahwa dogmatika hukum adalah, sebagai cabang ilmu hukum (dalam arti luas), yang memaparkan dan mensistematisasikan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, pada suatu waktu tertentu, dari sudut pandang normatif. Menurut Anom Surya Putra, yang menjadi objek pembahasan dari dogmatika hukum ialah logika hukum, semiotika dan etos trasformasi dengan tujuan menyelesaikan sengketa, kasus dan peristiwa hukum . Menurut pandangan tradisional, ilmu hukum dogmatik (dalam arti sempit) sama dengan teori hukum (dalam artian luas). Ilmu ini adalah ilmu hukum yang optima formal (dalam bentuknya yang optimal), yang dapat juga dinamakan sebagai dogmatika hukum (rechdogmatik, jurisprudenz). Istilah ini cukup menggambarkan suatu kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkrit. Sifat dogmatiknya terletak pada kecenderungan orang untuk membatasi diri hanya pada suatu sistem hukum yang spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu dan menutup diri dari keadaan atau sistem hukum yang lain. Berdasarkan pendekatan dogmatika hukum tersebut, timbul satu pertanyaan, bagaimanakah halnya jika pendekatan yang digunakan berbeda?. Pertanyaan itu muncul karena pendekatan dogmatika hukum banyak tergantung dari bagaimana cara orang memandang sifat khas dari hukum positif itu (jadi objeknya). Jika orang lebih menonjolkan sifatnya yang normatif, orang akan memandang ilmu hukum dogmatik sebagai ilmu hukum yang normatif. Selain itu, ilmu hukum dogmatik juga mempunyai pengaruh untuk menormakan apa yang hendak ditafsirkannya. Jadi, ilmu hukum dogmatik memiliki dimensi politis-praktis. Ilmu hukum dogmatik memiliki suatu karakter tersendiri. Ia adalah sebuah ilmu Sui Generis yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentukan ilmu lain manapun. Ilmu hukum dogmatis memiliki berbagai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Memiliki sifat empiris-analitis. Ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan stuktur) dari hukum yang berlaku. Terkait padanya ia dapat menggunakan metoda empiris. Yang pasti, ia tidak memberikan penjelasan (erkelern). 2. Mensistematisasikan gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu. 3. Menginterpretasikan hukum yang berlaku. 4. Menilai hukum yang berlaku tersebut. Antara dogmatika hukum dengan teori hukum mempunyai hubungan satu sama lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Gijssels & Hoecke. Dogmatika hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari sudut pandang teknis, sedangkan teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum tersebut. Dogmatika hukum berbicara tentanghukum, sementara teori hukum berbicara tentang cara. Dengan cara tersebut, ilmuwan hukum berbicara hukum. Dogmatika hukum, lewat teknik-teknik interpretasi tertentu, menerapkan teks undang-undang, yang pada pandangannya, pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkrit. Oleh karena itu, teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, melalui sifat memaksa secara logis dari penalaran interpretasi dan sejenisnya. Ilmu Hukum Dogmatik, menurut D.H.M. Meuwissen, adalah ilmu hukum yang optima formal (dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat kita namakan dengan dogmatika hukum (rechdogmatik; jurisprudence). Dengan istilah ini, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkrit. Seorang dogmatikus, hanya membatasi pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum yang lain. Selain itu, seorang dogmatikus hukum memandang sifat yang khas dari hukum positif. Orang akan cenderung untuk memandang ilmu hukum ini sebagai ilmu normatif. Ilmu hukum dogmatik mempunyai ciri sebagai berikut. 1) Empiris-analitis Ini berarti bahwa ilmu hukum dogmatik memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi dan struktur hukum yang berlaku. Ia tidak menjelaskan, meskipun ia memikirkan berbagai pengertian dalam hukum, 2) Mensistematisasi Dalam hal ini gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu, tidaklah perse (demi dirinya), mengandung arti bahwa suatu sistem hukum yang logis konsisten telah dirancang. 3) Menginterpretasi dari hukum yang berlaku, bukan deskripsi (pemaparan). Ilmu hukum ini menilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Apa yang dikemukkan oleh dogmatika hukum berkaitan eras dengan penerapan praktis dari hukum. Oleh karena itu, rangkaian dalam dogmatika hukum adalah hukum harus dipaparkan, dianalisis, disistematisasi dan diinterpretasikan. Dogmatika hukum, dapat kita katakan sebagai ilmu keahlian hukum atau seni hukum. Tentang dogmatika hukum kita dapat gambarkan sebagai berikut DOGMATIKA HUKUM Objek Hukum positif Tujuan Teoritikal, terutama praktikal Perspektif Internal Teori kebenaran Pragmatic Proposisi Informatif, normatif, evaluatif. 1.2 Kajian Filosofis (Metode Transendental) Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal, yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah 'hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan sisi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah mahluk tatanan. Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (Mengenai pengertian dari filsafat hukum ini akan dibahas pada bab mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini. 1. Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum dengan orang. 2. Aksiologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan kebenaran. 3. Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegitimasi hukum. 4. Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan. 5. Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum. 6. Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuan ilmu hukum. 7. Logika hukum, yang merefleksikan aturan berpikir dalam hukum. Filsafat hukum dapat digambarkan sebagai berikut. FILSAFAT HUKUM Objek Batas-batas dan kaidah hukum Tujuan Teoritikal Pespektif Internal Teori kebenaran Pragmatic Proposisi Informatif, normatif, evaluatif. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hukum adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti (defenisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia mencoba untuk berefleksi tentang segala hal yang ada, tentang hal ada dalam keumumannya. Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal, mengapa semuanya itu?, apakah sebagaimana adanya dan tidak lain? Jadi, pada intinya, Filsafat merupakan refteksi (pemantulan kembali) dari suatu kegiatan berpikir dan memiliki sifat nasional. Hal ini, berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada tesis-tesis dan pemahamannya dan terbuka bagi kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Filsafat berada dalam dimensi komunikasi intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan diskusi (disk ursio terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya. Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum. Ini berarti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karena itu, filsafat hukum, mengandaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika. Pembahasan filsafat hukum mencakup dua hal, yakni apa landasan dari kekuatan mengikat dari hukum itu? dan berdasarkan apa kita menilai keadilan (richtigheid; rechtsvaardigheid) dalam hukum. Beberapa Aliran dalam kajian ini, adalah sebagai berikut. 1. Hukum Kodrat  Merupakan aliran terpenting dalam filsafat hukum sejak permulaan. Pada zaman Yunani, hukum kodrat ini diterangkan oleh Aristoteles. Pada dasarnya, secara alamiah seharusnya berlaku hukum, terlepas dari fakta apakah manusia telah menetapkannya atau belum. Oleh para penganut Stoa Romawi, hukum kodrat ini ditempatkan dalam suatu perspektif rasionalistik.  Bapak hukum kodrat klasik adalah Thomas Aquino (1225-1274). Untuk memaparkan pandangannya, kita harus menunjuk pada beberapa penggolongan yang dibuatnya, yaitu Lex Aeterena, merupakan hukum abadi yang menguasai seluruh dunia yang bersumber dari rasio Tuhan. Ini menjadi dasar bagi semua hukum yang ada. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.  Hanya sebagian kecil saja yang dapat disampaikan kepada manusia. Lex Diving adalah bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap atas dasar wahyu yang diterimanya. Lex Naturali, adalah hukum alam, merupakan perwujudan lex aeterena pada rasio manusia.  Atas dasar inilah, manusia dapat melakukan suatu penilaian, dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Bagian dari hukum kodrat ini adalah ius naturale atau ius naturae, yakni bagian-bagian yang berkaitan dengan pengaturan hubungan-hubungan lahiriah antara manusia dengan penguasaan atas barang-barang berwujud dan urusan¬urusan. Lex positives, merupakan hukum positif yang dibuat oleh Tuhan, yang terdapat pada kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.  Hukum ini merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, atas dasar persyaratan khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Mengenai konsepsinya, Thomas Aquino membagi asas-asas hukum kodrat ini menjadi dua bagian: (1) Principia Prima, adalah asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan bersifat mutlak, dalam arti tidak dapat diasingkan darinya. Oleh karena sifatnya yang demikian mutlak (Ketentuan Tuhan), principia prima ini tidak dapat berubah di tempat manapun dan dalam keadaan apapun. (2) Principia Secundaria, merupakan asas yang diturunkan dari principia prima, tidak berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Ini merupakan penafsiran manusia terhadap principia prima. 2. Idealisms Menurut Imanuel Kant (1724-1804), gejala-gejala etika dan hukum harus dipahami dari sudut yang sama. Untuk itu, Kant mencari aturan-aturan atau asas-asas a-priori, yakni yang tidak bertumpu pada pengalaman, yang dapat menjadi suatu pedoman yang mengikat bagi perilaku kita. Oleh karena itu, Kant mengkonstalasikan apa yang dinamakan faktum der Vernuft, artinya mengalami dalam diri kita sendiri gejala wajib (pflicht) yang dust sollst (harus ada). 3. Marxisme Menurut Marx, dialektika tidakberlangsungdalam alam pikiran (yang dalam kenyatan dibuat menjadi dapat dimengerti), akan tetapi berlangsung dalam kenyataan itu sendiri. Pada analisis Marx tentang kenyataan menunjukkan bahwa karya manusia memainkan peranan penting yang sentral. Karya manusia berada dalam suatu hubungan praktikal terhadap alam, yang dialamnya alam diubah bentuknya dan dibuat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Jadi, dalam pemikiran Marx, produksi dan pemenuhan kebutuhan merupakan kategori-kategori sentral. Pada diri Marx tidak terdapat pemikiran hukum dan negara sebagai bentuk perwujudan dari kebebasan, akan tetapi terdapat pemikiran bahwa hukum adalah sebagai alat penindas warga negara. 4. Reins Rechtslehre Hukum dalam pandangan Hans Kelsen, telah. direduksi pada sifatnya yang normatif. Dari perspektif ini, hukum harus dipandang sebagai suatu kaidah yang tersusun secara Hierakhikal, yang berlandaskan pada suatu grundnorm. Ini harus dipandang sebagai suatu sudut pandang Hipotetikal. Jika kita hendak memaparkan (mengerti, memahami) hukum menurut Hans Kelsen, kita harus memandangnya sebagai suatu Stufenbau. Berdasarkan uraian mengenai teori hukum, ilmu hukum dan filsafat hukum di atas, dapatlah ditarik suatu hubungan logis, yaitu filsafat hukum berfungsi sebagai meta disiplin terhadap teori hukum dan juga terhadap ilmu hukum. Filsafat hukum dapat memberikan penjelasan dan landasan filosofis bagi keberadaan teori hukum dan ilmu hukum. Filsafat hukum menjadi rujukan dari ajaran nilai (ontologi hukum, aksiologi hukum, ideologi hukum, dan teleologi hukum) dan ajaran ilmu (ajaran ilmu pengetahuan dan ajaran ilmu sesungguhnya). Teori hukum dapat merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dari hukum kepada filsafat hukum, untuk memperoleh pengolahan filosofis. Teori hukum dapat berfungsi sebagai meta teori terhadap ilmu hukum, yakni mengembangkan dan mengolah sarana teoritikal, yang diperlukan bagi pengembangan ilmu hukum. Ilmu hukum menyediakan bahan-bahan empiris untuk diolah lebih jauh oleh teori hukum dan filsafat hukum, Tiga disiplin tersebut dapat menjadi alat pelaksana bagi pengembangan hukum, seperti penemuan hukum, bantuan hukum dan penegakan hukum. Pengembangan hukum praktikal dapat menyediakan bahan-bahan hukum empiris untuk diolah dalam pengembangan hukum yang teoritis. Hubungan dogmatika hukum dengan teori hukum adalah dogmatika hukum mempelajari aturan-aturan hukum dari sudut pandang teknis (walaupun tidak a-Normatif). Teori hukum merupakan refteksi terhadap hal teknis tersebut. Dogmatika hukum dalam hal ini berbicara tentang hukum, sedangkan teori hukum berbicara tentang cara ilmuwan hukum dalam memandang hukum. Dengan asumsi ini, dogmatika hukum mencoba melewati teknik-teknik interpretasi tertentu dalam menerapkan teks undang-undang, sedangkan teori hukum memberikan cara-cara penafsirannya. Hubungan filsafat hukum dan teori hukum dapat dirumuskan demikian ini. Teori hukum mewujudkan sebuah meta teori berkenaan dengan dogmatika hukum. Filsafat hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta disiplin berkenan dengan teori hukum. Disisi lain, filsafat hukum adalah ajaran nilai, sedangkan teori dan dogmatika hukum adalah ajaran ilmu. Melihat dari hubungan di atas, yang menjadi objek ilmu hukum adalah tata hukum yang berlaku, yakni hukum yang sah dan yang ada. Jadi, ilmu hukum bukan terutama menelaah atau memaparkan hukum yang benar dan yang seharusnya ada, kehidupan di bawah hukum dan fakta hukum, melainkan produknya terbuka untuk kritik yang dapat mendorong usaha perbaikan. Objek yang ditelaah oleh ilmu hukum adalah teks otoritatif yang bermuatan aturan-aturan hukum, yang terdiri dari produk-produk perundang-undangan (UU dalam artian luas), putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum dalam bentuk doktrin. 2.Kajian Empiris Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan sosial, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan karena metode atau kajian hukum secara normatif, tidak lagi mendapat tempat. Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20 ini bersamaan lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798¬-1857) diberi nama Sosiologi. Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan sosial dan kemajuan sosial. Kajian terhadap hukum melalui pendekatan sosiologis dan perkembangannya ini, akan penulis bahas dalam bab selanjutnya. Ketiga pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum) untuk memahami apakah hukum itu?. Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun masih memiliki karakteristik yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika menerima jabatan guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, memberikan suatu pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai berikut: Pertama, beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum. Kedua, Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma, termasuk di dalamnya adalah sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah ilmu tentang kenyataan hukum, termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat, Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum. Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas, hukum dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep'. Soetandyo Wigjosoebroto , mengatakan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebuat dengan hukum itu. Menurut pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam: Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai institusi sosial yang rill dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru. Soetandyo menjelaskan bahwa konsep pertama merupakan konsep yang penuh dengan moral filosofis, yang melahirkan cabang kajian hukum yang amat moralistic. Konsep kedua, merupakan konsep yang positivistik, bukan hanya yang dijelaskan Austin, melainkan juga yang pragmatis-realis, Neo-Kantian maupun Kelsenian, yang melahirkan kajian ilmu hukum positif. Konsep yang terakhir adalah konsep sosiologis atau konsep antropologis, yang kemudian melahirkan kajian-kajian sosiologi hukum, antropologi hukum, hukum & masyarakat. Lebih lanjut Soetandyo menjelaskan konsep-konsep tersebut melalui bagan di bawah ini. Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian, dan Metode Penelitian Konsep Hukum Tipe Hukum Metode Penelitian Peneliti Orientasi Hukum adalah asas- asas kebenaran dan keadilan yang sifat- nya kodrati berlaku universal. Filsafat Hukum Logika Deduksi, berpangkal dad premis Normatif yang diyakini bersifat self-evident Pemikir Filsafat Hukum adalah norma-norma positif Ajaran Hukum murni, yang Doktri nal, bersaranakan Para yuris con Positivisme dalam sistem pe- mengkaji law as logika deduksi tinental rundang-undangan it is wfiten in the untuk mem hukum nasional. books. bangun sistem hukum positif. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh American Sociological Doktrinal dan Non Doktrinal American Lawyers Behavioral, Sosio-Psi hakim In concret jurisprudence yang bersaranakan logis dan tersistematisa- mengkaji law as Logika Induksi sikan sebagai Judge it is deciden by untuk mengkaji made, judges through judicial processes. Court behavior. (Kuantitatif). Hukum adalah pola- pola perilaku sosial Sosiologi Hukum, law as it is human Sosial dengan pendekatan Sosiologi antro- Simbolik-In teraksional. yang terlembagakan, eksis, sebagai variabel empiris. action. lnteraksional atau mikro, dengan analitis yang kualitatif. pologi, peng kajian hu maniora. 3.Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum Abad ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut, telah menimbulkan semangat serta sikap kritis terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi". Kita mengetahui bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu baru telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman tradisional. Pengaruh-pengaruh dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo", telah memberikan pengaruh terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideologic kepada lingkungan sosial yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum. pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada hukum dengan masyarakat. Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya Sosiologi Hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi13 . Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum. Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis-positivitis sejak abad ke-19 perlahan-lahan ditentang oleh munculnya pemikiran yang menempatkan studi hukum yang tidak lagi berpusat pada perundang-undangan, melainkan dalam konteks yang luas kajiannya, yaitu masyakat. Pada abad ke-19 ilmu hukum analitik¬positivistis" memiliki dua corak. Pertama, corak .ini sangat sempit dan ada hubungannya dengan positivisme hukum Eropa, menyamakan hukum dengan segala peraturan dan asas-asas yang dipakai oleh pengadilan-pengadilan dalam setiap. Putusannya. Dari ilmu hukum seperti inilah, muncullah pendekatan yang baru dalam hukum, yaitu pendekatan sosiologi hukum, atau meminjam istilah Donal Black", adalah mempelajari perilaku dan stuktur sosial. Sosiologi hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batas-batas yang belum jelas, -ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa itu sosiologi hukum. Apa. yang menyebabkan ilmu baru ini terhambat perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam mempertahankan hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi dua kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti yang telah dijelaskan oleh David N. Schiff, yang mengutip dari Aubert. "...Apabila seorang ahli hukum atau seorang sarjana hukum berbicara tentang hak dan harapan, ia berbicara tentang tujuan tujuan normatif. Akan tetapi, bila seorang ahli sosiologi berbicara tentang hak dan kewajiban, ia berbicara atau bertujuan untuk mengungkapkan, menguraikan dan menjelaskan...” Dua cara pandang terhadap hukum tersebut di atas, telah membawa kita kepada gerbang yang sangat lebar, yaitu hukum tidak hanya dapat dipandang hanya dari satu sisi belaka (Normatif) tetapi hukum juga bisa dipandang secara sosiologis. Alvin S. Johnson, mengungkapkan "Sangat sulit untuk dipahami bahwa sosiologi dan hukum dapat dipersatukan karena para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah Quid Juris, sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan Quid Facti, dalam arti mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan". Pandangan Aubert di satu sisi dan pandangan Johnson di sisi lain, sama-sama menyebabkan kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli filsafat hukum. Para ahli ini menanyakan, apakah sosiologi hukum tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai norma, sebagai suatu asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian? Para ahli sosiologi dan ahli hukum kemudian mengusulkan untuk menghindarkan pertikaian-pertikaian antara sosiologi dan hukum. Caranya adalah memberikan batasan-batasan yang jelas kepada ruang lingkup dan metodologinya. Telah ditegaskan bahwa pandangan para ahli hukum normatif dan pandangan yang tuntas dari para ahli sosiologi, memberikan ruang lingkup yang amat berbeda dari kenyataan sosial dan hukum. Hal inilah yang menyebabkan para ahli di kedua bidang tersebut tidak mungkin saling bertemu. Jika para ahli sosiologi dan ahli hukum masing-masing saling mengabaikan agar dapat mencapai tujuan sebenarnya dari masing-masing studi, mereka terpaksa mengambil kesimpulan bahwa baik sosiologi maupun hukum, adalah ilmu yang tidak mungkin dan tidak ada gunanya. Untuk menghilangkan segala kendala, mau tak mau sosiologi hukum" terpaksa disingkirkan. Di Indonesia, perselisihan yang kurang sehat antara para ahli Sosiologi di satu sisi dan ahli hukum di sisi lain, telah membawa -konsekuensi hilangnya kemampuan untuk melihat dan keinginan untuk membaca (memberi makna) realitas hukum. Diakui bahwa Sosiologi tidak berada di atas segala-galanya, karena apa yang telah. dilakukan oleh para ahli sosiologi untuk memahami hukum secara realistik, tidaklah dapat menutupi kegagalan mereka untuk dapat menjelaskan ciri khas hukum. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri pula bahwa realitas hukum terletak dalam realitas sosial. Pandangan-pandangan yang menggelisahkan itu tidak menghalangi perkembangan sosiologi hukum untuk dapat diterapkan dalam pendekatan terhadap hukum. Kita dapat melihat dari laporan Schyut, yang menunjukkan bahwa di Skandinavia telah muncul sosiologi hukum modern pertama. Sosiologi hukum yang muncul di Skandinaviaberbarengan dengan perubahan yang menuju pemerintahan sosialis. Dalam bidang ekonomi, di Skandinavia dikeluarkan peraturan perundang-undangan untuk mempercepat perubahan dan munculnya negara kesejahteraan. Kebijaksanaan tersebut berbenturan dengan cara berpikir tradisional, yang berorientasi liberal. Para pengusaha ingin mempertahankan hak milik privat atas alat-alat produksi. Benturan terjadi juga pada ideologi sosialis dan liberal yang sangat mendorong penelitian.- penelitian sosiologi hukum untuk dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah bagan berikut ini. 
 4. Pemikiran Hukum secara Sosiologis Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat semenjak Perang Dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal di bawah ini. 1. Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini semakin luas- Hal itu disebabkan karena pihak- pihak yang memerlukan pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua lapisan masyarakat (misalnya dengan badan-badan bantuan hukum). 2. Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang atau hanya merupakan suatu bidang studi yang mempelajari tentang undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian, penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih remit. Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan terciptanya beberapa hak tertentu daribeberapa kelompok, khususnya dalam masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan. Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran di antara para ahli hukum (kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan tingkatan) terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum tradisional. Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui pemben¬tukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan keter¬tiban serta peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri Hal tersebut terjadi juga di Indonesia. Di Indonesia diberlakukan suatu kajian sosiologis terhadap hukum karena Indonesia akan mengalami kesulitan untuk dapat memberikan penjelasan hukum yang memuaskan terhadap kemelut yang tengah terjadi di negeri ini. Dengan hanya mengandalkan teori positivistic, hukum akan menganalisis keadaan serta proses-proses yang normal saja, seperti yang diantisipasi oleh hukum positif. Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangannya. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan sosial, dipanggil untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hukum Ilmu-ilmu sosial yang mulai ditengok dalam kerangka ajaran sociological jurisprudence, mulai banyak pula dimanfaatkan untuk memungkinkan usaha memperbaharui dan memutakhirkan norma-norma hukum. Kajian-kajian sociology of law dengan metode sosialnya yang Nomologic-induksif, kini dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang masalah-masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional hukum. Satjipto Rahardjo , menambahkan bahwa pemahaman hukum secara legalistik positivistis dan berbasis peraturan (rule bound), tidak mampu untuk menangkap kebenaran karena memang tidak mampu melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistic-positivistic, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah diprediksi menjadi suatu yang sederhana, linear, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesional. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum yang demikian masih dominan (yang termasuk kategori legalismenya Schyut). Legalisms melihat dunia hukum dari teleskop undang-undang belaka, untuk menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai suatu yang rasional logis, penuh dengan kerapihan dan keteraturan rasional. Baik dari pandangan Soetandyo maupun Satjipto, pemikiran hukum dalam tulisan ini mengantarkan kepada pemikiran yang lebih luas daripada yang lajim dilakukan di kalangan para yuris atau sarjana hukum yang positivistis. Dari kedua pendapat pakar Sosiologi hukum tersebut di atas, hukum, dalam tulisan ini, hendaknya diantarkan kepada konteks. Maksudnya, menempatkan hukum dalam konteks sosial yang lebih besar. Dengan kata lain, hukum itu tidak dipahami sebagai suatu institusi yang esoterik dan otonom, melainkan sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, dengan tegas, hukum dalam wilayah seperti ini dapat dikatakan sebagai law as a great anthropological document. Artinya, untuk mengubah ke arah itu sebaliknya merubah pemahaman mengenai hukum dari hanya sebagai instrumen profesi semata menjadi suatu dokumen antropologis. Tentunya, semangat dari Satjipto dan Soetandyo, tersebut di atas senantiasa searching for (the social) meaning of law, untuk mendapatkan jalan yang lebih lapang. Dan sosiologi (hukum) dalam hal ini, membantu melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran hukum yang absolut, dengan membawa hukum ke alam kenyataan sehari-hari. Ia memandang sosiologi hukum merupakan salah satu pintu masuk ke dalam apa yang disebut the scintific study of law. Dalam kajian non-doktrinal, hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofi-moral, sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be dan tidak pula secara positivistis, sebagai norma ius constitutum atau law as what it is in the books, melainkan secara empiris, yang teramati di dalam pengalaman. Dengan kata lain, hukum tidak lagi dimaknakan sebagai suatu norma-norma yang eksis dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Penelitian non-doktrinal melihat dari segi subtansinya. Hukum dilihat sebagai kekuatan sosial yang empiris wujudnya namun terlihat secara sah. Ketiga analisis merupakan pilihan yang ada dalam teori hukum saat ini dan terserah mahasiswa mau memilih analisis salah satunya atau berupaya mengkombinasikan ketiga analisis tersebut. Bahan Pembanding: Berikut ini penulis ambilkan beberapa bahan kuliah berbagai perguruan tinggi ketika membahas teori hukum diberbagai website. 
TEORI HUKUM DAN PENGERTIAN Ini merupakan kumpulan handout tentang kenapa teori hukum itu ada dan apa sebenarnya teori hukum. Bahan ini didapat dari pertemuan awal dengan Prof. Dr. Hata, SH., MH. Presentasi Power Pointnnya dapat diunggah dalam B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum ( Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000,h.122). 1. JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan “(HR Otje Salman et.al.”Teori Hukum”, 2002,h.60). 2. Hans Kelsen (Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, h.8-9) : 1. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity. 2. Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law ought to be. 3. The Law is a normative not a natural science. 4. Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms. 5. A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing content in a specific way. 6. a. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to actual law. 7. b. Tujuan teori hukum, ilmu apapun, adalah untuk mengurangi kekacauan dan keragaman untuk persatuan. 8. c. Teori hukum adalah ilmu, bukan kemauan. Ini adalah pengetahuan tentang apa hukum itu, bukan dari apa yang hukum seharusnya. 9. d. Hukum adalah normatif bukan ilmu alam. 10. e. Teori hukum sebagai teori norma tidak peduli dengan efektivitas norma-norma hukum. 11. f. Sebuah teori hukum adalah formal, suatu teori cara pemesanan, konten berubah dengan cara tertentu. 12. g. Hubungan teori hukum untuk sistem tertentu dari hukum positif adalah bahwa mungkin untuk hukum yang sebenarnya. 4. Perkembangn ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada abad keduapuluh mendorong Kelsen untuk mengangkat ilmu hukum untuk bisa maju sederajat dengan kemajuan sains waktu itu. 5. J H von Kirchman : ilmu hukum berdiri di atas fondasi yang subyektif karena itu sebagai sains ia menjadi sangat goyah. Hanya dengan vonis tiga kata saja dari pembuat undang-undang, maka seluruh perpustakaan menjadi bubar. 6. Kelsen ingin membuktikan bahwa ilmu hukum itu tidak subyektif melainkan obyektif, sama dengan sains yang lain. Ia harus membangun teori yang mengatasi subyektivitas pembuat undang-undang. A theory of law is formal. Tidak boleh mengandung muatan nilai, kepentingan dan lain-lain. 7. Schuyt, dengan merujuk pada Holmes dan Cordozo menyarankan agar ilmu hukum melepaskan diri dari cara menganalisa persoalan berdasar metode hukum yang sempit dan selalu mencari pertolongan kepada lmu-ilmu lain. 8. Kemajuan ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk memanfaatkan kemajuan tsb. 9. Hunt (The Sociological movement in law) : The twentieth century has produced a movement towards the sociologically oriented study of law. The study of law can no longer be regarded as the exclusive preserve of legal professionals, whether practitioners or academics. There has emerged a sociological movement in law which has had as its common and explicit goal the assault on legal exclusivism. 10. Nonet & Selznick : Hukum (di Amerika) gagal menyelesaikan persoalan hukum karena hanya melihat ke dalam dan tidak keluar. Disarankan untuk melakukan sintesis antara jurisprudence dan social sciences. 11. Satjipto Rahardjo : Studi sosiologis terhadap hukum yang menumbangkan analytical positivism hanya merupakan simbul atau dorongan untuk melakukan “studi saja terhadap hukum secara lebih benar … di belakang studi sosiologis masih berderet yang lain seperti antropologi, sosiologi dan ekonomi….”. Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang. Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif. Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual. Pada Abad Pertengahan Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus. Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional. Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal. Teori-Teori Pada Abad XIX dan SelanjutnyaPositivisme dan Utilitarianisme Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut : 1. Hukum adalah perintah. 2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. 3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. 4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. 5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini. Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources). John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara. Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu. John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia. Teori Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut : 1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity) 2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada 3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam 4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum 5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik 6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu TENTANG TEORI, KONSEP DAN PARADIGMA DALAM KAJIAN TENTANG MANUSIA, MASYARAKAT DAN HUKUMNYA oleh: Soetandyo Wignjosoebroto Sesungguhnyalah tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut hukum itu. Maka pula, apabila diketahui bahwa apa yang disebut konsep itu sesungguhnya merupakan penentu suatu bangunan teori – seperti yang dikatakan dalam kepustakaan berbahasa Inggris bahwa ‘concepts is the building blocks of theories’, haruslah disimpulkan di sini bahwa “tiadanya kesamaan konsep akan berkonsekuansi pada akan tiadanya satu teori semata tentang apa yang disebut hukum itu”. Hukum yang dikonsepkan sebagai ‘aturanaturan undang-undang’ tentulah akan diteorikan lain dari hukum yang dikonsepkan sebagai seluruh hasil proses yudisial yang berujung pada putusan hakim’, dan akan lain pula apabila hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya yang tertampak sebagai ‘keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya’. Tentang apa yang dimaksud dengan ‘konsep’ dan ‘teori’ yang lazim dirujuk dalam berbagai wacana akademik pada umumnya. Karena perbincangan tentang ‘teori’ ini tak hanya akan menyangkut ihwal strukturnya saja, akan tetapi juga ihwal perkembangannya — yang tak selamanya lancar-lanacar saja melainkan acap benar banyak mengalami berbagai gejolak dan konflik pemikiran – maka persoalan ‘paradigma’sudah selayaknya kalau juga dipaparkan dan dijelaskan di bab pertama ini. Relevansi perbincangan tentang ‘konsep, teori dan paradigma’ dengan permasalahan dalam kajian hukum akan dibicarakan di bab-bab berikutnya. Tentang Konsep Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut ‘konsep’ itu tak lain daripada ‘kata’. Di sebut dalam batasan tertentu yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa yang disebut ‘terma’ dalam logika dan apa yang disebut ‘istilah’ dalam setiap perbincangan keilmuan. Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan per definisi bahwa ‘konsep’ itu ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan bermsyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam numenon, ialah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi.[1] Kucing sebagai hewan berkaki empat sebagaimana yang kita lihat sehari-hari disekitar rumah kita dengan segala ulah lakunya, misalnya, adalah objek amatan mata kita. Sebagai objek, kucing berada di alam fenomenon yang sekaligus juga indrawi. Tetapi kata’kucing’ (dalam bahasa Indonesia) atau yang boleh juga diganti dengan kata ‘cat’ (dalam bahasa Inggris) adalah suatu simbol representatif yang berada di alam nomenon yang sekaligus juga imajinatif. Sebagai simbol representatif yang berada di alam nomenon, dan yang sekaligus juga imajinatif itu, kata atau terma ‘kucing’ ini akan bersifat abstrak dan umum, yang akan tergambar secara berlain-lainan dalam imajinasi para pewacana, dan akan “terlukis” berbeda-beda di alam imajinasi dari orang ke orang. Konsep dalam alam imajinasi yang abstrak ini sebenarnya masih berjenjang-jenjang, terkategorikan ke dalam kelas-kelas, dari yang relatif lebih kongkrit sampaipun ke yang lebih – atau bahkan bisa yang jauh lebih – abstrak dan bermakna lebih umum atau luas. ‘Kucing’, misalnya, adalah konsep yang abstrak, tetapi ‘binatang’ adalah konsep yang lebih abstrak dan ‘makhluk’ adalah konsep yang jauh lebih abstrak lagi. Makin abstrak, akan makin luas cakupan representasinya. Kata ‘binatang’ sebagai konsep jelas tidak akan mencakup apa yang kita kenali lewat amatan sebagai ‘kucing’ saja, akan tetapi juga mencakupi hewanhewan lain seperti harimau, anjing, kambing, ayam, buaya, ikan dan lain-lain ad infinitum. Lebih abstrak daripada konsep ‘binatang’, tentu saja konsep ‘makhluk hidup’, dan masih lebih abstrak lagi adalah konsep ‘semua makhluk’. Sementara itu, di tingkat abstraksi manapun, sesuatu konsep bisa direduksi kembali agar lebih kongkrit dengan menambahkan kata sifat atau kata keterangan lain yang berefek mengkhususkan. Kembali pada kata ‘kucing’ sebagai contoh, ‘kucing hitam’, misalnya adalah terma atau konsep yang lebih kongkrit daripada ‘kucing’ begitu saja. ‘Kucing hitam yang kakinya pincang dan yang kemarin saya beri makan’ tak pelak lagi adalah terma yang jauh lebih kongkrit lagi. Dalam kajian zoologi, segala macam hewan tersebut di muka, yang dicakup dalam konsep animal kingdom, bisa saja direduksi secara konseptual ke dalam dua divisi animalea yang bercakupan lebih sempit dan saling membedakan, misalnya ke dalam ‘hewan yang menyusui (mamalia) dan ‘bertelur’; yang menyusui masih akan bisa dikongkritkan lagi secara konseptual ke dalam ‘yang pemakan daging (karnivora)’ dan ‘yang pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora)’, dan seterusnya. Begitulah kita dapati dalam perbincangan keilmuan, kali ini mengambil zoologi sebagai contoh, adanya berbagai konsep – animalea, mamalia, herbivora – yang berbeda-beda tingkat abstraksinya, yang dengan demikian juga luas-sempit atau umum-khusus taraf cakupannya. Dalam ilmu pengetahuan sosial, objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun harus dibataskan secara definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan dengan taraf abstraksinya akan pula mesti diperhatikan. Hanya saja, cukup berbeda dari kajian-kajian ilmu hayat dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan yang lebih kasat mata, kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial akan lebih banyak berkenaan dengan objek-objek yang tak secara langsung berkategori kasat mata. Kelas sosial (yang atas, yang tengah atau yang bawah, misalnya adalah konsep yang tak bisa dibataskan berdasarkan kerja “sekali amatan yang direk”, melainkan mesti dikerjakan dengan memperhatikan tengara-tengaranya (the signs) yang manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu dapat didatakan; misalnya tingkat pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya, tingkat kekayaannya, dan apapun lainnya lagi. Berbeda dengan ilmu hayat atau ilmu alam kodrat lainnya, yang seabstrak apapun simbolsimbol yang dipakai sebagai konsep, selalu saja konsep-konsep itu gampang menunjukkan objek-objek rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian halnya dengan kajian ilmiah yang berobjek manusia berikut masyarakatnya. Akan diketahui nanti bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau masyarakatnya ini – baik yang dikenali sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun yang dikenali sebagai ilmu hukum – konsep-konsep yang dikembangkan akan condong lebih bersifat abstrak, imajinatif, dan merupakan konstruksikonstruksi rasional dalam alam pikiran daripada lebih bersifat hasil abstraksi yang berpadanan langsung dengan objek yang terjumpai sebagai fenomenon/na di alam indrawi ini. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu hukum itu boleh dikatakan lebih gampang dicenderungkan ke gambarannya yang ideal dengan blue-sky concepts-nya daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat (natural and life sciences) yang nyata lebih down to earth, punya padanannya yang nyata dan direk di alam indrawi. Tentang Teori ‘Teori’ – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang’[2] — adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi ataukah pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia, Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran — atau hasil penggambaran — secara reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, dibangun dengan bahan-bahan pembangun yang – sebagaimana kita ketahui — disebut konsep. Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan berbahasa Inggris, seperti yang telah dikatakan di awal bab ini, bahwa concepts is the building blocks of theories. Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in abstracto yang berada di alam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi. Di dalam bahasa falsafati, sementara orang mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas nomenon’ (atau‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut ‘realtas fenomenon’ (atau‘fenomena’ apabila jamak). Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, vise versa, bersaranakan simbol-simbol yang – dalam ilmu bahasa — disebut ‘kata-kata’ – atau rangkaiannya yang disebut ‘kalimat’. Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan luas). Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang umum dan luas ini tak lain daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua rupa. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di alam fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk, yang karena itu wajib dijauhi). Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data — ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’ — akan disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific laws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan ‘harga komoditas itu’ ; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi pula ‘harga’; demikian sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’. Teori aakan tervalidasi secara ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena. Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi. Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsepkonsep abstrak yang disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai ‘yang telah benar dengan sendirinya (self-evident)’. Kalaupun toh diperlukan dasar pembenar yang lebih bersifat in personam, amatlah lazim kalau orang mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber kekuasaan yang teramat sentral, baik yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi ajaran nenek moyang) ataupun yang lebih kongkrit dan struktural (titah raja atau putusan suatu badan legislatif). Mana yang akan dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut teori-teori yang dibangun olehnya itu akan tergantung dari paradigmanya. Paradigma yang mensyaratkan kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada kebenaran faktual yang diperoleh dari hasil amatan indrawi yang aktual akan disebut paradigma nomotetik atau kebenaran fenomenologik, sedangkan paradigma kedua yang mensyaratkan agar kebenaran pengetahuan itu harus diniscayakan berdasarkan ajaran moral, entah yang bersumber wahyu entah pula yang bersumber tradisi akan disebut kebenaran normatif atau kebenaran menologik. Sehubungan dengan kontroversi antara dua ragam dasar pembenar pengetahuan yang disebut paradigma itu, maka memperbincangkan kebenaran pengetahuan dan/atau teoriteorinya itu, tak pelak lagi, orang mestilah akan juga memperbincangkan ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu? Tentang Paradigma Apakah yang dinamakan’paradigma’ itu? Paradigma adalah suatu istilah yang kini amat populer dipakai dalam berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk menyebut adanya “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya”. Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Dari pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu dengan persepsi interpretatif — dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan – yang berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat pula dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam sebuah gelas. Seseorang yang religius – untuk menyebut misal lain — akan cebnderung melihat manusia sebagai ruh yang terpenjara dalam tubuh yang fisikal, sedangkan seseorang yang lebih berorientasi sekular akan lebih cenderung untuk melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi secara biokhemikal sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbaagai gerakan. Seseorang ahli sejarah ilmu pengetahuan bernama Thomas Kuhn menggunakan istilah paradigma itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm shift. Dijelaskan olehnya[3] bahwa, sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tak selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm shift itu. Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu komunitas sebagai pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan bersaranakan pengetahun-pengethuan berparadigmaa lama, dengan “beringsut untuk beralih” ke pengetahuan pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru. Kuhn (1922- ), seorang ahli fisika, dalam kapasitasnya sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan bahwa perkembangan intelektual dalam peradaban manusia itu tidaklah pernah berlangsung secara lempang-lempang saja dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama — sebagai “ilmu yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya” – gagal menjawabi masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja dari percaturan. Konsep paradigm shifts membuka kesadaran bersama bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas” yang mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk mencari dan menemukan alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini selalu saja terjadi dalam sejarah falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat politik pada banyak permsalahan baru yang menghendaki jawabanjawaban yang baru pula. Konflik Paradigma Yang Klasik: Kebenaran Teologik Versus Kebenaran Saintifik Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian tentang hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut dan silih berganti merebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik maupun dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma itu ialah paradigma teologik yang etik-normatif dan paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut pertama tampil sebagai mainstream yang dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di masa sejarah Yunani kuno, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-322 s.M.), sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada masa yang jauh lebih kemudian, ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang dikenali sebagai era renesans, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Galileo dari Galilea (1564 -1642). Paradigma Aristotelian: Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini berhakikat sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut‘order’ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti bahwa ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Alam semesta itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam wujudnya yang empirik dalam alam amatan manusia. Lebih lanjut lagi alam pemikiran Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan sesuatu “ada sebelum ada” (pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya keselarasan (harmony) yang final dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud hanya karena adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna, yang oleh sebab itu juga mengisyaratkan adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa finalis) pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat diganggu. Episteme Aristotelian — yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang preestablished, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (sains) berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebabakibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga yang teknologik. Pengetahuan Tentang Manusia Berikut Perilakunya: Manusia Seperti ‘Apa Adanya’ Sebagai Objek Kajian Sains Berabad lamanya pemikiran dalam rangka pencarian pengetahuan yang benar tentang ihwal manusia, berikut kebenaran perilakunya, tak pernah dilepaskan dari pengkategoriannya ke dalam rumpun episteme Aristotelian yang normatif-moralistik. Dalam kategori rumpun ini, kebenaran tentang ihwal manusia secara kategorikal akan masuk dalam perbincangan tentang rightness yang dilawankan dengan wrongdoing, dan bukan tentang persoalan factual truth yang harus dilawankan dengan falseness atau the untruth. Maka, tatkala kehidupan fauna dan flora mulai diminati sebagai objek kajian life sciences, yaitu suatu kajian dalam tradisi dan strategi Galilean yang saintifik, manusia sebagai makhluk hidup tidaklah serta merta dipandang patut untuk dikaji dalam eksistensi jasmaniahnya yang faktual itu. Vesalius, misalnya, memperoleh reaksi keras ketika ia membedah mayat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi makhlukmakhluk hewani lainnya. Reaksi muncul karena konsep tentang manusia pada masa itu mengunggulkan manusia sebagai makhluk tercipta dalam kualitasnya yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain. Dalam pembedahan anatomik, tatkala Vesalius mengatakan kesaksiannya bahwa ia tidak menemukan apapun yang boleh disebut ‘ruh’ di dalam tubuh yang ia bedah itu, dan apa yang ia temukan tak berbeda secara kualitatif dengan apa yang ada di dalam tubuh-tubuh hewan, sang dokter pembedah ini mendapatkan reaksi dan dakwaan yang amat keras sebagai pengganggu kepercayaan umat yang selama ini meyakini kesempurnaan Tuhan dan refleksiNya pada makhluk-makhluk ciptaannya. Reaksi keras juga diserukan terhadap teori evolusi yang dikemukakan Charles Darwin tentang The Origin of Species dua abad kemudian. Reaksi tidak hanya dimaksudkan untuk menyangkal tesis Darwin bahwa jenis-jenis makhluk yang ada di permukaan bumi saat ini merupakan produk proses sebab-akibat yanag acak, yang berlangsung secara evolusioner, antara berbagai unsur dinamik yang ada di dalam tubuh makhluk (potensi mutasi) dan yang ada di luar tubuh (lingkungan yang menuntut kemampuan adaptif makhluk). Lebih lanjut dari itu, reaksi terutama juga sehubungan dengan tersiratnya asumsi dalam teori Darwin, bahwa evolusi yang menjelaskan asal-muasal primordial makhluk-makhluk hidup itu boleh juga dipakai untuk menjelaskan asal-muasal manusia (yang mungkin sekali primordial juga, dan tidak sempurna sejak awal mulanya). Apapun juga kerasnya reaksi dan keberatan yang diserukan atas digunakannya pendekatan scientism dengan paradigma Galilleannya itu, tanpa bisa ditahan-tahan lagi pemikiran pada alur scientism — yang meragukan kesempurnaan sistem semesta sejak awal penciptaannya – mulai masuk juga ke alam pemikiran mereka yang menempatkan manusia dan kehidupan kolektifnya sebagai objek pemikiran dan/atau kajiannya. Inilah pemikiran yang terbilang eklektik dan merupakan pengkajian yang tergolong sekular, dalam arti bahwa dan nomos an norma adalah identik, dalam arti bahwa apapun yang merupakan ‘keteraturan umum’ yang terjadi dalam kehidupan manusia, suatu nomos yang tersimak dalam wujud pola perilaku (pattern of behavior) manusia adalah sesuatu yang secara normatif harus dibilang wajar dan manusiawi, dan karena itu ya “baik-baik saja”. Pola perilaku manusia yang mencerminkan adanya naluri egosentrik untuk mempertahankan eksistensinya yang jasmaniah, misalnya, oleh Adam Smith dikatakan secara jelas sebagai pola perilaku individual yang – sekalipun pada dasarnya adalah perilaku yang berangkat dari usaha memperjuangkan kepentingannya sendiri – adalah sesuatu fenomen yang wajar, yang oleh sebab itu tak tercela, dan harus dibilang etis jugalah adanya. Menurut Smith, dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), justru self-interest itulah yang mendorong manusia-manusia bekerja keras untuk memperoleh meningkatkan kesejahteraan jasmaninya, dan secara total akan meningkatkan pula kesejahteraan bangsa. Perilaku yang berbasis self-interest namun mampun mendatangkan kesejahteraan bangsa inilah yang mendorong Smith untuk menggolongkan manusia bermotif ekonomi ini tidak hanya hadir sebagai Homo economicus.tapi juga sebagai Homo ethicus. Pola perilaku manusia yang berbasis kepentingan pribadi tatkala berupaya memenuhi kebutuhan jasmaninya– yang toh dikonsepkan juga sebagai perilaku etik oleh Adam Smith — itu tersimak dalam ujud fakta–fakta lugas dalam kehidupan manusia. Proses interaktif antar-manusia ke arah tertetapkannya nilai dan harga suatu barang adalah salah satu contohnya.. Nomos yang di kemudian hari dinamakan ‘hukum permintaan-penawaran’ menggambarkan dengan jelas perilaku individual manusia, namun yang kemudian berlangsung interaktif di pasar dalam suasana yang bebas, tanpa adanya order (perintah normatif), telah berproses secara acak ke terbentuknya suatu order (keteraturan nomotetik) yang berkeniscayaan. Naiknya permintaan niscaya akan menaikkan harga, dan, pada gilirannya, naiknya harga akan menaikkan penawaran. Apabila penawaran akan terus naik, maka harga akan turun, dan turunnya harga akan menaikkan permintaan. Demikianlah “goncangan chaotic” itu akan terus berlangsung sampai terjadi keseimbangan baru (yang pada saatnya akan mengalami goncangan chaotic baru oleh sebab tertentu, yang niscaya akanmenjurus ke keseimbangan – yang menggambarkan suatu tertib – yang baru pula). Positivisme Yang Berparadigma Galilean Abad 18-19: Paham Falsafati Untuk Mendasari Kajian Tentang Hadirnya Keteraturan Dalam Kehidupan Bermasyarakat Manusia Pada belahan awal abad 19, marak suatu pemikiran falsafati yang dikenali dengan sebutan paham positivisme. Positivisme adalah suatu paham falsafati dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang .pada abad 18. Positivisme – yang berkembang sebagai hasil pemikiran falsafati perintisnya yang bernama Auguste Comte (1798-1857) — mencoba mendayagunakan paradigma Galilean ini untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam masyarakatnya. Menurut Comte – yang berlatarbelakangkan kesarjanaan matemática dan fisika itu – konsep dan metode ilmu alam kodrat dapat juga dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Menurut Comte, kehidupan manusia itu – sebagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung “seperti apa adanya” di kancah alam benda-benda anorganik yang tak bernyawa – pun terjadi di bawah imperativa hukum sebab akibat dengan segala kondisi dan faktor probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antar-variabel seperti itu nyata kalau terlepas dari sembarang kehendak atau rencana yang berkesengajaan yang sifatnya subjektif. Sebagaimana halnya kejadian-kejadian di alam semesta yang tunduk pada suatu hukum yang terbit dari suatu proses acak yang tak berada di bawah imperativa suatu grand design, menurut Comte kehidupan manusia itu selalu saja dapat dijelaskan sebagai prosesproses aktualisasi hukum sebab-akibat yang serba berdasarkan hal-hal yang tak deterministic pula sifatnya. Setiap kejadian dan/atau perbuatan dalam kehidupan manusia – yang kasuistik sekalipun — selalu saja dapat dijelaskan dari sisi sebab-sebabnya yang rasional dan alami, dan yang karena itu bersifat ilmiah/scientific. Setiap perbuatan tidaklah dapat dimaknakan dari substansinya yang berupa niat dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik yang metafisikalitu. Berpenjelasan seperti itu, berangkat dari paradigma Gallilean yang semula didayagunakan untuk menjelasakan alam tak bernyawa saja, positivisme harus dikatakan sebagai paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Artinya, bahwa hanya ada satu metode saja dalam kajian sains yang lugas itu, baik yang akan didayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan alam dan hayat (natural and life sciences) maupun yang akandidayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Menurut kaum positivis ini, mempelajari perilaku benda-benda mati dalam fisika dan mempelajari perilaku manusia yang mempunyai jiwa dan ruh tidaklah perlu dibedakan. Dua macam perilaku dalam ranah yang berbeda ini dikatakan sama-sama dikontrol oleh hukum sebab-akibat yang dapat dijelaskan sebagai imperativa-imperativa yang berlaku secara universal. Perkembangan konsep dan metodologi seperti ini, yang menggambarkan terjadinya order – ialah suatu keteraturan yang tertib yang terwujud sebagai produk interaksi atau hasil transaksi antar-manusia – tertemui juga kemudian dalam upaya para pemikir untuk menjelaskan kehidupan berhukum-hukum di tengah suasana kehidupan yang sedang go national di negeri Barat pada masa itu. 
 Di sini, di tengah kehidupan yang kian berkembang dalam konfigurasinya yang baru sebagai organisasi negara bangsa, kekuatan pengatur yang bisa difungsikan untuk mengontrol ketertiban dalam kehidupan yang baru inipun dikonsepkan sebagai hasil tawar-menawar antar manusia warga bangsa. Transaksi lewat “suatu pasar politik” antar-manusia dan/atau antar-golongannya itulah nanti yang akan menentukan hukum baru apa yang akan diterima dan berlaku.
 Di “pasar politik” — yang di masyarakat-masyarakat demokratik diinstitusikan sebagai parlemen, kalaupun sekali-sekala bisa melimpah juga ke jalanan — inilah terjadinya interaksi dan transaksi antar-manusia warga bangsa untuk menemukan “kompromi harga”. Warga bangsa dan/atau organisasi politiknya, masing-masing dengan latar belakang kepentingan dan/atau keyakinannya, menyepakatkan macam keseimbangan baru, yang didokumentasikan secara tertulis, yang di dalam kajian-kajian scientific atau quasi-scientific tentang hal ini disebut lex atau lege, (yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘undangundang’). Dalam kehidupan kebangsaan, yang dikonsepkan sebagai hasil proses sejarah sebagaimana berlangsung sebagai proses acak, (tidak menuruti suatu grand design melainkan by accidents and chances), hukum yang berfungsi sebagai penata tertib kehidupan kebangaan itu pun nyata kalau terwujud dan tersimak sebagai hasil proses sejarah, yang acak dan tidak bisa diniscayakan karena adanya suatu grand design yang final. Di sinilah awal perkembangan suatu cabang ilmu dan ajaran baru tentang sarana pengontrol ketertiban yang – menurut paradigmanya – merupakan hasil proses interaktif antar-warga sendiri. Inilah ilmu (nomologik
»»  Baca Selengkapnya...