Senin, 23 November 2015

Pentingnya “visum et repertum” Dalam Membantu Proses Peradilan Perkara Pidana Dalam Perspektif Penegakan Hukum

Pentingnya “visum et repertum” Dalam Membantu Proses Peradilan Perkara Pidana  Dalam Perspektif  Penegakan Hukum

                      Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.Pentingnya visum et repertum
Suau pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana  ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Berdasarkan adanya ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian, maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan diatur dalam  Pasal 180 ayat (1) KUHAP.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP di atas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang telah diangkat sumpah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter, yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat  dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut.
Kewajiban dokter sehubungan dengan pembuatan visum et repertum dalam membantu proses peradilan diatur dalam Pasal 133 KUHAP dan Pasal 179 KUHAP, yang menentukan sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP
(1)          Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan ahli lainnya.
(2)          Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Pasal 179 KUHAP
(1)               Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi kebaikan.
(2)               Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari penjabaran diatas jelas bahwa seorang dokter yang kapasitasnya sebagai ahli wajib memberikan keterangan jika sewaktu-waktu dimintai keterangan ahli oleh penyidik.
Dalam pengungkapan suatu kasus, visum et repertum memiliki peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus.
Sebuah visum et repertum yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam Pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
    Dengan demikian, visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia          



B.Konsep Penegakan Hukum Pidana
Teori penegakan hukum, tentunya perlu dipersepsikan dalam makalah  ini, bahwa hukum disini dapat dimaknai dalam kaitannya dengan konsep penegakan hukum adalah sebagai sistem. Makna sistem  disini tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure).
 Menurut Lawrence Friedman, sebagai dalam kerangka teori pada BAB I dijelaskan bahwa unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[1] Tiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, atau tiga faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum.
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Hakim, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain yang bergerakan dalam penegakan hukum.  
Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Sedangkan budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[2]
Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya dari suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi mempunyai budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak keragaman dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi penegakan hukum dalam masyarakat.
 Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.[3]
 Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum.[4]
 Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.
Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum dan keadilan hukum dalam masyarakat.Karena dua hal itulah yang menjadi tujuan hukum dalam penegakan hukum.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda.
Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat.
Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat.
Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.

C.Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
 Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan.
Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosofis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Secara teoritis, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari sudut subyek dan obyek, sebagaimana pandangan berikut ini. Ditinjau dari sudut subyek, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang lebih luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subyek hukum  dalam arti terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya  hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak  itu diperkenan untuk menggunakan dayak paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[5]
Secara pragmatis dalam kondisi yang demikian saat ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak.
Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik.
Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial.
Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.[6]
Hal di atas adalah berkaitan dengan masalah efektivitas penegakan hukum, Soerjono Soekanto  mengemukakan bahwa :
               Efektif tidaknya penegakan hukum tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
1.        harapan masyarakat :
penegakan hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
2.        adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya pelanggaran hukum kepada aparat penegak hukum.
3.        kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum.[7]
Pada taraf dan situasi seperti ini ketiga faktor di atas adalah berkaitan dengan, yakni kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasionalpun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.[8]
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[9] Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya.
Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu.[10] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim.
          Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1.      Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang saja.
2.      Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.      Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[11]
Keempat faktor tersebut sebenarnya berkaitan dengan nilai-Nilai Dasar Dalam Penegakan Hukum. Artinya berdasarkan anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum..[12] Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[13]
Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat.
Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas.
Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun  tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali.
Berdasarkan asasnya sebuah proses pengadilan menegaskan, bahwapengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Di samping itu pula dapat kita lihat Pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law).
Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum”, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.[14]
Lembaga penemuan hukum ini akan membawa kita kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendirinya melalui konstruksi dengan cara Analogi, Rechtsverfijning dan Argumentum a contrario.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hukum adat Indonesia menganut sistim partriar chaat, segala harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, janda tidak berhak mewarisi harta peninggalan suaminya.
Kedudukan janda dalam hukum adat ini dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan, karena itu janda harus diberikan kedudukan yang pantas di samping kedudukan keturunan anak-anak keturunan sipeninggal warisan.[15]
Tugas hakim adalah menyelesaikan tiap perkara, meskipun bertentangan dengan undang-undang atau undang-undang tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan oleh masyarakat pencari keadilan itu, berdasarkan hukum yang ditemukan atau dibentuknya sendiri.
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus tersebut.
Dalam hal demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) sesuai dengan pendapatnya.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh.[16]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.[17]
Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada hakim.[18]
Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”. Hakim menambah undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat.
Undang-undang itu merupakan suatu “momentopname” saja, yaitu suatu “momentopname” dari keadaan di waktu pembuatannya. Berdasarkan dua kenyataan tadi, maka dapat dikatakan bahwa hakim pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding. Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang itu selalu “rechtsvinding”.[19]
Kemandirian hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, karena keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja  dan tidak berlaku sebagai peraturan umum.
Namun keputusan hakim yang didasarkan oleh hukum yang ditemukannya itu, dalam keadaan  dan waktu tertentu, dapat diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam hal perkara yang sama dan akhirnya menjadi suatu yurisprudensi yang tetap dan sekaligus menjadi sumber hukum yang formil.
Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan “Preseden” sebagaimana yang terdapat di Inggris dan Amerika, seperti apa yang dikemukakan oleh Gray.
Teori Gray dikenal dengan nama teori mengenai All the law is judge made law. Suatu peraturan barulah menjadi peraturan hukum apabila peraturan itu telah dimasukan dalam putusan hakim. Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan dilaksanakan di negeri Inggris, di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan dan disebut sebagai peradilan preseden (Presedenten rechts praak).
Hakim wajib mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut hirarki pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu perkara semacam, bahkan wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih dahulu dalam perkara semacam (stare desicis).
Hukum yang berasal dari pengadilan preseden disebut  “judge made law” atau “judiciary law” . Terutama di negeri Inggris sering “judge made law” itu dianggap lebih penting dari pada “Statute law” (hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu diperbesar oleh Gray dalam rumusannya “All the law is judge made law”.[20]
Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang faham untuk mengfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) terutama dalam bidang hukum privat adat menjadi hukum privat nasional.
            Berbekalkan konsep dan rancangan kebijakan seperti itu, tak pelak para pendukung hukum adat tak dapat bertindak lain selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan pendayagunaan hukum dalam masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi yang harus benar-benar kreatif.
            Sekalipun dalam era orde baru badan-badan kehakiman diidealkan akan menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah akan dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi harapan-harapan kepada badan-badan ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat agaknya terlampau berkelebihan.[21]
Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum itu berasal.
Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal. Dalam konteks perkembangan yang demikian itu, pertanyaan mengenai “sumber yang manakah yang dianggap sah?” menjadi penting.[22]
Tentang masalah dari mana hukum itu berasal atau bersumber yang dapat kita anggap sah, dalam ilmu hukum hal ini dapat ditinjau dari dalam arti kata formil dan dalam arti kata material.
Sumber hukum dalam arti kata formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya hukum positif (ius constitutum) yang mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum tersebut.
Sumber hukum dalam arti kata material, dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values waarden) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum bangsa Indonesia (ius contituendum).
Kemampuan para hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan, terlebih lagi dalam era globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim “diharapkan” dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri dan akhirnya dapat menjadi yurisrpudensi yang tetap dan berwibawa.
Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws.[23]
Secara formil yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun demikian hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan  hakim untuk turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Menurut Von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.[24]
Anggapan bahwa  hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup (logische Geschlos senheit), pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa, hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu terus-menerus dalam suatu proses perkembangan.
Hal ini membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit, yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan  dalam suatu perkara tertentu.
           Hakim dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan undang-undang serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya.

D.Kedudukan Alat  Bukti Dalam Hukum Pidana
           Berkaitan dengan peristiwa hukum dalam konsep penegakan hukum dalam suatu tindakan hukum khususnya hukum pidana, maka salah satunya berbicara mengenai dasar hukum pembuktian, maka konteks pembicaraan kita adalah apa yang menjadi landasan yuridis dari pembuktian tersebut.
           Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang tertulis bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tertulis : Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Kedua Pasal inilah yang menjadi dasar hukum dari pembuktian tersebut.
Selain Pasal 183 dan Pasal 185, maka dapat juga dilihat mengenai dasar hukum pembuktian yaitu pada Pasal 184 tentang alat bukti dan Pasal 186-189 tentang pengertian dari masing-masing alat bukti.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, yang mengatur tentang alat bukti yang sah, di dalam Pasal tersebut tertulis bahwa ada 5 (lima) macam alat bukti yang sah, yaitu :
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa.
Pertanyaan yang perlu diajukan dimana letak visum et revertum, apakah masuk dalam keterangan ahli atau hanya bukti petunjuk atau dikatagorikan sebagai surat saja. Karena keterangan yang ada didalam subtansi  visum et refertum diformat standar seperti surat dari dokter dalam realitas prateknya.
 Dari kelima alat bukti yang dikenal dalam KUHAP, maka selanjutnya penulis akan memberikan penjelasan dari masing-masing alat bukti tersebut, baik dari pengertian KUHAP itu sendiri maupun pendapat dari beberapa pakar.
 Keterangan Saksi (Verklaringen van getuige) pengertian umum dari keterangan saksi dicantumkan dalam Pasal 1 butir 27, yang menyatakan keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan keterangan saksi yang bernilai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
       Jika diteliti KUHAP, maka mengenai keterangan saksi ini diatur oleh beberapa pasal diantaranya, Pasal 108, 116, 160 sampai dengan 165, Pasal 167, 168, 169, 170, 173, 174 dan Pasal 185, dari pasal-pasal tersebut di atas yang terutama di ketahui adalah orang yang dapat menjadi saksi. Harus diingat bahwa keterangan saksi ini harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu syarat formil dan materiil.
       Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat (3) bahwa “keterangan seorang saksi dianggap sah jika diberikan di bawah sumpah dan mengenai saksi yang tidak disumpah berdasarkan Pasal 185 ayat (7), maka tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, maka dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
           Keterangan Ahli (Verklaringen van een Deskundige), ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, keterangan ahli ini merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus atau tertentu tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana guna kepentingan pemeriksaan atau keterangan yang berdasarkan keahlian dan pendidikan yang diperlukan untuk itu dan sangat relevan dengan perkara yang akan diterangkannya.
            Disamping keterangan saksi seperti telah diuraikan pada poin sebelumnya, maka dalam rangka pembuktian ini ada saksi yang mempunyai kedudukan khusus yaitu para ahli. Termasuklah salah satunya profesi dokter, karena mereka disumpah sesuai keahliannya.
           Berdasarkan uraian di atas menurut penulis, bahwa saksi dapat bertindak sebagai :
a.       Seorang ahli yang ditanya pendapatnya mengenai sesuatu soal. Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan kepadanya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan yang diminta pendapatnya tentang obat A yang dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidak.
                b.    Seorang saksi ahli (getuige deskundige), yang ditanya pengetahuannya  mengenai sesuatu perkara. Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya, misalnya seorang dokter yang melakukan pemeriksaan mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan barang bukti itu dan kemudian menjadi ahli karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian korban.
             Menurut Yahya Harahap[25], bahwa ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan dalam meminta keterangan ahli tersebut yaitu : (1) keterangan langsung di hadapan penyidik, dalam hal ini ahli dipanggil menghadap penyidik untuk memberi keterangan langsung di hadapan pemeriksaan penyidik, sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya.
             Keterangan langsung di hadapan penyidik ini juga mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu :
a. Sifat keterangan yang diberikan menurut pengetahuan. Jadi berbeda dengan keterangan saksi. Keterangan saksi berupa apa yang ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya. Sedang sifat keterangan ahli semata-mata didasarkan pada pengetahuan yang khusus dimiliki sesuai dengan bidang keahliannya.
b. Sebelum dilakukan pemeriksaan mengucap sumpah atau janji mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, yang berisi bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal 120 ayat (2) KUHAP). Sumpah atau janji merupakan perbedaan antara ahli dengan saksi. Jika ahli harus bersumpah atau mengucapkan janji sebelum memberi keterangan, sebaliknya prinsip pemeriksaan saksi si muka penyidik tidak disumpah.
c. Ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta apabila harkat martabat, pekerjaan atau jabatannya mewajibkannya menyimpan rahasia. Yang agak sulit untuk dipahami dalam Pasal 120 ayat (2) ini, ialah mengenai arti harkat martabatnya tidak dijelaskan apa dan siapa orang yang memiliki harkat dan martabat yang dapat menolak untuk memberi keterangan sebagai ahli. Barangkali orang yang dapat dikelompokkan ke dalamnya seperti ulama, pendeta, para guru, dan sebagainya.
            Keterangan dalam bentuk keterangan tertulis, jika pada bentuk pertama seperti yang diatur dalam Pasal 120, pendapat ahli yang diperlukan penyidik langsung diberi dalam pemeriksaan di hadapan penyidik. Pada bentuk kedua diatur dalam Pasal 133, pendapat ahli yang dimintakan penyidik dituangkan dalam bentuk tertulis. Keterangan bentuk tertulis dari seorang ahli inilah yang lazim disebut dalam praktek hukum sebagai Visum et Repertum.
            Adapun tata cara yang ditempuh penyidik untuk mendapat keterangan tertulis seorang ahli seperti yang diatur dalam Pasal 133 KUHAP adalah :
a.              Dalam hal penyidikan mengenai seorang korban luka, keracunan, ataupun kematian yang diduga sebagai akibat dari suatu peristiwa pidana maka demi untuk kepentingan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan tertulis kepada ahli.
b.             Pengajuan permintaan dimaksud diajukan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Memperhatikan dengan saksama ketentuan di atas, pembuat Undang-Undang sangat cenderung untuk menetapkan suatu ketentuan, agar semua keterangan yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan, yang boleh diminta keterangannya adalah ahli kedokteran kehakiman namun barangkali pembuat Undang-Undang sendiri menyadari, bagaimana langkanya ahli kedokteran kehakiman di Indonesia.
c.              Terpaksa di ujung kalimat Pasal 133 ditambah dengan atau dokter dan atau ahli lainnya, sehingga dengan demikian langkahnya ahli kedokteran kehakiman dapat diatasi dengan cara memberi kemungkinan bagi aparat penyidik untuk meminta keterangan dari dokter umum ataupun ahli lainnya.
d.             Siapa yang dimaksud dengan ahli lainnya, pembuat Undang-Undang tidak menjelaskan kalau dokter, semua orang tahu tetapi siapakah ahli lainnya jika masalahnya dihubungkan dengan kepentingan peradilan dalam menangani korban luka, keracunan, atau kematian. Siapa orangnya yang dianggap sejajar keahliannya dengan seorang ahli kedokteran kehakiman atau dokter. Apakah seorang mantri kesehatan dapat digolongkan ke dalam pengertian ahli lainnya yang disebut Pasal 133 tersebut. Dalam keadaan yang darurat sekali, mantri kesehatan dapat disejajarkan dalam pengertian ahli lainnya. Terutama di daerah yang sangat terpencil, di mana Puskesmas dan dokter tidak ada, sedang yang ada hanya mantri kesehatan, penyidik dapat mengajukan permintaan keterangan kepadanya.  
e.              Cara meminta keterangan kepada ahli dengan tertulis. Dalam surat permintaan keterangan, penyidik menyebut dengan tegas pemeriksaan apa yang dikehendaki penyidik kepada ahli. Dari permintaan itu ahli melakukan pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat, ataupun pemeriksaan bedah mayat. Adapun kualitas surat keterangan yang dikeluarkan berdasar ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2), dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan
f.              Pasal tersebut, yang menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan saja. Memang hal ini sangat perlu untuk dibedakan, guna kepentingan pemeriksaan di depan persidangan. Sebab menurut ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf b, keterangan ahli termasuk salah satu alat bukti yang sah menurut hukum dengan demikian keterangan ahli kedokteran kehakiman termasuk kategori alat bukti yang sah, sedang keterangan dokter bukan alat bukti yang sah, tetapi dapat dimasukkan kepada klasifikasi alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c)
             Surat (schriftelijke bescheiden), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf C, dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah, adalah :
a.       berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b.      surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan atau sesuatu keadaan;
c.        surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d.      surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
           Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Tetapi harus diingat bahwa petunjuk tidak berdiri sendiri sebagai pembuktian, tetapi mengarah kepada pembuktian atau pelaku perbuatan (materiil).
            Petunjuk ini dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah diadakan pemeriksaan.
           Menurut Kuffal[26],  bahwa kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sangat ditentukan oleh unsur-unsur subjektif (arif bijaksana, kecermatan, keseksamaan dalam hati nurani) dari hakim.
           Berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dan menurut pengalaman dalam pelaksanaan penegakan hukum pada tataran praktek dapat diketahui atau dirasakan bahwa unsur-unsur subjektif antara hakim yang satu dengan yang lain pada umumnya tidak sama atau berbeda.
         Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, keterangan terdakwalah yang sangat menentukan suatu perkara karena dialah sebagai atau merupakan pelaku perbuatan (materiil).Tetapi harus diingat menurut, bahwa :  Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

E.Tugas dan Tanggung Jawab Dokter Dalam Hukum Pidana
                 Tugas dan tanggung jawab dokter sangat besar dalam kaitannya dengan hukum pidana, untuk memberikan gambaran tentang tanggung jawab dokter, maka perlu digambarkan apa yang dimaksud dengan tangung jawab.
              Tanggung jawab adalah tanggung jawab yang diakui dan ditegakan  oleh seseorang seseorang yang dibebankan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Secara operasional definisi “dokter” adalah seorang  tenaga kesehatan (dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien atau klien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit.
            Tugas dan tanggung jawab seorang dokter secara umum berkaitan dengan kompetensi yang harus dicapai seorang dokter meliputi tujuh area atau kompetisi utama, yaitu:
1.      Ketrampilan komunikasi efektif
2.      Ketrampilan Klinik dasar
3.      Ketrampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu prilaku dan epidemologi dalam praktek kedokteran.
4.      Ketrampilan pengelolaan masalah kesehatan individu, keluarga ataupun masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam kontek Pelayanan kesehatan primer.
5.      Memanfaat, menilai secara kritis dan mengelola infornasi.
6.      Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hajat.
7.      Menjunjung tinggi etika moral dan profesionalisme dalam praktik.
       Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang dokter. Sedangkan tugas Dokter meliputi hal-hal sebagai berikut:[27]
a.       Melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosa penyakit pasien secara cepat dan memberikan terapi secara tepat.
b.      Memberikan terapi untuk kesembuhan penyakit pasien
c.       Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif pada saat sehat dan sakit.
d.      Menangani penyakit akut dan kronik.
e.       Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar
f.       Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS.
g.      Tetap bertanggung jawab atas pasien yang ditujukan ke Dokter spesialis atau dirawat di RS dan membantu pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan.
h.      Bertindak sebagai mitra, penasehat dan konsultan bagi pasiennya.
i.        Memberikan nasehat untuk perawatan dan pemeliharaan sebagai pencegahan sakit.
j.        Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, pengobatan pasien sekarang harus komprehensif, mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
k.      Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
l.        Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat dan melakukan penelitian untuk mengembangkanb ilmu kesehatan.
m.    Tugas dan  hak eklusif dokter untuk memberikan surat keterangan sakit dan surat keterangan berbadan sehat setelah melakukan pemeriksaan pada pasien.

     Berdasarkan tugas dokter secara umum, dapat diambil kesimpulan, bahwa tugas dokter di atas belum ada kaitannya dengan aspek hukum atau lebih khusus hukum pidana. Dari sisi tanggung jawab dokter dalam sisi hukum baru muncul ketika ada kasus perdata maupun pidana. Khusus dalam bidang hukum pidana, maka tugas dan tanggung jawab dokter adalah berkaitan dengan kompetensi dokter, yang selanjutnya disebut dokter porensik.
     Dokter porensik adalah berkaitan dengan kompetensi, maka tanggung jawabnya dikaitkan dengan penerapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk penegakan hukum dan dalam kaitannya dengan fokus penelitian tesis ini adalah berkaitan dengan Visum et Repertum.
   Tanggung jawab dokter dalam hukum pidana, secara  hukum dikaitkan dengan “laporan tertulis yang dibuat dokter berdassarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan tahapan penegakan hukum yang berkaitan dengan segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
   Esensi laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang yang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan atayu sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan  membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Hasil analisisnya itulah yang kemudian dikenal dengan Visum Et Repertum (VER).
   Sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 333 ayat (1) menegaskan dalam penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Selanjutnya dalam ayat (2) Pemintaan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaanb luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
    Ketentuan Pasal 333  ayat (1),(2) ini biasa dikenal dengan permintaan keterangan ahli dalam laporan atau “visum et repertum” yang meskipun dalam ketentuan KUHAP tidak menjelaskan tentang  kata “visum et repertum”, hanya didalam Lembaran Negara tahun 1973 No 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan Visum Et Revertum adalah dibuat suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.
   Berkaitan dengan tanggung jawab dokter porensik dalam hukum pidana, maka ada ketentuan yang mengikat dokter porensik, yakni:
1.      Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapapun (misalnya kepada Pers) apalagi sampai pada detail-detailnya.
2.      Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasian dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti..
3.      Dokter forensi tidak pernah berkewajiban atau perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan berkewajiban melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.
4.      Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter, ia telah diangkat dan diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli ilmu kedokteran forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain.
5.      Tanggung jawab dokter forensik sampai sebatas memberikan keterangan didepan pengadilan, dan tidak ada alasan untuk kepentingan publik/umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan kepada media masa.
     Berdasarkan lima point diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa dokter forensik yang menerima permintaan dari kepolisian untuk melakukan pemeriksaan dan menjadi saksi ahli dalam perkara. Kesaksian ahli diberkan dalam bentuk laporan hasil analisis yang kemudian disebut Visum, Et Revertum. Artinya jika pada tingkat penyidikan, maka VER masih bersifat rahasia, namun jika perkara sudah sampai ke pengadilan maka informasi tersebut bisa diakses oleh pihak lain, termasuk pihak tersangka atau keluarga.

F.Visum et Repertum sebagai salah satu alat Bukti dalam hukum Pidana
1. Pengertian Visum et Repertum
          Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya dikenal dengan nama “visum”. Visum berasal dari bahasa latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “revertum” berarti laporan yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Jadi secara etimologi visum et revertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.
           Visum et Repertum atau disingkat VeR adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
          Menurut Staatsblad 1937 Nomor 350 Visum et Revertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro justitia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
           Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik.
            Berdasarkan pengertian visum et repertum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan. Pada sisi ini bisa dikatagorikan sebagai bukti surat yang berisi keterangan tertulis, tetapi dilihat dari sisi orang yang memberikannya maka visum et revertum dapat dikatagorikan sebagai keterangan ahli.
            Dikatagorikan sebagai surat, karena surat permintaan VeR ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.
           Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.
           Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".
            Dalam praktek  Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
             Dokter forensik menyerahkan VeR kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VeR itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan.
            Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).
             Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
             Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VeR semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.
              Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain.
             Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah.
             Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VeR.
              Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi).
             Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.
             Secara historis dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1937 No. 350.
              Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum.
               Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.
            Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
            Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.
            Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.
           Dalam tataran praktek yang menjadi pertanyaan adalah apa  Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain. Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
              Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi.
              Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan.

2.Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
               Dalam tataran praktek ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.
            Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
  1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.
Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.
Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.
2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila
Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.
        3. Visum et Repertum Jenazah
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.
         4.Visum et Repertum Psikiatrik
  Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1)   KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.
  Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
  Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
 Sebagai suatu hasil pemerikan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukan untuk kepentingan peradilan  visum et repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut:
1.Visum et repertum untuk orang hidup
   Jenis ini dibedkan lagi dalam;
1.1  Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
1.2  Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan Visum et repertum lanjutan.
1.3  Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pidah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
2.Visum et repertum untuk orang mati jenazah
Pada pembuatan Visum et repertum ini, dalam korban mai maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak kedokteran Forensik untuk dilakukan (outopsi).
Visum et repertum ini terbagi lagi sebagai berikut:
2.1 Visum et repertum Tempat kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaaan di TKP.
2.2  Visum et repertm penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.
2.3 Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala sakit jiwa.
2.4  Visum et repertum barang bukti, misalmnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tidak pidana, contohnya darah, bercak mani, selonsong peluru, pisau.

 3.Aspek Hukum Pidana Dalam Pengadaan Visum et Repertum
 Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.
               Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
               Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
                Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya.
Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.
  Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.
  KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai "barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.
Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya.
Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat).
Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut.
Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu.
Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :[28]
1. Pro Yustitia.
Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.
Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan.
Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa.
4. Kesimpulan.
Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.
Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).
     Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup.
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang  
      Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk umum Visum et repertum sebenarnya dapat diseragamkan, maka ditetapkamn ketentuan yang lazim mengenai susunan visum et revertum sebagai berikut:
      1.Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO JUSTITIA”, artinya bahwa Visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.
      2.Ditengah atas dituliskan Visum et repertum serta nomor visum et revertum tersebut.
      3.Bagian Pendahuluan, merupsakan pendahuluan yang berisikan:
        3.1.Identitas peminta Visum et repertum
        3.2.Identitas surat Permintaan Visum et repertum
        3.4.Identias Dokter pemnbuat Visum et repertum
        3.5.Indentitas korban/barang bukti yang dimintakan Visum et repertum
   3.6.Keterangan kejadian sebagaimana tercantum didalam  surat permintaan Visum et repertum
           4.Bagian pemberitaan merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti.
          5.Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter bahwa Visum et repertum atas analisa yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti.
         6.Bagian Penutup, merupakan pernyataaan dari dokter bahwa Visum et repertum ini dibuat atas dasar sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan.
         7.Disebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap Dinas dokter pemeriksa.
           Dari bagian Visum et repertum Visum et repertum sebagaimana tersebut di atas, keterangan yang merupakan barang bukti, yaitu pada  bagian pemberitaan. Sedangkan Pada Bagaian Kesimpulan dapat dikatakanb merupakan subyektif dari dokter pemeriksa.

4.Kedudukan Hukum Terhadap Visum et repertum Dalam Hukum Pidana
           Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia . hidup atau mati, atau bagian/diduiga bagian tubuh manusia berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
          Penegak hukum mengartikan Visum et repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
         Visum et repertum turut berberan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang didalam Pemberitaan, yang karenanya dianggap sebagai benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang dibagian kesimpulan.
          Dengan demikian Visum et repertum secara utuh menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca Visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.
           Artinya secara perspektif hukum tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan Visum et repertum sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkan satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaaan dari Visum et repertum itu harus yang  sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-obyektinya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan.
          Dengan demikian Visum et repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain dari pada itu Visum et repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila bersangkutan (jaksa –hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.
           Visum et repertum merupakan hal penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana menyangkutr perusakan tubuh dalam tindak pidana pembunuhan misalnya dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka situbuh korban merupakan Corpus Delicti, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et repertum. Dan tentunya kedudukan seorang dokter didalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan Visum et repertum seharusnya disadari dan dijamin realitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan ada kebenaran.
           Sehubungan dengan peran Visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan misalnya pengaduan atau laporan kepada pihak kepolisian  baru akan dilakkan setelah  tindak pidana perkosaan berlansung lama, sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban.
          Apabila Visum et repertum belum dapat menjernihkan persoalan disidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukan bahan baru seperti yang tercantum dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan yang beralasan bagi terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (pasal 180 KUHAP)
Berkaitan dengan tatacara permintaan Visum Et Repertum. Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.
b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi : (Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi;
     (2) Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
(3). Jabatannya adalah Penyidik. Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik
c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :
1) Korban Mati.
   Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan
   Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.
     2) Korban Hidup.
Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban.
Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan/meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.
Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.
Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.
d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.
     Contoh :
1)        Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.
2)        Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan
3)        Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.
Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban
4)        Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab
5)        Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan
g.        Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya. Catatan :
Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokterannya. Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.
Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :
1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir)
2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :
       Untuk korban hidup :
      a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah
       b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan
        c)Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman
3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya
4)  Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta
f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.
g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti :
1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.
2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.
 3)Apakah korban dipindah
4)Senjata/alat jenis apa yang melukai korban
5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban
6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban
7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan
8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian
9) Kapan kira-kira korban meninggal
10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal
           Apakah Visum etReprtum dapat dicabut?. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.
            Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut. 
           Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :
1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 / 1955.
2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.
4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani. 





[1] Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6.
[2] Ibid, hal. 7.
[3]Donald Black, “Behavior of Law”, (New York, San Fransisco, London: Academic Press, 1976), hal. 2.
[4] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[5] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, makalah, 17 April 2012, UI, halaman  12.
[6] Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik; (3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik; dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi Politik dan Hukum”, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 48 dan 94-96.
[7]Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), halaman 79.
[8] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 380.
[9] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[10]Hakim diberi kesempatan menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum sebanyak-banyaknya di dalam suatu golongan, yakni golongan peraturan hukum itu. Yakni, hukum yang berlaku pada saat ini atau hukum yang berlaku pada saat yang tertentu. Misalnya, peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturan-peraturan pemerintah daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa lalu sebagai hukum positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya. Peraturan hukum sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis, dengan demikian hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus sedikit mengorbankan keadilan. E. Utrecht, “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.
[11]Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 5-6.
[12] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 21.
[13] Ibid.
[14] Van Eikema Hommes, “Logika en Rechtsvinding”, (Tanpa kota: Vrije Universiteit, tanpa tahun), hal. 32.
[15]Lihat, Mahkamah Agung dalam Putusan tanggal 2 Nopember 1960, Reg. No.302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa: “hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti, bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di tangan janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang di berapa daerah Indonesai di samping menentukan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan, sijanda perempuan berhak atas bagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak kandung dari sipeninggal warisan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, tidak dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti oleh hakim lain dalam hal perkara yang sama. Namun sebagai penemuan hukum dari hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum nasional.
[16] Lihat, Pasal 28 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[17] Lihat, Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 4 Tahun 2004.
[18] E. Utrecht, Op.cit, hal. 230.
[19] Ibid, hal. 230-231.
[20] Ibid, hal. 263.
[21] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994), hal. 244.
[22] Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 111.
[23] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, Op.cit, hal. 244.
[24] Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 11.
[25] Yahya Harahap, Keterangan Ahli berdasarkan KUHAP, Makalah Seminar Nasional Pengakan Hukum Pidana, 2011, UI, halaman 7
[26] Kuffal, Pemahaman Bukti Petunjuk dalam Hukum Pidana, 2011, Press UI, hal 23.
[27] Tugas dan tanggung Jawab Dokter Berdasarkan UU No 36 Tahun 2009, pasal  36
[28] Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua, 1992, halaman 34.
»»  Baca Selengkapnya...