Kamis, 29 September 2011

BAGAIMANA MENGOPTIMALISASI PERAN DPRD SECARA SMART”


BAGAIMANA MENGOPTIMALISASI PERAN DPRD SECARA SMART”
Oleh Turiman Fachurahman Nur

         Regulasi Daerah adalah kunci utama dasar reformasi di daerah, yang pada tataran DPRD dimainkan oleh Lembaga legislasi daerah sebagai lembaga penyampai kepentingan dan aspirasi masyarakat yang diubah ke dalam kebijakan. Fungsi utama lembaga ini adalah mewakili kebutuhan, aspirasi, perhatian dan prioritas masyarakat dengan mengartikulasikan masukan serta aspirasi masyarakat, lalu mengubahnya menjadi kebijakan. Fungsi kedua, menyusun peraturan perundang- undangan, peraturan yang mengatur jurisdiksi, termasuk anggaran pemerintah, dijalankan anggota lembaga legislasi daerah dengan selalu memperhatikan kebutuhan masyarakat, sementara fungsi ketiga sebuah lembaga legislasi daerah adalah pengawasan, untuk memastikan akuntabilitas politik dan keuangan eksekutif.
          Desentralisasi demokrasi di Indonesia telah menciptakan sistim check and balance dalam menjalankan tata pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota adalah sebuah lembaga perwakilan rakyat di daerah kabupaten/kota yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD kabupaten/kota juga berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah kabupaten/kota
           DPRD diatur oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (revisi dari Undang-undang No. 22 Tahun 1999). Melalui undang-undang ini merupakan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dimandatkan untuk memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan (Pasal 41). DPRD adalah bagian dari sistem tata pemerintahan daerah, dan karenanya berada di bawah otoritas Departemen Dalam Negeri. (Depdagri) para anggota DPRD diberi hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan hak imunitas (Pasal 43-44)
          Begitu juga pada pasal 342 Undang Undang No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan jelas di terangkan bahwa DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
          Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD seyogyanya merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini dapat dicerminkan dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah (Perda), Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung (sinergi) bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
         Bertolak pada apa yang telah dipaparkan tersebut diatas, secara normatif DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dengan kedudukan, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 diharapkan mampu berkiprah lebih besar dalam rangka menata kembali kehidupan nasional kita yang telah mengalami distorsi selama ini, sebagai akibat kuatnya pengendalian oleh Pemerintah Pusat, sehingga akan terwujud kehidupan masyarakat yang demokratis, makmur dan berkeadilan. Demikian pula halnya terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kal-Bar dan Kabupaten Kubu Raya, dirasa perlu kiranya diambil langkah kongkrit dalam upaya optimalisasi peranan DPRD Kabupaten Kubu Raya Sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat dalam rangka terwujudnya penyelenggaraan Pemerintahan Good Governance di era otonomi daerah dapat diwujudkan.
        Atas dasar uraian tersebut di atas, rekruitmen tenaga ahli DPRD adalah salah satu solusi sebagai upaya yang dapat diambil oleh Sekretaris Dewan (sekwan) perwakilan rakyat daerah Kal-Bar/ Kabupaten Kubu raya yang memiliki wewenang dalam menunjang tugas, fungsi, hak dan wewenang serta kewajiban anggota DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
            DPRD dalam implementasi fungsi dan penggunakan hak dan rekruitmen tenaga ahli sebagai upaya optimalisasi dalam sistem demokrasi modern yang berkembang saat ini, keberadaan lembaga perwakilan politik yang sering disebut parlemen atau lembaga legislatif, merupakan prasyarat penting dari sebuah negara demokrasi. Namun, ukuran demokrasi tidak berhenti pada “keberadaan” namun sesungguhnya lebih jauh menekankan pada tingkat dan kualitas keterwakilan lembaga perwakilan politik tersebut. Hal ini penting karena konsep perwakilan politik didasarkan pada konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Kualitas keterwakilan itu akan ditentukkan oleh sejauhmana Lembaga perwakilan politik itu menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai perwakilan politik rakyat.
           DPRD adalah lembaga Legislatif sebagai representasi rakyat yang dipilih dalam pemilu untuk masa jabatan 5 tahun. Hajatan 5 tahunan dalam forum pemilu menetapkan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga legislatif untuk bersama-sama dengan eksekutif menjalankan roda pemerintahan dengan amanah membawa rakyat kepada kehidupan yang sejahtera. Berdasarkan Undang undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-undang No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.


A. Fungsi DPRD Provinsi/Kabupaten/ Kota
           Secara konseptual, parlemen memiliki tiga fungsi utama; fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, ketiganya ditopang oleh dua fungsi yang lain: fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan dan fungsi komunikasi politik sesuai dengan pasal 41 Undang-undang No 32 tahun 2004 dan pasal 343 Undang-undang No 27 tahun 2009 yang menjelaskan bahwa DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a.    Legislasi.
b.    Anggaran.
c.    Pengawasan.
a. Fungsi Legislasi
           Sistem politik demokrasi yang sekarang ini dijalankan oleh Negara Indonesia, banyak mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan. Salah satunya adalah persyaratan dalam proses pembuatan kebijakan publik (policy making process). Jika dalam sistem politik tertutup dan otoriter (baca: rejim orde baru) proses pembuatan kebijakan publik lebih beorientasi kepada kepentingan negara (state oriented), maka dalam sistem politik terbuka dan demokratis ini proses kebijakannya lebih diorientasikan untuk kepentingan masyarakat (society oriented). Kebijakan yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat ini akan tercapai melalui parlemen dalam menjalankan peran representasi, artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat. Parlemen ini pun tidak berdiri bebas dalam membawa kepentingan konstituennya karena harus melewati proses politik dengan para aktor dari lembaga lain seperti pemerintah (eksekutif), ormas dan lembaga bisnis. Dalam proses politik suatu kebijakan, masing-masing aktor dan lembaga tersebut berdiri dengan beragam kepentinganya. Beragam kepentingan inilah yang intensif mengisi ruang formulasi kebijakan, sampai akhirnya ada kesepakatan untuk mengambil suatu keputusan.
           Dengan demikian bisa dikatakan bahwa proses kebijakan publik itu berlangsung dalam ruang yang dipenuhi oleh beragam kepentingan, baik dari para aktor pemerintah, Parlemen, masyarakat sipil atau pun para pelaku ekonomi (Grindle and Thomas, 1991; Dunn, 2003). Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan.
Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:
  • Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah.
  • Dasar perumusan kebijakan publik di daerah
  • Sebagai kontrak sosial di daerah
  • Pendukung pembentukan perangkat daerah dan susunan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
               Disamping itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di daerah. Artinya, antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty. Dengan demikian, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi.

b. Fungsi Anggaran
            Ada sejumlah argumentasi yang mendukung bahwa fungsi anggaran merupakan fungsi terpenting yang dimiliki parlemen. Pertama, pencapaian kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan/urusan dan fiskal tidak akan terwujud jika proses penganggaran dan kualitas manajemen belanja daerah (public expenditure management) tidak berpihak pada pencapaian tujuan tersebut sebagai akibat parlemen tidak cukup optimal menggunakan fungsi anggaran untuk mengontrol perilaku belanja Pemerintah Daerah. Apalagi sejak dari tahun ke tahun jumlah alokasi anggaran yang diberikan ke daerah (baik dalam bentuk DAU, DAK, dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan) semakin besar. 
          Agar desentralisasi tidak menimbulkan ekses negatif baik dalam bentuk korupsi maupun mis-alokasi belanja daerah, maka parlemen harus mampu menggunakan fungsi anggaran dengan baik. Dengan demikian fungsi anggaran yang melekat pada institusi parlemen tidak bisa dilepaskan dari fungsi pengawasan dalam rangka membangun mekanisme saling kontrol (check and balance).
          Dalam tataran yang lebih luas, anggaran berfungsi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis dimana proses formulasi anggaran daerah dilakukan secara demokratis, transparan, akuntabel dan berpihak pada kelompok masyarakat yang paling rentan (pro-poor and vulnarable). 
         Kedua, fungsi anggaran memiliki makna strategis untuk memberikan arah atas pengelolaan kekayaan publik agar digunakan untuk kepentingan masyarakat. Ketiga, kebijakan yang paling nyata dan punya pengaruh langsung kepada masyarakat adalah kebijakan yang berkaitan dengan anggaran.
         Pada sisi kebijakan pendapatan daerah, masyarakat adalah penyumbang terbesar baik dalam bentuk pembayaran pajak daerah, retribusi daerah maupun pajak pusat. Pada sisi kebijakan belanja, masyarakatlah yang paling banyak dirugikan seandainya alokasi dan distribusi anggaran daerah yang tidak menyentuh langsung kepada kepentingan mereka. Dengan peran parlemen maka berbagai masalah tersebut dapat diantisipasi pada saat pembahasan anggaran, lebih khusus ketika pada saat pembahasan penentuan prioritas kebijakan dan program.
            Fungsi anggaran merupakan penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama-sama pemerintah daerah. Dalam menjalankan fungsi ini, DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif sebagai legitimator usulan APBD ajuan pemerintah daerah, fungsi penganggaran ini perlu memperoleh perhatian penuh, mengingat makna pentingnya sebagai berikut:
  • APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi & fungsi stabilisasi).
  • APBD sebagai fungsi investasi daerah.
  • APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi otorisasi dan Fungsi Pengawasan).
 c. Fungsi Pengawasan
           Dalam konteks fungsi pengawasan parlemen, pengawasan bisa dimaknai sebagai suatu proses atau rangkaian kegiatan pengamatan (monitoring) dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik, yang dilaksanakan untuk menjamin agar semua kebijakan, program ataupun kegiatan yang dilakukan oleh lembaga publik (Pemerintah Daerah) berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai aturan-aturan yang telah ditetapkan adalah semua produk kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam proses legislasi dan penganggaran.
             Karena berkaitan dengan produk legislasi maka dalam menjalankan fungsi pengawasan akan lebih melihat sejauhmana dan bagaimana lembaga eksekutif telah menjalankan kegiatan sesuai dengan arah dan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan? Apakah dalam mencapai tujuan kebijakan atau program itu, lembaga eksekutif telah menggunakan cara-cara yang benar? Serta apakah dalam mencapai tujuan kebijakan atau program muncul kendala atau persoalan?
           Dari rumusan di atas, fungsi pengawasan meliputi dua dimensi: dimensi pertama, pengawasan DPRD merupakan sebuah proses untuk memantau, mengamati atau memonitor pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai implementing agency agar kebijakan berjalan sesuai dengan yang ditetapkan dan direncanakan. Sehingga, dalam konteks ini, pengawasan merupakan langkah pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dimensi kedua, pengawasan DPRD merupakan sebuah proses melakukan evaluasi dan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah dan mungkin akan terjadi.
             Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system), untuk mengawal pelaksanaan aktivitas tepat sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, Fungsi Pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan. Disamping itu, pengawasan memiliki tujuan utama, antara lain:
  • Menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana.
  • Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan.
  • Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan.
  • Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa improvement agar dapat mencapai tujuannya tersebut.
Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
  • Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif.
  • Optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan pemerintahan daerah.
  • Penyusunan agenda pengawasan DPRD.
  • Perumusan standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD.
  • Dibuatnya mekanisme yang efisien untuk partisipasi Masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan.
B. Hak-hak DPRD dalam Mendukung Fungsi Pengawasan
            Dalam menjalankan Fungsi Pengawasan, DPRD mempunyai tiga hak; hak interpelasi; hak angket dan hak menyatakan pendapat. Yang dimaksud dengan hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan/penjelasan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat daerah. Sedangkan hak angket merupakan hak untuk melakukan penyelidikan terhadap salahsatu kebijakan kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat daerah  yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan hak untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan terhadap hak interpelasi dan hak angket.
a. Hak Interpelasi dan Hak Pernyataan Pendapat
Dalam Undang-undang no. 32 Tahun 2004 maupun PP no 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tentang tata tertib dewan perwakilan rakyat daerah dinyatakan secara jelas tata cara pelaksanaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Dalam PP No. 25 Tahun 2005 disebutkan tata cara penggunaan hak interpelasi dan pernyataan pendapat sebagai berikut; pertama, sekurang-kurangnya lima anggota DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau pernyataan pendapat dengan mengajukan usul kepada parlemen, melalui pimpinan DPRD dengan pertimbangan panitia musyawarah, untuk meminta keterangan kepada kepala daerah secara lisan maupun tertulis mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat daerah (untuk hak interpelasi) atau untuk mengajukan usul pernyataan pendapat terhadap kebijakan Kepala Daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah. Kedua, oleh pimpinan DPRD usul penggunaan hak interpelasi atau hak menyatakan pendapat ini disampaikan dalam rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan.
           Kami selaku pendamping atau tim hali akan melihat dari perspektif berbeda, yaitu dari perspektif objek interpelasi tersebut. Apa sesungguhnya obyek yuridis dari interpelasi?
          Penjelasan pasal 43 ayat (1) huruf a UU Pemda (UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) menjelaskan definisi yuridis interpelasi: “Yang dimaksud dengan “hak interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.” Definisi yuridis interpelasi  itu juga dapat dibaca dalam pasal 349 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
            Kebijakan merupakan salah satu produk pejabat atau lembaga pemerintah (eksekutif/administrasi negara) berdasarkan asas freies ermessen (kebebasan bertindak). Prof. Philipus M Hadjon dkk (1995) menyatakan bahwa peraturan kebijaksanaan (kebijakan) bukanlah peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan mengandung syarat pengetahuan tidak tertulis (angeschreven hardheidsclausule).
            Dalam berbagai literatur ilmu hukum ada banyak penjelasan bahwa kebijakan pemerintah juga terkait kewenangan diskresioner yang boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam keadaan tertentu, demi kepentingan masyarakat. Contoh sederhana, seorang polisi punya wewenang diskresi untuk mengarahkan kendaraan lewat jalan yang ada rambu-rambu tanda larangan, untuk upaya mengatasi kemacetan lalu-lintas
             Hal itu dapat dikaitkan dengan pasal 7 ayat (4) yang menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, tidak semua jenis peraturan perundang-undangan disebut dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Peraturan Mahkamah Agung termasuk salah satu bentuk peraturan perundang-undangan meskipun tidak disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004.
          Namun, Penjelasan Umum UU Pemda juga menjelaskan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Ini menandakan bahwa penyusun UU Pemda menganggap peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan.
          Agar pengertian “kebijakan” tidak bertabrakan definisi “peraturan perundang-undangan” maka  kebijakan yang dimaksudkan Penjelasan Umum UU Pemda tersebut diartikan sebagai “politik hukum pemerintah daerah.” Sedangkan kebijakan yang menjadi obyek interpelasi adalah kebijakan berbentuk tindakan pemerintahan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
          Mengapa harus ditafsir begitu? Jika peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pejabat pemerintah dapat menjadi objek interpelasi maka itu preseden buruk yang dapat merembet ke mana-mana. Nantinya Peraturan Bupati, Peraturan Gubernur, Peraturan Menteri, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Presiden dan seluruh peraturan perundang-undangan juga dapat diinterpelasi.
          Unsur lain yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip yuridis objek interpelasi adalah bahwa kebijakan objek interpelasi itu berdampak yang luas bagi masyarakat. Cara mengukurnya dengan melihat reaksi masyarakat luas. Artinya, kebijakan merupakan fakta, bukan ketika masih pada tahap norma hukum.
          Berdasarkan uraian tersebut maka sebenarnya contoh kasus pada DPRD Kota Surabaya menjadi pelajaran, karena telah melakukan interpelasi yang keliru objek (error in objecto), sebab Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 bukanlah kebijakan melainkan peraturan perundang-undangan. Selain itu juga tidak memenuhi unsur adanya fakta dampak yang luas bagi masyarakat Surabaya.
           Andai Walikota Surabaya keliru dalam menerbitkan Perwali, entah itu prosedur atau substansinya, maka otoritas yang berwenang menguji adalah Menteri Dalam Negeri selaku otoritas administrasi (pasal 37 PP No. 79 Tahun 2005) dan Mahkamah Agung selalu otoritas yudisiil (pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 jis. UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009).
Selain itu, kekeliruan aspek formil dan materiil penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipakai sebagai alasan permakzulan. Andaikan itu bisa, maka Presiden dan DPR juga dapat dimakzulkan sebab beberapa undang-undang produk mereka telah dikoreksi kesalahannya oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu saja Bu Risma tak dapat dimakzulkan dengan alasan keliru dalam membuat Perwali.
           Hak Interpelasi; ialah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara.
b. Hak Angket
Sedangkan dalam hak angket diatur beberapa hal sebagai berikut;
  • Hak Angket dilakukan setelah diajukan hak interpelasi. Dalam pasal 32 Undang-undang no. 32 tahun 2004 disebutkan dalam hal kepala daerah dan atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, parlemen berhak menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
  • Usulan penggunaan hak angket bisa diajukan oleh sekurang-kurangnya lima anggota parlemen, yang selanjutnya menyampaikan pada pimpinan parlemen untuk dibahas serta untuk mendapatkan pertimbangan panitia musyawarah. Hak angket baru menjadi agenda resmi parlemen setelah mendapat persetujuan dari rapat paripurna parlemen yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota parlemen dengan putusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
  • Dalam penggunaan hak angket. Parlemen membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi parlemen yang berkerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya pada parlemen.
  • Dalam melaksanakan tugasnya panitia angket dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang diselidiki.
  • Kewajiban setiap orang yang dipanggil, didengar dan diperiksa untuk memenuhi panggilan panitia angket kecuali dengan alasan yang sah menurut undang-undang. Apabila pihak yang diminta keterangannya tidak memenuhi kewajibannya, panitia angket bisa memanggil secara paksa dengan bantuan Polri.
  • Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
  • Apabila dalam hasil penyelidikan ada indikasi tindak pidana DPRD menyerahkan pada penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum.

Sebagai kosekuensi lebih lanjut dari penggunaan hak angket dimana:
  1. DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) atas pendapat parlemen bahwa Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan atau melanggar larangan.
  2. apabila hasil penyidikan aparat penegak hukum menetapkan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah berstatus sebagai terdakwa, presiden bisa memberhentikan yang bersangkutan dari jabatannya.
C. Rekruitmen Tenaga Ahli DPRD
              Penting dan strategisnya kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dalam menjalankan fungsi sekaligus sebagai pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang memilih mereka untuk duduk sebagai wakil rakyat. Sehingga, segala aspek kehidupan dalam pemerintahan daerah yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat dapat dicapai sebagaimana mestinya.
                Rekruitmen tenaga ahli DPRD adalah salah satu solusi sebagai upaya yang dapat diambil Oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) perwakilan rakyat daerah Kabupaten memiliki wewenang dalam menunjang tugas, fungsi, hak dan wewenang serta Kewajiban anggota DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
           Dasar hukum yang mengatur rekruitmen tenaga ahli oleh sekretaris DPRD adalah :
  • Undang- Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 123 ayat (3) : Sekretaris DPRD mempunyai tugas menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
  • Undang Undang No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD pasal 352 ayat (10): Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah Sekretariat DPRD sebagai unsur pelayanan pada hakekatnya memberikan pelayanan administratif kepada dewan yang meliputi kesekretariatan, pengelolaan keuangan, fasilitas penyelenggaraan rapat-rapat dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan sesuai kemampuan keuangan daerah masing-masing
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pasal 4 ayat (2) Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 34 (1) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dibantu oleh 1 (satu) orang tenaga ahli.
D. Kesimpulan
Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan keluarnya, agar dapat melaksanakan fungsi, tugas, wewenang, dan hak-haknya secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini oleh karena sangat tergantung dari tingkat kemampuan anggota DPRD, maka salah satu upaya yang dilakukan dapat diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD adalah percepatan pengadaan tenaga ahli DPRD yang selama ini belum diwujudkan di sebagian ebsarc  DPRD Provinsi di berbagai provinsi.

      


»»  Baca Selengkapnya...