SEMIOTIKA POLITIK
“AHOK” MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT
“Ahok yakin dengan Nabi Isa Almasih
AS, tinggal ditanya siapakah TuhanNya Ahok???
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
HP 081310651414
Tiba tiba menjelang PILKADA di Ibu
kota NKRI bermunculan tafsir Al-Quran terhadap semiotika PILKADA, padahal
sesungguhnya hakekat pilkada adalah memilih kepala daerah sebagai implementasi
pelaksanaan konstitusi untuk mengurus kepentingan daerah yang berhubungan
dengan kepentingan umat ataupun masyarakat didaerah tersebut.
Persoalannya muncul ketika peristiwa
“Ahok” bertepatan dengan agenda Pilkada, menurut penulis bukanlah sebuah
kebetulan tidak ada yang serba kebetulan di hadapan Allah SWT, namun dibalik
ini ada sebuah keniscayaan yang sebenarnya mengkristal dari masalah yang “terpendam”
di qalbunya “Ahok”, satu kesalahan yang mendasar dari “Ahok” adalah jika beliau
sebagai penganut nasrani tidak menggunakan “Ilmunya pendeta” yang menyebarkan
kasih sayang dalam beberapa prilakunya, sehingga “Ahok” dianggap penganut
nasrani yang kurang berakhlak, namun yang menarik adalah “Ahok bersumpah
berkali-kali penganut nabi Isa AS dalam rapat jajaran birokrasi Pemda DKI yang
setia, namun sayangnya belum sempurna, karena Nabi Isa telah bernubuat akan
adanya Nabi akhir zaman pembawa rahmat lil alamin, yakni Nabi Muhammad SAW,
satu langkah lagi “Ahok” sedang digiring oleh Allah SWT atau Allah SWT sedang
menyindir umat Islam lewat “prilaku manusia yang namanya Ahok” atau “Ahok
sedang menjemput hidayah dari Allah SWT, sebagai muslim yang jernih pasti ada
hakekat dibalik peristiwa ini, tinggal ditanya oleh para ulama, siapakah TuhanNya Ahok? Adakah yang berani menanyakan secara terbuka
kepada Ahok, sebagai wujud tabayun ulama.
Pertanyaannya
adalah tanggungjawab siapakah, jika “Ahok kurang berakhlak” kemudian menimbulan
masalah yang mengkristal kearah dugaan penistaan agama. Namun yang menarik dari
sisi semiotika politik adalah politik berbasis keagamaan muncul, seakan akan
al-quran adalah mutlak hanya miliknya umat Islam, bukankah al-quran itu
hudalinas atau pedoman bagi manusia dimuka bumi penyempurna kitab-kitab
sebelumnya, “yang kita prihatin adalah
jangan-jangan kita sedang “menjual ayat ayat Al-Quran dengan harga murah”, jika
ini yang terjadi pantaslah yang ditangisi oleh Rasulullah 1400 Tahun yang
lalu, ketika sakratul mautnya yang
dipanggil “umati-umati, umati”, bukankah kita yang masih hidup saat ini.
Begitu
naibnya umat ini ketika situasi ketika kegiatan politik terlihat begitu
religiusnya dan pemeluk agama sedemikian salehnya menjelang politik electoral,
Saya sependapat dengan Teuku Kemal Fasya dosen antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dalam Tulisan yang berjudul
“Nalar Agama dan Nalar Pilkada” dalam situs http://www.satuharapan.com, 31 Oktober 2016 yang menyatakan,
bahwa tak ada perasaan bersalah ketika agama dijadikan arsenal utama untuk
merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Padahal yang dilakukan tak lebih
sebuah politik pengicuhan dan penipuan rendahan (politic of deception).
Aforisme
itu semakin menemukan bentuknya saat ini dan kita temukan di mana-mana. Anda
jangan salah paham dulu, saya tidak bergegas untuk berbicara tentang situasi
Pilkada Jakarta. Situasi ini terjadi di mana-mana, termasuk di tanah kelahiran
saya sendiri menjelang Pilkada serentak 15 Februari 2017.
Tiba-tiba
pasangan politik yang terkenal sekuler pun fasih menggunakan surban dan tasbih
untuk politik pengicuhan itu. Di Aceh ada proses seleksi membaca Al Quran. Bagi
pasangan calon yang mampu mengaji dengan irama yang baik serta-merta akan
ditabalkan sebagai calon yang juga baik sebagai pemimpin. Demikian mitos
beroperasi dan melupakan esensi bahwa menjadi kepala daerah yang dituntut
adalah talenta kepemimpinan, integritas, dan manejerial, dan bukan menjadi
pemuka agama.
Namun
bukan saja di tempat di mana mayoritas penduduknya muslim, di tempat lain
seperti Manado dan Kupang pun, politik agama kerap juga digunakan untuk
memperkuat politik persuasi hingga provokasi. Upaya “memperdagangkan agama pada
situasi pilkada memang lebih pekat konsentratnya. Ada pelbagai argumentasi yang
kadang membenarkan fenomena itu.
Menurut
Fachri Hamzah, mantan wakil ketua DPR RI asal PKS, agama adalah serum paling
aktif untuk menghidupkan politik disamping serum-serum lainnya. Bahkan, agama
hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar
pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan (Vernunft)
dan naluri intelektual (Verstand) - memakai
istilah Immanuel Kant. Agama lebih mampu memacu perubahan, histeria, atau amuk
massa. Agama sedemikian penuhnya menggetarkan sensori publik yang bisa
memengaruhi kebijakan publik.
Apakah perspektif itu cukup tepat?
Apakah agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan
nalar dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Pandangan ini telah disanggah
seribu tahun lalu dalam khazanah pemikiran Islam.
Nalar Agama
Sebagaimana
tercatat pada pemikiran Al Farabi atau Al Pharabius (Persia, 870-950), Ibnu
Sina atau Avicenna (Uzbekistan/Persia, 980-1037), dan Ibnu Rusyd atau Averroes
(Cordova, 1126-1198), nalar agama sesungguhnya tidak lepas dari nalar
pengetahuan umumnya. Agama secara historis memang tidak hadir dari rahim
filosofis dengan argumentasi sekularistik yang diuji dan dibantah secara bebas
dan demokratis. Meskipun demikian, kemudian hari nalar agama berkembang dan
ikut selaras dengan nalar pengetahuan. Hal itu karena agama dan pengetahuan
sama-sama menapaki tujuan satu yaitu mendapatkan kebenaran.
Ibnu
Sina yang terkenal dengan teori emanasinya menyebutkan bahwa nalar manusia
sesungguhnya pancaran dari nalar Tuhan sebagai yang pertama (prima causa). Upaya manusia memecah misteri di dunia
ini didasarkan pada bekerjanya akal aktif, termasuk memecah persoalan dan
misteri di dalam ayat-ayat Al Quran. Jika dianggap Al Quran adalah pancaran
nalar Tuhan, maka nalar Tuhan itu harus bisa bekerja di dalam nalar manusia
untuk mendapatkan kebenaran. Tidak ada usaha lain mengaktifkannya kecuali
dengan pengetahuan. Kita kerap menganggap istilah nalar murni dimunculkan
pertama kali oleh Immanuel Kant (Critique of Pure Reason/Kritik
der reinen Vernunft, 1781), padahal Ibnu Sina telah mengemukakannya
800 tahun sebelumnya.
Demikian
pula penggunaan filsafat dan metodologi ilmiah bukan sesuatu yang harus
diasingkan dari kitab suci. Al Quran sebagai kitab yang penuh metafora,
alegori, historisia tanpa kronologia, dan frasa puitika hanya dapat dibedah
jika menggunakan metodologi filsafat, termasuk filsafat Aristotelian. Apa yang
secara filsafati bisa dibuktikan benar, maka benar pula dalam tafsir
agama.
Ibnu
Rusyd bahkan mengkritik secara lugas buku Al Ghazali Thahafut al-Falasifah (Kekeliruan Filsafat) yang
menyatakan nalar Islam terpisah dari pengetahuan filsafat Yunani. Al Ghazali
(1058-1111) mengatakan filsafat Yunani memiliki inkoherensi jika digunakan
memahami nalar Islam. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (Kekeliruan
dalam Kekeliruan), Ibnu Rusyd menemukan inkonsistensi pemikiran Al Ghazali,
karena secara tak sadar ia malah menggunakan logika Aristotelian seperti
silogisme dan analogi. Gagasan unifikasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum
ini dimunculkan secara monumental (meskipun bukan pertama) oleh Ibnu Rusyd,
sebelum Thomas Aquinas mengemukakannya dalam Summae Theologiae.
Agama dan pengetahuan bukan oposisi biner yang tidak bertemu, tapi bisa
saling bermesraan.
Demikianlah,
akhirnya goncangan-goncangan terjadi di dalam agama ketika filsafat dan
pengetahuan empirisme “menemukan” sesuatu yang secara literal “berbeda” dengan
tafsir kitab suci. Dalam tradisi gereja goncangannya terjadi sejak “revolusi
Copernicus” – mengutip istilah Thomas Kuhn. Dalam dunia Islam, goncangan
pengetahuan terjadi sejak observasi astronomis Ibnu al-Shatir (1304-1375)
tentang teori heliosentrisme menggantikan “teologi geosentrisme” yang
bertahan tujuh abad lamanya. Bahkan teori Ibnu Al Shatir lebih dahulu hadir
daripada teori Nicolaus Copernicus (1473-1543). Jejak-jejak pengetahuan
berdasarkan pendekatan observasi, filsafat empirisme, verifikasi, refutasi, dan
falsifikasi akhirnya menggusur tafsir arkaik agama tentang kebenaran.
Sayangnya revolusi pengetahuan dunia
Islam itu tidak menjadi arus utama. Yang berkembang di dunia Islam kontemporer
adalah konservatisme warisan Al-Ghazalian-Ibnu Taymian, dan bukan progresivisme
Farabian-Rusydian yang menjadikan gairah keilmuan sebagai nilai-nilai imanen
dan promotif dalam Islam.
Nalar Pilkada
Demikian
pula kehadiran pilkada sebagai konstruksi politik baru di Indonesia. Nalar
pilkada harus dilihat sebagai pergulatan dialektis bangsa Indonesia
pascareformasi dalam merumuskan demokrasi lokal. Pilkada adalah manifestasi
politik dan etik lokal yang dimulai beroperasi melalui UU No. 23 tahun 2014 dan
kini dalam UU No. 8 tahun 2015. Logika dan etika demokrasi, egaliterisme,
kebangsaan, dan keberagamaan menjadi bagian yang sebelumnya muncul dalam wacana
politik nasional kini turun menjadi praktik diskursif politik di tingkat lokal.
Namun
aspek etik, moral, dan norma pilkada dalam turbulensi demokrasi itu masih
kurang dipahami. Dalam banyak praktiknya, politik elektoral lokal kerap bersemi
menjadi politik purba yang penuh sentimen tribalisme-etnisisme-agama. Akhirnya
pilkada tidak berdialektika dengan kematangan politik partisipannya tapi
menegang dan berkontraksi secara negatif. Tidak ada harmoni yang dihasilkan
dengan semangat demokrasi lokal seperti itu. Anehnya, ketika nilai komunisme
ditolak, praktik Stalinisme dengan politik kekejaman dan menghalalkan cara demi
mencapai tujuan malah dilakukan, oleh kaum yang mengaku agamawan.
Dari
catatan Jaringan Antar iman Indonesia (JAII) saat menyusun laporan tentang kebebasan
beragama atau berkeyakinan (Freedom of Religion or Belief)
untuk Komisi HAM PBB (Universal Periodic Review),
momentum pilkada kerap menjadi jalan memuluskan politik diskriminasi atas
minoritas. Di Batuplat, Kupang, masalah pelarangan pembangunan mesjid masuk
dalam isu pilkada. Di Manado juga terjadi persaingan antar denominasi Kristen
dan privilese kepada umat tertentu. Di Singkil isu gereja selalu masuk dalam
siklus lima tahunan sejak era reformasi. Dalam catatan riset Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ditemukan fakta bahwa perda-perda bernuansa
Syariat Islam dan diskriminatif kerap diproduksi petahana untuk mempertahankan
kekuasaannya dan memenangkan histeria publik pada periode kedua.
Kasus
paling hangat tentu saja menyangkut Ahok. Memang harus disadari, sikap Ahok
ketika berdialog dengan masyarakat Pulau Seribu tentang QS Al Maidah ayat 51
adalah keliru dan tidak patut secara etika politik. Pertama ia bukan orang yang berkompeten untuk
berbicara itu. Kedua, pola komunikasinya sangat rentan
disalahtafsirkan, dan ketiga situasinya
tidak dalam momentum kampanye, sehingga penyampaian hal-hal yang berbau politik
persuasi-agitasi seharusnya dihindari, namun spontanitas Ahok itu saat ini
menjadi rahmat bagi umat muslim untuk menyadari, bahwa Al-quran bukan hanya
untuk umat Islam, tetapi sedang berproses dikalangan non muslim, karena
sebenarnya merekag sedang mencari “keselamatan”, menurut penulis, Ahok menyebut
Isa Almasih, adalah nabi Isa, tinggal ditanya sama Ahok siapakah TuhanNya Ahok.
Namun
respons publik yang merasa terhina dengan pernyataan Ahok juga sudah keluar
dari konteks gerakan demokrasi. Aksi-aksi massa yang terjadi telah menjurus
pada kepentingan politik praktis, tidak murni sebuah anjuran moral agama. Yang
terjadi malah politik ad homimem:
menghina pribadi, etnisitas, dan pelecehan atas keyakinan agama lain. Bahkan
berkembang totaliterisme tafsir atas ayat itu, padahal peradaban Islam telah
tegak dengan pluralislistik tafsir.
Yang
paling mengerikan dari situasi ini, bukan hanya cuplikan gambar yang telah
menjadi viral tentang terjemahan kata awlia QS Al
Maidah ayat 51 dengan kalimat “telah diubah dari pemimpin menjadi teman
setia”, dan ternyata fitnah keji yang dilakukan kelompok orang
tidak bertanggung-jawab, tapi penggusuran logika demokrasi dan konstitusi
menuju logika teokrasi; sesuatu yang sejak awal bukan fondasi bangsa ini.
Seharusnya
nalar agama tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal seperti keadilan,
kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama seharusnya
progresif dan proaktif dengan situasi yang berkembang dalam konteks
historisitas masyarakat dan normativitas kebangsaan. Untuk konteks Indonesia,
agama seharusnya tidak lagi dipertentangkan dengan konstitusionalisme Pancasila
dan UUD 1945 dan kerangka nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika.
Agama
karenanya jangan menjadi kuda Troya yang dipacu oleh demagog untuk kepentingan
sempit dan permusuhan. Demikian pula pilkada seharusnya menjadi momentum
ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat profan, produktif, dan menggembirakan.
Pada sisi lain untuk Ahok, karena dia berkali-kali yakin dengan Nabi Isa
Almasih AS ketika dalam rapat birokrasi di Pemda DKI lihat dalam youtube humas
Pemda DKI, maka para Ulama yang mungkin masih
punya qalbu tinggal ditanya kepada Ahok dimuka publik Indonesia atau dihadapan
umat Islam, siapakah TuhanNya Ahok ??? jawaban atas pertanyaan inilah yang akan
menghakimi Ahok, sepertinya Ahok sedang menjemput hidayah Allah SWT. Hanya umat
ini sedang disindir oleh Allah SWT, namun tidak terasa atau belum mampuh
merasakan sindiran Allah SWT kepada umat yang kebetulan mengaku berKetuhanan
Yang Maha Esa.
Berikut ini artikel pembanding :
Kontroversi
Mulut Ahok : Makna Dan Analisis Semiotika
Oleh
: Ismail Giu (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin)
“
Jadi jangan percaya
sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya
kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu,
jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin
gitu ya..” (Ahok).
Gubernur DKI Jakarta
Basuki Cahaya Purnama atau masyhur dengan panggilan Ahok mungkin tidak
menyangka kata katanya yang disampaikan saat haha-hihi dengan warga di
Kepulauan Seribu berbuntut panjang. Alih alih ingin merebut simpati warga dengan tidak
mempersoalkan muslim non muslim sebagai pemimpin Ahok justru mengundang
kontroversi dan antipati. Mulut-nya kini menjadi harimau yang sewaktu waktu
bisa menerkamnya di atas panggung politik.
Kegaduhan semakin
menjadi tatkala Nusron Wahid
representasi politik Ahok
membuat geger dengan kalimat ; yang
paling tahu tentang omongan ahok ya ahok sendiri. Yang paling tahu tentang
Al-Quran ya Allah Subhanahu wa-Taala,. Omongan yang disampaikan Nusron
dalam sebuah acara talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (11/10).
Spontan reaksi pun bermunculan dengan meme meme lucu yang beredar di media
sosial. Besok
kalau saya ketemu lampu merah, bablas (terobos) aja. Yang paling tahu warna
merah itu saya bukan polisi
kira kira begitu bunyi salah satu meme yang menjadi viral.
Tulisan ini ingin
memeriksa kembali pertanya pertanyaan : Apakah Ahok berhak bicara apa saja
karena makna pernyataannya sepenuhnya menjadi miliki dia sebagai pembuat
pernyataan? Ataukah Ahok tidak punya hak memaknai pernyataan yang ia buat
sendiri karena ini harus ditetapkan orang lain yang menerima pernyataan itu?
Ataukah makna pernyataan Ahok tidak ditentukan niat dia atau pemahaman orang
lain, tetapi sudah terpatok pada kalimat-kalimat pernyataan itu sendiri? Dan itu
dapat diukur dan ditetapkan secara ilmiah oleh para ahli bahasa atau petugas
pengadilan?
Istilah makna memang
merupakan istilah yang membingungkan. Maka itu, batasannya pun bisa macam
macam. Ogden dan Richards dalam bukunya The Meaning of Meaning mencatat tidak
kurang dari 22 batasan mengenai makna (1972:186-187).
Para ahli linguistik
pun berbeda pandangan tentang jenis atau tipe makna. Vergaar sebagaimana
dikutip Pateda (2001:96-97) mengemukakan makna gramatikal dan makna leksikal,
sedangkan Boomfield (1933) mengemukakan istilah makna sempit (narrowed meaning)
dan makna luas (widened meaning) dan masih banyak lagi.
Bahasa manusia
mempunyai suatu kekuatan untuk menjelaskan. Tetapi, menurut Van Peursen, ini
tidak berarti bahwa pengetahuan dan makna dari apa yang terjadi telah diberikan
sebelumnya. Hanya dengan menunjuk pada kejadian, dan dalam berbagai perwujudan
peristiwa itu, kata memperoleh maknanya. Makna ini belum ada sebelum kata
digunakan
makna tersebut bukannya diberikan secara a priori melainkan
mendapatkan bentuknya melalui penggunaan kata (Van Peursen dalam Sobur,
2009:28).
Untuk lebih memahami
pernyataan Van Peursen, kita masuk kedalam kajian kajian tentang Semiotika atau
ilmu
tentang tanda.
Banyak definisi para ahli tentang semiotika, namun secara umum Semiotika
menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem, aturan aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Charles Sanders Pierce
(1834-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah dua ilmuan yang
mempelopori kajian tentang semiotika.
Pemikiran Saussure
yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda.
Saussure meletakkan tanda dengan memilah apa yang disebut signifier (penanda)
dan signified (pertanda). Signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.
Hubungan antara keberada fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam member makna
terhadap dunia (Fiske, 1990:44).
Kata merah adalah signifier
(penanda) sementara lampu
merah
adalah signified (pertanda). Hubungan antara merah dengan lampu merah menghasilkan
signification yang bermakna stop atau berhenti. Lain halnya makna kata merah (signifier) ketika
diletakkan pada bendera Merah-Putih {signified) yang
bermakna (signification) keberanian, kekuatan, kegigihan dll.
Dalam konteks Ahok,
kata dibohongi dan dibodohi tidak memperoleh
makna apa apa ketika dia tidak merujuk pada kejadian atau peristiwa, gambaran
mental atau konsep apapun. Lain ceritanya jika kata itu merujuk pada surat
Al-Maidah 51. Terlepas seperti apa isi tafsiran Al-Maidah 51, publik sudah
terlanjut memaknai bahwa kalimat “dibohongin pakai surat al Maidah 51 bermakna Al-Quran yang salah satunya
berisi surat Al-Maidah adalah bohong, dan perilaku mengajak mematuhi Al-Quran
adalah membodohi. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dari akidah umat
muslim. Pada titik ini kenapa publik bereaksi.
Lantas apa urgensinya
kata dibohongi dan dibodohi jika merujuk pada
analisis semiotik? Bukankah kata ini hanya sekali diucapkan? Jika kita
menganalisis secara isi seharusnya makna kata ini tidak signifikan bila
dibandingkan dengan kata kata lain yang diucapkan Ahok selama proses
sosialisasi tersebut? Itulah yang membedakan antara analisis isi dan analisis
semiotik. Jika analisis isi menekankan segi kuantitatif maka semiotik menolak
pendekatan kuantitatif dan lebih menggunakan kualitatif.
Dalam semiotik, tidak
ada alasan bahwa item yang paling sering muncul adalah yang paling penting atau
paling signifikan terhadap teks, sudah tentu akan menstruktur secara
keseluruhan. Tempat yang diduduki oleh unsur unsur yang berbeda jauh lebih
penting ketimbang kemunculannya.
Menyentil pendapat
Collin Summer sebagaimana dikutip Sobur (2009:145), analisis isi kuantitatif
terlalu memberikan banyak penekanan pada pengulangan (repeatability) dari tanda
(yakni berapa kali itu terjadi) dan hanya sedikit member perhatian pada
signifikansinya bagi khalayak. Sebetulnya, tidak menjadi persoalan berapa kali sesuatu
sering muncul dalam sistem pesan. Jika pembaca atau penonton tidak memahaminya,
maka repetisi menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, bukanlah signifikansi
suatu repetisi yang penting, melainkan repetisi dari signifikansi.
Merunut dari analisis
di atas maka bisa disimpulkan bahwa bahasa dan maknanya merupakan kerja
kolektif. Komunikasi berlangsung hanya apabila ada kesepakatan bahasa dan makna
dari semua pihak yang terlibat. Makna tidak dihasilkan oleh komunikator
melainkan diinterpretasikan oleh komunikan berdasarkan kondisi mental, budaya
dan nilai nilai yang melatar belakanginya. Itulah mengapa penting untuk menjaga
lisan sebagaimana pepatah orang tua dahulu : Mulutmu, harimaumu.
Analisis Semiotika Video “Penistaan Agama” Ahok
Oleh : Yons Achmad
Video pernyataan Ahok yang termuat dalam pidatonya di
hadapan warga Kepulauan Seribu, (27/9) menjadi sorotan. Durasinya memang agak
panjang. Tapi, ada sepenggal tayangan video yang kemudian menjadi kontroversi.
Ada pernyataan Ahok yang isinya begini “Jadi jangan percaya sama orang, kan
bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat
Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu”. Atas pernyataan
demikian, Ahok dinilai sudah menistakan agama. Tak hanya orang per orang yang
tak sependapat. Tapi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sepakat kalau
pernyataan tersebut sudah masuk penistaan agama.
Entah karena apa, rupanya ada beberapa
yang masih saja ngotot tidak ada penistaan agama dalam kasus yang sudah terang
benderang tersebut. Terutama bagi para pendukung setia Ahok. Atau kalau tidak,
ada yang memilih bersikap netral. Untuk tidak menyebut mereka yang memang tidak
jelas keberpihakannya. Alih-alih bersikap netral, yang ada sebenarnya hanya
membiarkan kebiasaan pejabat omong “ngawur” dan serampangan. Bagi kaum akademisi
dan intelektual yang hanya bisa diam dan bersikap netral saya kira juga sebuah
ironi. Dalam dunia kampus, sikap netral mungkin dibangga-banggakan. Tapi di
luar kampus, bagi saya sikap netral tetap saja ironi. Sebab seorang akademisi
atau intelektual tetap saja harus jelas ke mana dia berpihak.
Dalam tafsir agama, sudah jelas
pernyataan Ahok itu “Penistaan agama”. Dalam kajian media, saya kira pernyataan
Ahok itu juga menarik sebagai studi kasus. Saya akan coba sedikit bedah melalui
analisis wacana (semiotika sosial). Semiotika (ilmu tanda) sendiri, dalam
kajian media merupakan salah satu perangkat analisis yang bisa digunakan dalam
menganalisis “Fenomena Komunikasi”. Meminjam konsep Halliday, penulis buku
“Language Structure and Language Function”, dalam semiotika sosial ada tiga
unsur yang menjadi pusat perhatian dalam penafsiran teks secara kontekstual.
Diantaranya:
Pertama, Medan
Wacana (Field of Discourse). Menunjuk pada hal yang terjadi dan
mengenai apa yang dijadikan wacana oleh pelaku. Dalam kasus video “Penistaan
Agama” itu jelas. Ahok tidak suka pada orang-orang yang menggunakan agama,
terutama yang menafsirkan surat Al-Maidah ayat 51 yang melarang seorang muslim
memilih pemimpin non muslim. Yang kemudian oleh para pembela Ahok diklaim
sebagai politisasi agama. Jelas, dengan ekspresi yang bisa kita tonton dalam
video tersebut, Ahok sangat tidak suka. Menjadi problem ketika Ahok dengan
seenaknya mengutip ayat suci agama lain (Islam) dan bilang “Dibohongin pakai
Surat Al-Maidah ayat 51”. Dari kejadian ini, sebenarnya kita paham siapa yang
sebenarnya menggunakan isu SARA dalam politik dan mengambil keuntungan politik
darinya.
Kedua, Pelibat
Wacana (Tenor of Discourse). Menunjuk pada orang-orang yang
dicantumkan dalam teks, sifat orang-orang itu, kedudukan dan peran mereka. Kata
“Dibohongin” berarti ada seseorang yang berbohong. Di sini, Ahok dengan
serampangan menuduh orang-orang yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 dan
mengajak untuk tidak memilihnya sebagai orang-orang yang berbohong atas nama
agama atau istilah lain dituduh mempolitisasi agama. Jelas, pernyataan tersebut
provokatif, arogan dan memancing kontroversi. Di sini saya kira Ahok telah
memulai perang wacana. Dan kita bisa lihat, salah satu kelompok, sebut saja
kubu “Islam Liberal” berada di balik pembenaran setiap ucapan Ahok. Alih-alih
menuduh orang melakukan poitisi agama, sayangnya kubu Ahok juga menggunakan
agama sebagai pembelaan-pembelaan. Pertempuran wacana dan tafsir sampai saat
ini masih berlangsung. Tapi, dalam kasus ini lagi-lagi pesan yang tampak, Ahok
dengan serampangan menuduh mereka yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51
dengan “benar” dianggap mempolitisasi agama.
Ketiga, Sarana
Wacana (Mode of
Discourse). Menunjuk bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa untuk
menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip) apakah
menggunakan bahasa yang hiperbolik, eufemistik atau vulgar. Sudah sangat jelas,
bahasa yang digunakan Ahok sangat vulgar dengan memilih kata “Dibohongin”
disandingkan dengan ayat suci pula. Maka sangat wajar, bagi orang Islam yang
barangkali tidak pernah shalat sekalipun akan marah ketika agamanya dihina,
dinistakan.
Sayangnya dengan beragam argumen yang
jelas dan terang benderang, seperti yang saya sedikit singgung di atas, masih
saja ada pembela-pembela Ahok yang memandang tidak ada masalah dengan
pernyataan Ahok itu. Bahkan, Komisioner Badan Pengawas Pemilu RI, Nasrullah,
(Detik.com/8/10/2016) angkat bicara soal pernyataan bakal calon gubernur
petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait Al Maidah ayat 51 yang
dianggap beberapa pihak telah menistakan agama. Nasrullah berpendapat
pernyataan Ahok biasa saja. Tentu fenomena ini sangat aneh.
Tapi, pada akhirnya, kita memang tidak
bisa memaksakan tafsir. Dalam ranah kajian media, saya berkesimpulan bahwa
pernyataan Ahok jelas problematis dan memancing kegaduhan politik. Di ranah
media, dalam kasus ini, saya kira tak elok kalau pemimpin (pejabat) bicara
serampangan dengan tafsirnya sendiri, merasa benar sendiri. Kalau hal ini terus
menerus terjadi, maka tak heran, seperti kata Romo Sandyawan “Rakyat akan
membuat perhitungan”. (Yons Achmad/Pemerhati Media/Founder Kanetindonesia.com/WA:082123147969).